Identifikasi Penyebab Kasus Kaki Berkapur (Scaly Leg) pada Ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut

(1)

Muhammad Ridwan. Identification the Causes of Scaly Leg’s Case on Native Chicken at Kampung Adat Pulo, Cangkuang Village, Garut District. Under direction of Upik Kesumawati Hadi and Supriyono.

The aim of this study was to identify the causes of scaly leg’s case on native chicken at Kampung Adat Pulo, Cangkuang Village, Garut District. This research was conducted in September 2010 to June 2011 and implemented in 3 phases i.e. sampling, processing sample, and identification. The ectoparasites were collected by skin scrapping and mounted by hoyer solution. Species identification was done by using Baker and Canin’s (1958) systematic key. The results showed that there were 2 species of ectoparasites found which were causing the scaly leg. Those ectoparasites were Knemidokoptes mutans and Megninia sp. Those mites were known as scaly-leg mites and feather mites that live on domestic and wild fowl. The percentage of native chicken that infected by scaly leg was 17%. The people who live at Kampung Adat Pulo didn’t concern in this scaly leg cases.

Keywords: Garut district, Knemidokoptes mutans, Megninia sp, native chicken, scaly leg.


(2)

Muhammad Ridwan. Identifikasi Penyebab Kasus Kaki Berkapur (Scaly Leg) pada Ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut. Dibawah bimbingan Upik Kesumawati Hadi dan Supriyono.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi penyebab kasus kaki berkapur (scaly leg) pada ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2010 sampai bulan Juni 2011 dan dilakukan dalam tiga kegiatan, yaitu pengumpulan sampel, pembuatan preparat, dan identifikasi. Ektoparasit yang sudah dikoleksi kemudian difiksasi dengan menggunakan larutan Hoyer. Spesies ektoparasit diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi Baker dan Canin (1958). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan dua ektoparasit yang menyebabkan kaki berkapur, yaitu Knemidokoptes mutans dan tungau dari genus Megninia. Kedua tungau tersebut diketahui sebagai scaly-leg mites dan feather mites. Persentase ayam yang terjangkit kaki berkapur di Kampung Adat Pulo sebanyak 17%. Masyarakat di sini belum menganggap penting kasus kaki berkapur pada ayam-ayam yang dimilikinya.

Kata kunci : Ayam, Kabupaten Garut, kaki berkapur, Knemidokoptes mutans, Megninia sp.


(3)

MUHAMMAD RIDWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(4)

Muhammad Ridwan. Identification the Causes of Scaly Leg’s Case on Native Chicken at Kampung Adat Pulo, Cangkuang Village, Garut District. Under direction of Upik Kesumawati Hadi and Supriyono.

The aim of this study was to identify the causes of scaly leg’s case on native chicken at Kampung Adat Pulo, Cangkuang Village, Garut District. This research was conducted in September 2010 to June 2011 and implemented in 3 phases i.e. sampling, processing sample, and identification. The ectoparasites were collected by skin scrapping and mounted by hoyer solution. Species identification was done by using Baker and Canin’s (1958) systematic key. The results showed that there were 2 species of ectoparasites found which were causing the scaly leg. Those ectoparasites were Knemidokoptes mutans and Megninia sp. Those mites were known as scaly-leg mites and feather mites that live on domestic and wild fowl. The percentage of native chicken that infected by scaly leg was 17%. The people who live at Kampung Adat Pulo didn’t concern in this scaly leg cases.

Keywords: Garut district, Knemidokoptes mutans, Megninia sp, native chicken, scaly leg.


(5)

Muhammad Ridwan. Identifikasi Penyebab Kasus Kaki Berkapur (Scaly Leg) pada Ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut. Dibawah bimbingan Upik Kesumawati Hadi dan Supriyono.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi penyebab kasus kaki berkapur (scaly leg) pada ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2010 sampai bulan Juni 2011 dan dilakukan dalam tiga kegiatan, yaitu pengumpulan sampel, pembuatan preparat, dan identifikasi. Ektoparasit yang sudah dikoleksi kemudian difiksasi dengan menggunakan larutan Hoyer. Spesies ektoparasit diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi Baker dan Canin (1958). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan dua ektoparasit yang menyebabkan kaki berkapur, yaitu Knemidokoptes mutans dan tungau dari genus Megninia. Kedua tungau tersebut diketahui sebagai scaly-leg mites dan feather mites. Persentase ayam yang terjangkit kaki berkapur di Kampung Adat Pulo sebanyak 17%. Masyarakat di sini belum menganggap penting kasus kaki berkapur pada ayam-ayam yang dimilikinya.

Kata kunci : Ayam, Kabupaten Garut, kaki berkapur, Knemidokoptes mutans, Megninia sp.


(6)

KABUPATEN GARUT

SKRIPSI

Muhammad Ridwan B04070168

Disusun sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Judul : Identifikasi Penyebab Kasus Kaki Berkapur (Scaly Leg) pada Ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut

Nama mahasiswa : Muhammad Ridwan NRP : B04070168

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.drh. Upik Kesumawati Hadi, MS Ketua

Drh. Supriyono Anggota

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan


(8)

Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Identifikasi Penyebab Kasus Kaki Berkapur (Scaly Leg) pada Ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut adalah karya Saya dengan arahan dari Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Muhammad Ridwan B04070168


(9)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

M. Sofyan Yusuf dan Hj. Wennyza Arifin. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara.

Penulis dibesarkan di kota Bekasi dan menempuh pendidikan sekolah taman kanak-kanak di TK Labschool Jakarta, kemudian melanjutkan di SDIT IQRO Pondok Gede, Bekasi. Penulis hanya mengenyam pendidikan di SDIT IQRO selama tiga tahun dan pindah sekolah melanjutkan pendidikan di SDN 04 Pagi Cipinang Melayu, Jakarta Timur hingga lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Labschool Jakarta pada tahun yang sama dan lulus pada tahun 2005. Penulis lulus dari SMAN 81 Jakarta pada tahun 2007 dan diterima di IPB melalui jalur SPMB. Penulis memilih program studi Kedokteran Hewan di perguruan tinggi IPB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Komunitas Seni Steril sebagai anggota divisi Event Organizer pada tahun 2008-2010, anggota divisi Eksternal Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar (HIMPRO SATLI) pada tahun 2008-2009, dan wakil ketua HIMPRO SATLI pada tahun 2009-2010. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan acara seperti Introvet, Seminar nasional HIMPRO SATLI, AFC, dan VUH. Penulis juga pernah mengikuti “Lokakarya Pengendalian Vektor Chikungunya Terpadu Melalui Peran serta Masyarakat” pada tahun 2010.


(11)

Nya sehingga skripsi yang berjudul “Identifikasi Penyebab Kasus Kaki Berkapur (Scaly Leg) pada Ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut” telah diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, penulis ucapkan kepada :

1 Keluarga tercinta, Mama, Papa, Uni, Maul, Bang Edo, dan Uda atas segala nasehat, kesabaran, dukungan, dan doanya kepada penulis.

2 drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D dan drh. Supriyono selaku dosen pembimbing tugas akhir yang telah memberikan ilmunya, banyak direpotkan oleh penulis, dan selalu bersabar dalam membimbing penulis. 3 Ibu Dini dan Ibu Susi yang selalu meberikan nasihat-nasihat membangun

untuk penulis.

4 Dosen-dosen dan Staf Laboratorium Entomologi yang selalu bersedia membantu penulis, khususnya Alm. Pak Yunus dan Pak Heri.

5 Pak Bayu Febram Prasetyo, S.Si, M.Si, Apt selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan nasihat selama penulis mengenyam pendidikan.

6 Nova Febrina yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

7 Pradipta Nuri dan Moch. Darjat Df yang telah banyak membantu penulis. 8 Teman-teman seperjuangan dan sepermainan di Laboratoriun Entomologi,

QQ dan Archi, yang selalu memberi semangat dan sama-sama berjuang dalam menyelesaikan tugas akhir.

9 Gianuzzi 44, SATLIERS, dan para GakGik Pondok Suzuran: Rio, Binturong, Olil, Antok, Rissar, Daud, dan QQ, teman rusuh yang selalu menemani hari-hari penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Desember 2011


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam kampung ... 4

2.2 Morfologi ayam kampung ... 5

2.3 Biologi dan perilaku ayam kampung ... 6

2.4 Jenis-jenis ektoparasit pada ayam ... 6

2.4.1 Tungau ... 7

2.4.1.1 Knemidokoptes mutans ... 8

2.4.1.2 Knemidokoptes gallinae ... 8

2.4.1.3 Ornithonyssus sylvarium ... 9

2.4.1.4 Ornithonyssus bursa ... 10

2.4.1.5 Megninia ginglymura ... 11

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat penelitian ... 13

3.2 Pengambilan sampel ektoparasit ... 13

3.3 Pembuatan slide preparat ektoparasit ... 13

3.4 Identifikasi ektoparasit ... 14

3.5 Pengisian kuisioner ... 14

3.6 Analisis data ... 14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis ektoparasit ... 15

4.1.1 Knemidokoptes mutans ... 15

4.1.2 Megninia sp ... 18

4.2 Faktor pendukung infestasi tungau di kampung adat pulo ... 20

4.2.1 Kehidupan sosial masyarakat di kampung adat pulo... 20

4.2.2 Sistem pemeliharaan ... 21

4.3 Pengendalian penyakit kaki kapur ... 22

5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 24

5.2 Saran ... 24

DAFTAR PUTAKA ... 25


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1 Ayam kampung ... 4

2 Keping dorsal O. Sylvarium dan O. bursa ... 10

3 Knemidocoptes mutans ... 17

4 Hiperkeratosis pada kaki ayam ... 18

5 Megninia sp ... 19

6 Kandang yang digunakan masyarakat Kampung Adat Pulo.. 22


(14)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Seiring peningkatan kesejahteraan masyarakat, meningkat pula kebutuhan protein hewani. Sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat berasal dari produk unggas, yaitu daging dan telur. Hal ini mengakibatkan permintaan bahan makanan tersebut meningkat dan mendorong masyarakat untuk memelihara ternak unggas. Jenis unggas yang banyak dipelihara oleh masyarakat adalah ayam kampung.

Masyarakat lebih memilih memelihara ayam kampung karena mudah dipelihara secara sederhana. Selain itu, masyarakat memelihara ayam kampung sebagai pekerjaan sampingan sehingga pemeliharaannya tidak mendapatkan perhatian yang serius seperti ayam jenis lainnya. Cara pemeliharaan ayam kampung yang tidak intensif dan sangat sederhana membuat ayam kampung rentan terhadap penyakit. Penyakit yang biasa menyerang ayam kampung selain disebabkan oleh virus dan bakteri juga disebabkan oleh infestasi ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit yang hidup menumpang di luar atau pada permukaan inangnya. Infestasi ektoparasit di permukaan kulit dan di antara bulu dapat menyebabkan iritasi, kegatalan, peradangan, kudisan, miasis, atau berbagai macam bentuk alergi. Dampak yang ditimbulkan jika ayam terinfestasi ektoparasit adalah menurunnya status gizi, turunnya produksi daging dan telur secara drastis (Hadi & Soviana 2010). Hien et al (2011) dalam penelitiannya menyatakan akibat dari infestasi ektoparasit tungau dan kutu adalah meningkatnya tingkat kematian dan menurunnya laju pertumbuhan ayam.

Penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit satu di antaranya adalah kaki berkapur. Ayam yang menderita penyakit ini memperlihatkan gejala klinis hiperkeratosis atau keratinisasi sehingga sisik pada kaki ayam menjadi tebal dan tampak putih seperti kapur (Lapage 1962). Kasus penyakit kaki berkapur ini juga pernah dilaporkan terjadi pada beberapa negara di dunia. Pence et al. (1999) melaporkan kejadian kasus kaki berkapur yang terjadi pada burung migrasi (Turdus migratorius) di Amerika Serikat yang disebabkan oleh Knemidokoptes


(15)

jamaicensis, sedangkan Shoker et al. (2001) mendapatkan kasus kaki berkapur pada unggas-unggas di Mesir yang disebabkan oleh K. mutans. Ikpeze et al.

(2008) juga menemukan kaki berkapur pada burung di Nigeria yang disebabkan juga oleh K. mutans. Sangvaranond et al. (2007) menemukan kasus knemidokoptiasis pada unggas di Thailand. Schulz et al. (1989) juga melaporkan

K. jamaicensis pada burung hantu Bubo virginianus sebagai penyebab scaly leg. Di Indonesia, sejauh ini kasus kaki berkapur belum banyak dilaporkan. Sedikitnya laporan tentang kejadian kasus kaki berkapur disebabkan oleh kurangnya perhatian masyarakat dan pemerintah (dinas peternakan). Hal ini mungkin disebabkan oleh kerugian ekonomi yang ditimbulkannya tidak terlalu besar. Beberapa saat yang lalu Penulis menemukan kasus kaki berkapur pada ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut. Kampung Adat Pulo merupakan sebuah kampung yang menganut hukum adat yang unik. Jumlah kepala keluarga yang menempati kampung ini hanya sebatas enam kepala keluarga saja. Hukum adat yang berlaku lainnya adalah masyarakat kampung ini tidak diperbolehkan memelihara hewan besar seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. Hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Kampung Adat Pulo adalah ayam kampung.

Masyarakat di sini memelihara ayam kampung sebagai sumber makanan. Sistem pemeliharaan yang mereka lakukan sangat sederhana. Ayam yang dipelihara oleh mereka tidak diperbolehkan untuk dijual kepada masyarakat lain, sehingga ayam tersebut tidak menyebar keluar dari Kampung Adat Pulo. Mereka juga tidak begitu memperhatikan kesehatan ayam peliharannya. Akibat dari kurangnya perhatian masyarakat, ayam kampung yang dipelihara banyak yang terjangkit penyakit kaki berkapur. Kebijakan mereka untuk tidak menjual ayam mereka kepada masyarakat lain juga menyebabkan kejadian kaki berkapur menyebar secara merata pada ayam pelihara mereka.

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian untuk mengetahui penyebab kaki berkapur perlu dilakukan. Jika penyebabnya telah diketahui maka dapat dilakukan pengendalian, pencegahan, serta pengobatan secara tepat. Pengendalian


(16)

yang tepat dapat meningkatkan kembali kesehatan dan nilai ekonomi ayam kampung.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab kasus kaki berkapur (scaly leg) pada ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi yang bernilai bagi ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai dasar untuk melakuan pengendalian terhadap infestasi ektoparasit pada ayam.

                                       


(17)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Kampung

Ayam kampung merupakan hewan vertebrata yang termasuk dalam kelas Aves dengan ordo Galliformes dan spesies Gallus domesticus. Ayam kampung telah berkembang pesat di Indonesia dan telah banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia sebagai pemanfaatan perkarangan, pemenuhan gizi, dan tambahan pendapatan sehingga ayam kampung sangat mudah ditemukan di berbagai tempat. Unggas ini memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, lingkungan, dan iklim yang ada. Masyarakat pada umumnya memelihara ayam kampung karena sebagai usaha sampingan sehingga pemeliharaan ayam kampung sangat sederhana (Sarwono 1999; Tarwiyah 2001).

Gambar 1 Ayam kampung (sumber: www.wikimedia.org)

Ayam kampung (Gambar 1) telah ada dan didomestikasi sejak lama, bahkan sebelum masehi. Umur yang sangat tua ini membuat nenek moyang ayam kampung melalui proses evolusi yang sangat panjang. Ayam kampung yang dipelihara saat ini bermula dari domestikasi ayam hutan dengan proses yang sangat panjang. Ada dua teori tentang proses domestikasi ayam hutan ini, yaitu teori monophyletic dan teori polyphyletic. Teori monophyletic adalah teori yang digagas oleh Charles Darwin. Menurutnya ayam peliharaan berasal dari satu jenis ayam hutan yang saat ini masih ada, yaitu Gallus gallus, sedangkan menurut teori


(18)

polyphyletic, ayam pelihara yang ada sekarang berasal dari beberapa jenis ayam hutan yang saat ini masih ada di berbagai belahan dunia, yaitu Gallus gallus,

Gallus sonneratti, Gallus laffayetti, dan Gallus varius (Stevens 1991; Suprijatna

et al. 2008).

2.2 Morfologi Ayam Kampung

Ayam kampung (G. domesticus) memiliki tubuh yang kecil, produktivitas telur yang rendah, dan pertumbuhan tubuh yang lambat. Suara dan penampilan yang sangat tidak menarik membuat ayam kampung (G. domesticus)tidak dijadikan ayam hias (Nurcahyo & Widyastuti 2002). Ayam ini memiliki warna bulu yang bervariasi dari warna putih, hitam, cokelat, kuning, atau kombinasi warna-warna tersebut. Warna kulit yang dimiliki ayam kampung (G. domesticus) kuning pucat, muka merah, dan kaki yang panjang serta kuat (Cahyono 2001). Kedua kaki pada ayam kampung (G. domesticus) mempunyai dua segmen dan sebuah tulang kering ramping yang hanya terdiri dari tendon serta tumit yang bercakar empat (Storer et al. 1968).

Pada bagian kepala ayam terdapat paruh, jengger, cuping, dan pial. Paruh berasal dari tulang wajah yang mengalami perpanjangan. Paruh bawah pada ayam terbentuk dari lima tulang. Pada paruh atas terdapat dua nostril atau lubang hidung. Jengger berwarna merah karena umumnya pada bagian epidermis kulit ayam terdapat banyak pembuluh darah, sedangkan pial yang merupakan cuping telinga berdaging tebal yang terletak di bawah bagian telinga, warnanya tergantung dari masing-masing bangsa ayam. Kedua organ ini merupakan kulit yang menjulur ke luar (Johnson et al. 1977; Suprijatna et al. 2008). Jengger dan pial sangat istimewa pada ayam dan beberapa jenis burung lainnya. Oleh karena itu jengger dan pial dapat dijadikan indikator karakteristik kelamin sekunder karena sangat sensitif terhadap hormon seks (Storer et al. 1968).

Mata ayam terletak di lateral dan memiliki ukuran besar dengan kelopak mata yang gemuk dan di dalamnya terdapat kelopak ketiga yang transparan, yaitu membran nictitan. Ayam berbeda dengan vertebrata lainnya karena tubuhnya ditutupi oleh bulu. Bulu merupakan bagian epidermal yang fleksibel dengan ruang


(19)

hampa udara yang sangat banyak. Keberadaan ruang hampa udara ini menjadi pelengkap dalam menghasilkan bulu kontur yang halus dan melindungi tubuh (Storer et al. 1968).

2.3 Biologi dan Perilaku Ayam Kampung

Ayam kampung mencapai bobot 1,5 kg dalam waktu tiga puluh minggu. Waktu ini lebih lama apabila dibandingkan dengan ayam ras yang hanya memerlukan waktu sampai tujuh minggu (Nurcahyo & Widyastuti 2002). Semua unggas adalah hewan berdarah panas yang mempunyai temperatur 40.5 sampai 42.2 °C pada siang hari dan lebih rendah pada malam hari (Storer et al. 1968). Menurut Suprijatna et al. (2008), temperatur rata-rata dari ayam dewasa adalah sekitar 40.5 sampai 41.6 °C dan day old chick (DOC) memiliki temperatur sekitar 38.8 °C. Temperatur induk ayam yang sedang mengeram lebih rendah dibandingkan induk yang tidak mengeram karena tingkat metabolisme yang rendah.

Ayam mengalami pertumbuhan bulu dan rontok secara alami. Proses rontok bulu ini dinamakan molting. Proses ini berlangsung secara periodik sekitar setahun sekali dan dalam suatu pola pertumbuhan. Bulu baru akan tumbuh pada tempat bulu yang rontok karena pengaruh hormonal (Suprijatna et al. 2008). Ayam kampung merupakan unggas diurnal yang tidur pada malam hari. Hewan diurnal memiliki karakteristik berbeda setiap spesiesnya pada lokasi tidur atau kebiasaan saat tidur, seperti memutar kepalanya ke belakang atau menyembunyikan kepalanya ke bawah sayap. Hal ini membuat paruhnya tetap hangat dan ayam bernafas dengan udara yang hangat (Storer et al. 1968; Storer et al. 1979).

2.4 Ektoparasit pada Ayam

Artropoda merupakan golongan makhluk hidup yang paling besar di dunia. Lebih dari 80% dari seluruh jenis hewan adalah Artropoda, menghuni semua jenis habitat yang ada, baik terrestrial maupun akuatik. Di antara anggota filum Artropoda diketahui ada yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan ada juga yang dapat merugikan kehidupan manusia serta hewan. Kelompok yang terakhir


(20)

ini lebih dikenal sebagai ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit yang hidup di luar atau pada permukaan inangnya dengan cara menumpang. Anggota Artropoda yang merupakan kelompok ektoparasit adalah kelas Insekta dan Arachnida. Arachnida dapat menjadi agen penyebab penyakit secara langsung karena mereka dapat mentransmisikan mikroorganisme patogen. Caplak dan tungau merupakan ektoparasit yang termasuk ke dalam kelas Arachnida (Hungerford 1970; Hadi 2006).

2.4.1 Tungau

Lebih dari 250 spesies tungau menjadi masalah bagi kesehatan manusia dan hewan. Masalah yang sering ditimbulkan oleh tungau adalah iritasi pada kulit, dermatitis pada hewan, alergi, penyebar mikroorganisme patogen, inang dari parasit lain, gangguan pada saluran telinga dan pernafasan, akarofobia, dan gangguan psikis (Mullen & Oconnor 2002). Tungau merupakan ektoparasit yang memiliki ukuran tubuh sangat kecil dan hampir tidak kasat mata. Kebanyakan tungau hidup di alam bebas dan hanya beberapa saja yang hidup sebagai ektoparasit (Hadi & Soviana 2011).

Tubuh tungau terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu gnatosoma dan idiosoma. Pada bagian gnatosoma terdapat pedipalpus dan khelisera, sedangkan pada bagian idiosoma terdapat kaki dan mata. Pedipalpus merupakan perangkat sensor bagi tungau. Pedipalpus dilengkapi dengan zat kimia dan sensor taktil yang membantu tungau dalam mencari makanan dan mengenali lingkungannya (Mullen & Oconnor 2002). Mata yang dimiliki tungau hanya satu atau mata tunggal. Kaki pada tungau dewasa berjumlah empat pasang sedangkan larvanya hanya memiliki tiga pasang saja. Tungau bernafas dengan menggunakan stigmata atau lubang pernafasan. Letak stigmata pada tungau berbeda-beda. Tungau subordo Mesostigmata memiliki stigmata yang terletak di antara pasangan kaki ketiga dan keempat, subordo Prostigmata memiliki stigmata yang terletak pada bagian depan tubuh, dan pada subordo Astigmata tidak memiliki stigmata. Tungau Astigmata bernafas dengan menggunakan permukaan tubuhnya yang lembut (Hadi & Soviana 2011).


