Perilaku berbiak katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii Kuhl & van Hasselt, 1822) di kampus IPB Darmaga

(1)

DI KAMPUS IPB DARMAGA

MUHAMMAD YAZID

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(Rhacophorus reinwardtii Kuhl & van Hasselt, 1822) di Kampus IPB Darmaga. Dibawah Bimbingan: (1) Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan (2) Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F

Penelitian bertujuan untuk: (1) Mengetahui faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku berbiak Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga, (2) Mengetahui sistematika atau urutan perilaku berbiak (breeding behavior) Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga yang dimulai dari pencarian pasangan sampai bertelur, (3) Mengetahui jenis-jenis suara yang dikeluarkan katak jantan yang berhubungan dengan perilaku kawin.

Sebelum penelitian, dilakukan pengamatan pendahuluan pada bulan Januari-Mei 2005 dan September-Oktober 2005 untuk melihat lokasi penyebaran Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga dan untuk melihat waktu terjadinya musim kawin. Lokasi pengamatan perilaku dilakukan di Arboretum Fahutan dan Laboratorium Lapang Konservasi Tumbuhan. Penelitian dilakukan selama tiga bulan yaitu pada bulan November 2005 sampai dengan Januari 2006. Pengamatan perilaku dilakukan mulai pukul 18.00 sampai pukul 06.00 pagi (mengikuti perilaku katak yang sedang kawin). Metode pengamatan dilakukan secara manual dengan mencari katak yang amplexus dan mencatat setiap perilaku selama masa perkembangbiakan. Suara direkam dengan menggunakan recorder digital Olympus DM-20 dan dianalisis dengan menggunakan software Gram 11 dan

Sound Forge 5.0.

Beberapa jenis tumbuhan yang sering digunakan pada saat kawin di Arboretum Fahutan adalah angsana (Pterocarpus indicus), burahol (Stelechocarpus burahol), gmelina (Gmelina arborea), tanjung (Mimosops elengi), kaliandra (Caliandra callothyrsus) dan tumbuhan bawah (talas-talasan) sedangkan di Lab. Konservasi tumbuhan digunakan matoa (Pometia pinnata), petai (Parkia speciosa), meranti (Shorea sp.) dan tumbuhan merambat.

Suhu udara selama pengamatan di lapangan pada malam hari menunjukkan kisaran 22,0-27,0oC dengan kelembaban udara berkisar antara 91-92 %. Curah hujan harian selama pengamatan menunjukkan kisaran 0-47,5 mm.

Selama pengamatan dari bulan November 2005 sampai Januari 2006 dijumpai 33 individu katak yang meliputi 25 katak jantan dan 8 katak betina, jumlah betina jauh lebih sedikit diduga bahwa katak betina mampu kawin beberapa kali dengan jantan yang berbeda (poliandri). Katak yang amplexus ditemukan sebanyak 9 pasang (5 pasang di Arboretum Fahutan dan 4 pasang di Laboratorium Konservasi Tumbuhan). Berdasarkan data perjumpaan dengan sarang yang ada di dua lokasi pengamatan yang digabungkan dengan perjumpaan katak yang amplexus maka jumlah perkawinan yang terjadi selama 3 bulan pengamatan sebanyak 21 pasang.

Rata-rata ukuran tubuh katak yang melakukan amplexus adalah: katak betina 72,94 mm dengan berat 32,75 g (n = 3) sedangkan katak jantan berukuran 46,56 mm dengan berat 17,56 g (n = 4).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku berbiak Katak pohon hijau adalah suhu udara, curah hujan, jumlah hari hujan, kelembaban, jumlah dan tipe suara katak jantan.


(3)

meletakkan sarang di atas tanah dengan lokasi di Arboretum Fahutan.

Urutan perkembangbiakan Katak pohon hijau dimulai dari (a) Panggilan suara (acoustical communication) oleh katak jantan, (b) Pertunjukkan gerakan (display; visual communication) oleh jantan dan betina, (c) Amplexus, (d) Pelepasan telur dan (e) Penutupan telur. Perbedaan sistematika berbiak pada kedua lokasi penelitian hanya terletak pada pemilihan tempat untuk meletakkan telur (foam). Periode perkembangbiakan Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga mengikuti pola musim hujan yaitu pada bulan November-April.

Beberapa gangguan yang umumnya terjadi antara lain adalah gangguan dari

intruder (jantan penggangu). Gangguan intruder terjadi pada pasangan katak yang sedang kawin di Lab. Konservasi Tumbuhan. Gangguan dari intruder berupa gangguan terhadap pasangan yang telah amplexus dimana ada jantan lain yang ingin ikut kawin dan berusaha untuk naik ke tubuh pasangan. Beberapa gangguan lain yang dapat menggagalkan perkembangbiakan adalah gangguan predator (ular) dan hujan yang lebat pada saat katak sedang amplexus.

Katak pohon hijau memiliki 6 tipe suara selama periode berbiak yaitu panggilan kawin pendek (short advertisement call), panggilan kawin panjang (long advertisement call), suara jantan saat amplexus (amplexus call), suara untuk menyatakan teritori (teritorial call), suara katak jantan saat berkelahi dengan pasangan amplexus (fight call/ distress call) dan gabungan antara beberapa tipe suara dasar. Frekuensi dominan berkisar antara 477-2108 Hz dengan spectrum level berkisar antara 44-58 dB/Hz.

Sehubungan dengan hasil penelitian yang didapat penulis menyarankan perlunya penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor fisik yang menyebabkan perubahan perilaku dari sarang yang diletakkan diatas daun menjadi diletakkan diatas tanah. Selain itu juga perlu untuk diketahui keberhasilan dari strategi perkembangbiakan yang dilakukan oleh Katak pohon hijau terutama di Arboretum Fahutan.


(4)

Darmaga

Nama Mahasiswa : Muhammad Yazid

NRP : E34102011

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Menyetujui,

Pembimbing I,

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si

Pembimbing II,

Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F NIP: 131 878 493 NIP: 131 781 160

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP: 131 430 799


(5)

DI KAMPUS IPB DARMAGA

MUHAMMAD YAZID

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(6)

Penulis dilahirkan di Tanjung Pura, 7 Juni 1984. Merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Nazmi Athar dan Fauziah.

Pendidikan Taman Kanak-kanak dimulai pada umur 4 tahun. Kemudian melanjutkan Sekolah Dasar di Tanjung Gading pada SD 016397 Kec. Air Putih. Pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama dilanjutkan di Tebing Tinggi pada SLTP Negeri 1 Tebing Tinggi dan dilanjutkan dengan Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Tebing Tinggi dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis mengikuti Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.

Selama kuliah di IPB penulis aktif di beberapa kegiatan kemahasiswaan antara lain di HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata), Amphibian and Reptil Conservation Working Group - Indonesian (Kelompok Kerja Konservasi Amfibi dan Reptil Indonesia),

Indonesian Turtles Conservation Group (Kelompok Konservasi Kura-kura Indonesia) dan pernah menjabat sebagai ketua Kelompok Pemerhati Herpetofauna-HIMAKOVA pada tahun 2005. Pada tahun yang sama di bulan Juli penulis melakukan kegiatan Forest Partnership Program kerjasama antara HIMAKOVA dan Tropenbos International di Taman Nasional Betung Kerihun.

Penulis juga telah melakukan beberapa praktek lapangan antara lain: Magang Mandiri di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) serta Praktek Kerja Lapangan Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pada bulan Februari-Maret 2006.

Dalam dua tahun terakhir penulis memulai pendalamannya dalam bidang konservasi amfibi khususnya katak dan telah beberapa kali ikut sebagai volunteer

untuk penelitian katak di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, nikmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Perilaku Berbiak Katak Pohon Hijau (Rhacophorus reinwardtii Kuhl & van Hasselt, 1822) di Kampus IPB Darmaga” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di bawah bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F.

Penelitian mengenai amfibi sangat jarang dilakukan di Indonesia, oleh sebab itu penulis mencoba untuk menggali sedikit informasi mengenai aspek ekologi amfibi di Indonesia. Salah satu aspek ekologi tersebut adalah perilaku berbiak.

Pemilihan Kampus IPB Darmaga sebagai lokasi penelitian didasarkan pada tingginya keanekaragaman jenis hayati baik flora ataupun fauna yang ada di Kampus IPB Darmaga. Beberapa jenis satwa yang ada di Kampus IPB Darmaga sudah menunjukkan tanda-tanda hilang dari Kampus IPB Darmaga. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena hilangnya satwa tersebut merupakan suatu indikasi terjadinya kepunahan lokal. Selain itu penelitian juga didasari oleh rencana pembangunan kampus konservasi yang digusung oleh Departeman Konservasi dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Semoga harapan dalam membangun Kampus IPB sebagai kampus konservasi dapat terwujud dengan tambahan informasi dari penelitian yang dilakukan di Kampus IPB Darmaga.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna baik dari segi penyajian isi materi dan tata bahasa. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2006


(8)

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang selama ini telah mambantu baik dalam bentuk moril maupun materi, terutama kepada:

1. Ayah dan Mama atas kasih sayang, dukungan, perhatian dan doanya serta kedua adik penulis Jiji dan Bitah.

2. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dorongan, nasehat dan kesempatan belajar di lapangan hingga selesainya tulisan ini.

