Dalam kaitan dengan isu nonproliferasi nuklir, Indonesia dihadapkan pada pilihan kebijakan luar negeri yang dapat diambil. Akan tetapi setiap pengambilan
kebijakan luar negeri memiliki konsekuensi, oleh karena itu harus berdasarkan pada kepentingan nasional. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa permasalahan yang
dihadapi Indonesia terkait dengan NPT adalah tindakan apa yang harus dilakukan oleh Indonesia sebagai negara yang berdaulat terhadap perjanjian yang melibatkan
banyak negara dan berkaitan dengan kemanan internasional.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan maka perumusan masalah adalah: 1. Bagaimanakah kebijakan luar negeri Indonesia berdasarkan pada model
atau teori pengambilan keputusan dalam kebijakan luar negeri terhadap NonProliferation Treaty
NPT atau Perjanjian Nonproliferasi Nuklir? 2. Apa sajakah alternatif kebijakan luar negeri yang dapat dilakukan Indonesia
terhadap Perjanjian Nonproliferasi Nuklir NPT? 3. Apakah Indonesia meratifikasi Perjanjian Nonproliferasi Nuklir NPT
berdasarkan Konferensi Peninjauan Perjanjian Nonproliferasi Nuklir NPT pada tahun 2010?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini yaitu:
mengetahui dan menganalisis posisi dan kebijakan luar negeri Indonesia terhadap perjanjian nonproliferasi nuklir NPT berdasarkan pada teori yang
ada.
2. Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:
a. Bagi penulis, manfaat penelitian ini adalah melatih kemampuan dalam menganalisis secara ilmiah mengenai ilmu politik khususnya yang
berkaitan tentang kebijakan luar negeri Indonesia terhadap isu khusus seperti Perjanjian Nonproliferasi Nuklir.
b. Bagi peneliti lain, manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan perbandingan dalam meneliti masalah yang sama dalam penelitian di
masa yang datang.
D. Kerangaka Pemikiran
1. Kepentingan Nasional William D. Copplin mengemukakan kepentingan nasional sebagai berikut:
“Masalah-masalah perspektif yang mengitari perdebatan yang mengitari konsep kepentingan nasional berkaitan dengan kepentingan-kepentingan yang harus
diwakili, defenisi-defenisi eksak dari kepentingan kolektif bangsa dan cara merumuskan kebijakan untuk menangani interaksi dimana kepentingan subnasional
kelompok-kelompok dan kepentingan kolektif bangsa.”
10
“Menurut Frankel, hakikat kepentingan nasional adalah sebagai keseluruhan yang hendak ditegakkan oleh suatu bangsa.”
11
Frankel mengatakan kepentingan nasional dapat memberikan gambaran tentang aspirasi negara, kepentingan nasional bisa
dipergunkan secara operasional yang dapat dilihat dalam pelaksanaannya pada kebijaksanaan yang nyata dan rencana yang dituju. Pada akhirnya kebijaksanaan
maupun rencana yang dituju berorientasi kepada kepentingan nasional. Kepentingan nasional secara konseptual dapat menjelaskan perilaku politik luar negeri. Arti
minimum yang inheren dengan konsep kepentingan nasional adalah keberlangsungan hidup survival.
12
Maka dalam kaitan ini Hans J. Morgenthau
10
Wiliam D. Coplin. 1992. Pengantar Politik Suatu Telaah Teoritis terj Mersedes Marbun. Bandung: Bina Cipta. hal. 446.
11
Ibid., hal.143
12
P. Anthonius Sitepu. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal.165
14
Ibid., hal. 165.
mengatakan bahwa kemampuan minimum bangsabangsa adalah untuk melindungi identitas fisik, politik dan identitas budaya mereka oleh gangguannegara-negara
lain.
14
Secara common sense kebijakan luar negeri senatiasa diabadikan untuk kepentingan nasional tetapi kita tidak memperoleh informasi yang substantive
dengan pernyataan seperti itu.
13
Konsep kepentingan nasional merupakan salah satu konsep yang maknanya sangat mengambang vague tergantung siapa yang
mendefinisikannya. Oleh karena itu, para ahli studi kebijakan luar negeri mencoba memberikan pengertian konsep ini dengan dibuatnya kriteria.
“Miroslav Nincic dalam buku Studi Hubungan Internasional
memperkenalkan tiga kriteria atau yang disebut sebagai asumsi dasar yang harus dipenuhi dalam memberikan pengertian tentang kepentingan nasional.
14
1. Pertama, kepentingan itu harus bersifat vital sehingga pencapainnya menjadi prioritas utama pemrintah dan masyarakat.
2. Kedua, kepentingan tersebut harus berkaitan dengan lingkungan internasional.
3. Ketiga, kepentingan nasional harus melampaui kepentingan yang bersifat partikularistik dari individu, kelompok, atau lembaga pemrintahan
sehingga menjadi kepeduliaan masyarakat secara keseluruhan.”
15
Kepentingan nasional dapat dibedakan atas lima yaitu: 1. Pertama yaitu kepentingan strategis yaitu yang mencakup pertahanan
keamanan territorial negara serta usaha untuk mempertahankan perimbangan kekuatan baik global maupun regional yang menguntungkan
2. Kedua yaitu kepentingan politik yang antara lain mencakup upaya untuk mempertahankan kekuasaan
13
P. Anthonius Sitepu, op.cit., hal. 67.
14
Ibid., hal. 67.
15
Ibid., hal. 67.
3. Ketiga yaitu kepentingan ekonomi yang mencakup usaha distribusi kekayaan internasional yang seadil-adilnya.
4. Keempat kepentingan hukum yaitu usaha untuk memperthankan perjanjian nasional yang menjamin hak-hak setiap negara.
5. Kelima, kepentingan ideologis yang antara lain mencakup upaya menyebarluaskan falsafah hidup atau ideologi politik negara tersebut serta
upaya menagkal pengaruh negative yang datang dari luar.
16
“Kepentingan nasional sangat luas cakupannya dan karena itu harus dijabarkan ke dalam tujuan kebijakan luar negeri foreign policy objectives yang
lebih spesifik dan dapat diukur tingkat keberhasilan pencapainnya.”
17
Setiap pemerintah tentu saja memiliki prioritas kebijakan nasional yang ingin dicapai selama memiliki kekuasaan. Sebagai alat pemerintah maka Departemen
Luar negeri diharapkan bisa merumuskan tujuan kebijakan luar ngeri dalam memberikan dukungan setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah. Pencapaian
tujuan kebijakan luar negeri suatu negara sangat ditentukan oleh peluang dan kendala yang ada di lingkungan eksternalanya. Pemerintah harus dapat
mengidentifikasi peluang yang ada untuk tercapinaya tujuan nasional. Pembuat dan pelaksana kebijakan luar negeri diharapkan dapat memaksimalkan peluang yang ada
di dalam persaingan global yang terjadi dengan ketat sekaligus mengurangi ataupun menyelesaikan kendala yang terjadi.
Dalam memperjuangkan kepentingan nasional dalam tataran internasional, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY memiliki serangkaian pilihan dalam
menentukan perilaku Indonesia dalam konteks regional maupun global baik yang berskala bilateral dan multilateral.
18
Kepentingan nasional mengandung nilai-nilai
16
Riza Sihbudi. 1997. Timur Tengah. Jakarta: Gema Insan Press. hal. 8-9.
17
Riza Sihbudi, op. cit., hal 69.
18
2005. “Politik Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono”. Jurnal Penelitian Ilmu Politik. Vol. 2. No.1. LIPI. hal. 52.
yang merupakan dasar bagi suatu negara untuk dipergunakan dalam mencapai sasaran ataupun strategi yang telah dirumuskan.
