Fruit Scar association between thrips (Thysanoptera Thripidae) and flower andfruit of mangosteen (Garcinia mangostana)

(1)

GEJALA BURIK PADA BUAH MANGGIS:

ASOSIASI TRIPS (THYSANOPTERA: THRIPIDAE) DENGAN

BUNGA DAN BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana)

FARDEDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya nyatakan bahwa disertasi “Gejala Burik pada Buah Manggis: Asosiasi Trips (Thysanoptera: Thripidae) dengan Bunga dan Buah Manggis (Garcinia mangostana)” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

Fardedi NIM A361070011


(3)

FARDEDI. Fruit Scar: Association between Thrips (Thysanoptera: Thripidae) and Flower and Fruit of Mangosteen (Garcinia mangostana). Under direction of NINA MARYANA, SYAFRIDA MANUWOTO and ROEDHY

POERWANTO.

Scar on mangosteen fruit is one of the problems in increasing the fruit export volume of Indonesia. Scar is a kind of fruit damage that occurs on the surface of the skin (exocarp) that could reduce consumer’s interest. The source of scar appearance in mangosteen fruit has not been explored well, but presumably that is because of the activity of thrips. Hence, it is important to study some aspects about the fruit scar, i.e. farmer’s perception and action about the fruit scar, the appearance event of scar, and the association of thrips to flower/fruit. Fieldwork and Laboratory observation ware conducted on May 2009-August 2011. The baseline data of farmer were conducted by interviewing farmers (40 respondents) using a structured questionnaire with some open answer. The parameters were related to the farmer’s perception and action to the mangosteen fruit scar appearance. The scar appearance was observed on 1 to 16 weeks after anthesis (waa) fruit. The aims of the research were to study the initiation and development of scar appearance, fruit damage caused by the scar, and intensity of fruit damage in the field. The association of thrips to flower/fruit was conducted in field and laboratory. The aims of the study were to investigate the association of flowers/fruit to thrips and to study population dynamics of thrips. The results showed that the presence of fruit scar could reduce the quality of mangosteen and the price as well. Despite they could loss 38.93% of price, the farmer has not applied any methods in order to control the scar. Generally (>75%) they had never been informed, either counseling or training about mangosteen fruit scar management. The symptom of scar could be observed at the beginning of fruit growth especially in 2 waa fruit. The most scar appeared on stem end, followed by styler end and the equator of the fruit. The intensity of the symptom of scar in 1 to 7 waa fruit was high (52.57%), and after that there would be no symptom until 16 waa. Scar existed in cuticle and exocarp only, not in edible part. Some species of thrips that associated to the plant, especially in flower, has been identified as Scirtothrips dorsalis and Thrips hawaiiensis (Thysanoptera: Thripidae). The highest population of adult was found on open flower, while the highest population of larva was found on fruit of 2 waa. The population increased until 2 waa and then decreased until 16 waa. The density of thrips positively correlated to the scar appearance in 2 and 3 waa fruit. Hence, the thrips population could be related to fruit scar appearance. We found 2 isolates of pathogenic bacteria from the fruit scar.

Keywords: farmer's perception, mangosteen fruit scar, Scirtothrips dorsalis, Thrips hawaiiensis


(4)

FARDEDI. Gejala Burik pada Buah Manggis: Asosiasi Trips (Thysanoptera Thripidae) dengan Bunga dan Buah Manggis (Garcinia mangostana). Dibimbing oleh NINA MARYANA, SYAFRIDA MANUWOTO, dan ROEDHY POERWANTO.

Burik pada buah manggis merupakan salah satu kendala dalam meningkatkan volume ekspor manggis Indonesia. Burik merupakan kerusakan yang terjadi pada permukaan kulit buah manggis akibat adanya pelukaan yang menyebabkan kulit terlihat kusam sehingga mengurangi daya tarik konsumen. Penyebab munculnya gejala burik pada buah manggis hingga saat ini belum diketahui secara pasti namun diduga karena aktifitas makan dan oviposisi serangga trips. Berdasarkan permasalahan tersebut dilakukan penelitian yang mencakup berbagai aspek yaitu petani manggis, fenomena gejala burik pada buah manggis dan trips yang berasosiasi dengan bunga dan buah manggis dan hubungannya dengan kejadian burik.

Penelitian lapangan dilakukan sejak Mei 2009 sampai Agustus 2011 di Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan Desa Kandang Tarok, Kecamatan 6 Lingkung, Kabupaten Pariaman serta Desa Bukit Bulat, Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat. Pengamatan laboratorium dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian dan di Laboratorium Anatomi dan Morfologi Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor serta di Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. Pengumpulan data dasar petani menyangkut persepsi dan tindakan petani manggis terhadap buah burik dilakukan dengan mewawancarai 40 orang petani manggis menggunakan kuesioner terstruktur dengan sebagian pertanyaan bersifat terbuka. Peubah yang ditanyakan kepada petani menyangkut persepsi dan tindakan petani terhadap burik pada buah manggis. Penelitian tentang kajian burik pada buah manggis dilakukan dengan mengikuti perkembangan buah mangis di lapangan dari umur 1 hingga 16 minggu setelah anthesis (msa). Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari kemunculan dan perkembangan gejala burik, kerusakan jaringan kulit buah manggis akibat burik dan intensitas gejala di lapangan. Penelitian lapangan dan laboratorium tentang asosiasi trips dengan bunga dan buah manggis dilakukan dengan cara mengikuti perkembangan bunga dan buah manggis berumur 1 hinga 16 msa. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari trips yang berasosiasi serta dinamika populasinya pada kuncup, bunga dan buah manggis serta mempelajari hubungan populasi trips dengan kejadian burik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya burik pada buah manggis sangat berpengaruh terhadap penurunan kualitas manggis dan berdampak pada penurunan harga. Walaupun mengalami kehilangan pendapatan sebesar 38.93% setiap kg akibat burik, petani tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi burik. Sebagian besar petani (>75%) belum pernah mendapatkan informasi baik berupa penyuluhan atau pelatihan cara mengatasi burik pada buah manggis.

Gejala burik pada buah manggis sudah terlihat pada awal pertumbuhan buah dan kemunculan gejala burik yang paling banyak adalah pada buah berumur


(5)

pada buah manggis. Gejala burik yang muncul pertama kali adalah pada bagian stem end, kemudian diikuti pada bagian styler end dan equator. Intensitas gejala burik mengalami peningkatan dari buah berumur 1 msa hingga 6 - 7 msa. Pada umur 6 - 7 msa intensitas gejala burik mencapai 51.40 - 52.57%, setelah itu tidak ada pertambahan gejala burik hingga buah berumur 16 msa. Burik hanya merusak bagian kutikula dan eksokarp. Pada kerusakan yang parah, mesokarp yang berbatasan dengan eksokarp dapat mengalami kerusakan, namun tidak merusak bagian yang dapat dimakan. Buah manggis dengan gejala burik skor 4 memiliki nilai %Brix paling tinggi yaitu 16.53%.

Spesies trips yang berasosiasi dengan bunga dan tanaman manggis adalah Scirtothrips dorsalis dan Thrips hawaiiensis (Thysanoptera: Thripidae). Populasi imago S. dorsalis dan T. hawaiiensis tertinggi ditemui pada bunga mekar sempurna sedangkan populasi larva tertinggi ditemui pada buah berumur 2 msa. Terjadi peningkatan populasi trips dari kuncup ke bunga mekar sempurna hingga mencapai puncaknya pada buah berumur 2 msa dan populasi menurun hingga buah berumur 16 msa. Terdapat korelasi antara kepadatan trips dengan kejadian burik pada buah manggis berumur 2 dan 3 msa. Hal ini mengindikasikan bahwa trips adalah penyebab munculnya gejala burik pada buah manggis. Ditemukan 2 isolat bakteri patogen pada kulit buah manggis bergejala burik.

Kata kunci: persepsi petani, burik buah manggis, Scirtothrips dorsalis, Thrips hawaiiensis


(6)

Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB.


(7)

ASOSIASI TRIPS (THYSANOPTERA: THRIPIDAE) DENGAN

BUNGA DAN BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana)

FARDEDI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Sobir, M.S.

Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.S. Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Djatnika, M.S.


(9)

(Thysanoptera: Thripidae) dengan Bunga dan Buah Manggis (Garcinia mangostana)

Nama : Fardedi

NIM : A361070011

Program Studi : Entomologi

Disetujui: Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si.

Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc.

Diketahui:

Ketua Program studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Entomologi

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. NIP 195808251985031002 NIP. 196508141990021001

Tanggal Lulus:


(10)

ﻡﻴﺣﺭﻟﺍﻦﻣﺣﺭﻟﺍﷲﺍﻡﺴﺒ

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Alloh SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul “Gejala Burik pada Buah Manggis: Asosiasi Trips (Thysanoptera: Thripidae) dengan Bunga dan Buah Manggis (Garcinia mangostana)”.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing yang terdiri dari Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. sebagai ketua dan Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. serta Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc. sebagai anggota, atas pengarahan dan bimbingan yang telah diberikan mulai penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. Selain itu, ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Dirjen Dikti, Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB berserta seluruh Staf Pengajar Program Studi Entomologi serta Fitopatologi, Direktur Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Entomologi.

Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya buat ayahanda H. Abdul Munir (alm) yang wafat tahun 1977 dan ibunda Hj. Rakiah Ahmad (almh) yang wafat tahun 2010 atas pendidikan, doa dan dukungnya sehingga penulis dapat menyelesaikan rangkaian pendidikan ini. Kepada istri tercinta Susi Desminarti dan anak-anakku Tio Rizky, Miranti F Putri terimakasih atas doa, dukungan dan dampingannya selama penyelesaian pendidikan, begitu pula dengan seluruh keluarga yang mendoakan penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak sempat kami sebut satu per satu yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan studi. Semoga semuanya mendapat balasan dari yang Maha Kuasa, Insya Alloh. Mudah-mudahan disertasi ini dapat berguna bagi kita semua. Aaamin.