3. Ir. Dones Rinaldi, M.Sc.F selaku pembimbing kedua yang telah memberikan wawasan dan bantuan dalam menganalisis suara serta sarannya dalam penyempurnaan tulisan.

4. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS dari Departemen THH dan Ir. Endang A. Husaini dari Departemen Silvikultur selaku dosen penguji komprehensif

5. Rika Sandra Dewi yang dengan senang hati memberikan keceriaan, senyuman, semangat dan bantuan yang tiada hentinya.

6. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA atas waktu yang diberikan untuk berdiskusi, saran, wejangan dan wawasan.

7. Lutfi R. Yusuf dan Feri Irawan yang selalu membantu dilapangan dan siap kapan saja jika dibutuhkan.

8. Teman-teman di Kelompok Pemerhati Herpetofauna atas semangatnya. 9. Bapak-Ibu dosen Departemen KSH atas segala ilmu dan bantuannya. 10.Bapak/Ibu di KPAP Departemen KSH yang senantiasa membantu

pengurusan administrasi.

11.Bapak George Saputra (IRATA) atas bantuan dana penelitiannya. 12.Wally van Sickle dan Idea Wild atas bantuan alat-alat lapangan.

13.Teman-teman di Wisma Anggrek (Nunung Khusnul, Febri Indraswari, Dwi Yandhi dan Lugina) serta Mr. Rahmad P.W dan Mr. Izal yang selalu tersenyum.

14.Mas Insan kurnia S.Hut atas persaudarannya, semoga sukses selalu. 15.Teman-teman di Pondok AA atas segala keluh kesah.


(9)

16.Agus Ryansah yang telah memberikan waktu berdiskusi dan ide-ide cerdasnya.

17.Udi Kusdinar dan M. Jamaludin yang telah membantu selama pelaksanaan seminar.

18.Seluruh teman-teman di KSH 39 yang tetap semangat, kompak dan persaudaraan yang selama ini harus tetap dipertahankan.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Bogor, Agustus 2006


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

UCAPAN TERIMAKASIH... ii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

C. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi ... 3

B. Morfologi... 4

C. Habitat dan Penyebaran ... 5

D. Perilaku Amfibi 1. Perilaku Percumbuan ... 7

2. Perilaku Kawin ... 8

3. Perilaku Bersarang... 9

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas 1. Arboretum Fahutan... 11

2. Laboratorium Konservasi Tumbuhan ... 11

B. Keadaan Kawasan 1. Kondisi Fisik... 12

2. Kondisi Biotik a. Flora... 12

b. Fauna ... 12

IV. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

B. Alat dan Bahan ... 15 C. Pengumpulan data


(11)

1. Data Primer... 15

2. Data Sekunder... 17

D. Analisa Data ... 17

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Faktor Lingkungan 1. Kondisi Habitat... 18

2. Suhu Udara, Kelembaban dan Curah Hujan... 19

3. Keasaman (pH) dan Beberapa Parameter Fisik Lainnya... 20

B. Perilaku Berbiak (Breeding behaviour) 1. Musim dan Waktu Berbiak... 21

2. Jumlah Katak Berbiak dan Lokasi Berbiak a. Jumlah Katak Berbiak... 24

b. Lokasi Berbiak ... 26

C. Percumbuan dan Amplexus 1. Tata Urutan Kawin Katak pohon hijau di Arboretum Fahutan ... 29

2. Tata Urutan Kawin Katak pohon hijau di Laboratorium Konservasi Tumbuhan ... 32

D. Suara (Vocallizations) ... 37

E. Upaya Konservasi ... 46

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 47


(12)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman 1. Perbandingan ukuran panjang tubuh/ SVL Katak pohon hijau... 5 2. Keadaan suhu udara, kelembaban dan curah hujan harian pada saat

pengamatan ... 19 3 Waktu terjadinya amplexus pada periode perkembangbiakan Katak

pohon hijau di Kampus IPB Darmaga ... 24 4. Ukuran panjang tubuh/ SVL (Snout Vent Lenght) dan berat badan

pasangan katak yang kawin... 26 5. Pembagian waktu dari tiap urutan perkawinan pasangan katak pohon

hijau yang berbiak ... 31 6. Pemilihan substrat untuk bersuara ... 37


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Bentuk kaki depan Katak pohon hijau ... 4

2. Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii) ... 4

3 Peta penyebaran Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii)... 6

4. Potret udara kampus IPB Darmaga dan lokasi penelitian... 14

5. Kondisi habitat Katak pohon hijau... 18

6. Curah hujan di Kampus IPB Darmaga bulan November 2005- Februari 2006 ... 20

7. Grafik curah hujan rataan bulanan tahun 2004-2005 dan Januari-Mei 2006 wilayah Darmaga serta hubungannya dengan musim kawin ... 22

8. Grafik jumlah hari hujan bulanan tahun 2004-2005 wilayah Darmaga dan hubungannya dengan musim kawin ... 22

9. Grafik kelembaban udara rataan bulanan tahun 2004-2005 wilayah Darmaga dan hubungannya dengan musim kawin... 22

10. Aktivitas bersuara Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii) di Arboretum Fakultas Kehutanan ... 23

11. Suhu, kelembaban, curah hujan dan jumlah pasangan yang amplexus (tanpa data perjumpaan sarang) selama pengamatan mulai bulan November 2005-Januari 2006 ... 25

12. Suhu, kelembaban, curah hujan dan jumlah pasangan yang amplexus (dengan data perjumpaan sarang) selama pengamatan mulai bulan November 2005-Januari 2006 ... 25

13. Busa telur yang diletakkan di atas tanah di Arboretum Fahutan (a dan c) dan busa telur yang diletakkan di atas daun di laboratorium Konservasi Tumbuhan (b dan d) ... 27

14. Lokasi sarang yang diketahui sebagai tempat telur diletakkan di Arboretum Fahutan ... 28


(14)

No Teks Halaman 16. Ilustrasi proses perkawinan Katak pohon hijau yang dimulai dari

amplexus sampai bertelur di Arboretum Fahutan ... 30 17. Perilaku menunggu Katak pohon hijau di Arboretum Fahutan ... 32 18. Urutan perkawinan Katak pohon hijau di Laboratorium Konservasi

tumbuhan... 33 19. Perilaku salah kawin pada katak pohon hijau di Arboretum Fahutan... 35 20. Gangguan yang terjadi selama perkembangbiakan di lokasi

Laboratorium Konservasi tumbuhan... 36 21. Oscillogram, spectogram dan power spectrum suara panggilan kawin

(pendek) jantan Katak pohon hijau ... 39 22. Oscillogram, spectogram dan power spectrum suara panggilan kawin

(panjang) jantan Katak pohon hijau ... 40 23. Oscillogram, spectogram dan power spectrum suara jantan Katak

pohon hijau saat amplexus ... 41 24. Oscillogram, spectogram dan power spectrum suara teritori jantan

Katak pohon hijau ... 42 25. Oscillogram, spectogram dan power spectrum suara perkelahian

jantan Katak pohon hijau ... 43 26. Oscillogram, spectogram dan power spectrum suara gabungan antara

suara perkawinan dan suara teritori jantan Katak pohon hijau ... 44 27. Preservasi berudu Katak pohon hijau sebagai upaya mempelajari


(15)

A. Latar Belakang

Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii) adalah salah satu jenis dari marga Rhacophorus yang dapat ditemukan mulai dari semenanjung Asia sampai Sumatera, Kalimantan dan Jawa (Iskandar, 1998). Katak dari marga Rhacophorus hanya ada dua jenis di Pulau Jawa, yaitu Rhacophorus javanus

dan Rhacophorus reinwardtii. Dibandingkan Rhacophorus javanus yang umumnya dijumpai di hutan bervegetasi rapat Rhacophorus reinwardtii lebih mudah dijumpai di Pulau Jawa. Luasnya penyebaran dari Katak pohon hijau menandakan jenis ini merupakan jenis yang dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai tipe habitat.

Kampus IPB Darmaga memiliki beranekaragam jenis satwaliar. Salah satu kelompok satwaliar yang ada di Kampus IPB Darmaga adalah amfibi. Menurut Yuliana (2000), terdapat 13 jenis amfibi ordo Anura di Kampus IPB Darmaga dimana Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii) merupakan salah satu jenis katak pohon yang dapat ditemukan di Kampus IPB Darmaga.

Penyebaran Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga sangat terbatas, saat ini hanya dapat ditemukan di sebelah selatan Arboretum Fakultas Kehutanan, Laboratorium Konservasi Tumbuhan dan lapangan voli Fakultas Teknologi Pertanian. Kecilnya areal penyebaran Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga menyebabkan rentannya kelestariannya. Ancaman yang paling serius terhadap kelestarian Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga adalah perubahan habitat menjadi gedung-gedung pendidikan dan prasarana lainnya.

Perilaku satwaliar merupakan suatu tanggapan atau respon yang diberikan satwaliar terhadap suatu rangsangan yang diterimanya baik dari dalam ataupun dari lingkungannya. Perubahan kondisi habitat merupakan salah satu rangsangan yang dapat menyebabkan satwa tidak dapat berperilaku secara normal, sehingga satwaliar akan mengembangkan daya adaptasi untuk mempertahankan hidupnya. Kemampuan berbiak atau beregenerasi adalah salah satu faktor penting dalam melestarikan kelangsungan hidup suatu jenis tertentu. Ketidakmampuan dalam berbiak merupakan salah satu faktor


(16)

penyebab turunnya populasi satwaliar di alam yang dapat menyebabkan kepunahan jenis tersebut.

