c. Mengadakan RUPS. Di forum ini, perusahaan public memutuskan beberapa
laba dibagi sebagai dividend an berapa laba untuk ditahan. Di forum ini pula investor bisa mengajukan asal-usul.
d. Langkah yang tak kalah penting setelah go-public adalah emiten harus
bersikap terbuka, misalnya dengan membentuk secretariat perusahaan corporate secretary.
BAB IV TANGGUNG JAWAB DIREKSI PT Persero GO-PUBLIC TERHADAP
PENJUALAN SAHAM PERUSAHAAN
D. Prinsip Umum Hukum Perusahaan tentang Pertanggung Jawaban
Direksi
Direksi merupakan salah satu organ perseroan dan direksi memiliki tanggung jawab secara intern terhadap perusahaan. Maksud daripada intern
terhadap perusahaan ini adalah hubungan hukum antara pemegang saham, RUPS, komisaris dan direksi.
Terdapat prinsip umum hukum yang penting di dalam corporate law yang berhubungan dengan tanggung jawab dan hubungan intern terhadap perusahaan.
prinsip umum hukum ini dapat digunakan dalam membuat suatu peraturan hukum perusahaan yang lebih komprehensif, tetapi harus mengacu pada teori umum
Universitas Sumatera Utara
hukum yang bersifat umum, juga sekaligus sebagai tindakan peringatan kepada para pemegang saham, Komisaris dan Direksi dalam menjalankan usaha dan juga
kepada berbagai pihak untuk memanfaatkan prinsip - prinsip hukum ini dalam menegakkan hak dan keadilan. Berikut ini adalah prinsip - prinsip umum hukum
yang dimaksud : 1.
Piercing The Corporate Veil Prinsip ini merupakan tanggung jawab terbatas pemegang saham, Direksi,
atau komisaris dalam hal - hal tertentu menjadi tidak terbatas. Piercing the Corporate Veil ini sering di artikan sebagai “menyingkap tabir perseroan”.
Dimana ada saat - saat ketika pemegang saham, direksi, dan komisaris tidak dapat bertindak, dengan adanya prinsip itu, keterbatasan mereka bisa
ditiadakan. Peralihan tanggung jawab pemegang saham, Komisaris, dan Direksi
perusahaan yang awalnya terbatas, berubah menjadi tak terbatas. Hal itu disebabkan oleh adanya prinsip Piercing The Corporate Veil ini. Dalam hal
tersebut, dikemukakan terjadinya prinsip ini sebagai berikut : a.
Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. b.
Pemegang saham bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata - mata untuk
kepentingan pribadi. c.
Pemegang saham terlibat dalam perbuatan melawan yang dilakukan perseroan.
Universitas Sumatera Utara
d. Pemegang saham, baik langsung atau tidak langsung, secara melawan hukum
menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup melunasi hutang perseroan.
Prinsip Piercing The Corporate Veil merupakan prinsip utama dalam hukum perusahaan, yang menjadi penunjuk arah bagaimana para organ perusahaan
bertindak dan bagaimana mereka sebaiknya berbuat. Prinsip ini juga memberikan batasan - batasan bagi para organ perusahaan, yang apabila batasan ini tidak
diikuti dengan benar, dapat mengakibatkan hilangnya batasan tanggung jawab yang terbatas, dan bisa berubah menjadi tanggung jawab tidak terbatas. Prinsip
Piercing The Corporate Veil ini secara tegas menyibak tabir hukum perusahaan dalam hukum intern antara pemegang saham, komisaris dan direksi, terutama
dalam pertanggungjawaban mereka. Tetapi bila dilihat sejauh ini, masih sangat sulit untuk menerapkan prinsip
ini di Indonesia, hal itu terutama karena adanya perbedaan pada sistem hukum di Indonesia dengan sistem hukum Negara dimana prinsip ini dikembangkan.
Dibutuhkan penyesuaian yang sangat berat jikaingin benar - benar mereapkan prinsip ini di Indonesia. Dalam perkembangannya di era globalisasi, prinsip ini
berjalan sesuai dengan perkembangan manusia. Sebagaimana diketahui bahwa UUPT No.1 Tahun 1995 jo UUPT No.40
Tahun 2007 sampai batas - batas tertentu mengakui berlakunya prinsip Piercing The Corporate Veil ini, sungguhpun pengaturannya sangat sederhana. Penerapan
prinsip ini ke dalam suatu tindakan perseroan menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan tersebut meskipun dia berbentuk
badan hukum, tetapi pertanggungjawaban hukum juga dapat dimintakaan
Universitas Sumatera Utara
terhadap pemegang sahamnya. Bahkan penerapan prinsip ini dalam pengembangannya juga membebankan tanggung jawab hukum kepada organ
perusahaan yang lain seperti direksi dan Komisaris.
57
Tanggung jawab Direksi akibat penerapan prinsip Piercing The Corporate Veil tersebut, dari segi yang lain juga dapat dilihat sebagai akibat penerapan
doktrin Fiduciary Duty dari Direksi yang bersangkutan. Menurut UU No.40 Tahun 2007 tentang Peerseroan Terbatas, maka prinsip Piercing The Corporate
Veil dapat menyebabkan pihak Direksi yang bertanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan perseroan. Tanggung jawab karena penerapan teori tersebut
dilakukan dalam hal - hal sebagai berikut :
58
a. Direksi tidak melaksanakan Fiduciary Duty kepada perseroan.
b. Perusahaan belum dilakukan pendaftaran dan pengumuman.
c. Dokumen perhitungan tahunan tidak benar.
d. Direksi bersalah dan menyebabkan perusahaan pailit.
e. Permodalan yang tidak layak.
f. Perseroan beroperasi secara tidak layak.