Bogor, Agustus 2012


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Muara Panas, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 11 November 1962 dari Ayah H. Abdul Munir (alm) dan ibu Rakiah Ahmad (almh). Penulis merupakan putra ke empat dari lima bersaudara. Tahun 1982 penulis lulus dari SMA Negeri I Padang Sumatera Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Andalas Padang Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Tahun 1987 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pertanian. Sejak tahun 1989 penulis bekerja sebagai staf pengajar di Politeknik Pertanian Universitas Andalas. Tahun 1998 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program Magister Sains di Program Pascasarjana IPB dengan beasiswa BPPS. Tahun 2000 penulis lulus dan mendapat gelar Magister Sains (M.Si). Tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tahapan Penelitian ... 2

Tujuan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Tanaman Manggis ... 7

Interaksi antara Trips dan Serangga Fitofag Lainnya dengan Tanaman ... 9

Bioekologi Trips ... 13

Asosiasi Trips dan Serangga Fitofag Lainnya dengan Bunga dan Buah Manggis ... 14

Kerusakan Tanaman oleh Serangan Trips... 15

Perilaku Makan dan Oviposisi Trips ... 16

III. PERSEPSI DAN TINDAKAN PETANI MANGGIS TERHADAP BUAH BURIK ... 19

Abstract ... 19

Pendahuluan ... 19

Bahan dan Metode... 21

Hasil dan Pembahasan ... 21

Kesimpulan ... 29

Daftar Pustaka ... 29

IV. KAJIAN BURIK PADA BUAH MANGGIS ... 31

Abstract ... 31

Pendahuluan ... 31

Bahan dan Metode... 33

Hasil dan Pembahasan ... 37

Kesimpulan ... 45


(13)

V. TRIPS (THYSANOPTERA: THRIPIDAE) PADA BUNGA DAN BUAH MANGGIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN

KEJADIAN BURIK PADA BUAH MANGGIS (Garcinia

mangostana) ... 49

Abstract ... 49

Pendahuluan ... 50

Bahan dan Metode... 51

Hasil dan Pembahasan ... 55

Kesimpulan ... 68

Daftar Pustaka ... 68

VI. PEMBAHASAN UMUM ... 73

VII KESIMPULAN UMUM ... 79

Kesimpulan ... 79

Saran ... 79

VIII DAFTAR PUSTAKA ... 80


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

3.1. Persebaran petani menurut usia ... 22

3.2. Latar belakang pendidikan responden ... 22

3.3. Pekerjaan petani responden selain usaha tani manggis ... 23

3.4. Pengalaman petani responden dalam berusahatani manggis ... 23

3.5. Jumlah pohon manggis yang diusahakan ... 24

3.6. Status kepemilikan lahan ... 24

3.7. Luas lahan dalam pengusahaan tanaman manggis ... 25

3.8. Sistem budidaya manggis ... 25

3.9. Pemupukan tanaman manggis ... 26

3.10. Pengendalian gulma, hama dan penyakit ... 26

3.11. Sistem pemasaran manggis yang dilakukan oleh petani responden ... 27

3.12. Pengetahuan petani responden terhadap standar mutu manggis .... 27

3.13. Persepsi petani responden tentang burik pada buah manggis ... 28

3.14. Persepsi petani responden tentang usaha pengelolaan burik pada buah manggis ... 28

3.15. Persepsi petani responden tentang informasi pengendalian buah burik ... 28

4.1. Skala nilai kerusakan... 34

5.1. Hasil analisis kadar air, nitrogen, total gula pada daun manggis muda dan tua ... 59


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1.1. Peta tahapan penelitian gejala burik pada buah manggis dan

asosiasi trips dengan bunga dan buah manggis ... 3 4.1. Pembagian posisi munculnya gejala burik pertama kali pada

buah manggis ... 34 4.2. Gejala burik yang muncul pertama kali pada buah manggis ... 37 4.3. Posisi munculnya gejala burik pertama kali pada buah manggis ... 37 4.4. Persentase kemunculan dan perkembangan intensitas gejala burik

pada buah manggis ... 38 4.5. Lapisan terluar kulit buah manggis ... 39 4.6. Persentase buah manggis berdasarkan skala penilaian gejala

burik selama periode panen bulan Januari hingga Februari 2010 .. 41 4.7. Sebaran vertikal buah manggis berdasarkan skala penilaian

gejala burik buah manggis selama periode panen bulan Januari hingga Februari 2010 ... 41 4.8. Perkembangan intensitas gejala burik selama periode panen

bulan Januari hingga Februari 2010 ... 42 4.9. Perkembangan intensitas gejala burik pada buah manggis hasil

panen petani dan pedagang pengumpul selama periode panen bulan Januari hingga Februari 2010 ... 43 4.10. Padatan total terlarut berdasarkan skala penilaian gejala burik

(0-4) pada buah manggis... 45 5.1. Scirtothrips dorsalis ... 56 5.2. Thrips hawaiiensis ... 57 5.3. Rataan populasi S. dorsalis, T. hawaiiensis dan larva trips pada

daun muda ... 58 5.4. Pertumbuhan buah manggis umur 1-16 msa ... 60 5.5. Rataan populasi imago S. dorsalis dan T. hawaiiensis pada

kuncup, bunga mekar sempurna hingga buah berumur 16 msa ... 61 5.6. Rataan populasi larva S. dorsalis dan T. hawaiiensis pada

kuncup, bunga mekar sempurna hingga buah berumur 16 msa ... 62 5.7. Kadar nitrogen, total gula dan kadar air pada bunga mekar

sempurna dan kulit buah berumur 1-16 msa ... 63 5.8. Jumlah trips yang terperangkap pada perangkap berperekat dan

curah hujan pada saat kuncup, anthesis, dan buah berumur 1 – 16 msa hingga panen ... 65


(16)

5.9. Hubungan antara kepadatan trips dengan burik pada pengamatan 2 dan 3 msa ... 66 5.10. Hubungan antara kepadatan populasi trips dengan persentase

kemunculan gejala burik pada buah manggis ... 66 5.11. Jumlah sampel yang didiami oleh Trips dan kutu putih (E.

hispidus) pada pengamatan bunga mekar sempurna, buah berumur 1-16 msa ... 68


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Kuesioner persepsi petani terhadap buah burik pada manggis

(Garcinia mangostana) ... 89 2. Komposisi larutan seri Johansen ... 93 3. Isolasi bakteri dari kulit buah manggis yang bergejala burik ... 94 4. Pengukuran kadar air, nitrogen dan total gula pada kulit manggis ... 95


(18)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Serangga trips dilaporkan sebagai penyebab burik pada manggis (Garcinia mangostana) (Pableo dan Velasco 1994; Affandi et al. 2008; Pankeaw et al.

2011). Burik pada buah manggis merupakan salah satu faktor pembatas ekspor buah manggis Indonesia. Hal ini terlihat dari masih rendahnya persentase ekspor manggis Indonesia dibandingkan total produksi. Tahun 2009 produksi manggis mencapai 105 558 ton dan yang dapat diekspor hanya 9 987 ton atau 9.46% dengan total nilai US$ 6 451 923 (BPS 2010). Walaupun demikian, ekspor buah manggis paling tinggi nilainya dibandingkan dengan buah-buahan lain yang lebih banyak diproduksi. Di Indonesia tanaman manggis tersebar hampir di seluruh provinsi di pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi Selatan. Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Barat merupakan pemasok buah manggis terbesar di Indonesia. Pangsa pasar utama ekspor buah manggis Indonesia adalah Taiwan, Cina, Singapura, Malaysia, Hongkong, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (Deptan 2009).

Volume ekspor buah manggis yang masih rendah di antaranya diakibatkan oleh rendahnya mutu buah pada umumnya. Sistem produksi buah manggis saat ini masih tergantung pada alam, skala usahanya kecil dan terpencar serta minimnya sentuhan teknologi maju, sehingga kualitas buah yang dihasilkan masih rendah (Deptan 2009). Secara garis besar permasalahan mutu buah manggis di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi (1) adanya burik pada kulit buah, (2) getah kuning pada daging buah dan (3) rendahnya shelflife buah (Poerwanto et al. 2010). Standar mutu buah manggis untuk ekspor meliputi ukuran (diameter), berat, warna, kemulusan, kelengkapan jumlah sepal yang berwarna hijau segar, tangkai buah berwarna hijau segar serta bebas dari cacat dan kerusakan. Buah manggis harus bebas dari gejala burik dan getah kuning (Deptan 2009).

Burik merupakan kerusakan yang terjadi pada permukaan kulit buah manggis akibat adanya pelukaan sehingga menyebabkan kulit tampak kusam. Hasil pengamatan pendahuluan yang dilakukan di Kampung Cengal, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menunjukkan bahwa intensitas


(19)

serangan burik mencapai 23.84%. Penyebab munculnya gejala burik pada buah manggis diduga karena aktivitas serangga trips.

Burik pada buah nectarine disebabkan oleh Frankliniella occidentalis

(Thysanoptera: Thripidae) (Felland et al. 1995). Pada buah jeruk burik disebabkan oleh F. bispinosa dan F. kelliae (Childers 1999), sedangkan pada buah alpukat burik disebabkan oleh Scirtothrips perseae (Thysanoptera: Thripidae) (Hoddle et al. 2002a).

Serangga trips pada buah dapat menimbulkan kerusakan berupa adanya rautan (scabbing) pada kulit buah hingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan buah. Serangan trips pada buah manggis tidak mempengaruhi hasil atau bagian yang dapat dimakan (edible portion), tetapi terjadi perubahan warna pada pemukaan buah yang mengakibatkan penampilan buah kurang menarik, menurunkan kualitas dan mengurangi nilai jual (Pableo dan Velasco 1994). Kerusakan tanaman akibat serangan trips dapat disebabkan oleh aktivitas makan dan oviposisi (Kirk 1997a).

Belum ada data tentang seberapa besar kerugian yang ditimbulkan oleh burik pada buah manggis di Indonesia. Dengan hanya 9.46% dari total produksi manggis Indonesia yang dapat diekspor, diperkirakan kerugian yang dialami petani cukup besar. Dari survai yang telah dilakukan (bagian dari disertasi), petani mengalami kehilangan pendapatan sebesar 38.93% untuk setiap kg manggis akibat burik. Saat ini informasi tentang burik pada buah manggis di Indonesia baik penyebab maupun pengelolaannya masih sangat terbatas, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang burik pada buah manggis.

Tahapan Penelitian

Penelitian tentang gejala burik pada buah manggis dan asosiasi trips (Thysanoptera: Thripidae) dengan bunga dan buah manggis (Garcinia mangostana) memerlukan pemahaman yang mendasar berbagai aspek baik dari sisi petani, tanaman manggis dan serangga trips. Gambar 1.1 menyajikan tahapan penelitian atau kajian yang perlu ditempuh dalam rangka mengungkapkan fenomena burik dan penyebabnya pada buah manggis.


(20)

Gambar 1.1. Peta tahapan penelitian gejala burik pada buah manggis dan asosiasi trips dengan bunga dan buah manggis. Kotak berwarna gelap adalah tahapan penelitian yang merupakan bagian dari disertasi.

Burik pada buah manggis menjadi masalah ketika manggis sudah berstatus sebagai komoditas ekspor. Serangga trips dilaporkan sebagai penyebab munculnya gejala burik pada buah manggis dan belum ada rekomendasi teknologi yang bisa diinformasikan kepada petani dalam rangka menekan munculnya kejadian gejala burik. Selain itu belum ada data yang menginformasikan kerugian yang diakibatkan oleh burik pada buah manggis di

Kemunculan gejala buah burik Perkembangan intensitas gejala burik

Kerusakan jaringan buah akibat burik

Perkembangan intensitas gejala burik

selama masa panen Survai petani

Kajian burik pada buah manggis

Trips pada bunga dan buah manggis

Data persepsi dan tindakan petani terhadap

buah burik

Identifikasi trips Dinamika populasi trips

berdasarkan fenologi buah

Pemantauan populasi trips

Hubungan populasi trips dengan kejadian burik

Biologi dan ekologi trips - Pengelolaan

tanaman - Manipulasi

lingkungan tumbuh

Buah manggis dengan intensitas gejala burik rendah

Strategi pengendalian


(21)

Indonesia. Penelitian tentang burik pada buah manggis masih sangat jarang dilakukan di Indonesia. Penelitian burik pada tanaman buah buahan lainnya yang disebabkan oleh serangga trips seperti jeruk, nectarine dan alpukat sudah jauh berkembang terutama di benua Amerika.

Sebagai salah satu negara penghasil buah manggis terbesar di samping Thailand, Indonesia perlu melakukan kajian-kajian dalam rangka meningkatkan kualitas manggis sehingga secara ekonomi akan berdampak langsung pada petani manggis. Sistem usahatani manggis di Indonesia masih dikelola secara tradisional oleh petani, dengan demikian faktor petani merupakan tokoh sentral dalam budidaya manggis. Aspek petani, fenomena gejala burik dan serangga trips yang berasosiasi dengan bunga dan buah manggis menjadi fokus utama dalam rangkaian penelitian ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya menghasilkan buah manggis dengan intensitas gejala burik yang rendah.

