B A B 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi, dan tingkah laku dimana individu tidak mampu
menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan. Penyebab dari gangguan jiwa itu sendiri berhubungan dengan faktor
biopsikososial Stuart Sundeen, 1998. WHO 2001 memperkirakan dari tujuh milyar penduduk dunia ada sekitar
450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa, dan WHO memperkirakan dari 240 juta penduduk Indonesia menunjukkan bahwa 30-
50 yang berobat ke fasilitas kesehatan umum mempunyai latar belakang gangguan jiwa, yang salah satu gejalanya adalah prilaku kekerasan.
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
tingkah laku tersebut Purba dkk, 2008. Menurut Stuart dan Laraia 1998, perilaku kekerasan dapat dimanifestasikan secara fisik mencederai diri sendiri,
peningkatan mobilitas tubuh, psikologis emosional, marah, mudah tersinggung, dan menentang, spiritual merasa dirinya sangat berkuasa, tidak bermoral.
Perilaku kekerasan merupakan suatu tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari satu persen Andri, 2008 dalam Husein, 2012.
Perilaku kekerasan menjadi masalah di banyak Negara seperti Amerika, Australia, dan Negara maju lainnya. Bentuk kekerasan yang terjadi sering
Universitas Sumatra Utara
perkelahian, pemukulan, penyerangan dengan senjata, tawuran, perampokan, perkosaan, penganiayaan, dan pembunuhan, sehingga menimbulkan masalah
agresi dan prilaku kekerasan Evans, 2000 Shalala dikutip dari Budiharto dkk, 2003. Pasien mengalami tanda dan gejala prilaku kekerasan seperti : muka
merah dan tegang, pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, jalan mondar mandir, bicara kasar, suara tinggi, menjerit,
atau berteriak, mengancam secara verbal ataufisik, dan melempar atau memukul benda orang lain Purba dkk, 2010.
Keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan prilaku kekerasan mengalami peningkatan stress dan kecemasan, hal ini ditandai dengan
adanya respon yang berbeda pada setiap anggota keluarga dalam kesiapan menerima anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa Windyansih, 2008
dalam Hafnizar, 2012. Menurut Yip 2005 penelitian yang dilakukannya di China terhadap
keluarga yang salah satu anggota keluarganya mengalami Prilaku Kekerasan, diperoleh bahwa 90 keikutsertaan keluarga dalam pengobatan dalam
pengobatan psikiatris dan rehabilitasi klien mampu mengembalikan kondisi klien ke keadaan normal.
Berdasarkan survey pada beberapa orang dengan anggota keluarga yang mengalami Prilaku Kekerasan diperoleh bahwa ada beberapa hal yang
menyebabkan keluarga tidak aktif dalam memberikan perhatian dan pengobatan pada penderita Prilaku kekerasan. Masalah yang teridentifikasi yang dialami oleh
keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami Prilaku Kekerasan adalah
Universitas Sumatra Utara
meningkatnya stress dan kecemasan keluarga, sesama keluarga saling menyalahkan, kesulitan pemahaman kurangnya pengetahuan keluarga dalam
menerima sakit yang diderita oleh anggota keluarganya, pengaturan waktu dan energi keluarga dalam menjaga dan merawat klien serta masalah finansial untuk
pengobatan. Biegel et al, 1995. Cemas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh
situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin akan memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak
mengerti mengapa emosi yang mengancam itu terjadi. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus ansietas Comer, 1992 dalam Videbeck,
2008. Keluarga klien prilaku kekerasan, selalu mengidentikkan gejala yang
dialami anggota keluarga yang sakit disebabkan oleh kerasukan Videbeck, 2008. Klien tidak dibawa berobat ke “dokter” melainkan hanya dibawa ke orang
“pintar” Hawari, 2007, bahkan keluarga dengan sengaja mengasingkan anggota keluarganya karena jika menampakkan gejala dianggap kemasukan roh halus,
dijauhi, diejek, dikucilkan dari masyarakat normal Videbeck, 2008. Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh Depkes RI 2006 bahwa
penanganan pasien gangguan jiwa dengan gejala prilaku kekerasan di Indonesia dilakukan dengan cara dipasung oleh sebagian kalangan, bahkan keluarga dengan
sengaja mengasingkan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa karena dianggap aib. Demikian juga ketika keluarga mengetahui salah satu anggota
Universitas Sumatra Utara
keluarganya menampakkan gejala gangguan jiwa dianggap kemasukan roh halus. Keluarga memilih membawanya ke dukun, bukan ke dokter jiwa .
Data yang didapatkan dari study pendahuluan berdasarkan hasil wawancara dengan empat orang keluarga pasien prilaku kekerasan mengatakan
bahwa keluarga merasa bingung dan cemas bila penderita berulangkali dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Jika penderita tidak dibawa segera ke Rumah Sakit Jiwa
keluarga merasa takut dan khawatir serta tidak tahu apa yang harus dilakukan saat penderita mulai mengamuk atau mengurung diri. Hal yang sama juga disampaikan
oleh perawat yang menangani pasien di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wedidiodiningrat Lawang. Bahkan seringkali keluarga merasa bosan
dan meminta agar penderita dapat diperbolehkan tinggal di Rumah Sakit Jiwa selamanya Maemunah, 2012.
Hasil survei awal yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara ditemukan sebanyak 1184 penderita mengalami skizofrenia di ruang rawat
jalan perbulannya di tahun 2012. Beberapa keluarga yang anggota keluarganya mengalami prilaku kekerasan ditemukan bahwa mereka merasakan kecemasan
menghadapi anggota keluarganya yang mengalami prilaku kekerasan, mereka sering sulit tidur, terbangun malam hari, tidur tidak nyenyak, dan mereka sangat
takut jika sewaktu-waktu anggota keluarga mereka yang mengalami prilaku kekerasan itu menyerang mereka.
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk meneliti kecemasan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan
prilaku kekerasan
Universitas Sumatra Utara
1.2. Pertanyaan Penelitian