Hambatan Dalam Kerangka Penegakan Hukum Terkait Pemidanaan

BAB IV HAMBATAN DI DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA

TERORISME DAN PENDANAAN TERORISME MELALUI REZIM ANTI MONEY LAUNDERING

A. Hambatan Dalam Kerangka Penegakan Hukum Terkait Pemidanaan

Terorisme Indonesia sudah menerapkan pendekatan anti money laundering regime sejak 17 April 2002 yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang saat ini berlaku yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang UUPPTPPU. Tipologi atau modus-modus pencucian uang terus berkembang terkait pendanaan terorisme dan cara-cara yang digunakan semakin kompleks dengan melibatkan berbagai lembaga keuangan dan lembaga lainnya yang terkait dengan keuangan. Di pihak lain, beberapa ketentuan yang diatur dalam undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan undang-undang terorisme masih menimbulkan multi interpretasi, banyaknya “celah hukum” loopholes dan tidak tegasnya rumusan mengenai pemberian sanksi atau ancaman hukuman yang tentunya menimbulkan dampak, organisasi terorisme dapat dengan aman mengumpulkan dana. Adapun kendala ini digambarkan oleh Kepala PPATK bahwa belum lengkap dan meratanya pengetahuan terkait peraturan perundang- undangan tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian dan pendanaan terorisme sehingga berpengaruh sulitnya mendapatkan akses informasi Universitas Sumatera Utara yang sangat dibutuhkan dalam penanganan kasus pencucian uang dan pendanaan terorisme yang semakin kompleks dan canggih. 114 Kendala ini diyakini sebagai salah satu penyebab kurang efektifnya pelaksanaan atau penegakan hukum pencucian uang terkait pendanaan terorisme. Hal ini menunjukkan, bahwa pengaturan mengenai tindak pidana pencucian uang dalam rangka penanggulangan tindak pidana terorisme belum menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum dalam masyarakat. Oleh sebab itulah, kepastian hukum yang konkrit serta penegakan hukum yang berkeadilan dan konsisten sangat diperlukan dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Dalam prakteknya hingga saat ini belum ada kasus pendanaan terorisme yang menggunakan instrumen hukum undang-undang tindak pidana pencucian uang. Ketentuan pendanaan terorisme sebagaimana diatur dengan UU PPTPPU dengan UU Tindak Pidana Terorisme memiliki perbedaan atau karakteristik sendiri sehingga seharusnya dapat dikenakan bersamaan dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pendanaan terorisme. Dalam kedua undang-undang ini memang terdapat kesamaan pengaturan mengenai pendanaan terorisme, namun secara spesifik ada perbedaan dalam ketentuan pendanaan terorisme yang diatur pada masing-masing peraturan. UU terorisme lebih menekankan pengaturannya pada kegiatan memberikan dana bagi kegiatan terorisme, sedangkan UU PPTPPU 114 Kepala PPATK, http:www.google.com, diakses tanggal 10 Februari, 2011 Universitas Sumatera Utara lebih berbicara masalah proses bagaimana dana itu bisa diberikan untuk mendanai kegiatan terorisme. 115 Selain itu, berdasarkan pembedaan cara pandang kedudukan pelaku tindak pidana antara UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pencucian Uang di dalam sistem penegakan hukum membawa konsekuensi yang berbeda dalam hal penuntutan dan pemidanaan pelaku pembantuan tindak pidana terorisme. Dalam UU tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pelaku pembantuan tindak pidana dipersamakan sebagai pelaku tindak pidana. Sedangkan dalam UUPPTPPU hanya pemidanaannya saja yang dipersamakan namun kedudukannya tetap sebagai pembantu dalam tindak pidana. 