Peraturan mengenai Hak Guna Usaha HGU

- 38 - Pemberian hak dan pendaftaran tanah negara untuk HGU lebih lanjut diatur dalam beberapa peraturan setingkat peraturankeputusan menteri yaitu: i Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997; ii Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999; iii Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999; dan iv Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 1 tahun 2005 Tentang SPOPP. Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala .BPN Nomor 9 tahun 1999, Permohonan HGU harus dilampiri dengan: 1. Fotokopi identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan yang telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum; 2. Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang; 3. Ijin lokasi atau surat penunjukan penggunaan tanah atau surat ijin pencadangan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah; 4. Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau surat-surat bukti perolehan tanah lainnya; 5. Persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN atau Penanaman Modal Asing PMA atau surat persetujuan dari Presiden bagi Penanam Modal Asing tertentu. Setelah berkas permohonan Hak Guna Usaha diterima, Kepala Kantor Wilayah akan mengeluarkan surat keputusan pemberian HGU lewat prosedur berikut: 1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, jika dokumen- dokumen tersebut belum lengkap, maka kepala Kantor Wilayah memberitahu pihak pemohon untuk melengkapinya; 2. Mencatat permohonan pada formulir isian; 3. Memberitahu pihak pemohon untuk membayar biaya-biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan permohonan yang dilengkapi dengan rinciannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4. Memerintahkan kepada Kepala Bidang terkait untuk melengkapi bahan-bahan yang diperlukan; 5. Memerintahkan kepada Panitia Pemeriksa Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan tanah; 6. Dalam hal tanah yang dimohon belum dipetakan belum ada Peta Bidang Tanahnya, Kepala Kantor Wilayah memerintahkan kepada Kepala Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk menyiapkan surat ukur dan melakukan pengukuran secara kadasteral; 7. Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Usaha telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, maka setelah mempertimbangkan pendapat Panitia Pemeriksaan Tanah akan diterbitkan Surat Keputusan pemberian Hak Guna Usaha yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya; 8. Sedangkan dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Usaha tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, maka Kepala Kantor Wilayah menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Menteri Kepala Badan Pertanahan Pusat disertai pendapat dan pertimbangannya.

6. Hak Masyarakat untuk Memperoleh Informasi dan Menyampaikan Pendapat

atas suatu Proyek Hak untuk memperoleh informasi, hak untuk mengeluarkan pendapat, dan hak untuk memiliki hak milik, dan hak untuk bebas dari perampasan atau pengambilalihan secara sewenang-wenang atau melanggar hukum adalah hak konstitusional warga Negara berdasarkan UUD 1945. Dengan begitu, adalah kewajiban Negara untuk turun tangan ketika ada tindakan yang mengancam hak warga negaranya, baik dengan cara memberi perlindungan melalui peraturan perundangan maupun melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran. Hak-hak konstitusional tersebut sering kali dilanggar dalam berbagai konflik Sumber - 39 - Daya Alam SDA. Informasi yang ditutup- tutupi, informasi yang menyesatkan, pengebirian hak mengeluarkan pendapat mengambil keputusan setuju atau tidak setuju atas suatu proyek pembangunan, penggusuran, perampasan tanah, tidak ada ganti untung atas tanah yang diambil untuk pembangunan adalah contoh nyata pelanggaran atas hak konstitusional warga negara. Terdapat instrumen internasional yang telah ditandatangani Indonesia untuk perlindungan Hak Asasi Manusia HAM, khususnya dalam hal hak atas pembangunan. Hak atas pembangunan mengakui pribadi manusia sebagai subyek dalam proses pembangunan, oleh karena itu kebijakan pembangunan seharusnya menjadikan manusia sebagai partisipan dan sasaran utama pembangunan. Perlindungan hak atas pembangunan dituangkan dalam Deklarasi PBB mengenai Hak Atas Pembangunan Tahun 1986. 1 Proyek- proyek pembangunan seperti pembangunan pendidikan, kesehatan, air bersih, reformasi agraria harus dirancang dan dikerangkakan dengan mengacu pada dan secara substansial diarahkan kepada pemenuhan aspek prosedural dan substantif dari hak asasi manusia. 2 Pada tahun 2007, PBB mengadopsi resolusi no. 61295 mengenai Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat, yang memasukkan Pasal- Pasal tentang hak atas Free Prior and Informed Consent FPIC atau Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan, antara lain pada Pasal 10, Pasal 11, Pasal 18, dan Pasal 19. 3 Dengan adanya deklarasi ini, maka setiap negara anggota PBB memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat, untuk memberikan atau tidak memberikan Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan mereka. Sesuai dengan pendekatan berbasis, pembangunan tidak dapat dilakukan tanpa penghormatan dan perlindungan atas hak komunitas lokal dan masyarakat adat, baik secara individual maupun kolektif. Dalam setiap tahap pembangunan, mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan dan pemantauan pasca pembangunan, setiap warga negara dan masyarakat memiliki hak untuk memperoleh informasi, mengeluarkan pendapat, untuk menyetujui atau menolak pembangunan yang direncanakan, dan untuk mendapatkan perlindungan atas hak milik individual dan kolektifnya sebagai wujud dari pelaksanaan hak-hak konstitusioalnya. Disinilah pentingnya penghormatan terhadap prinsip FPIC dalam setiap tahap pembangunan. Konflik SDA yang terjadi saat ini bisa disebut sebagai hasil dari proses pembangunan yang tidak mengakui dan melindungi hak-hak individual dan kolektif warga negara. Konflik- konflik tersebut tidak dikehendaki namun marak terjadi. Sudah ada ribuan kasus tanah yang dilaporkan ke Badan Pertanahan Nasional BPN. BPN mengakui bahwa sedikitnya ada 8.000 kasus tanah yang terkait dengan agribisnis di seluruh Indonesia. 4 Konflik yang terjadi saat ini, tidak lepas dari potret penguasaan dan pemilikan tanah dan kekayaan alam yang timpang dan tidak diatur dengan baik di seluruh Indonesia. BPN menyebutkan bahwa 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset nasional. Lebih dari tiga perempat dari asset-aset ini terdapat dalam bentuk tanah, tambak, tambang, perkebunan, dan sebagainya. 5 Data di atas menunjukkan bahwa ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dan kekayaan alam terjadi karena adanya konsentrasi penguasaan dan pemilikan tanah pada segelintir orang dan pengusaha. Terdapat dua jenis ketimpangan: pertama, ketimpangan antara penyediaan lahan untuk kegiatan ekstraksi perusahaan besar yang bertujuan mencari keuntungan dan penyediaan lahan bagi aktifitas pertanian rakyat. Ketimpangan jenis kedua adalah ketimpangan disitribusi tanah di antara kelompok-kelompok petani. 6 Konflik SDA terjadi karena tidak terpenuhinya hak-hak warga Negara atas informasi, kebebasan mengeluarkan pendapat dan perlindungan atas hak milik, yang seluruhnya harus dihormati sebagai bagian dari hak-hak kolektif masyarakat adat atas FPIC. Bila hak ini dihormati, potensi konflik SDA telah terbukti akan menurun, yang akan memberikan manfaat-manfaat kepada komunitas lokal dan masyarakat adat, serta para investor itu sendiri dan bagi negara.