Pengaruh penambahan beban terhadap pergerakan R. margaritifer

4.2.2 Pengaruh penambahan beban terhadap pergerakan R. margaritifer

Wells 2007 menyatakan bahwa pergerakan satwa sangat dekat hubungannya dengan ekologi dan perilaku. Pergerakan harian dan musiman erat hubungannya dengan usaha untuk memperoleh makan, teritori, perilaku kawin, respons terhadap pemangsa serta interaksi dengan satwa yang lain. Pergerakan juga mengeluarkan biaya cost yang harus dikorbankan amfibi seperti energi yang terbuang dalam pergerakan, peningkatan peluang terlihatnya oleh predator dan kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Dampaknya amfibi hanya melakukan pergerakan jika dibutuhkan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pemberian beban berpengaruh terhadap jarak vertikal katak. Hasil ini ditemukan pada katak jantan dan analisis yang mengabaikan jenis kelamin. Secara fisiologis hal ini bisa terjadi karena adanya pemindahan alokasi energi untuk menanggung bobot beban, sehingga energi yang diperlukan untuk melakukan pergerakan secara vertikal menjadi terganggu. Godfrey dan Bryant 2003 yang melakukan penelitian tentang Daily Energy Expenditure DEE atau energi harian yang dikeluarkan oleh satwa untuk beraktivitas pada burung Takahe Porphyrio mantelli dengan rasio bobot beban hanya sebesar 1,39 - 2,38. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa DEE burung yang dipasangkan beban mengalami peningkatan DEE sebesar 7,9 . Apabila kejadian ini terjadi di alam maka secara sistematis ketidakmampuan katak untuk bergerak secara vertikal kearah yang lebih tinggi akan berdampak pada persaingan pakan. Menurut Rahman 2010 R. margaritifer merupakan katak arboreal yang memanfaatkan serangga arboreal sebagai pakan. Apabila katak lebih banyak aktif di atas tanah terrestrial, maka akan ada persaingan dalam memperoleh pakan dengan katak yang dominan beraktivitas di lantai hutan karena kesamaan sifat katak perilaku katak dalam memperoleh makan yang bersifat oportunistik. Perbedaan pergerakan vertikal yang terjadi antara katak jantan dan betina juga ditemui pada beberapa jenis katak yang telah diteliti sebelumnya. Pada jenis Litoria leisuri diketahui bahwa katak jantan memiliki rentang pergerakan vertikal yang lebih tinggi dibandingkan dengan katak betina, pada jenis ini juga diketahui adanya perbedaan pergerakan vertikal katak betina pada musim panas dan dingin. Pada jenis Litoria genimaculata diketahui bahwa pergerakan vertikal katak jantan lebih tinggi dibandingkan katak betina, namun median pergerakan vertikal katak betina lebih tinggi dari katak jantan Rowley Alford 2007b. Berdasarkan penelitian Rowley dan Alford 2007a yang membandingkan pergerakan vertikal katak yang menggunakan radiotransmitter dan harmonic radar finder, diketahui bahwa terdapat perbedaan rentang pergerakan vertikal pada katak jantan dan tidak ditemui pada katak betina. Wells 2007 menyatakan bahwa pada dasarnya wilayah jelajah dari kebanyakan amfibi bersifat dua dimensi yaitu secara vertikal dan horizontal. Kebanyakan amfibi merupakan satwa yang sangat berasosiasi dengan keberadaan air, sehingga bebarapa penelitian juga mencatat parameter pergerakan vetikal katak terhadap badan airsungai Rowley Alford 2007a, 2007b. Baik katak jantan maupun betina lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk diam dari pada untuk melakukan pergerakan. Karena pergerakan amfibi sangat erat hubungan dengan memperoleh makan Wells 2007, maka pergerakan akan dipengaruhi oleh sifat katak untuk memperoleh makan. Selain itu juga diketahui bahwa katak akan berdiam dalam waktu yang lama pada tempat yang relatif datar seperti dibagian