Petani sebagai pelaku utama dalam sistem budidaya manggis berperan penting dalam pengambilan keputusan pada setiap tahapan kegiatan budidaya termasuk tindakan untuk melakukan upaya perlindungan tanaman dari organisme pengganggu tanaman. Menurut Untung (1996), proses pengambilan keputusan pengendalian hama terpadu (PHT) sangat ditentukan oleh kemampuan petani dalam mendiagnosis masalah dan kondisi lahannya. Diperlukan pula pemahaman tentang cara petani mempersepsikan hama tersebut, sikap dan keyakinannya, serta tindakan pengendalian yang dilakukannya (Rauf 1999). Penelitian tentang pengetahuan, persepsi dan tindakan petani terhadap burik buah manggis mengawali rangkaian penelitian ini. Survai dengan menggunakan kuesioner terstruktur bertujuan untuk mengumpulkan informasi dasar seperti pendidikan, kepemilikan lahan dan luas lahan yang dikelola. Selain itu ditanyakan tentang budidaya, panen dan persepsi petani terhadap burik pada buah manggis.

Hasil wawancara langsung dengan petani diketahui bahwa petani manggis memahami tahapan perkembangan buah yang dimulai dari munculnya kuncup, bunga mekar hingga buah dapat dipanen. Pemahaman petani manggis tersebut merupakan informasi penting dan dapat menjadi pintu masuk untuk rekomendasi teknologi nantinya. Gejala burik pada buah manggis sangat berkaitan dengan


(22)

fenologi tanaman manggis. Untuk itu dilakukan penelitian tentang kemunculan dan perkembangan gejala burik, kerusakan jaringan kulit buah manggis akibat burik dan intensitas gejala burik.

Informasi tentang waktu kemunculan gejala burik yang dikaitkan dengan fenologi buah manggis dan serangga trips yang berasosiasi perlu diketahui. Kelimpahan populasi suatu spesies serangga dalam suatu ekosistem diantaranya dipengaruhi oleh faktor fisik dan kesesuaian dengan tanaman inang. Selain itu fenologi dan habitat mikro dalam kanopi tanaman inang juga berpengaruh terhadap kelimpahan dan dinamika populasi trips. Selain itu manggis merupakan tanaman yang mempunyai sifat berbunga dan berbuah musiman. Pembentukan bunga manggis diawali dengan inisiasi tunas bakal bunga. Tunas bakal bunga akan membesar, kemudian tunas pecah membentuk kuncup bunga. Kuncup bunga akan mengalami pertumbuhan sehingga terus membesar dan mencapai ukuran maksimum pada saat anthesis. Waktu yang diperlukan mulai dari terinisiasinya pucuk hingga mencapai anthesis berkisar antara 39 sampai 40 hari (Ropiah 2009). Selanjutnya dari anthesis hingga buah manggis matang membutuhkan waktu 100 hingga 120 hari. Periode pembentukan kuncup, anthesis hingga buah matang merupaka periode kritis yang akan mempengaruhi penampilan tanaman dan diduga akan berdampak pada kelimpahan populasi trips pada kuncup, bunga dan buah manggis. Trips diketahui serangga dengan tipe seleksi r yang dapat memanfaatkan sumberdaya yang muncul dalam waktu terbatas (Mound 1997).

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian bertujuan mempelajari serangga yang berasosiasi dengan burik dan dinamika populasi serangga trips dan hubungannya dengan kejadian burik pada buah manggis. Secara lebih khusus penelitian bertujuan (1) mempelajari persepsi dan tindakan petani terhadap buah burik; (2) mengkaji gejala burik pada buah manggis; (3) mengkaji trips yang berasosiasi dengan daun, kuncup, bunga dan buah serta dinamika populasinya berdasarkan fenologi buah manggis dan hubungannya dengan kejadian burik.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Manggis

Distribusi Tanaman Manggis

Manggis merupakan salah satu buah tropis yang berasal dari Indonesia dan kawasan Asia Tenggara (Almeyda dan Martin 1976). Pada awalnya pembudidayaan tanaman manggis hanya terbatas di wilayah Asia Tenggara mulai dari Indonesia hingga Papua Nugini dan Mindanao Philipina dan ke arah utara dari Malaysia hingga Birma, Vietnam dan Kamboja. Namun saat ini tanaman manggis sudah banyak dibudidayakan di daerah lainnya termasuk Srilangka, India Selatan, Amerika Tengah, Brazil dan Australia (Verheij 1992).

Pada tahun 2008 luas panen tanaman manggis di Indonesia mencapai 9 354 ha, dan hampir tersebar di semua pulau. Daerah Jawa Barat memiliki luas panen tertinggi yaitu 2 678 ha, diikuti berturut-turut oleh daerah Sumatera Barat (1 049 ha), Jawa Timur (671 ha), Sumatera Utara (657 ha) dan Banten dengan luas panen sebanyak 625 ha (Deptan 2009).

Morfologi Tanaman Manggis

Manggis merupakan tanaman pohon berkayu keras dengan tinggi mencapai 6 - 25 meter. Pohon tegak lurus dengan percabangan simetris membentuk kerucut. Seluruh bagian tanaman dapat mengeluarkan getah kuning yang lengket dan kental (Verheij 1992).

Daun manggis berhadapan menyilang dan pada pasangan daun teratas tangkainya menutupi kuncup terminal. Lembaran daun berbentuk lonjong berukuran 15 - 25 cm x 7 - 13 cm, tebal, pinggiran daun rata dengan bagian ujung meruncing dan licin. Permukaan atas daun berwarna hijau tua sedangkan permukaan bawah berwarna hijau kekuningan dengan tulang daun hijau pucat dan menonjol pada kedua sisi (Verheij 1992).

Bunga manggis muncul dari ujung pucuk yang tua, pada awalnya dalam bentuk bengkakan besar di ujung ranting. Bunga manggis berdiameter 5.5 mm dan memiliki 4 sepal dan 4 petal dengan tangkai bunga pendek. Benang sari tersusun dalam 1 - 3 kelompok dalam 1 - 2 baris, membentuk cincin di sekitar


(24)

dasar ovari. Benang sari bebas dan pendek muncul bersamaan pada dasar bunga dengan panjang 0.5 cm. Ovari melekat pada dasar bunga, hampir bulat dengan 4 - 8 ruang (Verheij 1992).

Pembentukan bunga manggis diawali dengan inisiasi tunas bakal bunga. Pucuk yang akan berbunga, pangkal tunas barunya tampak membesar dan membengkak kemudian tunas pecah membentuk kuncup bunga. Kuncup bunga akan mengalami pertumbuhan sehingga terus membesar dan mencapai perkembangan maksimum pada saat terjadinya anthesis atau bunga mekar. Waktu yang diperlukan mulai dari terinisiasinya pucuk hingga mencapai anthesis antara 39 sampai 40 hari (Ropiah 2009). Selanjutnya dari anthesis hingga buah manggis matang membutuhkan waktu 100 hingga 120 hari (Yaacob dan Tindall 1995).

Permukaan kulit buah manggis atau pericarp halus, mempunyai ketebalan 4 - 8 mm. Pada buah yang tua pericarp mengeras, bagian luar berwarna ungu kecoklatan dan bagian dalam berwarna ungu serta mengandung getah kuning yang pahit. Jika buah muda dilukai maka getah kuning akan menetes keluar. Pada buah yang matang, struktur kulit yang keras merupakan pelindung yang sangat baik bagi daging buah yang lembut dan sifat buah ini memudahkan pengepakan dan pengangkutan. Buah manggis memiliki 4 - 8 segmen dan setiap segmen mengandung satu bakal biji yang diselimuti oleh aril yang berwarna putih, empuk dan mangandung sari buah (Yaacob dan Tindall 1995).

Menurut Osman dan Millan (2006), pola pertumbuhan buah manggis membentuk kurva sigmoid. Pertumbuhan diawali dengan dominasi pertumbuhan pericarp hingga 20 hari setelah anthesis dan dilanjutkan dengan perkembangan aril dan biji. Hasil penelitian Gunawan (2007) juga memperlihatkan pola pertumbuhan dan perkembangan buah manggis berupa sigmoid. Pertumbuhan buah lambat pada waktu 1 - 3 minggu setelah anthesis (msa), selanjutnya cepat pada waktu 4 - 11 msa, lalu kembali lambat pada minggu 12 - 14 msa dan kemudian tidak ada pertumbuhan hingga 15 - 16 msa. Pada umur 15 - 16 msa, buah mencapai ukuran yang maksimum.

Burik pada Buah Manggis

Burik (scar) merupakan kerusakan yang terjadi pada permukaan kulit buah manggis akibat adanya pelukaan. Menurut Verheij (1997), burik pada manggis


(25)

umumnya disebabkan oleh aktivitas semut dan serangga pengisap (aphids) pada buah ketika masih kecil atau bahkan pada bunga baru mekar, karena bunga menghasilkan nektar sebagai makanan semut. Beberapa penelitian melaporkan bahwa penyebab burik adalah trips (Pableo dan Velasco 1994; Affandi et al.

2008; Pankeaw et al. 2011).

Buah manggis yang terserang hama trips menampakkan gejala kulit buah berwarna keperakan, kuning pucat hingga kecoklatan, adanya luka yang memanjang dan mengeras dapat menutupi seluruh permukaan buah. Buah yang burik terkadang dapat terhambat perkembangannya hingga tidak dapat mencapai ukuran normal (Affandi et al. 2008). Menurut Felland et al. (1995), burik pada buah nectarine disebabkan oleh Frankliniella occidentalis (Thysanoptera: Thripidae). Pada buah jeruk burik disebabkan oleh F. bispinosa dan F. kelliae

(Childers 1999). Pada buah alpukat burik disebabkan oleh Scirtothrips perseae

(Thysanoptera: Thripidae) (Hoddle et al. 2002a). Menurut Pableo dan Velasco (1994), serangan hama trips pada buah manggis dapat menimbulkan kerusakan seperti adanya bekas garukan (scabbing) pada kulit buah hingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan buah dan mengurangi nilai jual, tetapi tidak mempengaruhi bagian yang dapat dimakan. Pengamatan lebih mendalam tentang burik pada buah manggis sangat diperlukan.

Interaksi antara Trips dan Serangga Fitofag Lainnya dengan Tanaman Asosiasi serangga fitofag dengan tanaman inangnya dapat dilihat dari dua sisi yaitu serangga sebagai konsumen dan tanaman sebagai sumber makanan. Perilaku serangga sebagai konsumen dan sifat tanaman sebagai sumber makanan berperan dalam hubungan antara serangga fitofag dengan inangnya. Serangga juga mengadakan pemilihan inang dan memiliki preferensi terhadap inang tertentu. Pemilihan inang terdiri dari urutan perilaku serangga dalam menentukan dan menemukan tanaman inang. Preferensi inang didefinisikan sebagai kecenderungan serangga dalam melakukan pemilihan tanaman inang yang tepat bagi perkembangannya. Preferensi inang merupakan salah satu aspek mekanisme ketahanan tanaman, yang disebut antixenosis atau disebut juga sebagai non


(26)

preferensi, serangga cenderung untuk tidak memilih tanaman sebagai makanan, tempat bertelur atau tempat berlindung (Painter 1951).

Dalam proses seleksi tanaman inang, terdapat perilaku dengan tahap yang berurutan yaitu proses pencarian kemudian serangga melakukan pengujian secara kontak. Pencarian berakhir dengan penemuan, sedangkan pengujian secara kontak berakhir dengan penerimaan atau penolakan. Penerimaan itu merupakan keputusan yang penting karena akan dilanjutkan dengan memakan atau meletakkan telur, dan hal ini akan beresiko terhadap kesehatan serangga tersebut dan kelangsungan hidup keturunannya (Schoonhoven et al. 2005).