(21)

Secara umum, siklus hidup tungau terdiri atas fase telur, larva, nimfa, dan dewasa. Fase nimfa pada tungau terdiri dalam tiga tahap, yakni protonimfa, deutonimfa, dan tritonimfa. Bergantung dari kelompok taksonominya, satu atau lebih fase dalam siklus hidup tungau dapat tidak terjadi. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan dalam bentuk kehidupan tungau. Telur tungau dapat disimpan di luar tubuh induk atau di dalam uterus induk sampai menetas. Perkembangan dari telur hingga dewasa dan jumlah generasi dalam satu tahun sangat beragam untuk menentukan generasi yang berarti (Mullen & Oconnor 2002).

2.4.1.1 Knemidokopes mutans

Knemidokoptes mutans atau scaly-leg mites termasuk ke dalam ordo Acariformes, subordo Astigmata, dan famili Knemidokoptidae. Tungau ini banyak menyerang unggas berumur tua. Betina memiliki ukuran 0.5 mm dan jantan berukuran setengah dari betinanya. K, mutans jantan memiliki kaki yang melebihi tubuhnya (Hungerford 1970). Tungau ini membuat terowongan di bawah sisik kaki ayam sehingga menyebabkan terjadinya kelainan bentuk dari kaki unggas. Rongga yang terbentuk akibat terowongan yang terjadi di dalam lapisan kulit dapat mengakibatkan peradangan proliferatif dan pembentukan keropeng serta sisik. Walaupun infeksi yang parah dapat mengakibatkan kelumpuhan, keberadaan tungau ini jarang menimbulkan masalah pada peternakan ayam komersial (Tabbu 2002). Tungau ini juga menyebabkan iritasi, hiperkeratosis, dan retakan kulit yang melapisi hampir keseluruhan kaki. Infestasi tungau ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung (Zucca & Delogu 2008). Konfirmasi diagnosis didapatkan dengan cara melakukan kerokan kulit pada kaki unggas (Taylor et al. 2007).

2.4.1.2 Knemidokoptes gallinae

Knemidokoptes gallinae juga merupakan tungau yang termasuk ordo Acariformes, subordo Astigmata, dan famili Knemidokoptidae, sama dengan K. mutans. Tungau ini memiliki morfologi yang hampir sama dengan K. mutans,


(22)

memiliki habitat di sekitar bulu-bulu pada ayam. Bagian yang sering terinfestasi adalah kepala, leher, punggung, abdomen, dan kaki bagian atas pada ayam. Ayam akan terinfestasi jika melakukan kontak langsung dengan unggas penderita (Taylor et al. 2007). Tungau ini biasa menggali dasar tangkai bulu sehingga menyebabkan iritasi yang mengakibatkan ayam suka mematuki bulunya. Akibat dari perilaku ini menyebabkan rontoknya bulu pada ayam. Kerontokan bulu pada ayam dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan produksi telur (Tabbu 2002).

2.4.1.3 Ornithonyssus sylvarium

Ornithonyssus sylvarium atau Northern fowl mite merupakan tungau ordo Parasitifomes dengan subordo Mesostigmata dan famili Macronyssidae. Masa hidup O. sylvarium dihabiskan di tubuh inangnya dan tidak dapat bertahan lebih dari sepuluh hari jika jauh dari inangnya. Tungau dengan ukuran 0.75-1 mm ini merupakan tungau penghisap darah. Tungau ini dapat menghisap darah mamalia bahkan manusia jika tidak terdapat inang di sekitarnya. Jika menggigit manusia,

O. sylvarium biasa menyebabkan pruritus (Taylor et al. 2007). O. sylvarium

memiliki keping dorsal yang melebar pada dua per tiga panjang tubuhnya (bagian atas) dan meruncing seperti lidah pada sepertiga bagian bawah (Gambar 2A). Seta (rambut kasar) pada bagian dalam keping dorsal tungau ini berukuran lebih kecil daripada seta yang berada di bagian luar keping dorsal. Keping ventral O. sylvarium dilengkapi dengan dua pasang seta (Soulsby 1982).

Dampak buruk bagi ekonomi muncul pada peternakan ayam. Infestasi biasanya muncul dari unggas liar atau unggas baru yang telah terinfestasi. Tungau ini dapat menyebar hanya dalam waktu beberapa minggu saja. Masalah yang ditimbulkan O. sylvarium berupa iritasi kulit dengan lesio yang tidak terlihat pada tempat gigitan dan mengerutnya bulu yang menjadi keabu-abuan terutama pada bulu daerah anus ayam. Unggas yang telah terinfestasi parah dapat mengalami anemia, penurunan bobot badan dan produksi telur, hingga kematian. Kerabang telur ayam yang terinfestasi tungau ini menjadi lunak dan sedikit kental dan penurunan produksi telur mencapai 5-15% jika dibandingkan dengan unggas sehat (Mullen dan Oconnor 2002). Tungau ini dilaporkan tersebar di Amerika Utara, E-


(23)

ropa, dan beberapa negara subtropis. Beberapa penelitian membuktikan bahwa O. sylvarium dapat mentransmisikan virus WEE (West Equine Encephalitis) dari satu unggas ke unggas lainnya, tetapi tungau ini tidak memiliki peran dalam mentransmisikan arbovirus ke manusia (Zucca & Delogu 2008).

Tungau ini mengalami fase telur, larva, nimfa, dan dewasa dalam siklus hidupnya. Telur akan menetas dalam waktu 24 jam menjadi larva berkaki enam. Larva berganti kulit menjadi protonimfa dengan cepat. Hanya fase protonimfa pada siklus hidup O. sylvarium yang menghisap darah. Darah ini dibutuhkan untuk mencapai fase deutonimfa dan tritonimfa. Tritonimfa berganti kulit menjadi tungau dewasa tanpa perlu makanan. Siklus hidup tungau ini dicapai dalam waktu 5-7 hari, sehingga pertumbuhan populasi tungau ini sangat cepat (Mullen & Oconnor 2002; Taylor et al. 2007 ).

2.4.1.4 Ornithonyssus bursa

Ornithonyssus bursa atau tropical fowl mite merupakan tungau ordo Parasitifomes, subordo Mesostigmata, dan famili Macronyssida dengan genus

Gambar 2 (A) Keping dorsal O. sylvarium dan (B) keeping dorsal O. bursa

(sumber: Soulsby 1982)


(24)

yang sama dengan O. sylvarium. Perbedaan dari keduanya hanya secara geografis (keadaan iklim). O. sylvarium tinggal di tempat beriklim sedang sehingga disebut

northern fowl mite, sedangkan O. bursa hidup di tempat beriklim tropis sehingga disebut tropical fowl mite (Pickworth & Morishita 2003). O. bursa dapat dibedakan dengan O. sylvarium dari bentuk keping dorsalnya. Keping dorsal pada

O. bursa meruncing pada bagian akhir posterior tubuhnya (Gambar 2B). Seta yang berada di dalam keping dorsal O. bursa juga berukuran lebih kecil daripada seta yang berada di bagian luar keping dorsal. Keping ventral O. bursa dilengkapi dengan tiga pasang seta, tidak seperti O. sylvarium yang memiliki dua pasang seta pada keping ventralnya (Soulsby 1982).

Tungau ini banyak ditemukan di unggas pada saat mengeram. Habitat O. bursa tersebar pada bulu-bulu sayap unggas. Telur tungau ini akan menetas dalam tiga hari dan menyebar menjadi larva. Dalam tujuh belas jam larva akan berganti kulit menjadi protonimfa yang mulai menghisap darah unggas. Protonimfa menjadi deutonimfa dalam waktu dua sampai tiga hari hingga akhirnya menjadi dewasa. Tungau ini dapat menyerang manusia yang berada di sekitarnya (Hadi & Soviana 2010).

Infestasi tungau ini dapat terjadi ketika unggas melakukan kontak dengan unggas liar atau kandang yang telah banyak terdapat O. bursa. Infestasi yang parah dapat menyebabkan anemia, penurunan bobot badan dan produksi telur bahkan kematian. Unggas yang baru menetas dan unggas muda merupakan inang yang paling rentan terhadap infestasi tungau ini. Pada kasus yang terjadi pada unggas muda, keberadaan tungau ini ada di sekitar mata dan paruh (Mullen & Oconnor 2002).

2.4.1.5 Megninia ginglymura

Megninia ginglymura merupakan tungau ordo Acariformes, subordo Astugmata dan family Analgidae. M. ginglymura hidup pada bulu dan memiliki host spesifik yang luas. Habitat M. ginglymura di dalam dasar bulu badan dan sayap. Beberapa spesies lainnya dari genus ini terkadang muncul di bawah kulit (Taylor et al. 2007). Sekitar 440 spesies dari 33 famili tungau hidup pada dan


(25)

dalam bulu unggas. Tungau-tungau ini memiliki perbedaan morfologi yang nyata yang disebabkan oleh banyaknya jumlah inang yang berbeda dan bentuk adaptasi mereka terhadap habitat mikro yang ada pada bulu. Biasanya tungau ini dapat mengakibatkan dermatitis pada ternak (Zucca & Delogu 2008).

Quintero et al. (2006) menemukan bahwa Megninia sp telah lama ditemukan pada ayam-ayam di Yucatan, Mexico. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2005 dilaporkan bahwa jumlah populasi Megninia mencapai puncaknya pada bulan Juli dan November. Tungau ini memiliki dua siklus biologi dalam setahun. Megninia selalu ditemukan sepanjang tahun dengan densitas populasi terendah pada bulan Maret dan Oktober. Oleh karena itu, pengendalian untuk tungau ini disarankan dilakukan pada bulan Juni dan awal November, sebelum jumlah populasi dari tungau ini meningkat.


(26)

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2010 sampai Juni 2011 dan dilaksanakan dalam tiga kegiatan, yaitu pengambilan sampel, pengolahan spesimen, dan identifikasi ektoparasit. Pengambilan sampel dilakukan di Kampung Adat Pulo, Desa Situ Cangkuang, Kabupaten Garut, Jawa Barat dan Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogoruntuk proses pengolahan spesimen dan identifikasi.

3.2 Pengambilan Sampel Ektoparasit

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara melakukan kerokan kulit pada kaki ayam kampung yang mengalami pengapuran. Pengerokan dilakukan dengan menggunakan skalpel sampai berdarah. Hasil kerokan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi KOH 10% dan didiamkan minimal selama tiga hari. Hal ini dimaksudkan agar jaringan kulit hasil kerokan menjadi luruh sehingga tungau dapat dikoleksi.

3.3 Pembuatan Preparat Slide Ektoparasit

Setelah semua tungau terkoleksi, sampel dimasukkan ke dalam cawan yang berisi air agar membersihkan tungau dari KOH 10% selama sepuluh sampai tiga puluh menit. Setelah dari cawan berisi air, tungau dimasukkan ke dalam alkohol secara bertingkat dari alkohol 60%, alkohol 70%, alkohol 80%, dan alkohol absolut selama sepuluh menit untuk masing-masing tingkatan. Setelah direndam dalam alkohol secara bertingkat, sampel tungau diletakkan di atas preparat slide dan diberikan larutan hoyer agar tungau terfiksasi. Setelah itu dengan hati-hati sampel tungau ditutup dengan cover glass agar tidak ada gelembung udara. Jika ada gelembung udara, preparat slide dipanaskan secara perlahan-lahan hingga gelembung menghilang. Setelah itu, preparat slide


(27)

dimasukkan ke dalam slide warmer selama minimal satu hari. Setelah preparat

slide kering, diberikan kuteks pada sekeliling cover glass secara merata.