atas daun. Perilaku ini diduga karena katak telah menemukan kenyamanan untuk mencari makan. Umumnya katak memiliki perilaku sit and wait dalam mencari makan Rahman 2010, Wells 2007, Strussmann 1984. Katak lebih memilih untuk menunggu makanan menghampiri dari pada aktif bergerak untuk mencari makan. Dole 1965 juga menemukan bahwa Rana pipiens tidak selalu bergerak sepanjang waktu pengamatan bahkan ada katak yang tidak berpindah selama 24 jam. Meningkatnya frekuensi melompat pada katak jantan tidak bisa dikatakan sepenuhnya disebabkan oleh penambahan beban, karena pada saat pengambilan data semua katak jantan mendapat gangguan dari semut. Gangguan itu awalnya muncul karena pada saat pengamatan kondisi angin sangat kencang dan indikasi akan terjadi hujan, pada saat itu semua katak jantan yang dipasangkan beban turun ke bagian bawah rumah katak hingga ke tanah. Tidak bisa dipastikan apakah perilaku pergerakan katak ke bagian bawah oleh katak jantan tersebut merupakan respons terhadap penambahan beban atau perubahan cuaca yang terjadi. Rahman 2009 menyatakan bahwa R. margaritifer tidak pernah beraktivitas di lantai hutan dan bersifat arboreal. Jadi perilaku katak pohon yang turun ke lantai merupakan perilaku yang tidak lazim. Pada saat katak tersebut berada pada bagian bawah, banyak semut yang datang dan menggigit katak. Meningkatnya frekuensi melompat diduga disebabkan karena usaha katak untuk melepaskan semut yang banyak menempel di tubuhnya. Gangguan dari semut tersebut menyebabkan katak mati, kematian katak pada saat penelitian juga alami oleh Sholihat 2007 dan Muliya 2010, namun kematian tersebut disebabkan oleh ganggguan oleh spooltrack yang tersangkut. Long 2010 juga menemukan adanya katak yang mati pada saat pemasangan beban pada jenis Lithobates sylvaticus dan anaxyrus boreas boreas. Dari hasil penelitian diketahui bahwa ada perbedaan dampak yang terjadi pada katak jantan dan betina. Pada beberapa hasil penelitian juga diketahui bahwa ada perbedaan perbedaan pergerakan antara katak jantan dan betina dimana jarak tempuh harian katak betina lebih jauh daripada katak jantan, hasil ini diemukan pada jenis P. luecomystax Sholihat 2007, dan Rana chesonica Yong Ra et al. 2008. Faktor-faktor yang bisa mempengaruhi perilaku satwa yang sedangkan dipasangkan beban bisa digolongkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal merupakan faktor yang berasal dari satwa seperti umur, jenis kelamin, life history, musim aktif kemarau atau hujan, keadaan reproduksi. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari beban dan metode yang digunakan dalam memasangkan beban, adapun faktor beban yang berpengaruh meliputi ukuran, bentuk dimensi, bobot alat, tekstur alat. Faktor eksternal lainnya meliputi metode yang digunakan dalam memasangkan beban, pemilihan organ yang dipasangkan beban, stress yang ditimbulkan oleh penanganan handling satwa yang tidak baik juga bisa menimbulkan dampak terhadap satwa Braun 2005. Beban yang ditambahkan pada R. margaritifer memiliki rasio 5 terhadap bobot badan. Pada penelitian bobot badan rata-rata R. margaritifer betina yang digunakan adalah 16,4 gram, sedangkan bobot katak jantan yang digunakan adalah 4,06 gram. Karena beban yang digunakan merupakan beban yang dibuat sendiri, maka beban dengan rasio 5 bobot badan bisa dipasangkan pada katak. Tapi pada katak jantan didapatkan kesulitan karena bobot badan katak yang terlalu kecil. Muliya 2010 menggunakan rasio bobot spooltrack yang berbeda dalam melakukan penelitian pergerkan R. margaritifer. Penelitian Muliya 2010 menunjukkan bahwa penggunaan alat dengan rasio lebih dari 15 pemasangan selama 24 jam