Menurut Kogan (1982), pemilihan tanaman inang oleh serangga melalui lima tahapan yaitu: 1) penemuan habitat inang; 2) penemuan inang; 3) pengenalan inang; 4) penerimaaan inang; dan 5) kesesuaian inang. Penemuan habitat inang pada umumnya dipandu oleh rangsangan fisik seperti cahaya, angin dan daya tarik bumi. Penemuan inang didorong oleh indera penglihatan terhadap warna dan bentuk tanaman, dan indera penciuman terhadap senyawa kimia tanaman. Penilaian kelayakan tanaman sebagai sumber nutrisi dilakukan dengan menggunakan sensor kimia. Penerimaan atau penolakan terhadap tanaman inang dilakukan setelah serangga mengetahui kandungan kimia tanaman. Nilai nutrisi tanaman dan kandungan senyawa yang bersifat toksik akan menentukan pertumbuhan dan perkembangan serangga, serta mempengaruhi keperidian dan lama hidup imago. Faktor fisik dan kimia tanaman sangat berpengaruh dalam proses pemilihan dan penentuan inang. Faktor tersebut tidak bekerja secara tunggal, tetapi bersama-sama membentuk suatu sistem pertahanan tanaman.

Warna merupakan salah satu faktor fisik yang dapat berperan positif dalam penemuan dan pengenalan inang oleh serangga (Prokopy dan Owens 1983). Pada serangga trips, warna digunakan untuk membedakan tanaman inang dari tanaman sekitarnya. Di antara berbagai warna yang ada, warna berkilau adalah yang lebih menarik bagi trips. Dapat dikatakan bahwa daya tarik suatu warna akan berkurang jika kilaunya berkurang (Terry 1997). Pada umumnya trips tertarik pada warna kuning, biru dan putih (Kirk 1984; Hoddle et al. 2002b), namun setiap spesies trips memiliki ketertarikan terhadap warna tertentu. Trips bunga tertarik pada warna cerah seperti putih, sementara trips rumput tertarik pada warna yang


(27)

mendekati hijau (Teulon dan Penman 1992), S. dorsalis tertarik pada warna kuning (Chu et al. 2006). F. intonsa dan Thrips tabaci (Thysanoptera: Thripidae) tertarik pada warna biru, T. palmi pada warna biru atau putih, sedangkan T. obscuratus tertarik pada warna kuning (Lewis 1997).

Selain warna, aroma bunga tanaman inang dapat menarik trips sehingga trips menggunakannya untuk mendeteksi keberadaan inangnya meskipun tanpa warna. Aldehid adalah senyawa bunga yang pertama kali memperlihatkan dapat menarik trips. F. occidentalis tertarik pada senyawa volatil seperti benzenoid dan monoterpene (Koschier et al. 2000), sedangkan T. hawaiiensis tertarik pada senyawa methyl anthranilate (Imai et al. 2001). Ketertarikan trips terhadap aroma yang dihasilkan tanaman dimanfaatkan sebagai kombinasi dalam pembuatan perangkap berperekat. Penambahan aldehid pada perangkap berperekat menghasilkan jumlah tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan perangkap yang tidak diberi aldehide (Lewis 1977).

Ketika kontak dengan tanaman, serangga memperoleh informasi tambahan tentang kualitas tanaman yang belum dapat diakses pada tahap pemilihan tanaman inang sebelumnya. Bentuk fisik atau jaringan tanaman dapat mempengaruhi pemilihan tanaman inang. Kehadiran trikoma dan struktur kristal lilin pada permukaan tanaman, kekerasan dan ketebalan daun, sklerotisasi atau pengerasan dan kandungan silika yang tinggi dapat menyebabkan perilaku penghindaran oleh serangga. Ciri tanaman seperti itu sering diasumsikan sebagai suatu fungsi pertahanan tanaman (Schoonhoven et al. 2005).

Protein, gula, fosfolipid, garam-garam anorganik, mineral dan vitamin yang terdapat dalam tanaman dapat berfungsi sebagai perangsang makan atau penolak makan serangga. Konsentrasi gula dan asam amino pada beberapa bagian tanaman berbeda dan bervariasi, variasi ini juga digunakan sebagai isyarat penting untuk serangga ketika memilih lokasi makanan (Schoonhoven et al. 2005).

Perbedaan konsentrasi senyawa kimia tanaman, dalam hal ini nutrisi tanaman mempengaruhi seleksi tanaman inang oleh serangga herbivor. Menurut Ananthakrishnan (1993), terdapat korelasi positif antara kandungan amino nitrogen dalam daun dengan serangan trips. Produksi telur trips meningkat jika imago dibiakkan pada tanaman yang kandungan aminonya tinggi. Hasil


(28)

penelitian Brodbeck et al. (2001) menunjukkan bahwa populasi betina F. occidentalis pada bunga tomat berkorelasi positif dengan konsentrasi asam amino aromatic primer fenilalanin pada bunga.

Menurut Southwood (1978), nutrisi yang mengandung unsur nitrogen seperti protein dan sterol sangat mempengaruhi keperidian serangga betina. Kogan (1982) menyatakan bahwa kandungan nutrisi dalam tanaman bergantung pada jenis tanaman, bagian tanaman, umur tanaman dan musim. Serangga trips dapat membedakan di antara tanaman yang sesuai sebagai inangnya (Delphia dan Mescher 2007).

Di samping metabolit primer yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tanaman juga menghasilkan senyawa berupa metabolit sekunder. Banyak senyawa yang aktif secara biologis diketahui beracun bagi hewan, cendawan atau mikroorganisme, yang lainnya mempunyai fungsi ekologi yang berbeda. Oleh karena itu, senyawa ini sangat penting dalam seleksi inang oleh serangga fitofag. Whittaker dan Feeny (1971) menyebut senyawa metabolit sekunder tersebut sebagai allelokimia tanaman.

Pada manggis ditemukan berbagai senyawa metabolit sekunder (Chaverri et al. 2008). Pada buah manggis dalam tahap pematangan terdapat metabolit sekunder berupa senyawa antosianin yaitu sophoroside, cyanidin-3-glucoside dan cyanidin-3-glycoside. Perubahan warna pada permukaan kulit manggis sangat berkaitan dengan peningkatan konsentrasi antosianin seperti cyanidin-3-sophoroside dan cyanidin-3-glucoside (Palapol et al. 2009). Menurut Lev Yadun dan Gould (2009), antosianin berfungsi sebagai bahan kimia repellent

dan sebagai pertahanan tanaman dari orientasi visual serangga herbivor. Antosianin tidak bersifat racun bagi spesies hewan tingkat tinggi dan aman sebagai pewarna makanan (Lee dan Brammeier 1987).

Trips menggunakan berbagai instrument sensori yang terdapat pada antena dan alat mulut untuk mengetahui sifat morfologi, senyawa kimia, rasa yang terdapat pada tanaman dan dapat membedakan antara tanaman inang dan bukan tanaman inang. Metabolit primer dan sekunder yang terdapat pada tanaman inang mempengaruhi kesesuaian serangga herbivor untuk makan dan melakukan oviposisi. Senyawa fenolik, tanin dan alkaloid dapat menjadi faktor ketahanan


(29)

tanaman terhadap serangga (Terry 1997). Senyawa volatil yang terdapat pada tanaman Origannum majorana dan Rosmarinum officinalis bersifat antifeedant

dan deterrent terhadap T. tabaci (Koschier dan Sedy 2002). Sebaliknya F. occidentalis akan memilih daun paprika yang mengandung asam amino aromatik dengan konsentrasi yang tinggi (Terry 1997). Senyawa sekunder tanaman manggis dan perannya terhadap serangga herbivora khususnya trips belum diketahui.

Bioekologi Trips

Perkembangan trips merupakan peralihan hemimetabola dan holometabola. Siklus hidup trips terdiri dari telur, dua instar larva yang aktif makan, selanjutnya pra pupa yang diikuti oleh satu atau dua instar pupa yang tidak makan. Perkembangan trips dari telur, nimfa, pra pupa sampai imago umumnya berlangsung selama 2 hingga 3 minggu (Ananthakrishnan 1993; Mound dan Kibby 1998). Telur berukuran relatif kecil, trips betina famili Thripidae memasukkan telur ke dalam jaringan tanaman. Setiap individu betina mampu menghasilkan 30 hingga 300 telur tergantung spesies dan kualitas nutrisinya. Larva trips terlihat sama dengan imago yang tanpa sayap, pra pupa dan pupa memiliki antena dan tungkai yang sangat pendek. Sebagian larva jatuh ke tanah untuk berpupa meski tidak berlaku untuk semua spesies. Pada daerah panas dan di rumah kaca perkembangbiakan dapat berlangsung 12 hingga 15 generasi tiap tahunnya (Lewis 1973; Mound 2006).

Menurut Mound (1997), dari strategi sejarah kehidupannya trips mampu menguasai habitat yang muncul dalam rentang waktu singkat secara optimal. Thrips adalah serangga oportunis yang pada umumnya adalah spesies dengan seleksi r yang memiliki vagility, waktu generasi pendek, toleransi terhadap kisaran inang yang luas, cenderung parthenogenesis dan struktur perkembangbiakan yang kompetitif sehingga menyebabkan terjadinya agregasi. Pertanaman pertanian memberikan kesempatan untuk terjadinya kolonisasi dan perkembangan populasi yang besar bagi trips.


(30)

Asosiasi Trips dan Serangga Fitofag Lainnya dengan Bunga dan Buah Manggis

Artopoda fitofag yang berasosiasi dengan bunga dan buah manggis merupakan suatu komunitas. Begon et al. (1986) mendefinisikan komunitas sebagai kelompok spesies populasi yang dapat hidup bersama dalam suatu ruang dan waktu. Unsur komunitas dalam ekosistem pertanian dapat berupa tanaman, artropoda (fitofag, predator, parasitoid) dan pengurai, sedangkan unsur abiotik dapat berupa suhu, kelembaban udara, angin, cahaya, hujan dan tanah (Price 1984). Dengan demikian komunitas serangga pada bunga dan buah manggis merupakan berbagai spesies serangga yang berasosiasi dengan bunga dan buah manggis baik sebagai herbivora, predator, parasitoid, penyerbuk, pengurai dan yang tinggal sementara.

Berbagai jenis artropoda dilaporkan berperan sebagai hama pada tanaman manggis khususnya pada bunga dan buah. Artropoda hama pada fase bunga dan buah pada tanaman manggis meliputi serangga dari Ordo Coleoptera (Famili Nitidulidae, Scolytidae); Diptera (Famili Drosophilidae, Tephritidae); Hemiptera (Famili Aphididae, Asterolecaniidae, Coccidae, Delphacidae, Diaspididae, Pseudococcidae); Hymenoptera (Famili Formicidae); Lepidoptera (Famili Noctuidae, Tortricidae ) dan Thysanoptera (Famili Thripidae) serta Acarina (Famili Tenuipalpidae, Tarsonemidae) (USDA (2005).

Pableo dan Velasco (1994) melaporkan adanya 3 spesies trips yang menyerang buah manggis di Philipina yaitu Heliothrips haemorrhoidales

(Bouche), Selenothrips rubrocinctus (Giard) dan Caliothrips striatopterus

(Kobus) (Thysanoptera: Thripidae). Chay et al. (2005) juga melaporkan bahwa S. rubrocinctus dapat merusak bunga dan buah manggis. Di Kabupaten Bogor, Jawa Barat ditemui beberapa spesies trips seperti Nesothrips sp., S. rubrocinctus, Haplothrips victoriensis, H. haemorrhoidales dan S. dorsalis pada pucuk dan buah manggis (Harahap et al. 2009). Lebih lanjut Astridge dan Fay (2004) menyatakan bahwa S. rubrocinctus bersembunyi di bawah kelopak (calyx) buah manggis. Kerusakan yang timbul adalah luka sebagai akibat aktivitas makan trips yaitu dengan cara mengisap cairan sel. Trips lebih menyukai daun pucuk, dan pada serangan berat buah juga diserang. Gejala kerusakan ditandai dengan adanya warna keperakan pada daun dan buah, dan pada serangan yang berat


(31)

warna keperakan berkembang menjadi kuning pucat hingga kecoklatan. Selain trips, tungau juga diketahui dapat menyerang buah manggis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tungau adalah adanya bekas goresan halus karena aktivitas menggaruk pada permukaan kulit buah manggis dan mengakibatkan buah manggis tidak menarik (Osman dan Millan 2006).