19
Dalam pandangan para pendiri Republik Indonesia kepentingan nasional harus didasarkan pada prinsip yang lebih mendasar yang merupakan kepentingan
bersama antarbangsa yaitu perdamaian abadi dan keadilan sosial.
2. Kapabilitas Nasional National Capabilities Dalam mengatasi kendala-kendala yang dihadapinya dalam lingkungan
eksternal, tidak semua negara dapat berhasil mengatasi kendala-kendala yang dihadapinya. Hal ini ditentukan oleh konsep lain yang terkait dengan kebijakan luar
negeri yaitu kapabilitas nasional. “Di tengah arus globalisasi yang penuh dengan persainagn dan meningkatnya ancaman keamanan nontradisional suatu negra
dituntut untuk meningkatkan kapabilitas nasional dalam berbagai aspeknya.”
20
Dalam kaitan ini yang dimaksudkan kendala ataupun hambatan untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri adalah situasi yang menciptakan kesulitan bagi aktor
dalam mencapai tujuannya. Kendala eksternal atau dari luar dapat timbul dari negra- negara tetangga yang menunjukkan sikap ataupun tindakan permusuhan yang secra
sengaja bisa memberikan hambatan pencpaian tujuan negara saingannya. Selain kendala dari luar terdapat kendala dari dalam internal yaitu berkaitan dengan
dengan situasi kondisi domestik suatu negara serta kemmapuan pemerintahnya dalam menggerakkan sumber daya yang tersedia untuk tercapainya tujuan kebijakan
luar negeri.
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi menyusun suatu kerangka analisis sederhana berdasarkan suatu hipotesis bhawa pencapaian tujuan kebijakan luar
negeri sangat ditentukan oleh keterkaitan antara konsep kepentingan nasional yang menjadi acuan perumusan kebijakan luar negeri, peluang dan kendala yang ada di
lingkungan eksternal dan internal, serta kapabilitas nasional untuk mewujudkan
19
Sufri Yusuf. 1989. Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri, Sebuah Anlitis Teoritis dan Uraian Tentang Pelaksanaannya
. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 30.
20
Aleksisus Jemadu, op.cit., hal. 72
pencapaian tujuan tersebut. Gambar 1.1 di bawah ini menjelaskan konsep-konsep tersebut.
21
Pluralism, Globalism. New York: Macmillan Publishing Company. hal. 86.
Untuk mendapatkan gambaran yang nyata mengenai kapabilitas nasional dalam mewujudkan tujuan kebijakan luar negeri maka diperlukan unsur-unsur yang
utama mengenai kapabilitas nasional suatu negara. “Biasanya para ahli Hubungan Internasional membaginya ke dalam dua bagian yang besar yaitu kapabilitas
nasional yang bersifat tangible atau nyata, dapat diamati secara empiris, dengan indikator pengukuran yang jelas dan yang bersifat intangible abstrak,
pengukurannya bersifat kualitatif.”
22
“Dalam perkembagan terakhir beberapa penulis memperkenalkan perbedaan antara hard power kekuataan militer dan
teknologi dan soft power nilai-nilai, kebudayaan, dan pola konsumsi dimana
21
Paul R Viotti dan Mark V Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism.1990. New York: Macmillan Publishing Company. hal. 86.
22
Aleksisus Jemadu, op.cit., hal. 77.
25
Ibid., hal. 77.
Sumber: Relations
International 1992.
Kauppi. V
Mark dan
Viotti R
Paul Theory:
Realism,
Kepentingan Nasional
Peluang Tujuan
Kebijakan Luar Negeri
Ancaman
Kapabilitas Nas ional
kedua-duanya penting dalam pencapaian tujuan kebijakan luar ngeri dalam era gobalisasi sekarang ini.”
25
Paul R. Viotti dan Mark V Kauppi mengatakan ada empat kategori kapabilitas nasional suatu negara yaitu:
a. Kapabilitas politik. Yang termasuk kapabilitas politik adalah sumber daya manusia, teknologi komunikasi, reputasi atau citra suatau negra di mata
internasional, dan hakekat budaya politik dan sistem politiknya.
b. Kapabilitas sosial dan budaya suatau masyarakat terdiri dari tingkat kohesi sosialnya, tingkat pendidikan, sistem nilai yang dianut, etos kerja
dan sikap positifnya terhadap kemajuan
c. Kapabilitas yang berkaitan dengan faktor geografi, ekonomi , dan teknologi. Faktor geografi dan ekonomi biasnaaya diukur dalam GNP
Gross National Product, dan penguasaan teknologi khususnya teknologi yang memberikan nilai tambah atau value added yang tinggi kepada
komoditi ekspornya.
d. Kapabilitas militer. Kapabilitas militer sebagai unsur kapabilitas nasional terdiri dari kemampuan senjata konvensional dan senjata nuklir.
23
Tatkala Indonesia telah menemukan kerangka politik domestik yang relatif bersifat permanen, inilah saat yang terbaik untuk membangun kapabilitas nasional
sebgai basis pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif yang lebih solid dan sustainable
. Politik luar negeri bebas aktif dan pembangunan nasional kapabilitas nasional tidak bisa dilihat sebagai dua hal yang terpisah tetapi merupakan satu
kesatuan yang harus berjalan secara simultan.
24
3. Diplomasi
23
Aleksius Jemadu, op.cit., hal. 72.
24
Aleksius Jemadu, op.cit., hal. 90.
Diplomasi telah lama diabaikan sebagai suatu keasyikan teori internasional. Diplomasi dapat difokuskan pada tawar menawar atas sengketa antar negara dan
membuat dua perbedaan diplomasi. Salah satunya adalah antara diplomasi sebagai independen dan sebagai variabel dependen. Analisis diplomasi sebagai praktek studi
independen variabel diplomatik sebagai pengaruh kausal. Seperti ketika
Ibid -509
mengatasi tekanan yang meningkatkan bahaya perang atau kebuntuan. Perspektif ini penting untuk mengembangkan sudut pandang diplomatik. Analisis diplomasi
terikat adalah sibuk dengan kendala pada kenegaraan diplomatik dan dengan adaptasi mereka. Perbedaan kedua adalah antara tawar-menawar negosiasi, untuk
mendamaikan kepentingan negara divergen, dan non-negosiasi tawar yang menyatu pada kepentingan bersama antara negara.
25
Esai berdiam pada hubungan antara diplomasi independen dan tawar dinegosiasikan, di satu tangan, diplomasi dan
tergantung dan tawar konvergen, di sisi lain. Tidak ada bidang politik dunia telah mencerminkan menimbulkan kesenjangan pengalaman dan teori dari tata negara
diplomatik. Hal ini telah menempatkan siswa kenegaraan diplomatik semakin keluar dari fase dengan lainnya analis hubungan internasional yang bertujuan
terkontrol perbandingan, penjelasan yang lebih luas, dan wawasan kumulatif. Ada berbagai alasan untuk kondisi ini. Pertama, siswa diplomasi belum berorientasi
secara teoritis.Mereka memiliki menekankan variabilitas ekstrim, dan akibatnya kesulitan mencapai empiris generalisasi. Dari semua cabang usaha manusia ,
Harold Nicolson menulis untuk mendukung pandangan ini, adalah diplomasi yang paling protean. Kedua, mereka yang paling berkomitmen untuk teori internasional
yang komprehensif telah dikecualikan dari diplomasi mereka generalisasi dengan alasan bahwa itu terlalu tidak pasti dan tak terduga.
