1. Pengobatan topical
Prinsip pengobatan topikal adalah mencegah pembentukan komedo jerawat ringan, ditujukan untuk mengatasi menekan peradangan dan
kolonisasi bakteri, serta penyembuhan lesi jerawat. Misalnya dengan pemberian bahan iritan dan antibakteri topikal serta kortikosteroid topikal
seperti; sulfur, resorsinol, asam salisilat, benzoil peroksida, asam azelat, tetrasiklin, eritromisin dan klindamisin.
2. Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk penderita jerawat sedang sampai berat, dengan prinsip menekan aktivitas jasad renik, menekan reaksi
radang, menekan produksi sebum dan mempengaruhi keseimbangan hormonal. Golongan obat sistemik misalnya: pemberian antibiotik
tetrasiklin, eritromisin dan klindamisin, obat hormonal etinil estradiol, antiandrogen siproteron asetat, penggunaan retinoid untuk menekan
hiperkeratinisasi dan atas dasar serta tujuan berbeda dapat digunakan berupa antiinflamasi nonsteroid, dapson atau seng sulfat.
3. Bedah kulit
Bedah kulit ditujukan untuk memperbaiki jaringan parut yang terjadi akibat jerawat. Tindakan dapat dilaksanakan setelah jerawat sembuh baik dengan
cara bedah listrik, bedah kimia, bedah beku, bedah pisau, dermabrasi atau bedah laser.
2.4 Uji Aktivitas Antibakteri
Aktivitas potensi antibakteri dapat ditunjukkan pada kondisi yang sesuai dengan efek daya hambatnya terhadap bakteri. Ada dua metode umum
Universitas Sumatera Utara
yang dapat digunakan yaitu penetapan dengan lempeng silinder atau ”lempeng” dan penetapan dengan cara ”tabung” atau turbidimetri. Metode pertama
berdasarkan difusi antibiotik dari silinder yang dipasang tegak lurus pada lapisan agar padat dalam cawan petri, sehingga bakteri yang ditambahkan dihambat
pertumbuhannya pada daerah berupa lingkaran atau ”zona” disekeliling silinder yang berisi larutan antibiotik. Metode turbidimetri berdasarkan atas hambatan
pertumbuhan biakan mikroba dalam larutan serba sama antibiotik dalam media cair yang dapat menumbuhkan mikroba dengan cepat bila tidak terdapat antibiotik
Ditjen POM, 1995.
2.5 Uraian Bakteri
Nama bakteri berasal dari kata “bacterion” bahasa Yunani yang berarti tongkat atau batang. Sekarang nama itu dipakai untuk menyebut sekelompok
mikroorganisme yang bersel satu, berbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop Dwidjoseputro, 1987.
Bakteri penyebab jerawat umumnya adalah Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis.
2.5.1 Bakteri Propionibacterium acne
Dalam penelitian ini salah satu bakteri yang digunakan adalah Propionibacterium acne. Propionibacterium acne adalah organisme utama yang
pada umumnya memberi kontribusi terhadap terjadinya jerawat. Adapun sistematika bakteri Propionibacterium acne menurut Irianto 2006 adalah sebagai
berikut: Divisi
: Protophyta Kelas
: Schizomycetes Bangsa
: Eubacteriales
Universitas Sumatera Utara
Suku : Propionibacteriaceae
Marga : Propionibacterium
Jenis : Propionibacterium acne
Propionibacterium acnes adalah termasuk gram-positif berbentuk batang, tidak berspora, tangkai anaerob ditemukan dalam spesimen-spesimen
klinis. Propionibacterium acne pada umumnya tumbuh sebagai anaerob obligat, bagaimanapun, beberapa strainjenis adalah aerotoleran, tetapi tetap menunjukkan
pertumbuhan lebih baik sebagai anaerob. Bakteri ini mempunyai kemampuan untuk menghasilkan asam propionat, sebagaimana ia mendapatkan namanya
Irianto, 2006.
2.5.2 Bakteri Staphylococcus epidermidis
Sistematika bakteri Staphylococcus epidermidis menurut Irianto 2006 adalah sebagai berikut:
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Micrococaceae
Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus epidermidis
Stafilokokus merupakan sel gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur. Staphylococcus
epidermidis membentuk koloni berupa abu-abu sampai putih, non patogen, koagulasi negatif, memfermentasi glukosa, dapat bersifat aerob dan anaerob
fakultatif. Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal pada kulit. Infeksi stafilokokus lokal tampak sebagai jerawat, infeksi folikel rambut atau abses,
Universitas Sumatera Utara
terdapat juga sebagai reaksi inflamasi yang kuat dan terlokalisir Jawetz dkk., 1996.
2.6 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa
bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral pelikan.
Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan baku proses pembuatan ekstrak, baik sebagai bahan obat atau sebagai produk. Ekstrak tumbuhan obat dapat berfungsi
sebagai bahan baku obat tradisional atau sebagai produk yang dibuat dari simplisia.
Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan sebagai berikut : a. Pengumpulan bahan baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda tergantung pada bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman atau bagian tanaman pada saat
panen, lingkungan tempat tumbuh. Waktu panen saat erat hubungannya dengan pembentukkan senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan panen. Waktu
panen yang tepat pada saat tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang besar.
b. Sortasi basah Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan
asing lainnya dari bahan simplisia. c. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya yang lengket pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih,
Universitas Sumatera Utara
misalnya air dari mata air atau air sumur. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut dicuci dengan air mengalir, pencucian dilakukan dengan waktu
sesingkat mungkin. d. Perajangan
Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat perajangan khusus sehingga diperoleh rajangan tipis atau dengan potongan ukuran yang dikehendaki,
semakin tipis bahan yang akan dikeringkan semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat proses pengeringan simplisia. Tetapi irisan yang terlalu
tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang
diinginkan. e. Pengeringan
Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan
mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatis akan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia.
f. Sortasi kering Sortasi kering setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir
pembuatan simplisia. Tujuannnya adalah untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran
lainnya yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Tahap ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus untuk kemudian disimpan.
g. Pengepakan dan penyimpanan Simplisia dapat rusak, mundur atau berubah mutunya karena berbagai
faktor luar dan dalam antara lain : cahaya, oksigen, reaksi kimia intern, dehidrasi,
Universitas Sumatera Utara
penyerapan air, pengotoran, serangga, kapang. Selama penyimpanan ada kemungkinan terjadi kerusakan pada simplisia. Kerusakan tersebut dapat
mengakibatkan kemunduran mutu, sehingga simplisia tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Oleh karena itu pada penyimpanan simplisia yaitu
dilakukan dengan cara pengepakan, pembungkusan dan pewadahan, persyaratan gudang simplisia, cara sortasi dan pemeriksaan mutu serta cara pengawetannya.
Penyebab kerusakan pada simplisia yang utama adalah air dan kelembapan.
2.7 Ekstraksi