menggunakan belahan bambu yang diikat satu sama lain hingga membentuk sebuah kotak. Kotak tersebut kemudian ditutup dengan kain putih sebagai tempat
menempel serangga yang datang. Pada saat digunakan, perangkap tersebut diletakkan di tengah-tengah plot. Sumber cahaya yang digunakan adalah lilin
berdiameter 51.95 mm yang diletakkan di tengah kotak perangkap. Penangkapan dengan tangan bertujuan untuk mengumpulkan jenis serangga
di dalam plot yang bukan termasuk jenis serangga yang sensitif terhadap cahaya. Cara ini terutama dilakukan untuk mendapatkan jenis serangga yang berada di
tempat yang tersembunyi seperti di bawah daun atau untuk mendapatkan serangga dari berbagai stadia larva, nimfa dan imago. Selain itu, metode ini juga
digunakan untuk mendapatkan jenis serangga yang merayap pada batang pohon. Serangga yang telah berhasil ditangkap di lapangan kemudian dikumpulkan
di dalam plastik spesimen untuk penampungan sementara. Serangga-serangga tersebut kemudian dimatikan dengan menyuntikkan larutan alkohol 70 ke
bagian tubuhnya dan diawetkan ke dalam larutan alkohol 70. Awetan serangga tersebut kemudian dibawa ke Laboratorium Entomologi, Fakultas Kehutanan IPB
untuk dilakukan identifikasi, penghitungan jumlah individu per jenis yang tertangkap dan pengukuran dimensi serta volume.
3.5. Analisis Data 3.5.1. Identifikasi dan Pengelompokkan Jenis Pakan
Pakan yang telah berhasil dikeluarkan dari dalam lambung sampel kemudian diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi serangga Borror
et al. 1996 sampai tingkat ordo dan dikelompokkan berdasarkan kelompoknya
serangga: larva dan imago, laba-laba, tumbuhan, dll. Data yang terkumpul dianalisis secara tabulatif dan deskriptif.
3.5.2. Volume dan Dimensi Pakan
Volume pakan dihitung dengan menggunakan rumus untuk ellipsoid Dunham 1983 diacu dalam Hirai dan Matsui 2000.
2
2 2
3 4
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎝ ⎛
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎝ ⎛
= W
L V
π
Keterangan: V :
Volume mm
3
L : Panjang
mm W :
Lebar mm
3.5.3. Korelasi Antara Ukuran Tubuh Spesimen dengan Volume Pakan
Untuk mengetahui hubungan antara ukuran tubuh spesimen SVL dengan volume pakan yang dimanfaatkan, maka dilakukan uji korelasi dengan
menggunakan persamaan korelasi Product Moment Pearson diacu dalam Sugiono 2005, sebagai berikut:
[ ]
[ ]
∑ ∑
∑ ∑
∑ ∑
− −
− =
2 2
2 2
i i
i i
i i
i i
y y
n x
x n
y x
y x
n r
Keterangan: r
= Koefisien korelasi contoh n = Jumlah Unit Contoh
x = Panjang Tubuh SVL y =
Volume pakan
Pada taraf kepercayaan sebesar α, tolak H
jika: a. t
≤ -t
α2, n-2
atau b. t ≥ t
α2, n-2
Kemudian untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan volume pakan yang digunakan oleh individu jantan dan betina R. margaritifer, maka dilakukan
uji t-student dengan persamaan 3. Hipotesis:
H : Tidak ada perbedaan volume pakan yang digunakan oleh jantan dan betina
H
1
: Terdapat perbedaan volume pakan yang digunakan oleh jantan dan betina Pada selang kepercayaan
α, tolak H jika:
a. t ≤ t
α2.n+m-2
atau b. t ≥ t
α2.n+m-2
…………………….. 1
……….. 2
2
1 2
1 2
2 1
1 2
− +
− +
− =
∑ ∑
∑ ∑
= =
= =
m n
m y
y n
x x
Sp
m i
m i
i i
n i
i n
i i
,
2
1 2
r n
r t
− −
=
Keterangan: : Rata-rata volume pakan jantan
: Rata-rata volume pakan betina n : Jumlah unit contoh volume pakan jantan
m : Jumlah unit contoh volume pakan betina Sp : Simpangan baku
3.5.4. Komposisi Pakan
Analisis komposisi pakan R. margaritifer dilakukan dengan menghitung jumlah jenis pakan yang dikeluarkan dari lambung spesimen. Kemudian dihitung
frekuensi masing-masing jenis pakan tersebut. Persentase komposisi pakan yang digunakan oleh R. margaritifer dihitung menggunakan persamaan:
100 ×
= N
q P
i i
Keterangan: P
i
: Jenis pakan ke-i N
: Jumlah seluruh pakan q
i
: Jumlah jenis pakan ke-i
3.5.5. Kelimpahan Pakan
Kelimpahan relatif masing-masing jenis pakan R. margaritifer baik di habitat maupun di dalam lambungnya dihitung dengan menggunakan persamaan:
100 ×
=
uhsp totalselur
totalspi
D D
DR
Keterangan: D :
Densitas DR :
Densitas Relatif
Hubungan antara kelimpahan relatif pakan R. margaritifer di habitat dan di dalam lambung diuji dengan menggunakan persamaan korelasi Product Moment
Pearson diacu dalam Sugiono 2005 pada persamaan 2.
…….. 3
………………... 4
………………………… 5
3.5.6. Pemilihan Pakan
Untuk mengetahui apakah R. margaritifer merupakan satwa oportunis atau bukan, dilakukan analisis hubungan antara kelimpahan pakan di dalam lambung
spesimen dengan kelimpahan relatif pakan yang tersedia di habitatnya. Analisis dilakukan dengan mengkalkulasi nilai Koefisien Korelasi Kendall
τ antara kelimpahan relatif serangga pakan dengan pakan yang ditemukan Herve 2007.