Perilaku berbiak Katak pohon hijau dalam mempertahankan kelestariannya di Kampus IPB Darmaga belum pernah diteliti sebelumnya. Penelitian tentang perilaku berbiak katak pohon sangat banyak dilakukan diluar Indonesia (Abrunhosa dan Wogel, 2004; Schiesari dan Hoedl, 2003; Huang et al., 2001; Morrison et al., 2001; Vaira, 2001; Biswas, 2000; Kadadevaru dan Kanamadi, 2000; Alcala, 1962) akan tetapi belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini penting dilakukan karena merupakan penelitian pertama yang membahas tentang perilaku berbiak Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii) terutama di Pulau Jawa. Penelitian ini juga sangat penting dilakukan untuk dapat membantu menentukan status konservasi jenis ini dimasa yang akan datang sehingga upaya pencegahan kepunahan terhadap jenis ini dapat dilakukan.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian memiliki tujuan:

1. Mengetahui faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku berbiak Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga.

2. Mengetahui sistematika atau urutan perilaku berbiak (breeding behavior) Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga yang dimulai dari pencarian pasangan sampai bertelur.

3. Mengetahui jenis-jenis suara yang dikeluarkan katak jantan yang berhubungan dengan perilaku kawin.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat menghasilkan masukan bagi pengelolaan Kampus IPB Darmaga khususnya dalam pengelolaan habitat bagi satwaliar terutama amfibi. Penelitian juga diharapkan sebagai pembuka wawasan dan pemacu semangat bagi mahasiswa lain ataupun pembaca untuk dapat mengenal amfibi secara lebih dalam dan mendorong untuk melakukan penelitian lainnya mengenai amfibi di Indonesia.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Taksonomi

Klasifikasi ilmiah dari Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii) berdasarkan Goin et al., (1978) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Amfibia

Ordo : Anura

Sub Ordo : Acosmanura Famili : Rhacophoridae Genus : Rhacophorus

Spesies : Rhacophorus reinwardtii Kuhl & van Hasselt, 1822 (Iskandar & Colijn, 2000).

Katak pohon hijau dinamakan sesuai dengan nama C. G. Reinwardt, seorang naturalis Belanda salah seorang pendiri Museum Zoologicum Bogoriense. Katak pohon hijau dikenal juga dengan nama Rhacophorus moschantus (Iskandar, 1998). Dalam bahasa Inggris biasa dikenal dengan nama Green Flying Frog (Iskandar, 1998).

Di Indonesia suku Rhacophoridae terbagi kedalam 5 marga yaitu:

Nyctixalus (2 jenis), Philautus (17 jenis), Polypedates (5 jenis), Rhacophorus (20 jenis) dan Theloderma (2 jenis) (Iskandar, 1998). Suku Rhacophoridae merupakan keluarga katak pohon di Indonesia menggantikan suku Hylidae yang tersebar luas di dunia (Iskandar, 1998).

Dari seluruh jenis suku Rhacophoridae yang ada di Indonesia, hanya ada 8 jenis yang dapat ditemukan di Pulau Jawa, dengan 2 jenis diantaranya berasal dari Genus Rhacophorus yaitu Rhacophorus javanus dan Rhacophorus reinwardtii (Iskandar, 1998) sedangkan di Kampus IPB Darmaga hanya dapat ditemukan 2 jenis katak pohon yaitu Rhacophorus reinwardtii dan


(18)

B. Morfologi

Menurut Iskandar (1998), Katak pohon hijau berukuran kecil sampai sedang, dengan ukuran kepala yang besar. Punggung berwarna hijau pada bagian samping, tangan dan kaki berwarna kuning atau oranye. Pada spesimen awetan dalam alkohol akan berubah warna menjadi ungu. Jari tangan dan jari kaki berselaput sepenuhnya sampai kepiringan kecuali pada jari tangan yang pertama. Selaput berwarna hitam dengan garis-garis berwarna kuning dan biru (Liem, 1971). Sebuah lipatan halus terdapat di atas tumit dan anus serta lipatan kulit yang melebar di sepanjang lengan (Iskandar, 1998; Inger dan Stuebing, 1997).

Gambar 1. Bentuk kaki depan Katak pohon hijau. (a) Lipatan kulit yang melebar pada lengan tangan; (b) Jari tangan yang berselaput penuh kecuali pada jari pertama. (Sumber: Berry, 1975)

Katak pohon hijau dewasa memiliki perbedaan warna dengan Katak pohon hijau setengah dewasa. Warna hijau sangat dominan pada Katak pohon hijau dewasa sedangkan abu-abu dengan bintik-bintik hitam di sekujur punggung sangat dominan pada katak yang masih setengah dewasa (baru menyelesaikan tahapan larva/berudu).

Gambar 2. Katak pohon hijau (a) Katak pohon hijau (dewasa); (b) Katak pohon hijau (setengah dewasa).


(19)

Ukuran Katak pohon hijau sangat bergantung pada jenis kelaminnya. Individu jantan biasanya lebih kecil daripada individu betina. Berdasarkan beberapa literatur maka ukuran panjang tubuh katak/SVL (Snout Vent Lenght) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan ukuran panjang tubuh/SVL Katak pohon hijau.

Snout Vent Lenght (mm) Pencacah

♂ ♀

Liem (1971) 46,0-52,1 61,2-74,3

Berry (1975) 59,0-66,0 76,0-80,0

Inger dan Stuebing (1997) 46,0-55,0 56,0-65,0

Iskandar (1998) 45,0-52,0 55,0-75,0

Berudu Katak pohon hijau berukuran besar. Warna berudu hitam keabu-abuan dan sirip ekor tanpa warna (Iskandar, 1998). Namun terkadang dapat ditemukan berudu yang setengah ekornya berwarna hitam.

C. Habitat dan Penyebaran

Menurut Alikodra (2002), habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan suatu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar. Katak pohon hijau dapat ditemukan pada hutan primer dataran rendah (Inger dan Stuebing, 1997), hutan primer atau sekunder pada ketinggian antara 250-1200 m dpl (Iskandar, 1998), sedangkan di Pulau Jawa menurut Liem (1971) Katak pohon hijau ditemukan dekat dengan tempat tinggal manusia, biasanya pada lokasi yang teduh (berpohon) dan basah.

Di Jawa Barat Katak pohon hijau dapat ditemui di beberapa kawasan Wana Wisata Perum Perhutani yang masih memiliki vegetasi hutan alami. Katak pohon hijau dapat ditemukan di sekitar kolam berlumpur di tepi hutan dan didekat air yang tergenang (Schijfsma, 1932).

Katak pohon hijau tersebar mulai dari Cina Selatan sampai Malaysia, Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa (Iskandar, 1998) (Gambar 3).


(20)

Gambar 3. Peta penyebaran Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii) (IUCN, Conservation International and Nature Serve, 2004).

Di Kampus IPB Darmaga katak pohon ini hanya dapat ditemukan di Arboretum Fakultas Kehutanan (Yuliana, 2000), Lapangan Voli Fateta dan Laboratorium Konservasi Tumbuhan Fahutan (hasil pengamatan pribadi, data tidak dipublikasikan).

D. Perilaku Amfibi

Amfibi memiliki beragam pola perilaku sebagai suatu respon terhadap rangsangan yang diterima. Beberapa perilaku yang umum diketahui adalah


(21)

perilaku makan, perilaku berbiak, perilaku tidur, perilaku bersuara dan perilaku sosial.

Amfibi memiliki perilaku yang unik dan beranekaragam dalam hal perkembangbiakan. Menurut Goin et al.,(1978), waktu perkembangbiakan amfibi sangat dipengaruhi oleh musim hujan dan suhu udara. Katak jantan akan memanggil dengan mengeluarkan suaranya setelah hujan ketiga atau keempat pada awal musim hujan (Kadadevaru dan Kanamadi, 2000).

1. Perilaku Percumbuan

Perilaku percumbuan yang paling utama dari ordo Anura adalah mencari perhatian betina dengan menggunakan panggilan suara (Lopez et al., 1988 dalam Morrison et al., 2001; Duellman dan Trueb, 1994). Perilaku percumbuan menjadi suatu hal yang penting dalam perkembangbiakan karena percumbuan dapat menstimulasi individu lain untuk melakukan aktivitas seksual (Goin et al., 1978).

Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku percumbuan adalah kesesuaian ukuran tubuh (Morrison et al., 2001) atau struktur waktu seksual dan ukuran yang tidak tepat maka aktivitas seksual tidak akan terjadi (Goin et al., 1978).

