10
3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan
Mei 2007 sampai bulan Januari 2008 di Laboratorium AQMS PUSARPEDAL,
Serpong dan Laboratorium Meteorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB
Bogor. 3.2 Bahan
: • Data polutan udara SO
2
di lima stasiun pengukuran kualitas udara
Kota Bandung tahun 2003 AQMS PUSARPEDAL
• Data curah hujan harian kota Bandung tahun 2003 BMG
• Data cuaca suhu, arah dan kecepatan angin di lima stasiun pengukuran
kualitas udara Kota Bandung tahun 2003 AQMS PUSARPEDAL
• Data cuaca suhu, arah dan kecepatan angin BMG
• Data pH air hujan terukur Kota Bandung BMG
3.3 Alat :
• Microsoft Office Word dan Excell • Software Surface Mapping System
• Software Windrose
3.4 Asumsi
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Curah hujan terjadi secara uniform dan kontinu di seluruh daerah kajian.
2. Gas yang bereaksi dalam air cukup rumit sehingga pendekatan Hukum
Henry hanya menghitung untuk pemisahan yang sederhana bukan
hidrolisis berikutnya. 3. Konsentrasi dalam fase gas dan cair
berada dalam bentuk kesetimbangan.
3.5 Metode :
3.5.1 Pendugaan Nilai pH
Nilai pH air hujan dapat diperkirakan dengan menggunakan data konsentrasi polutan
SO
2
, dengan menggunakan persamaan berdasarkan hukum Henry dan kesetimbangan
kimia fase cair Brimblecombe, 1986. 3.5.2 Kesetimbangan Kimia Fase Cair
Pada disolusi dalam air sejumlah zat akan berdisosiasi menjadi ion. Disosiasi ini
adalah reaksi timbal balik yang mencapai kesetimbangan dengan cepat Seinfield, 1986.
Air sendiri akan terionisasi dan membentuk ion hidrogen, H
+
, dan ion hidroksida, OH
-
, yang ditunjukkan dalam reaksi sebagai berikut
:
− +
+ ⇔
OH H
O H
2
Sehingga pada saat kesetimbangan akan diperoleh:
[ ][ ]
[ ]
O H
OH H
K
w 2
− +
= dimana K
′
w
= 1.82 x 10
-16
M pada suhu 298 K. Konsentrasi molekul H
2
O sangat besar sekitar 55.5, dan ion yang terbentuk sangat sedikit,
sehingga [H
2
O] sebenarnya konstan. konsentrasi molar dari air murni dapat
digabungkan menjadi konstanta kesetimbangan yaitu :
[ ][ ]
− +
= OH
H K
W
dimana K
w
= K ′
w
[H
2
O] = 1 x 10
-14
M
2
pada suhu 298 K Untuk air murni, setiap molekul air
berdisosiasi menghasilkan satu ion hydrogen dan satu ion hidroksida, sehingga [H
+
] = [OH
-
], sehingga pada suhu 298 K, [H
+
] = [OH
-
] = 1 x 10
-7
M. total konsentrasi ion dalam air murni hanya 0.2
μM dibandingkan dengan 55,5 M untuk air murni itu sendiri. Sehingga secara
kasar terdapat 300 juta molekul air untuk tiap ion dalam air murni. Sebagai hasilnya, air
murni diketahui merupakan elektrolit yang sangat lemah dan hanya memiliki
konduktivitas listrik yang sangat kecil. pH air dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan :
[ ]
+
− =
H pH
log
sehingga terlihat bahwa pH air murni pada suhu 298 K adalah 7.0.
Sulfur Dioksida Kesetimbangan Air
Pada saat proses disolusi terjadi, SO
2
terhidrolisis sehingga molekul SO
2
akan berkombinasi dengan molekul air dan
membentuk satu molekul SO
2
.H
2
O yang merepresentasikan konsentrasi gas SO
2
yang terlarut dalam air. Sulfur dioksida terlarut,
SO
2
.H
2
O, berdisosiasi dua kali untuk membentuk ion sulfit dan ion bisulfit.
− +
− −
+
+ ⇔
+ ⇔
⇔ +
2 3
3 3
2 2
2 2
2 2
. .
SO H
HSO HSO
H O
H SO
O H
SO O
H SO
g
3
4 2
5 6
7 1
11 Konstanta kesetimbangan untuk ketiga reaksi
di atas adalah :
[ ]
2 2
2 2
.
