Membaca Penggalan Novel

1. Membaca Penggalan Novel

Bacalah penggalan novel berikut ini!

Untuk Orang-orang yang Tembus Pandang

Kesatu Segala yang tembus pandang menurut Rohmat, bukanlah sesuatu yang harus diirikan. Bukanlah yang harus dimiliki. Iri boleh, namun tidak harus. Ingin memiliki juga boleh, tapi tidak

Bahasa Indonesia XI Program Bahasa Bahasa Indonesia XI Program Bahasa

Demi melihat kemunculan Rohmat yang tak kula nuwun (1), mereka merah padam menahan keterkejutan. Menahan malu. Dengan ucapan gagap, Sukaji menyapa dan mempersilakan Rohmat. "Silakan, Pak Rohmat !" Namun yang mempersilakan tetap saja berdiri. Rohmat tahu, ruangan ini milik Hadiyoni. Artinya, hanya Hadiyoni yang punya wewenang mempersilakan siapa pun yang masuk ke ruangan itu.

Namun, mata indah yang setajam sembilu itu, hanya sekilas saja memandang Rohmat. Tidak ada ucapan silakan. Tidak ada orang lain yang lebih penting. Bagi Hadiyoni, jumlah penduduk sekabupaten Nganjuk itu cuma satu, Sukaji, Ketua BPD. Dan memang menurut tata krama tak ada orang lain, karena Rohmat memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu, meskipun biasanya memang demikian dan hampir semua warga desa rata-rata juga seperti itu, dan maklum, mereka lebih suka mengintip saja dari jendela kaca ruangan; Hadiyoni melanjutkan pembicaraan: "Bagaimana? Kau belum menjawab pertanyaanku, kan? Apa benar Peraturan Daerah melarang Kades nonton dengan Ketua BPDnya?" tanya Hadiyoni dengan melendot.

Dalam ruangan yang sama tapi pada sudut yang lain terdapat sepasang meja-kursi. Di sinilah, seharusnya, Rohmat bisa duduk manis menunggu Kepala Desa yang masih asyik dengan Ketua BPD. Karena memang di sini tempat untuk menghadap, atau meminta tanda tangan.

Peristiwa yang Mengesankan

"Mari, silakan, Pak Rohmat!" ucap Sukaji sekali lagi, sembari berpaling dari Hadiyoni. "Kenapa justru Anda yang mempersilakan? Bukankah ruangan ini milik Bu Kades?" bantah Rohmat dalam hati.

Demikianlah dan kepalang basah! Sebagai warga desa yang merasa patuh dan menghargai tata krama, Rohmat pun bertahan untuk tetap berdiri, mencari tempat yang nyaman dari ruangan itu. Dia bersandar di dinding, di dekat pintu. Barangkali saja memang seperti ini yang dikehendaki Hadiyoni, meskipun sesungguhnya, jemari lentik yang nakal tadi tak akan dan tak pernah dipermasalahkan oleh Rohmat.

Menyaksikan gelagat yang demikian ini, tak ada yang lebih tepat bagi Sukaji kecuali diam, dan menyambung pembicaraannya dengan Hadiyoni.

Rohmat hanya senyum-senyum, sesekali justru ngegongi (2) pembicaraan kedua petinggi desa. Kenapa tidak. Pembicaraan mereka hanya berkisar masalah pajak. Sama sekali bukan hal yang sulit. Dia tahu, pekerjaan utama perangkat desa itu menagih pajak bumi dan bangunan. Jogotirto yang seharusnya mengurus irigasi desanya, diubah sendiri oleh para perangkat desa secara tanpa aturan atau undang-undang atau sejenisnya menjadi PBB yang diutamakan.

Beberapa lama berikutnya, setelah Sukaji meninggalkan ruangan dan setelah kaki Rohmat pegal-pegal: "Silakan, Mat !"ucap Hadiyoni. "Begini lho, Bu Kades," kaki yang pegal karena terlalu lama

berdiri, ternyata menambah keberanian Rohmat, "Saya ini menghadap sampeyan (3) untuk menagih janji!" kata Rohmat sembari meletakkan pantatnya ke kursi kayu satu-satunya yang ada di depan meja kepala desa.