Menurut Duelman dan Treub (1994), suara yang dikeluarkan oleh Anura terbagi atas:

a. Advertisement call: umumnya diketahui sebagai panggilan untuk kawin. Dikeluarkan oleh individu jantan yang memiliki dua fungsi yaitu (1) untuk menarik perhatian betina; (2) untuk menyatakan keberadaannya terhadap individu jantan lain baik yang sejenis ataupun berbeda jenis. Ada tiga macam tipe advertisement call yaitu:

i. Courtship call: dihasilkan oleh jantan untuk menarik perhatian betina.

ii. Teritorial call: dihasilkan oleh jantan penetap sebagai suatu respon terhadap advertisement call jantan lainnya pada intensitas yang diambang batas.

iii. Encounter call: suara yang ditimbulkan akibat interaksi yang dekat antar individu jantan untuk menarik perhatian betina.


(22)

b. Reciprocation call: dihasilkan oleh betina sebagai tanggapan terhadap suara (advertisement call) yang dikeluarkan oleh jantan.

c. Release call: suara yang merupakan sinyal untuk melakukan atau menolak amplexus yang dikeluarkan oleh individu jantan atau betina. d. Distress call: suara yang sangat pelan yang dikeluarkan oleh individu

jantan dan betina sebagai respon terhadap gangguan.

Frekuensi suara umumnya bergantung pada dari ukuran tubuh katak namun dapat juga berbeda bergantung dari jenis katak tersebut (Cogger & Zwiefel, 1998).

2. Perilaku Kawin

Pada umumnya katak melakukan perkawinan eksternal dimana fertilisasi berlangsung secara eksternal (Duellman dan Trueb, 1994). Perkawinan pada katak disebut sebagai amplexus dimana katak jantan berada di atas tubuh katak betina (Duellman dan Treub, 1994; Goin et al.,

1978).

Beberapa tipe-tipe amplexus yang umum terjadi pada anura adalah: a. Inguinal: kaki depan katak jantan memeluk bagian pinggang dari katak

betina. Pada posisi ini kloaka dari pasangan tidak berdekatan (Stubbins dan Cohen, 1995; Duellman dan Trueb, 1994; Goin et al., 1978). b. Axillary: kaki depan katak jantan memeluk bagian samping kaki depan

katak betina. Posisi kloaka pasangan berdekatan (Stubbins dan Cohen, 1995; Duellman dan Trueb, 1994; Goin et al., 1978).

c. Cephalic: kaki depan jantan memeluk bagian kerongkongan katak betina (Stubbins dan Cohen, 1995; Duellman dan Trueb, 1994).

d. Straddle: katak jantan menunggangi katak betina tanpa memeluk katak betina (Duellman dan Trueb, 1994).

e. Glued: katak jantan berdiri belakang katak betina dan mendekatkan kedua kloaka masing-masing (Duellman dan Trueb, 1994).

f. Independent: terjadi pada beberapa jenis Dendrobatidae dimana kedua katak saling membelakangi dan menempelkan kloaka secara bersamaan (Duellman dan Trueb, 1994).


(23)

Berven (1981) dalam Duellman dan Trueb (1994), mengatakan ada empat hal yang dapat menjelaskan pola-pola dari perilaku kawin katak: a. Kompetisi antar jantan: jantan berkompetisi dalam mendapatkan

perhatian betina, dan umumnya jantan yang besar ukurannya adalah jantan yang memiliki kesempatan lebih baik daripada jantan berukuran kecil.

b. Pilihan betina: betina umumnya memilih jantan yang berukuran besar atau lebih baik fisiologisnya.

c. Ukuran yang cocok untuk kawin: betina lebih memilih ukuran jantan yang proporsional dengan tubuhnya.

d. Pilihan jantan: betina yang berukuran besar lebih disukai oleh jantan. Beberapa penelitian juga menjelaskan bahwa tidak selamanya katak betina memilih ukuran jantan yang paling besar, beberapa jenis katak pohon seperti Litoria chloris dan Litoria xanthomera lebih menyukai jantan yang berukuran kecil (Morrison et al., 2001). Selain itu vokalisasi suara yang ditampilkan oleh jantan adalah salah satu variabel yang juga sangat menentukan pilihan betina terhadap jantan dalam proses perkawinan (Schiesari et al., 2003). Begitu juga dengan umur dan kondisi fisik katak jantan (Eggert dan Guyetant, 2003).

3. Perilaku Bersarang

Menurut Goin et al., (1978) penggunaan tempat untuk bertelur bagi amfibi sangat beragam. Telur dapat diletakkan ditempat terbuka, berada diatas air (permanen atau temporal), di air yang mengalir, dibawah batu atau kayu lapuk, dilubang atau di daun yang dibawahnya terdapat air menggenang. Katak pohon akan turun dari tajuk pohon untuk berbiak pada kolam dan genangan air semi permanen pada lantai hutan (Inger dan Stuebing, 1997). Telur umumnya diletakkan pada dedaunan pohon tepat diatas genangan air (Kadadevaru dan Kanamadi, 2000; Iskandar, 1998; Inger dan Stuebing, 1997). Telur dalam busa kemudian ditutup dengan daun. Pada kondisi yang tidak memungkinkan, dapat terjadi perubahan perilaku dalam meletakkan telur. Hal ini terjadi pada jenis Rhacophorus


(24)

malabaricus dengan meletakkan telur pada tanah (terrestrial) yang jika hujan akan penuh dengan air, kemudian menutupinya dengan serasah daun hingga tertutup rapi (Kadadevaru dan Kanamadi, 2000).


(25)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak dan Luas

Kampus IPB Darmaga terletak ± 9 km arah barat pusat kota Bogor atau ± 49 km sebelah selatan kota Jakarta. Luas keseluruhan areal kampus IPB Darmaga adalah 256,97 ha yang secara geografis terletak antara 6o 30’ – 6o 45’ Lintang Selatan dan 106o 30’– 106o 45’ Bujur Timur dengan ketinggian 145-195 m dpl (Mulyani, 1985).

Secara administratif Kampus IPB Darmaga termasuk kedalam wilayah Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Batas-batas Kampus IPB Darmaga adalah:

- sebelah Timur berbatasan dengan Desa Babakan

- sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Raya Bogor-Jasinga - sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Cihideung, dan

- sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Ciapus dan Sungai Cisadane. 1. Arboretum Fahutan

Arboretum Fahutan seluas ± 0.36 Ha, dengan pH tanah rata-rata 4,8 (Mulyani, 1985) terletak di depan gedung utama Fakultas kehutanan. Merupakan bentuk hutan mini yang ditanami dengan berbagai jenis pohon kehutanan seperti berbagai jenis suku Dipterocarpaceae, Puspa (Schima walichii), Kayu afrika (Maesopsis eminii) dan lain-lain.

2. Laboratorium Konservasi Tumbuhan

Laboratorium konservasi tumbuhan seluas ± 0, 20 Ha terletak di samping Gedung Departemen Silvikultur dan berada di depan Mushalla DKM Ibaddurrahman. Kolam berada di atas atap bangunan berukuran 3 x 3 m. Kolam merupakan kolam non permanen yang banyak berisi air pada musim hujan.

B. Keadaan Kawasan 1. Kondisi Fisik

Topografi kampus IPB Darmaga sangat beragam dari mulai datar sampai bergelombang dengan gedung-gedung yang dikelilingi oleh


(26)

kawasan hutan. Keadaan topografi Kampus IPB Darmaga adalah 41% dari luas kawasan memiliki kemiringan 0-5%, 37% areal memiliki kelerengan 5-15%, 17% areal memiliki kelerengan 15-25% dan 5% memiliki kelerengan > 25%.

Jenis tanah di Kampus IPB Darmaga termasuk jenis Latosol. Ketinggian lokasi penelitian berkisar antara 145-200 m dpl.

Menurut klasifikasi Schmidt & Ferguson, Kampus IPB Darmaga termasuk daerah bertipe hujan A (Mulyani, 1985) dengan bulan basah > 9 bulan. Curah hujan rata-rata tahunan wilayah Darmaga dalam 2 tahun terakhir (2004-2005) mencapai 4524,15 mm, dengan temperatur udara rata-rata tahunan 25,8˚C, suhu maksimum 32,0˚C dan minimum 22,7˚C. Sedangkan kelembaban nisbi 84,25%, kecepatan angin 2,1 km/jam dan laju penguapan 4,1% (Stasiun Klimatologi Darmaga, 2006).

Pola penggunaan lahan di Kampus IPB Darmaga terbagi kedalam 11 kelompok yaitu Komplek Akademik, Pusat Administrasi, Plaza Taman Rektorat, Arboretum, Kompleks Graha Widya Wisuda, Kandang Ternak, Komplek Olahraga, Komplek Mesjid Al Hurriyyah, Asrama Mahasiswa, Kebun Percobaan dan Ruang Terbuka Hijau.

2. Kondisi Biotik a. Flora

Vegetasi di lingkungan Kampus IPB Darmaga berupa vegetasi semak berumput, tegakan karet, hutan pinus, hutan campuran, hutan percobaan, arboretum dan tanaman pekarangan perumahan dosen dan taman. Pada mulanya seluruh wilayah Kampus IPB Darmaga didominasi oleh tegakan karet (Hevea brasilliensis) namun saat ini hanya tinggal beberapa bagian saja yang tersisa. Selain itu terdapat juga hutan campuran yang terletak di sebelah utara Mesjid Al Hurriyyah yang merupakan miniatur dari hutan tropika dataran rendah karena memiliki struktur tajuk berbeda.

b. Fauna

Kampus IPB Darmaga memiliki keanekaragaman satwaliar yang tinggi. Menurut Hernowo et al., (1991) ditemukan 12 jenis mamalia,


(27)

68 jenis burung, 37 jenis reptil dan 4 jenis ikan di Kampus IPB Darmaga, sedangkan untuk amfibi ditemukan sebanyak 13 jenis yang semuanya berasal dari ordo Anura (Yuliana, 2000). Dari 13 jenis amfibi yang ditemukan, yang kelimpahannya paling banyak adalah

Bufo melanostictus sedangkan yang paling sedikit ditemukan adalah

Occidozyga lima, Fejervarya limnocharis dan Rhacophorus reinwardtii (Yuliana, 2000).