SO SO
hs
p O
H SO
H K
= =
[H
+
] [HSO
3 -
] K
s1
= [SO
2
. H
2
O] [H
+
] [SO
3 2-
] K
s2
= [HSO
3 -
] Sumber : Seinfield, 1986
dimana K
hs
adalah konstanta kesetimbangan untuk hidrolisis SO
2
, dan K
s1
serta K
s2
adalah konstanta kesetimbangan disosiasi pertama dan
kedua untuk SO
2
terlarut. Terlihat bahwa konstanta disosiasi kedua sangat kecil bila
dibandingkan dengan konstanta disosiasi pertama sehingga pengaruhnya terhadap pH
sangat kecil dan dapat diabaikan.
Terlihat dari reaksi tersebut bahwa konsentrasi air cair telah bergabung ke dalam
konstanta hidrolisis dan bahwa K
hs
identik dengan koefisien hukum Henry untuk SO
2
, yaitu K
SO2
, sehingga konsentrasi gas dalam larutan
diberikan oleh persamaan : [SO
2
. H
2
O] = K
hs
P
SO2
K
s1
[SO
2
. H
2
O] K
hs
K
si
P
SO2
[HSO
3 -
] = = [H
+
] [H
+
] K
s2
[HSO
3 -
] K
hs
K
si
K
s2
P
SO2
[SO
3 2-
] = = [H
+
] [H
+
]
2
Sumber : Seinfield, 1986 Dari ketiga persamaan tersebut maka
hubungan elektronetralitas hubungan konsentrasi ion dalam larutan dari ion-ion
tersebut dapat ditentukan, yaitu :
[ ] [ ]
[ ] [
]
− −
− +
+ +
=
2 3
3
2 SO HSO
OH H
Sumber : Seinfield, 1986 Jika sumber ion hidrogen dalam sistem
hanya berasal dari disosiasi gas SO
2
, sehingga [HSO
3 -
] =[H
+
], maka dapat digunakan persamaan sebagai berikut :
[ ]
[ ]
2
3 SO
H
p K
K H
HSO ′
= =
+ −
dimana : K
H
= Konstanta hukum Henry K
′ = Konstanta disosiasi pertama hukum
Henry 2.7 x 10
-2
pada suhu 15°C dan 1.7 x 10
-2
pada T =298 K. pSO
2
= Tekanan parsial gas SO
2
. Sumber : Brimblecombe, 1986
Tekanan parsial adalah kontribusi tekanan total dalam campuran yang dibuat oleh
salah satu komponen dalam campuran pada kondisi kesetimbangan. Tekanan parsial gas
SO
2
dapat dicari dengan menggunakan persamaan berikut :
C K
pSO
H
× =
2
dimana : pSO
2
=Tekanan parsial gas SO
2
atm K
H
=Konstanta hukum Henry mol L
-1
atm
-1
C =Konsentrasi gas dalam
larutan μgm
3
Satuan tekanan parsial gas SO
2
adalah atm, sehingga konsentrasi gas SO
2
harus dikonversi ke dalam molL, yaitu :
L mol
g mol
m g
mol g
m g
Mr C
9 3
3 3
10 10
− −
= ×
= =
μ Sehingga persamaan 16 akan menjadi :
C K
pSO
H 9
2
10
−
× =
Konstanta hukum Henry dapat berubah tergantung suhu, konstanta hukum Henry akan
semakin besar seiring dengan penurunan suhu. Cara sederhana untuk menjelaskan hukum
Henry sebagai fungsi suhu adalah sebagai berikut :
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎣ ⎡
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎝ ⎛ −
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎝ ⎛ Δ
− =
Θ Θ
T T
R H
so K
K
H H
1 1
ln exp
dimana : K
H Ө
= Koefisien hukum Henry dalam kondisi standar T
Ө
= 298,15 K = 1.2 Matm.
T
Ө
= Suhu kondisi standar = 298.15
- ΔsolnHR = Entalpi campuran yang disini
merupakan temperature
11 8
9
10
14 15
17
19 18
12 13
16
12 dependence = -d ln K
H
d 1T = 2900 K.
Sumber : Sander, 1999 sehingga konstanta disosiasi pertama hukum
Henry juga dapat ditentukan berdasarkan persamaan tersebut.