26
Misalnya, John Mearsheimer, teoritikus neorealist terkemuka, mengkritik sistem multipolar karena dalam
kekuatan koalisi mereka akan sangat tergantung pada keanehan diplomasi’. Alasan ketiga untuk kegagalan untuk belajar diplomasi secara teoritis adalah bahwa mereka
berkomitmen untuk melakukan hal tersebut belum memberikan landasan yang memuaskan
27
. Misalnya, Hans Morgenthau, yang dianggap diplomatik kenegaraan sebagai pusat perdamaian internasional, menekankan kontras antara, di satu sisi,
25
Barry H. Steiner. 2003. “Diplomacy and International Theory”. Review of International Studies 30. 4. hal. 493-509
.
26
Barry H. Steiner, op.cit., hal.493-509
27
., hal. 493
potensi klasik diplomasi untuk mengurangi politik kekuasaan, dan di sisi lain, gerhana diplomasi selama Perang Soviet-Amerika Dingin.
28
Diplomasi sering disebut sebagai perpanjangan dari situasi domestik. Kinerja diplomasi Indonesia di forum internasional tidaklah terlepas dari dukungan
domestik yang semakin menyadari pengaruh dinamika hubungan internasional terhadap kondisi di dalam negeri, dan begitu pun sebaliknya. Dukungan domestik
ini merupakan bentuk sinergi segenap komponen bangsa Indonesia Incorporated untuk mewujudkan kepentingan nasional Indonesia, termasuk melalui praktik
diplomasi.
Dalam era demokratisasi dan globalisasi saat ini pelaksanaan hubungan luar negeri dan diplomasi tidak lagi menjadi monopoli pemerintah. Pada masa lalu
dominasi pemimpin dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri telah memarjinalkan peranan aktor nonnegara. Saat ini paradigma diplomasi harus
diubah dengan menjadikan rakyat sebagai pemangku kepentingan yang sah dari perumusan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri. Konsep yang sering
digabungkan tetapi tidak jelas pelaksanaanya adalah total diplomacy dimana seluruh potensi dan elemen bangsa baik lembaga pemerintah maupun
nonpemerintah mengambil bagian dalam memperjuangkan kepentingan nasional dalam percaturan ekonomi dan politik global. Pelaksanaan total diplomacy
memerlukan koordinasi yang efektif agar tidak terjadi konflik kepentingan yang merugikan pencapaian kepentingan nasional.
29
a. Diplomasi sebagai variabel dependen Diplomasi sebagai variabel terikat mengacu pada konsekuensi dari kendala
tertentuuntuk kemampuan negara untuk mengatasi perselisihan diplomatik dengan negara lain. Kendala memiliki efek baik sebagai kemungkinan, dengan beberapa
program aksi yang dibuat lebih sulit atau tidak mungkin oleh kendala dan lain-lain
28
Ibid., hal. 493-509
29
Barry H. Steiner, op.cit., hal.493-509
Ibid ., hal. 493-509
Ibid ., hal. 493-509
lebih mudah untuk dicapai atau baru mungkin; probabilitas atau seperti itu, karena perubahan lingkungan, kursus ditentukan tindakan diplomatik akan diambil dan
lain-lain.
30
Untuk menggambarkan penggunaan diplomasi sebagai variabel terikat, kita mempelajari sini pernyataan bahwa norma-norma diplomasi klasik Eropa, berasal
dari abad kedelapan belas, memiliki dampak yang menurun terhadap perilaku negara untuk beberapa waktu karena intervensi perkembangan modern. Norma
norma klasik termasuk 1 menjaga lima kekuatan besar di Eropa, 2 membatasi perang dengan membatasi komandan di lapangan, dan 3 membatasi ambisi negara
dengan memperkuat keseimbangan power.
31
Gordon Craig dan Alexander George berdebat dalam studi mereka Angkatan, dan tata negara itu, mulai sekitar 1890,
revolusi diplomatik adalah disebabkan oleh perubahan teknologi, pada dasarnya publik pada diplomasi dan diplomat, di intrusi isu ekonomi yang kompleks dan
teknis ke dalam dunia politik, dan dalam kebangkitan para pemimpin ideologis- termotivasi. Mereka mempertahankan bahwa perkembangan ini, bila digabungkan,
diplomat melemah dan pemerintah komitmen pada normanorma diplomatik yang lebih tua, fleksibilitas diplomatik berkurang, dan memberikan kontribusi terhadap
perang dan konflik diintensifkan.
35
Dalam menunjukkan bagaimana variabel dependen, kemampuan diplomatik untuk meredakan konfrontasi telah terpengaruh oleh revolusi diplomatik, Craig dan
George dicatat bahkan manajemen krisis telah rumit oleh kesulitan modern mengendalikan sekutu kekuatan militer, memperlambat tempo aksi militer,
koordinasi
bergerak militer dan diplomatik, dan melawan insentif untuk preemptive militer tindakan dan militer solusi.
36
Kasus terkenal pecahnya Perang Dunia Pertama menggambarkan keempat masalah ini. Mungkin hipotesis bahwa, sebagai
akibat masalah ini sama, revolusi diplomatik diberikan diplomat dan pemerintah
30
Ibid., hal. 493-50.
31
Barry H. Steiner, op.cit., hal.493-509
kurang mampu meredakan krisis dengan cara damai. Jika demikian, yang lebih besar proporsi konfrontasi antara kekuatan besar di abad kedua puluh
35 36
Ibid ., hal. 493-509
Ibid ., hal. 493-509
akan telah berakhir dalam perang daripada selama periode klasik. Craig dan George memasok sejarah gambaran yang tampaknya disconfirm hipotesis ini. Mereka
mencatat bagaimana yang kekuatan utama terlibat dalam peperangan hampir terus- menerus terhadap satu sama lain selama periode klasik kedelapan belas dan pada
periode Perang Dingin dua ratus tahun kemudian, pada saat revolusi diplomatik telah diduga diambil root, manajemen krisis yang sukses menjadi ciri dari Soviet-
Amerika.
32
Soviet-Amerika perdamaian tetap bertahan selama lebih dari empat puluh tahun Dingin berbahaya Perang kondisi, di mana - menurut Craig dan George
– internasional sistem ini secara normatif berfokus pada keprihatinan negara adidaya bersama tentang krisis manajemen untuk mencegah Perang Dunia Ketiga.
33
Untuk hipotesis hubungan antara revolusi diplomatik dan damai atau perang adalah untuk memahami varians dalam variabel dependen dalam hal hasil krisis.
Demikian link, jika didirikan, akan menampilkan dampak revolusi diplomatik pada krisis manajemen dalam bentuk yang terkuat.
34
Tetapi jika revolusi diplomatik tidak jelas terkait dengan hasil krisis, namun demikian dapat mempengaruhi diplomasi
dengan memperkenalkan seperti tekanan sebagai tenggat waktu perang, kehilangan fleksibilitas, dan berbagai saluran komunikasi.
40
Mungkin hipotesis bahwa tekanan-tekanan ini membuat krisis lebih berbahaya tetapi tidak hasil krisis mentakdirkan. Untuk menyatakan hubungan
antara revolusi diplomatik dan proses interaksi antara pemerintah dalam bentuk yang lebih lemah adalah menempatkan fokus pada respon dari para diplomat dan
pemerintah untuk tekanan yang lebih baru.