Arboretum Fakultas Kehutanan merupakan salah satu habitat yang disukai oleh katak. Terdapat 6 jenis katak yang dapat ditemukan di Arboretum Fakultas Kehutanan dan sekitarnya. Keenam jenis katak tersebut antara lain Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii), Katak pohon bergaris (Polypedates leucomystax), Katak tegalan (Fejervarya limnocharis), Katak batu raksasa (Limnonectes macrodon), Kodok buduk (Bufo melanostictus) dan Kodok buduk sungai (Bufo asper) (Pengamatan pendahuluan, 2005; Yuliana, 2000).


(28)

IV. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Sebelum penelitian, dilakukan pengamatan pendahuluan pada bulan Januari-Mei 2005 dan September-Oktober 2005 untuk melihat lokasi penyebaran Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga dan untuk melihat waktu terjadinya musim kawin. Dari pengamatan pendahuluan didapatkan tiga lokasi penyebaran Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga. Ketiga lokasi tersebut adalah Arboretum Fakultas Kehutanan, Laboratorium Lapangan Konservasi Tumbuhan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dan Lapangan voli Fakultas Teknologi Pertanian.

Penelitian dilakukan selama tiga bulan yaitu pada bulan November 2005 sampai dengan Januari 2006. Pengamatan perilaku dilakukan mulai pukul 18.00 sampai pukul 06.00 pagi (mengikuti perilaku katak yang sedang kawin). Pemilihan hari dilakukan acak dengan bergantung pada hujan yang turun pada hari tersebut. Lokasi penelitian perilaku berbiak katak pohon ini dilakukan di Arboretum Fakultas Kehutanan dan Laboratorium Konservasi Tumbuhan.

Gambar 4. Potret udara kampus IPB Darmaga dan lokasi penelitian. Keterangan: (a). Arboretum Fahutan dan (b). Laboratorium Konservasi Tumbuhan.

(a) (b)


(29)

B. Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian perilaku berbiak adalah populasi Katak pohon hijau yang ada di Arboretum Fahutan dan Laboratorium Lapangan Konservasi Tumbuhan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah:

C. Pengumpulan Data 1. Data Primer

Data primer didapatkan langsung di lapangan. Data diambil dengan cara melakukan pengamatan pada lokasi tempat ditemukannya Katak pohon hijau. Waktu pengamatan dimulai pukul 18.00 saat katak mulai melakukan aktivitasnya seperti bersuara (calling). Pengamatan perilaku dilakukan dengan menggunakan bantuan senter dan metode sampling perjumpaan, baik perjumpaan dengan individu, larva (berudu) maupun perjumpaan dengan sarang (foam nest) (Heyer et al., 194; Lehner, 1979). Pengamatan dilakukan pada bulan-bulan yang curah hujannya cukup tinggi. Pengamatan lebih diutamakan jika terjadi hujan pada sore harinya atau saat pengamatan terjadi hujan.

Data primer yang diambil meliputi beberapa hal sebagai berikut:

a. Pengukuran terhadap faktor-faktor fisik dan biotik lingkungan lokasi penelitian antara lain: tipe vegetasi, posisi horizontal terhadap badan air, posisi vertikal terhadap permukaan air, suhu udara, pH air, kedalaman air, sifat naungan dan penutupan oleh vegetasi.

- Meteran - Tali Rafia - Altimeter - Kantung plastik - Pengukur waktu - Senter/ Headlamp

- Kaliper

- Video recorder - Baterai

- Spidol permanen - Timbangan - Termometer - Higrometer - pH meter - Kamera digital - Perekam suara digital - Kaset Video


(30)

b. Perilaku Berbiak

1) Waktu dan Musim kawin. Pengamatan musim kawin dilakukan selama tujuh bulan yaitu sebelum penelitian perilaku dilaksanakan. Setiap dua minggu dilakukan pengamatan di sekitar Arboretum Fahutan. Musim berbiak ditandai dengan adanya aktivitas bersuara dari Katak pohon hijau jantan, serta ditemukannya sarang dan berudu. Sedangkan pencatatan waktu kawin dilakukan berdasarkan hasil pengamatan pada bulan November 2005 sampai Januari 2006. 2) Jumlah katak berbiak dan lokasi berbiak. Penyebaran temporal dari Katak pohon hijau dilakukan setiap pengamatan. Pengukuran spasial (tinggi dari tanah dan jarak dari air) dan kualitatif (penutupan vegetasi dari lokasi tempat memanggil dan jenis tanaman tempat bertengger) dicatat untuk menentukan penyebaran spasial dan pemilihan mikrohabitat. Penghitungan populasi katak hijau dihitung berdasarkan perjumpaan atau suara yang ditemukan saat pengamatan. Pencatatan meliputi jumlah katak dalam satu kelompok dan jumlah pasangan yang kawin atau melakukan aktivitas breeding lainnya. Pencatatan juga dilakukan untuk menghitung jumlah katak jantan yang aktif bersuara di malam hari dan setiap jam (melalui pengamatan selama 15 menit setiap jam) untuk menentukan puncak aktivitas (waktu dimana jumlah katak jantan terbanyak aktif berbunyi).

3) Perilaku berbiak Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga yang meliputi: urutan/ sistematika perkawinan, durasi/lama aktivitas berlangsung dan prestasi atau hasil yang diperoleh dari perkawinan.

¾ Data urutan/sistematika perilaku kawin dilakukan secara langsung di lapangan. Semua aktivitas yang dilakukan dicatat dan dideskripsikan melalui tulisan dan bantuan tape recorder.

¾ Durasi dari setiap bagian aktivitas berbiak yang dilakukan dihitung dengan menggunakan stopwatch.


(31)

¾ Prestasi yang dihasilkan dari suatu perkawinan ditentukan oleh keberhasilan dalam bertelur dan keberhasilan dalam menutupi telur dengan busa (foam).

Setelah proses berbiak selesai maka jantan dan betina yang kawin ditangkap dan diukur SVL, berat dan kecacatan (jika ada). Pengukuran SVL akan menggunakan Kaliper dan berat diukur dengan menggunakan Pesola O Spring.

4) Akustik (suara) direkam dengan menggunakan perekam suara Olympus DM-20. Perekaman suara dilakukan secara keseluruhan. Perekaman pada titik tertentu dilakukan secara acak untuk melihat tipe-tipe suara yang dikeluarkan oleh Katak pohon hijau tersebut. 2. Data Sekunder

Data sekunder didapatkan dari studi literatur, mencakup: a. Kondisi umum lokasi penelitian.

b. Data iklim dan curah hujan di lokasi penelitian

D. Analisis Data

Data yang didapatkan dianalisis dalam bentuk grafik untuk menjelaskan hubungan antara parameter-parameter yang diukur. Aktivitas berbunyi katak jantan diukur dengan menghitung jumlah katak jantan yang secara akustik aktif selama periode sampling dan dihubungkan dengan suhu udara, kondisi cuaca, jumlah katak jantan lainnya yang ada di sekitarnya.

Akustik yang didapatkan dianalisis dengan menggunakan program software Gram 11 dan Sound Forge 5.0. Hasil dipaparkan dalam bentuk spectogram dan oscillogram.


(32)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Faktor Lingkungan 1. Kondisi Habitat

Arboretum Fahutan merupakan salah satu lokasi yang digunakan Katak pohon hijau sebagai habitat. Arboretum Fahutan memiliki parit kecil di sebelah selatan yang biasanya akan digenangi air pada musim hujan. Katak pohon hijau akan mendatangi parit pada musim hujan sebagai lokasi untuk melakukan perkawinan. Beberapa jenis tumbuhan yang ada di sekitar parit sangat umum digunakan pada saat musim kawin. Beberapa jenis tumbuhan yang sering digunakan saat berbiak adalah angsana (Pterocarpus indicus), burahol (Stelechocarpus burahol), gmelina (Gmelina arborea), tanjung (Mimosops elengi), kaliandra (Caliandra callothyrsus) dan tumbuhan bawah (talas-talasan).

Lokasi lainnya yang merupakan habitat Katak pohon hijau adalah Laboratorium Konservasi Tumbuhan. Tempat genangan air yang merupakan lokasi membesarkan berudu berupa atap bangunan yang dapat menampung air hujan. Atap bangunan berbentuk kolam persegi berukuran 3 x 3 m, tersusun secara berurutan. Substrat dasar kolam berupa semen yang ditumbuhi oleh lumut dan sisa-sisa tumbuhan yang telah membusuk. Tumbuhan yang sering digunakan selama aktivitas kawin adalah matoa (Pometia pinnata), petai (Parkia speciosa), meranti (Shorea sp.) dan tumbuhan merambat.