Kerusakan Tanaman oleh Serangan Trips

Berdasarkan bagian tanaman yang diserang, hama dapat dikelompokkan menjadi hama langsung dan tidak langsung. Hama langsung adalah hama yang menyerang bagian tanaman yang dipanen atau dipasarkan, sedangkan hama tidak langsung menyerang bagian tanaman bukan pada bagian yang dipanen. Kerusakan secara langsung oleh serangga dapat diakibatkan karena aktivitas makan dan peletakkan telur, sedangkan kerusakan secara tidak langsung dapat juga karena aktivitas makan tapi bukan pada bagian yang dipanen dan kontaminan exuvia serangga itu sendiri yang dapat mengurangi nilai jual dari produk tersebut (Dent 2000).

Trips menyerang tanaman sejak tanaman ada di persemaian. Hama ini meraut daun, tunas dan buah serta mengisap cairan tanaman dengan menggunakan alat mulutnya. Warna daun yang terserang trips berubah menjadi coklat pada bagian pinggir kemudian berubah menjadi keperak-perakan, dan akhirnya mengeriting serta melengkung ke atas (Hudson dan Adams 1999). Pada tanaman alpukat, serangan Scirtothrips perseae mengakibatkan burik pada buah alpukat. Hal ini akan berakibat turunnya kualitas buah karena kulit buah tampak tidak menarik (Hoddle et al. 2002a).

Ciri khas akibat serangan trips pada daun dan bunga adalah adanya perubahan warna kecoklatan. Serangan pada buah dapat menimbulkan kerusakan berupa adanya rautan pada kulit buah hingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan buah. Serangan trips pada buah manggis tidak mempengaruhi hasil atau bagian yang dapat dimakan (edible portion), tetapi adanya perubahan warna pada pemukaan buah mengakibatkan penampilan buah kurang menarik dan mengurangi nilai jual (Pableo dan Velasco 1994).


(32)

Kerusakan tanaman secara langsung akibat serangan trips dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat populasi trips, jenis jaringan yang dimakan, fase pertumbuhan tanaman, kerentanan kultivar, kedalaman makan dan adanya daya racun dalam kelenjar ludah (Childers 1997). Kerusakan utama yang ditimbulkan oleh trips pada tanaman pertanian terutama disebabkan oleh aktivitas makan pada daun, bunga atau buah, serta aktivitas oviposisi (Kirk 1995). Belum ada informasi yang melaporkan gejala burik yang berasosiasi dengan trips dan organisme lainnya.

Perilaku Makan dan Oviposisi Trips

Alat mulut Ordo Thysanoptera terletak pada bagian bawah kepala dan membentuk corong mulut (mouthcone). Struktur tersebut terdiri dari satu stilet mandibel dan dua stilet maksila. Pada saat makan, trips menggunakan stilet mandibel untuk menusuk pada dinding luar jaringan dan kemudian menggunakan stilet maksila untuk mengisap cairan dari dalam jaringan (Kirk 1997a).

Umumnya trips dapat makan pada berbagai jaringan tanaman (daun, bunga, buah, polen) dan beberapa jaringan cendawan seperti spora dan hifa. Perilaku makan trips serupa untuk seluruh jaringan tanaman. Setelah hinggap pada tanaman, trips berjalan melingkar pada permukaan tanaman. Ketika menemukan titik yang tepat, imago dan larva menggunakan mandibel untuk meraut permukaan tanaman dengan cara mendorong kepala dan menarik kembali moncongnya. Sepasang stilet maksila kemudian masuk melalui bukaan yang telah dihasilkan oleh mandibel, dan biasanya meninggalkan bekas lubang berbentuk seperti angka 8 pada kutikula daun. Otot cibarial membantu mengisap cairan sel tanaman di sepanjang saluran, dan secara bergantian saliva masuk ke dalam jaringan tanaman melalui saluran yang sama dengan bantuan pompa saliva. Aktivitas makan tersebut mengakibatkan kerusakan sel. Bila kerusakan terjadi pada ovarium bunga maka pada perkembangan buah akan tampak bekas garukan, sehingga mengurangi kualitas buah (Kirk 1997a; Mound 2005). Bekas aktivitas makan tampaknya yang berkembang menjadi gejala burik.

Kerusakan tanaman yang ditimbulkan oleh trips juga disebabkan oleh aktivitas oviposisi oleh imago betina. Proses oviposisi dimulai saat betina mengangkat ujung abdomen. Pengujian kelayakan jaringan dilakukan oleh seta


(33)

yang terdapat pada ruas abdomen terakhir, lalu ovipositor ditusukkan ke dalam jaringan tanaman terpilih. Ovipositor yang menyerupai gergaji (saw) membuat celah dengan memotong jaringan tanaman. Proses peletakan telur pada celah didorong oleh kontraksi abdomen (Terry 1997). Aktivitas pembuatan celah untuk peletakan telur dapat menimbulkan kerusakan pada bagian tanaman yang sensitif seperti pada tanaman anggur yang masih muda (Mound 2006). Umumnya trips memilih daun atau jaringan bunga untuk meletakkan telur. Pada jeruk, F. bispinosa meletakkan telur pada jaringan bunga, cenderung pada area pistil-kaliks, petal, filament dan anter (Childers and Anchor 1991).


(34)

(Farmer’s Perception and Action to the Mangosteen Fruit Scar) Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dasar berbagai aspek menyangkut persepsi dan tindakan petani terhadap burik pada buah manggis. Survei dilakukan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang berlangsung pada bulan Desember 2009 - Januari 2010 dan di Desa Bukit Bulat, Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat yang berlangsung pada bulan Februari - Maret 2011. Petani manggis yang diwawancarai berjumlah 40 orang. Hasil survei menunjukkan bahwa jumlah tanaman manggis yang dikelola petani adalah 50 - 100 pohon pada lahan seluas 0.25 - 1 ha sebagian besar adalah milik sendiri. Pengalaman berusahatani manggis berkisar antara 10 - 15 tahun dan seluruh petani manggis mengetahui adanya burik pada buah manggis tetapi tidak mengetahui penyebab munculnya gejala burik. Seluruh petani mengetahui bahwa burik menyebabkan rendahnya kualitas manggis dan mengalami kerugian harga sebesar 38.93%, tetapi petani tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi burik. Sebagian besar petani (77.5%) menyatakan belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang cara mengatasi burik pada buah manggis.

Kata kunci: survei petani, buah manggis burik, persepsi petani

Abstract

The aim of this study was to obtain some basic information about farmer’s perception and action to the mangosteen fruit scar appearance. Survey was conducted in Karacak Village, Leuwiliang Subdistric, Bogor Distric, West Java during December 2009 to January 2010 and in Bukit Bulat Village, Bukit Barisan Subdistric, 50 Kota Distric, West Sumatera, during February to March 2011. From the interview (40 respondents), it was recorded that generally the farmers have 50 - 100 trees in their own area of 0.25 - 1 ha. The farmers have 10 - 15 years experiences in mangosteen planting. The farmers could recognize the scar but they could not identify the cause of the scar appearance. All farmers realized that the scar could reduce the quality of fruit. Despite they could loss 38.93% of price, the farmer has not applied any methods in order to control the scar. Most of them (77.5%) have never been trained to manage the fruit scar.

Keywords: survey, mangosteen scar, farmer’s perception

Pendahuluan

Manggis merupakan komoditas hortikultura andalan Indonesia baik untuk pasar domestik maupun internasional. Tanaman manggis tersebar hampir di seluruh provinsi di pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi Selatan. Provinsi Jawa


(35)

Barat dan Sumatera Barat merupakan pemasok buah manggis terbesar di Indonesia (Deptan 2009).

Pola usahatani manggis umumnya masih skala kecil yaitu tumbuh di lahan-lahan pekarangan, lahan-lahan kosong, pada lahan-lahan bersama tanaman lainnya (polikultur) dan berpencar. Sebagian besar tanaman manggis yang ada sekarang adalah tanaman warisan yang ditanam dengan jarak tanam tidak teratur, serta ditanam bersama dengan tanaman tahunan lainnya.

Permasalahan yang dihadapi oleh petani manggis cukup banyak mulai dari sistem budidaya, panen dan penanganan pasca panen serta sistem pemasaran. Permasalah utama dalam sistem produksi manggis adalah rendahnya mutu buah yang dihasilkan karena adanya burik pada kulit buah, getah kuning pada daging buah dan rendahnya shelflife buah (Poerwanto et al. 2010). Kondisi ini berdampak pada rendahnya volume ekspor manggis Indonesia. Tercatat pada tahun 2009 volume ekspor hanya 9 987 ton atau 9.46% dari total produksi (BPS 2010).

Sistem usahatani manggis pada saat ini umumnya dikelola secara tradisional oleh petani, dengan demikian faktor petani menjadi tokoh sentral dalam budidaya manggis. Informasi tentang persepsi dan tindakan petani tentang pengelolaan burik pada buah manggis penting untuk digali, hal ini di Indonesia belum pernah dilaporkan. Selain itu, diperlukan pula pemahaman tentang cara petani mempersepsikan hama tersebut, sikap dan keyakinannya serta tindakan pengendalian yang dilakukannya. Survei dasar petani yang meliputi survei pengetahuan, sikap dan tindakan petani sangat penting dalam membuat rekomendasi teknologi (Rauf 1996).

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dasar berbagai aspek petani menyangkut persepsi dan tindakan petani terhadap burik pada buah manggis. Untuk memperoleh informasi tersebut, dilakukan survei terhadap petani di dua sentra produksi manggis.


(36)

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2009 – Januari 2010 pada petani manggis di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan Februari hingga Maret 2011 di Desa Bukit Bulat, Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat. Pemilihan daerah tersebut sebagai lokasi penelitian adalah karena daerah tersebut memiliki area tanaman manggis yang luas dan merupakan sentra produksi manggis.

Penentuan Sampel

Responden terpilih ditentukan secara purposive sampling yaitu petani yang memiliki atau mengelola kebun manggis. Jumlah responden keseluruhan untuk masing masing lokasi adalah 20 orang.

Peubah Penelitian dan Metode Analisis

Penelitian dilakukan dengan mewawancarai petani manggis dengan menggunakan kuesioner terstruktur dengan sebagian pertanyaan bersifat terbuka (Lampiran 1). Peubah yang ditanyakan kepada petani meliputi faktor internal petani seperti pendidikan, kepemilikan lahan dan luas lahan yang dikelola. Selain itu ditanyakan pula tentang budidaya, panen dan persepsi petani terhadap burik pada buah manggis. Data yang diperoleh berupa data primer dari petani, kemudian data dianalisis berdasarkan frekuensi jawaban petani dan tabulasi.

Data % kerugian akibat burik diperoleh dengan cara membandingkan jumlah kerugian yang ditimbulkan menurut petani dibandingkan dengan harga buah manggis yang berlaku saat wawancara dilakukan.

