UU Ti
pelaku tindak pidana terorisme terkandung adanya
Pengguna Jasa
ndak Pidana Terorisme, memberikan bantuan adalah tindakan memberikan bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan. Sedangkan, yang
dimaksud dengan kemudahan adalah tindakan memberikan bantuan setelah tindak pidana dilakukan. Pasal ini mengandung ketentuan perencanaan dan penyertaan
sebagaimana yang dikenal dalam hukum pidana. Namun, unsur perencanaan tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal sebagaimana halnya dengan penyertaan.
Bagi pemberi dana maupun pelaku tindak pidana terorisme keduanya memiliki niat untuk melakukan kegiatan terorisme.
120
selain itu dengan adanya pembagian peran antara pihak yang melakukan tindak pidana terorisme dengan pihak yang
mendanai kegiatan tersebut adalah wujud nyata dari pelaksanaan niat yang terkandung pada kedua pihal tersebut.
121
Dari pengertian ini maka jelaslah bahwa dalam kegiatan memberikan atau meminjamkan uang atau barang kepada
niat, permulaan pelaksanaan dan kegiatan mewujudkan niat tersebut. Yang mana antara niat hingga permulaan pelaksanaan dan perwujudan niat
tersebut ada jangka waktu bagi pemberi dana dan pelaku materril untuk mempersiapkan dan merencanakan kegiatan tersebut.
B. Hambatan Dalam Penerapan Prinsip Mengenali
120
Ibid
121
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencuc
ian Uang,
122
menjadi semakin strategis dan relevan dengan telah diratifikasinya International Convention for the Suppression of the Financing of
Terrorism, 1999 Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999 berdasarkan UU No. 6 Tahun 2006 dan United Nations Convention
Against Corruption, 2003 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi berdasarkan UU No. 7 Tahun 2006. Dengan telah diratifikasinya kedua konvensi
internasional tersebut, maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memenuhi semua kewajiban yang diatur oleh kedua konvensi dan menyampaikan country report
yang memuat upaya tindak lanjut dari ratifikasi kedua konvensi tersebut. Salah satu kewajiban sesuai Pasal 2 Konvensi PBB mengenai Pemberantasan Pendanaan
Terorisme, adalah penerapan kewajiban bagi lembaga keuangan untuk melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada instansi berwenang serta bekerja sama untuk
saling tukar-menukar informasi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan aliran dana untuk tindak pidana terorisme. Konvensi PBB mengenai Pencegahan Pendanaan
Terorisme juga mewajibkan setiap ”negara pihak” state party untuk mengatur
122
Draff RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, faktor-faktor pendorong perlunya dilakukan pembaharuan hukum mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang PPTPPU adalah dikeluarkannya revisi rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering FATF sebagai “standard setter” dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang
yang harus diadopsi oleh semua negara, dan adanya perkembangan international best practice. Salah satu dari rekomendasi tersebut, adalah perlunya memperluas lingkup dari pihak pelapor reporting
parties yang wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan LTKMSTR kepada lembaga yang berfungsi sebagai Financial Intelligence Unit FIU seperti PPATK.
Universitas Sumatera Utara
pengidentifikasian, pendeteksian, dan pembekuan dana yang digunakan untuk membiayai tindak pidana terorisme.
123
Dalam konteks pembangunan rezim anti-pencucian uang yang efektif, disadari bahwa tidak cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban prinsip mengenali
pengguna jasa dalam pendeteksian pendanaan terorisme tanpa didukung adanya perbaikan sistem administrasi kependudukan yang “up to date” dan kredibel.
Penatausahaan data kependudukan yang informatif dan kredibel, di samping membantu stakeholder dalam melaksanakan tugasnya juga memudahkan bagi pihak
yang berwenang untuk melakukan pengawasan. Secara sosiologis atau dari sudut pandang masyarakat, penerapan rezim anti-pencucian uang masih menghadapi
hambatan. Masyarakat pengguna jasa nasabah masih memandang bahwa penerapan Prinsip Mengenali pengguna jasa oleh Penyedia Jasa Keuangan PJK sebagai salah
satu dari pelapor
124
menimbulkan keengganan untuk bertransaksi di PJK. Sebaliknya, PJK juga memiliki kekhawatiran akan kehilangan nasabah. Pada awalnya hampir di
semua negara, penerapan prinsip pengguna jasa sebagai bagian dari pembangunan rezim anti-pencucian uang mengalami hambatan serupa. Namun demikian, beberapa
123
Christy Natalia, Loc.cit
124
Lihat Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, merumuskan bahwa Pihak Pelapor meliputi:
a. penyedia jasa keuangan terdiri dari bank; perusahaan pembiayaan; perusahaan asuransi dan
perusahaan pialang asuransi; dana pensiun lembaga keuangan; perusahaan efek; manajer investasi; kustodian; wali amanat; perposan sebagai penyedia jasa giro; pedagang valuta
asing; penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu; penyelenggara e-money danatau e-wallet; koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam; pegadaian; perusahaan yang
bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; atau penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.
