HASIL DAN PEMBAHASAN Metode :

13 Gambar 7. Peta Lokasi Stasiun Pemantau Otomatis dan Data Display Sumber : Bappenas, 2006.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Daerah Kajian Stasiun pemantauan kualitas udara fix station yang terdapat di Bandung ada lima stasiun dan masing-masing mewakili daerah dataran tinggi, pemukiman padat penduduk, daerah padat lalu lintas, daerah perumahan industri dan daerah padat industri yaitu, Dago BAF1, Ariagraha BAF2, Tirtalega BAF3, Batununggal BAF4 dan Cisaranten Wetan BAF5. Kelima stasiun ini terletak pada koordinat dan ketinggian yang berbeda, yang disajikan dalam Tabel 4. Gambar 8. Peta Kontur Ketinggian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Bandung 14 Tabel 4. Lokasi Stasiun Pengukuran Kualitas Udara Bandung Stasiun Latitude Longitude Altitude mdpl BAF1 107.57 -6.88 982 BAF2 107.67 -6.94 719 BAF3 107.56 -6.92 771 BAF4 107.62 -6.94 718 BAF5 107.67 -6.91 715 Dari tabel terlihat bahwa stasiun Dago merupakan satu-satunya stasiun yang terletak di daerah dataran tinggi sebelah utara Bandung, sedangkan ke empat stasiun lainnya terletak pada daerah dengan topografi relatif datar. Ariagraha dan Batununggal terletak di Selatan Bandung, Cisaranten Wetan di bagian Timur Bandung sedangkan Tirtalega di bagian Barat yang merupakan daerah dengan topografi paling rendah.. Secara umum seluruh stasiun pemantauan kualitas udara Kota bandung terletak pada cekungan Bandung gambar 7 dan 8. Topografi Kota Bandung yang seperti cekungan dan relatif rumit ini menyebabkan dispersitranspor zat-zat pencemar dalam bentuk gas, partikel, dan aerosol ke atmosfer terhambat atau daya pengenceran udara berkurang. Kemampuan udara untuk mendispersikan zat-zat pencemar sangat ditentukan oleh topografi dan stratigrafi daerah dan faktor meteorologi kecepatan dan arah angin, temperatur, tutupan awan, mixing height, radiasi sinar matahari, dan presipitasi. 4.2 Suhu Udara dan Konstanta Hukum Henry Daerah Bandung merupakan daerah bertopografi relatif lebih tinggi sehingga suhu udara permukaannya senantiasa berada pada kondisi lebih rendah dibanding sekitarnya. Suhu udara rata-rata di stasiun Ariagraha, Tirtalega, Batununggal dan Cisaranten tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 23°C-25°C, sehingga konstanta Hukum Henry di keempat stasiun juga tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 1,23–1,33 dengan rata-rata 1.28 K H dan 0.0170–0.018 dengan rata-rata 0.0175 K ′ pada musim kering. Pada musim hujan konstanta hukum Henry bernilai antara 1.12- 1.39 dengan rata-rata 1.26 K H serta 0.0159- 0.0186 dengan rata-rata 0.0174 K ′. Suhu di stasiun Dago cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan keempat stasiun lainnya yaitu berkisar antara 21°C- 24°C sehingga konstanta hukum Henry di stasiun ini berkisar antara 1.28-1.32 dengan rata-rata 1.35 K H dan 0.0175-0.0188 dengan rata-rata 0.0182 K ′ pada musim kering, dan 1.25-1.38 dengan rata-rata 1.31 K H serta 0.0172-0.0184 dengan rata-rata 0.0177 K ′ pada musim hujan. Terlihat bahwa konstanta hukum Henry baik konstanta kesetimbangan K H maupun konstanta kesetimbangan disosiasi pertama K ′ di stasiun Dago lebih besar daripada konstanta Henry di keempat stasiun lainnya. Hal ini disebabkan suhu udara di stasiun Dago lebih rendah daripada keempat stasiun lainnya sehingga kelarutan gas di daerah sekitar stasiun ini lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ophardt 2003 yaitu suhu udara berpengaruh terhadap variasi nilai konstanta Henry, karena suhu udara mempengaruhi kelarutan SO 2 dalam air. Semakin tinggi suhu udara, maka kelarutannya akan semakin berkurang gambar 6. Hal ini disebabkan penambahan panas akan menyebabkan energi kinetik menjadi besar sehingga kecepatan molekul akan bertambah. Penambahan kecepatan ini akan menyebabkan frekuensi tumbukan antara molekul menjadi tinggi, sehingga molekul akan keluar dari sistem. Kelarutan yang berkurang akan menyebabkan nilai konstanta menjadi kecil.

4.3 Curah Hujan