41
Mungkin salah satu respon adalah kepasifan diplomatik, yaitu untuk mengatakan, diplomat dan pemerintah adalah
32
Barry H. Steiner, op.cit., hal.493-509
33
Ibid., hal. 493-509
34
Ibid., hal. 493-509
Barry H. Steiner, op.cit
bingung dengan tekanan dan mampu atau tidak mau beradaptasi dengan mereka. Kecepatan yang dengan mana pembunuhan Archduke Ferdinand pada Juli 1914
40 41
diikuti dengan pecahnya perang besar mungkin mengatakan kebingungan tersebut.
35
Ketika Morgenthau dijelaskan diplomasi selama Soviet-Amerika Perang Dingin sebagai usang, ia tampaknya menerima bahwa posisi yang sama. Namun,
bahkan jika perang terjadi sebagai konsekuensi tekanan krisis baru, ini tidak cukup untuk mendukung kesimpulan bahwa diplomatik norma dan upaya itu tidak
signifikan. Menurut Richard N. Lebow, yang paling fitur yang luar biasa dari Jerman pengambilan keputusan pada tahun 1914 adalah kesulitan besar Jerman
pemimpin berpengalaman dalam akan perang; bahwa kesulitan dapat didamaikan dengan tua sistem norma-norma. Selanjutnya, sikap pasif hanya dapat menjelaskan
krisis sukses manajemen dengan mengacu pada keadaan kebetulan. Dengan mengacu pada catatan sukses dari Soviet-Amerika manajemen krisis, baik
fortuitousness atau ketakutan perang nuklir beberapa penjelasan yang memadai. Craig dan George untuk bagian mereka menolak seperti asumsi pasif diplomatic
dalam konteks ini. Mereka bukan menyimpulkan jauh lebih sedikit pesimis daripada pembahasan yang penuh teori menunjukkan bahwa Revolusi diplomatik
telah baik rumit dan dibantu kemampuan negarawan untuk membatasi gerakan militer dalam krisis dengan yang merupakan demonstrasi jelas dari tekad mereka
dan sesuai untuk mereka yang terbatas tujuan. Negarawan dibantu, mereka amati, dengan ketersediaan lebih sumber intelijen canggih menyediakan sarana yang lebih
jelas untuk top para pengambil keputusan untuk mengevaluasi gerakan militer sisi yang berlawanan itu.
36
Alih-alih menjadi kendala negatif murni dan tidak dicampur,
35
Barry H. Steiner, op.cit., hal.493-509
36
44
Ibid ., hal. 493-509
Ibid ., hal. 493-509
teknologi berfungsi sebagai kesempatan bagi para pemimpin untuk mengkompensasi kondisi militer dan politik mempengaruhi kebebasan mereka
untuk tindakan. Kesimpulan semacam, yang membantu menjelaskan berulang Soviet-Amerika sukses dalam manajemen krisis, menimbulkan dilema bagi mereka
analitis mempelajari diplomasi sebagai variabel dependen.
44
Di satu sisi, penekanan pada kekuatan kendala dan pada kelemahan yang dihasilkan dalam variabel
dependen tidak harus mengarah pada asumsi bahwa yang terakhir diinformasikan oleh sikap pasif saja. Di sisi lain, lebih diplomasi yang dipahami sebagai beradaptasi
atau mengkompensasi kendala di lingkungan internasional, semakin sedikit masalah bagi stabilitas internasional kendala tersebut tampaknya. Craig dan George
tampaknya dua pikiran tentang hal ini. Dalam gambaran mereka sejarah internasional, fokus mereka - konsisten dengan revolusi diplomatik - adalah dengan
diplomasi semakin di teluk, menghambat dalam mencapai apa yang telah terutama dicapai dalam abad kesembilan belas, yaitu akomodasi, damai utama perselisihan.
Teka-teki di sini adalah diplomasi itu tetap efektif selama krisis meskipun kendala meningkat. Kemampuan diplomat dan pemerintah untuk beradaptasi dan untuk
mengambil keuntungan dari peluang baru ditemukan tampaknya menjadi bagian dari jawaban atas teka-teki ini. Namun, menetapkan dampak revolusi diplomatik
akan lebih sulit ketika telah ada pertimbangan tentang peluang serta keterbatasan yang mempengaruhi diplomatik perilaku, karena saluran pengaruh diperhitungkan
adalah lebih banyak. Sebaliknya, di sebagian dari Angkatan, dan tata negara di mana perhatian secara keseluruhan untuk menerapkan pengetahuan untuk tata
negara, sehingga untuk meningkatkan peluang sukses krisis manajemen di antara tujuan-tujuan lain, Craig dan George fokus pada peluang tersedia bagi negara, dan
terutama pada informasi tentang bagaimana kebijakan miliki dan tidak bekerja di masa lalu
37
. Pendekatan ini menyoroti bagaimana pergeseran internasional perkembangan mungkin kurang penting untuk manajemen krisis daripada
kesediaan dan kemampuan dari pembuat kebijakan untuk belajar dari kesalahan
37
., hal.493-509
Barry H. Steiner, op.cit
masa lalu mereka. Berikut teka-teki adalah bagaimana pembuat kebijakan belajar untuk mengatasi kendala internasional, dan mengapa mereka melakukan atau tidak
berbuat lebih baik pada kurva belajar. Teka-teki ini dipecahkan dengan penemuan, melalui sempit, kasus yang berfokus pada analisis, kebijakan yang relevan
persamaan dan perbedaan muncul dalam berbagai kasus. Craig dan George sebenarnya berpendapat dalam hubungan ini
Barry H. Steiner, op.cit
untuk lebih terbatas, kasus-grounded teori, bukan untuk yang lebih kompleks dan lebih luas proposisi seperti bahwa dari revolusi diplomatic.
b. Diplomasi sebagai variabel independen Martin Wight memahami diplomasi sebagai variabel independen ketika,
kontras keniscayaan perang pada umumnya dan preventability perang khusus, ia berpendapat bahwa perbedaan antara mereka ini dapat dijelaskan oleh tata negara
diplomatik. Ini tugas diplomasi , ia menulis, untuk menghindari kesempatan perang, dan untuk memperpanjang rangkaian dielakkan kesempatan, untuk
mendorong mobil negara sepanjang satu arah sebuah lagu, terhadap kepala-on lalu lintas, tebing jauh lebih berulang masa lalu . Dalam abad kesembilan belas, seperti
pada pentingnya pertengahan kedua puluh, dari diplomatik independen aksi langsung berhubungan dengan besarnya ancaman besar daya perang. Dan
sementara diplomasi itu tentu bekerja seperti yang sebelumnya untuk propaganda, penipuan dan gamesmanship, pentingnya yang lebih besar adalah untuk melawan
yang berlaku gelombang konflik pada saat kebutuhan terbesar. Manajemen krisis dimensi diplomasi khususnya dapat sepenuhnya diperiksa, tampaknya, hanya
dengan memahami diplomasi sebagai variabel independen - yang mengatakan, penggunaan kenegarawanan untuk melawan melayang untuk perang, persaingan,
dan ketidakpercayaan - dengan mencapai perjanjian kerjasama meskipun orangkecenderungan. Jika diplomasi circumvents kesempatan, maka keuntungan
intrinsik dalam perjanjian kurang penting daripada menghindari rincian dari diskusi. Semakin besar risiko dan bahaya seperti gangguan, dan karena itu lebih bisa
diterima kegagalan diplomatik, lebih dimengerti adalah fokus pada diplomasi sebagai variabel independen.
38
Meskipun mengobati diplomasi sebagai variabel dependen dalam hubungannya dengan revolusi diplomatik, Craig dan George
38
., hal.493-509.