Gambar 5. Kondisi habitat Katak pohon hijau (a). Arboretum Fahutan dan (b). Laboratorium Konservasi Tumbuhan.


(33)

2. Suhu Udara, Kelembaban dan Curah hujan.

Suhu udara selama pengamatan di lapangan pada malam hari menunjukkan kisaran 22,0oC-27,0oC dengan kelembaban udara berkisar antara 91-92 %. Curah hujan harian selama pengamatan menunjukkan kisaran 0-47,5 mm (Stasiun Klimatologi Darmaga, 2006) dengan kondisi cuaca cerah, berangin, gerimis dan hujan. Pada saat penelitian yang berlangsung selama 3 bulan, curah hujan relatif tinggi dimana rata-rata curah hujan harian tertinggi dijumpai pada bulan Januari 2006 (Gambar 6). Tabel 2. Keadaan suhu udara, kelembaban dan curah hujan harian pada

saat pengamatan.

Arboretum Fahutan dan Lab Konservasi Tumbuhan Tanggal

T (◦C) RH (%) CH (mm) Cuaca

16 Nov 05 25,0 92 0,50 Cerah

18 Nov 05 22,0 91 6,00 Cerah, purnama

19 Nov 05 22,0 91 3,80 Cerah, sore hujan

21 Nov 05 27,0 92 2,80 Cerah, sore hujan

28 Nov 05 25,0 92 0,70 Cerah, habis hujan

23 Des 05 23,0 91 4,70 Cerah

25 Des 05 24,0 91 33,50 cerah berangin, gerimis

29 Des 05 25,5 92 0,80 Cerah

31 Des 05 23,0 91 0,00 Cerah

3 Jan 06 23,0 91 0,00 Cerah, siang hujan

7 Jan 06 23,0 91 0,00 Mendung, hujan

9 Jan 06 24,0 91 1,30 Cerah, siang hujan

25 Jan 06 23,0 91 33,50 Cerah, siang hujan

26 Jan 06 23,0 91 47,50 Mendung,hujan

31 Jan 06 24,0 91 0,00 Cerah

Suhu udara dan curah hujan merupakan salah satu faktor fisik yang sangat mempengaruhi aktivitas amfibi. Menurut Stebbins dan Cohen (1995), di daerah tropis amfibi berbiak sepanjang tahun, walaupun ada yang berbiak secara musiman dan beberapa mengikuti waktu hujan yang berlimpah. Gambar 6 menunjukkan curah hujan harian selama 3 bulan pengamatan. Crump (1994) dalam Yuliana (2000) mengatakan bahwa suhu udara berpengaruh nyata terhadap perkembangan dan pertumbuhan amfibi, serta seringkali mengatur siklus reproduksi dan perilaku.

Amfibi merupakan jenis satwa ektoterm, suhu tubuh sangat bergantung pada suhu lingkungannya (Campbell et al., 2003; Duellman & Treub


(34)

1994). Oleh sebab itu pola aktivitas amfibi disesuaikan dengan kondisi lingkungannya.

Curah Hujan di Kampus IPB Darmaga

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 140.0 160.0

November ' 05 Desember ' 05 Januari ' 06 Februari ' 06 Tanggal

CH (m

m

)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Gambar 6. Curah hujan di Kampus IPB Darmaga bulan November 2005-Februari 2006 (Stasiun Klimatologi Darmaga, 2006)

Kombinasi suhu dan kelembaban udara menentukan tingkat kehilangan air dari permukaan tubuh amfibi sehingga secara langsung berhubungan dengan metabolisme tubuh (Duellman & Treub 1994).

Kisaran suhu dan kelembaban di lokasi pengamatan secara umum tidak berbeda dengan beberapa lokasi habitat amfibi di Jawa Barat. Pratomo (1994) mengemukakan bahwa kisaran suhu lokasi penelitian di Bogor berada pada 20,0Co-26,0oC, Sukabumi 21,0Co-25,0oC dan Cianjur 19,0o C-25,0oC. Bull frog (Rana catesbiana) menurut Susanto (1999), dapat beraktivitas dan berbiak membutuhkan suhu 24,0Co-27,0oC. Goin et al,

(1978) mengatakan bahwa suhu toleransi untuk amfibi pada kisaran 3,0o C-41,0oC, dan suhu optimum pada habitat katak berkisar pada 25,0o C-30,0oC.

3. Keasaman (pH) dan Beberapa Parameter Fisik Lain.

Pengukuran yang dilakukan di parit Arboretum Fahutan menunjukkan kisaran pH 6,5 - 7,0 sedangkan kolam di Laboratorium Konservasi Tumbuhan menunjukkan kisaran 7,0 - 7,5. Parit di Arboretum Fahutan


(35)

umumnya digenangi oleh air hujan pada saat musim hujan dengan substrat dasar berupa tanah lumpur dengan kedalaman ± 5-10 cm dan sisa-sisa tumbuhan seperti rumput, daun dan ranting.

B. Perilaku Berbiak (Breeding behaviour) 1. Musim dan Waktu Berbiak

Banyak peneliti amfibi di daerah tropis menyebutkan bahwa reproduksi berlangsung sepanjang tahun (Premo, 1985). Penelitian Premo pada lima spesies katak yang ditemukan di kolam-kolam di Bogor dan Cibodas (Fejervaya cancrivora; Fejervarya limnocharis; Rana chalconota; Rana erythraea; Occidozyga lima) menunjukkan bahwa tidak ada musim yang khas dimana terjadi perilaku memanggil atau berbiak. Hal ini berbeda dengan Katak pohon hijau. Dari hasil pengamatan pendahuluan diketahui bahwa Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga berbiak pada bulan November-April.

Menurut Goin et al., (1978) waktu berbiak bagi amfibi sangat dekat hubungannya dengan curah hujan dan temperatur. Bila dihubungkan dengan waktu hujan, jelas terlihat bahwa pada bulan November-April terjadi puncak musim penghujan di daerah Bogor (Gambar 7).

Kebanyakan jenis-jenis amfibi di daerah tropis berkembangbiak pada saat musim hujan, agar kelembaban dari telur dapat terjaga dan dapat menetas dengan baik pada saat makanan melimpah bagi berudu (Stebbins & Cohen, 1995). Grafik kelembaban udara daerah Darmaga selama dua tahun terakhir (2004-2005) dan hubungannya dengan musim kawin dapat dilihat pada Gambar 8.


(36)

Gambar 7. Grafik curah hujan rataan bulanan tahun 2004-2005 dan Januari-Mei 2006 wilayah Darmaga serta hubungannya dengan musim kawin (Stasiun Klimatologi Darmaga, 2006).

Gambar 8. Grafik jumlah hari hujan bulanan tahun 2004-2005 wilayah Darmaga dan hubungannya dengan musim kawin (Stasiun Klimatologi Darmaga, 2006).

Gambar 9. Grafik kelembaban udara rataan bulanan tahun 2004-2005 wilayah Darmaga dan hubungannya dengan musim kawin (Stasiun Klimatologi Darmaga, 2006).


(37)

Dari ke tiga faktor diatas yang lebih mendekati terjadinya periode berbiak Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga adalah jumlah hari hujan bulanan dan kelembaban udara rata-rata bulanan. Curah hujan bulanan pada tahun 2004-2006 relatif tidak stabil setiap tahunnya.

Proses berbiak dimulai dengan adanya suara yang dikeluarkan jantan. Suara yang dikeluarkan oleh Katak pohon hijau umumnya dimulai pada pukul 18.30 WIB dan berakhir pada pukul 05.15 pagi hari. Suara panggilan yang dikeluarkan oleh Katak pohon hijau dapat didengar sampai pada jarak 100 m.

Berdasarkan penggunaan waktu selama 12 jam maka tingkat aktivitas puncak (tertinggi) banyaknya suara yang terdengar terjadi pada periode yang berbeda (Gambar 10). Hasil pengamatan selama 3 malam menunjukkan bahwa aktivitas terbanyak katak jantan yang mengeluarkan suara pada tanggal 25 Januari 2006, terjadi pada jam 20:45 (15 suara) dan pukul 01:00 (15 suara) sedangkan tanggal 25 Desember 2005 pada pukul 18:45 (24 suara) dan tanggal 29 Desember pada pukul 00:00 dini hari (16 suara). Dari pengamatan terlihat bahwa banyaknya suara yang dikeluarkan katak jantan pada awalnya dipengaruhi oleh ada atau tidaknya hujan sebelum bersuara dan keberlanjutan intensitas suara dipengaruhi oleh ada atau tidaknya kehadiran betina yang produktif untuk kawin.

Gambar 10. Aktivitas bersuara Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii) di Arboretum Fakultas Kehutanan.

Dari 9 pasangan yang ditemukan berbiak terlihat bahwa perkembangbiakan amfibi yang dimulai dari percumbuan sampai keluarnya telur dilakukan selama satu malam penuh (interval antara pukul


(38)

18:00-06:00 pagi hari). Selama periode perkembangbiakan amplexus dapat terjadi pada waktu yang berbeda-beda, bergantung pada suhu, curah hujan, jumlah dan tipe suara jantan dan keberadaan betina. Tabel 3 menunjukkan waktu saat ditemukannya katak yang sedang amplexus.

