Analisis Hubungan Pendapatan terhadap Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan Kumuh Kota Tebing Tinggi
ANALISIS HUBUNGAN PENDAPATAN TERHADAP FAKTOR
SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
DI KAWASAN KUMUH KOTA TEBING TINGGI
TESIS
Oleh
NOVITA DAMAYANTI
107003059/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
(2)
ANALISIS HUBUNGAN PENDAPATAN TERHADAP
FAKTOR SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI
KAWASAN KUMUH KOTA TEBING TINGGI
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Pedesaan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
NOVITA DAMAYANTI
107003059/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(3)
Judul Tesis : ANALISIS HUBUNGAN PENDAPATAN TERHADAP FAKTOR SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KAWASAN KUMUH KOTA TEBING TINGGI
Nama Mahasiswa : Novita Damayanti Nomor Induk Mahasiswa : 107003059
Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
Menyetujui Komisi Pembimbing
( Dr. Ir. Tavi Supriana, MS. Ketua
) ( Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec Anggota
)
Ketua Program Studi
( Prof.Dr.lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE )
Direktur
( Prof.Dr.Ir.A. Rahim Matondang, MSIE)
(4)
Telah diuji pada Tanggal : 6 Juli 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Tavi Supriana, MS
Anggota : 1. Wahyu Ario Pratomo, SE.M.Ec 2. Ir.Supriadi, MS
3. Dr. Rujiman, SE, MA 4. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si
(5)
PERNYATAAN
Analisis Hubungan Pendapatan terhadap Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan Kumuh Kota Tebing Tinggi
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Medan, Juli 2012 Yang membuat pernyataan
(6)
ANALISIS HUBUNGAN PENDAPATAN TERHADAP FAKTOR SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
DI KAWASAN KUMUH KOTA TEBING TINGGI ABSTRAK
Kawasan permukiman kumuh mencerminkan komunitas masyarakat yang memiliki pekerjaan yang tidak menetap maupun tidak bekerja. Komunitas ini tinggal di areal tidak layak huni seperti, minimnya saluran drainase, sanitasi dan persampahan sehingga berpotensi munculnya beragam bibit penyakit.
Kawasan permukiman kumuh tersebar di 4 kecamatan dan 7 kelurahan di Kota Tebing Tinggi. Permukiman kumuh tersebut ditandai dengan pelayanan infrastruktur beserta fasilitas umumnya yang kurang maksimal, kondisi bangunan yang tidak teratur serta tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat yang rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan tingkat pendapatan masyarakat terhadap factor sosial ekonomi di kawasan permukiman kumuh.
Populasi dalam penelitian ini sebanyak 90 kepala rumah tangga, dengan menggunakan tehnik penelitian berupa observasi langsung dan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data ditabulasi kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisis deskriptif dan metode chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan: faktor sosial ekonomi berupa kepemilikan rumah, pendidikan dan aksessibilitas terhadap lembaga keuangan adalah memiliki hubungan yang tidak signifikan (tidak nyata). Tingkat pendapatan dan Tipe rumah yang dimiliki adalah memiliki hubungan yang signifikan (nyata).
Kata Kunci : permukiman kumuh, kepemilikan rumah, aksessibilitas terhadap lembaga keuangan, pendidikan dan tipe rumah.
(7)
THE ANALYSIS OF RELATIONSHIP BETWEEN INCOME AND COMMUNITY’S SOCIO-ECONOMIC FACTOR IN THE SLUM
SETTLEMENT AREAS IN TEBING TINGGI
ABSTRACT
Slum settlement area portrays a group of community without permanent job or do not work at all. This community lives in the unworthy areas due to the lack of drainage and sanitation and being full of garbage that these areas have the potentials of the emergence of various seeds of diseases.
These slum settlement areas are spread in 4 sub-districts and 7 urban-villages in the city of Tebing Tinggi which are characterized with the less maximum facilities and infrastructure service, irregular building condition, and low community’s economic and education levels. The purpose of this study was to look at the relationship between the income level of community and the socio-economic factor in the slum settlement areas.
The population of this study was 90 heads of families. The data for this study were obtained through direct observation and questionnaire-based interviews. The data obtained were processed and analyzed through descriptive analysis technique and Chi-square method.
The result of this study showed that the socio-economic factor in the form of home ownership, education and accessibility to financial institution had an insignificant relationship. Level of income and type of house owned had a significant relationship.
Keywords: Slums, Home Ownership, Accessibility to Financial Institution, Education, House Type
(8)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karuniaNya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Analisis Hubungan Pendapatan terhadap Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan Kumuh Kota Tebing Tinggi ”
Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik dalam bentuk moril, bimbingan maupun arahan sehingga sesuai dengan tatacara yang telah ditentukan. Untuk itu, penulis dalam kesempatan ini, dengan kerendahan hati dan rasa hormat menyampaikan terimakasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc,(CTM),SP.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof.Dr.Ir.A.Rahim Matondang, MSIE, sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof.Dr.lic.rer.reg.Sirojuzilam,SE., sebagai Ketua Program Studi Magister Perencanaan Wilayah Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan.
4. Bapak Ir.H.Umar Zunaidi Hasibuan,MM., sebagai Walikota Tebing Tinggi atas bantuan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada program pascasarjana.
5. Bapak Gul Bakhri Siregar, SIP. M,Si., sebagai Plh.Kepala Bappeda Kota Tebing Tinggi atas kesempatan dan motivasi yang telah diberikan.
6. Ibu Dr. Tavi Supriana, MS., sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE. M.Ec., sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, motivasi dan ide-ide dalam proses penyelesaian tesis ini.
(9)
7. Bapak Ir.Supriadi, MS., Bapak Dr. Rujiman, SE, MA., dan Bapak Agus Suriadi, S.Sos. M.Si., sebagai Komisi Pembanding yang telah memberikan masukan dan saran-saran konstruktif untuk kesempurnaan tesis ini.
8. Kedua Alm. Orangtua saya H.Sianipar dan L.br.Tobing buat semangat yang telah ditanamkan pada saya semasa hidupnya.
9. Buat putri saya Luna Eukharis yang selalu menjadi inspirasi dalam perkuliahan saya serta tidak lupa buat saudara-saudara saya Lorenta, S.Pd/Advendi Hutasoit,S.Pd, M.Si, Lisbeth Dorianna,A.Md/D.Alexander Manurung A.Md, Ferdinand Sianipar/Evi br.Sitepu, SH, Elfi Carolina,S.Pd dan Fernandes Sianipar, ST serta buat suami saya Galogat Situngkir,ST atas dukungan dan motivasi yang telah diberikan
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Mohon ma’af atas segala kesalahan dan kesilafan selama ini. Semoga Allah Bapa Yang Maha Pengasih memberikan berkatnya kepada kita. Amin……
Medan, Juli 2012 Penulis,
(10)
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Novita Damayanti
2. Tempat/tanggal Lahir : Padang Sidimpuan, 30 Nopember 1978
3. Alamat : Jl. Nenas Gang Rambutan No. 6 Tebing Tinggi 4. Agama : Kristen Protestan
5. Jenis Kelamin : Perempuan
6. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil 7. Status : Menikah
8. Pendidikan :
a. SD N.142439 Padang Sidimpuan, lulus tahun 1988 b. SMPN 3 Padang Sidimpuan, lulus tahun 1994 c. SMA N.2 Padang Sidimpuan, lulus tahun 1997
d. Fakultas Ekonomi, Jurusan Ekonomi Pembangunan USU Medan, lulus tahun 2002 e. Magister Perencanaan dan Pembangunan Wilayah Desa USU Medan, lulus
(11)
DAFTAR ISI
ABSTRAK………. i
ABSTRACT. ……… ii
KATA PENGANTAR ……… iii
RIWAYAT HIDUP ………. v
DAFTAR ISI ……… vi
DAFTAR TABEL ………. viii
DAFTAR GAMBAR ……… x
DAFTAR LAMPIRAN .………...…… xi
BAB I PENDAHULUAN ……….... 1
1.1 Latar Belakang ………..…. 1
1.2 Rumusan Masalah ………..… 8
1.3 Tujuan Penelitian ……….……. 8
1.4 Manfaat Penelitian ……….……... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. 9
2.1 Pengertian Kemiskinan ……….…. 9
2.2 Indikator Kemiskinan…. ………... 15
2.3 Penyebab Kemiskinan ……….… 20
2.4 Dampak Kemiskinan………….. ……….……. 23
2.5 Pemukiman Kumuh… ………. 25
2.6 Kemiskinan dan Pendapatan ……… ………. 31
2.7. Pendidikan dan Kemiskinan ……….. 33
2.8 Penelitian Sebelumnya ……… 35
2.9 Kerangka Pemikiran ……….……. 36
2.10 Hipotesis Penelitian ………...……….. 38
BAB III METODE PENELITIAN ………...……….. 39
3.1 Lokasi Penelitian……….. ……… 39
3.2 Populasi dan Sampel ………. 40
3.3 Jenis dan Sumber Data………. 41
3.4 Teknik Pengumpulan Data………... 41
3.5 Defenisi Operasional ………... 43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..………...……….. 44
4.1 Deskripsi Daerah Penelitian………….………..…… 44
4.1.1 Letak dan Batas Wilayah ……….……….… 44
4.1.2 Demografi Wilayah………..…... 45
4.1.3 Penyebaran Kawasan Kumuh ..………..…... 47
4.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat………..…… 48
(12)
4.2.2 Pendidikan Masyarakat di Kawasan Kumuh ..…………..…... 50
4.2.3 Jenis Kelamin Masyarakat di Kawasan Kumuh ..………..…... 50
4.2.4 Banyak Tanggungan ……….. ..………..…... 51
4.2.5 Tingkat Pendapatan ……… ..………..…... 52
4.2.6 Tingkat Pengeluaran ……… ..………..…... 53
4.2.7 Jenis Pekerjaan…… ……… ..………..…... 54
4.2.8 Lama Domisili…… ……… ..………..…... 55
4.3 Kondisi Fisik Masyarakat di Kawasan kumuh………..…… 56
4.4 Analisa Hasil Penelitian ……….………..…… 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..………...……….. 67
(13)
DAFTAR TABEL
Nomor J u d u l Halaman
1.1. Perkembangan Populasi Dan Kelompok Miskin di Kota Tebing Tinggi ... 6
2.1. Ukuran Kemiskinan ... 19
3.1. Distribusi Responden Rumah Tangga Berdasarkan Kelurahan ... 42
3.2. Bentuk Tabel Silang (Cross-Tab) Pada Uji Chi Square ... 44
4.1. Jumlah Penduduk Kota Tebing Tinggi Menurut Kecamatan, Jenis Kelamin Dan Rasio Jenis Kelamin Tahun 2009 ... 48
4.2. Luas Wilayah, Penduduk, Dan Kepadatan Penduduk di KotaTebing Tinggi Menurut Kecamatan Tahun 2009 ... 49
4.3. Distribusi Kawasan Kumuh Di Kota Tebing Tinggi ... 48
4.4. Distribusi Tingkat Usia Responden ... 49
4.5. Distribusi Tingkat Pendidikan Responden ... 50
4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 51
4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan ... 52
4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Keluarga ... 53
4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga ... 54
4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 54
4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Domisili ... 55
4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Tipe Bangunan Dan Penghasilan .. 56
4.13. Distribusi Responden Rerdasarkan Bahan Atap Bangunan Rumah Dan Rata-Rata Penghasilan ... 57
4.14. Distribusi Responden Berdasarkan Bahan Lantai Bangunan Rumah Dan Rata-Rata Penghasilan ... 58
4.15. Distribusi Responden Berdasarkan Fungsi Pemisah Kamar Mandi Dengan Dapur Dan Rata-Rata Penghasilan ... 59
(14)
4.17. Hubungan Pendapatan Dengan Pendidikan ... 61 4.18. Hubungan Pendapatan Dengan Aksessibilitas Terhadap Lembaga
Keuangan ... 63 4.19. Perbandingan Pendapatan Perkapita dengan Beberapa Indikator
Pendapatan Perkapita ... 64 4.20. Hubungan Pendapatan Dengan Tipe Rumah ... 65
(15)
DAFTAR GAMBAR
Nomor J u d u l Halaman 2.1. Kerangka pemikiran ... 39 2.2. Kerangka penelitian ... 40 4.1. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin ... 47
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Instrumen/Angket Penelitian ... 74 2. Tabulasi Hasil Penelitian ... 78
3. Hasil Chi Square ... 84
(17)
ANALISIS HUBUNGAN PENDAPATAN TERHADAP FAKTOR SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
DI KAWASAN KUMUH KOTA TEBING TINGGI ABSTRAK
Kawasan permukiman kumuh mencerminkan komunitas masyarakat yang memiliki pekerjaan yang tidak menetap maupun tidak bekerja. Komunitas ini tinggal di areal tidak layak huni seperti, minimnya saluran drainase, sanitasi dan persampahan sehingga berpotensi munculnya beragam bibit penyakit.