Barry H. Steiner, op.cit
muncul untuk memperlakukannya sebagai variabel independen dalam kaitannya dengan persyaratan manajemen krisis yang sukses, di mana konsekuensi dari
kegagalan diplomatik bisa berarti peperangan yang sangat merusak. Jika bencana adalah menjadi dihindari, mereka menulis dalam hubungannya dengan konfrontasi
negara adidaya, pengambil keputusan dalam krisis harus mampu berfungsi pada .20 tingkat yang sangat tinggi Mereka membenarkan kesimpulan terutama
oleh skala usaha yang dibutuhkan untuk menahan angkatan bersenjata ditempatkan pada perang-kesiapan tingkat. Tujuh manajemen krisis persyaratan Craig dan
George ditetapkan, empat berhubungan sepenuhnya untuk menahan diri militer - terlepas dari pilihan diplomatik. Tanpa hambatan seperti itu, sikap diplomatik yang
paling aktif yang dirancang untuk menjaga perdamaian akan memadai. Namun, perbedaan antara pasif dan diplomasi aktif memiliki pengaruh pada kesimpulan
Craig dan George bahkan jika militer menahan diri dipraktekkan. Mereka menyadari pentingnya upaya diplomatik: salah satu aturan mereka menyediakan
untuk mendamaikan bergerak diplomatik dan militer; kedua memerlukan Diplomatik-militer pilihan yang menandakan keinginan untuk bernegosiasi, bukan
untuk mencari solusi militer ; dan yang ketiga memerlukan memilih diplomatik- militer opsi yang meninggalkan lawan jalan keluar dari krisis.
39
Di dua poin terakhir mereka mengutip alasan untuk optimis: 1 karena takut meluasnya
memusnahkan peperangan, generasi saat ini para pembuat kebijakan di dunia industri cenderung menjelajahi setiap jalan yang mungkin dari negosiasi daripada
resor untuk memaksa ; dan 2 karena kemajuan komunikasi dan transportasi, pemerintah lebih baik diaktifkan untuk separat kepentingan mendasar lawan dari
retorikanya. Namun, poin terakhir tampaknya meremehkan kesulitan untuk memulai suatu aktif diplomasi di bawah waktu yang mendesak, kondisi sangat
tertekan. Secara khusus, masalah untuk menemukan solusi damai terhadap krisis kemungkinan akan menjadi rumit dengan keadaan dimana krisis telah muncul:
39
., hal.493-509
Barry H. Steiner, op.cit
paling modern krisis terjadi karena dari beberapa kegagalan diplomatik dibawa oleh bacaan yang salah dari lawan niat. Seperti Robert Jervis telah mencatat, pada awal
krisis kredibilitas lawan dan negara sendiri akan di question. Namun mempertanyakan nilai mempercayai musuh mungkin akan mencegah pemerintah
dari menjelajahi setiap mungkin jalan negosiasi. Sebaliknya, dapat diharapkan untuk berkontribusi selektif pandangan diplomatik, dan untuk menghambat
kemauan untuk mengambil keuntungan dari komunikasi link dikompromikan oleh kesalahpahaman sebelumnya. Selain itu, percaya antara musuh secara paradoks
mungkin sulit untuk membangun kembali selama krisis ketika diplomat bergerak melawan arus, sehingga untuk berbicara. Singkatnya, selain menahan diri militer,
meredakan krisis mungkin memerlukan, mustahil bahkan tidak wajar, melampaui dari yang berlaku politik lingkungan. Sementara diplomasi independen sering
tercermin dalam upaya panik dan menanjak mencegah perang, juga terlihat dalam upaya untuk membentuk hal pembelotan dan perang. Perilaku Diplomatik dapat
mempengaruhi realitas militer dengan 1 meningkatkan atau menurunkan frustrasi tingkat yang pembelotan adalah respon, 2 menambah ketergantungan pada
diplomatik sebagai lawan saluran militer; dan 3 itu sendiri menjadi sangat diperlukan berarti memfasilitasi pembelotan. Sehubungan dengan yang pertama ini,
ada banyak kasus di mana kehendak untuk cacat dikondisikan pada beberapa awal diplomatik program.
40
Pada tahun 1941, misalnya, staf angkatan laut Jepang yang ditunda menyerang terhadap Pearl Harbor untuk mengizinkan diplomat Jepang di
Washington tambahan kesempatan untuk membuat persetujuan teritorial dengan Amerika Serikat selama Timur Jauh yang akan membuat serangan itu tidak perlu.
Hanya ketika diskusi tambahan gagal untuk memecahkan kebuntuan itu staf angkatan laut melanjutkan perangnya plans. Uni Soviet pergi lebih jauh karena
dipersiapkan untuk perang di Afghanistan pada tahun 1979: dalam Oktober 1979, itu telegram niatnya untuk campur tangan ke Amerika Serikat sehingga mengukur
40
., hal.493-509.
Barry H. Steiner, op.cit
reaksi Amerika. Kegagalan Amerika untuk protes mungkin telah diambil oleh Soviet sebagai bukti bahwa Amerika Serikat tidak memiliki keberatan terhadap
intervention. Dalam
kasus ini, keputusan untuk cacat terkait baik untuk konfirmasi dari yang tidak menguntungkan diplomatik kenyataan, atau untuk mendapatkan seseorang yang
menguntungkan di mana tujuan tertentu tidak akan rusak oleh pembelotan itu. Kedua, diplomasi dapat mempengaruhi kondisi militer, bukan dengan diplomasi
utilitarian tuntutan, melainkan oleh sebuah proses yang dapat berkembang sebagai pengganti pembelotan.
41
1 Diplomasi Bilateral Di dalam kerangka diplomasi bilateral, Indonesia terus memperkuat kerjasama
kemitraan strategis dengan negara-negara mitra utama, baik dalam lingkaran konsentris terdekat di kawasan maupun di luar kawasan. Indonesia secara aktif
membahas dan menggali potensi kerjasama melalui berbagai forum seperti dalam kegiatan saling kunjung, pertemuan bilateral, regional dan multilateral antar pejabat
tinggi negara serta pelaksanaan rutin Forum Konsultasi Bilateral FKB, Sidang Komisi Bersama SKB dan kegiatan promosi TTI Trade, Tourism and Investment.
Selama tahun 2008, telah dilaksanakan sebanyak 18 kali forum Sidang Komisi Bersama SKB, 7 diantaranya pada tingkat Menteri, dan 11 pada tingkat Pejabat
Senior.
42
2 Diplomasi Regional Salah satu diplomasi bilateral yaitu tahun 2008 merupakan momen bersejarah
bagi masyarakat ASEAN karena pada tanggal 15 Desember 2008, Piagam ASEAN mulai diberlakukan. Peresmian pemberlakuan piagam pada ASEAN Special
Foreign Ministerial Meeting yang diselenggarakan di Jakarta juga diikuti dengan diperdengarkannya ASEAN Anthemlagu ASEAN untuk pertama kalinya secara
resmi.
43
41
Barry H. Steiner, op.cit., hal.493-509
42
http:www.deplu.go.idDocumentspptm202009.pdfPERNYATAAN PERS TAHUNAN MENTERI LUAR NEGERI RI PPTM 2009 Jakarta, 6 Januari 2009 RINGKASAN EKSEKUTIF,
diunduh 4 Januari 2012.
43
http:www.deplu.go.idDocumentspptm202009.pdfPERNYATAAN PERS TAHUNAN
3 Diplomasi Multilateral Keanggotaan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK-PBB untuk kurun
waktu dua tahun sejak 1 Januari 2007 telah berakhir pada tanggal 31 Desember 2008. Mengakhiri keanggotaan tidak tetap Indonesia di Dewan Keamanan PBB, selama
dua tahun Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai bridge and consensus builder
, yang pada pihak lain juga tetap kukuh memegang prinsip.