"Janji yang mana?" "Bu Kades jangan berpura-pura, lho!" Dan, laki-laki

bertubuh kekar itu mengangkat telunjuknya, lurus menuding ke wajah kepala desa.

Tentu saja Bu Kades merah padam. "Apa kau punya bukti?" "Saya memang tidak mempunyai bukti kuitansi! Tapi saya

mempunyai bukti lain!" "Mana?"

Bahasa Indonesia XI Program Bahasa

"Hloh, kan ada pada Anda toh, Bu Kades? Karena, bukti itu berupa Anda menerima uang saya!" teriak Rohmat. "Ini ruangan saya, silakan keluar!" Sekujur tubuh Bu Kades bergetar seperti HP yang tengah menerima sinyal. Kemarahan dan ketersinggungan mengumpul menjadi satu, lalu mengaduk perasaannya.

"Saya pasti akan keluar, tapi Bu Kades harus mengakui perbuatannya dulu!" "Kalau kamu tidak mau keluar," ucapannya tersendat, tersedak bengis, lalu wajahnya mengarah ke ruangan lain tempat semua perangkat desa berkumpul, "Pak Wo, (4) ambil Kartu Model A, dan catat orang ini telah menghina kepala desa!"

Salah seorang kamituwo terburu-buru menghadap ke ruangan itu, seraya berucap dengan patuh "Nggiih(5)!" "Silakan, silakan dan silakan, kalau Bu Kades ingin memenjarakan saya! Seujung kuku pun saya tidak takut masuk penjara! Saya memegang kebenaran, sehingga meskipun dipenjarakan, saya tetap berada dalam kebenaran!"

"Kebenaran macam apa, hah? Kebenaran itu ada buktinya, dan kau tidak memilikinya!" "Saksinya juga ada loh, Bu Kades? Itu, Hajir yang tukang potong rambut itu saksinya! Apa Bu Kades ingin saya panggilkan? Bahkan, bukan hanya satu orang, melainkan dua orang, yaitu dengan Nolik! Waktu itu Bu Kades menyuruh Hajir memberitahu kalau saya ditimbali (6) Bu Kades di restoran Kertosono! Kemudian, saya pun datang ke sana, dan juga bawa uang karena rasa hormat saya! Mosok (7) ditimbali Bu Kades ndak bawa uang! Ya ndak mungkin, toh? Apalagi ditimbali di restoran! Dan ternyata, di restoran itu Bu Kades tidak sendirian, tapi dengan Hajir dan Nolik! Kemudian Bu Kades bilang, besok harus mengambil paswel (8) pemberhentian Kamituwo yang telah habis masa jabatannya karena usia, ke kabupaten, ke Nganjuk! Iya, toh? Dan karena saya memang ingin mengajukan anak saya Makrus untuk ikut sebagai bakal calon Kamituwo, maka saya pun memberi uang kepada Bu Kades delapan ratus ribu! Iya, toh? Bu Kades sudah lupa, ya? Bu Kades bilang, pasti bisa membantu anak saya Makrus untuk bisa duduk sebagai bakal calon Kamituwo meskipun usianya kurang! Meskipun

Peristiwa yang Mengesankan

BPD yang menjadi Ketua Pemilihan, Bu Kades tetap bisa membantu Makrus seratus persen, karena Bu Kades pernah bilang, Bu Kades itu nomor dua setelah Tuhan!" Kemudian Rohmat masih melanjutkan kata-katanya, sementara Ketua BPD yang berada tidak jauh dari ruangan itu tetap tekun mendengarkannya. Hadivoni yang semula tersudut karena tak mampu membantah semua yang dikatakan Rohmat, malahan seperti mendapatkan senjata baru. Diam. Ucapan apa pun yang keluar dari Rohmat, ditanggapi dengan diam. Tindakan ini membuat sebuah dialog berjalan tanpa lawan bicara, sehingga membikin Rohmat bicara ngelantur, melingkar-lingkar, bahasanya campur-aduk, sampai kemudian kehabisan kata-kata.