Kawasan permukiman kumuh tersebar di 4 kecamatan dan 7 kelurahan di Kota Tebing Tinggi. Permukiman kumuh tersebut ditandai dengan pelayanan infrastruktur beserta fasilitas umumnya yang kurang maksimal, kondisi bangunan yang tidak teratur serta tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat yang rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan tingkat pendapatan masyarakat terhadap factor sosial ekonomi di kawasan permukiman kumuh.
Populasi dalam penelitian ini sebanyak 90 kepala rumah tangga, dengan menggunakan tehnik penelitian berupa observasi langsung dan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data ditabulasi kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisis deskriptif dan metode chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan: faktor sosial ekonomi berupa kepemilikan rumah, pendidikan dan aksessibilitas terhadap lembaga keuangan adalah memiliki hubungan yang tidak signifikan (tidak nyata). Tingkat pendapatan dan Tipe rumah yang dimiliki adalah memiliki hubungan yang signifikan (nyata).
Kata Kunci : permukiman kumuh, kepemilikan rumah, aksessibilitas terhadap lembaga keuangan, pendidikan dan tipe rumah.
(18)
THE ANALYSIS OF RELATIONSHIP BETWEEN INCOME AND COMMUNITY’S SOCIO-ECONOMIC FACTOR IN THE SLUM
SETTLEMENT AREAS IN TEBING TINGGI
ABSTRACT
Slum settlement area portrays a group of community without permanent job or do not work at all. This community lives in the unworthy areas due to the lack of drainage and sanitation and being full of garbage that these areas have the potentials of the emergence of various seeds of diseases.
These slum settlement areas are spread in 4 sub-districts and 7 urban-villages in the city of Tebing Tinggi which are characterized with the less maximum facilities and infrastructure service, irregular building condition, and low community’s economic and education levels. The purpose of this study was to look at the relationship between the income level of community and the socio-economic factor in the slum settlement areas.
The population of this study was 90 heads of families. The data for this study were obtained through direct observation and questionnaire-based interviews. The data obtained were processed and analyzed through descriptive analysis technique and Chi-square method.
The result of this study showed that the socio-economic factor in the form of home ownership, education and accessibility to financial institution had an insignificant relationship. Level of income and type of house owned had a significant relationship.
Keywords: Slums, Home Ownership, Accessibility to Financial Institution, Education, House Type
(19)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indikator jumlah penduduk miskin merupakan indikator makro yang menggambarkan perkembangan pembangunan dan kesejahteraan ekonomi penduduk. Besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga dapat menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat. Namun data pendapatan yang akurat sulit diperoleh, sehingga dilakukan pendekatan dari segi pengeluaran rumah tangga. Komposisi pengeluaran penduduk dapat dijadikan salah satu ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin kecil pengeluaran penduduk untuk konsumsi makanan merupakan indikasi tingkat kesejahteraan yang semakin baik. Pengeluaran untuk konsumsi makanan dan bukan makanan berkaitan erat dengan tingkat pendapatan masyarakat. Jika konsumsi penduduk ada pergeseran dari konsumsi makanan ke konsumsi bukan makanan, maka secara umum menunjukkan bahwa adanya peningkatan pendapatan penduduk.
BPS mendefenisikan bahwa penduduk miskin adalah mereka yang nilai pengeluaran konsumsinya berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan garis kemiskinan yang digunakan adalah nilai rupiah setara dengan 2.100 kalori perkapita per hari ditambah dengan nilai rupiah yang hanya cukup untuk konsumsi komoditi
(20)
non pangan yang paling esensial. Sebagai bahan pertimbangan di Negara yang sedang berkembang, pemenuhan kebutuhan makanan masih menjadi prioritas utama, karena untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Masalah kemiskinan tidak dapat dilepaskan dari penyebab kemiskinan tersebut, atau dengan kata lain harus dicari akar dan sumber kemiskinan itu. Dengan mengetahui akar dan sumber kemiskinan, maka akan mempermudah untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Mencari sumber kemiskinan bukanlah hal yang mudah walaupun konsep kemiskinan telah dibuat namun tetap saja menjadi topik pembicaraan, terutama bagi negara sedang berkembang, dimana masalah kemiskinan sekarang ini belum bisa dipecahkan.
Isu kemiskinan (poverty issues) sangat populer sebagai topik yang semakin menjadi perhatian, terlebih sejak terjadinya krisis ekonomi melanda Indonesia karena menyebabkan semakin bertambahnya jumlah penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan di Indonesia. Terjadinya krisis ekonomi menjadikan perlu analisis masalah kemiskinan yang komprehensif dan mendalam. Lebih dari itu, sangat perlu juga ditelaah bagaimana dampak krisis pada penduduk lapisan bawah dari segi ketahanan pangan (food security), aspek kemampuan rumah tangga mempertahankan anaknya untuk tetap sekolah dan tetap sehat (households ability to keep children at school).
Informasi mengenai penduduk yang masuk dalam kategori miskin termasuk karakteristik kemiskinan merupakan upaya agar target program pengentasan
(21)
kemiskinan (poverty alleviation target) dapat dibuat menjadi lebih akurat. Akurasi ini sangat penting karena dengan ketersediaan data yang lengkap dan akurat akan memudahkan dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Kawasan kumuh sebagai akibat dari kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota-kota besar di Indonesia bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya. Telaah tentang permukiman kumuh (slum), pada umumnya mencakup tiga sendi, pertama kondisi fisiknya, kedua kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang bermukim di kawasan tersebut, dan ketiga dampak oleh kedua kondisi tersebut. Kondisi fisik tersebut antara lain dampak dari kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan kualitas konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras, sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi serta sampah belum dikelola dengan baik. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di kawasan-kawasan kumuh antara lain mencakup tingkat pendapatan rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang mewarnai kehidupannya yang antara lain tampak dari sikap dan perilaku apatis. Kondisi tersebut sering juga mengakibatkan kondisi kesehatan yang buruk, sumber pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang, yang berdampak pada kehidupan kota keseluruhannya. Oleh karena itu kawasan-kawasan kumuh dianggap sebagai penyakit kota yang harus diatasi (Sudjatmako, 1983).
(22)
Menyadari pentingnya pengentasan kemiskinan, pemerintah melalui program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) dan program-program lainnya telah berusaha mengangkat masyarakat miskin tersebut serta meminimalisasi kemiskinan. Sebelumnya nama program ini adalah P2KP (Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan) untuk daerah perkotaan dan PPK (Program Pengembangan Kecamatan) untuk daerah pedesaan. PNPM ini terdiri atas tiga pilar utama atau TRIDAYA, yaitu Daya Lingkungan, Daya Sosial dan Daya Ekonomi. Program ini sejalan dengan jargon pemerintahan SBY-Boediono jilid II tahun 2009 - 2014, yaitu program pembangunan nasional yang pro-job (pro penciptaan lapangan kerja), pro-growth (pro pertumbuhan), dan pro-poor (pro masyarakat miskin). Pengentasan kemiskinan yang tepat sasaran adalah program yang mengacu pada by name by address (talkshow TVRI Medan “Potret Kessos di Provsu” Menteri Kesos RI dan pakar kesos USU Agus Suryadi, Maret 2012). Karena untuk pengentasan kemiskinan uang bukanlah segalanya namun yang terpenting adalah semangat kebersamaan untuk menggali potensi yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.
Kemiskinan merupakan masalah serius yang terus dihadapi bangsa Indonesia. Isu kemiskinan sangat banyak ragam dan coraknya. Istilah atau terminologi kemiskinan misalnya adalah kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural, dll. Namun apapun terminologi apapun yang digunakan, isu kemiskinan selalu membicarakan cause and effect (penyebab dan dampaknya) dari kemiskinan tersebut. Berlarut-larutnya masalah ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan sulit
(23)
dicari solusinya. Program-program penanggulangan kemiskinan telah direalisasikan, namun banyak menemui jalan buntu. Ini ditunjukkan dengan data pengangguran belum bisa ditekan dan bahkan makin meningkat di beberapa daerah, angka anak putus sekolah semakin meningkat, kesehatan yang semakin memburuk, dan pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan masyarakat dan perekonomian sebuah daerah dan negara.