52
Keanggotaan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK-PBB merupakan amanah Konstitusi.
Keanggotaan tersebut dengan sendirinya memberikan keleluasaan bagi Indonesia untuk turut secara lebih aktif dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan
internasional, serta dengan sendirinya dalam rangka mengamankan kepentingan nasional Indonesia. Terpilihnya Indonesia sebagai anggota DK-PBB merupakan
bentuk kepercayaan masyarakat internasional kepada Indonesia atas partisipasi dan kontribusi aktif kita di dunia internasional. Keanggotaan tersebut sekaligus
merupakan refleksi pengakuan terhadap berbagai kemajuan yang dicapai di dalam negeri, termasuk pembangunan, proses demokratisasi, serta pemajuan dan
perlindungan nilai-nilai hak asasi manusia. Sebuah kepercayaan yang dengan sendirinya disertai pula dengan tanggung jawab dan adanya harapan terhadap
Indonesia.
53
4. Teori Hubungan Internasional Mengapa pembuat kebijakan dan praktisi perawatan tentang studi ilmiah
hubungan internasional? Mereka yang melakukan kebijakan luar negeri sering mengabaikan teori akademik sering, seseorang harus mengakui, dengan alasan
yang baik, tetapi ada link tak terhindarkan antara dunia abstrak dari teori dan
MENTERI LUAR NEGERI RI PPTM 2009 Jakarta, 6 Januari 2009 RINGKASAN EKSEKUTIF, diunduh 4 Januari 201
52
Ibid.,
53
Ibid.,
dunia nyata kebijakan. Kita perlu teori-teori untuk memahami badai salju informasi yang membombardir kita setiap hari. Bahkan pembuat kebijakan yang menghina
teori harus bergantung pada mereka sendiri sering tak tertulis ide tentang bagaimana dunia bekerja untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Sulit untuk
membuat kebijakan yang baik jika prinsip-prinsip dasar seseorang pengorganisasian adalah cacat, hanya karena sulit untuk membangun teori-teori yang baik tanpa
mengetahui banyak tentang dunia nyata. Semua orang menggunakan teori-apakah dia tahu atau tidak-dan perbedaan pendapat mengenai kebijakan biasanya
beristirahat pada perbedaan pendapat yang mendasar tentang kekuatan dasar yang membentuk hasil internasional.
44
Studi tentang hubungan internasional paling baik dipahami sebagai persaingan berkepanjangan antara realis, liberal, dan tradisi radikal. Realisme menekankan
kecenderungan abadi bagi konflik antara negara; liberalisme mengidentifikasi beberapa cara untuk mengurangi kecenderungan konflik, dan tradisi radikal
menjelaskan bagaimana seluruh sistem hubungan negara mungkin berubah. Batas- batas antara tradisi dan sejumlah karya penting tidak cocok dengan salah satu dari
mereka, tapi perdebatan di dalam dan di antara mereka sebagian besar telah didefinisikan disiplin.
45
a. Realisme Realisme adalah tradisi teoritis yang dominan selama Perang Dingin. Ini
menggambarkan hubungan internasional sebagai perebutan kekuasaan antara negara-negara selfinterested dan umumnya pesimis tentang prospek untuk
menghilangkan konflik dan perang. Realisme mendominasi di tahun-tahun Perang Dingin karena memberikan penjelasan yang sederhana namun kuat untuk perang,
44
Stephen M Wal. 1998. “International relations: One world, many theories”. Scholarly Journals. Vol. 110. Washington: Washington Post Newsweek Interactive Co. hal. 29-35.
45
Ibid., hal. 29-35
aliansi, imperialisme, hambatan untuk kerjasama, dan fenomena internasional lainnya, dan karena penekanannya pada persaingan adalah konsisten dengan fitur
utama dari persaingan Amerika-Soviet.
46
Realisme bukanlah teori tunggal, tentu saja, dan berpikir realis berkembang cukup selama Perang Dingin. Klasik realis seperti Hans Morgenthau dan Reinhold
Niebuhr percaya bahwa negara, seperti manusia, memiliki keinginan untuk mendominasi orang lain, yang menyebabkan mereka untuk melawan perang.
Morgenthau juga menekankan nilai-nilai, sistem multipolar klasik, keseimbangan- of-power dan melihat persaingan bipolar antara Amerika Serikat dan Uni Soviet
sebagai sangat berbahaya.
47
Sebaliknya, neorealist teori yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz mengabaikan sifat manusia dan berfokus pada efek dari sistem internasional. Untuk
Waltz, sistem internasional terdiri dari sejumlah kekuatan besar, masingmasing berusaha untuk bertahan hidup. Karena sistem adalah anarkis yaitu, tidak ada
otoritas pusat untuk melindungi negara dari satu sama lain, setiap negara harus bertahan hidup sendiri. Waltz berpendapat bahwa kondisi ini akan menyebabkan
negara-negara yang lebih lemah untuk menyeimbangkan melawan, daripada ikut- ikutan dengan, saingan lebih kuat. Dan bertentangan dengan Morgenthau, ia
mengklaim bahwa bipolaritas lebih stabil daripada multipolaritas.
48
Sebuah perbaikan penting untuk realisme adalah penambahan teori offensedefense, sebagaimana ditentukan oleh Robert Jervis, George Quester, dan Stephen Van Evera.
Para sarjana berpendapat bahwa perang lebih mungkin ketika negara bisa menaklukkan satu sama lain dengan mudah. Ketika pertahanan lebih mudah
daripada tersinggung, namun, keamanan lebih banyak, insentif untuk memperluas menurun, dan kerja sama bisa mekar. Dan jika pertahanan memiliki keuntungan,
dan negara bisa membedakan antara senjata ofensif dan defensif, maka negara dapat memperoleh sarana untuk mempertahankan diri tanpa mengancam orang lain,
46
Stephen M. Wal, op.cit., hal. 29-35.
47
Ibid., hal. 29-35.
48
Ibid., hal. 29-35.
sehingga meredam efek dari anarki. Untuk defensif realis, menyatakan hanya berusaha untuk bertahan hidup dan kekuatan besar bisa menjamin keamanan mereka
dengan membentuk aliansi balancing dan memilih postur militer defensif seperti kekuatan nuklir pembalasan. Tidak mengherankan, Waltz dan paling neorealists
lain percaya bahwa Amerika Serikat adalah sangat aman untuk sebagian besar Perang Dingin. Ketakutan prinsip mereka adalah bahwa mungkin menyia-nyiakan
posisi yang menguntungkan dengan mengadopsi kebijakan luar negeri yang terlalu agresif.
49
Dengan demikian, pada akhir Perang Dingin, realisme pindah dari gelap merenung Morgenthau tentang sifat manusia dan diambil pada nada sedikit lebih
optimis.
50
b. Liberalisme Tantangan utama bagi realisme berasal dari keluarga yang luas dari teoriteori
liberal. Satu helai berpikir liberal berpendapat bahwa interdependensi ekonomi akan mencegah negara dari menggunakan kekuatan terhadap satu sama lain karena
perang akan mengancam kemakmuran masing-masing pihak. Sehelai kedua, sering dikaitkan dengan Presiden Woodrow Wilson, melihat penyebaran demokrasi
sebagai kunci perdamaian dunia, berdasarkan klaim bahwa negara demokratis adalah inheren lebih damai daripada negara otoriter. Sebuah teori ketiga yang lebih
baru menyatakan bahwa lembaga-lembaga internasional seperti Badan Energi Internasional dan Dana Moneter Internasional dapat membantu mengatasi perilaku
negara egois, terutama dengan mendorong negara untuk mengorbankan keuntungan langsung untuk manfaat yang lebih besar dari kerja sama abadi.