"Begini saja lho, Mat, panggil Hajir dan Nolik kemari!" ujar Hadiyoni sambil menutup bibirnya karena menguap. "Oooo, ya, Bu Kades! Akan saya panggil mereka!" tandas Rohmat berapi-api. Maka, Rohmat pun langsung meninggalkan ruangan. Sama sekali bukan pekerjaan yang sulit untuk menemukan mereka! Langkahnya mantap dan cepat, meninggalkan halaman Kantor Desa dengan raungan sepeda motornya. Dia bersumpah, hari itu juga akan mencari mereka dan membawanya dengan tujuan untuk memblejeti (9) Hadiyoni.

"Pak Wo...," ujar Kepala Desa beberapa saat kemudian. Sedari tadi, Kamituwo itu hanya diam, menunduk di kursi lobi, dan tentu saja sambil mengantuk. Semalaman dia ikut menari sambil minum arak dalam hiburan. Langen Beksan di acara Penganten Sunat. "Nanti kalau Rohmat datang dengan Hajir dan Nolik, beritahu kalau saya diajak pak camat ke Nganjuk."

"Nggih!" Maka kepala desa itu pun segera memasukkan stempel ke

dalam tas tentengnya pertanda bahwa dia akan meninggalkan ruangan. Di dalam hati, Kamituwo tidak berkata-kata, meskipun orang yang sebelum Otoda disebut Kepala Dusun (10) itu melihat, tidak ada seorang camat pun yang mengajak Kepala Desanya pergi.

"Wong-wong (11).... bu kades tadi menyuruh kita semua menunggu Rohmat!" ujar kamituwo kepada semua perangkat desa yang duduk bergerombol mengelilingi sebuah meja besar.

Bahasa Indonesia XI Program Bahasa

"Ah, ndak apa-apa...! Masih belum terlalu siang saja, kok!" komentar salah satu dari mereka. Jam dinding yang menempel di atas pintu membisu saja, baterainya habis. Menurut benda itu, sekarang menunjuk pukul setengah enam. Padahal yang benar pukul 10:05.

Perangkat lain memang tak ada yang berpendapat atau pun menentangnya, kecuali mimik mereka yang menanggapi peristiwa itu dengan bermacam-macam model. Karena mereka semua tahu, di dalam ruangan sebelah yang besarnya tidak lebih kecil, berkumpul seluruh anggota BPD, termasuk ketuanya. Seluruh perangkat yang ada juga yakin, perang-tanding antara Rohmat dengan kepala desa tadi, suaranya mampu menembus ke telinga yang di sana. Dan memang benar adanya. Meskipun yang mereka dengar tidak lengkap.

"Saya tidak setuju dengan pendapat itu," ujar Kasjuri, Anggota BPD dari Dusun Gading. "Kalau ingin selengkap- lengkapnya, harus ada alat perekam!"

"Bagaimana kalau kita proses?" sergah Madi. Orang ini satu- satunya Anggota yang paling berani dalam hal bicara. Suatu ketika, dia bilang, sekolah tidak penting. Dia bisa mencari ijasah dalam waktu tiga hari. Dia lebih suka keluar ketika Klas III SD, kemudian berlangganan koran sampai sekarang. Padahal sekarang, dia memiliki empat anak, dan yang sulung sudah kuliah di Malang. "Tak cocok dengan bicaranyal" ujar tetangganya. "Buat apa kuliah di Malang, kalau memang ijasah tidak penting!"

Karena sejak tadi semua hanya saling pandang, maka Nardi pun nyeletuk: "Bagaimana menurut Pak Kasjuri?" "Diproses?" "Ya, bagaimana kalau diproses?" "Lalu, apanya yang diproses?" "Kan sudah jelas, toh? Kepala Desa melakukan penipuan

terhadap warganya sendiri! Korbannya Rohmat!" sela Madi.