Kemiskinan bukanlah merupakan fenomena ekonomi semata, menurut Kusuma dalam Jurnal Analis Sosial (2002: 169), kemiskinan juga terkait dengan politik, sosial, budaya yang ada pada masyarakat. Dimensi politik mewujud pada tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan kaum miskin. Hal ini mengakibatkan mereka tersingkir dari proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka sendiri. Lebih jauh lagi mereka tidak mempunyai akses untuk usaha yang mereka lakukan termasuk informasi yang dibutuhkan untuk peningkatan taraf hidup secara layak. Dimensi sosial muncul dalam bentuk tidak terintegrasikannya masyarakat miskin dalam institusi sosial yang ada. Demikian pula halnya budaya, tidak terinternalisasikannya budaya kemiskinan yang akhirnya merusak kualitas dan etos kerja yang mereka jalani.
Sementara itu, dari dimensi ekonomi kemiskinan tampil dalam bentuk rendahnya penghasilan, sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup
(24)
sampai batas yang layak. Dan pada akhirnya berujung pada dimensi asset yang ditandai dengan rendahnya kepemilikan masyarakat miskin.
Informasi utama tentang kemiskinan yang paling menarik perhatian banyak pihak adalah jumlah dan persentase penduduk miskin. Dengan memperhatikan angka ini maka dapat dipantau tentang keberhasilan berbagai kebijakan dan program pembangunan dan sekaligus dapat dinilai apakah program tersebut memihak penduduk miskin atau tidak. Penduduk miskin (di bawah garis kemiskinan) dinilai sangat menghambat kinerja ekonomi suatu daerah sedangkan bila kinerja ekonomi mengalami tren yang positif, maka hasil yang diharapkan adalah meningkatnya kesejahteraan kehidupan masyarakatnya dengan indikasi berkurangnya angka kemiskinan di daerah tersebut. Hal ini bisa ditinjau dari berbagai segi, baik dari segi pendidikan, angkatan kerja, kesehatan, dan lain sebagainya.
Sehingga bila ditarik garis merah dari permasalahan yang timbul, kemiskinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, dan demikian pula sebaliknya, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi besar pengaruhnya kepada pengurangan tingkat kemiskinan.
Adapun perkembangan tingkat kemiskinan di Kota Tebing Tinggi sejak tahun 2006 – 2010 yaitu: tahun 2006 sebesar 10,4%, sedangkan pada tahun berikutnya yakni tahun 2007 mengalami penurunan sebesar 0,8% atau sekitar 965 jiwa. Pada tahun 2008 ada kenaikan 6,9% atau sekitar 9.660 jiwa akibat dari fluktuasi ekonomi
(25)
dunia yang mempengaruhi perekonomian kita skala nasional. Namun pada tahun 2009 angka kemiskinan mengalami penurunan menjadi 14,4% atau sekitar 2.540 jiwa, dan tahun 2010 angka kemiskinan kembali mengalami penurunan sampai pada tingkat 13,8% atau sekitar 1.630 jiwa.
Tabel 1.1
Perkembangan Populasi dan Kelompok Miskin di Kota Tebing Tinggi Periode 2006 – 2010 (Jiwa)
2006 2007 2008 2009 2010 Populasi 137.959 139.409 141.059 142.717 145.248 Kelompok
Miskin
14.375 13.410 23.070 20.530 18.900
% 10.4 9.6 16.4 14.4 13.8
Sumber: BPS Kota Tebing Tinggi
Naik turunnya jumlah penduduk miskin di Kota Tebing Tinggi berpengaruh terhadap lingkungan permukiman yang tidak layak huni, biasa dikenal dengan permukiman kumuh. Dengan demikian, peningkatan jumlah lokasi dan kualitas kekumuhan akibat krisis ekonomi menjadi semakin kompleks. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya tenaga kerja dibandingkan dengan permintaan tenaga kerja.
Munculnya kawasan kumuh ini tentunya akan berpotensi terhadap masalah-masalah sosial. Potensi akan meningkatnya tindak kriminalitas, kurangnya fasilitas umum perkotaan menyebabkan rendahnya kualitas kesehatan masyarakat, terganggunya keindahan kota, dan masalah-masalah sosial lainnya.
(26)
Kota Tebing Tinggi terdiri dari 5 kecamatan yakni Kecamatan Tebing Tinggi Kota, Padang Hulu, Padang Hilir, Rambutan dan Bajenis. Sesuai dengan SK Walikota Nomor 460/036 tahun 2010 tanggal 13 Januari 2010 kawasan kumuh terdiri dari 4 kecamatan yaitu: Kecamatan Padang Hulu (Kelurahan Bandar Sono dan Persiakan), Kecamatan Tebing Tinggi Kota (Kelurahan Mandailing dan Bandar Utama), Kecamatan Rambutan (Kelurahan Sri Padang dan Tanjung Marulak Hilir), Kecamatan Bajenis (Kelurahan Bandar Sakti).
Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia selain pangan dan sandang yang masih belum dapat dipenuhi oleh seluruh masyarakat. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, rumah merupakan asset dalam rangka pengembangan kehidupan sosial dan ekonomi bagi pemiliknya.
Penduduk di kawasan kumuh sosial dan ekonomi tidak homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat pendapatan yang beraneka ragam. Dalam masyarakat kawasan kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda. Sebagian besar penghuni kawasan kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal yaitu: tidak menerima bantuan atau proteksi ekonomi dari pemerintah, sektor yang belum dapat menggunakan bantuan karena tidak memiliki akses pada bantuan meskipun pemerintah menyediakannya dan sektor yang telah menerima bantuan tetapi itu belum membuat sektor ini menjadi berdikari (Hidayat, 1988)
(27)
Berangkat dari permasalahan kemiskinan yang semakin kompleks ini, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang analisa dampak pendapatan terhadap faktor sosial ekonomi masyarakat di kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi. 1.2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah adalah sebagai berikut “bagaimana hubungan tingkat pendapatan terhadap faktor sosial ekonomi masyarakat (faktor kepemilikan rumah, status rumah, pendidikan, dan akses terhadap lembaga keuangan) di kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi”.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan tingkat pendapatan terhadap kepemilikan rumah, status rumah, pendidikan dan akses terhadap lembaga keuangan di kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat:
1. Bagi Pemerintah Kota Tebing Tinggi, sebagai rekomendasi terkait dengan pemberdayaan ekonomi rumah tangga masyarakat yang bermukim di Kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi.
2. Bagi akademis, untuk melengkapi kajian ilmiah dan dapat menambah bahan bacaan dan referensi dari satu karya ilmiah.
3. Dalam meminimalisasi munculnya kawasan-kawasan kumuh yang baru sebagai dampak negatif dari pembangunan perkotaan.
(28)
(29)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kemiskinan
Walaupun kemiskinan merupakan istilah yang umum, ditandai dengan tidak mempunyai seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal yang dianggap layak, namun kemiskinan itu memiliki ciri yang berbeda antar wilayah, perbedaan ini terkait pada kemiskinan SDA, SDM dan kelembagaan setempat.
Kemiskinan biasa dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu: kemiskinan struktural, kemiskinan natural, dan kemiskinan relatif. Pengertian kemiskinan struktural merujuk pada situasi dimana fenomena kemiskinan disebabkan struktur yang membelenggu masyarakat untuk maju keseluruhan. Kemiskinan natural menggambarkan fenomena kemiskinan sebagai akibat dari miskinnya sumber daya alam yang menghidupi masyarakat. Adapun kemiskinan relative merujuk pada situasi komparasi antara satu individu, kelompok atau masyarakat lainnya. (Pakpahan, 1993).
Menurut Soejono (1991) kemiskinan akibat dari kedudukan mereka yang lemah, tidak ada kemampuan untuk meningkatkan pendapatan. Pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan pengupayaan pemberian pengertian dan pengetahuan tentang keadaan mereka ke arah pemikiran yang berorientasi ke masa depan, dan untuk mencapainya melalui perbaikan pendidikan.
(30)
Menurut Pakpahan (1991) kemiskinan pada hakekatnya merupakan resultan dari interaksi antara teknologi, sumber daya alam dan kapital, sumber daya manusia dan kelembagaan. Dengan demikian kemiskinan ini dapat dilihat sebagai akibat (endegeneous variable) maupun sebagai sebab (exogeneous variable). Affendi (1991) mengatakan bahwa kemiskinan sebagai endogenous variable yang merupakan derivasi langsung dari pendapatan, baik dalam nilai uang maupun bukan nilai uang seperti keamanan, kebebasan, maupun kesempatan ekonomi dan lain-lain. Kemiskinan tumbuh sebagai bahagian dari sejarah kemanusiaan sendiri dan cenderung menjadi parah dengan berkembangnya waktu. Kemiskinan bukan semata-mata masalah individu lagi, tetapi sudah menjadi masalah bangsa dan dalam rangka globalisasi sudah menjadi masalah dunia (makro). Menurut Soedjono (prosiding kemiskinan: 137), masalah kemiskinan memiliki dimensi ekonomi, sosial, budaya dan juga politik. Orang mempertanyakan kemiskinan ini “sebab” ataukah “akibat”. Kemiskinan adalah sebuah permasalahan yang bersifat komprehensif, yang tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan lainnya, seperti kondisi perekonomian, kependudukan, ketenagakerjaan, kesehatan dan pendidikan. Selama tiga dekade, upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir (revolving fund) melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut,
(31)
semuanya berorientasi material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah.
Kalau yang dipersoalkan daerah permukiman kumuh dengan segala pencemarannya, maka kemiskinan adalah sebabnya. Kalau dalam situasi persaingan kehidupan yang kuat dapat menguasai sumber-sumber ekonomi dan memanfaatkan bagi diri sendiri/kelompoknya sendiri dan mengorbankan yang lemah, maka kemiskinan adalah akibatnya. Kalau ditelusuri menurut jalur sejarahnya, maka kemiskinan adalah akibat dan bukan sebab, karena hal ini adalah akibat dari kedudukan mereka yang lemah, tidak memiliki kemampuan (dan kekuasaan) untuk mengamankan dan meningkatkan pendapatan dan hal yang mereka perlukan untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Kemiskinan jika ditinjau dari kebijakan umum adalah meliputi dimensi primer dalam wujud miskin akan asset, organisasi sosial dan politik, pengetahuan, serta ketrampilan. Selanjutnya dimensi sekunder wujud miskin ditunjukkan oleh jaringan sosial, sumber keuangan dan informasi. Dimensi kemiskinan di atas termanifestasikan dalam bentuk perumahan yang tidak sehat atau yang sering kita kenal dengan sebutan permukiman kumuh, perawatan kesehatan yang kurrang baik, ataupun kekurangan gizi, serta pendidikan yang kurang memadai. Kemiskinan itu bersifat multidimensional artinya kebutuhan manusia itu bermacam-macam maka kemiskinan memiliki banyak dimensi, seperti dimensi kemiskinan absolute dan dimensi kemiskinan relatif. Dimana kedua dimensi itu saling berkaitan satu dengan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung.
