UKURAN BELANJA HEDONIS Gaya Hidup Hedonis.
melakukan pembelian impulsif dibatasi limit waktu dibandingkan waktu yang tidak dibatasi.
Stern 1962, dalam Evans, Jamal, Foxall, 2007: 88 mengidentifikasi hubungan sembilan karakteristik
produk yang mungkin dapat memengaruhi pembelian impulsif yaitu harga rendah, kebutuhan tambahan produk
atau merek, distribusi massa, self service, iklan massa, display produk yang menonjol, umur produk yang
pendek, ukuran kecil dan mudah disimpan. Kollat dan Willet 1967, dalam Bayley, Nancarrow, 1998 : 100
memperkenalkan tipologi perencanaan sebelum didasarkan pada tingkat perencanaan sebelum masuk
toko, meliputi perencanaan terhadap produk dan merek produk, kategori produk, kelas produk, kebutuhan umum
yang ditetapkan, dan kebutuhan umum yang belum ditetapkan. Beberapa peneliti beranggapan bahwa
impulse buying
sinonim dengan unplanned buying ketika para psikolog dan ekonom memfokuskan pada
aspek irasional atau pembelian impulsif murni Bayley dan Nancarrow, 1998.
Engel dan Blacwell 1982, dalam Bayley, Nancarrow, 1998 : 100 mendefinisikan unplanned
buying adalah suatu tindakan pembelian yang dibuat
tanpa direncanakan sebelumnya atau keputusan pembelian dilakukan pada saat berada di dalam toko.
Cobb dan Hayer 1986, dalam Bayley, Nancarrow, 1998 : 100 mengklasifikan suatu pembelian impulsive terjadi
apabila tidak terdapat tujuan pembelian merek tertentu atau kategori produk tertentu pada saat masuk ke dalam
toko.
Thomson 1990, dalam Bayley, Nancarrow, 1998 : 101 mengemukakan bahwa ketika terjadi
pembelian impulsive akan memberikan pengalaman emosional lebih daripada rasional, sehingga tidak dilihat
sebagai sugesti, dengan dasar ini maka pembelian impulsif lebih dipandang sebagai keputusan rasional
dibandingkan irasional. Bayley dan Nancarrow 1998 : 101 tidak membedakan antara unplanned buying
dengan impulse buying, tetapi memberikan perhatian penting kepada periset pelanggan harus menfokuskan
pada interaksi antara point-of sale dengan pembeli yang sering diabaikan.
Penelitian yang dilakukan Hausman 2000 : 404 menjelaskan bahwa impulse buying merupakan bagian
dari pembelian yang tidak terencana. Dalam melakukan kegiatan impulse buying adalah melakukan pembelian
tanpa melihat manfaat dari pembelian tersebut. Intinya impulse buying berkaitan dengan keputusan.
Selanjutnya definisi dari impulse buying sebagai berikut :
Tabel 6.1 Definisi Impulse Buying
No. Pendapat Definisi Impulse Buying
1. Rook dan Fisher
2007 impulse buying
refers to a person”s tendency to buy
spontaneously, unreflectively, immediately, and kinetically.
2. Manning dan
Reece 2006 : 159
Pembelian impulsif Impulse Buying
adalah salah satu hal yang mendorong calon
pelanggan untuk bertibdak karena daya tarik atas sentimen
atau gairah tertentu.
No. Pendapat Definisi Impulse Buying
3. Shoham dan
Brencic 2003 impulse buying berkaitan
dengan prilaku untuk membeli berdasarkan emosi.
4. Schiffman dan
Kanuk 2007 : 511
impulse buying merupakan
keputusan yang emosional atau menurut desakan hati.
5. Martin Evans,
Ahmad Jamal and Gordon
Foxall 2006:87
Impulse buying are to some extent dependent upon some
level of prior understanding and interest in the product or
service.
Sumber : diolah dari berbagai sumber
Menurut Rook dan Fisher 2007, pembelian
spontan adalah keputusan pembelian yang dibuat oleh pelanggan secara spontan atau seketika setelah melihat
barang dagangan. Artinya, tidak ada rencana membeli sebelumnya. Pembelian dalam impulse buying ini tidak
didasarkan pada kebutuhan tetapi pembelian yang dilakukan karena ketertarikan suatu barang.
Pertimbangan emosional dominan dalam tipe ini. Perilaku itu sebagai perilaku tidak terkendali out-of-
control. Pertimbangan tentang konsekuensi pembelian rendah. Barang-barang demikian biasanya kecil, murah
dan baru terpikirkan untuk membeli kala terlihat.
Pembelian spontan biasanya timbul, salah satunya pemajangan barang display yang menonjol
yang menarik perhatian pelanggan dan merangsang suatu
keputusan belanja didasarkan analisis yang tidak berkesinambungan. Produk-produk yang menimbulkan
pembelian spontan biasanya dipajang pada tempat yang mudah dilihat oleh pelanggan, misalnya di sekitar kasir
atau tempat pembayaran.