116 Hambatan dalam penegakan hukum ini sebagaimana dikemukakan oleh Kepala PPATK sebagai berikut: 117 “Salah satu kendala yang majemuk dihadapi oleh berbagai pihak para pemangku kepentingan untuk dapat menjalankan peranannya lebih optimal dalam rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme di Indonesia, adalah belum lengkap dan meratanya pengetahuan mengenai berbagai peraturan perundang-undangan atau ketentuan yang mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian dan pendanaan pendanaan terorisme. Kendala tersebut antara lain disebabkan oleh beragamnya bentuk dan lingkup berbagai ketentuan yang ada”. Permasalahan selanjutnya dalam kerangka penegakan hukum adalah apabila dilihat dari beban pembuktian yang dikenal dalam kedua UU ini memiliki perbedaan. 115 Hasil wawancara dengan penyidik pada Bareskrim Mabes Polri, tanggal 23 November 2010 116 Hasil wawancara dengan anggota Detasmen 88 anti teror Mabes Polri, tanggal 23 November 2010 117 Yunus Husein, Kelemahan dan Pemberantasan Pendanaan Tetorisme dalam Kerangka Pencucian Uang, http:www.google.com , diakses tanggal 9 Desember 2010 Universitas Sumatera Utara UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengenal beban pembuktian terbalik dimana Terdakwa harus dapat menjelaskan sumber dari uang yang digunakan serta tujuan dari penggunaan uang tersebut. Lain halnya dengan UU terorisme yang menganut beban pembuktian biasa sebagaimana KUHAP. Permasalahan lainnya adalah pada saat upaya paksa, penyidik dapat melakukan penangkapan untuk paling lama 7x24 jam. Apabila pada dakwaannya Jaksa penuntut umum menggunakan instrumen UU PPTPPU maka membuka kesempatan untuk dilakukannya praperadilan karena UU PPTPPU menganut ketentuan penangkapan sebagaimana yang diatur dalam KUHAP yaitu 1x24 jam. 118 Beberapa ketentuan terkait pendanaan terorisme adalah Pasal 13a Perpu No. 1 Tahun 2002 Jo. Pasal 1 UU No. 15 Tahun 2003, yang berbunyi : Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme dengan memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme”. Berdasarkan ketentuan ini, unsur yang paling penting untuk dapat dibuktikan adalah memberikan bantuan atau kemudahan kepada pelaku tindak pidana. Memberikan bantuan atau kemudahan dalam hukum pidana dikenal dengan bentuk penyertaan. 119 Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme mengenal bentuk penyertaan sebelum, pada saat dan setelah tindak pidana. Berdasarkan penjelasan Pasal 13 118 Hasil wawancara dengan Penyidik pada Bareskrim Mabes Polri tanggal 23 November 2010 119 Christy Natalia, Pembuktian Pendanaan Terorisme, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009, hal. 97 Universitas Sumatera Utara UU Ti pelaku tindak pidana terorisme terkandung adanya Pengguna Jasa ndak Pidana Terorisme, memberikan bantuan adalah tindakan memberikan bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan. Sedangkan, yang dimaksud dengan kemudahan adalah tindakan memberikan bantuan setelah tindak pidana dilakukan. Pasal ini mengandung ketentuan perencanaan dan penyertaan sebagaimana yang dikenal dalam hukum pidana. Namun, unsur perencanaan tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal sebagaimana halnya dengan penyertaan. Bagi pemberi dana maupun pelaku tindak pidana terorisme keduanya memiliki niat untuk melakukan kegiatan terorisme. 120 selain itu dengan adanya pembagian peran antara pihak yang melakukan tindak pidana terorisme dengan pihak yang mendanai kegiatan tersebut adalah wujud nyata dari pelaksanaan niat yang terkandung pada kedua pihal tersebut. 121 Dari pengertian ini maka jelaslah bahwa dalam kegiatan memberikan atau meminjamkan uang atau barang kepada niat, permulaan pelaksanaan dan kegiatan mewujudkan niat tersebut. Yang mana antara niat hingga permulaan pelaksanaan dan perwujudan niat tersebut ada jangka waktu bagi pemberi dana dan pelaku materril untuk mempersiapkan dan merencanakan kegiatan tersebut.

B. Hambatan Dalam Penerapan Prinsip Mengenali