(32)
Menurut hasil Semiloka Nasional Penanggulangan Kemiskinan, penelitian mengenai kemiskinan perlu dilakukan dengan melakukan pendekatan inter-disiplin. Sasaran kegiatan penelitian adalah memetakan kantong-kantong kemiskinan, menelaah karakteristik penduduk miskin dan mengidentifikasi factor-faktor penyebab kemiskinan, serta memantau dan mengevaluasi program-program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan di Indonesia. Lebih rinci lagi dinyatakan bahwa prioritas penelitian mengenai kemiskinan yang perlu dilakukan antara lain: (1) Pemetaan kantong-kantong kemiskinan dan analisis karakteristik perkembangan penduduk miskin, (2) Keterbatasan penguasaan atas tanah dan kaitannya dengan kemiskinan, (3) Pola organisasi usaha bersama bagi masyarakat miskin, (4) Kemampuan masyarakat golongan miskin di dalam memanfaatkan peluang pelayanan sosial (pangan, kesehatan, gizi, pendidikan) dan pelayanan lembaga perbankan serta hukum yang ada, (5) Karakteristik kehidupan sosial ekonomi rumah tangga miskin, (6) Pola pengembangan kehidupan sosial – politik dari masyarakat golongan miskin. (Prosiding: 1991;11)
Menurut Todaro yang dikutip dari Goulet tahun 2000, mengatakan bahwa ada tiga komponen dasar atau nilai inti yang harus dijadikan basis konseptual dan pedoman praktis untuk memahami pembangunan yang paling hakiki serta erat kaitannya dengan miskin atau tidak seseorang yaitu: 1. Kecukupan (sustenance), 2. Jati diri (self esteem), 3. Kebebasan (freedom). Ketiga hal pokok inilah yang merupakan tujuan utama yang harus digapai oleh setiap orang melalui pembangunan.
(33)
Kecukupan adalah: kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dalam hal ini kecukupan bukan hanya menyangkut makanan, melainkan mewakili semua hal yang merupakan kebutuhan dasar manusia secara fisik. Kebutuhan dasar adalah segala sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan menghentikan kehidupan seseorang. Kebutuhan dasar adalah segala sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan menghentikan kehidupan seseorang. Kebutuhan dasar meliputi; pangan, sandang, papan, kesehatan dan keamanan. Jika satu saja tidak terpenuhi akan memunculkan keterbelakangan absolut. Atas dasar itulah bisa dinyatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi itu merupakan prasyarat bagi membaiknya kualitas kehidupan.
Jati diri adalah: menjadi manusia seutuhnya. Adanya dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu dan seterusnya. Jadi diri tidak semata diukur dengan material, karena hal itu akan menghilangkan jati diri seseorang.
Kebebasan dari sikap menghamba adalah: Kemampuan untuk memilih. Kebebasan disini diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek material dalam kehidupan (Todaro, 2000:23).
(34)
Lebih jauh lagi menurut Lutfi memandang kemiskinan dari titik pandang ekonomi, sosial dan politik. Dari titik pandang ekonomi, kemiskinan dianggap merupakan masalah dengan alasan : 1) kemiskinan merupakan cermin dari rendahnya permintaan agregat, yang akan mengurangi insentif untuk mengembangkan sistem produksi, 2) kemiskinan berkaitan dengan ratio capital/tenaga kerja yang rendah yang selanjutnya mengakibatkan produktivitas tenaga kerja rendah dan 3) kemiskinan seringkali mengakibatkan mislokasi sumberdaya terutama tenaga kerja.
Ditinjau dari sudut sosial, kemiskinan merupakan ciri lemahnya potensi suatu masyarakat untuk berkembang. Dari segi politik mengkaji kemiskinan dari ketergantungan dan eksploitasi suatu kelompok masyarakat oleh kelompok lain, sehingga akan menimbulkan kesenjangan yang pada akhirnya kesenjangan lebih berbahaya dari padakemiskinan (Prosiding Semiloka Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 1991:31).
Menurut Lewis (1984), kebudayaan kemiskinan berkembang dalam kebudayaan masyarakat miskin. Umumnya orang miskin generasi ke generasi berikutnya hidup dalam kemiskinan. Adapun ciri-ciri dari kebudayaan kemiskinan tersebut antara lain adalah:
1. Kurang atau tidak efektifnya partisipasi dan integrasi dari golongan miskin dalam pranata-pranata utama yang ada dalam masyarakat luas. Sebabnya adalah karena lingkungan kemiskinan dan kekumuhan yang disebabkan oelh langkanya sumber-sumber daya ekonomi, menghasilkan adanya jarak sosial antara mereka dengan
(35)
2. Muncul dan berkembangnya pranata-pranata hutang menghutang, gadai-menggadai, tolong menolong diantara sesama tetangga secara spontan maupun melalui arisan ataupun perkumpulan-perkumpulan sejenis, tidak adanya kesetiaan kerja terhadap satu jenis pekerjaan yang ditekuni atau dengan kata lain cenderung untuk mudah pindah pekerjaan mengerjakan pekerjaan rangkap asal menguntungkan.
3. Adanya semacam pemberontakan tersembunyi terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap masyarakat, tetapi di lain pihak juga aada sikap-sikap pasrah dan masa bodoh terhadap nasib yang mereka jalani maupun terhadap mereka yang dianggap mempunyai kekuasaan sosial dan ekonomi
4. Wanita atau lebih khususnya lagi diperlakukan bukan hanya sebagai ibu rumah tangga tetapi juga sebagai penghasil nafkah, bagi kelangsungan hidup rumah tangga. Anak juga membantu atau tenaga kerja pencari nafkah orang tua.
Dari beberapa pengertian dan uraian di atas bila dipahami lebih mendalam dapat disimpulkan bahwa kemiskinan dari sudut ekonomi merupakan suatu gejala yang ada pada wilayah penduduk miskin yang berkaitan dengan rendahnya pendapatan (income). Sedangkan kemiskinan sosial melekat pada pribadi penduduk miskin seperti cara hidup dan tingkah lakunya.
2.2. Indikator Kemiskinan
BPS menetapkan beberapa indikator yang digunakan untuk mengelompokkan masyarakat dalam kategori miskin, yaitu:
(36)
a) luas lantai tempat tinggal kurang dari 8 m2
b) jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/kayu/bambu murahan, per orang,
c) jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester,
d) tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tinggal lain,
e) sumber penerangan rumah tidak menggunakan listrik,
f) sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan,
g) bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah, h) hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu,
i) hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun, j) hanya sanggup makan satu/dua kali dalam sehari,
k) tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik pemerintah, l) sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha,
buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 300.000,00 per bulan dan atau memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan,
m) pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya tamat SD.
(37)
n) tidak memiliki tabungan atau barang yang bisa dijual dengan nilai minimal Rp 500.000,00, seperti: sepeda motor, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya
Ukuran dari kemiskinan menurut Sayogyo (Singarimbun, 1983), dengan mengaitkannya dengan kebutuhan pangan dan pengeluaran rumah tangga. Masyarakat yang tergolong miskin adalah mereka yang mempunyai tingkat pengeluaran senilai kurang dari 320 kg beras perkapita untuk penduduk perdesaan, dan 480 kg ekuivalen beras untuk daerah perkotaan. Keluarga miskin sekali mempunyai tingkat pengeluaran 240 kg beras untuk tingkat perdesaan dan 360 kg beras untuk daerah perkotaan pertahunnya. Dan masyarakat yang paling miskin memiliki tingkat pengeluaran senilai 180 kg beras untuk daerah perdesaan dan 270 kg beras untuk daerah perkotaan. Sesuai dengan ukuran ini, dengan mengambil harga beras rata-rata Rp. 4.000 per kilogram. Maka penduduk miskin di perdesaan adalah masyarakat yang memiliki pengeluaran per tahunnya sekitar Rp. 1.280.000 atau sekitar Rp. 166.666 per bulannya.
Kemiskinan, di berbagai negara, masih menjadi salah satu pokok bahasan yang menarik. Ini didasarkan pada kondisi bahwa kemiskinan tidak hanya terjadi di negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah tetapi juga negara dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Dengan kata lain, apabila kinerja suatu perekonomian secara terus-menerus meningkat belum tentu tingkat kemiskinan secara terus-menerus akan cenderung turun.
(38)
Kemiskinan merupakan refleksi dari ketidakmampuan seseorang untukk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan standar yang berlaku. Seseorang dikatakan miskin secara absolut jika tingkat pendapatannya lebih standar kemiskinan yang ditetapkan. Banyak sekali ukuran kemiskinan yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain berdasarkan pendapatan perkapita, kebutuhan kalori minimum, konsumsi beras perkapita. Dari beberapa pendapatan tersebut yang paling banyak digunakan adalah kriteria pendapatan perkapita seperti dikemukakan oleh Biro Pusat Statistik. Ada beberapa ukuran kemiskinan yang dikutip dari beberapa pendapat seperti yang dituangkan dalam tabel berikut:
Tabel 2.1 Ukuran Kemiskinan
No Sumber Keterangan Kota Desa 1 Sayogyo (dalam
Prayitno dan Arsyad, 1986)
-miskin -miskin sekali -paling miskin
≤480kg beras/kapita/thn ≤480kg beras/kapita/thn ≤480kg beras/kapita/thn ≤480kg beras/kapita/thn ≤480kg beras/kapita/thn ≤480kg beras/kapita/thn 2 Djoyohadikusum
a (1996:21)
Berdasarkan
pendapatan perkapita pertahun
US $ 75 US $ 75
3 Dirjen Agraria, dalam Nawi (1997:12)
Berdasarkan konsumsi 9 bahan kebutuhan pokok yang dihitung atas dasar harga setempat per kapita per tahun (100 kg beras, 60 liter minyak tanah, 15 kg ikan asin, 20 btg sabun, 6 kg gula pasir, 4 m tekstil kasar, 6 kg minyak goring, 2 m batik kasar, 4 kg garam)
- Miskin sekali: 75% dari nilai total konsumsi
- Miskin : 75% - 125% dari nilai total konsumsi
- Hampir miskin: 125% - 200% dari
nilai total konsumsi
- Miskin sekali: 75% dari nilai total konsumsi
- Miskin : 75% - 125% dari nilai total konsumsi - Hampir miskin:
125% - 200% dari
nilai total konsumsi
(39)
Secara spesifik Lutfi (1993: 14) menyatakan bahwa sumber pendapatan rumah tangga terdiri dari penerimaan yang berasal dari penerimaan tenaga kerja, kekayaan dan berasal dari transfer. Pendapatan tersebut digunakan untuk konsumsi, tabungan dan transfer. Pendapatan tersebut digunakan untuk konsumsi, tabungan dan transfer ke luar rumah tangga. Penggunaan tenaga dan kekayaan merupakan input dalam kegiatan produksi rumah tangga. Dengan demikian yang dihitung sebagai pendapatan rumah tangga adalah output yang dihasilkan dari perpaduan tenaga dengan kekayaan ditambah dengan transfer dari luar rumah tangga. Besarnya total pendapatan rumah tangga dalam sekelompok masyarakat oleh para ahli ekonomi dapat dijadikan sebagai refleksi dari kesejahteraan masyarakat.
