12
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh kekurangan produksi insulin atau pemanfaatan insulin yang kurang baik. Individu
dengan diabetes melitus tipe 2 mengeluarkan lebih sedikit insulin sebagai respon terhadap glukosa dan memperlihatkan penurunan yang khas pada pelepasan awal
insulin Phee, et al., 2010. Kriteria diagnosis seseorang dinyatakan mengalami diabetes mellitus menurut standar pelayanan medis
American Diabetes Association ADA 2010 dapat dilihat pada Tabel I.
Tabel I. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus ADA, 2010
Kriteria Diagnosis DM 1.
HbA1C 6,5 ; atau 2.
Kadar gula darah puasa 126 mgdL; atau 3.
Kadar gula darah 2 jam pp 200 mgdL pada tes toleransi glukosa oral yang dilakukan dengan 75 g glukosa
4. Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia dengan kadar
gula sewaktu 200 mgdL.
Insulin adalah hormon yang sangat diperlukan dalam pemanfaatan glukosa secara semestinya Peter and Whitney, 2009. Pasien dengan diabetes
melitus tipe 2 sering asimptomatik
dan munculnya komplikasi dapat
mengidentifikasi bahwa pasien telah menderita diabetes melitus selama bertahun- tahun Dipiro, et al., 2008. Kejadian diabetes melitus tipe 2 meningkat dengan
meningkatnya usia. Pada umumnya diabetes melitus tipe 2 terjadi pada usia lebih dari 40 tahun Centers for Disease Control and Prevention, 2013. Diabetes
melitus tipe 2 adalah bentuk yang lebih sering dijumpai, meliputi sekitar 90 pasien yang menyandang diabetes Sukandar, 2008. Tingginya prevalensi
diabetes melitus yang sebagian besar tergolong dalam diabetes melitus tipe 2 ini disebabkan oleh interaksi antara faktor-faktor kerentanan genetis dan paparan
terhadap lingkungan Rubenstein, 2007. Resistensi insulin atau gangguan sekresi insulin sel beta merupakan
lesikelainan primer pada diabetes melitus tipe 2 yang menyebabkan peningkatan kompensatorik sekresi insulin hiperinsulinemia yang akhirnya tidak dapat
dipertahankan oleh pankreas. Ketika pankreas telah “kelelahan” dan tidak dapat mengimbangi kebutuhan insulin, mungkin akibat efek toksik dari tumpukan
protein-protein di retikulum endoplasma sel beta, timbullah diabetes klinis. Terdapat penelitian yang mengungkapkan bahwa hiperinsulinemia merupakan
suatu defek primer sel beta. Peningkatan kadar insulin menekan jumlah reseptor insulin, yang menyebabkan resistensi insulin dan akhirnya menyebabkan
kelelahan sel beta. Penelitian lain menduga bahwa defek primernya dapat berupa gangguan sekresi awal insulin oleh sel-sel pulau Langerhans sebagai respons
terhadap glukosa, yang kemudian menyebabkan hiperglikemia. Hiperglikemia dan hiperinsulinemia kompensatorik kemudian menyebabkan terjadinya resistensi
insulin. Resistensi insulin diperkirakan timbul akibat defek pasca reseptor pada zat-zat antara penyalur sinyal yang berada di sebelah distal dari kinase reseptor
insulin, misalnya insulin receptor substrate-1 IRS-1, atau pada produk gen yang diatur oleh insulin, misalnya pengangkutan glukosa di jaringan lemak dan otot
GLUT-4 German and Masharani, 2007. Sebagian besar 80 penyandang diabetes melitus tipe 2 mengalami
obesitas, terutama obesitas sentral yang berkaitan dengan peningkatan resistensi
insulin Dipiro, et al., 2008. Orang dengan obesitas yang tidak mengidap diabetes memperlihatkan peningkatan kadar insulin dan penurunan reseptor insulin.