hingga 72 jam menyebabkan perubahan bobot badan yang lebih dari 20. Pada rasio 5 - 10 pemasangan selama 72 jam, penurunan bobot badan bervariasi 3,9 - 20, sedangkan beban dengan rasio 5 pemasangan selama 72 jam menyebabkan penurunan bobot badan 6,5 - 14,3. Indermaur 2008 secara khusus melakukan penelitian dampak bobot beban terhadap penurunan bobot badan menemukan bahwa penambahan beban dengan rasio 10 pada Bufo b. spinosus dan Bufo viridis tidak menimbulkan dampak. Alford et al. 1994 merekomendasikan bahwa rasio beban yang boleh ditambahkan kepada amfibi tidak lebih dari 10, bahkan penelitian yang lebih konservatif merekomendasikan beban yang boleh ditambahkan kepada amfibi tidak lebih dari 5 Kenward 2001. Mougey 2009 menyebutkan bahwa rasio bobot beban berbeda pada setiap taksa satwa, secara ringkas rasio bobot yang telah digunakan selama ini berkisar dari 0,2 - 33. Amfibi merupakan satwa yang umumnya memiliki bobot badan yang rendah, hal inilah yang menjadi salah satu kesulitan untuk melakukan penelitian pergerakan amfibi. Rowley dan Alford 2007 menyatakan bahwa bobot transmitter umum dijumpai secara komersial memiliki bobot 0,7 gram. Jika kita mengacu pada rekomendasi rasio 10 bobot badan, maka amfibi yang bisa dipasangkan beban adalah amfibi yang memiliki bobot badan lebih dari 7 gram. Sedangkan jika mengacu rekomendasi rasio 5 maka bobot badan minimal katak yang bisa dipasangkan beban adalah 14 gram. Namun saat ini telah ada transmitter dengan bobot 5 gram namun dengan kemampuan rekaman life time alat yang lebih pendek. Mougey 2009 menyebutkan bahwa dampak yang ditimbulkan karena penambahan beban bisa menyebabkan gangguan perilaku, fisiologi, reproduksi dan lokomosi yang akut. Golfrey dan Bryant 2003 permasalahan yang muncul dalam melakukan studi tentang dampak penambahan beban terhadap satwa yang diteliti adalah studi membutuhkan waktu yang lama, sulitnya untuk mendapatkan data tentang perilaku satwa saat tidak ditambahkan dan ditambahkan beban, sulitnya menentukan ukuran sampel yang bisa untuk menghasilkan analisis statistik yang akurat dan risiko kematian bisa membahayakan satwa yang populasi telah langka rare. Wanless et al. 1988 menyebutkan bahwa dampak pemberian beban melalui pemasangan komponen tracking berbeda antar spesies tergantung pada bobot alat dan metode pemasangannya. Pada amfibi beban bisa dipasangkan secara internal dengan memasukkan kedalam kulit katak implant method dan secara eksternal dengan mengikatkan di badan katak Phillot et al. 2007. Perbedaan yang mendasar pada kedua metode tersebut adalah pada metode secara internal, peneliti membutuhkan penanganan dan keterampilan yang lebih dalam melakukan anaestesi dan pembedahan. Heyer et al. 1994 menyatakan bahwa peneliti perlu memerhatikan dampak dari anaestesi, pembedahan, infeksi. Umumnya pada amfibi beban dipasangkan pada bagian punggung katak. Penelitian pada taksa burung diketahui bahwa terdapat beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh pemasangan beban pada punggung diantaranya bisa menurunkan aktivitas dan konsumsi pakan Boag 1972, menurunkan aktivitas berenang Greenwood Sargeant 1973. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa katak jantan lebih aktif bergerak dari pada katak betina. Katak jantan lebih banyak melakukan pergerakan namun dengan jarak yang relatif dekat sedangkan katak betina jarang melakukan pergerakan namun dengan jarak yang relatif panjang. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Muliya 2010 yang menyatakan bahwa jarak yang ditempuh oleh R. margaritifer jantan dan betina pada malam hari tidak berbeda nyata. Namun demikian, penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Sholihat 2007 pada Polypedates leucomystax dimana diketahui jarak yang ditempuh oleh katak jantan lebih pendek dari katak betina. Wells 2007 menyatakan bahwa semua pergerakan satwa bergubungan dengan usaha untuk memperoleh makan, kawin dan tempat istirahat. Selanjutnya Dingle 1999 dalam Wells 2007 Amfibi kadang-kadang hanya melakukan pergerakan kecil yang berulang-berulang disekitar lokasi beristirahat disiang hari dan ada juga yang yang melakukan pergerakan yang jauh. Perhitungan frekuensi dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode one-zero sampling lebih khusus; partial-interval sampling. Rhine dan Linville 1980 menyatakan bahwa penggunaan metode ini memiliki korelasi yang tinggi dengan frekuensi. Lalu Powell 1977 menyatakan bahwa penggunaan metode ini cenderung under estimated dalam perhitungan durasi. Dawkins 2007 menyatakan bahwa dalam penelitian perilaku ada beberapa aspek yang diukur yaitu frekuensi, durasi dan intensitas perilaku. Frekuensi merupakan nilai yang menyatakan banyaknya satwa melakukan suatu perilaku, durasi merupakan lama waktu yang dialokasikan oleh satwa untuk melakukan suatu perilaku sedangkan intensitas diartikan sebagai seberapa sering satwa untuk melakukan perilaku yang sama Dawkins 2007. Selanjutnya Rowley dan Alford 2007a dan Langkilde dan Alford 2002 menggunakan pendekatan frekuensi dan jarak untuk melihat dampak penggunaan alat terhadap pergerakan katak. Menurut Dawkins 2007 salah satu masalah yang sering yang dihadapi dalam kegiatan pengamatan satwa adalah munculnya respons dari satwa terhadap keberadaan pengamat. Pada saat pengamatan di lapangan sulit untuk mengetahui bahwa pergerakan katak merupakan respons katak terhadap pengamat atau tidak. Tapi pengamat selalu berusaha untuk tidak mengganggu vegetasi atau pun katak tersebut. Apabila katak pada posisi yang tinggi maka pengamat menggunakan bantuan tangga atau kursi untuk mengamati satwa. Selain itu cahaya yang digunakan adalah cahaya merah red mode pada headlamp, pengarahan cahaya langsung pada mata katak juga dihindari. Dawkins 2007 menyatakan bahwa untuk menghindari respons satwa terhadap pengamat maka pengamat harus bisa berkreasi memposisikan diri seperti menggunakan tangga, memanjat pohon, mengintip dari bawah atau penggunaan CCTV jika memungkinkan. Dalam penelitian Rowley dan Alford 2007a dan Langkilde dan Alford 2002 masalah itu diatasi dengan penggunaan videotape dalam mengamati katak. Dalam penelitian juga diketahui bahwa tidak ditemukan adanya upaya untuk melepaskan beban bagi katak jantan, sedangkan pada betina ditemukan adanya usaha untuk melepaskan beban. Hal ini diduga karena adanya rasa ketidaknyamanan yang muncul akibat pemasangan beban. Penelitian pada taksa burung diketahui bahwa pada hari-hari awal pemasangan beban, ditemukan peningkatan perilaku merapikan bulu preening behaviour Mougey 2009. Pietz et al. 1993 juga menemukan bahwa pada bebek liar wild mallard, pada awal pemasangan beban ada usaha untuk melepaskan beban. Selanjutnya Boitani dan Fuller 2000 menyatakan bahwa terjadi peningkatan intensitas perilaku membersihkan bulu pada burung dan burung tersebut berusaha untuk melepaskan beban. Selama penelitian juga diketahui bahwa suhu tubuh katak bersifat fluktuatif. Naik turunnya suhu tubuh katak relatif dipengaruhi oleh suhu lingkungan disekitarnya. Hal ini juga ditemui dalam penelitian yang dilakukan oleh Muliya 2010. Duellman dan Treub 1986 menyetakan bahwa amfibi merupakan satwa yang tergolong satwa ekoterm dan suhu tubuhnya relatif mengikuti suhu lingkungan terutama subsrat.

4.2.3 Permasalahan yang dihadapi selama pengamatan