[ ]
1 ,
2 1
2 1
− ×
− =
∆
N N
p p
d
τ
Keterangan: P
1
: Jenis ketersediaan pakan
R. margaritifer yang berhasil dikumpulkan
P
2
: Jenis pakan yang ditemukan di lambung
R. margaritifer
: Jumlah jenis pakan yang berbeda antara P
1
dan P
2
N : Jumlah
objek τ
: Kendall’s Rank Coeffisien Correlation
Nilai yang dihasilkan dari analisis dengan Kendall tau berkisar antara -1 sampai +1. Dalam hubungannya dengan pemilihan pakan, maka:
- Jika -1
≤ τ 0 berarti R. margaritifer
merupakan satwa spesialis
-
Jika 0 ≤ τ ≤ 1 berarti
R. margaritifer
merupakan satwa oportunis
3.5.7. Relung
Ukuran relung yang digunakan oleh R. margaritifer dihitung berdasarkan jumlah sumberdaya pakan yang digunakan oleh spesies tersebut. Persamaan yang
digunakan untuk melakukan analisis adalah persamaan Index Levin’s yang telah distandarisasi 1968 yang diacu dalam Krebs 1978.
∑
=
2
1
i
p B
,
1 1
− −
= n
B B
A
………………... 6
…………………………… 7
Keterangan: B : dugaan lebar relung Levin’s
B
A
: standar lebar relung Levin’s p
j
: proporsi sumberdaya yang digunakan sebagai pakan oleh
R. margaritifer n : jumlah sumberdaya yang mungkin
Nilai standardisasi Index Levin’s berkisar antara 0 – 1. Semakin maksimum nilai yang dihasilkan, berarti semakin besar sumberdaya pakan yang digunakan
oleh spesies tersebut sehingga relung yang digunakan semakin lebar. Sebaliknya jika nilai indeks minimum, berarti semakin kecil sumberdaya pakan yang
digunakan oleh spesies tersebut sehingga relung yang digunakan semakin sempit. Tumpang tindih relung juga dihitung untuk mengetahui tingkat tumpang
tindih penggunaan relung oleh R. margaritifer jantan dan betina. Persamaan yang digunakan untuk menganalisis hal ini adalah persamaan Index Morisita 1959
dalam Krebs 1978.
∑ ∑
∑
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎣ ⎡
− −
+ ⎥
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎢ ⎣
⎡ −
− =
1 1
1 1
2
ik ik
ik j
ij ij
ik ij
N n
p N
n p
p p
C
Keterangan: C :
Index Morisita
P
ij
: Proporsi
sumberdaya i
yang digunakan oleh spesies j P
ik
: Proporsi
sumberdaya i
yang digunakan oleh spesies k n
ij
: jumlah sumberdaya ke-i yang digunakan oleh spesies ke-j n
ik
: jumlah sumberdaya ke-i yang digunakan oleh spesies ke-k N
j
N
k
: jumlah total setiap spesies yang dimanfaatkan
Nilai Indeks Morisita berkisar antara 0 – 1. Semakin maksimum nilai indeks yang dihasilkan, berarti bahwa tumpang tindih relung antar individu semakin
besar. Sebaliknya jika nilai indeks yang dihasilkan mendekati minimum maka berarti bahwa tumpang tindih relung antar individu semakin kecil.
…………………………… 8
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGP adalah salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli yang dikelola dengan
sistem zonasi untuk keperluan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjuang budaya, budidaya tumbuhan danatau satwa, pariwisata dan rekreasi. Luas kawasan TNGP
adalah 15.196 Ha dan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 174Kpts- II2003 tanggal 10 Juni 2003, kawasan TNGP mengalami perluasan dari perum
Perhutani menjadi 21.975 Ha. Topografi kawasan TNGP bervariasi mulai dari landai hingga bergunung,
dengan kisaran ketinggian antara 700 mdpl dan 3000 mdpl. Kawasan TNGP termasuk dalam tipe iklim A dengan curah hujan rata-rata 3000-4000 mm per
tahun. Kawasan ini bersuhu udara 10
o
C pada siang hari dan 5
o
C pada malam hari dengan kelembaban udara rata-rata 80-90.
Pengambilan data di dalam wilayah TNGP dilakukan di dua lokasi yaitu Curug Cibeureum dan Ciwalen. Deskripsi mengenai kondisi habitat di masing-
masing lokasi merupakan hasil pengamatan langsung yang dilakukan selama pengambilan data, ditambah dengan wawancara dengan petugas lapangan.
4.1.1 Curug Cibeureum
Curug Cibeureum merupakan daerah tertinggi yang dijadikan lokasi penelitian. Lokasi ini terletak pada ketinggian 1000 m dpl. Lokasi ini juga
merupakan jalur interpretasi ekowisata pada kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango TNGP sehingga lokasi ini memiliki tingkat gangguan oleh
aktivitas manusia cukup tinggi terutama pada akhir pekan. Di lokasi ini terdapat tiga air terjun dengan ketinggian berbeda. Air terjun utama adalah air terjun
Cibeureum Curug Cibeureum dengan ketinggian ± 30 m. Air terjun ini memiliki debit air terbesar dibandingkan dua air terjun lainnya. Ketinggian air terjun kedua
± 20 m dan merupakan air terjun dengan debit air terkecil. Air terjun ketiga merupakan air terjun tertinggi dengan ketinggian ± 40 m, namun debit air yang
mengalir tidak lebih besar dari Curug Cibeureum dan lebih besar dari air terjun