Fenomena El-Nino and Southern

4.2. Fenomena El-Nino and Southern

Oscillation ENSO ENSO merupakan fenomena global dari sistem interaksi lautan atmosfer yang ditandai memanasmendinginnya suhu muka laut di Ekuator Pasifik Tengah Nino 3.4 atau anomali suhu muka laut di daerah tersebut positifnegatif lebih panasdingin dari rata-ratanya BMKG, 2008. Peristiwa ENSO terbagi dua, yaitu El-Nino yang dikenal sebagai warm ENSO dan La-Nina sebagai cold ENSO. Menurut Enfield 2003, El-Nino merupakan pemanasan yang tidak biasa di wilayah Samudera Pasifik ekuator yang terjadi secara tidak teratur dengan interval sekitar 3-6 tahun sebagai tanggapan terhadap pelemahan angin skala besar angin pasat yang biasanya bertiup dari selatan Benua Amerika ke Asia. Pada umumnya, angin yang bertiup itu menghasilkan permukaan air dingin di Pasifik timur, melalui penguapan dan upwelling air yang lebih dingin di bawah permukaan. Akibatnya, air menjadi relatif hangat di seluruh Pasifik, Papua New Guinea, Amerika Selatan. Sedangkan La- Nina merupakan kebalikan dari El-Nino ditandai dengan anomali suhu muka laut negatif lebih dingin dari rata-ratanya di Ekuator Pasifik Tengah Nino 3.4. Ada dua Indikator yang umum digunakan untuk menunjukkan akan terjadinya ENSO, yaitu meningkat menurunnya perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin melebihi dari normal atau terjadinya perubahan suhu muka laut di kawasan pasifik dari nilai rata-rata jangka panjang. Perubahan suhu muka laut ini disebut juga dengan anomali suhu muka laut. Kawasan yang menunjukkan anomali suhu muka laut pasifik adalah kawasan Nino 3, Nino 4 atau Nino 3.4. Nino 3.4 terletak antara 5°LU-5°LS, 170°BB-120°BB. Besarnya anomali suhu muka laut ini juga menujukkan besarnya kekuatan El-Nino dan La-Nina. Gambar 2 Kawasan Nino 3.4 NOAA, 2005. Gejala El-Nino dimulai dengan menurunnya tekanan udara di Tahiti di bawah tekanan udara di Darwin sehingga angin barat tertiup lebih kuat memperlemah angin pasat sehingga massa air panas di kawasan pasifik bagian Barat mengalir ke arah Timur dengan bantuan arus equatorial menyebabkan terjadinya akumulasi massa air panas di Pasifik bagian Timur dan permukaan air lautnya naik lebih besar dibanding dengan yang di kawasan Barat. Kondisi ini mengakibatkan konveksi terjadi di pasifik bagian Timur dan subsidensi di atas kontinen maritim Indonesia. Subsidensi ini akan menghambat pertumbuhan awan konveksi. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat La-Nina berlangsung. Gambar 3 Skematik dari sirkulasi Walker di bagian atas dan bawah atmosfer dalam keadaan normal dan El Nino Nicholls, 1987 dalam Boer 2003. Keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Pengaruh ENSO di Indonesia sangat tergantung pada kondisi perairan wilayah Indonesia. Fenomena El-Nino yang berpengaruh di wilayah Indonesia dengan diikuti berkurangnya curah hujan secara drastis baru akan terjadi bila kondisi suhu perairan Indonesia cukup dingin. Namun bila kondisi suhu perairan Indonesia cukup hangat tidak berpengaruh terhadap kurangnya curah hujan secara signifikan di Indonesia. Disamping itu, mengingat luasnya wilayah Indonesia, tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El-Nino BMKG, 2008. Menurut Tjasyono 1997, Besar dampak kejadian Eq 30 o LS 90 o BB o 90 o BT 180 o 90 o BB Eq 30 o LS 90 o BB o 90 o BT 180 o 90 o BB DJF Normal DJF El Nino ENSO terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam antar wilayah. Pengaruh El-Nino kuat pada daerah yang mempunyai tipe hujan monsun, lemah pada daerah dengan sistem equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan sistim lokal. Sejak tahun 1844, Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan 43 kali. Dari 43 kejadian itu, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan kejadian fenomena ENSO Boer dan Subbiah, 2003. Pada saat fenomena El-Nino berlangsung, hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal. Pengamatan terhadap tahun-tahun El-Nino yang terjadi dalam periode 1896 sampai 1987, diperoleh bahwa untuk setiap peningkatan anomali suhu muka laut di daerah Nino 3 rata-rata curah hujan wilayah di Indonesia pada musim kering turun sekitar 60 mm. Penurunan curah hujan wilayah dapat mencapai 80 mm dari normal apabila suhu muka laut di Nino-3 naik sampai 1.8 o C di atas normal Boer, 2001. Berbeda dengan kejadian El Nino, kejadian La-Nina seringkali dicirikan oleh meningkatnya curah hujan di Indonesia khususnya curah hujan musim kemarau. Namun pengaruhnya terhadap peningkatan curah hujan musim hujan tidak begitu tegas. Berdasarkan pengamatan terhadap data hujan musim kemarau selama 100 tahun, secara rata-rata penurunan hujan dari normal akibat terjadinya La-Nina tidak lebih dari 40 mm. Hal ini menunjukkan bahwa bencana yang ditimbulkan kejadian El Nino lebih serius dibanding La Nina. Gambar 4 Anomali hujan rata-rata di Indonesia pada tahun El-Nino, Normal dan La-Nina IRI, 1995.

4.3. Dampak ENSO terhadap Pertanian