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎣ ⎡
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎝ ⎛ −
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎝ ⎛ Δ
− ′
= ′
Θ Θ
T T
R H
so K
K 1
1 ln
exp
dimana : K
′′
θ
= Konstanta
disosiasi pertama hukum Henry dalam
kondisi standar -
ΔsolnHR = Entalpi campuran yang
disini merupakan temperature dependence = -d
ln K
H
d 1T = 2090 K. Sumber : Sander, 1999
3.5.3 Distribusi Spasial dan Temporal Deposisi Asam.
Distribusi arah angin, pH, dan SO
2
untuk masing-masing lokasi didekati dengan pemetaan menggunakan Software Surface
Mapping System dan Windrose. Hal ini dimaksudkan untuk menduga distribusi spasial
dan distribusi temporal, baik periode mingguan atau bulanan. Software surface mapping
system digunakan untuk melihat kecenderungan konsentrasi gas SO
2
tertinggi atau nilai pH yang terendah di setiap stasiun
kajian, sedangkan Windrose digunakan untuk melihat distribusi gas SO
2
dan arah angin sehingga diketahui ke arah mana gas akan
terbawa yang akan menyebabkan pH di daerah tujuan angin akan menurun.
Surfer adalah salah satu perangkat lunak yang digunakan dalm pembuatan peta
kontur dan pemodelan tiga dimensi yang berdasarkan pada grid. Grid adalah
serangkaian garis vertikal dan horizontal yang dalam surfer berbentuk segiempat dan
digunakan sebagai dasar pembentuk kontur dan surface tiga dimensi Budiyanto, 2005.
Pembuatan peta kontur ataupun model tiga dimensi dalam surfer diawali dengan
pembuatan data tabular XYZ. Data XYZ selajutnya diinterpolasikan dalam sebuah file
grid. Proses kedua ini sering disebut dengan istilah gridding. Proses gridding menghasilkan
sebuah file grid. File grid digunakan sebagai dasar pembuatan peta kontur dan model tiga
dimensi.
Gridding menentukan prosedur interpolasi dari pembuatan file grid. Dalam
penelitian ini metode yang digunakan adalah Kriging. Metode ini digunakan karena Kriging
adalah metode yang fleksibel dan dapat digunakan ke sebagian besar data. Kemampuan
menerima berbagai data menjadikan metode ini sebagai metode yang efektif.
Data polutan di lima stasiun pengukuran pada tahun 2003 tidak kontinu dan data lengkap
hanya pada bulan Januari dan Juni sehingga analisa distribusi spasial dan temporal SO
2
, angina dan pH air hujan dugaan akan dibagi ke
dalam musim kering bulan Juni dan musim hujan bulan Januari.
20
13
Gambar 7. Peta Lokasi Stasiun Pemantau Otomatis dan Data Display
Sumber : Bappenas, 2006.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Daerah Kajian Stasiun pemantauan kualitas udara fix
station yang terdapat di Bandung ada lima stasiun dan masing-masing mewakili daerah
dataran tinggi, pemukiman padat penduduk, daerah padat lalu lintas, daerah perumahan
industri dan daerah padat industri yaitu, Dago BAF1, Ariagraha BAF2, Tirtalega BAF3,
Batununggal BAF4 dan Cisaranten Wetan BAF5. Kelima stasiun ini terletak pada
koordinat dan ketinggian yang berbeda, yang disajikan dalam Tabel 4.
Gambar 8. Peta Kontur Ketinggian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Bandung
14
Tabel 4. Lokasi Stasiun Pengukuran Kualitas
Udara Bandung Stasiun Latitude Longitude
Altitude mdpl
BAF1 107.57 -6.88 982
BAF2 107.67 -6.94 719
BAF3 107.56 -6.92 771
BAF4 107.62 -6.94 718
BAF5 107.67 -6.91 715
Dari tabel terlihat bahwa stasiun Dago merupakan satu-satunya stasiun yang terletak
di daerah dataran tinggi sebelah utara Bandung, sedangkan ke empat stasiun lainnya
terletak pada daerah dengan topografi relatif datar. Ariagraha dan Batununggal terletak di
Selatan Bandung, Cisaranten Wetan di bagian Timur Bandung sedangkan Tirtalega di bagian
Barat yang merupakan daerah dengan topografi paling rendah.. Secara umum seluruh
stasiun pemantauan kualitas udara Kota bandung terletak pada cekungan Bandung
gambar 7 dan 8.