Tabel 3. Waktu terjadinya amplexus pada periode perkembangbiakan Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga.

Pasangan 1* 2* 3* 4* 5 6 7 8 9

Waktu

Amplexus 19:32 23:11 1:40 21:42 19:58 19:29 21:41 19:21 20:25

*)Pasangan amplexus di Laboratorium Konservasi Tumbuhan. pasangan 5 -9 amplexus di Arboretum Fahutan.

Waktu terjadinya amplexus berkisar pada pukul 19:21-01:40 WIB. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa umumnya amplexus lebih sering terjadi pada selang pukul 19:21-21:42 WIB (tujuh pasang). Amplexus diluar selang (pukul 23:11 dan 01:40) kemungkinan terjadi dikarenakan pada saat itu sudah ada pasangan yang sedang amplexus dan kemunculan betina lain yang lebih lama dari pasangan yang pertama. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, batas waktu terjadinya amplexus adalah pada selang waktu terlama yaitu pukul 01:40 WIB, hal ini dibuktikan oleh individu yang aktif berbiak pada Tanggal 25 Januari 2006 dimana dua ekor betina dan katak jantan lainnya yang telah memiliki ketertarikan (pukul 02.14 WIB) menunda amplexus dan melanjutkan amplexus pada malam berikutnya.

2. Jumlah Katak Berbiak dan Lokasi Berbiak a. Jumlah Katak Berbiak

Selama pengamatan dari bulan November 2005 sampai Januari 2006 dijumpai 33 individu katak yang meliputi 25 katak jantan dan 8 katak betina. Jumlah individu pada kedua lokasi pengamatan berbeda, namun tidak terlalu jauh perbedaannya. Individu jantan yang aktif setiap malammya di Arboretum Fahutan berkisar antara 2-12 ekor dan betina 1-3 ekor. Sedangkan di Lab. Konservasi Tumbuhan ditemukan individu jantan antara 2-13 ekor dan betina 1-3 ekor. Lokasi di Lab. Konservasi Tumbuhan terdapat dua lokasi berbiak, namun tidak pernah


(39)

ditemukan kedua lokasi berbiak digunakan pada waktu yang bersamaan selama periode perkawinan.

Tidak semua katak melakukan aktivitas kawin. Katak-katak ini umumnya dijumpai di sekitar tempat berbiak dengan aktivitas diam, bersuara, melompat dan melihat. Pada pengamatan ditemukan sebanyak 9 pasang katak yang amplexus (5 pasang di Arboretum Fahutan dan 4 pasang di Laboratorium Konservasi Tumbuhan). Berdasarkan data perjumpaan dengan sarang yang ada di dua lokasi pengamatan yang digabungkan dengan perjumpaan katak yang amplexus maka jumlah perkawinan yang terjadi selama 3 bulan pengamatan sebanyak 21 pasang. Untuk lebih jelasnya jumlah katak yang amplexus, suhu udara dan curah hujan serta parameter lainnya saat pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.

Gambar 11. Suhu, kelembaban, curah hujan dan jumlah pasangan yang amplexus (tanpa data perjumpaan sarang) selama pengamatan mulai bulan November 2005-Januari 2006.

Gambar 12. Suhu, kelembaban, curah hujan dan jumlah pasangan yang amplexus (dengan data perjumpaan sarang) selama pengamatan mulai bulan November 2005-Januari 2006.


(40)

Hasil pengukuran terhadap tiga pasangan dan satu ekor jantan menunjukkan bahwa ukuran tubuh dan berat katak betina jauh lebih besar daripada katak jantan (Tabel 4).

Tabel 4. Ukuran panjang tubuh/SVL (Snout Vent Lenght) dan berat badan pasangan katak yang kawin.

♂ ♀

No Kode

SVL (mm)

Berat

(gram) SVL (mm) Berat (gram) 1 P.1. 43.42 17.00 72.46 34.25 2 P.2. 46.30 17.75 72.76 32.00 3 P.3. 46.32 17.50 73.60 32.00

4 Jantan lain 50.20 18.00 - -

∑ 186.24 70.25 218.82 98.25

µ 46.56 17.5625 72.94 32.75

Rata-rata ukuran tubuh katak betina adalah 72,94 mm dengan berat 32,75 g sedangkan katak jantan berukuran 46,56 mm dengan berat 17,56 g. Hal ini memang umum pada kebanyakan amfibi (Shine, 1979). Mengingat bahwa rasio antara jantan dan betina tidak seimbang, dimana jumlah betina jauh lebih sedikit diduga bahwa katak betina mampu kawin beberapa kali dengan jantan yang berbeda (poliandri). b. Lokasi Berbiak

Pada periode berbiak Katak pohon hijau mendatangi lokasi berbiak untuk melakukan perkawinan. Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga memiliki 2 tempat berbiak yang berbeda, di Arboretum Fahutan lokasi tempat berbiak adalah parit disebelah selatan Arboretum Fahutan sedangkan di Lab. Konservasi Tumbuhan berupa atap bangunan yang berupa kolam persegi yang menampung air saat musim hujan. Pada kedua lokasi pengamatan, penempatan telur dilakukan pada model habitat yang berbeda. Kelompok populasi yang ada di Arboretum Fahutan meletakkan telur diatas permukaan tanah yang kemudian ditutupi oleh dedaunan yang kering, sedangkan populasi yang di Laboratorium Konservasi Tumbuhan bertelur pada daun tumbuhan yang berada di atas badan air. Penggunaan tanah dan daun oleh katak pohon hijau untuk berbiak dapat dilihat pada Gambar


(41)

13. Hal ini berbeda dengan pernyataan Iskandar (1998) yang menyebutkan bahwa Katak pohon hijau hanya meletakkan telur pada tumbuhan (ranting atau daun) di atas air berupa gumpalan busa, yang kadang-kadang ditutup dengan daun.

Gambar 13. Busa telur yang diletakkan di atas tanah di Arboretum Fahutan (a dan c); dan busa telur yang diletakkan di atas daun di laboratorium Konservasi Tumbuhan (b dan d).

Strategi Katak pohon hijau dalam melakukan perkembangbiakan berhasil mempertahankan keberadaannya di Arboretum Fahutan dan Lab. Konservasi Tumbuhan. Sejak tahun 2000 (Yuliana, 2000) sampai saat ini Katak pohon hijau masih dapat ditemukan di Arboretum Fahutan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Kadadevaru & Kanamadi (2000) bahwa jenis Rhacophorus malabaricus dapat melakukan adaptasi pada daerah yang penutupan tajuknya telah hilang. Adaptasi yang dilakukan dengan meletakkan telur pada lokasi dimana jika hujan turun akan tergenang oleh air hujan. Katak pohon hijau di Arboretum Fahutan tidak meletakkan telurnya pada tanah yang tergenang, akan tetapi meletakkan telur pada sisi miring parit yang ada di sebelah selatan Arboretum Fahutan (Gambar 14). Telur diletakkan

(a)

(c)

(b)


(42)

diantara serasah dan rumput kemudian ditutupi dengan dedaunan kering yang ada disekitarnya. Jika hujan deras, telur yang sudah berkembang menjadi berudu akan terbawa oleh aliran atas (run off) menuju ke dalam parit. Parit biasanya tergenang dengan ketinggian air sekitar 2-5 cm dengan substrat dasar berupa lumpur dan daun yang telah membusuk.

Gambar 14. Lokasi sarang yang diketahui sebagai tempat telur diletakkan di Arboretum Fahutan.

Jarak antara telur (foam nest) dengan badan air berbeda pada masing-masing lokasi. Telur di Arboretum Fahutan diletakkan pada kisaran 0,74-2,34 m dari badan air. Sedangkan telur di Lab. Konservasi Tumbuhan diletakkan pada ketinggian 0,30-3,00 m dari permukaan air.

C. Percumbuan dan Amplexus

Percumbuan merupakan salah satu perilaku yang paling utama bagi satu atau dua individu yang saling tertarik untuk dapat melakukan kegiatan seksual. Goin et al., (1978) mengatakan jika perilaku tidak tepat, ukuran tubuh tidak seimbang atau struktur seksual tidak tepat waktu atau tidak sama ukurannya maka perkembangbiakan tidak akan terjadi. Banyak jenis katak melakukan suatu percumbuan sebelum melakukan amplexus (Abrunhosa & Wogel, 2004; Vaira 2001; Haddad dan Sawaya, 2000). Dari pengamatan terlihat bahwa katak jantan memiliki suara dan warna yang lebih terang selama masa


(43)

perkembangbiakan. Katak pohon jantan juga terlihat melakukan gerakan merenggang seperti menarik kedua kaki belakangnya dan mengoleskan cairan yang dikeluarkan melalui anus ke seluruh permukaan tubuhnya. Adapun tata urutan perkawinan Katak pohon hijau adalah sebagai berikut:

1. Tata urutan kawin Katak pohon hijau di Arboretum Fahutan

Katak pohon hijau jantan umumnya mengambil posisi di ketinggian > 2 m dan melakukan panggilan suara dari ranting yang terbuka (Gambar 15a), betina akan tertarik dan keluar dari persembunyiannya dan mengumumkan kehadirannya (komunikasi visual) pada seluruh katak jantan yang ada (Gambar 15b), kehadiran betina juga dapat diketahui katak jantan dari suara yang ditimbulkan oleh gerakan betina seperti goyangan ranting, suara percikan air, dan suara serasah.