51
Meskipun beberapa kaum liberal main mata dengan gagasan bahwa aktor transnasional baru, terutama perusahaan multinasional, secara bertahap melanggar
batas kekuatan negara, liberalisme umumnya melihat negara sebagai pemain
49
Stephen M. Wal, op.cit., hal. 29-35
50
Ibid., hal. 29-35
51
Stephen M. Wal, op.cit., hal. 29-35
sentral dalam urusan internasional. Semua teori liberal tersirat bahwa kerjasama lebih luas daripada bahkan versi defensif realisme diperbolehkan, tapi tampilan
masing-masing menawarkan resep berbeda untuk mempromosikannya.
52
c. Pendekatan Radikal Sampai tahun 1980, marxisme adalah alternatif utama ke realis mainstream
dan tradisi liberal. Dimana realisme dan liberalisme mengambil sistem negara untuk diberikan, marxisme ditawarkan baik penjelasan berbeda untuk konflik
internasional dan cetak biru untuk secara mendasar mengubah tatanan internasional yang ada.
53
Teori marxis ortodoks melihat kapitalisme sebagai penyebab utama konflik internasional. Negara-negara kapitalis berjuang satu sama lain sebagai konsekuensi
dari perjuangan tak henti-hentinya mereka untuk keuntungan dan berjuang negara sosialis karena mereka melihat di dalamnya benih-benih kehancuran mereka sendiri.
Neomarxist ketergantungan teori, sebaliknya, fokus pada hubungan antara kekuatan kapitalis maju dan negara-negara kurang berkembang dan berpendapat
bahwa yang pertama-dibantu oleh sebuah aliansi sesat dengan kelas-kelas penguasa dari negara berkembang-telah tumbuh kaya dengan memanfaatkan kedua.
Solusinya adalah untuk menggulingkan kelompok elit parasit dan menginstal sebuah pemerintahan revolusioner berkomitmen untuk pengembangan otonom.
54
Kedua teori ini sebagian besar didiskreditkan sebelum Perang Dingin bahkan berakhir. Sejarah luas kerjasama ekonomi dan militer antara kekuatankekuatan
industri maju menunjukkan bahwa kapitalisme tidak pasti menyebabkan konflik. Para perpecahan pahit yang membagi dunia komunis menunjukkan bahwa
sosialisme tidak selalu meningkatkan kerukunan. Teori ketergantungan mengalami kemunduran empiris yang sama seperti itu menjadi semakin jelas bahwa, pertama,
partisipasi aktif dalam perekonomian dunia adalah rute yang lebih baik untuk
52
Ibid., hal. 29-35
53
Ibid., hal. 29-35
54
Stephen M. Wal, op.cit., hal. 29-35
kemakmuran dari pembangunan sosialis otonom, dan, kedua, banyak negara berkembang membuktikan diri cukup mampu tawar berhasil dengan perusahaan
multinasional dan lain kapitalis lembaga.
55
Sebagai marxisme menyerah pada kegagalan yang beragam, mantel diasumsikan oleh sekelompok ahli teori yang meminjam banyak dari gelombang
tulisan postmodern dalam kritik sastra dan teori sosial. Ini dekonstruksionis pendekatan secara terbuka skeptis terhadap upaya untuk menyusun teori-teori
umum atau universal seperti realisme atau liberalisme. Memang, para pendukungnya menekankan pentingnya bahasa dan wacana dalam membentuk
hasil-hasil sosial. Namun, karena para sarjana fokus awalnya pada mengkritik paradigma arus utama tetapi tidak menawarkan alternatif positif kepada mereka,
mereka tetap menjadi minoritas sadar diri pembangkang untuk sebagian besar 1980- an.
56
d. Politik Domestik Tidak semua apa yang diberikan Perang Dingin pada hubungan internasional
cocok dengan realis, liberal, atau paradigma marxis. Secara khusus, sejumlah karya penting difokuskan pada karakteristik negara, organisasi pemerintah, atau
pemimpin individu. Untai demokratis teori liberal sesuai di bawah judul ini, seperti halnya upaya ulama seperti Graham Allison dan John Steinbruner untuk
menggunakan teori organisasi dan politik birokrasi untuk menjelaskan perilaku kebijakan luar negeri, dan orang-orang Jervis, Irving Janis, dan lainnya, yang
diterapkan sosial dan kognitif psikologi. Untuk sebagian besar, usaha ini tidak berusaha untuk memberikan teori umum dari perilaku internasional, tetapi untuk
mengidentifikasi faktor-faktor lain yang mungkin menyebabkan negara untuk berperilaku bertentangan dengan prediksi dari pendekatan realis atau liberal.
Dengan demikian, banyak literatur ini harus dianggap sebagai pelengkap tiga
55
Ibid., hal. 29-35
56
Ibid., hal. 29-35
paradigma utama bukan sebagai saingan pendekatan untuk analisis sistem internasional secara keseluruhan.
57
e. Teori Konstruktivis Jika realisme dan liberalisme cenderung berfokus pada faktor-faktor material
seperti kekuatan atau perdagangan, pendekatan konstruktivis menekankan dampak dari ide. Alih-alih mengambil negara untuk diberikan dan dengan asumsi bahwa itu
hanya berusaha untuk bertahan hidup, konstruktivis menganggap kepentingan dan identitas negara sebagai produk yang sangat mudah dibentuk dari proses sejarah
yang khusus.
58
Mereka memperhatikan wacana yang berlaku s dalam masyarakat karena wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan, dan
menetapkan norma-norma yang diterima perilaku. Akibatnya, konstruktivisme sangat memperhatikan sumber-sumber perubahan, dan pendekatan ini telah banyak
menggantikan marxisme sebagai perspektif radikal unggul dalam urusan internasional.
69
Akhir Perang Dingin memainkan peran penting dalam teori konstruktivis legitimasi karena realisme dan liberalisme keduanya gagal mengantisipasi acara ini
dan punya kesulitan menjelaskannya. Konstruktivis punya penjelasan: Secara khusus, mantan Presiden Mikhail Gorbachev merevolusi kebijakan luar negeri
Soviet karena ia memeluk ide-ide baru seperti keamanan bersama. Selain itu, mengingat bahwa kita hidup di era dimana norma-norma lama
ditantang, batas-batas yang jelas sekali melarutkan, dan isu-isu identitas menjadi lebih menonjol, maka tidak mengherankan bahwa ulama telah tertarik pada
pendekatan yang menempatkan masalah ini depan dan pusat. Dari perspektif konstruktivis, pada kenyataannya, isu sentral dalam dunia pasca Perang Dingin
adalah bagaimana kelompok yang berbeda hamil identitas dan kepentingan
57
Stephen M. Wal, op.cit., hal. 29-35
58
Ibid., hal. 29-35
69
Ibid., hal. 29-35
op.cit., hal. 29-35
mereka. Meskipun daya tidak relevan, konstruktivisme menekankan bagaimana ide dan identitas diciptakan, bagaimana mereka berkembang, dan bagaimana mereka
membentuk cara menyatakan memahami dan merespon situasi mereka. Oleh karena itu, penting apakah Eropa mendefinisikan diri mereka terutama dalam hal nasional
atau kontinental, apakah Jerman dan Jepang mendefinisikan kembali masa lalu mereka dengan cara yang mendorong peran mengadopsi internasional mereka lebih
aktif, dan apakah Amerika Serikat memeluk atau menolak identitasnya sebagai polisi global.