Topografi Kota Bandung yang seperti cekungan dan relatif rumit ini menyebabkan
dispersitranspor zat-zat pencemar dalam bentuk gas, partikel, dan aerosol ke atmosfer
terhambat atau daya pengenceran udara berkurang. Kemampuan udara untuk
mendispersikan zat-zat pencemar sangat ditentukan oleh topografi dan stratigrafi daerah
dan faktor meteorologi kecepatan dan arah angin, temperatur, tutupan awan, mixing
height, radiasi sinar matahari, dan presipitasi. 4.2 Suhu Udara dan Konstanta Hukum
Henry
Daerah Bandung merupakan daerah bertopografi relatif lebih tinggi sehingga suhu
udara permukaannya senantiasa berada pada kondisi lebih rendah dibanding sekitarnya.
Suhu udara rata-rata di stasiun Ariagraha, Tirtalega, Batununggal dan Cisaranten tidak
jauh berbeda yaitu berkisar antara 23°C-25°C, sehingga konstanta Hukum Henry di keempat
stasiun juga tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 1,23–1,33 dengan rata-rata 1.28 K
H
dan 0.0170–0.018 dengan rata-rata 0.0175 K ′
pada musim kering. Pada musim hujan konstanta hukum Henry bernilai antara 1.12-
1.39 dengan rata-rata 1.26 K
H
serta 0.0159- 0.0186 dengan rata-rata 0.0174 K
′. Suhu di stasiun Dago cenderung lebih
rendah bila dibandingkan dengan keempat stasiun lainnya yaitu berkisar antara 21°C-
24°C sehingga konstanta hukum Henry di stasiun ini berkisar antara 1.28-1.32 dengan
rata-rata 1.35 K
H
dan 0.0175-0.0188 dengan rata-rata 0.0182 K
′ pada musim kering, dan 1.25-1.38 dengan rata-rata 1.31 K
H
serta 0.0172-0.0184 dengan rata-rata 0.0177 K
′ pada musim hujan. Terlihat bahwa konstanta
hukum Henry baik konstanta kesetimbangan K
H
maupun konstanta kesetimbangan disosiasi pertama K
′ di stasiun Dago lebih besar daripada konstanta Henry di keempat
stasiun lainnya. Hal ini disebabkan suhu udara di stasiun Dago lebih rendah daripada keempat
stasiun lainnya sehingga kelarutan gas di daerah sekitar stasiun ini lebih tinggi. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Ophardt 2003 yaitu suhu udara berpengaruh terhadap variasi nilai
konstanta Henry, karena suhu udara mempengaruhi kelarutan SO
2
dalam air. Semakin tinggi suhu udara, maka kelarutannya
akan semakin berkurang gambar 6. Hal ini disebabkan penambahan panas akan
menyebabkan energi kinetik menjadi besar sehingga kecepatan molekul akan bertambah.
Penambahan kecepatan ini akan menyebabkan frekuensi tumbukan antara molekul menjadi
tinggi, sehingga molekul akan keluar dari sistem. Kelarutan yang berkurang akan
menyebabkan nilai konstanta menjadi kecil.
4.3 Curah Hujan
Presipitasi memberikan proses pencucian polutan yang efektif dalam atmosfer. Efisiensi
dari proses ini tergantung pada hubungan yang kompleks antara kandungan polutan dan
karakteristik dari presipitasi tersebut. Proses yang paling efektif adalah pencucian partikel
besar di lapisan atmosfer paling bawah dimana banyak polutan dilepaskan washout.
Curah hujan yang terjadi di Bandung cukup tinggi, dengan curah hujan maksimum
terjadi pada bulan Oktober dan Februari dan minimum terjadi pada bulan Juni, Juli dan
Agustus.