3.4 Identifikasi Ektoparasit

Proses identikasi sampel ektoparasit dilakukan dengan pengamatan di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x dan kemudian dicocokkan dengan kunci identifikasi ektoparasit Baker dan Canin (1958). Pemotretan specimen dilakukan di bawah mikroskop Olympus.

3.5 Pengisian Kuisioner

Pengisian kuisioner dilakukan untuk mendapatkan data jumlah ayam yang terinfestasi, umur, pekerjaan, dan pendidikan masyarakat Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut.

3.6 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabulasi, gambar, dan foto-foto mikroskopik. Analisis juga dilakukan terhadap faktor-faktor pendukung terjadinya infestasi tungau pada ayam di Kampung Adat Pulo.


(28)

4.1 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Ektoparasit

Jenis-jenis ektoparasit yang ditemukan dari ayam di sekitar permukiman di Kampung Adat Pulo adalah tungau Knemidokoptes mutans dan Megninia sp.

Knemidokoptes mutans merupakan tungau dari famili Knemidokoptidae, sedangkan Megninia sp dari famili Analgidae. Kedua tungau ini termasuk ke dalam Ordo Acariformes, dan subordo Astigmata.

Persentase jumlah ayam yang terjangkit kaki berkapur di daerah ini sebanyak 17% dari total populasi ayam yang dipelihara oleh setiap kepala keluarga (Tabel 1).

Tabel 1 Persentase jumlah ayam yang terinfestasi kaki berkapur di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut

Rumah Σ Ayam (ekor) Σ Ayam Terinfestasi Tungau (ekor) Persentase (%)

1 10 2 20

2 10 1 10

3 8 2 25

4 8 1 12,5

5 5 1 20

Total 41 7 17

4.1.1 Knemidokoptes mutans

Hasi penelitian menunjukkan bahwa tungau K. mutans yang berhasil diidentifikasi berjumlah empat belas ekor dan memiliki rataan ukuran 205-414 µm. Tungau ini memiliki bentuk tubuh bulat, tidak berduri atau sisik kulit yang tajam, dan semua tungau yang diidentifikasi berkelamin betina. Tungau ini memiliki gnatosoma, pedipalpus, dan khelisera yang pendek. Gnatosoma merupakan bagian kepala arthropoda yang secara umum terdiri dari mulut. Ciri morfologi yang dimiliki tungau betina berbeda dengan jantan. Epimere pada betina terletak di lateral dan tidak bertemu di tengah. Kaki pada tungau betina tidak memiliki sucker atau alat pelekat. Selain itu, K. mutans memiliki ciri khas berupa tiang khitin yang terlihat dari dasar pedipalpus dan striae berbentuk lingkaran dan bulatan-bulatan kecil. Semua K.mutans yang ditemukan telah


(29)

memasuki tahap dewasa karena telah memiliki empat pasang kaki dengan pasangan kaki ketiga dan keempat tidak melebihi dari tubuhnya (Gambar 3). Menurut Kettle (1984), epimere pada K. mutans jantan bersatu di tengah dan memiliki perpanjangan secara posteromedian. Tungau jantan juga memiliki sucker

pada keempat pasang kakinya (Taylor et al 2007). K. mutans termasuk dalam tungau Astigmata. Sebagai tungau astigmata, K. mutans tidak memiliki lubang pernafasan. Astigmata bernafas dengan permukaan tubuhnya yang lembut. Semua tungau yang berhasil diidentifikasi pada penelitian ini berjenis kelamin betina. K. mutans betina menghabiskan masa hidupnya di dalam terowongan yang mereka buat. Betina hanya keluar dari terowongan saat kawin dengan tungau jantan. Saat akan bertelur betina masuk kembali ke dalam terowongan. Hal ini dikarenakan untuk menjaga dan merawat telur hingga menetas sehingga keberlangsungan populasi tungau terjaga.

Infestasi K. mutans terjadi pada ayam yang sudah berumur tua. Ayam berumur tua lebih rentan terinfestasi tungau ini karena memiliki daya tahan tubuh yang sudah menurun dibandingkan dengan hewan muda. Hal ini sesuai dengan Tabbu (2002) yang menyatakan bahwa K.mutans adalah tungau yang biasa menyerang berbagai jenis unggas, terutama unggas yang telah tua. Infestasi K. mutans dapat terjadi dengan dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Infestasi secara langsung terjadi apabila melakukan kontak dengan inang lain yang terinfestasi, sedangkan infestasi tidak langsung berasal dari tanah atau kandang.

Gejala klinis yang timbul akibat dari infestasi tungau ini adalah timbulnya hiperkeratosis pada kaki ayam (Gambar 4). Hiperkeratosis ini diakibatkan oleh perilaku K. mutans yang berhabitat pada bagian bawah epidermal kulit kaki. Tungau ini bertahan hidup pada bagian bawah epidermal kulit dengan cara membuat lubang atau terowongan. Hasil ekskresi atau metabolisme tungau ini dengan sisa kulit mati hasil galian terowongan menyebabkan hiperkeratosis. Tubuh inang juga memberikan respon terhadap infestasi K. mutans. Inang membuat pertahanan berupa penebalan pada bagian epidermis sehingga infestasi tungau tidak mengakibatkan gangguan yang parah. Penebalan ini juga yang dapat


(30)

menyebabkan terjadinya hiperkeratosis jika kelangsungan infestasi tungau sudah berlangsung lama atau kronis.

Infestasi tungau yang terus menerus selain mengakibatkan hiperkeratosis, dapat juga menyebabkan penurunan produksi. Hal ini diakibatkan oleh rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh ayam. Hiperkeratosis yang kronis dapat menimbulkan kerusakan syaraf pada kaki ayam, sehingga ayam dapat mengalami kelumpuhan. Jika tidak ditangani dengan cepat, ayam dapat mengalami kematian. Tingkat kematian yang dialami oleh ayam sangat rendah karena sifat dari infestasi tungau adalah kronis.

Zucca dan Delogu (2008) mengatakan bahwa akibat dari habitat K. mutans yang berada pada bagian bawah epidermal kulit kaki ayam adalah terjadinya hiperkeratosis atau kerak-kerak. Kerak-kerak ini secara perlahan membengkak dan mengeluarkan serbuk putih seperti kapur (Kettle 1984). Oleh karena itu, penyakit akibat infestasi K. mutans dikenal dengan penyakit kaki berkapur.

Gambar 3 Knemidokoptes mutans: (a) khelisera, (b) pedipalpus, (c) pasangan kaki pertama, (d) iang khitin, (e) pasangan kaki kedua,(f) epimere, (g) pasangan kaki ketiga, (h) pasangan kaki keempat, dan (i) striae (sumber: dokumentasi pribadi).

a c

d  c

b  e f 

g  h 

h g

e


(31)

Gambar 4 Hiperkeratosis pada kaki ayam (sumber: dokumentasi pribadi).

4.1.2 Megninia sp.

Jenis tungau yang diidentifikasi selain K. mutans adalah Megninia sp.

Megninia sp. yang berhasil diidentifikasi memiliki ukuran rataan 161-290 µm. Tungau ini memiliki bentuk tubuh yang lonjong dengan pasangan kaki ketiga dan keempat melebihi tubuhnya. Perangkat mulut tungau ini pendek dengan khelisera dan pedipalpus memiliki panjang yang hampir sama (Gambar 5C). Jumlah tungau

Megninia sp yang didapatkan sebanyak empat ekor, yang terdiri dari tiga ekor jantan dan satu ekor betina. Tungau betina memiliki ukuran yang lebih besar dari tungau jantan (Gambar 5B). Tungau jantan memiliki sucker di setiap kakinya serta alat penghisap kelamin (anal sucker), sedangkan pada tungau betina tidak memiliki sucker pada setiap kakinya (Gambar 5D). Ukuran kaki ketiga pada

Megninia sp jantan paling besar jika dibandingkan dengan kaki lainnya (Gambar 5A). Hal ini didukung oleh Taylor et al. (2007) yang menyatakan kaki ketiga pada

Megminia sp jantan memiliki ukuran yang besar. Kaki tersebut tidak dapat digunakan untuk berjalan, walaupun berkembang dengan baik (Lapage 1962).

Megninia sp bersifat saprofagi, yaitu pemakan jaringan yang sudah mati atau busuk. Hiperkeratosis yang terjadi pada kaki ayam menarik tungau ini karena hiperkeratosis berasal dari sisa-sisa kulit mati hasil galian terowongan oleh K. mutans. Oleh karena itu, Megninia sp dapat bertahan hidup di kaki ayam yang ter-


(32)

Gambar 5 Megninia sp: (A) jantan, (B) betina, (C) setengah bagian atas

Megninia sp, (D) setengah bagian bawah Megninia sp, (a) pasangan kaki pertama, (b) pasangan kaki kedua, (c) pasangan kaki ketiga, (d) pasangan kaki keempat, (e) sucker, (f) perangkat mulut, dan (g)

anal sucker pada jantan (sumber: dokumentasi pribadi).

A

B

C

D

a b

f e

f

b a

c

a

d d

c g

c d

g f

b c

d a b

a

c d


(33)

jadi hiperkeratosis. Pada kasus kaki berkapur ini, infetasi Megninia sp merupakan infestasi sekunder. Lesio yang ditimbulkan tungau ini salah satunya adalah keropeng pada kaki. Hal ini mengakibatkan kejadian kaki berkapur menjadi makin parah.

Megninia sp merupakan tungau yang memiliki habitat yang luas pada tubuh unggas. Menurut Zucca dan Delogu (2008), Megninia sp merupakan tungau yang berhabitat di bulu unggas dan bersifat saprofagi. Sedangkan Tabbu (2002) menyatakan bahwa Megninia sp dapat menyebabkan terjadinya keropeng pada kulit kaki, balung dan pial ayam. Infestasi yang berkelanjutan dari tungau ini dapat menyebabkan menurunnya produksi telur akibat dari gangguan nutrisi dan lesio yang ditimbulkan.

Megninia sp dapat menimbulkan kerugian ekonomi pada peternakan ayam komersil (Quintero et al. 2006). Gejala klinis pada ayam yang terinfestasi oleh

Megninia sp adalah rontoknya bulu-bulu pada ayam (Taylor et al. 2007). Pengendalian tungau ini dapat dilakukan dengan cara memutus siklus hidupnya (Tabbu 2002).

4.2 Faktor-Faktor Pendukung Infestasi Tungau di Kampung Adat Pulo 4.2.1 Kehidupan Sosial di Kampung Adat Pulo

Kampung Adat Pulo merupakan sebuah permukiman kecil dengan menganut adat yang unik. Adat yang berlaku di Kampung Adat Pulo membatasi jumlah kepala keluarga sebanyak enam kepala keluarga. Jumlah rumah di tempat ini sama dengan jumlah kepala keluarga yang tinggal ditambah dengan sebuah masjid sebagai tempat ibadah. Jumlah ini tidak dapat dikurangi atau ditambah. Jumlah enam rumah dengan satu masjid ini berasal dari sejarah Embah Dalem Arif Muhammad yang merupakan pendiri kampung tersebut. Enam rumah menggambarkan jumlah anak peremuan Embah Dalem Arif Muhammad dan satu masjid menggambarkan satu anak laki-laki.

