Dalam kehidupan di lingkungan masyarakat
Kasus Intoleransi dalam Beragama
Kerusuhan Tolikara Papua
VIVA.co.id - Aminudin Syarif, peneliti dari SETARA Institute yang terlibat dalam
penelitian untuk mengukur tingkat toleransi beragama di kota-kota di Indonesia membeberkan dua kasus intoleransi paling parah sepanjang 2015. Ia mengatakan, dua
kasus intoleransi yang terparah sepanjang 2015 adalah peristiwa Tolikara yakni pembakaran rumah ibadah masjid dan juga Aceh Singkil terkait bentrokan warga
akibat pembongkaran rumah ibadah gereja. Dari semua data yang kami kumpulkan dan pelajari, kasus Tolikara dan Aceh Singkil adalah yang paling parah. Dua kasus itu
sangat butuh perhatian karena pertengkarannya sangat bahaya kalau tidak diatasi, ujar Aminudin kepada VIVA.co.id, Senin, 16 November 2015. Ia mengatakan, jika
tidak ada konstitusi dan pemahaman yang jelas, maka kaum mayoritas bisa menginjak-injak kaum minoritas. Kalau bisa saling menghargai di tempat kita hidup,
kata Aminudin, maka kita aman. Jika tidak, Anda hanya akan aman jika berada dalam kelompok mayoritas, ucapnya. Aminudin mengaku pihaknya tidak ingin
melihat adanya lagi kasus intoleransi umat beragama karena akan berdampak buruk bagi kaum minoritas yang ada. Ia mencontohkan, jika pada sebuah desa masih terjadi
adanya kelompok mayoritas yang berkuasa, maka akan sangat merugikan kaum minoritas. Hal kecil saja, misalnya kaum minoritas tidak akan dilibatkan dalam acara
kepanitiaan kerja bakti atau lomba 17-an. Hanya karena berbeda, dia tidak dilibatkan dalam kehidupan sosial. Pisahkanlah urusan sosial dengan kepercayaan. Pakai UU
dan regulasi yang ada untuk pedoman dalam melakukan sesuatu, kata dia. SETARA Institute menyampaikan, secara nasional ada 316 tempat ibadah yang
diganggu dari total 1.600 peristiwa atau konflik intoleransi beragama sepanjang tahun 2015 ini. one
Oleh : Toto Pribadi, Rebecca Reifi Georgina
Sumber: viva.co.id-ini-dua-kasus-intoleransi-paling-parah-di-indonesia.htm
Kebijakan Pembangunan yang Timpang
Kebijakan pembangunan Pemerintah Pusat yang memprogramkan pembangunan untuk Indonesia di wilayah Timur ternasuk Papua, merupakan kebijakan
pembangunan yang bersifat umum tanpa ada program khusus yang berbasis penghargaan terhadap nilai
– nilai lokal. Bahkan dalam konteks Papua pembangunan masih diliputi bias rasial dan stereotipe terhadap masyarakat Papua. Dalam konteks
inilah kebijakan pembanguann menjadi sumber pelanggaran terhadap ICERD.
Tidak ada afirmatif action dalam kebijakan ekonomi sehingga mayarakat asli Papua sangat sulit bersaing dengan orang dari luar Papua. yang memiliki pengalaman dan
naluri bisnis yang kuat. Faktor lain adalah Orang Papua sendiri masih dalam budaya transisi dari budaya meramu harus diperhadapkan pada sistem ekonomi modern.
Selain itu pemerintah juga memberi peluang yang sangat kecil bagi orang asli Papua untuk mengembangkan ekonominya. Perbankan juga sangat sedikit memberikan
Kredit bagi orang Papua untuk meningkatkan ekonominya. Di pasar-pasar orang asli Papua berjualan di trotoar jalan, mereka tidak menikmati faslitas perumahan pasar
yang dikuasai oleh non Papua.
Belum adanya tindakan Affirmatif action ini menjadikan masyarakat Papua termarjinalkan dan kondisi inilah yang membuat masyarakat papua sangat rentan
mendapat perlakukan yang diskriminatif.
by: HAMAH SAGRIM “Menguak Tabir Diskriminasi Rasial dan Impunity di Papua”
Materi Konferensi Asia Dan Afrika Di Sampaikan Oleh: Sagrim Frank Hamah Sagrim Peneliti Lepas
Di Sampaikan Di Mindanao Philipina 19 April 2009 Dan Universitas Thaksin Thailand 23 April 2009 Yang Di Hadiri Oleh 21 Negara Dan Utusan Negara-Negara
Dari Eropa Dan Amerika. Sumber:
http:suarabaptis.blogspot.co.id201102segala-bentuk-diskriminasi-rasial-di.html