Manning dan Reece 2006 : 159 mengibaratkan bahwa pembelian merupakan “tanda masuk” ke dalam
lingkungan dari orang-orang yang memiliki gairah yang sama atas segala sesuatu. Emosi dapat menjadi kuat dan
kadangkala berlaku sebagai sebagai dasar dari pembelian yang dominan. Hal ini pun senada yang diungkapkan
Shoham dan Brencic 2003 yang lebih mengutamakan faktor emosi untuk mengambil keputusan.
Menurut Shiffman dan Kanuk 2007 : 511 mengatakan bahwa keputusan emosional atau menurut
desakan hati berkaitan dengan kegembiraan, kekhawatiran, rasa sayang fantasi yang mengakibarkan
pembelian atau kepemilikan tertentu. Hal ini melibatkan persasaan dab emosi yang mendalam.
Dari definisi di atas dapat ditekankan bahwa impulse buying terjadi apabila adanya minat akan
sesuatu. Ini berkaitan dengan nilai suatu produk. Dalam impulse buying
terjadi pembelian yang tiba-tiba yang disebabkan oleh konflik emosional dengan gejolak yang
ada pada mereka untuk dapat mengubah hidup mereka. Ini menandakan bahwa impulse buying mengarah pada
pembelian yang tidak terencana, dan tidak didasarkan kepada kebutuhan yang mendasar.
Sebagai contoh kegiatan impulse buying dapat digabarkan sebagai berikut :
Gambar 6.1 Kegiatan impulse buying
Gambar di atas menjelaskan seorang wanita yang datang ke toko dengan membawa keranjang belanja. Dia
datang tanpa merencanakan membeli karena dia tidak membawa daftar belanjaan. Ini terlihat bahwa konsumen
tersebut belanja dengan spontan atau tiba-tiba tanpa merencanakan terlebih dahulu.
Gambar 6.2. Kegiatan impulse buying Sumber : Hasil penelitian, 2010
Konsumen dalam gambar di atas sedang kebingungan mencari barang yang akan dibeli. Mereka
datang tanpa adanya daftar belanjaan. Ini memperlihatkan mereka datang ke toko tanpa rencana
untuk membeli. Hal ini menandakan mereka melakukan kegiatan membeli barang dengan cara spontan dan tiba-
tiba.
Selanjutnya Bellenger, Robertson and Hirschman 1978 Stern 1962, dalam Evans, Jamal, Foxall, 2007:
88 mengatakan kegiatan impulse buying terbagi beberapa bentuk yaitu :
Pertama, reminder impulse buying yakni terjadi pada saat konsumen di toko, melihat produk dan kemudian
membuatnya mengingat sesuatu akan produk tersebut. Bisa jadi dia ingat iklannya atau rekomendasi orang.
Kedua, pure impulse buying terjadi ketika si konsumen benar-benar tidak merencanakan apapun untuk
membeli. Ketiga,
suggested impulse buying dimana si
pembelanja diperkenalkan produk tersebut melalui in store promotion
. Keempat
, planned impulse buying, di mana si konsumen sebenarnya mempunyai rencana namun
keputusan membelinya tergantung pada harga dan merek di toko tersebut.
Selanjutnya Nelson 2010 menggambarkan terjadinya impulse buying sebagai berikut :
Home Money Buying Controlling Spending
Impulse Buying Menurut skema di atas tampak bahwa kegiatan
impulse buying diawali dari rumah dengan membawa
uang untuk belanja. Kegiatan belanja didasarkan dengan pengendalian diri tetapi akhirnya terjadi impulse buying
karena pengendalian yang tidak berhasil.
Berdasarkan definisi di atas maka impulse buying merupakan rangsangan atau nafsu secara emosional
untuk membeli secara spontan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan komsumtif. Dalam impulse buying lebih
berperan nafsu untuk membeli atau terus membeli dibandingkan akal sehat yang ada pada benak konsumen
atau pelanggan.
Selanjutnya menurut Rook dan Hoch yang dikutip Engel 1995 mengatakan karakter dari impulse
buying :
1. Spontaneity adalah pembelian impulsif tak terduga dan memotivasi konsumen untuk membeli sekarang,
seringkali karena respons stimulasi visual point of sale.
2. Power, compulsion dan intensity adalah adanya motivasi untuk mengesampingkan hal-hal lain dan
bertindak secepatnya. 3.
Excitement and stimulation adalah keinginan membeli tiba-tiba dan seringkali oleh emosi seperti
exciting, thrilling, atau wild. 4. Disregard for consequences adalah keinginan untuk
membeli dapat menjadi tidak ditolak sampai konsekuansi negatif yang mungkin diabaikan.
Impulse buying pun mempunyai gaya tersendiri.