Hasil dan Pembahasan Karakteristik Petani Manggis

Petani manggis yang menjadi responden umumnya (>50%) berusia antara 20 - 50 tahun dan 47.5% yang berumur di atas 51 tahun (Tabel 3.1). Jika dilihat dari segi umur, petani manggis umumnya masih tergolong dalam batasan umur produktif. Menurut Palebangan et al. (2006), umur petani antara 15 - 55 tahun adalah petani produktif. Dengan demikian petani manggis di Desa Karacak dan


(37)

Desa Bukit Bulat termasuk petani produktif sehingga masih berpotensi untuk mengembangkan diri dan masih terbuka untuk menerima inovasi guna meningkatkan kemampuan dalam usaha budidaya tanaman manggis.

Tabel 3.1. Persebaran petani menurut usia (%)

Lokasi Usia (tahun)

20 - 30 31- 40 41 - 50 51 - 60 > 60

Desa Karacak 5 35 20.0 20 20.0

Desa Bukit Bulat 5 05 35.0 40 15.0

Rataan 5 20 27.5 30 17.5

Dari segi pendidikan, umumnya petani responden (45%) adalah lulusan SLTP dan 25% tamatan SLTA (Tabel 3.2). Sebanyak 5% petani responden di Desa Karacak dan Bukit Bulat pernah kuliah dan alumni perguruan tinggi dan 47,5% petani responden pernah mengikuti pelatihan tentang budidaya manggis. Tingkat pendidikan petani manggis di lokasi penelitian cukup baik jika dibandingkan dengan kondisi pendidikan petani Indonesia pada umumnya. Menurut Palebangan et al. (2006) semakin tinggi tingkat pendidikan formal petani diharapkan semakin rasional pola pikir dan daya nalarnya.

Tabel 3.2. Latar belakang pendidikan responden (%) Lokasi

Pendidikan Tidak

tamat SD SD SLTP SLTA PT

Desa Cengal 0 20 45 30 5

Desa Bukit Bulat 10 20 45 20 5

Rataan 5 20 45 25 5

Seperti petani lainnya, petani manggis tidak menggantungkan kehidupannya pada usahatani manggis semata (Tabel 3.3). Hal ini terlihat bahwa seluruh petani responden yang diwawancarai memiliki usaha lain selain mengelola kebun manggis baik dari sektor pertanian maupun non pertanian. Sebagian besar petani responden juga mengusahakan komoditas lain selain tanaman manggis (67.5%). Umumnya tanaman yang diusahakan petani adalah padi, selain itu juga mereka mengusahakan tanaman kapolaga, kacang-kacangan, petai, kopi dan kakao yang ditanam bersama dengan tanaman manggis. Selain mengelola tanaman manggis,


(38)

petani responden mempunyai pekerjaan lain seperti pedagang (12.5%), pegawai negeri sipil (7.5%) dan usaha lainnya (12.5%). Tanaman manggis merupakan tanaman tahunan yang berproduksi musiman dianggap tidak membutuhkan curahan waktu yang banyak, dengan demikian petani memiliki waktu luang untuk bekerja di bidang lainnya.

Tabel 3.3. Pekerjaan petani responden selain usahatani manggis (%)

Lokasi Pekerjaan

Petani Pedagang PNS Lain lain

Desa Karacak 40 25 10 25

Desa Bukit Bulat 95 0 5 0

Rataan 67.5 12.5 7.5 12.5

Petani di Desa Karacak dan Bukit Bulat cukup berpengalaman dalam budidaya tanaman manggis, 65% di antaranya berpengalaman antara 10 - 20 tahun, 32.5% berpengalaman kurang dari 10 tahun dan 2.5% berpengalaman lebih dari 20 tahun (Tabel 3.4). Berdasarkan data persebaran usia responden pada Tabel 3.1 bahwa lebih dari 50% responden berumur 20-50 tahun, data pada Tabel 3.4 menunjukkan bahwa potensi sumberdaya petani dalam keberlanjutan mengelola usaha manggis cukup baik.

Tabel 3.4. Pengalaman petani responden dalam berusahatani manggis (%) Lokasi

Pengalaman berusahatani manggis (tahun)

< 5 5-10 10-15 15-20 > 20

Desa Karacak 30 25 25 15 5

Desa Bukit Bulat 5 5 50 40 0

Rataan 17.5 15 37.5 27.5 2.5

Usahatani manggis masih dalam bentuk skala kecil dan tidak berada dalam satu hamparan. Data pada Tabel 3.5 menunjukkan bahwa sebagian besar (75%) petani responden mengelola pohon manggis 50 - 250 batang, 20% mengusahakan tanaman manggis kurang dari 50 pohon. Hanya 2.5% petani responden yang mengelola lebih 1000 pohon manggis.


(39)

Tabel 3.5. Jumlah pohon manggis yang diusahakan (%)

Lokasi Jumlah pohon manggis yang diusahakan (pohon)

<50 50 - 100 101 - 250 251 - 500 501 - 1000 >1000

Desa Karacak 30 30 35 0 0 5

Desa Bukit Bulat 10 60 25 5 0 0

Rataan 20 45 30 2.5 0 2.5

Umumnya (85%) lahan yang digunakan oleh petani responden untuk budidaya manggis adalah milik sendiri dan petani berperan langsung sebagai penggarap, sisanya adalah sebagai penyewa (Tabel 3.6). Luas lahan yang diusahakan petani responden untuk mengusahakan tanaman manggis relatif sempit. Sebanyak 32.5% petani responden mengelola lahan seluas 0.25 - 0.5 ha, 30% lainnya mengelola lahan seluas 0.5 - 1 ha. Petani responden yang mengelola lahan kurang dari 0.25 ha cukup banyak yaitu 27.5% dan sebaliknya hanya 10% yang mengelola tanaman manggis lebih dari 1 ha (Tabel 3.7). Dengan luas lahan yang sempit maka jumlah tanaman manggis yang dikelola petani juga sedikit (Tabel 3.5).

Tabel 3.6. Status kepemilikan lahan (%)

Lokasi Status kepemilikan lahan

Pemilik - penggarap Penyewa Penggarap

Desa Karacak 90 10 -

Desa Bukit Bulat 80 20 -

Rataan 85 15 -

Pada Tabel 3.7 juga terlihat bahwa luas lahan yang diusahakan di Bukit Bulat, Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat relatif lebih luas dibandingkan dengan daerah Karacak Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dikaitkan dengan data pada Tabel 3.4 dan 3.5 memperlihatkan bahwa pengusahaan tanaman manggis masih dalam skala rakyat dan belum masuk dalam kategori usaha perkebunan.


(40)

Tabel 3.7. Luas lahan dalam pengusahaan tanaman manggis (%) Lokasi Luas pengusahaan kebun manggis (ha)

<0.25 0.25 - 0.5 0.5 - 1 >1

Desa Karacak 35 35 25 5

Desa Bukit Bulat 20 30 35 15

Rataan 27.5 032.5 30 10

Sistem Budidaya Manggis

Tanaman manggis tidak ditanam secara monokultur, tetapi merupakan polikultur dengan tanaman lainnya (97.5%), karena itu tanaman tidak memiliki jarak tanam yang teratur (100%) (Tabel 3.8). Hal ini disebabkan tanaman yang ada saat ini adalah tanaman yang sudah ada sejak dulu secara turun temurun dan ditanam dengan memanfaatkan lahan kosong sehingga tidak tertata sebagaimana layaknya perkebunan. Umumnya tanaman manggis ditanam bersama dengan tanaman tahunan lainnya seperti durian, jengkol, petai, melinjo, kopi dan kakao.

Tabel 3.8. Sistem budidaya manggis (%) Lokasi

Pola tanam Jarak tanam Mono

kultur

Poli

kultur Hutan Teratur

Tidak teratur

Desa Karacak 0 95 5 0 100

Desa Bukit Bulat 0 100 0 0 100

Rataan 0 97.5 2.5 0 100

Umumnya petani manggis sudah melakukan pemeliharaan terutama dalam hal pemupukan dan penyiangan gulma (Tabel 3.9 dan Tabel 3.10). Sebanyak 52.5% petani responden sudah melakukan pemupukan, sedangkan 47.5% lainnya tidak pernah melakukan pemupukan pada tanaman manggis. Kegiatan penyiangan gulma sudah dilakukan petani responden (65%). Sebagian besar petani responden (87.5%) tidak melakukan aplikasi pestisida untuk tindakan pengendalian hama dan penyakit pada tanaman manggis, sisanya (12.5%) mengaku pernah melakukan aplikasi pestisida


(41)

Tabel 3.9. Pemupukan tanaman manggis (%)

Lokasi Pemupukan

Dipupuk Tidak dipupuk

Desa Karacak 60 40

Desa Bukit Bulat 45 55

Rataan 52.5 47.5

Seluruh petani responden di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat tidak melakukan aplikasi pestisida pada tanaman manggis. Hal ini sangat baik mengingat manggis sudah menjadi komoditas ekspor. Dari hasil wawancara secara mendalam yang dilakukan terungkap bahwa pemupukan tidak dilakukan secara rutin, sering hanya terkait dengan kegiatan program tertentu yang umumnya adalah bantuan pemerintah. Menurut informasi petani responden khususnya di Desa Bukit Bulat, aplikasi pestisida pernah digunakan pada waktu tanaman masih dalam fase bibit di lapangan untuk mengatasi hama belalang. Ketika tanaman manggis sudah menghasilkan petani tidak pernah melakukan aplikasi pestisida.

Tabel 3.10. Pengendalian gulma, hama dan penyakit (%) Lokasi

Gulma Hama dan penyakit

Dikendalikan Tidak Dikendalikan* Tidak dikendalikan dikendalikan

Desa Karacak 75 25 0 100

Desa Bukit Bulat 55 45 25 75

Rataan 65 35 12.5 87.5

* dengan pestisida

Panen dan Pemasaran Manggis

Sistem pemasaran yang paling banyak dilakukan adalah melalui pedagang pengumpul atau kelompok tani (92.5%) sisanya dijual dengan sistem ijon (7.5%). Tidak ada petani yang menjual langsung hasil panen manggis ke eksportir (Tabel 3.11). Di Desa Karacak sebagian petani sudah bernaung dalam kelompok atau lembaga yang salah satu tujuannya adalah untuk melindungi petani manggis terutama dari permainan harga oleh pedagang pengumpul atau tengkulak.

Praktek sistem ijon dalam tataniaga buah manggis di lapangan masih ada. Sistem ijon masih banyak diterapkan petani manggis yang mengabaikan teknis


(42)

pemanenan yang baik dan benar. Menurut Deptan (2009), sistem ijon yang banyak terjadi di sentra produksi manggis ternyata lebih cenderung merusak tanaman karena pemanenan tidak memperhatikan persyaratan panen yang ada dan tidak mendorong petani untuk melakukan pemeliharaan tanaman manggisnya.

Tabel 3.11. Sistem pemasaran manggis yang dilakukan oleh petani responden Lokasi

Pemasaran Melalui pedagang pengumpul

atau kelompok tani

Langsung pada

eksportir Ijon

Desa Karacak 90 0 10

Desa Bukit Bulat 95 0 05

Rataan 092.5 0 007.5

Pengetahuan petani di Desa Karacak tentang standar mutu buah manggis lebih baik dari pada Desa Bukit Bulat. Sebanyak 70% petani responden di Desa Karacak mengetahui standar mutu manggis dibandingkan dengan di Desa Bukit Bulat yang hanya mencapai 45% (Tabel 3.12). Walaupun petani mengetahui standar mutu buah manggis, pada saat jual beli penyortiran dilakukan bukan oleh petani namun oleh pedagang pengumpul atau kelompok tani. Sebagian petani telah melakukan kegiatan sortasi sebelum dijual ke pedagang pengumpul guna menaikkan harga jual, tetapi sortasi hanya dilakukan terhadap buah manggis yang berkualitas sangat rendah yang nantinya dijual terpisah. Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa buah burik dan getah kuning menjadi penyebab utama rendahnya mutu buah manggis yang diperoleh.