b. penyedia barang danatau jasa lain yakni perusahaan propertiagen properti; pedagang
kendaraan bermotor; pedagang permata dan perhiasanlogam mulia; pedagang barang seni dan antik; atau balai lelang.
Universitas Sumatera Utara
tahun kemudian penerapan pengguna jasa tersebut lambat laun akan menjadi suatu kebiasaan dan keharusan. Kekhawatiran ini dapat dimaklumi mengingat kurangnya
perhatian dari nasabah dan tidak serentaknya PJK dalam menerapkan prinsip mengenal pengguna jasa. Sebagai contoh adanya nasabah yang mengurangi
aktifitasnya dalam melakukan transaksi keuangan sejak PJK menerapkan prinsip mengenal pengguna jasa. Kondisi ini merupakan “potensial problem” karena
memberikan peluang kepada nasabah untuk menolak memberikan informasi, dan selanjutnya memindahkan dananya ke PJK yang belum sepenuhnya menerapkan
prinsip mengenal pengguna jasa.
125
Prinsip mengenal pengguna jasa sebagai kewajiban pelapor yakni setiap orang
yang menurut Undang-Undang ini wajib menyampaikan laporan
kepada PPATK .
126
Dalam rangka menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang menerangkan sebagai berikut:
127
1 Lembaga Pengawas dan Pengatur menetapkan ketentuan prinsip mengenali
Pengguna Jasa. 2
Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana
dimaksud pada ayat 1.
3 Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 dilakukan pada saat: a.
Melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa;
125
RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, www.legalitas.org
, diakses tanggal 9 Desember 2010.
126
Lihat Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
127
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Universitas Sumatera Utara
b. Terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang rupiah danatau mata
uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 seratus juta rupiah;
c. Terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait tindak
pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau d.
Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa.
4 Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib melaksanakan pengawasan atas
kepatuhan Pihak Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
5 Prinsip mengenali Pengguna Jasa sekurang-kurangnya memuat:
a. Identifikasi Pengguna Jasa;
b. Verifikasi Pengguna Jasa; dan
c. Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.
6 Dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, ketentuan
mengenai prinsip mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.
Di samping itu, skala usaha pelapor yakni PJK khususnya bank juga merupakan salah satu faktor penghambat dalam menerapkan prinsip mengenal
pengguna jasa. Sebagai contoh salah satu bank terbesar di Indonesia memiliki karyawan lebih dari 21.000 dengan 800 kantor cabang dan 8 juta nasabah di seluruh
Indonesia. Dengan skala usaha seperti itu sulit dilakukan langkah-langkah yang dapat menunjang efektivitas penerapan prinsip mengenal pengguna jasa seperti pendataan
profile dari seluruh nasabah yang sudah ada. Sementara itu, pelatihan untuk karyawan dan pengadaan sistem informasi membutuhkan persiapan yang cukup baik dari segi
waktu, dana dan keahlian. Dampak yang dihadapi PJK pada saat menerapkan prinsip mengenal pengguna jasa antara lain: nasabah tidak mau mengisi formulir pengguna
jasa yang sudah dikirimkan; nasabah cenderung tidak jujur dalam mengisi data penghasilan sumber dan jumlah; nasabah sulit ditemui misalnya berada atau sering
di luar negeri; dan nasabah berkeberatan memberikan slip gaji karena mereka
Universitas Sumatera Utara
beranggapan bahwa mereka adalah nasabah penyimpan dana bukan peminjam dana. Sementara itu, bagi masyarakat selaku nasabah dari PJK masih dirasakan belum
memberikan perhatian penuh terhadap peraturan mengenal pengguna jasa. Hal ini merupakan kendala utama yang dihadapi seluruh PJK dalam menerapkan prinsip
mengenal pengguna jasa. Selama nasabah belum memiliki kemauan untuk bekerja sama dengan memberikan informasi yang dibutuhkan, maka PJK belum dapat