Gambar 9. Kelarutan SO
2
Dalam Air Versus
Suhu
15 Sumber : Kirk Othmer Ency of Chemical
Technology, 2007
15.00 20.00
25.00 30.00
ja n
m ar
t m
ei ju
l se
pt no
v
Bulan S
u hu
°C
Dago Ariagraha
Tirtalega Batununggal
Cisaranten
Gambar 10. Grafik Suhu Udara di Stasiun
Kualitas Udara Bandung
10 20
30 40
50 60
70 80
1 3
5 7
9 11
13 15
17 19
21 23
25 27
29 31
Day CH m
m
januari februari
maret april
mei juni
juli agustus
september oktober
november desember
Gambar 11. Grafik Curah Hujan Kota
Bandung 4.4 Arah dan Kecepatan Angin
Menurut Prawirowardoyo 1996 gerak atmosfer ada dua jenis yaitu gerak nisbi
terhadap permukaan bumi, yang dinamakan angin, dan gerak bersama-sama dengan bumi
yang berotasi terhadap sumbunya. Gerak atmosfer terhadap permukaan bumi
mempunyai dua arah, yaitu arah horizontal dan vertikal. Pada umumnya gerak atmosfer adalah
horizontal, karena daerah yang diliputinya luas dan kecepatannya lebih besar daripada
vertikalnya.
Arah dan kecepatan angin di Bandung terutama disebabkan oleh kondisi topografi.
Kota Bandung lebih tinggi dari daerah sekitarnya sehingga tekanan di daerah ini
rendah. Tekanan udara yang rendah menjadikan Bandung sebagai daerah tujuan
angin. Selain itu topografi Bandung berbentuk seperti cekungan dengan bagian relatif terbuka
topografi rendah di Bagian Barat. Dari arah Barat yang terbuka ini udara masuk menuju
lembah, tetapi dari arah Timur juga ada angin yang menuju lembah sehingga terjadi
konvergensi. Bagian Barat laut lebih landai sedangkan bagian Tenggara berpegunungan
dengan ketinggian sekitar 2 km dpl. Topografi cekungan Bandung rumit dengan ketinggian
berkisar antara 600 m hingga lebih dari 2000 m. Daerah yang berkontur rendah dan relatif
datar dikelilingi oleh pegunungan di Bagian Utara, Selatan dan Timur dengan ketinggian
sekitar 1900 – 2000 m Turyanti, 2005. Daerah pegunungan akan menyebabkan arah
dan kecepatan angin menjadi tidak beraturan karena bentuk topografi yang ada cukup rumit.
Wilayah berpegunungan menyebabkan adanya konveksi mekanik sehingga arah angin tidak
selalu mengikuti pola perubahan suhu dan tekanan.
Kecepatan angin di lima stasiun pengukuran relatif kecil dengan kisaran antara
2 – 3 ms dengan arah angin rata-rata ke arah timur dan tenggara pada musim kering dan ke
arah Barat atau Barat Daya pada musim hujan Gambar 9-18. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Turyanti 2005 yang menyatakan bahwa arah angin dominan di Cekungan
Bandung adalah angin Baratan dan Timuran termasuk di dalamnya angin Barat, Barat laut
serta Timur dan Tenggara.
Kecepatan dan arah angin di stasiun Dago terutama dipengaruhi oleh kondisi
pegunungan., sedangkan kecepatan dan arah angin serta di keempat stasiun lainnya
dipengaruhi oleh pemanasan radiasi matahari terhadap permukaan yang mempengaruhi suhu
dan tekanan udara vertikal maupun horizontal, namun pengaruh topografi juga mempengaruhi
arah dan kecepatan angin karena keempat stasiun pengamatan terletak pada cekungan
Bandung sehingga pengaruh angin yang turun dari lereng menuju lembah akan cukup kuat.
Kecepatan angin di stasiun Dago pada musim hujan berkisar antara 2-5 ms dengan
arah angin terbanyak adalah ke arah Selatan dan Barat dengan sedikit ke arah Tenggara
sehingga terlihat bahwa angin dominan di stasiun ini pada musim hujan adalah angin
Timur dan Timur Laut, sedangkan pada musim kering kecepatan angin berkisar antara 2-3 ms
dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Timur Laut dan Timur sehingga pada musim
kering angin dominan di stasiun ini adalah angin Baratan. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Turyanti 2005 yang menyatakan bahwa arah angin dominan di Dago pakar
adalah timur laut terutama pada sore, malam hingga pagi hari dan sedikit dari tenggara pada
siang hari.Arah Timur Laut dari Dago pakar adalah lereng pegunungan sehingga pengaruh
topografi terhadap arah angin dominan dalam
16 hal ini sangat berpengaruh Gambar 12 dan
13. Kecepatan angin di stasiun Ariagraha
adalah berkisar antara 1-5 ms dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Selatan dan
sedikit ke arah Barat dan Barat Daya pada musim hujan sehingga pada musim hujan
stasiun ini sedikit dipengaruhi oleh angin Timuran, sedangkan pada musim kering
kecepatan angin di stasiun ini adalah berkisar antara 1-3 ms dengan arah angin dominan
adalah ke arah Tenggara sehingga pada musim kering angin dominan di stasiun ini adalah
angin Barat Laut Gambar 14 dan 15. Stasiun Ariagraha terletak di wilayah pemukiman
sebelah Selatan bandung sehingga wilayah ini dipengaruhi oleh pegunungan di bagian Barat
Daya dan Tenggara dimana angin yang turun dari lereng akan cukup kuat menuju lembah.