Indikator kemiskinan menurut Emil Salim (1979) adalah masyarakat dengan kategori sebagai berikut:
1. Mereka tidak memiliki faktor produksi sendiri, modal atau ketrampilan.
2. Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk membeli alat dan sarana produksi.
3. Tingkat pendidikan rendah. Waktu mereka tersita untuk mencari nafkah kebutuhan sandang, pangan sehingga tidak tersisa untuk belajar.
4. Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan dan daerah kumuh perkotaan dimana umumnya bekerja sebagai buruh (tani, nelayan, industri atau pekerja mandiri (self employed) dengan upah rendah.
(40)
5. Mereka yang pindah (urbanisasi) dan hidup di kota, terutama mereka yang berusia muda. Tapi karena tidak memiliki ketrampilan (skill) atau pendidikan yang baik mereka terdampar pada kantong-kantong kemelaratan di tengah-tengah masyarakat maju berkat dorongan modal dan ketrampilan dan teknologi
6. Orientasi produktivitas kerja (etos kerja) mereka lebih besar atau dihabiskan untuk konsumsi dibandingkan untuk investasi
7. Mentalitas pembangunan tidak menghasilkan inovasi dan kreativitas Klasifikasi kemiskinan terbagi dalam tiga, yaitu:
1. Miskin sekali, jika konsumsi perkapita pertahun 75% dari nilai total konsumsi Sembilan bahan pokok yang ditetapkan.
2. Miskin, jika konsumsi perkapita pertahun sebesar 75% sampai dengan 125% dari nilai total konsumsi Sembilan bahan pokok yang telah ditetapkan.
3. Hampir Miskin, jika konsumsi perkapita pertahun sebesar 125% sampai dengan 200% dari nilai total konsumsi Sembilan bahan pokok yang telah ditetapkan.
Menurut Asnawi (1994), ciri-ciri keluarga miskin dapat dilihat dari : (1) pendapatan perkapita keluarga berada atau di bawah garis kemiskinan, (2) kurang gizi, (3) kesehatan yang kurang baik, (4) tingkat kematian bayi tinggi, (5) pendidikan masih rendah, (6) kualitas perumahan belum memenuhi syarat minimum, (7) pengeluaran konsumsi pangan yang utama masih belum mencukupi.
(41)
2.3. Penyebab Kemiskinan
Mencari ataupun meneliti tentang faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan sudah dilakukan dam bentuk penelitian, pembahasan dan pengevaluasian serta mencari langkah-langkah untuk menanggulanginya. Berikut akan dibahas tentang factor-faktor yang menyebabkan kemiskinan.
Menurut Galbraith (1983), kemiskinan memiliki bentuk dan penyebab yang berbeda-beda yang berkaitan dengan sifat-sifat khas seperti moral, turunan, kekeluargaan, lingkungan, kesukuan, pendidikan, sosial, dan kesehatan adalah yang menyebabkan orang terpisah dari kesejahteraan umum. Demikian halnya sifat pemerintahan (yang tidak efektif, korup, tidak teratur, dan tidak mampu menyediakan anggaran, penyalahgunaan jabatan) serta sistem ekonomi dapat menyebabkan terjadinya kemiskinan.
Menurut Hadimulyo (Tjong dan Hadimulyo, 1987) lebih cenderung setuju dengan klasifikasi kelas sosial Marx untuk menelusuri sebab kemiskinan, dimana kelompok sosial miskin dan bukan adalah akibat akses kepemilikan dan posisi terhadap alat dan modal produksi. Sedangkan Selo Soemardjan dan Franseda menyebutkan bahwa berbedalah fakta atau realitas kemiskinan karena sebab-sebab handicap badaniah dan mental, kemiskinan karena bencana alam dan kemiskinan buatan atau sering disebut kemiskinan struktural (Pasaribu dan Simanjuntak).
Menurut Prof. Bachtiar Hassan Miraza (2010), rakyat menjadi miskin karena mereka menganggur. Mereka menganggur karena di tengah masyarakat tidak ditemukan investasi dan pembentukan modal (capital formation). Hal ini diakibatkan
(42)
oleh kondisi umum negara dan adanya kesempatan berinvestasi yang lebih baik (kompetitif) di negara lain. Kondisi umum negara menyangkut pada masalah politik dan sosial serta keamanan sera kesenangan bangsa ini yang lebih suka berutang dan menjual sumber daya alam secara mentah daripada mengolahnya sendiri. Kesenangan ini merupakan tanggungjawab pemerintah sebagai pemberi izin jual dan tanggung jawab dunia usaha sebagai pelaku ekonomi yang ingin mendapatkan laba secara instan.
Todaro (1985:93) memperlihatkan jalinan antara kemiskinan dan keterbelakangan dengan beberapa aspek ekonomi dan aspek non ekonomi. Tiga komponen utama sebagai penyebab keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat, adalah:
1. Rendahnya taraf hidup
2. Rendahnya rasa percaya diri, dan 3. Terbatasnya kebebasan.
Ketiga aspek tersebut memiliki hubungan secara timbal balik. Rendahnya taraf hidup disebabkan oleh rendahnya pendapatan, rendahnya pendapatan disebabkan oleh rendahnya produktivitas tenaga kerja, rendahnya produktivitas tenaga kerja disebabkan oleh tingginya pertumbuhan tenaga kerja, tingginya angka pengangguran dan rendahnya investasi perkapita.
Jika dilihat lebih lanjut tingginya pertumbuhan tenaga kerja disebabkan oleh penurunan tingkat kematian dan rendahnya investasi perkapita yang disebabkan oleh
(43)
Selanjutnya rendahnya tingkat pendapatan berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, kesempatan pendidikan, pertumbuhan tenaga kerja dan investasi perkapita.
Studi empiris Pusat Penelitan Sosial Ekonomi Departemen Pertanian (1995) menyimpulkan faktor utama penyebab kemiskinan penduduk Indonesia adalah:
1. Rendahnya kualitas sumber daya manusia, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya pendidikan, tingginya angka ketergantungan, rendahnya tingkat kesehatan, kurangnya pekerjaan alternatif, rendahnya etos kerja, rendahnya keterampilan dan besarnya jumlah anggota keluarga;
2. Rendahnya sumber daya fisik, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kualitas dan jumlah asset produksi serta modal kerja;
3. Rendahnya penerapan teknologi, ditandai oleh rendahnya penggunaan input dan mekanisme pertanian;
4. Rendahnya potensi wilayah yang ditandai dengan rendahnya potensi fisik dan infrastruktur. Kondisi fisik ini meliputi iklim, tingkat kesuburan dan topografi wilayah. Sedangkan infrastruktur meliputi irigasi, transportasi, pasar, kesehatan, pendidikan, pengelolaan komoditas, listrik dan fasilitas komunikasi;
5. Kurang tepatnya kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam investasi dan pengentasan kemiskinan;
6. Kurang berperannya kelembagaan yang ada, kelembagaan tersebut meliputi pemasaran, penyuluhan, perkreditan dan sosial.
(44)
2.4. Dampak Kemiskinan
Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks, yakni:
1. Pengangguran
Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga akan memberi pengaruh langsung terhadap tingkat pendapatan, kesehatan dan tingkat pengeluaran.
2. Kekerasan
Sesungguhnya kekerasan yang sering terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena tidak mempunyai pekerjaan yang benar dan halal dan ketika tidak ada lagi jaminan bagi seseorang untuk dapat bertahan hidup dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya merampok, menodong, mencuri atau menipu di kenderaan umum dengan segala tipu daya.
3. Pendidikan
Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia pendidikan. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada
(45)
kesempatan seseorang untuk dapat memperoleh pekerjaan yang layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut ketrampilan di segala bidang.
4. Kesehatan
Biaya pengobatan sekarang ini sangat mahal, hamper setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif ongkos pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan miskin.
2.5. Pemukiman Kumuh
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan kawasan, pada pasal 28 dijelaskan tentang kawasan kumuh yaitu: “kawasan yang tidak memenuhi syarat dan rawan yang dapat membahayakan kehidupan, penghijauan dan masyarakat penghuninya”. Karakteristik umum kawasan kumuh di daerah perkotaan, antara lain kepadatan penduduk yang tinggi, kerapatan bangunan, drainasenya sempit dan dangkal, tata letak bangunan tidak teratur, sanitasi rumah (ventilasi) buruk, konstruksi bangunan tidak permanen, jalan sempit (gang), sanitasi lingkungan (sampah dan air limbah) buruk.
Dari berbagai pengamatan mengenai pemukiman kumuh yang ada, maka ciri-ciri permukiman kumuh adalah:
1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai
2. Kondisi hunian rumah dan permukiman serta penggunaan ruang-ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
(46)
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:
a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik Negara, dank arena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar
b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau ssebuah RW
c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau sebuah RW.
5. Penghuni permukiman kumuh secara sosial dan ekonmi tidak homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat pendapatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonmi yang berbeda-beda tersebut.
6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal.
Selain itu masih ada ciri-ciri pemukiman kumuh menurut Prof. DR.Parsudi Suparlan adalah:
(47)
2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruang-ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3. Adanya tingkat frrekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu sebagai berikut:
a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagian hunian liar.
b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau sebuah RW
c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan, dan bukan hunian liar.
Wilayah kawasan kumuh menurut Bank Dunia (1999) merupakan bagian yang terabaikan dalam pembangunan perkotaan. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi sosial demografis di kawasan kumuh seperti kepadatan penduduk yang tinggi, kondisi lingkungan yang tidak layak huni dan tidak memenuhi syarat serta minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan dan sarana prasarana sosial budaya.