Hampir semua kepala keluarga di tempat ini berpendidikan akhir sekolah dasar dengan kisaran umur dari 32-60 tahun (Lampiran 1). Pekerjaan utama


(34)

masyarakat Kampung Adat Pulo adalah bertani, sehingga memelihara ayam merupakan pekerjaan sampingan. Kurangnya umur produktif di kampung ini mengakibatkan tidak ada perubahan pola pikir masyarakat untuk lebih maju. Adat adalah suatu kebiasaan dalam sebuah komunitas masyarakat. Kebiasaan tersebut berkembang hingga menjelma sebagai hukum adat. Hukum adat telah menjadi bagian penting dalam suatu disiplin hukum. Hukum ini tetap dipertahankan karena bermakna ideal bagi masyarakat, sedangkan perilaku menyimpang akan dikenakan sanksi (Wiranata 2003). Ketentuan adat yang berlaku di Kampung Adat Pulo harus dipenuhi oleh masyarakatnya sehingga sukar bagi mereka untuk melakukan perubahan. Adat yang berlaku sejak lama bagi mereka sudah ideal untuk mereka ikuti.

Kampung Adat Pulo terletak di tengah danau dan jauh dari kelompok masyarakat lain. Hal ini mengakibatkan terbatasnya interaksi dan informasi yang didapatkan, termasuk pengetahuan kesehatan hewan.

4.2.2 Sistem Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan ayam yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Adat Pulo sangat sederhana. Ayam dipelihara dengan cara dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari. Kandang yang digunakan tidak layak, bahkan ada yang menyatukannya dengan tempat penyimpanan kayu bakar (Gambar 6). Hal ini merupakan lingkungan yang cocok untuk perkembangan tungau. Tingginya populasi tungau di lingkungan mengakibatkan ayam mempunyai risiko tinggi untuk terinfestasi.

Ayam yang dipelihara dengan cara dilepas dan dikandangkan memiliki peluang yang sama untuk terinfestasi tungau (Lampiran 1). Ayam yang dilepas dapat terinfestasi oleh tungau secara tidak langsung karena keadaan lingkungan yang kotor. Ayam yang dikandangkan dapat terinfeksi secara langsung karena kontak dengan ayam yang sudah terinfestasi.

Kandang yang baik harus memperhatikan tiga hal, yaitu konstruksi, tata letak, dan bahan yang digunakan. Konstruksi kandang yang baik harus kuat dan tahan lama serta memperhatikan sirkulasi udara. Letak kandang harus jauh dari ja-


(35)

Gambar 6 (A) dan (B): Kandang ayam yang digunakan di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut

lan tempat orang lalu lalang dan terkena sinar matahari pada pagi hari secara merata (Cahyono 2001). Keadaan kandang yang baik dan layak dapat meningkatkan kesejahteraan ayam kampung sehingga tidak mudah terinfestasi oleh tungau.

Biosecurity juga harus dilakukan agar penyebaran penyakit dapat dikendalikan. Usaha yang dapat dilakukan seperti menjaga sanitasi lingkungan sekitar kandang dan peralatan kandang. Kandang difumigasi atau didesinfeksi terlebih dahulu sebelum digunakan. Selain itu perlu dilakukan kontrol terhadap binatang-binatang lain yang berada di sekitar kandang (Anonim 2009).

4.2.3 Pengendalian Penyakit Kaki Berkapur

Masyarakat Kampung Adat Pulo sampai saat ini belum melakukan pengendalian terhadap penyakit kaki berkapur ini. Pengendalian dapat dilakukan dengan memisahkan ayam yang telah terinfestasi oleh tungau dengan ayam sehat agar penyebaran tungau tidak meluas. Ayam yang terinfestasi diobati dengan melakukan pengerokan kulit terlebih dahulu, kemudian dilakukan dipping dengan larutan HCH dengan konsentrasi 0,1%, sulfur 10%, atau sodium flourida (0,5%).

Ivermectine dapat juga diberikan secara topical (Taylor et al. 2007). Ivermectine

dapat diberikan secara intramuskular atau oral dengan dosis 200 µg/kg BB dan

A

B

B


(36)

diulang setelah 10-14 hari (Butcher & Beck 1993). Selain itu, akarasida golongan piretoid dapat juga diberikan seperti sipermetrin dan bifentrin dengan cara dipping

(Zucca dan Delogu 2008). Sipermetrin diberikan dengan konsentrasi 0,09 gram/10 L dan bifentrin diberikan dengan konsentrasi 0,18 gram/10 L (Hadi 2010). Penggunaan akarisida ini harus memperhatikan aturan pakai sehingga pengobatan dapat efektif dan mencegah terjadinya resistensi ektoparasit. Masyarakat juga dapat melakukan pengobatan secara sederhana dengan menggunan sulfur atau belerang. Sulfur dapat ditemukan di mana saja sehingga untuk melakukan pengobatan dapat tercukupi bahan obatnya.


(37)

5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

1 Penyebab kasus kaki berkapur pada ayam di Kampung Adat Pulo adalah tungau K. mutans dan Megninia sp.

2 Gejala klinis yang terlihat dari kasus kaki berkapur adalah terjadinya hiperkeratosis pada kaki ayam.

3 Masyarakat Kampung Adat Pulo belum memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan hewan peliharanya.

5.2 Saran

Perlu penyuluhan tentang masalah kesehatan hewan dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan di Kampung Adat Pulo.


(38)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2009. Pedoman praktis berternak ayam kampung pedaging.  http://sentralternak.com/index.php/2009/09/10/pedoman-praktis-beternak-ayam-kampung-pedaging/ [9 Oktober 2011]

Baker EW, Canin JH. 1958. Guide to The Families of Mites. America : The Institute of Arcalogy, Departemen Zoology.

Butcher GD, Beck C. 1993. Knemidokiptic mange in pet birds: Scaly face and scaly leg diseases. http://www.feedbarnstore.com/animalscience/  vm02200.pdf [21 September 2011]

Cahyono B. 2001. Ayam Buras Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya.

Hadi, UK. 2006. Pengenalan artropoda dan biologi serangga. Di dalam: Sigit SH, Hadi UK, editor. Hama Pemukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan Pengendaliannya. Bogor: IPB Pr. Hlm 14-22.

Hadi, UK. 2010. Efikasi bifentrin dan sipermetrin terhadap ektoparasit ayam. Laporan Pengujian Efikasi. Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, FKH IPB, Bogor.

Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis, dan Pengendaliannya. Bogor: IPB Pr.

Hien OC, Diarra B, Dabire R, Wangrawa J, Sawadogo L. 2011. Effects of external parasite on the productivity of poultry in the traditional rearing system in the sub-humid zone of Burkina Faso. International Journal of Poultry Science 10 (3): 189-196.

Hungerford TG. 1970. Diseases of Poultry including Cage Birds and Pigeons. Sydney: Angus and Robertson.

Ikpeze OO, Amagba IC, Eneanya CI. 2008. Preliminary survey of ectoparasites in chicken in Awka, South-Eastern Nigeria. Animal Research International 5 (2): 848-851.

Johnson WH, Delanney LE, Williams EC, Cole TA. 1977. Principles of Zoology. Ed ke-2. New York: Holt, Rinehart, and Winston.

Kettle DS. 1984. Medical and Veterinary Entomology. New York: John Wiley & Sons.

Lapage G. 1962. Monning’s Veterinary Helminthology and Entomology. Ed ke-5. Great Britain: Bailliere, Tindall, and Cox.


(39)

Mullen GR, Oconnor BM. 2002. Mites (Acari). Di dalam: Mullen GR, Durden L, editor. Medical and Veterinary Entomology. Florida: Academic Pr. Hlm 449-516.

Nurcahyo EM, Widyastuti YE. 2002. Usaha Pembesaran Ayam Kampung Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pence DB, Cole RA, Bruger KE, Fischer JR. 1999. Epizootic podoknemidokoptiasis in american robins. Journal of Wildlife Diseases 35 (1): 1-7.

Pickworth CL, Morishita TY. 2003. Common external parasites in poultry: Lice and Mites. http://en.engormix.com/MA-poultry-industry/health/article.htm [19 Juni 2011]

Quintero MT, Itza M, Juarez G, Eleno A. 2006. Seasonality of Megninia ginglymura: a one year study in a hen farm in Yucatan, Mexico. Di dalam: Sabelis MW, Bruin J, editor. Trends in Acarology. Proceedings of the 12th International Congress; Amsterdam, 21-26 Agustus 2006. New York: Springer. Hlm 537-538.

Sangvaranond A, Jittapalapong S, Sutasha K, Chimnoi W. 2007. Case report: Cnemidocoptiasis (scaly leg) of paddyfield pipit bird (Anthus rufulus) in Petchaburi Province of Thailand. Kasetsart Veterinarians 17 (2): 91-96. Sarwono B. 2003. Beternak Ayam Buras. Jakarta: Penebar Swadaya.

Schulz TA, Stewart JS, Fowler ME. 1989. Knemidokoptes mutans (Acari: Knemidocoptidae) in a great-horned owl (Bubo virginianus). Journal of Wildlife Diseases 25 (3): 430-432.

Shoker NI, Tawfek NS, Ibrahim MH, Osman ES. 2001. Mites associated with some birds in El-Minia Governorate, Upper Egypt. Egyptyan Journal of Biology 3: 124-136.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domisticated Animals. Ed ke-7. London: The English Language Book Society and Bailliere Tindall.

Stevens L. 1991. Genetics and Evolution of The Domestic Fowl. Cambridge: Cambridge Univ Pr.

Storer TI, Usinger RL, Nybakken JW. 1968. Elements of Zoology. Ed ke-3. New York: McGraw-Hill.

Storer TI, Usinger RL, Nybakken JW, Stebbins RC. 1979. General Zoology. Ed ke-6. New York: McGraw-Hill.


(40)

Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Yogyakarta: Kanisius. Tarwiyah. 2001. Intensifikasi ternak ayam buras.

http://www.warintek.ristek.go.id/peternakan/budidaya/ayam_buras.pdf [20 Juni 2011]

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Ed ke-3. Oxford: Blackwell.

Wiranata, IGAB. 2003. Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Zucca P, Delogu M. 2008. Infectious disease, arthropod. Di dalam: Samour J, editor. Avian Medicine. Ed ke-2. Edinburgh: Mosby Elsevier. Hlm 309-317.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/96/Ayam_kampung_jantan.jpg [21 November 2011]

                                 


(41)

Lampiran 1

Tabel 1 Sistem pemeliharaan ayam kampung oleh masyarakat Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut

No. Nama Pengetahuan Sistem Pemeliharaan Ayam

Σ Ayam (ekor)

Σ Ayam Terinfestasi Kaki Kapur (ekor)

Persentase (%)

Cara Pemeliharaan

1 Bapak Tatang 10 2 20 Dilepas

2 Bapak Umar 10 1 10 Dilepas

3 Ibu Ida 8 2 25 Dilepas

4 Bapak Irman 8 1 12,5 Dikandangkan

5 Bapak Gri 5 1 20 Dilepas

6 - - - - -


(42)

Lampiran 2

Tabel 2 Data umur, pendidikan, dan pekerjaan masyarakat Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut

No. Nama Data Responden

Umur Pendidikan Pekerjaan

1 Bapak Tatang 56 th SD Petani

2 Bapak Umar 41 th SD PNS

3 Ibu Ida 53 th SD Ibu Rumah Tangga

4 Bapak Irman 32 th SD Petani

5 Bapak Gri 60 th SD Petani

6 - - - -


(43)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Seiring peningkatan kesejahteraan masyarakat, meningkat pula kebutuhan protein hewani. Sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat berasal dari produk unggas, yaitu daging dan telur. Hal ini mengakibatkan permintaan bahan makanan tersebut meningkat dan mendorong masyarakat untuk memelihara ternak unggas. Jenis unggas yang banyak dipelihara oleh masyarakat adalah ayam kampung.