Tabel 3.12. Pengetahuan petani responden terhadap standar mutu manggis (%)

Lokasi Standar mutu buah manggis

Tahu Tidak tahu

Desa Karacak 70 30

Desa Bukit Bulat 45 55

Rataan 57.5 42.5

Pengetahuan Burik pada Buah Manggis

Semua petani responden mengetahui adanya burik pada buah manggis (100%), tetapi tidak mengetahui penyebab terjadinya burik pada buah manggis


(43)

(87.5%) (Tabel 3.13). Petani di Bukit Bulat menyebut buah burik sebagai buah

kosek karena permukaan kulit buah manggis terasa kasar.

Tabel 3.13. Persepsi petani responden tentang burik pada buah manggis (%) Lokasi

Pengetahuan

Buah burik Penyebab buah burik Tahu Tidak tahu Tahu Tidak tahu

Desa Karacak 100 0 10 90

Desa Bukit Bulat 100 0 15 85

Rataan 100 0 12.5 87.5

Petani mengalami kehilangan pendapatan sebesar 38.93% per kg akibat burik. Sebanyak 27.5% petani melakukan pengendalian gulma, namun sebagian besar (72.5%) tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi burik pada buah manggis (Tabel 3.14).

Tabel 3.14. Persepsi petani responden tentang usaha pengelolaan burik pada buah manggis (%)

Lokasi Upaya pengelolaan buah burik

Pestisida Penyiangan gulma Dibiarkan saja

Desa Karacak 0 35 65

Desa Bukit Bulat 0 20 80

Rataan 0 27.5 73

Walaupun burik sudah menjadi masalah bagi petani manggis, belum ada upaya dari pihak pihak terkait untuk memberikan penyuluhan atau pelatihan kepada petani untuk mengatasi burik pada buah manggis. Hal ini terlihat dari jawaban petani responden (Tabel 3.15) sebagian besar petani menyatakan belum pernah mendapatkan penyuluhan (77.5%) dan sebanyak 22.5% menyatakan pernah mendapatkan penyuluhan tentang buah burik.

Tabel 3.15. Persepsi petani responden tentang informasi pengendalian buah burik (%)

Lokasi Penyuluhan mengatasi buah burik

Tidak pernah Pernah

Desa Karacak 70 30

Desa Bukit Bulat 85 15


(44)

Kesimpulan

Sebagian besar petani manggis berumur 20 - 50 tahun dengan tingkat pendidikan SLTP dan SLTA. Petani responden tidak sepenuhnya mengandalkan pendapatan dari berusahatani manggis karena juga memiliki pekerjaan lain yang sebagian besar juga di bidang pertanian, pedagang dan pegawai negeri sipil. Umumnya petani responden memiliki lahan sendiri dan langsung sebagai penggarap dengan luasan 0.25 - 1 ha.

Sebagian besar tanaman manggis dimiliki petani secara turun temurun, kondisi pertanaman manggis berada dalam hutan campuran, ditanam bersama dengan tanaman tahunan lainnya dengan jarak tanam yang tidak teratur. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan adalah pemupukan, sangat sedikit yang melakukan penyiangan gulma dan aplikasi pestisida. Buah manggis hasil panen umumnya dijual ke pedagang pengumpul atau kelompok tani. Walaupun petani mengetahui standar mutu buah manggis, kegiatan sortasi tetap dilakukan oleh pedagang pengumpul atau kelompok tani.

Semua petani responden mengetahui adanya burik pada buah manggis dan menyadari bahwa burik sangat berpengaruh terhadap penurunan kualitas manggis. Walaupun mengalami kehilangan pendapatan sebesar 38.93% per kg akibat burik, petani tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi burik. Sebagian besar petani (>75%) belum pernah mendapatkan informasi baik berupa penyuluhan ataupun pelatihan cara mengatasi burik pada buah manggis.

Daftar Pustaka

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Produksi buah buahan di Indonesia. Dikutip dari: http//www.bps.go.id/[23 Maret 2012].

[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Profil Kawasan Manggis. Direktorat Budidaya Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Hortikultura. Jakarta: Departemen Pertanian.

Palebangan S, Hamzah F, Dahlan, Kaharuddin, 2006. Persepsi petani terhadap pemanfaatan bokasi jerami pada tanaman ubi jalar dalam penerapan sistem pertanian organik. J Agrisistem 12(1): 46-53.


(45)

Poerwanto R, Dorly, Maad M. 2010. Getah kuning pada buah manggis. Di dalam: Utama IMS, Susila AD, Poerwanto R, Antara NS, Putra NK, Susustra KB, editor. Reorientasi Riset untuk Mengoptimalkan Produksi dan Rantai Nilai Hortikultura. Prosiding Seminar Nasional Hortikultura Indonesia; Universitas Bali, 25-26 Nop. Universitas Udayana-Bali: Perhorti. hlm 225-260.

Rauf A. 1996. Persepsi dan tindakan petani kentang terhadap lalat penggorok daun, Liriomyza huidobrensis (Blanchard) (Diptera: Agromyzidae). Bul HPT 11(1): 1-13.


(46)

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari perkembangan gejala burik, analisis jaringan buah dan padatan total terlarut buah yang bergejala burik serta intensitas dan distribusi buah bergejala burik. Penelitian kajian burik pada buah manggis dilaksanakan pada bulan Mei 2009-September 2010 di Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengamatan laboratorium dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala burik sudah terlihat

pada buah berumur 1 minggu setelah anthesis (msa) dan kemunculan gejala burik

yang paling banyak adalah pada buah berumur 2 msa. Intensitas gejala burik mengalami peningkatan dari buah berumur 1 msa hingga mencapai 51.40 - 52.57% ketika buah berumur 6 - 7 msa dan tidak ada pertambahan gejala burik hingga buah berumur 16 msa. Burik hanya merusak bagian kutikula dan eksokarp, dan tidak merusak bagian yang dapat dimakan. Buah manggis dengan gejala burik skor 4 memiliki nilai %Brix paling tinggi yaitu 16.53%. Sektor tengah tanaman merupakan penghasil buah bebas gejala burik terbanyak (7.13%) sekaligus juga penghasil buah terbanyak bergejala burik dengan skor tertinggi (8.60%).

Kata kunci: gejala burik, kerusakan jaringan, sebaran vertikal buah burik Abstract

The aims of this study were to investigate the fruit scar appearance and development, to analyze tissue structure and the total dissolved solids of fruit with scar, to analyze the intensity and distribution of scar fruit as well. The study was conducted from May 2009 to September 2010 in Cengal Town, Karacak Village, Leuwiliang Subdistrict, Bogor District, West Java. Laboratory observation was conducted at Plant Anatomy Laboratory of Bogor Agricultural University. The result showed that fruit scar appeared in one week after anthesis (waa) and the highest appearance was in 2 waa. The intensity of fruit scar appearance increased to 51.40-52.57% in 6-7 waa, and there was no more increasing until 16 waa. The scar disrupted the fruit cuticle and exocarp only, not the edible part. The fruit with heavy scar (score 4) had 16.53%Brix. Of 7.13% fruits in the middle plant canopy were scar free, but then 8.60% of fruits in the same part were also with scar. Keywords: fruit scar, tissue damage, vertical distribution

Pendahuluan

Ekspor buah manggis paling tinggi dibandingkan dengan buah-buahan lain yang lebih banyak diproduksi. Persentase ekspor manggis Indonesia masih rendah dibandingkan total produksi. Tahun 2009 produksi manggis Indonesia mencapai 105 558 ton dan yang dapat diekspor hanya 9 987 ton atau 9.46 % (BPS


(47)

2010). Buah manggis segar Indonesia sebagian besar diekspor ke China, Hongkong, Timur Tengah dan Asia Timur (Deptan 2009).

Volume ekspor buah manggis yang masih rendah di antaranya diakibatkan oleh rendahnya mutu sebagian besar buah. Sistem produksi buah manggis saat ini masih tergantung pada alam, dengan skala usaha kecil dan lokasi pertanaman terpencar serta minim sentuhan teknologi maju, sehingga kualitas buah yang dihasilkan masih rendah (Deptan 2009). Secara garis besar permasalahan mutu buah manggis di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi (1) adanya burik pada

kulit buah, (2) getah kuning pada daging buah dan (3) rendahnya shelflife buah

(Poerwanto et al. 2010).

Burik merupakan kerusakan yang terjadi pada permukaan kulit buah manggis akibat adanya pelukaan sehingga menyebabkan kulit terlihat kusam. Hasil pengamatan yang dilakukan di Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menunjukkan bahwa intensitas gejala burik mencapai 23.84%. Penyebab munculnya gejala burik pada buah manggis hingga saat ini belum diketahui secara pasti namun diduga karena aktifitas

serangga trips dan pernah dilaporkan oleh Pableo dan Velasco (1994), Affandi et

al. (2008) dan Pankeaw et al. (2011).

Gejala burik merupakan kerusakan yang berakibat langsung kepada penurunan kualitas hasil. Kerusakan secara langsung oleh serangga dapat diakibatkan karena aktifitas makan dan peletakkan telur. Kerusakan secara tidak langsung karena aktivitas makan tapi bukan pada bagian yang dipanen dan kontaminan exuvia serangga itu sendiri (Dent 2000).

Trips dilaporkan merupakan penyebab burik pada buah manggis (Pableo

dan Velasco 1994; Affandi et al. 2008; Pankeaw et al. 2011). Serangan pada

buah dapat menimbulkan kerusakan berupa adanya rautan (scabbing) pada kulit

buah yang dapat menghambat pertumbuhan buah, mengakibatkan penampilan buah kurang menarik dan mengurangi harga jual. Serangan trips pada buah

manggis tidak mempengaruhi bagian yang dapat dimakan (edible portion), tetapi

adanya perubahan warna pada pemukaan buah yang mengakibatkan penurunan kualitas (Pableo dan Velasco 1994). Kriteria yang ditetapkan dalam standar mutu buah manggis untuk ekspor meliputi ukuran (diameter), berat, warna, kemulusan,


(48)

kelengkapan jumlah sepal yang berwarna hijau segar, tangkai buah berwarna hijau segar serta bebas dari cacat dan kerusakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari kemunculan dan perkembangan gejala burik, dampak serangan pada kualitas buah, intensitas gejala burik dan padatan total terlarut dari buah bergejala burik.

Bahan dan Metode Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2009 hingga September 2010. Pengamatan lapangan dilakukan di sentra produksi manggis di Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengamatan kerusakan jaringan buah bergejala burik dilakukan di Laboratorium Anatomi dan Morfologi Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Kemunculan dan Perkembangan Gejala Burik

Studi terhadap kemunculan dan perkembangan gejala burik dilakukan dengan cara mengikuti perkembangan buah yang dimulai setelah bunga mekar hingga buah siap dipanen. Dipilih 5 pohon secara acak pada pertanaman manggis. Pada setiap pohon ditentukan 10 bunga manggis sebagai contoh. Pengamatan dilakukan seminggu sekali selama 16 minggu.

Untuk memperoleh buah dengan kriteria umur tersebut, bunga manggis yang belum mekar sempurna diberi label. Setiap bunga yang diberi label dicatat

tanggal terjadinya mekar sempurna dalam suatu data base untuk mengetahui

perkembangan umur buah saat pengamatan dilakukan.