Meskipun daerah kumuh cenderung diabaikan dalam pembangunan, akan tetapi masyarakatnya juga memiliki hak yang sama untuk menikmati pembangunan. Inilah yang harus menjadi perhatian lebih dari pemerintah. Bagaimana
(48)
mengikutsertakan mereka dalam pembangunan (partisipasi pembangunan) dengan sumber daya manusia yang umumnya rendah yang dimiliki masyarakat yang hidup di pemukiman kumuh.
Perumahan dan pemukiman adalah 2 hal yang tidak dapat kita pisahkan dan berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi, industrialisasi dan pembangunan. Pemukiman dapat diartikan sebagai perumahan atau kumpulan rumah dengan segala unsur serta kegiatan yang berkaitan dan yang ada di dalam pemukiman. Pemukiman dapat terhindar dari kondisi kumuh dan tidak layak huni jika pembangunan perumahan sesuai dengan standar yang berlaku, salah satunya dengan menerapkan persyaratan rumah sehat. Dalam pengertian yang luas, rumah tinggal bukan hanya sebuah bangunan (struktural), melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak dipandang dari berbagai segi kehidupan. Rumah dapat dimengerti sebagai tempat perlindungan untuk menikmati kehidupan, beristrahat dan bersuka ria bersama keluarga. Di dalam rumah, penghuni memperoleh kesan pertama dari kehidupannya di dalam dunia ini. Rumah harus menjamin kepentingan keluarga, yaitu untuk tumbuh, memberi kemungkinan untuk hidup bergaul dengan tetangganya; lebih dari itu, rumah harus memberi ketenangan, kesenangan, kebahagiaan dan kenyamanan pada segala peristiwa hidupnya. Secara garis besar, rumah memiliki empat fungsi pokok sebagai tempat tinggal yang layak dan sehat bagi setiap manusia, yaitu:
(49)
• Rumah harus memenuhi kebutuhan pokok rohani manusia • Rumah harus melindungi manusia dari penularan penyakit • Rumah harus melindungi manusia dari gangguan luar.
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan. Gambaran seperti itu diungkapkan oleh Herbert J. Gans dengan kalimat:
”Obsolescence per se is not harmful and designation of an area as a slum for the reason alone is merely a reflection of middle clas standards and middle alas incomes”.
Kumuh dapat ditempatkan sebagai sebab dan dapat pula ditempatkan sebagai akibat. Ditempatkan dimanapun juga, kata kumuh tetap menjurus pada sesuatu hal yang bersifat negatif . Pemahaman kumuh dapat ditinjau dari :
a. Sebab Kumuh
Kumuh adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari: (1) segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara, (2) segi masyarakat / sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri seperti kepadatan lalulintas, sampah.
(50)
b. Akibat Kumuh
Kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala antara lain: (1) kondisi perumahan yang buruk, (2) penduduk yang terlalu padat, (3) fasilitas lingkungan yang kurang memadai, (4) tingkah laku menyimpang, (5) budaya kumuh, (6) apati dan isolasi.
Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal. Perumahan tidak layak huni adalah kondisi dimana rumah beserta lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial, dengan kriteria antara lain :
− Luas lantai perkapita, di kota kurang dari 4 m2 sedangkan di desa kurang dari 10 m2.
− Jenis atap rumah terbuat dari daun dan lainnya.
− Jenis dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang belum diproses. − Jenis lantai tanah
(51)
Adapun yang menjadi pedoman identifikasi lokasi Kawasan perumahan dan permukiman kumuh adalah dari Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Depkimpraswil (2006). Konsep ini sengaja disusun untuk menjadi panduan bagi pemerintah daerah (kabupaten/kota) dalam melaksanakan identifikasi Kawasan perumahan dan permukiman kumuh di daerahnya. Penentuan Kawasan permukiman kumuh dilakukan dengan criteria sebagai berikut:
− Tingkat kepadatan penduduk − Jumlah penduduk miskin
− Kegiatan usaha ekonomi penduduk di sektor informal − Kepadatan rumah
− Kondisi tata letak rumah
− Kondisi sarana dan prasarana lingkungan meliputi: 1. Penyediaan air bersih
2. Jamban keluarga 3. Pengelolaan sampah 4. Drainase
5. Jalan setapak 6. Jalan lingkungan
− Kerawanan kesehatan (ISPA, diare, penyakit kulit, usia harapan hidup dan lingkungan bencana banjir/alam)
(52)
2.6. Kemiskinan dan Pendapatan
Pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan kebutuhan hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum sehingga memungkinkan seseorang dapat hidup secara layak. Bila sekiranya tingkat pendapatan tidak dapat mencapai kebutuhan minimum, maka orang atau keluarga tersebut dapat dikatakan miskin. Ini berarti diperlukan suatu tingkat pendapatan minimum sehingga memungkinkan orang atau keluarga tersebut memperoleh kebutuhan dasarnya.
Kemiskian sebagai suatu proses dimana kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakatnya. Pendapatan rumah tangga dapat dengan mudah dihitung yaitu melalui penerimaan dan pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga. Pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat relative lebih mudah diteliti jika melalui sisi pengeluaran. Mengapa hal tersebut terjadi karena pelaku rumah tangga cenderung curiga jika dimintai keterangan tentang pendapatan per bulannya.
Dari sisi pengeluaran dapat diketahui bahwa penghasilan/pendapatan dapat dilihat dari konsumsi yang dilakukan oelh rumah tangga tiap bulannya. Seberapa besar dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menurut Amar (1999) untuk menghindari penyimpangan data pendapatan dari segi penerimaan dapat digunakan data pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga didefenisikan sebagai pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan,
(53)
input-input untuk produksi. Kalau jumlah pengeluaran ini dibagi dengan jumlah anggota keluarga menjadi rata-rata pengeluaran perkapita.
Sedangkan pendapatan dari sisi penerimaan merupakan semua penghasilan yang diterima oleh semua anggota keluarga dari berbagai jenis kegiatan, baik pertanian maupun non pertanian. Kemudian dari total penerimaan dibagi dengan jumlah anggota keluarga akan didapat pendapatan rumah tangga perkapita.
Selanjutnya pendapatan rumah tangga merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan rumah tangga yang secara umum dapat dikatakan semakin tinggi tingkat pendapatan akan semakin tinggi tingkat kesejahteraan. Jadi disini antara pendapatan dan kesejahteraan mempunyai kaitan yang erat dengan demikian pendapatan merupakan pembatas antara miskin dan tidak miskin.
2.7. Pendidikan dan kemiskinan
Mc Connell (2004) mengatakan seseorang yang memiliki pendidikan yang semakin tinggi akan mendapatkan pendapatan yang semakin tinggi di masa yang akan datang. Sedangkan asumsi dasar teori human kapital adalah bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilan melalui pendidikan (Simanjuntak, 1998). Setiap tambahan satu tahun sekolah berarti di satu pihak meningkatkan kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang akan tetapi di pihak lain menunda penerimaan penghasilan selama satu tahun dalam mengikuti sekolah tersebut. Disamping penundaan menerima penghasilan tersebut, orang yang melanjutkan sekolah harus membayar biaya secara langsung seperti biaya sekolah dan buku-buku dll.
(54)
Misalnya, investasi/modal manusia, misal melalui pendidikan (lihat Cameron, 2000), yang bagus akan menghasilkan penduduk berkemampuan unggul dengan tingkat gaji yang relatif tinggi. Penghasilan masyarakat yang cenderung tinggi dapat berdampak pada tingkat konsumsi masyarakat yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia. Pendidikan tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan kerja yang selanjutnya akan meningkatkan produktivitas kerja..
Menurut Agus (2001), Pendidikan (education) secara umum merupakan usaha yang sengaja diadakan dan dilakukan secara sistematis. Berita terus menerus dalam jangka waktu tertentu, sesuai dengan tingkatannya guna menyampaikan menumbuhkan dan mendapatkan pengetahuan sikap, nilai, kecakapan atau keterampilan yang dikehendaki. Pendidikan secara sadar diadakan untuk menyiapkan pekerja agar siap diserahi pekerjaan yang berbeda dari pekerjaan yang ditangani sebelumnya.
Dalam kaitannya dengan perkembangan ekonomi, menurut Tilaar (2000) pendidikan merupakan suatu pengeluaran yang semakin meningkat dan semakin berpusat kepada kepentingan anak dan keluarga ekonomi meminta tenaga kerja yang terdidik untuk meningkatkan produktifitasnya.
(55)
individu itu sebagai perorangan dalam hubungannya dengan hidup bermasyarakat. Pendidikan sebagai pengembangan SDM adalah mengembangkan tanggungjawab pribadi bagi peningkatan kualitas hidup individu dan sekaligus tanggungjawab pribadi dalam membangun masyarakat. Dimana menurut Hidayat dalam buku Tilaar (2000) menandakan bahwa suatu daerah tidak akan sanggup membangun apabila daerah itu tidak mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki masyarakatnya dan memanfaatkannya secara efektif untuk kepentingan pembangunan. Dengan pendidikan yang berkualitas akan menjamin kelangsungan pembangunan suatu daerah. Pendidikan sangat penting dalam menemukan sebuah masa depan yang baik. Pendidikan sangat penting dalam menemukan sebuah masa depan yang baik. Pendidikan adalah modal dasar pembangunan yang perlu dipertahankan. Pemerintah perlu mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi masyarakatnya, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Disamping itu berbagai upaya proaktif yang mendukung akan potensi individu masyarakat perlu dilakukan.
2.8. Penelitian Sebelumnya
Analisis kehidupan sosial ekonomi mayarakat kawasan kumuh di Kecamatan Teluk Nibung Tanjung Balai (Joice, 2006) mengungkapkan karakteristik kehidupan social ekonomi masyarakat kawasan kumuh antara lain adalah sebagai berikut:
a. Dilihat dari aspek kepadatan hunian, sangat tinggi yaitu 40% dengan hunian 5 -7 orang dalam satu rumah. Kualitas bangunan umumnya rendah, karena rumah
(56)
tidak permanen, atap rumah dari rumbia, dinding tepas atau papan sempengan, dan lantai tanah, lingkungan rumah yang buruk, dimana tidak mempunyai saluran pembuangan air kotor, serta air kotor dialirkan ke sungai.
b. Dilihat dari aspek tingkat pendapatan tergolong rendah, jenis pekerjaan umumnya buruh kasar dan pendidikan mayoritas hanya sampai pada tingkat sekolah dasar.
c. Factor sosial ekonomi (pendapatan, pekerjaan dan pendidikan) berpengaruh signifikan terhadap kepadatan hunian dan kualitas bangunan di kawasan Teluk Nibung. Sedangkan terhadap kualitas prasarana lingkungan dasar, variable yang berpengaruh signifikan adalah pendapatan dan pendidikan.