Penyandang diabetes melitus tipe 2 dengan obesitas sering memperlihatkan peningkatan kadar insulin relatif terhadap kontrol non-obesitas. Pada kadar
glukosa tertentu, kadar insulin pada penyandang diabetes melitus tipe 2 dengan obesitas lebih rendah dari kadar yang dijumpai pada kontrol dengan obesitas. Hal
ini mengisyaratkan bahwa penyandang diabetes melitus tipe 2 mengalami defisiensi relatif insulin dan tidak dapat mengompensasi peningkatan resistensi
insulin yang disebabkan oleh obesitas Phee, et al., 2010. Diabetes melitus tipe 2 terjadi akibat defisiensi kerja insulin dan kerja
glukagon yang meningkat secara abnormal. Rasio glukagon-insulin yang tinggi ini menciptakan suatu keadaan yang serupa dengan keadaan yang dijumpai saat puasa
dan menyebabkan terjadin ya lingkungan “super-puasa” yang tidak sesuai untuk
mempertahankan homeostasis secara normal. Gangguan metabolik yang terjadi bergantung pada derajat penurunan kerja insulin Kronenberg, 2008; Phee, et al.,
2010. Penurunan ringan kerja insulin mula-mula bermanifestasi sebagai
ketidakmampuan jaringan peka-insulin untuk mengurangi beban glukosa. Secara klinis, hal ini menimbulkan hiperglikemia pasca-makan postpandrial
hyperglycemia. Jika efek insulin semakin menurun, efek glukagon terhadap hati tidak mendapat perlawanan yang berarti sehingga terjadi hiperglikemia pasca-
makan dan hiperglikemia puasa. Pada diabetes melitus tipe 2 juga mengalami ketosis karena pengurangan nyata insulin menyebabkan lipolisis simpanan lemak
menjadi maksimal untuk menghasilkan substrat bagi ketogenesis di hati yang dipicu glukagon. Asam-asam lemak yang dibebaskan dari lipolisis, selain
dimetabolisme oleh hati menjadi badan-badan keton, juga mengalami re- esterifikasi dan dikemas menjadi VLDL Kronenberg, 2008.
Kelainan lipid yang utama pada diabetes melitus tipe 2 yang tidak terkontrol adalah hipertrigliseridemia yang menyebabkan peningkatan VLDL.
Hipertrigliseridemia pada diabetes melitus tipe 2 berkaitan dengan penurunan kolesterol lipoprotein berdensitas-tinggi HDL. Kolesterol LDL juga dapat
meningkat baik akibat bertambahnya produksi VLDL dikatabolisme menjadi LDL maupun berkurangnya pembersihan. Defisiensi insulin menyebabkan
penurunan lipoprotein lipase, yaitu enzim yang berperan dalam hidrolisis trigliserida yang terdapat dalam VLDL sebagai persiapan untuk penyimpanan
asam lemak di jaringan adiposa. Penurunan lipoprotein lipase menyebabkan pembersihan VLDL melambat, sehingga pada diabetes melitus tipe 2 dapat terjadi
peningkatan kadar VLDL Kronenberg, 2008; Phee, et al., 2010. Hipertrigliseridemia, kolesterol HDL yang rendah, kolesterol LDL yang
tinggi merupakan faktor-faktor risiko aterosklerosis. Penyebab diabetes dapat menjadi faktor risiko independen untuk aterosklerosis dan juga dapat bekerja
secara sinergis dengan faktor risiko lain mencakup hal-hal berikut: 1 perubahan komposisi lipoprotein pada diabetes yang menyebabkan partikel menjadi lebih
aterogenik peningkatan small dense
LDL, peningkatan kadar lipolisis,
peningkatan oksidasi dan glikasi lipoprotein; 2 terjadinya keadaan prokoagulan relatif pada diabetes, termasuk peningkatan faktor-faktor pembekuan tertentu dan
peningkatan agregasi trombosit; 3 perubahan proaterogenik di dinding pembuluh darah akibat efek langsung hiperinsulinemia terhadap diabetes melitus tipe 2; 4
perubahan proaterogenik di dinding pembuluh darah akibat efek langsung hiperglikemia, termasuk pengendapan protein-protein terglikasi, seperti yang
terjadi pada pembuluh halus. Terdapat tiga penyebab meningkatnya risiko aterosklerosis pada diabetes: 1 Peningkatan insiden faktor-faktor risiko lain,
misalnya hipertensi dan hiperlipidemia; 2 diabetes itu sendiri merupakan faktor risiko independen untuk aterosklerosis; dan 3 diabetes bekerja secara sinergis
dengan faktor lain untuk meningkatkan risiko aterosklerosis Phee, et al., 2010. Diabetes menyebabkan beragam komplikasi kronik yang menjadi
penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan penyakit ini. Komplikasi pada diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh kelainan
vaskular yaitu sistem mikrovaskuler retinopati, nefropati, dan beberapa tipe neuropati dan makrovaskuler penyakit arteri koroner, penyakit vaskular perifer
Phee, et al., 2010; Kurniawan, 2010. Frekuensi penyakit makrovaskuler aterosklerosis meningkat pada diabetes, yang menyebabkan peningkatan insiden
infark miokardium, stroke, dan klaudikasio serta gangren ekstremitas bawah. Efek penyakit pembuluh darah besar ini paling parah pada penyandang diabetes melitus
tipe 2 dan merupakan penyebab sekitar 75 kematian Dipiro, et al., 2008.
B. Obesitas