Pengamatan saat muncul gejala burik dilakukan dengan cara mengamati gejala burik yang muncul pertama kalinya pada buah contoh. Pengamatan dilakukan setiap minggu hingga munculnya gejala burik. Bersamaan dengan pengamatan kemuculan gejala burik, diamati juga pola gejala burik untuk mengetahui apakah ada preferensi tertentu dari penyebab burik terhadap bagian dari buah manggis. Pengamatan dilakukan secara visual terhadap bagian buah yang menunjukkan gejala burik pertama muncul. Buah manggis dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian atas atau dekat tangkai buah, bagian tengah dan bagian


(49)

bawah yaitu dekat ujung buah (Gambar 4.1). Pengamatan dilakukan setiap minggu bersamaan dengan pengamatan saat muncul gejala pertama.

Gambar 4.1. Pembagian posisi munculnya gejala burik pertama kali pada buah

manggis (stem end, equator dan styler end)

Pengamatan perkembangan intensitas serangan dilakukan terhadap buah manggis yang memperlihatkan gejala burik. Penilaian intensitas serangan dilakukan setiap minggu hingga buah siap dipanen dengan menetapkan skala nilai kerusakan seperti pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Skala nilai kerusakan

Urutan skala (i) Skor (v) Skala kerusakan (%)

1 0 buah tidak terserang burik

2 1 0< x ≤25

3 2 25< x ≤ 50

4 3 50< x ≤ 75

5 4 x >75

x= kerusakan pada buah

Intensitas gejala burik dihitung dengan rumus Townsend dan Hueberger (dalam Unterstenhofer 1976) :

Keterangan :

n: jumlah buah yang terserang pada skor tertentu v: skor dari kategori serangan tertentu

i=1 ∑ 5

ni x vi

N x Z

X 100%

Stem end Equator Styler end

Tangkai

Sepal


(1)

III. Panen dan Pascapanen 17. Pemasaran:

a. [ ] dijual ke pedagang pengumpul b. [ ] dijual langsung ke eksportir

c. [ ] dijual ke kelompok tani manggis

d. [ ] dijual borongan ke pedagang pengumpul dengan sistem ijon 18. Harga jual musim panen tahun lalu Rp ………./kg

19. Apakah bapak mengetahui standar mutu buah manggis untuk ekspor?

a. [ ] ya b. [ ] tidak 20. Siapakah yang melakukan penyortiran buah manggis ?

a. [ ] sendiri b. [ ] pembeli c. [ ] kelompok tani manggis Kendala yang dihadapi dalam memenuhi kriteria manggis untuk ekspor?

……… ……… Persepsi Petani Terhadap Buah Burik

21. Apakah bapak mengenal buah burik pada manggis? a. [ ] ya b. [ ] tidak

22. Apakah bapak mengetahui penyebab buah burik pada manggis? a. [ ] tidak tahu

b. [ ] tahu (sebutkan): ………

23. Apakah bapak pernah melihat hama pada bunga atau buah manggis? a. [ ] pernah

b. [ ] tidak pernah

24. Menurut bapak, apakah kejadian buah burik ada hubungannya dengan: a. [ ] kondisi kebun manggis

b. [ ] iklim

25. Bagaimana usaha bapak mengatasi buah burik? a. [ ] penyemprotan dengan insektisida b. [ ] penyiangan gulma

c. [ ] dibiarkan saja d. [ ] lainnya: ……….


(2)

26. Setiap kali panen, berapa banyak buah burik yang bapak peroleh? ………. ( kg ) ………. ( % )

27. Menurut bapak, berapa persentase buah burik dalam 1 pohon untuk setiap kali panen? ……….. %

28. Menurut bapak, berapakah kerugian akibat buah burik? Rp ………....

29. Apakah bapak pernah mendapat penyuluhan cara mengatasi buah burik? a. [ ] tidak pernah

b. [ ] pernah:

………


(3)

Lampiran 2. Komposisi larutan seri Johansen

Komposisi Larutan Larutan Johansen

I II III IV V VI VII

Air 50% 30% 15% - - - -

Etanol 95% 40% 50% 50% 45% - - -

Etanol 100% - - - - 25% - -

Tertier butil alkohol 10% 20% 35% 55% 75% 100% 50%


(4)

Lampiran 3. Isolasi bakteri dari kulit buah manggis yang bergejala burik (Schaad 2001)

a. Isolasi

Sumber inokulum diisolasi dari kulit buah manggis bergejala burik. Bagian kulit buah yang bergejala burik dipotong sebesar 1 cm2 sebanyak 3 bagian. Kemudian dilakukan sterilisasi permukaan dengan alkohol 70% dan dibilas dengan aquades steril. Potongan kulit buah manggis tersebut dihancurkan dengan mengunakan lumpang porselin dan ditambahkan 3 ml akuades steril, dan dilakukan pengenceran seri sampai 10-6. Sebanyak 1 ml suspensi dari pengenceran 10-4, 10-5, 10-6

b. Uji Gram

dipindahkan ke dalam media nutrient agar (NA) dan diinkubasi selama 2 x 24 jam. Koloni yang tumbuh diamati.

Pengujian gram bertujuan untuk mengetahui sifat bakteri termasuk gram positif atau negatif. Satu tetes KOH 3% diletakkan di atas gelas objek menggunakan pipet tetes kemudian diambil satu ose biakkan murni dan dicampurkan dengan larutan KOH tersebut. Apabila terjadi penggumpalan maka bakteri bersifat gram negative, sebaliknya jika tidak terjadi penggumpalan berarti bakteri tersebut bersifat gram positif.

c. Reaksi Hipersensitif

Pengujian hipersensitif menggunakan tanaman tembakau umur 1 bulan untuk mengetahui sifat bakteri yang tergolong patogen. Suspensi bakteri dengan kepadatan 106 sel/ml diinfiltrasi ke ruang antar sel daun tembakau dengan jarum suntik. Daun yang diperlakukan diselubungi dengan plastik bening. Apabila terjadi reaksi yang ditandai dengan munculnya nekrotik dalam waktu 1 x 24 jam setelah inokulasi, maka hal tersebut menunjukkan reaksi hipersensitif dan bakteri yang diinfeksikan termasuk pathogen tanaman.


(5)

Lampiran 4. Pengukuran kadar air, nitrogen dan total gula pada daun dan kulit buah manggis

Pengamatan kadar air, nitrogen dan total gula dilakukan terhadap fase bunga serta kulit buah manggis yang berumur 1 hingga 15 minggu setelah

anthesis (msa). Sampel bunga dan buah manggis berasal dari pengamatan

serangga trips yang berasosiasi dengan daun, kuncup, bunga dan buah dan pengamatan persebaran trips pada bunga dan buah manggis. Pengamatan dilakukan sebanyak 2 kali.

Pengukuran kadar air daun dan kulit buah manggis dilakukan dengan metode oven, jumlah air ditentukan dari selisih berat bahan sebelum dan sesudah pengeringan dengan asumsi seluruh bahan yang menguap adalah air. Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobotnya. Kemudian cawan alumunium berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o

Kadar air basis basah (%) = (A – B)/C x 100%

C hingga diperoleh berat yang konstan. Sampel didinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan :

A : bobot cawan alumanium dan sampel sebelum dikeringkan (g) B : bobot cawan alumanium dan sampel setelah dikeringkan (g) C : bobot sampel awal (g)

Analisis kandungan nitrogen dilakukan dengan metode Kjedahl. Sampel dilarutkan dengan asam sulfat pekat. Kemudian ditambahkan kalium sulfat dan merkuri oksida yang berfungsi sebagai katalisator. Nitrogen organik yang terdapat dalam sampel diubah menjadi ion ammonium. Ammonium diuapkan dengan menggunakan natrium hidroksida. Kadar nitrogen dalam sampel ditentukan dengan menggunakan Kjeltec Auto Analyzer.

Penetapan kadar total gula dilakukan berdasarkan metode Anthrone (dalam Apriyantono et al. 1994). Tahap pertama yang dilakukan adalah membuat kurva standar glukosa. Larutan glukosa 0.2 mg/ml (10 mg glukosa + 50 ml aquadest) diambil dengan pipet masing-masing sebanyak 0.1 ml, 0.2 ml, 0.3 ml, 0.4 ml, 0.5 ml, 0.6 ml, 0.7 ml, 0.8 ml, 0.9 ml dan 1 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Ke dalam masing-masing tabung reaksi ditambahkan aquades


(6)

sampai volumenya menjadi 1 ml sehingga diperoleh larutan glukosa 0.02 mg/ml, 0.04 mg/ml, 0.06 mg/ml, 0.08 mg/ml, 0.10 mg/ml, 0.12 mg/ml, 0.14 mg/ml, 0.16 mg/ml, 0.18 mg/ml dan 0.2 mg/ml. Pereaksi anthrone sebanyak 5 ml ditambahkan ke dalam masing-masing tabung reaksi tersebut kemudian ditutup dengan kelereng dan diletakkan pada water bath suhu 100 o

Kulit buah manggis sebanyak 10 gram digerus, kemudian ditambah 20 ml etil alkohol panas 80% dan dikocok selama 5 menit lalu diputar dengan sentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit sehingga dihasilkan supernatan 1. Residu dari supernatan 1 ditambahkan 20 ml etil alkohol panas 80% dan dikocok selama 5 menit lalu diputar dengan alat sentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit sehingga dihasilkan supernatan 2. Supernatan 1 dan supernatan 2 digabungkan kemudian dipanaskan pada suhu 85

C selama 12 menit kemudian didinginkan. Absorbansi larutan pada masing-masing tabung diukur pada panjang gelombang 630 nm dengan menggunakan spektrofotometri. Hasil pengukuran dibuat kurva hubungan antara nilai absorban dengan konsentrasi glukosa (mg/ml) dan akan diperoleh suatu persamaan Y= bx + a.

o

Sampel (supernatan 1 dan supernatan 2) sebanyak 1 ml + 1 ml aquades + 5 5 ml pereaksi anthrone dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditutup dengan kelereng. Tabung reaksi ditempatkan pada water bath suhu 100

C hingga etanol menguap lalu ditera dengan aquades sampai 100 ml.

o

x = (Y-a)/b

C selama 12 menit kemudian segera didinginkan dalam ice bath. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 630 nm dengan menggunakan spektrofotometri. Kandungan gula total dalam sampel ditentukan berdasarkan kurva standar glukosa yang telah dibuat dengan menggunakan rumus berikut:

x = gula total

Y = nilai absorbansi sampel

a = nilai yang diperoleh dari kurva larutan standar gula total b = nilai yang diperoleh dari kurva larutan standar gula total


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit Manggis (Garcinia mangostana L) terhadap Perubahan Kadar Enzim AST, ALT serta Perubahan Makroskopik dan Histopatologi Hati Mencit Jantan (Mus musculus L) strain DDW setelah diberi Monosodium Glutamate (MSG) diban

1 68 118

Pengaruh Penambahan Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia X Mangostana L.) Terhadap Nilai Spf Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenson Dan Oktil Metoksisinamat

4 100 106

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus (Rattus norvegicus L.) Jantan yang Dipapari Kebisingan

2 103 56

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Hitung Leukosit dan diferensiasi Leukosit Tikus (Rattus noevegicus L.) Jantan Setelah Dipapari Kebisingan

0 58 58

Pengendalian Kutu Putih pada Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) dengan Insektisida Botani

11 121 93

Evaluasi Lahan Untuk Pengembangan Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.) di Kabupaten Mandailing Natal

4 42 82

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) Terhadap Fungsi Hati, Jumlah Eritrosit dan Kadar Hemoglobin Tikus (Rattus norvegicus) yang Dipapari dengan Karbon Tetraklorida (CCl4)

3 53 59

Biologi Dan Statistik Demografi Thrips Parvispinus Karny (Thysanoptera Thripidae) Pada Tanaman Cabai

0 4 51

Effects of CPPU and CoSO4 on postharvest quality of mangosteen fruit (Garcinia mangostana l) during storage

0 6 91

Thrips (Thysanoptera: Thripidae) associated with horticultural crops in West Java and key to species

0 1 14