Wan Zulkarnain (2006) melakukan penelitian kawasan kumuh yang dilakukan oleh studi kasus di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun Kota Medan. Hasil penelitian ini menunjukkan faktor-faktor dominan yang menentukan warga memilih tinggal di kawasan kumuh di Kelurahan Kampung Baru antara lain adalah pekerjaan yang tidak tetap atau pekerja sector informal, pendapatan yang relatif tidak memadai atau rendah, pendidikan yang relative rendah, pengetahuan juga yang tidak memadai dan pengaruh suku bangsa serta adat istiadat yang melekat pada masyarakatnya. Kondisi ekonomi dan social warga yang tinggal menetap di Kelurahan Kampung Baru berkaitan erat terhadap pemilihan tempat tinggal mereka.
Analisa kondisi fisik dan social masyarakat di Kawasan kumuh Kecamatan Medan Belawan (Junika, 2008) adalah sebagai berikut: tingkat pendidikan yang
(57)
pekerjaan terkonsentrasi pada nelayan, pedagang dan buruh, tingkat pendapatan rendah (Rp. 300.000 – Rp.800.000) dan cenderung tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan hidup sehari-hari, struktur bangunan rumah buruk, kondisi sanitasi lingkungan yang tidak sehat, tingkat kepadatan hunian yang masih relative tinggi, saluran air kotor tidak terkendali.
Sedangkan factor-faktor yang menyebabkan masyarakat tinggal di kawasan kumuh adalah sebagai berikut: dekat dengan tempat bekerja, sarana transportasi umum lancar, harga tanah murah, tidak membeli tanah, sewa rumah yang murah, dekat dengan sarana pendidikan anak, dekat dengan pelayanan kesehatan, warisan keluarga, dekat dengan saudara/kerabat dan sudah turun temurun.
2.9. Kerangka Pemikiran
Dari tinjauan teoritis yang ada, penulis mencoba menggambarkan suatu kerangka pemikiran dalam bentuk skema yang akan berguna untuk menjawab permasalahan secara umum. Dalam hal ini pendapatan masyarakat di kawasan kumuh akan mempunyai hubungan terhadap beberapa faktor sosial ekonomi yang akan diuraikan dalam kerangka pemikiran. Bagian kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada gambar 2.1
(58)
Kerangka Penelitian
Gambar 2.1 : Kerangka Pemikiran
Berdasarkan faktor sosial ekonomi yang terdapat dalam kerangka pemikiran di atas, maka ada 4 (empat) faktor sosial ekonomi (pendidikan, kepemilikan rumah, tipe rumah, aksessibilitas dengan lembaga keuangan) yang memiliki hubungan dengan tingkat pendapatan masyarakat di Kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi. Untuk lebih jelasnya mengenai tahapan-tahapan dalam penelitian tentang faktor sosial ekonomi tersebut, maka dapat disajikan dalam bentuk gambar 2.2 berikut ini:
Pendapatan Masyarakat di
kawasan kumuh
• Pendidikan
• Kepemilikan Rumah • Tipe Rumah
(59)
• Pendapatan Kepemilikan Rumah
• Pendapatan Pendidikan
• Pendapatan Aksessibilitas terhadap L.Keuangan
• Pendapatan Tipe Rumah
Gambar 2.2: Tahapan Penelitian
2.10. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut : “ pendapatan masyarakat di kawasan kumuh mempunyai hubungan negatif terhadap faktor kepemilikan rumah, status rumah, pendidikan dan akses pada lembaga keuangan di Kawasan Kumuh Kota Tebing Tinggi
Milik Sewa Menumpang SD
SMP SMA
Pernah Tidak Pernah
Batu
½ permanen Papan Tepas
(60)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitan ini cenderung menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti menggunakan teknik penelitian berupa observasi langsung dan wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan guna memperoleh data dari sumber utama. Penelitian ini mengambil sampel pada daerah kumuh dan miskin di Kota Tebing Tinggi. Menurut SK Walikota Nomor 460/036 Tahun 2010 tanggal 13 Januari 2010 tentang penetapan kawasan kumuh di Kota Tebing Tinggi, tersebar di 4 kecamatan yaitu:
1. Kecamatan Padang Hulu, yang tersebar di 2 kelurahan yakni Kelurahan Bandar Sono dan Kelurahan Persiakan
2. Kecamatan Tebing Tinggi Kota, yang tersebar di 2 kelurahan yakni Kelurahan Mandailing dan Kelurahan Bandar Utama
3. Kecamatan Rambutan, yang tersebar di 2 kelurahan yakni Kelurahan Sri Padang dan kelurahan Tanjung Marulak Hilir
4. Kecamatan Bajenis yakni di Kelurahan Bandar Sakti
Kota Tebing Tinggi terbagi atas 5 kecamatan dan masing-masing kecamatan terdiri dari 7 kelurahan, sehingga total kelurahan ada sebanyak 35 kelurahan. Data jumlah penduduk ataupun kepala keluarga di kawasan kumuh sesuai SK Walikota
(61)
Nomor 460/036 tahun 2010 tanggal 13 Januari 2010 sebanyak 7.771 Kepala Keluarga.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang bermukim di kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi yang berstatus miskin. Adapun jumlah penduduk yang miskin pada tahun 2010 di Kota Tebing Tinggi adalah sekitar 7.771 Kepala keluarga atau sekitar 32.000 jiwa. Sampel responden dari empat kecamatan yang termasuk kawasan kumuh dimana satu kelurahan terdiri dari sekitar 13 sampel. Jumlah kelurahan ada 7 kelurahan dengan jumlah sampel 90 sampel.
Distribusi responden berdasarkan kelurahan diuraikan pada tabel berikut ini. Tabel 3.1. Distribusi Responden Rumah Tangga berdasarkan Kelurahan No Kelurahan Jumlah Persentase (%)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Bandar Sono Persiakan Mandailing Bandar Utama Sri Padang
Tanjung Marulak Hilir Bandar Sakti 13 14 13 13 13 13 13 14 16 14 14 14 14 14
T o t a l 90 100
Sumber: Penulis, 2012
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil observasi ke lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kota Tebing Tinggi.
(62)
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung ke lokasi atau obyek penelitan, setelah data diperoleh dan ditabulasi akan diolah dengan menggunakan analisa deskriptif. Analisa deskriptif dilakukan dengan menggunakan tabel silang (cross tab), yaitu menggambarkan kondisi social ekonomi rumah tangga masyarakat yang bermukim di kawasan kumuh.
Untuk menjawab permasalahan hubungan antara tingkat pendapatan masyarakat di kawasan kumuh dengan tingkat kepemilikan rumah, tingkat pendapatan dengan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dengan akessibilitas terhadap lembaga keuangan, tingkat pendapatan dengan tipe rumah Maka tingkat pendapatan dibagi atas 3 bagian yaitu Rp.400.000 – Rp.800.000, >Rp.800.000 – Rp.1.205.00 dan >Rp. 1.205.000, (Upah Minimum Kota Tebing Tinggi Rp. 1.205.000).
Untuk menghitung nilai Chi-square, maka data disusun dalam suatu tabel silang (crosstab). Tabel silang (crosstab) disusun seperti pada tabel 3.2 berikut ini:
(63)
Tabel 3.2. Bentuk tabel silang (crosstab) pada Uji Chi Square
Kategori B
Kategori X
Total
K1 K2 …. Kx
B B 1 2 B … B a
1 K B
1
2 K ….
1
Ba K
B
1
1 K B
2
2 K ….
2
Ba K
….
2
…. …. ….
B1 K B
x
2 Kx
BaK
∑
x
∑ ∑ ∑
Total ∑ ∑ ∑ ∑ ∑
Langkah - langkah yang dipakai adalah perhitungan dengan Chi – Square dengan rumus:
Dimana:
ftax B
= frekuensi teoritis pada kotak dengan baris a dan pada kolom x a
K
= Jumlah pada baris a (pendapatan) x =
T = Jumlah sampel total
Jumlah pada kolom x (kepemilikan rumah, pendidikan, akses terhadap lembaga keuangan, tipe rumah)
(64)
3.5. Defenisi Operasional
Defenisi operasional dari penelitan ini adalah:
a. Kemiskinan adalah ketidakmampuan sebuah rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan standar yang berlaku.
b. Pendapatan adalah total penerimaan semua anggota keluarga yang sedapur dan menjadi tanggung jawab kepala rumah tangga yang bersumber dari berbagai jenis kegiatan.
c. Kepemilikan rumah adalah status kepemilikan rumah yang dimiliki rumah tangga miskin.
d. Pendidikan adalah jumlah anggota keluarga yang mengenyam pendidikan formal (SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi)
e. Aksesibilitas adalah kesempatan rumah tangga dalam memanfaatkan lembaga keuangan.
f. Pemukiman kumuh adalah suatu kawasan masyarakat dengan penghasilan rendah dan kepadatan tinggi serta kondisi kurang layak huni.
(65)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Daerah Penelitian
4.1.1 Letak dan Batas Wilayah
Kota Tebing Tinggi adalah merupakan salah satu dari kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara, Kota Tebing tinggi sebenarnya berdiri pada tanggal 1 Juli 1917, hal ini di dasari oleh ketetapan Desentralisasiewet yang di tetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kota Tebing Tinggi yang merupakan daerah perlintasan antara jalur lintas timur dan lintas tengah sumatera, berjarak ± 80 km dari Kota Medan atau jika ditempuh dengan kendaraan umum hanya membutuhkan waktu 2 jam untuk waktu normal.
Secara administratif, Kota Tebing Tinggi dibagi kedalam lima kecamatan dengan 35 kelurahan, adapun batas-batas wilayah Kota Tebing Tinggi adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara dengan PTPN III Kebun Rambutan, Kabupaten Serdang Bedagai. Sebelah Selatan dengan PTPN IV Kebun Pabatu dan Perkebunan Paya Pinang, Kabupaten Serdang Bedagai.
Sebelah Timur dengan PT. Socfindo Tanah Besi dan PTPN III Kebun Rambutan, Kabupaten Serdang Bedagai.
Sebelah Barat dengan PTPN III Kebun Gunung Pamela, Kabupaten Serdang Bedagai.