Kecepatan angin di stasiun Tirtalega pada musim hujan berkisar antara 1-5 ms
dengan arah angin terbanyak adalah ke arah Barat dan Barat Daya sehingga angin dominan
di stasiun ini adalah angin timuran, sedangkan pada musim kering kecepatan angin rata-rata
adalah berkisar antara 1-2 ms dan terdapat calm angin lemah ke arah Tenggara dengan
kecepatan angin antara 0-1 ms, calm ini dapat menghambat peneyebaran polutan. Arah angin
dominan pada musim kering adalah ke arah Selatan dan Tenggara sehingga pada musim
kering daerah ini dipengaruhi oleh angin Barat Laut. Hal ini juga sesuai dengan hasil
penelitian Turyanti 2005 yang menyatakan bahwa arah angin dominan di stasiun Tirtalega
adalah ke arah Tenggara Gambar 16 dan 17. Hal ini disebabkan stasiun ini mendapat
pengaruh dari lereng yang cukup tajam pada arah tenggara cekungan Bandung.
Kecepatan angin di staiun Batununggal pada musim hujan adalah berkisar antara 1-3
ms dengan arah angin dominan adalah ke arah Barat daya, Barat dan Barat laut. Terdapat
sedikit calm dengan kecepatan angin antara 0-1 ms ke arah Selatan dan Barat Daya. Pada
musim kering kecepatan angin adalah berkisar antara 1-2 ms dengan arah angin dominan
adalah ke arah Tenggara Gambar 18 dan 19. Sama halnya dengan stasiun Ariagraha, stasiun
Batununggal juga terletak di bagian Selatan Kota Bandung sehingga dipengaruhi oleh
pegunungan di bagian Barat Daya dan Tenggara cekungan bandung.
Kecepatan angin di stasiun Cisaranten pada musim hujan adalah berkisar antara 1-3
ms dengan arah angin dominan adalah ke arah Tenggara dan sedikit ke arah Timur, sehingga
pada musim hujan, angin dominan di stasiun ini adalah angin Baratan, sedangkan pada
musim kering kecepatan angin di stasiun ini adalah berkisar antara 1-5 ms dengan arah
angin dominan adalah ke arah Barat Daya dan Selatan, sehingga angin dominan di stasiun ini
pada musim kering adalah angin Timur Laut Gambar 20 dan 21. Terlihat bahwa pola
angin stasiun Cisaranten pada musim hujan dan musim kering berbeda dengan keempat
stasiun lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan stasiun Cisaranten terletak pada
bagian Timur Kota Bandung dimana terdapat pengaruh dari lereng pegunungan sebelah
Tenggara Kota Bandung dan dari daerah bagian Barat Kota Bandung yang topografinya
rendah sehingga terjadi konvergensi saat udara dari bagian Barat bertemu dengan angin yang
turun dari lereng pegunungan sebelah Tenggara menuju lembah.
Gambar 12. Arah dan Kecepatan
Angin Musim Hujan Dago
Gambar 13.
Arah dan Kecepatan Angin Musim Kering Dago
17
Gambar 14.
Arah dan Kecepatan Angin Musim Hujan Ariagraha
Gambar 15. Arah dan Kecepatan Angin
Musim Kering Ariagraha
Gambar 16. Arah dan Kecepatan Angin
Musim Hujan Tirtalega
Gambar 17. Arah dan Kecepatan Angin
Musim Kering Tirtalega
Gambar 18. Arah dan Kecepatan Angin
Musim Hujan Batununggal
Gambar 19. Arah dan Kecepatan Angin
Musim Kering Batununggal
Gambar 20. Arah dan Kecepatan
Angin Musim Hujan Cisaranten
Gambar 21. Arah dan Kecepatan Angin
Musim Kering Cisaranten
18
4.5 Konsentrasi Gas SO