menerapkan seluruh ketentuan mengenal pengguna jasa. Tidak adanya keinginan nasabah untuk bekerja sama dengan PJK dalam penerapan prinsip mengenal
pengguna jasa antara lain karena nasabah merasa tidak nyaman dan takut rahasia keuangannya diketahui oleh pihak lain misalnya disalahgunakan sebagai objek pajak;
pengisian formulir pengguna jasa merepotkan nasabah dan dirasa terlalu berlebihan misalnya data mengenai jabatan, nama ibu kandung, hobby, pinjaman bank lain;
nasabah merasa tidak memperoleh manfaat dari pengisian pengguna jasa; nasabah merasa PJK terlalu mau tahu masalah internal nasabah; dan nasabah yang memiliki
dana di beberapa PJK tidak bersedia mengisi pengguna jasa karena PJK lainnya belum menerapkan prinsip mengenal pengguna jasa. Pasal 19 UUPPTPPU
menyatakan bahwa: 1
Setiap Orang yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor wajib
memberikan identitas dan informasi yang benar yang dibutuhkan oleh Pihak
Pelapor dan sekurang-kurangnya memuat identitas diri, sumber
dana, dan tujuan Transaksi dengan mengisi formulir
yang disediakan oleh Pihak Pelapor dan melampirkan
Dokumen pendukungnya. 2
Dalam hal Transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain, Setiap Orang
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib memberikan informasi mengenai
identitas diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi pihak lain
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana telah disinggung di atas, arti penting pelaksanaan rezim anti pencucian uang melalui penerapan pengguna jasa adalah:
1. Bagi PJK, antara lain dapat: menciptakan PJK yang sehat, karena terhindar
dari risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya transaksi, dan reputasi; terhindar dari sanksi pidana baik pidana penjara dan denda, serta sanksi
administratif sampai dengan pencabutan izin usaha; membantu penegakan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dan tindak pidana lainnya; dan dengan adanya kestabilan ekonomi dan sistem keuangan, serta meningkatnya integritas sistim keuangan khususnya
perbankan di baik mata nasional dan internasional karena tidak digunakan sebagai sasaran dan saran pencucian uang, maka dengan sendirinya dapat
menciptakan industri perbankan yang kompetitif dalam skala internasional;
2. Bagi Nasabah, antara lain dapat: memberikan rasa aman dalam bertransaksi
karena tidak memiliki kekhawatiran terhadap PJK yang dipakai bertransaksi dikenai sanksi sampai penutupan usaha; transaksi yang dilakukan bisa
berjalan dengan lancar; tidak adanya kekhawatiran dananya dibekukan karena PJK yang bersangkutan telah menerapkan prinsip mengenal pengguna jasa;
memberikan kemudahan dalam bertransaksi antara lain pembukaan Letter of Credit tidak menemui hambatan di bank korespondennya karena adanya
kepercayaan dari bank korespondennya di luar negeri; secara tidak langsung telah memberikan edukasi dalam bidang penegakan hukum kepada
masyarakat; dengan melaksanakan aturan prinsip mengenal nasabah secara konsisten, di samping jalinan kemitraan dengan PJK semakin meningkat
tetapi juga tidak adanya kecurigaan bahwa si nasabah menguasai harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana.
Untuk dapat membangun rezim anti-pencucian uang yang efektif, perlu melibatkan peran serta semua komponen masyarakat khususnya masyarakat
pengguna jasa keuangan, industri keuangan dan industri lain yang terkait dengan keuangan, regulator, aparat penegak hukum dan pemerintah. Hal ini diperlukan untuk
mengantisipasi pelaku pencucian uang yang selalu mencari celah dalam upaya menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatannya. Menyadari hal ini, FATF
dalam rekomendasinya telah menetapkan pihak pelapor lain, selain PJK, seperti lembaga profesi serta penyedia barang dan jasa wajib juga menerapkan prinsip
Universitas Sumatera Utara
mengenal pengguna jasa dan atau kewajiban untuk melaporkan transaksi keuangan mencurigakan kepada FIU.
C. Hambatan Terkait Pembuktian Predicate Crime Tindak Pidana Terorisme