Masyarakat lebih memilih memelihara ayam kampung karena mudah dipelihara secara sederhana. Selain itu, masyarakat memelihara ayam kampung sebagai pekerjaan sampingan sehingga pemeliharaannya tidak mendapatkan perhatian yang serius seperti ayam jenis lainnya. Cara pemeliharaan ayam kampung yang tidak intensif dan sangat sederhana membuat ayam kampung rentan terhadap penyakit. Penyakit yang biasa menyerang ayam kampung selain disebabkan oleh virus dan bakteri juga disebabkan oleh infestasi ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit yang hidup menumpang di luar atau pada permukaan inangnya. Infestasi ektoparasit di permukaan kulit dan di antara bulu dapat menyebabkan iritasi, kegatalan, peradangan, kudisan, miasis, atau berbagai macam bentuk alergi. Dampak yang ditimbulkan jika ayam terinfestasi ektoparasit adalah menurunnya status gizi, turunnya produksi daging dan telur secara drastis (Hadi & Soviana 2010). Hien et al (2011) dalam penelitiannya menyatakan akibat dari infestasi ektoparasit tungau dan kutu adalah meningkatnya tingkat kematian dan menurunnya laju pertumbuhan ayam.

Penyakit yang disebabkan oleh ektoparasit satu di antaranya adalah kaki berkapur. Ayam yang menderita penyakit ini memperlihatkan gejala klinis hiperkeratosis atau keratinisasi sehingga sisik pada kaki ayam menjadi tebal dan tampak putih seperti kapur (Lapage 1962). Kasus penyakit kaki berkapur ini juga pernah dilaporkan terjadi pada beberapa negara di dunia. Pence et al. (1999) melaporkan kejadian kasus kaki berkapur yang terjadi pada burung migrasi (Turdus migratorius) di Amerika Serikat yang disebabkan oleh Knemidokoptes


(44)

jamaicensis, sedangkan Shoker et al. (2001) mendapatkan kasus kaki berkapur pada unggas-unggas di Mesir yang disebabkan oleh K. mutans. Ikpeze et al.

(2008) juga menemukan kaki berkapur pada burung di Nigeria yang disebabkan juga oleh K. mutans. Sangvaranond et al. (2007) menemukan kasus knemidokoptiasis pada unggas di Thailand. Schulz et al. (1989) juga melaporkan

K. jamaicensis pada burung hantu Bubo virginianus sebagai penyebab scaly leg. Di Indonesia, sejauh ini kasus kaki berkapur belum banyak dilaporkan. Sedikitnya laporan tentang kejadian kasus kaki berkapur disebabkan oleh kurangnya perhatian masyarakat dan pemerintah (dinas peternakan). Hal ini mungkin disebabkan oleh kerugian ekonomi yang ditimbulkannya tidak terlalu besar. Beberapa saat yang lalu Penulis menemukan kasus kaki berkapur pada ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut. Kampung Adat Pulo merupakan sebuah kampung yang menganut hukum adat yang unik. Jumlah kepala keluarga yang menempati kampung ini hanya sebatas enam kepala keluarga saja. Hukum adat yang berlaku lainnya adalah masyarakat kampung ini tidak diperbolehkan memelihara hewan besar seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. Hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Kampung Adat Pulo adalah ayam kampung.

Masyarakat di sini memelihara ayam kampung sebagai sumber makanan. Sistem pemeliharaan yang mereka lakukan sangat sederhana. Ayam yang dipelihara oleh mereka tidak diperbolehkan untuk dijual kepada masyarakat lain, sehingga ayam tersebut tidak menyebar keluar dari Kampung Adat Pulo. Mereka juga tidak begitu memperhatikan kesehatan ayam peliharannya. Akibat dari kurangnya perhatian masyarakat, ayam kampung yang dipelihara banyak yang terjangkit penyakit kaki berkapur. Kebijakan mereka untuk tidak menjual ayam mereka kepada masyarakat lain juga menyebabkan kejadian kaki berkapur menyebar secara merata pada ayam pelihara mereka.

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian untuk mengetahui penyebab kaki berkapur perlu dilakukan. Jika penyebabnya telah diketahui maka dapat dilakukan pengendalian, pencegahan, serta pengobatan secara tepat. Pengendalian


(45)

yang tepat dapat meningkatkan kembali kesehatan dan nilai ekonomi ayam kampung.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab kasus kaki berkapur (scaly leg) pada ayam di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi yang bernilai bagi ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai dasar untuk melakuan pengendalian terhadap infestasi ektoparasit pada ayam.

                                       


(46)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Kampung

Ayam kampung merupakan hewan vertebrata yang termasuk dalam kelas Aves dengan ordo Galliformes dan spesies Gallus domesticus. Ayam kampung telah berkembang pesat di Indonesia dan telah banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia sebagai pemanfaatan perkarangan, pemenuhan gizi, dan tambahan pendapatan sehingga ayam kampung sangat mudah ditemukan di berbagai tempat. Unggas ini memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, lingkungan, dan iklim yang ada. Masyarakat pada umumnya memelihara ayam kampung karena sebagai usaha sampingan sehingga pemeliharaan ayam kampung sangat sederhana (Sarwono 1999; Tarwiyah 2001).

Gambar 1 Ayam kampung (sumber: www.wikimedia.org)

Ayam kampung (Gambar 1) telah ada dan didomestikasi sejak lama, bahkan sebelum masehi. Umur yang sangat tua ini membuat nenek moyang ayam kampung melalui proses evolusi yang sangat panjang. Ayam kampung yang dipelihara saat ini bermula dari domestikasi ayam hutan dengan proses yang sangat panjang. Ada dua teori tentang proses domestikasi ayam hutan ini, yaitu teori monophyletic dan teori polyphyletic. Teori monophyletic adalah teori yang digagas oleh Charles Darwin. Menurutnya ayam peliharaan berasal dari satu jenis ayam hutan yang saat ini masih ada, yaitu Gallus gallus, sedangkan menurut teori


(47)

polyphyletic, ayam pelihara yang ada sekarang berasal dari beberapa jenis ayam hutan yang saat ini masih ada di berbagai belahan dunia, yaitu Gallus gallus,

Gallus sonneratti, Gallus laffayetti, dan Gallus varius (Stevens 1991; Suprijatna

et al. 2008).

2.2 Morfologi Ayam Kampung

Ayam kampung (G. domesticus) memiliki tubuh yang kecil, produktivitas telur yang rendah, dan pertumbuhan tubuh yang lambat. Suara dan penampilan yang sangat tidak menarik membuat ayam kampung (G. domesticus)tidak dijadikan ayam hias (Nurcahyo & Widyastuti 2002). Ayam ini memiliki warna bulu yang bervariasi dari warna putih, hitam, cokelat, kuning, atau kombinasi warna-warna tersebut. Warna kulit yang dimiliki ayam kampung (G. domesticus) kuning pucat, muka merah, dan kaki yang panjang serta kuat (Cahyono 2001). Kedua kaki pada ayam kampung (G. domesticus) mempunyai dua segmen dan sebuah tulang kering ramping yang hanya terdiri dari tendon serta tumit yang bercakar empat (Storer et al. 1968).

Pada bagian kepala ayam terdapat paruh, jengger, cuping, dan pial. Paruh berasal dari tulang wajah yang mengalami perpanjangan. Paruh bawah pada ayam terbentuk dari lima tulang. Pada paruh atas terdapat dua nostril atau lubang hidung. Jengger berwarna merah karena umumnya pada bagian epidermis kulit ayam terdapat banyak pembuluh darah, sedangkan pial yang merupakan cuping telinga berdaging tebal yang terletak di bawah bagian telinga, warnanya tergantung dari masing-masing bangsa ayam. Kedua organ ini merupakan kulit yang menjulur ke luar (Johnson et al. 1977; Suprijatna et al. 2008). Jengger dan pial sangat istimewa pada ayam dan beberapa jenis burung lainnya. Oleh karena itu jengger dan pial dapat dijadikan indikator karakteristik kelamin sekunder karena sangat sensitif terhadap hormon seks (Storer et al. 1968).

Mata ayam terletak di lateral dan memiliki ukuran besar dengan kelopak mata yang gemuk dan di dalamnya terdapat kelopak ketiga yang transparan, yaitu membran nictitan. Ayam berbeda dengan vertebrata lainnya karena tubuhnya ditutupi oleh bulu. Bulu merupakan bagian epidermal yang fleksibel dengan ruang


(48)

hampa udara yang sangat banyak. Keberadaan ruang hampa udara ini menjadi pelengkap dalam menghasilkan bulu kontur yang halus dan melindungi tubuh (Storer et al. 1968).

2.3 Biologi dan Perilaku Ayam Kampung

Ayam kampung mencapai bobot 1,5 kg dalam waktu tiga puluh minggu. Waktu ini lebih lama apabila dibandingkan dengan ayam ras yang hanya memerlukan waktu sampai tujuh minggu (Nurcahyo & Widyastuti 2002). Semua unggas adalah hewan berdarah panas yang mempunyai temperatur 40.5 sampai 42.2 °C pada siang hari dan lebih rendah pada malam hari (Storer et al. 1968). Menurut Suprijatna et al. (2008), temperatur rata-rata dari ayam dewasa adalah sekitar 40.5 sampai 41.6 °C dan day old chick (DOC) memiliki temperatur sekitar 38.8 °C. Temperatur induk ayam yang sedang mengeram lebih rendah dibandingkan induk yang tidak mengeram karena tingkat metabolisme yang rendah.

Ayam mengalami pertumbuhan bulu dan rontok secara alami. Proses rontok bulu ini dinamakan molting. Proses ini berlangsung secara periodik sekitar setahun sekali dan dalam suatu pola pertumbuhan. Bulu baru akan tumbuh pada tempat bulu yang rontok karena pengaruh hormonal (Suprijatna et al. 2008). Ayam kampung merupakan unggas diurnal yang tidur pada malam hari. Hewan diurnal memiliki karakteristik berbeda setiap spesiesnya pada lokasi tidur atau kebiasaan saat tidur, seperti memutar kepalanya ke belakang atau menyembunyikan kepalanya ke bawah sayap. Hal ini membuat paruhnya tetap hangat dan ayam bernafas dengan udara yang hangat (Storer et al. 1968; Storer et al. 1979).

