Tipe Hujan di Indonesia

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara dengan populasi ke-empat terbesar dan penghasil beras ke-tiga terbesar di dunia World Bank, 2000. Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras pertahunnya, namun konsumsi masih sedikit diatas tingkat produksi tersebut, dimana impor umumnya sampai dengan 7 dari besarnya konsumsi dalam setahun. Kekurangan tingkat produksi dibandingkan dengan konsumsi ini akan semakin besar jika terjadi kegagalan panen. Kegagalan panen tersebut sering diakibatkan oleh iklim yang ekstrim. Pengaruh iklim terhadap pertanian di Indonesia sangat kuat karena iklim di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena global seperti ENSO El-Nino and Southern Oscillation, Dipole Mode, dan Madden Julian Oscillation MJO. Fenomena ENSO merupakan fenomena yang mempunyai peran paling besar dari ketiga fenomena tersebut dalam keragaman iklim di Indonesia, khususnya curah hujan. Besarnya pengaruh ENSO ini ditunjukkan dari data kekeringan yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1844, dimana dari 43 kejadian tersebut, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan kejadian fenomena ENSO Boer dan Subbiah, 2003. El-Nino biasanya menyebabkan kejadian kemarau panjang atau kekeringan karena terjadinya penurunan curah hujan jauh dibawah normal. Sebaliknya La-Nina seringkali menyebabkan lebih panjangnya musim hujan dan meningkatkan curah hujan jauh diatas normal pada musim kemarau. Mundurnya awal musim hujan dan penurunan curah hujan inilah yang menjadikan El-Nino mempunyai dampak negatif terhadap pertanian di Indonesia. Jika awal musim hujan mengalami kemunduran maka awal musim tanam juga mengalami kemunduran. Selain itu kekeringan seringkali menyebabkan kegagal panen. Salah satu indikasi yang menandakan terjadinya peristiwa ENSO adalah anomali suhu muka laut Pasifik Nino 3.4, oleh karena itu data ini bisa dijadikan sebagai prediktor untuk memperkirakan besarnya produksi padi di Indonesia. Dalam penelitian ini, prediktor tidak dihubungkan dahulu dengan curah hujan karena berdasarkan penelitian Naylor 2001, hubungan antara anomali suhu muka laut pasifik Nino 3.4 dengan produksi padi mempunyai korelasi yang kuat dan lebih baik untuk dijadikan sebagai prediktor karena memberikan waktu prediksi yang lebih lama dibandingkan dengan menggunakan curah hujan. Prediksi ini diharapkan bisa dipakai oleh pemegang keputusan dalam kebijakan ketahanan pangan agar bisa mempersiapkan langkah- langkah yang bisa diambil dalam rangka menjaga kestabilan ketahanan pangan di Indonesia. Selain itu, baik pemerintah maupun petani diharapkan bisa menyusun strategi tanam agar tidak terjadi kegagalan panen dan hasil pertanian bisa dioptimalkan. 1.2. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh fenomena ENSO terhadap produksi padi di Indonesia. 2. Menentukan prediktor terbaik untuk prediksi produksi padi di Indonesia. 3. Membuat prediksi produksi padi di Indonesia menggunakan data anomali suhu muka laut pasifik Nino 3.4 agar bisa digunakan sebagai peringatan dini bagi ketahanan pangan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

4.1. Tipe Hujan di Indonesia

Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis yang terletak di daerah tropis, diantara Benua Asia dan Australia, diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta dilalui garis katulistiwa, terdiri dari pulau dan kepulauan yang membujur dari barat ke timur, terdapat banyak selat dan teluk. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional Hadley dan sirkulasi zonal Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim Indonesia. Selain itu karena keberadaan wilayah Indonesia ini, kondisi iklimnya akan dipengaruhi oleh fenomena global seperti El Nino, La Nina, Dipole Mode, dan Madden Julian Oscillation MJO, disamping pengaruh fenomena regional, seperti sirkulasi monsun Asia-Australia, Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis atau Inter Tropical Convergence Zone ITCZ yang merupakan daerah pertumbuhan awan, serta kondisi suhu muka laut di sekitar wilayah Indonesia BMKG, 2008. Sirkulasi angin di Indonesia ditentukan oleh pola perbedaan tekanan udara di Australia dan Asia. Pola tekanan udara ini mengikuti pola peredaran matahari dalam setahun yang mengakibatkan sirkulasi angin di Indonesia umumnya adalah pola monsun, yaitu sirkulasi angin yang mengalami perubahan arah setiap setengah tahun sekali. Pola angin baratan terjadi karena adanya tekanan tinggi di Asia yang berkaitan dengan berlangsungnya musim hujan di Indonesia. Pola angin timurantenggara terjadi karena adanya tekanan tinggi di Australia yang berkaitan dengan berlangsungnya musim kemarau di Indonesia BMKG, 2008. Wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan pola hujannya, yaitu pola Monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal Boerema, 1938 dalam Boer, 2001. Pola Moonson biasanya mempunyai pola hujan yang mempunyai satu puncak musim hujan yaitu bulan Desember unimodal dan mempunyai curah hujan yang relatif tinggi selama enam bulan sehingga disebut musim hujan Oktober-Maret dan curah hujan yang rendah pada enam bulan berikutnya April- September sehingga disebut musim kemarau Boer, 2001. Tipe Monsoon terbagi lagi menjadi dua kelompok yaitu Tipe A dan Tipe B. Perbedaan antara keduanya adalah antara musim hujan dan musim kemarau. Tipe A memiliki musim kemarau yang lebih panjang wilayah timur Indonesia dan kepualuan Nusa Tenggara dan memiliki hujan yang lebih rendah dari tipe B secara keseuluruhan Jawa, Sumatra Selatan, dan Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, daerah tipe A lebih sering mengalami kekeringan dibanding daerah tipe B. Sebagian besar wilayah Indonesia bagian Selatan didominasi oleh Tipe A dan B. Keragaman hujan musim kemarau secara umum lebih besar dibanding musim hujan Oktober- Maret. Pengaruh angin musim Australia salama musim hujan sangat jelas pada wilayah ini Boer, 2001. Pola equatorial ditandai dengan pola hujan yang mempunyai dua puncak musim hujan bimodal, biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober pada saat matahari berada dekat equator. Sedangkan pola lokal mempunyai pola hujan yang berlawanan dengan pola monsun namun sama-sama mempunyai satu puncak hujan unimodal. Tipe ekuatorial juga dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu tipe D dan E. Tipe D mencakup daerah di wilayah pantai barat Sumatra Utara sedangkan tipe E mencakup daerah di wilayah pantai barat Sumatra Selatan. Pada daerah ini musim kemarau tidak begitu jelas Boer, 2001. Tipe lokal disebut juga sebagai tipe C. Daerah yang memiliki tipe ini adalah daerah bagian timur ekuator Indonesia seperti Maluku dan Sorong. Musim kemarau pada daerah tipe ini tidak sekering tipe A maupun tipe B sehingga curah hujan tahunan di daerah tipe iklim ini lebih besar dari tipe A dan B. Hal ini disebabkan karena wilayah dengan tipe iklim ini mempunyai sifat geografis seperti pegunungan dan topografi yang memungkinkan intensifnya proses konveksi akan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan keragaman curah hujan wilayahnya Rafi’i, 1998. Gambar 1 Tipe Hujan Indonesia Boer dan Subbiah, 2003 .

4.2. Fenomena El-Nino and Southern