Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

15

3.2 Pembahasan

Tingkat kelangsungan hidup merupakan salah satu parameter keberhasilan dalam pemeliharaan ikan. Nilai kelangsungan hidup yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar 48,04 hingga 77,63 . Menurut Suresh dan Lin, 1992 kelangsungan hidup erat hubungannya dengan peningkatan padat penebaran karena peningkatan kepadatan ikan meningkatkan jumlah buangan yang dihasilkan yang selanjutnya akan menurunkan kualitas air. Pada penelitian ini peningkatan kepadatan diikuti penurunan kelangsungan hidup, bahkan kelangsungan hidup tertinggi dicapai pada padat penebaran 3000 ekorm 3 dengan benih sendiri BS Gambar 2. Sesuai dengan pendapat Hogendoorn dan Koops 1983 bahwa kelangsungan hidup bersifat relatif, artinya bahwa padat penebaran ikan yang meningkat belum tentu nilai kelangsungan hidupnya akan menurun. Pada penelitian ini nilai kualitas air masih dalam kisaran yang dapat ditolerir ikan Tabel 1, sehingga kematian ikan yang terjadi pada penelitian ini diduga karena ikan lele terserang penyakit. Sehari setelah diberi perlakuan, benih dari luar BL sudah memperlihatkan tanda-tanda sakit dan kematian ikan mulai terjadi pada hari ketiga setelah penebaran pada seluruh perlakuan kepadatan yang menggunakan benih dari luar. Kematian meningkat tajam hingga hari ke 8. Hasil identifikasi bakteri yang berasal dari luka borok dan ginjal ikan lele yang sakit menggunakan media TSA memperlihatkan koloni yang tumbuh pada media TSA merupakan bakteri A. hydrophila dan Acinetobacter. Bakteri A. hydrophila merupakan jenis bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit sistemik merusak sel dan jaringan dalam tubuh yang dapat menimbulkan kematian secara masal. Bakteri ini berbentuk batang pendek berukuran 2-3 mikron, bergerak dengan rambut getar dan bersifat gram negatif. Bakteri ini sering berlimpah pada perairan yang mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi yang berasal dari adanya pakan yang berlebihan dan feses ikan. Ikan lele terserang bakteri A. hydrophila dapat dilihat dari gejala yang ditimbulkan pada ikan yang telah mati yaitu adanya luka borok dan bercak merah dan pembengkakan pada rongga perut, kumis rontok, serta mulut luka-luka. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kabata 1985 bahwa bakteri A. hydrophila dapat ditemukan pada luka infeksi, hati dan ginjal ikan lele. Gejala klinis akibat serangannya antara lain membengkaknya rongga perut oleh 16 cairan, borok yang ditandai dengan luka pada kulit dan otot, haemorrhagic septicaemia yang disebut juga infectious dropsy. Bakteri A. hydrophila dapat menyebabkan kematian sampai 100 setelah satu minggu ikan terinfeksi Amlacher, 1970. Sedangkan Acinetobacter merupakan bakteri gram negatif yang berasal dari kondisi yang tidak steril yang dapat ditemukan secara bebas di tanah dan air. Bersifat aerobik dan dapat menyebabkan kematian hingga 75 . Bakteri ini dapat diisolasi dari makanan terutama hasil olahan binatang dan dari kulit manusia normal. Dapat pula didapatkan dari membran mukosa, sekresi vagina, sputum, urin, feces ataupun dari lingkungan rumah sakit Wahyutomo, 2010 Mortalitas Gambar 2 terjadi pada semua perlakuan, namun dapat dilihat bahwa kematian di awal pemeliharaan banyak dialami oleh benih ikan lele yang berasal dari luar yaitu pada bak 3, 5, dan 6. Sedangkan benih sendiri pada bak 1, 2, dan 4 baru mengalami kematian pada akhir pemeliharaan. Hal tersebut dikarenakan benih dari luar sudah terkena penyakit pada saat ikan ditebar. Selain itu ikan lele yang berasal dari luar diduga merupakan benih yang memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan tidak mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan yang baru. Kematian yang terjadi pada lele yang berada pada bak 1, 2, dan 4 diduga karena tertular penyakit oleh lele yang berada pada bak 3, 5, dan 6 melalui air dalam sistem resirkulasi yang digunakan. Upaya manajemen kesehatan ikan sudah dilakukan sejak ikan menunjukan ciri-ciri terkena penyakit, dimulai dengan pemberian pakan yang dicampur dengan Oxytetracycline OTC yang kemudian diberikan kepada benih ikan lele yang berasal dari luar pada bak 3, 5, dan 6 sejak hari ke 2 pemeliharaan hingga hari ke 11, dimana pada hari ke 4 pemberian pakan ditambahkan dengan vitamin C tetapi belum menunjukan adanya perbaikan kondisi pada benih, kemudian hari ke 5 dan 6 dilakukan treatment air menggunakan larutan Kalium Permanganat PK tetap belum menunjukan adanya perubahan yang lebih baik, lalu pada hari ke 7 dilakukan pergantian air dan diberikan kembali pakan obat pada hari ke 8 yang dicampurkan dengan Cyprofish. Perubahan kondisi ikan baru terjadi pada hari ke 11 dengan adanya penurunan nilai kematian pada benih ikan lele yang berasal dari luar. Seiring dengan berkurangnya nilai kematian pada benih yang berasal dari 17 luar, terjadi penurunan nafsu makan pada benih sendiri dihari ke 10 yang menyebabkan terjadinya kematian ikan. Hal ini diduga karena benih sendiri tertular penyakit dari benih luar melalui sistem resirkulasi yang digunakan. Kemudian dilakukan kembali pemberian pakan yang dicampurkan dengan bawang putih dan Cyprofish pada benih sendiri sejak hari ke 10 dan pada hari ke 12 hanya diberikan campuran pakan dengan Cyprofish. Keadaan terus membaik hingga kematian berkurang pada hari ke 20 Lampiran 9. Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran baik berat maupun panjang dalam suatu periode atau waktu tertentu. Selama pemeliharaan, berat dan panjang benih ikan lele menunjukan peningkatan untuk setiap kepadatan. Pada saat penebaran panjang rata-rata benih adalah 5,322 ± 0,165 cm, setelah mengalami pemeliharaan selama 21 hari bertambah menjadi 11,038 ± 0,535 cm. Demikian pula dengan berat ikan lele mengalami peningkatan, pada saat penebaran berat rata-rata benih adalah 1,415 ± 0,104 gram, setelah 21 hari pemeliharaan bertambah menjadi 11,842 ± 1,751 gram. Pertumbuhan ikan mengalami penurunan dengan semakin meningkatnya kepadatan ikan karena pada kepadatan tinggi tingkat persaingan ikan untuk mendapatkan pakan juga meningkat, sedangkan pemanfaatan pakan oleh ikan untuk pertumbuhan menurun Suresh dan Lin, 1992. Laju pertumbuhan tertinggi terdapat pada ikan lele dengan padat penebaran 2500 ekorm 3 sebesar 11,82 pada benih sendiri, sedangkan nilai terendah terdapat pada ikan lele dengan padat penebaran 3000 ekorm 3 sebesar 9,88 dengan benih dari luar. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Hickling 1971 bahwa pertumbuhan ikan akan lebih cepat bila dipelihara pada padat penebaran rendah dan sebaliknya pertumbuhan ikan akan lambat bila padat penebarannya tinggi. Hal ini diduga karena adanya hubungan antara individu ikan yang setiap saat mengeluarkan bahan buangan kedalam media pemeliharaan, yang mempengaruhi proses metabolisme dan kehidupannya. Laju pertumbuhan yang lambat dapat disebabkan oleh kondisi air, khususnya oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut optimal harusnya berada di atas 3 mgL agar ikan tumbuh dengan normal Rahman et al., 1992. Namun pada kondisi kandungan oksigen terlarut di bawah 3 mgL, ikan lele akan mengoptimalkan kerja alat pernapasan tambahan arboresence organ untuk mengambil oksigen dari udara agar pertumbuhan tetap 18 berjalan. Gerakan naik turun ikan di kolom air pada saat pengambilan oksigen dari udara menyebabkan energi banyak digunakan untuk pergerakan sehingga mengurangi energi pertumbuhan Widiyantara, 2009. Selain itu pada padat penebaran yang tinggi ikan akan memperoleh ruang gerak lebih sempit dan menimbulkan kondisi kurang nyaman bagi ikan. Berdasarkan biomas ikan pada saat penebaran dan panen dan lamanya pemeliharaan dapat dihitung nilai yield laju pertumbuhan biomas. Pada penelitian ini masing-masing perlakuan memiliki nilai yang berbeda, dengan nilai tertinggi terdapat pada kepadatan 3000 ekorm 3 pada benih sendiri Lampiran 10. Hal ini sesuai dengan pendapat Hepher dan Pruginin 1981 bahwa peningkatan kepadatan akan diikuti dengan peningkatan pertumbuhan biomas yield walaupun pertumbuhan menurun, selama kecepatan penurunan itu lebih rendah dari kecepatan peningkatan kepadatan. Peningkatan kepadatan ikan dalam wadah pemeliharaan tidak akan mempengaruhi pertumbuhan apabila pakan mencukupi dan lingkungan baik, sehingga yield meningkat. Dengan demikian, untuk mendapatkan ikan yang berukuran 10-12 cm optimasi pemanfaatan wadah masih dapat dilakukan melalui peningkatan kepadatan ikan melebihi 3000 ekor per m 3 . Koefisien keragaman dipengaruhi kepadatan. Ikan lele tergolong ikan agresif. Pada kepadatan yang rendah, sifat agresif itu mendapat ruang, sehingga lama kelamaan menimbulkan sifat dominan pada sebagian ikan, baik dalam mendapatkan ruang dan pakan yang juga diikuti dengan tingginya kanibalisme. Hal ini menyebabkan koefisien keragaman tinggi serta pertumbuhan dan kelnagsungan hidup yang relatif rendah pada kepadatan ikan 2000 ekor per m². Menurut Lovell 1989, jika ukuran beragam, kesempatan mendapatkan makanan akan berbeda, dimana benih yang berukuran besar mendapatkan kesempatan mengusai makanan dari pada ikan kecil karena ditunjang ukuran tubuhnya. Efisiensi pakan menggambarkan persentase pertambahan bobot ikan dalam setiap pemberian1kg pakan. Efisiensi pakan yang diperoleh pada masing-masing perlakuan berkisar antara 96,27-124,59. Rata-rata tingkat efisiensi pakan paling tinggi dicapai pada padat