59
Teori konstruktivis cukup beragam dan tidak menawarkan serangkaian terpadu prediksi pada salah satu masalah ini. Pada tingkat yang murni konseptual,
Alexander Wendt berpendapat bahwa konsepsi realis anarki tidak cukup menjelaskan mengapa konflik terjadi antara negara. Masalah sebenarnya adalah
bagaimana anarki dipahami-dengan kata Wendt, bahwa Anarchy apa yang membuat negara itu.
60
Lain untai teori konstruktivis berfokus pada masa depan negara teritorial, menunjukkan bahwa komunikasi transnasional dan nilai-nilai sipil
bersama yang merusak kesetiaan nasional tradisional dan menciptakan radikal bentuk-bentuk baru hubungan politik. Konstruktivis lain fokus pada peran norma,
dengan alasan bahwa hukum internasional dan prinsip-prinsip normatif lainnya telah terkikis gagasan sebelumnya kedaulatan dan mengubah tujuan yang sah yang
kekuasaan negara dapat digunakan. Tema umum di masing-masing untai adalah kapasitas wacana untuk membentuk bagaimana aktor politik mendefinisikan diri
mereka dan kepentingan mereka, dan dengan demikian mengubah perilaku mereka.
61
f. Teori Hubungan Internasional oleh Scott Burchill dan Andrew Linklater,
59
Stephen M. Wal, op.cit., hal. 29-35
60
Ibid., hal. 29-35
61
Stephen M. Wal,
op.cit., hal. 29-35
dengan Richard Devetak, Matthew Paterson dan Jacqui Benar Dalam disiplin ditandai dengan debat intens dan kompleks antara perspektif
teoritis, ikhtisar selalu diterima. Teori Hubungan Internasional adalah kompilasi tinjauan terutama koheren dari penerapan sejumlah perspektif teoritis utama dalam
IR.
62
Teori-teori yang dibahas adalah Realisme dan Neo-Realisme, Internasionalisme Liberal, Rasionalisme, Marxisme, Teori Kritis Frankfurt
School, Postmodernisme, Feminisme dan Politik Hijau.
63
Teori Hubungan Internasional dimulai dengan pengenalan yang solid untuk masalah sulit meta-teori teori tentang teori dari Scott Burchill. Scott Burchill
mengidentifikasi isu-isu yang bersangkutan dengan cara yang mudah diakses dan secara intelektual jujur dan sederhana. Gaya ini dilakukan di sebagian besar babbab
berikutnya, dan ini adalah salah satu kekuatan besar buku ini.
64
Burchill juga menulis tentang Internasionalisme Liberal sangat menarik dan komprehensif,
kejelasan adalah fitur di sini.
65
Diskusi ini baik menghindari kecenderungan untuk menggunakan jargon ekonomi dan untuk tergelincir ke dalam gaya deskriptif yang
lebih biasa, menjaga bukan untuk isu-isu menonjol. Pada Rasionalisme dan Marxisme, masing-masing, datang dari Andrew Linklater. Rasionalisme sangat
komprehensif, tetapi juga mengeksplorasi banyak seluk-beluk yang ada antara realis dan pendekatan idealis untuk IR. Ada kesimpulan yang kuat dan ringkas, yang
menambahkan tak terkira untuk diskusi. Marxisme merupakan kontribusi sangat penting dan berharga. Bab Enam dan Tujuh dalam buku Scott Burchill masing-
masing mengatasi Teori Kritis dari Sekolah Frankfurt dan Postmodernisme.
66
Bab- bab ini oleh Richard Devetak yang luar biasa. Devetak cerdik menavigasi perairan
ini teoritis besar dan sulit dengan gaya diakses dan tanpa menurut saya mengabaikan poin utama, tersesat dalam teka-teki filosofis seperti kebebasan,
atau melakukan kesalahan besar. Bab menangani Teori Kritis sangat
62
Ibid., hal. 29-35
63
Ibid., hal. 29-35
64
Ibid., hal. 29-35
65
Ibid., hal. 29-35
66
Stephen M.Wal,
op.cit., hal. 29-35
komprehensif.
67
Dengan ringkas menelusuri sejarah ide-ide dari Sekolah Frankfurt dan kemudian cukup mulus menghubungkan ini dengan literatur IR kontemporer
kritis. Demikian pula, bab tentang Postmodernisme dalam buku Scott Burchill dimulai dengan diskusi pelopor, khususnya Foucault, dan kemudian mengacu pada
ini untuk mengeksplorasi kontribusi literatur IR post.
68
Mungkin satu-satunya hal yang hilang dalam bab yang terakhir ini diskusi mengenai pertanyaan yang sulit-
karena ingin istilah yang lebih baik-politik wacana politik. Dengan ini, berarti kecenderungan untuk melabeli seorang ahli teori sebagai postmodern Devetak
tidak sendirian di sini meskipun. Sebagian besar penulis yang disebut di sini, mungkin termasuk Foucault, menentang label dengan cara ini. Mereka mungkin
mengidentifikasi diri mereka bukan sebagai `post-struktural , atau lebih luas kritis , atau tidak ada disposisi teoritis tertentu sama sekali. Apa yang mungkin berguna
untuk mengatasi, kemudian, adalah cara di mana, di mulut banyak, postmodern telah menjadi overdetermined dan istilah merendahkan digunakan untuk benjolan
bersama-sama dan kemudian segera memberhentikan ini wawasan mendalam dan bekerja sangat menantang. Teori Hubungan Internasional dalam buku Scott
Burchill berakhir dengan sebuah bab tentang Feminisme oleh Jacqui Benar, dan sebuah bab tentang Politik Hijau oleh Matthew Paterson. Bab benar adalah,
mungkin, yang paling padat dari buku ini, tetapi sesuatu yang kurang dari seperti rekening canggih IR feminis akan ketidakadilan. Bab ini membuat perkembangan
yang logis sangat jelas dan memiliki gaya perulangan yang memastikan bahwa wawasan sebelumnya tidak hilang.
69
Oleh karena itu, apa yang berkembang adalah pengenalan yang sangat komprehensif untuk feminisme dan hubungan internasional.
Bab ini masih tetap dapat diakses untuk siswa tingkat master, dan juga akan berfungsi sebagai pengantar yang berguna untuk mereka yang ingin
memperkenalkan diri dengan IR
67
Ibid., hal. 29-35
68
Ibid., hal. 29-35
69
Stephen M Wal,
feminis.
70
Pada bab berikutnya di buku ini Patterson membicarakan pengenalan singkat dan rapi untuk teori Hijau untuk yang belum tahu, dan penyegaran yang
berguna Eckersly dan Dobson untuk dimulai. membuat kepalan baik mencoba menghubungkan teori Hijau untuk hubungan internasional. Ini mungkin perspektif
teoretis paling sulit ditangani oleh buku ini karena ada relatif sedikit literatur yang secara eksplisit menghubungkan teori IR dan Hijau. Hal utama buku Scott Burchill
terletak pada orientasi kritis. Ini berbicara kepada keyakinan bahwa IR harus jauh lebih teoritis sadar diri, yaitu bahwa hal itu harus sebanyak perusahaan penting
karena merupakan pemecahan masalah satu. Dalam buku Scott Burchill dikatakan Internasionalisme Liberal datang sebelum Realisme, Marxisme sebelum Teori
Kritis, Feminisme sebelum Teori Green, dan sebagainya.
82
E. Metodologi Penelitian