(66)
4.1.2 Demografi Wilayah
Perkembangan penduduk juga dipengaruhi oleh tingkat kelahiran, kematian serta migrasi. Tingkat pertumbuhan pendudukan akan tinggi apabila tingkat kelahiran bayi pada wilayah tersebut juga tinggi. Berdasarkan data BPS 2009, Jumlah penduduk Kota Tebing Tinggi adalah sebesar 142.717 jiwa yang terdiri dari penduduk laki – laki sebanyak 70.072 jiwa (49,10 persen) dan perempuan 72.645 (50,90 persen) dengan rasio jenis kelamin (Sex Ratio sebesar 96,46 persen. Dari keseluruhan tersebut jumlah rumah tangga yang terdapat di Kota Tebing Tinggi adalah sebanyak 32.807 rumah tangga.
(67)
Tabel: 4.1 Jumlah Penduduk Kota Tebing Tinggi menurut Kecamatan, Jenis Kelamin, dan Rasio Jenis Kelamin Tahun 2009
Kecamatan Luas Wilayah (Km²)
Penduduk (Jiwa)
Kepadatan (Jiwa/Km²)
Padang Hulu 8,511 24.853 2.920
Rambutan 5,935 28.303 4.769
Padang Hilir 11,441 28.070 2.453 Tebing Tinggi Kota 3,473 30.490 8.779
Bajenis 9,078 31.001 3.415
Jumlah
Total 38,438
142.717 3.713
Sumber : BPS Kota Tebing Tinggi 2010
Dengan luas wilayah Kota Tebing Tinggi yang mencapai 38,438 km2, tingkat kepadatan penduduk Kota Tebing Tinggi mencapai 3,713 jiwa/km2. Total tersebut terbagi kedalam 5 kecamatan dan 35 kelurahan. Dari lima kecamatan yang terdapat di Kota Tebing Tinggi, wilayah terpadat yang ditempati oleh penduduk adalah di Kecamatan Bajenis 21,72% dari total jumlah penduduk, kemudian Kecamatan Tebing Tinggi Kota 21,36%, Kecamatan Rambutan 19,83%, sedangkan 19,67% tinggal di Kecamatan Padang Hilir dan sisanya 17,41% tinggal di Kecamatan Padang Hulu.
(68)
Tabel 4.2. Luas Wilayah, Penduduk, dan Kepadatan Penduduk di Kota Tebing Tinggi menurut Kecamatan Tahun 2009
Kecamatan Luas Wilayah (Km²)
Penduduk (Jiwa)
Kepadatan (Jiwa/Km²) Padang Hulu 8,511 24.853 2.920
Rambutan 5,935 28.303 4.769
Padang Hilir 11,441 28.070 2.453 Tebing Tinggi
Kota
3,473 30.490 8.779
Bajenis 9,078 31.001 3.415
Jumlah Total
38,438 142.717 3.713 Sumber : BPS Kota Tebing Tinggi Tahun 2010
4.1.3 Penyebaran Kawasan Kumuh
Untuk identifikasi kawasan permukiman kumuh digunakan kriteria-kriteria vitalitas non ekonomi, vitalitas ekonomi, status tanah, kondisi pra-sarana dan sarana permukiman, dan komitmen pemerintah daerah oleh Direktorat Pengembangan Permukiman Direktorat Jenderal Cipta Karya - Departemen Pekerjaan Umum tahun 2006. Dengan mempedomani hal tersebut di atas maka di Kota Tebing Tinggi ada 4 kecamatan dan 7 kelurahan yang termasuk kawasan kumuh sesuai dengan SK Walikota No. 460/036 Tahun 2012 tanggal 13 Januari 2010.
(69)
Tabel 4.3. Distribusi Kawasan Kumuh di Kota Tebing Tinggi
No Kecamatan Kelurahan Luas Wilayah (Km2 Jumlah Penduduk ) Jumlah Kepala Keluarga 1. 2. 3. 4. Padang Hulu
T. Tinggi Kota
Rambutan Bajenis 1.Bandar Sono 2.Persiakan 1.Mandailing 2.Bandar Utama 1.Sri Padang 2.T.Marulak Hilir 1.Bandar Sakti 1,40 0,90 0,24 0,98 0,61 0,65 0,78 5.325 5.589 3.210 5.617 4.416 3.615 5.005 956 1.310 874 1.368 1.083 989 1.191
Sumber: SK Walikota No. 460/036 Tahun 2012 tanggal 13 Januari 2010
4.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Kumuh di Kota Tebing Tinggi Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bermukim di wilayah kumuh Kota Tebing Tinggi yang bertujuan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi mayarakat ditinjau dari faktor pendapatan yang bermukim di kawasan kumuh. Jumlah sampel adalah sebanyak 90 kepala keluarga yang diambil dari 7 kelurahan. Dari setiap kelurahan diambil sampel sekitar 13 kepala keluarga. Kelompok sasaran dalam penelitian ini adalah kepala keluarga. Pada bagian ini akan diuraikan karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang meliputi tingkat usia, pendidikan dan penghasilan/pekerjaan.
(1)
1.
Tidak pernah
2.
Pernah (……….kali)
7.
Sebutkan lembaga keuangan non formal yang bapak/ibu gunakan
………
8.
Dalam memenuhi kebutuhan bapak/ibu, lembaga keuangan mana yang lebih
bapak/ibu sukai……..
a.
Lembaga keuangan formal
b.
Lembaga keuangan non formal
D.
Ketersediaan Prasarana Kesehatan
No
Anggota Keluarga
Penyakit yang
diderita
Tempat Berobat
Biaya berobat /bln
1.
2.
3.
Suami
Istri
Anak
1.
2.
3.
4.
5.
(2)
E.
PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA
1.
Dari seluruh penghasilan keluarga yang diperoleh apakah mencukupi untuk
kebutuhan keluarga setiap bulan:
a.
Mencukupi
b.
Tidak mencukupi
2.
Kalau tidak mencukupi apa yang bapak lakukan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga:
a.
Meminjam
b.
Menerima apa adanya
c.
Lain-lain ……….
3.
Pengeluaran keluarga per bulan:
a.
Biaya dapur
Rp……….
b.
Pendidikan anak
Rp……….
c.
Sewa rumah
Rp……….
d.
Air
Rp………
e.
Listrik
Rp……….
f.
Transportasi
Rp……….
g.
Tabungan
Rp……….
(3)
Lampiran
1.
Pendapatan dengan Kepemilikan Rumah
Crosstabs
Ca se P rocessing Sum ma ry
90 100,0% 0 ,0% 90 100,0%
Pendapatan
Masyarakat (Rp/Bulan) * K epemilik an Rumah
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
Pe nda patan Masyara kat (Rp/ Bula n) * Kepem ilika n Ruma h Crosstabulati on Count
2 22 41 65
0 5 15 20
0 3 2 5
2 30 58 90
Rendah (Rp 400.000 -Rp800.000)
Sedang (>Rp 800.000 -Rp) 1.205.000)
Tinggi (> Rp 1. 205. 000) Pendapatan
Masyarakat (Rp/Bulan)
Total
Menumpang Sewa Milik Kepemilikan Rumah
Total
Chi-Square Te sts
3,086a 4 ,544
3,507 4 ,477
,013 1 ,909
90 Pearson Chi-S quare
Lik elihood Ratio Linear-by-Linear As soc iation N of V alid Cases
Value df
As ymp. Sig. (2-sided)
5 c ells (55,6%) have ex pec ted c ount les s than 5. The minimum expected count is ,11.
(4)
2.
Pendapatan dengan Pendidikan
Crosstabs
Ca se P rocessi ng S um ma ry
90 100,0% 0 ,0% 90 100,0%
Pendapatan Masyarakat (Rp/Bulan) * Pendidikan Masyarakat
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
Pe nda patan Masyara kat (Rp/Bul an) * Pe ndi dika n Masyarakat Crosstabula tion Count
14 38 13 65
8 9 3 20
2 3 0 5
24 50 16 90
Rendah (Rp 400.000 -Rp800.000)
Sedang (> Rp 800.000 -Rp) 1.205. 000)
Tinggi (> Rp 1. 205. 000) Pendapatan
Masyarakat (Rp/Bulan)
Total
SD SMP SMA
Pendidikan Masyarakat
Total
Chi-Square Te sts
3,982a 4 ,408
4,716 4 ,318
3,029 1 ,082
90 Pearson Chi-S quare
Lik elihood Ratio Linear-by-Linear As soc iation N of V alid Cases
Value df
As ymp. Sig. (2-sided)
4 c ells (44,4%) have ex pec ted c ount les s than 5. The minimum expected count is ,89.
(5)
3.
Pendapatan dengan Akses terhadap Lembaga Keuangan
Crosstabs
Case Processing Summary
90 100,0% 0 ,0% 90 100,0%
Pendapatan
Masyarakat (Rp/Bulan) * Akses terhadap Lembaga Keuangan
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
Pendapatan Masyarakat (Rp/Bulan) * Akses terhadap Lembaga Keuangan Crosstabulation
Count
25 40 65
13 7 20
2 3 5
40 50 90
Rendah (Rp 400.000 -Rp800.000)
Sedang (>Rp 800.000 -Rp) 1.205.000)
Tinggi (> Rp 1.205.000) Pendapatan
Masyarakat (Rp/Bulan)
Total
Tidak Pernah Pernah Akses terhadap Lembaga
Keuangan
Total
Chi-Square Te sts
4,405a 2 ,111
4,409 2 ,110
1,795 1 ,180
90 Pearson Chi-S quare
Lik elihood Ratio Linear-by-Linear As soc iation N of V alid Cases
Value df
As ymp. Sig. (2-sided)
2 c ells (33,3%) have ex pec ted c ount les s than 5. The minimum expected count is 2,22.
(6)
4.
Pendapatan dengan Tipe Rumah
Crosstabs
Case Processing Summary
90 100,0% 0 ,0% 90 100,0%
Pendapatan Masyarakat (Rp/Bulan) * Tipe Rumah
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
Pe nda patan Masyara kat (Rp/Bul an) * Tipe Rum ah Crosstabula tion Count
1 17 47 0 65
0 2 16 2 20
0 0 3 2 5
1 19 66 4 90
Rendah (Rp 400.000 -Rp800.000)
Sedang (> Rp 800.000 -Rp) 1.205. 000)
Tinggi (> Rp 1. 205. 000) Pendapatan
Masyarakat (Rp/Bulan)
Total
Tepas Papan 1/2 Permanen Batu Tipe Rumah
Total
Chi-Square Te sts
22,144a 6 ,001
17,234 6 ,008
11,653 1 ,001
90 Pearson Chi-S quare
Lik elihood Ratio Linear-by-Linear As soc iation N of V alid Cases
Value df
As ymp. Sig. (2-sided)
9 c ells (75,0%) have ex pec ted c ount les s than 5. The minimum expected count is ,06.