penebaran 2500 ekorm 3 sebesar 124,59 dari benih sendiri. Sedangkan nilai terendah terdapat pada padat penebaran 3000 ekorm 3 dengan benih yang berasal dari luar. Pola ini sama dengan pertumbuhan, sehingga 19 dapat dikatakan bahwa pakan yang diberikan untuk setiap perlakuan, yang secara at satiation mencukupi, hanya saja respon pertumbuhannya berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Allen 1974, secara umum peningkatan kepadatan selain akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan juga akan mempengaruhi terhadap efisiensi pakan. Limbah budidaya ikan lele ini ditampung di kolam pemeliharaan ikan nila. Diduga limbah ini menumbuhkan pakan alami yang tidak saja dimanfaatkan oleh nila, melainkan juga ikut aliran pompa memasuki bak pendederan lele dan dimanfaatkan lele, sehingga menyebabkan tingkat efisiensi pakan yang lebih dari 100 . Secara keseluruhan sistem resirkulasi yang digunakan dalam pemeliharaan dapat mendukung kegiatan pendederan sebanyak 15000 ekor hingga mencapai ukuran 10-11 cm dengan bobot rata-rata 10-13 gram. Meskipun secara umum terjadi fluktuasi yang masih berada dalam batas toleransi untuk kehidupan benih lele. Hal ini dimungkinkan karena beberapa nilai parameter kualitas air yang masih berada pada kisaran yang mampu ditoleransi oleh ikan lele. Dari data kualitas air pada sistem resirkulasi dapat disimpulkan bahwa unit pengolahan limbah yang digunakan, khususnya filter biologi berupa ikan nila dapat berfungsi dengan baik. Hal tersebut dibuktikan dengan data kualitas air yang berbeda diantara sampel air yang diambil pada bak pemeliharaan, outlet, dan inlet khususnya pada nilai TAN Lampiran 11. Secara keseluruhan nilai kualitas air yang diambil dari inlet menuju bak pameliharan memiliki nilai yang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan kualitas air yang berada pada bak pemeliharaan dan outlet sehingga didapatkan penurunan nilai TAN yang mencapai nilai efisiensi resirkulasi sebesar 58,90 Lampiran 12. Hal ini menunjukan bahwa sistem filter yang digunakan memperlihatkan hasil yang positif dengan mengurangi nilai TAN dalam air. Spotte 1979 dan Stickney 1993 dalam Saptoprabowo 2000 menyatakan bahwa fungsi utama filter biologis adalah merubah amoniak NH 3 yang bersifat toksik atau beracun bagi ikan menjadi nitrat NO 3 - yang relatif tidak berbahaya. Fungsi ini dapat berjalan diduga disebabkan karena adanya bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter. Salah satu parameter kualitas air yang memberikan pengaruh besar pada perlakuan perbedaan padat penebaran tersebut adalah kandungan oksigen terlarut. 20 Nilai kandungan oksigen terendah terdapat pada padat penebaran 3000 ekorm 3 dengan nilai 1,1 mgL. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hepher dan Pruginin 1981 dan Boyd 1990 bahwa menurunnya kandungan oksigen terlarut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain jumlah dan ukuran ikan yang dipelihara. Semakin tinggi padat penebaran maka kebutuhan oksigen yang dibutuhkan semakin meningkat karena jumlah ikan semakin banyak. Meskipun nilai tersebut sangat kecil, namun masih berada pada kisaran toleransi ikan lele untuk tetap tumbuh. Hal ini dapat terjadi karena ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan berupa arborescent organ yang memungkinkan benih ikan lele untuk mengambil oksigen secara langsung dari udara Zonneveld et al., 1991 Kadar amoniak selama pemeliharaan pada masing-masing perlakuan memiliki nilai yang tidak berbeda jauh. Nilai amoniak tertinggi terdapat pada kepadatan 3000 ekorm 3 sebesar 0,2568 mgL. Kadar amoniak sebaiknya kurang dari 0,1 mgL, walaupun tingkat toleransi ikan terhadap amoniak NH3 pada umumnya adalah 0,05-2,0 mgL Wedemeyer, 2001. Kandungan amoniak akan menjadi toksik jika kandungan oksigen di air rendah, oleh karena itu volume pergantian air pada sistem resirkulasi akan berpengaruh terhadap peningkatan kadar oksigen terlarut yang terbawa oleh air yang baru masuk. Pengaliran air dengan sistem resirkulasi dapat membantu meningkatkan kadar oksigen terlarut didalam air. Selain itu dengan air mengalir dalam sistem resirkulasi dapat membantu mengangkut kotoran-kotoran fisik seperti feses dan sisa pakan Saptoprabowo, 2000. McLean et al. 1993 menyatakan bahwa pada sistem budidaya yang memanfaatkan aliran air, deplesi oksigen lebih sering menjadi faktor pembatas kepadatan daripada akumulasi limbah budidaya. Cara yang mudah untuk memenuhi kebutuhan oksigen serta mengurangi akumulasi amoniak dari padatan terlarut di air adalah menyediakan wadah budidaya dengan aliran air yang besar dengan kualitas yang baik. Masukan air yang sesuai akan dapat mensuplai oksigen dan dapat membersihkan kotoran yang ada. 21