Berdasarkan pendapat Bayley dan Nancarrow 1998 menemukan 4 gaya impulse buying. Gaya tersebut
adalah : 1.
Accelerator impulse buying is driven by a desire to stock up for a future need. For example, a housewife
may buy on impulse buying to confirm that she is a good carer for her family.
2. Compensatory impulse buying occurs when the
buying either feels “down” and low in self-esteem and uses sudden purchases as a prop or if purchaser
rewards themselves for achieving something or after completing a tedious or difficult chore and use a
surprise purchase as a reward.
3. Breakthrough impulse buying is intriguing. It can
include some high-value product such as cars and even house. It appears that purchaser suddenly
decides that whatever inderlying emotional conflict with they have been wrestling can be resolved by a
step change in their lives.
4. Blind impulse buying is probably what we tend to
think of a impulse buying : buying with no underlying purpose and no regard for the fulfillment
of any needs of either a functional, social or psychological nature.
Pengukuran Impulse Buying
Pengukuran Impulse Buying menurut Rook dan Fisher 1995, dalam Park, Forney, 2005 : 234 impulse
buying sebagai kecenderungan konsumen untuk membeli
secara spontan, refleks, tiba-tiba dan otomatis. Betty dan Ferrel 1998, dalam Tjiptono, 2004 :
213 mengungkapkan faktor penentu impulse buying. Hasil riset menghasilkan skala pengukuran yang
mengukur impulse buying dalam 8 dimensi utama, yaitu pertama, desakan untuk berbelanja, kedua, emosi positif,
ketiga, emosi negatif, keempat, melihat-lihat toko, kelima, kesenangan berbelanja, keenam, keterbatasan
waktu,
ketujuh, ketersediaan uang, kedelapan,
Impulse buying menitikberatkan pada daya tarik
atas sentimen dan gairah membeli. Artinya berkaitan dengan emosi seseorang. Daya tarik di sini berkaitan
dengan barang yang ditawarkan suatu toko tertentu, kecenderungan pembelian impulsif.
sehingga mereka tertarik dan mempunyai gairah untuk membelanjakannya Manning dan Reece 2001:159 dan
Park, Kim, Forney, 2005 : 435.
Keterkaitan Promosi Penjualan dengan Atribut Hypermarket
Promosi penjualan adalah suatu upaya mendongkrak penjualan untuk barang-barang tertentu
dalam periode waktu tertentu. Event promosi penjualan bisa merupakan program dari supplierproduct principal
ataupun diagendakan oleh retailer sebagai bagian dari program marketingnya. Asep ST. Sujana. 2004 : 37.
Pengecer menggunakan berbagai macam alat promosi penjualan untuk menarik pengunjung dan menciptakan
pembelian.
Promosi penjualan mempunyai tujuan untuk meningkatkan penjualan, menaikkan image store
atmosphere , mepopulerkan lokasi toko,
menginformasikan tentang operasi dan jasa yang ditawarkan, menawarkan pelayanan yang baik bagi
konsumen. Hal ini terlihat bahwa promosi tersebut dapat memengaruhi unsur yang ada pada atribut hypermarket
Berman and Evans, 2004 : 488
Orientasi promosi penjualan mengacu pada perdagangan. Tujuan promosi penjualan yang
berorientasi perdagangan adalah memperkenalkan produk baru atau revisi, meningkatkan distribusi paket
atau ukuran baru, menyelenggarakan persediaan eceran, mempertahankan atau meningkatkan luas rak
penyimpan barang produsen, mendapatkan display di samping lokasi rak yang normal, mengurangi kelebihan
persediaan dan meningkatkan perputaran, mencapai fitur produk dalam periklanan pengecer, menghadapi aktivitas
pesaing, dan yang terakhir menjual sebanyak mungkin kepada konsumen akhir. Shimp, 2000 : 110 - 114. Ini
terlihat bahwa promosi penjualan mempunyai keterkaitan dengan atribut hypermarket seperti
penggunaan rak penyimpanan, display, merchandise. Oleh karena itu, promosi penjualan yang berorientasi
perdagangan mencakup meminta pengecer agar menjual barang jenis baru dan menimbun persediaan lebih
banyak, mengiklankan produk dan memberikan ruang lebih banyak dalam toko, serta membuat mereka
membeli sebelumnya Kotler dan Amstrong, 2006 : 445.
Promosi penjualan secara umum seharusnya dipergunakan dengan hemat, pemberian harga murah,
kupon, potongan harga dan hadiah yang dilakukan secara terus-menerus dapat mengurangi nilai suatu merk dalam
pikiran pelanggan. Hal ini akan membuat para pelanggan cenderung menunggu promosi penjualan berikutnya dan
tidak membeli produk tersebut sekarang juga. Ini menandakan memilih promosi penjualan yang sesuai
atau menambah citra merk dan menambah nilai produk suatu atribut hypermarket Bambang Sukma Wijaya,
2008 : 2.