Sikap Masyarakat Terhadap Penderita HIVAIDS

Lingkungan kondusif untuk mengurangi stigma, diskriminasi dan pelanggaran hak azasi serta menghilangkan hambatan pada pelaksanaan kegiatan penanggulangan HIVAIDS sangat diperlukan. 6. Koordinasi Multipihak Masalah HIVAIDS harus ditangani secara terkoordinasi oleh sektor pemerintah, sektor swastadunia usaha dan LSM. Koordinasi tersebut mencakup aspek perencanaan, pembiayaan, penyelenggaraan, monitoring dan evaluasi. 7. Kesinambungan Penanggulangan Pada masa mendatang Indonesia akan menghadapi masalah HIVAIDS yang semakin besar dan kompleks. Oleh karena itu upaya penanggulangan harus ditingkatkan dan dijamin kesinambungannya sustainable response agar tujuan penanggulangan HIVAIDS dapat dicapai. Kelemahan dalam bidang organisasi dan kemampuan individu dari mereka yang terlibat dalam penanggulangan HIVAIDS harus ditingkatkan melalui upaya peningkatan kemampuan capacity building.

2.1.10 Sikap Masyarakat Terhadap Penderita HIVAIDS

Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya bahwa salah satu strategi penanggulangan HIVAIDS adalah menciptakan lingkungan yang konduksif, yaitu dengan menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap penderita HIVAIDS. Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pada gilirannya akan mendorong munculnya pelanggaran HAM Hak Asasi Manusia bagi ODHA orang-orang yang hidup dengan HIVAIDS dan keluarganya. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIVAIDS. Mereka menghambat usaha pencegahan dan perawatan dengan memelihara kebisuan dan penyangkalan tentang HIVAIDS seperti juga mendorong keterpinggiran ODHA dan mereka yang rentan terhadap infeksi HIV. Mengingat HIVAIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan narkoba dan kematian, banyak orang yang tidak peduli, Universitas Sumatera Utara tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini di hampir seluruh lapisan masyarakat Harahap, 2003. Pelaku diskriminasi bisa terjadi di keluarga, masyarakat, pers, rumah sakit, dokter, dan paramedis, serta lembaga swadaya masyarakat. Bentuk diskriminasi di keluarga dan masyarakat misalnya dikucilkan, ditempatkan dalam ruang atau rumah khusus, diberi makanan secara terpisah, bahkan ada yang diborgol. Pengaduan juga terjadi di masyarakat. Sementara pers memuat foto, nama, dan alamat tanpa izin. Diskriminasi yang dilakukan perusahaan misalnya pemutusan hubungan kerja, mutasi atau pelarangan kerja ke luar negeri. Bentuk diskriminasi oleh rumah sakit dan tenaga kesehatan adalah penolakan untuk merawat, mengoperasi atau menolong persalinan, diskriminasi dalam pemberian perawatan, dan penolakan untuk memandikan jenazah Djoerban, 2005. Selain itu, banyak orang percaya bahwa HIVAIDS dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk, minum dari gelas yang sama dengan orang dengan AIDS, bergaul sehari-hari dengan orang dengan AIDS yang batuk, dan berpeluk atau mencium orang dengan AIDS. Hal ini juga menyebabkan terjadinya stigma dan diskriminasi pada penderita HIVAIDS. Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Setiap etnis, budaya, agama dan lain-lain tentu saja memiliki pandangan, sikap, tindakan yang berbeda-beda terhadap suatu persoalan. Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara pendengar dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementara dalam budaya lain justru sebaliknya. Universitas Sumatera Utara Dilihat dari contoh lain, ada kolompok yang bisa merasa simpati atau peduli terhadap orang lain sedangkan kelompok lain lebih bersifat individualistik dan acuh tak acuh terhadap perkara orang lain. Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya “keahlian” yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya Muhaimin, 2009. Sebenarnya sangat sulit untuk membicarakan tentang stigma dan diskriminasi HIVAIDS yang terjadi di dunia. Bahkan reaksi dalam suatu negara terhadap HIVAIDS akan beraneka ragam antara kelompok yang satu dengan yang lain dan individu yang satu dengan yang lain. Agama, umur, dan tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit tersebut dapat mempengaruhi bagaimana seseorang menyikapi penyakit tersebut. Stigma terhadap penderita HIVAIDS tidak bersifat statis. Ini akan berubah seiring dengan berjalannya waktu dimana pengetahuan mengenai HIVAIDS dan pengobatannya telah berkembang AVERT, 2009. Pada tahun 2003, WHO menyatakan bahwa jika HIVAIDS sudah menjadi penyakit yang bisa dicegah dan diobati, sikap masyarakat akan berubah dimana penolakan, stigma, dan diskriminasi akan dengan cepat berkurang. Salah satu hal yang menyebabkan orang menstigma dan mendiskriminasi ODHA karena mereka tidak paham akan HIVAIDS dan cara penularannya YAKITA, 2003. Berbagai upaya telah dijalankan untuk mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dan keluarganya, namun hal ini masih terus berlangsung. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan peningkatan pemahaman mengenai HIVAIDS dikalangan masyarakat termasuk mereka yang bekerja di unit-unit pelayanan kesehatan. Universitas Sumatera Utara 2.2 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat 2.2.1 Pengetahuan