2.4 Ektoparasit pada Ayam

Artropoda merupakan golongan makhluk hidup yang paling besar di dunia. Lebih dari 80% dari seluruh jenis hewan adalah Artropoda, menghuni semua jenis habitat yang ada, baik terrestrial maupun akuatik. Di antara anggota filum Artropoda diketahui ada yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan ada juga yang dapat merugikan kehidupan manusia serta hewan. Kelompok yang terakhir


(49)

ini lebih dikenal sebagai ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit yang hidup di luar atau pada permukaan inangnya dengan cara menumpang. Anggota Artropoda yang merupakan kelompok ektoparasit adalah kelas Insekta dan Arachnida. Arachnida dapat menjadi agen penyebab penyakit secara langsung karena mereka dapat mentransmisikan mikroorganisme patogen. Caplak dan tungau merupakan ektoparasit yang termasuk ke dalam kelas Arachnida (Hungerford 1970; Hadi 2006).

2.4.1 Tungau

Lebih dari 250 spesies tungau menjadi masalah bagi kesehatan manusia dan hewan. Masalah yang sering ditimbulkan oleh tungau adalah iritasi pada kulit, dermatitis pada hewan, alergi, penyebar mikroorganisme patogen, inang dari parasit lain, gangguan pada saluran telinga dan pernafasan, akarofobia, dan gangguan psikis (Mullen & Oconnor 2002). Tungau merupakan ektoparasit yang memiliki ukuran tubuh sangat kecil dan hampir tidak kasat mata. Kebanyakan tungau hidup di alam bebas dan hanya beberapa saja yang hidup sebagai ektoparasit (Hadi & Soviana 2011).

Tubuh tungau terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu gnatosoma dan idiosoma. Pada bagian gnatosoma terdapat pedipalpus dan khelisera, sedangkan pada bagian idiosoma terdapat kaki dan mata. Pedipalpus merupakan perangkat sensor bagi tungau. Pedipalpus dilengkapi dengan zat kimia dan sensor taktil yang membantu tungau dalam mencari makanan dan mengenali lingkungannya (Mullen & Oconnor 2002). Mata yang dimiliki tungau hanya satu atau mata tunggal. Kaki pada tungau dewasa berjumlah empat pasang sedangkan larvanya hanya memiliki tiga pasang saja. Tungau bernafas dengan menggunakan stigmata atau lubang pernafasan. Letak stigmata pada tungau berbeda-beda. Tungau subordo Mesostigmata memiliki stigmata yang terletak di antara pasangan kaki ketiga dan keempat, subordo Prostigmata memiliki stigmata yang terletak pada bagian depan tubuh, dan pada subordo Astigmata tidak memiliki stigmata. Tungau Astigmata bernafas dengan menggunakan permukaan tubuhnya yang lembut (Hadi & Soviana 2011).


(50)

Secara umum, siklus hidup tungau terdiri atas fase telur, larva, nimfa, dan dewasa. Fase nimfa pada tungau terdiri dalam tiga tahap, yakni protonimfa, deutonimfa, dan tritonimfa. Bergantung dari kelompok taksonominya, satu atau lebih fase dalam siklus hidup tungau dapat tidak terjadi. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan dalam bentuk kehidupan tungau. Telur tungau dapat disimpan di luar tubuh induk atau di dalam uterus induk sampai menetas. Perkembangan dari telur hingga dewasa dan jumlah generasi dalam satu tahun sangat beragam untuk menentukan generasi yang berarti (Mullen & Oconnor 2002).

2.4.1.1 Knemidokopes mutans

Knemidokoptes mutans atau scaly-leg mites termasuk ke dalam ordo Acariformes, subordo Astigmata, dan famili Knemidokoptidae. Tungau ini banyak menyerang unggas berumur tua. Betina memiliki ukuran 0.5 mm dan jantan berukuran setengah dari betinanya. K, mutans jantan memiliki kaki yang melebihi tubuhnya (Hungerford 1970). Tungau ini membuat terowongan di bawah sisik kaki ayam sehingga menyebabkan terjadinya kelainan bentuk dari kaki unggas. Rongga yang terbentuk akibat terowongan yang terjadi di dalam lapisan kulit dapat mengakibatkan peradangan proliferatif dan pembentukan keropeng serta sisik. Walaupun infeksi yang parah dapat mengakibatkan kelumpuhan, keberadaan tungau ini jarang menimbulkan masalah pada peternakan ayam komersial (Tabbu 2002). Tungau ini juga menyebabkan iritasi, hiperkeratosis, dan retakan kulit yang melapisi hampir keseluruhan kaki. Infestasi tungau ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung (Zucca & Delogu 2008). Konfirmasi diagnosis didapatkan dengan cara melakukan kerokan kulit pada kaki unggas (Taylor et al. 2007).

2.4.1.2 Knemidokoptes gallinae

Knemidokoptes gallinae juga merupakan tungau yang termasuk ordo Acariformes, subordo Astigmata, dan famili Knemidokoptidae, sama dengan K. mutans. Tungau ini memiliki morfologi yang hampir sama dengan K. mutans,


(51)

memiliki habitat di sekitar bulu-bulu pada ayam. Bagian yang sering terinfestasi adalah kepala, leher, punggung, abdomen, dan kaki bagian atas pada ayam. Ayam akan terinfestasi jika melakukan kontak langsung dengan unggas penderita (Taylor et al. 2007). Tungau ini biasa menggali dasar tangkai bulu sehingga menyebabkan iritasi yang mengakibatkan ayam suka mematuki bulunya. Akibat dari perilaku ini menyebabkan rontoknya bulu pada ayam. Kerontokan bulu pada ayam dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan produksi telur (Tabbu 2002).

2.4.1.3 Ornithonyssus sylvarium

Ornithonyssus sylvarium atau Northern fowl mite merupakan tungau ordo Parasitifomes dengan subordo Mesostigmata dan famili Macronyssidae. Masa hidup O. sylvarium dihabiskan di tubuh inangnya dan tidak dapat bertahan lebih dari sepuluh hari jika jauh dari inangnya. Tungau dengan ukuran 0.75-1 mm ini merupakan tungau penghisap darah. Tungau ini dapat menghisap darah mamalia bahkan manusia jika tidak terdapat inang di sekitarnya. Jika menggigit manusia,

O. sylvarium biasa menyebabkan pruritus (Taylor et al. 2007). O. sylvarium

memiliki keping dorsal yang melebar pada dua per tiga panjang tubuhnya (bagian atas) dan meruncing seperti lidah pada sepertiga bagian bawah (Gambar 2A). Seta (rambut kasar) pada bagian dalam keping dorsal tungau ini berukuran lebih kecil daripada seta yang berada di bagian luar keping dorsal. Keping ventral O. sylvarium dilengkapi dengan dua pasang seta (Soulsby 1982).

Dampak buruk bagi ekonomi muncul pada peternakan ayam. Infestasi biasanya muncul dari unggas liar atau unggas baru yang telah terinfestasi. Tungau ini dapat menyebar hanya dalam waktu beberapa minggu saja. Masalah yang ditimbulkan O. sylvarium berupa iritasi kulit dengan lesio yang tidak terlihat pada tempat gigitan dan mengerutnya bulu yang menjadi keabu-abuan terutama pada bulu daerah anus ayam. Unggas yang telah terinfestasi parah dapat mengalami anemia, penurunan bobot badan dan produksi telur, hingga kematian. Kerabang telur ayam yang terinfestasi tungau ini menjadi lunak dan sedikit kental dan penurunan produksi telur mencapai 5-15% jika dibandingkan dengan unggas sehat (Mullen dan Oconnor 2002). Tungau ini dilaporkan tersebar di Amerika Utara, E-


(52)

ropa, dan beberapa negara subtropis. Beberapa penelitian membuktikan bahwa O. sylvarium dapat mentransmisikan virus WEE (West Equine Encephalitis) dari satu unggas ke unggas lainnya, tetapi tungau ini tidak memiliki peran dalam mentransmisikan arbovirus ke manusia (Zucca & Delogu 2008).

Tungau ini mengalami fase telur, larva, nimfa, dan dewasa dalam siklus hidupnya. Telur akan menetas dalam waktu 24 jam menjadi larva berkaki enam. Larva berganti kulit menjadi protonimfa dengan cepat. Hanya fase protonimfa pada siklus hidup O. sylvarium yang menghisap darah. Darah ini dibutuhkan untuk mencapai fase deutonimfa dan tritonimfa. Tritonimfa berganti kulit menjadi tungau dewasa tanpa perlu makanan. Siklus hidup tungau ini dicapai dalam waktu 5-7 hari, sehingga pertumbuhan populasi tungau ini sangat cepat (Mullen & Oconnor 2002; Taylor et al. 2007 ).

2.4.1.4 Ornithonyssus bursa

Ornithonyssus bursa atau tropical fowl mite merupakan tungau ordo Parasitifomes, subordo Mesostigmata, dan famili Macronyssida dengan genus

Gambar 2 (A) Keping dorsal O. sylvarium dan (B) keeping dorsal O. bursa

(sumber: Soulsby 1982)


(53)

yang sama dengan O. sylvarium. Perbedaan dari keduanya hanya secara geografis (keadaan iklim). O. sylvarium tinggal di tempat beriklim sedang sehingga disebut

northern fowl mite, sedangkan O. bursa hidup di tempat beriklim tropis sehingga disebut tropical fowl mite (Pickworth & Morishita 2003). O. bursa dapat dibedakan dengan O. sylvarium dari bentuk keping dorsalnya. Keping dorsal pada

O. bursa meruncing pada bagian akhir posterior tubuhnya (Gambar 2B). Seta yang berada di dalam keping dorsal O. bursa juga berukuran lebih kecil daripada seta yang berada di bagian luar keping dorsal. Keping ventral O. bursa dilengkapi dengan tiga pasang seta, tidak seperti O. sylvarium yang memiliki dua pasang seta pada keping ventralnya (Soulsby 1982).

Tungau ini banyak ditemukan di unggas pada saat mengeram. Habitat O. bursa tersebar pada bulu-bulu sayap unggas. Telur tungau ini akan menetas dalam tiga hari dan menyebar menjadi larva. Dalam tujuh belas jam larva akan berganti kulit menjadi protonimfa yang mulai menghisap darah unggas. Protonimfa menjadi deutonimfa dalam waktu dua sampai tiga hari hingga akhirnya menjadi dewasa. Tungau ini dapat menyerang manusia yang berada di sekitarnya (Hadi & Soviana 2010).

Infestasi tungau ini dapat terjadi ketika unggas melakukan kontak dengan unggas liar atau kandang yang telah banyak terdapat O. bursa. Infestasi yang parah dapat menyebabkan anemia, penurunan bobot badan dan produksi telur bahkan kematian. Unggas yang baru menetas dan unggas muda merupakan inang yang paling rentan terhadap infestasi tungau ini. Pada kasus yang terjadi pada unggas muda, keberadaan tungau ini ada di sekitar mata dan paruh (Mullen & Oconnor 2002).

2.4.1.5 Megninia ginglymura

Megninia ginglymura merupakan tungau ordo Acariformes, subordo Astugmata dan family Analgidae. M. ginglymura hidup pada bulu dan memiliki host spesifik yang luas. Habitat M. ginglymura di dalam dasar bulu badan dan sayap. Beberapa spesies lainnya dari genus ini terkadang muncul di bawah kulit (Taylor et al. 2007). Sekitar 440 spesies dari 33 famili tungau hidup pada dan


(54)

dalam bulu unggas. Tungau-tungau ini memiliki perbedaan morfologi yang nyata yang disebabkan oleh banyaknya jumlah inang yang berbeda dan bentuk adaptasi mereka terhadap habitat mikro yang ada pada bulu. Biasanya tungau ini dapat mengakibatkan dermatitis pada ternak (Zucca & Delogu 2008).