2. Fiduciary Duty
Prinsip ini adalah suatu prinsip yang berasal dari sistem hukum Common Law yang mengajarkan bahwa antara direktur dengan perseroan terdapat hubungan
fiduciary. Dalam hal ini pihak direktur hanya bertindak sebagai seorang trustee atau agen semata - mata, yang mempunyai kewajiban mengabdi sepenuhnya
dengan sebaik - baiknya dengan perseroan. Tanggung jawab Direksi wajib
57
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti,2002, hlm 7-8
58
Ibid,hlm 23-27
Universitas Sumatera Utara
dilakukan berdasarkan 3 tiga prinsip yang terjalin dalam satu sistem, yaitu prinsip Fiduciary Duty, Prinsip Duty Of Care And Skill, dan Prinsip Standard Of
Care. Sebenarnya prinsip Duty Of Care And Skill dan prinsip Standart Of Care hakikatnya merupakan penerapan lebih lanjut dari prinsip Fiduciary Duty.
Chatamarasjid menyatakan, Direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan kedudukan yang diperolehnya berdasarkan dua prinsip dasar, yaitu
kepercayaan dan Duty Of Skill And Care.
59
3. Self-dealing Transaction
Prinsip fiduciary duty ini menyangkut semua tugas Direksi, baik tugas menajemen maupun tugas repesentasi mewakili perseroan. Berarti Direksi jelas
harus mempunyai kemampuan - kemampuan yang mendukung tugas itu, yaitu duty of care and skill, itikad, kejujuran dan loyalitas kepada perusahaan. Duty of
care sendiri mencerminkan sikap kehati - hatian yang harus dimiliki Direksi dalam mngikuti prosedur yang berlaku dan dalam mengambil kebijaka untuk
perseroan.
Prinsip ini menyangkut transaksi yang menyangkut diri direksi secara pribadi dalam menjalankan tugasnya mengurus perseroan. Transaksi ini terkadang terjadi,
antara lain transaksi yang dilakukan oleh dua perseroan yang mempunyai direksi yang sama, juga transaksi antara perusahaan holding dengan anak perusahaannya.
Sejauh ini, transaksi yang termasuk dalam kategori self-dealing transaction ini dapat berkembang sesuai dengan perkembangan dunia perusahaan.
Jika terjadi transaksi demikian, yang menjadi ketentuan akan tindakan direksi adalah :
59
Hlm.88
Universitas Sumatera Utara
1. Pasal 92 ayat 1 dan 2 UU Nomor 40 tahun 2007 tentang PT
a. Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. b.
Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam
batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan atau anggaran dasar.
2. Pasal 97 ayat 1, 2 dan 3 UU PT
a. Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 ayat 1. b.
Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
c. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas
kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat 2. Memang tidak ada larangan akan transaksi yang berkaitan dengan diri
pribadi direksi seperti yang disebutkan diatas. Tetapi direksi jelas tidak boleh melanggar asas fiduciary duty sebagaimana diamanatkan dalam UU PT, dan
direksi harus tetap berpegang pada standard of care. Jika direksi melanggar prinsip ini, direksi yang bersangkutan dapat dituntut pertanggungjawabannya
untuk perbuatan itu. 4. Corporate Opportunity
Universitas Sumatera Utara
Prinsip ini adalah prinsip tentang moral jabatan. Munir fuady memberikan batasan terhadap prinsip corporate Opportunity ini, yaitu seorang direktur,
komisaris atau staff perseroan lainnya ataupun pemegang saham utama tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk mengambil keuntungan pribadi
manakala tindakan yang dilakukan oleh perseroan dalam menjalankan bisnisnya itu.
60
Moral yang dipesan dalam prinsip ini adalah kejujuran dalam menjalankan amanah sebagai pemegang jabatan. Prinsip ini sejalan dengan prinsip - prinsip
larangan korupsi, kolusi dan nepotisme, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana Korupsi jo UU no 28
tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dar Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Inti dari prinsip ini adalah larangan penyalahgunaan jabatan apapun untuk kepentingan dirinya pribadi, keluarganya, dan kelompoknya. Berdasarkan tugas
direksi, memang sudah seharusnya direksi melakukan perbuatan yang menguntungkan perusahaan. Jadi bila direksi dan organ perusahaan lainnya
membelokkan keuntungan yang seharusnya diperoleh perusahaan menjadi keuntungan pribadi direksi, maka kepada direksi yang bersangkutan juga dapat
dimintai pertanggung jawaban oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perbuatan yang dilakukan direksi tersebut.
61
Prinsip ini mengajarkan bahwa perseroan tidak dapat melakukan kegiatan ke luar dari kekuasaan perseroan. Kekuasaan perseroan termuat secara rinci dalam
5. Ultra Vires
60
Munir Fuady, Perseroan Terbatas…..,hlm.94
61
Ibid, hlm.94-95
Universitas Sumatera Utara
Anggaran dasar. Oleh karena itu perseroan tidak boleh melakukan kegiatan diluar kekuasaannya yang termuat dalam Anggaran Dasar.
6. Insider Trading
Terdapat tiga komponen pokok dalam pelaksanaan prinsip Insider Trading ini, yaitu alasan adanya Insider, informasi fakta material bukan untuk umum dan
adanya transaksi. Pengertian luas dari kewajiban direksi untuk melakukan kepengurusan perseroan secara beritikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 85
ayat 1 UUPT mencakup juga bahwa dalam pengurusan perseroan, direksi wajar menghindari prinsip insider trading ini. Prinsip insider trading ini hakikatnya lebih
banyak dikenal berkaitan dengan perseroan yang telah go - public. Tetapi sangat disayangkan karena belum ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
menyinggung tentang prinsip Insider Trading.
E. Tanggung jawab Direksi dalam penjualan saham PT Persero Go-