"Tapi kan ndak ada bukti?" tukas Kasjuri. "Saya bukan membela siapa-siapa, tapi menurut hukum, kalau mau diproses secara hukum, diperlukan bukti yang jelas!" lanjutnya, tegas, sesuai dengan predikatnya sebagai Purnawirawan Polri.

"Saksi sudah ada! Tadi, menurut pendengaran saya dan kalau tidak salah, adalah Hajir dan Nolik! Sekarang sedang

Peristiwa yang Mengesankan

"Saya setuju!" jawab Kasjuri. "Tapi, kita juga harus mendengar pendapat Ketua!" "Benar demikian, Pak Kasjuri?" tanya Sukaji. "Ya, ini memang bukan, tapi saya rasa tidak ada jeleknya

kalau kita mengambil sebuah kesepakatan bahkan kalau perlu mengambil keputusan."

"Saya berpendapat, keputusan untuk mengundang Hajir dan Nolik dalam rangka klarifikasi, tergantung keputusan Rohmat. Jika memang dia meminta kepada kita untuk memfasilitasi masalah ini, kita akan mendengar dan melaksanakannva."

"Ya...., tapi `sampai sekarang Rohmat juga belum muncul?!" Setelah berujar demikian, Kasjuri membakar rokoknya, seraya menuju ke teras untuk melihat apakah Rohmat sudah datang.

Sampai menjelang tengah hari, bahkan akhirnya kantor desa terpaksa ditutup, Rohmat tetap belum datang. Sesungguhnya, kepala desa tadi langsung pulang, dan menelepon ke rumah yang paling dekat dengan kios potong rambut milik Hajir. Hajir pun dipanggilkan untuk menerima telepon. Lelaki dengan tubuh kurus berdagu menjorok ke depan itu menerima pesan telepon secara langsung dari kepala desanya, agar kios potong rambut ditutup, dan pergi ke rumah Nolik untuk selanjutnya pergi sesuka hati. Inilah penyebab Rohmat tak bisa menemukan mereka. Malahan karena mereka sudah tahu Rohmat memiliki sifat yang pantang menyerah, tidak heran jika kemudian mereka baru berani pulang pada keesokan harinya. Dan pada malam berikutnya, mereka tidur di rumah Kepala Desa.

Semalaman. mereka diajari oleh Kepala Desa untuk menghadapi Rohmat. Cukup banyak hal-hal yang harus mereka laksanakan. Termasuk keharusan dalam berkata-kata. Diantaranya demikian. "Rohmat sekarang ini sedang terbakar, tidak perlu disulut lagi. Jika sampai api itu terlalu besar, maka akan semakin banyak orang yang tahu, dan akhirnya Hadiyoni akan tercemar namanya dan tidak terpilih lagi sebagai kepala

Bahasa Indonesia XI Program Bahasa Bahasa Indonesia XI Program Bahasa

seseorang akan memasuki rumah orang lain, bertamu atau untuk keperluan lain.

[2] Berasal dari bahasa Jawa yang berarti menimpal, mengiyakan percakapan atau pembicaraan orang lain dengan baik.

[3] Dari bahasa Jawa yang artinya anda. [4] Panggilan untuk Kamituwo (kepala susun). [5] Berasal dari bahasa Jawa yang berarti mengiyakan. [6] Dan bahasa Jawa yang artinya sama dengan dipanggil oleh

orang yang memiliki jabatan atau wewenang atau kehormatan.

[7] Mosok dalam bahasa Jawa, artinya sama dengan masak dalam bahasa prokem. [8] Yang dimaksud adalah surat keputusan. [9] Menelanjangi. [10] Sebelum ada Otoda, kamituwo dinamakan kepala dusun,

yaitu kepala suatu dusun. Sedangkan dusun adalah bagian dari sebuah desa.

[11] Panggilan untuk rekan sekerja dalam bahasa Jawa yang artinya orang-orang. [12] Gerih pindang, adalah ikan laut yang dimasak.

Sumber: H. Achmad Makmun @ pikiran-rakyat.com

Peristiwa yang Mengesankan