Quintero et al. (2006) menemukan bahwa Megninia sp telah lama ditemukan pada ayam-ayam di Yucatan, Mexico. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2005 dilaporkan bahwa jumlah populasi Megninia mencapai puncaknya pada bulan Juli dan November. Tungau ini memiliki dua siklus biologi dalam setahun. Megninia selalu ditemukan sepanjang tahun dengan densitas populasi terendah pada bulan Maret dan Oktober. Oleh karena itu, pengendalian untuk tungau ini disarankan dilakukan pada bulan Juni dan awal November, sebelum jumlah populasi dari tungau ini meningkat.


(55)

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2010 sampai Juni 2011 dan dilaksanakan dalam tiga kegiatan, yaitu pengambilan sampel, pengolahan spesimen, dan identifikasi ektoparasit. Pengambilan sampel dilakukan di Kampung Adat Pulo, Desa Situ Cangkuang, Kabupaten Garut, Jawa Barat dan Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogoruntuk proses pengolahan spesimen dan identifikasi.

3.2 Pengambilan Sampel Ektoparasit

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara melakukan kerokan kulit pada kaki ayam kampung yang mengalami pengapuran. Pengerokan dilakukan dengan menggunakan skalpel sampai berdarah. Hasil kerokan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi KOH 10% dan didiamkan minimal selama tiga hari. Hal ini dimaksudkan agar jaringan kulit hasil kerokan menjadi luruh sehingga tungau dapat dikoleksi.

3.3 Pembuatan Preparat Slide Ektoparasit

Setelah semua tungau terkoleksi, sampel dimasukkan ke dalam cawan yang berisi air agar membersihkan tungau dari KOH 10% selama sepuluh sampai tiga puluh menit. Setelah dari cawan berisi air, tungau dimasukkan ke dalam alkohol secara bertingkat dari alkohol 60%, alkohol 70%, alkohol 80%, dan alkohol absolut selama sepuluh menit untuk masing-masing tingkatan. Setelah direndam dalam alkohol secara bertingkat, sampel tungau diletakkan di atas preparat slide dan diberikan larutan hoyer agar tungau terfiksasi. Setelah itu dengan hati-hati sampel tungau ditutup dengan cover glass agar tidak ada gelembung udara. Jika ada gelembung udara, preparat slide dipanaskan secara perlahan-lahan hingga gelembung menghilang. Setelah itu, preparat slide


(56)

dimasukkan ke dalam slide warmer selama minimal satu hari. Setelah preparat

slide kering, diberikan kuteks pada sekeliling cover glass secara merata.

3.4 Identifikasi Ektoparasit

Proses identikasi sampel ektoparasit dilakukan dengan pengamatan di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x dan kemudian dicocokkan dengan kunci identifikasi ektoparasit Baker dan Canin (1958). Pemotretan specimen dilakukan di bawah mikroskop Olympus.

3.5 Pengisian Kuisioner

Pengisian kuisioner dilakukan untuk mendapatkan data jumlah ayam yang terinfestasi, umur, pekerjaan, dan pendidikan masyarakat Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut.

3.6 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabulasi, gambar, dan foto-foto mikroskopik. Analisis juga dilakukan terhadap faktor-faktor pendukung terjadinya infestasi tungau pada ayam di Kampung Adat Pulo.


(57)

4.1 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Ektoparasit

Jenis-jenis ektoparasit yang ditemukan dari ayam di sekitar permukiman di Kampung Adat Pulo adalah tungau Knemidokoptes mutans dan Megninia sp.

Knemidokoptes mutans merupakan tungau dari famili Knemidokoptidae, sedangkan Megninia sp dari famili Analgidae. Kedua tungau ini termasuk ke dalam Ordo Acariformes, dan subordo Astigmata.

Persentase jumlah ayam yang terjangkit kaki berkapur di daerah ini sebanyak 17% dari total populasi ayam yang dipelihara oleh setiap kepala keluarga (Tabel 1).

Tabel 1 Persentase jumlah ayam yang terinfestasi kaki berkapur di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut

Rumah Σ Ayam (ekor) Σ Ayam Terinfestasi Tungau (ekor) Persentase (%)

1 10 2 20

2 10 1 10

3 8 2 25

4 8 1 12,5

5 5 1 20

Total 41 7 17

4.1.1 Knemidokoptes mutans

Hasi penelitian menunjukkan bahwa tungau K. mutans yang berhasil diidentifikasi berjumlah empat belas ekor dan memiliki rataan ukuran 205-414 µm. Tungau ini memiliki bentuk tubuh bulat, tidak berduri atau sisik kulit yang tajam, dan semua tungau yang diidentifikasi berkelamin betina. Tungau ini memiliki gnatosoma, pedipalpus, dan khelisera yang pendek. Gnatosoma merupakan bagian kepala arthropoda yang secara umum terdiri dari mulut. Ciri morfologi yang dimiliki tungau betina berbeda dengan jantan. Epimere pada betina terletak di lateral dan tidak bertemu di tengah. Kaki pada tungau betina tidak memiliki sucker atau alat pelekat. Selain itu, K. mutans memiliki ciri khas berupa tiang khitin yang terlihat dari dasar pedipalpus dan striae berbentuk lingkaran dan bulatan-bulatan kecil. Semua K.mutans yang ditemukan telah


(1)

MUHAMMAD RIDWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2009. Pedoman praktis berternak ayam kampung pedaging. 

http://sentralternak.com/index.php/2009/09/10/pedoman-praktis-beternak-ayam-kampung-pedaging/ [9 Oktober 2011]

Baker EW, Canin JH. 1958. Guide to The Families of Mites. America : The

Institute of Arcalogy, Departemen Zoology.

Butcher GD, Beck C. 1993. Knemidokiptic mange in pet birds: Scaly face and

scaly leg diseases. http://www.feedbarnstore.com/animalscience/ 

vm02200.pdf [21 September 2011]

Cahyono B. 2001. Ayam Buras Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya.

Hadi, UK. 2006. Pengenalan artropoda dan biologi serangga. Di dalam: Sigit SH,

Hadi UK, editor. Hama Pemukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan

Pengendaliannya. Bogor: IPB Pr. Hlm 14-22.

Hadi, UK. 2010. Efikasi bifentrin dan sipermetrin terhadap ektoparasit ayam. Laporan Pengujian Efikasi. Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, FKH IPB, Bogor.

Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis, dan

Pengendaliannya. Bogor: IPB Pr.

Hien OC, Diarra B, Dabire R, Wangrawa J, Sawadogo L. 2011. Effects of external parasite on the productivity of poultry in the traditional rearing system in

the sub-humid zone of Burkina Faso. International Journal of Poultry

Science 10 (3): 189-196.

Hungerford TG. 1970. Diseases of Poultry including Cage Birds and Pigeons.

Sydney: Angus and Robertson.

Ikpeze OO, Amagba IC, Eneanya CI. 2008. Preliminary survey of ectoparasites in

chicken in Awka, South-Eastern Nigeria. Animal Research International 5

(2): 848-851.

Johnson WH, Delanney LE, Williams EC, Cole TA. 1977. Principles of Zoology.

Ed ke-2. New York: Holt, Rinehart, and Winston.

Kettle DS. 1984. Medical and Veterinary Entomology. New York: John Wiley &

Sons.

Lapage G. 1962. Monning’s Veterinary Helminthology and Entomology. Ed ke-5.


(3)

Mullen GR, Oconnor BM. 2002. Mites (Acari). Di dalam: Mullen GR, Durden L,

editor. Medical and Veterinary Entomology. Florida: Academic Pr. Hlm

449-516.

Nurcahyo EM, Widyastuti YE. 2002. Usaha Pembesaran Ayam Kampung

Pedaging. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pence DB, Cole RA, Bruger KE, Fischer JR. 1999. Epizootic

podoknemidokoptiasis in american robins. Journal of Wildlife Diseases 35

(1): 1-7.

Pickworth CL, Morishita TY. 2003. Common external parasites in poultry: Lice and Mites. http://en.engormix.com/MA-poultry-industry/health/article.htm [19 Juni 2011]

Quintero MT, Itza M, Juarez G, Eleno A. 2006. Seasonality of Megninia

ginglymura: a one year study in a hen farm in Yucatan, Mexico. Di dalam:

Sabelis MW, Bruin J, editor. Trends in Acarology. Proceedings of the 12th

International Congress; Amsterdam, 21-26 Agustus 2006. New York: Springer. Hlm 537-538.

Sangvaranond A, Jittapalapong S, Sutasha K, Chimnoi W. 2007. Case report:

Cnemidocoptiasis (scaly leg) of paddyfield pipit bird (Anthus rufulus) in

Petchaburi Province of Thailand. Kasetsart Veterinarians 17 (2): 91-96.

Sarwono B. 2003. Beternak Ayam Buras. Jakarta: Penebar Swadaya.

Schulz TA, Stewart JS, Fowler ME. 1989. Knemidokoptes mutans (Acari:

Knemidocoptidae) in a great-horned owl (Bubo virginianus). Journal of

Wildlife Diseases 25 (3): 430-432.

Shoker NI, Tawfek NS, Ibrahim MH, Osman ES. 2001. Mites associated with

some birds in El-Minia Governorate, Upper Egypt. Egyptyan Journal of

Biology 3: 124-136.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domisticated

Animals. Ed ke-7. London: The English Language Book Society and Bailliere Tindall.

Stevens L. 1991. Genetics and Evolution of The Domestic Fowl. Cambridge:

Cambridge Univ Pr.

Storer TI, Usinger RL, Nybakken JW. 1968. Elements of Zoology. Ed ke-3. New

York: McGraw-Hill.

Storer TI, Usinger RL, Nybakken JW, Stebbins RC. 1979. General Zoology. Ed


(4)

Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Yogyakarta: Kanisius.

Tarwiyah. 2001. Intensifikasi ternak ayam buras. http://www.warintek.ristek.go.id/peternakan/budidaya/ayam_buras.pdf [20 Juni 2011]

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Ed ke-3. Oxford:

Blackwell.

Wiranata, IGAB. 2003. Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke

Masa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Zucca P, Delogu M. 2008. Infectious disease, arthropod. Di dalam: Samour J,

editor. Avian Medicine. Ed ke-2. Edinburgh: Mosby Elsevier. Hlm

309-317.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/96/Ayam_kampung_jantan.jpg [21 November 2011]

                                 


(5)

Lampiran 1

Tabel 1 Sistem pemeliharaan ayam kampung oleh masyarakat Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut

No. Nama Pengetahuan Sistem Pemeliharaan Ayam Σ Ayam

(ekor)

Σ Ayam Terinfestasi Kaki Kapur (ekor)

Persentase (%)

Cara Pemeliharaan 1 Bapak Tatang 10 2 20 Dilepas 2 Bapak Umar 10 1 10 Dilepas

3 Ibu Ida 8 2 25 Dilepas

4 Bapak Irman 8 1 12,5 Dikandangkan 5 Bapak Gri 5 1 20 Dilepas

6 - - - - -


(6)

Lampiran 2

Tabel 2 Data umur, pendidikan, dan pekerjaan masyarakat Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kabupaten Garut

No. Nama Data Responden

Umur Pendidikan Pekerjaan 1 Bapak Tatang 56 th SD Petani

2 Bapak Umar 41 th SD PNS

3 Ibu Ida 53 th SD Ibu Rumah Tangga 4 Bapak Irman 32 th SD Petani

5 Bapak Gri 60 th SD Petani

6 - - - -