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan Kinerja produksi yang optimal dan efisien dalam percobaan ini adalah perlakuan padat penebaran 3000 ekorm 3 pada benih sendiri BS dengan kelangsungan hidup sebesar 77,63 , laju pertumbuhan harian sebesar 11,09 , dan efisiensi pakan sebesar 119,37 .

4.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk produksi pendederan lele ukuran 5 cm pada padat penebaran 3000 ekorm 3 menggunakan benih yang diperoleh dari hasil produksi sendiri BS. Namun, produksi optimal masih dapat ditingkatkan hingga 5000 ekorm 3 pada sistem resirkulasi dengan manajemen yang lebih baik.

Dokumen yang terkait

PEMANFAATAN Azolla sp. PADA SISTEM RESIRKULASI YANG BERBEDA DALAM PEMELIHARAAN BENIH IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

1 12 31

Pengaruh Padat Penebaran terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) pada Pendederan Menggunakan Sistem Resirkulasi dengan Debit Air 22 L/menit/m³

0 6 68

Pengaruh Padat Penebaran tehadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) dalarn Sistem Resirkulasi dengan Debit Air 33 lpm/m³

0 18 74

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Lele Dumbo Clarias Sp. Pada Padat Penebaran 15, 20, 25, Dan 30 Ekor/Liter dalam Pendederan Secara Indoor dengan Sistem Resirkulasi

0 10 58

Kinerja Produksi Pendederan Lele Sangkuriang Clarias sp. pada Padat Penebaran 35, 40, 45 dan 50 ekor/liter dengan Ketinggian Media 30 cm

0 2 82

Kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan sidat Anguilla marmorata ukuran 1 gram dalam sistem resirkulasi pada padat penebaran berbeda

0 3 28

Pengaruh Padat Penebaran Dengan Ukuran Yang Berbeda Pada Sistem Pendederan Terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Ikan Lele Clarias

0 4 29

Kinerja Probiotik Bacillus Sp. Pada Pendederan Benih Ikan Lele (Clarias Sp.) Yang Diinfeksi Aeromonas Hydrophila

0 5 33

PERTUMBUHAN BENIH IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN PADAT PENEBARAN YANG BERBEDA PADA WADAH RESIRKULASI African catfish (Clarias gariepinus) seed growth with different stocking density on recirculation container

0 0 7

PENGARUH PADAT PENEBARAN YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN BENIH IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias gariepinus) DI BALAI BENIH IKAN (BBI) KOTA GORONTALO PROVINSI GORONTALO

0 0 8