(44)

Betina mendatangi jantan yang dianggap paling menarik dan jantan yang berdekatan akan saling berkompetisi untuk mendapatkan betina (Gambar 15c). Katak betina memilih pasangannya dan melakukan amplexus yang umumnya terjadi di atas pohon berada pada ketinggian ± 2 m dari permukaan tanah. Tipe amplexus pada katak pohon hijau adalah

axillary. Di Arboretum Fahutan amplexus lebih sering terjadi di atas pohon burahol (Stelechocarpus burahol). Katak yang amplexus akan melompat ke ranting lainnya dan turun menuju ke arah parit yang berada disisi selatan Arboretum Fahutan (Gambar 15d, 15e dan 15f). Pasangan turun ke bawah dan melompat-lompat digenangan air (Gambar 15g). Pasangan kemudian naik kembali ke atas parit dan mencari lokasi yang paling tepat untuk bertelur (Gambar 15h, 15i dan 15j). Jika pasangan katak telah menemukan lokasi yang tepat maka pasangan tersebut akan bertelur di antara dedaunan dan semak yang ada. Pada tahapan akhir, telur yang dilapisi dengan busa putih ditutupi dengan dedaunan yang ada disekitarnya oleh betina dan betina meninggalkannya setelah semua permukaan busa diperkirakan telah tertutup dengan baik.

Gambar 16. Ilustrasi proses perkawinan Katak pohon hijau yang dimulai dari amplexus sampai bertelur di Arboretum Fahutan.


(45)

Waktu yang dibutuhkan oleh masing-masing pasangan dalam melakukan satu kali perkembangbiakan sangat beragam. Tabel 5 menunjukkan pembagian waktu pada masing-masing tahapan perkawinan Katak pohon hijau.

Tabel 5. Pembagian waktu dari tiap urutan perkawinan pasangan Katak pohon hijau yang berbiak.

*) Kode K untuk pasangan di Lab. Konservasi tumbuhan dan A untuk pasangan katak di Arboretum Fahutan.

Menunggu adalah saat yang paling menarik dari perilaku katak betina dan katak jantan yang akan melakukan aktivitas berbiak. Ketika waktu malam sudah tidak cukup lagi untuk melakukan amplexus (diatas pukul 02.00 dini hari) maka betina dari Katak pohon hijau bersiap-siap untuk menunggu keesokan hari di lokasi tempat katak jantan melakukan panggilan (calling sites). Selama pengamatan, perilaku ini hanya terlihat pada populasi katak di Arboretum Fahutan sedangkan pada populasi katak di Laboratorium Konservasi Tumbuhan tidak ditemukan pola perilaku menunggu. Perilaku menunggu Katak pohon hijau ditunjukkan oleh Gambar 17.

Durasi (jam:menit) Bertelur Tanggal Kode

Pasangan* Calling Amplexus

berbusa telur keluar Menutup sarang TOTAL WAKTU TOTAL WAKTU TANPA CALLING K.1. 0:32 4:18 0:38 0:50 0:39 6:57 6:25 K.2. 5:11 3:24 0:50 1:22 1:08 11:55 6:44 31 Des

2005/ 1 Januari

2006 K.3. 7:40 3:35 0:50 0:40 12:45 5:05 9-10

Januari 2006

K.4. 3:42 2:30 0:44 0:57 - 7:53 4:11 16-17

November 2005

A.1. 1:58 4:04 1:56 0:36 8:54 6:56 16-17

November 2005

A.2. 1:29 7.29- hilang (tidak terdeteksi -hilang) 21-22

November 2005

A.3. 3:41 3:37 1.18- gangguan dari ular picung (gagal berbiak) 25 Januari

2006 A.4. 1:21 hilang 25 Januari


(46)

Gambar 17. Perilaku menunggu Katak pohon hijau di Arboretum Fahutan

Perilaku menunggu umumnya dilakukan pada lokasi yang penutupan tajuknya lebih rapat dari lokasi lainnya (disekitar pohon Burahol). Selama pengamatan perilaku menunggu selalu terjadi dengan melibatkan dua ekor individu betina secara bersamaan.

2. Tata urutan kawin Katak pohon hijau di Laboratorium Konservasi Tumbuhan.

Katak jantan melakukan panggilan terhadap katak betina. Panggilan dilakukan pada vegetasi yang ada di dalam Lab. Konservasi Tumbuhan (Gambar 18a). Betina yang tertarik kemudian melakukan komunikasi secara visual pada kolam yang dapat dilihat oleh semua jantan (Gambar 18b).

Jantan yang tertarik akan bersaing untuk mendapatkan betina yang siap kawin (Gambar 18c). Katak pohon hijau yang saling tertarik akan amplexus diatas daun (Gambar 18d) dan (Gambar 18e) kemudian turun melompat ke sisi kolam yang ada di depan pohon Matoa (Pometia pinata) selanjutnya kembali lagi melompat ke pohon yang ada di depan kolam. Memanjat dan melewati rintangan adalah hal yang harus dilakukan oleh pasangan jika lompatannya gagal maka pasangan tersebut jatuh dan harus


(47)

memanjat kembali sampai ke bagian atas pohon matoa (Gambar 18f dan 18g). Setelah masuk masa bertelur maka pasangan akan mencari lokasi bertelur (Gambar 18h dan 18i).

Gambar 18. Urutan perkawinan Katak pohon hijau di Laboratorium Konservasi Tumbuhan.

Pada awalnya pasangan katak terlebih dahulu membuat busa, setelah busa terbentuk kemudian katak betina mengeluarkan telurnya kedalam


(48)

busa yang telah disiapkan (Gambar 18j, 18k dan 18l). Sekitar 1 jam kemudian katak jantan yang sudah selesai kawin lalu meninggalkan betina dan betina menutup telur dengan menempelkan daun yang ada disekitar busa (Gambar 18m dan 18n) setelah tertutup maka betina kembali melompat ke sisi kolam (Gambar 18o) dan masuk ke dalam vegetasi tumbuhan bawah di Lab. Konservasi Tumbuhan.

Dari uraian diatas terlihat bahwa perilaku kawin baik di Arboretum maupun di Lab Tumbuhan tidak berbeda jauh. Urutan perkembangbiakan Katak pohon hijau dimulai dari (a) Panggilan suara (acoustical communication) oleh katak jantan, (b) Pertunjukkan gerakan (display; visual communication) oleh jantan dan betina, (c) Amplexus, (d) Pelepasan telur dan (e) Penutupan telur. Perbedaan hanya terletak di lokasi tempat meletakkan telur (bersarang).

Setelah berhasil kawin dan membuat sarang, maka telur akan berkembang menjadi berudu dalam waktu 5-7 hari, telur akan jatuh ke dalam genangan air ketika hujan turun. Berudu akan tumbuh berkembang didalam genangan air sampai berudu memiliki kaki belakang dan kaki depan. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi berudu berkaki adalah 30-60 hari bergantung pada ketersediaan pakan. Berudu yang telah berkaki akan menjadi katak muda dan ekor akan menghilang dalam waktu 3-4 hari.

Tahapan yang paling rentan akan kematian adalah saat Katak pohon hijau masih menjadi berudu, karena pada tahap ini berudu sangat bergantung terhadap pakan dan keberadaan badan air. Kurangnya pakan dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat dan tidak dapat berkembang menjadi berudu berkaki sedangkan akibat dari hilangnya badan air maka akan menyebabkan kematian secara langsung bagi berudu. Kegagalan dalam tumbuh dan berkembang sering terjadi pada berudu yang ada di parit Arboretum Fahutan. Penyebab yang paling serius adalah hilangnya badan air akibat penguapan dan tidak turunnya hujan. Pembuatan bendungan kecil di parit Arboretum Fahutan diharapkan nantinya dapat memecahkan permasalahan ini sehingga kematian berudu dapat dikurangi.


(49)

Kegagalan lainnya dalam perkembangbiakan adalah kegagalan dalam amplexus. Beberapa penyebab yang diketahui dapat menggagalkan amplexus antara lain: gangguan dari predator (ular) dan turunnya hujan lebat pada saat amplexus terjadi. Tidak adanya prestasi (telur) yang dihasilkan menyebabkan kegagalan pula dalam proses berbiak. Kegagalan akibat gangguan predator dapat lebih merugikan karena individu yang aktif berbiak bisa mati akibat serangan predator dan tidak dapat berbiak lagi, sedangkan gangguan karena hujan hanya mengakibatkan terlepasnya pelukan saat amplexus, akan tetapi individu tersebut masih memiliki kesempatan untuk kembali melakukan perkawinan.

Selama periode perkembangbiakan, Katak pohon hijau memiliki beberapa perilaku yang jarang terjadi. Selain perilaku menunggu, jenis ini juga memiliki perilaku lainnya, perilaku tersebut adalah kesalahan dalam memilih pasangan (missmatch). Pasangan yang dikawini bukan berasal dari jenis yang sama seperti pada Gambar 19.

Gambar 19. Perilaku salah kawin pada katak pohon hijau di Arboretum Fahutan

Dua individu jantan dari Katak pohon hijau memperebutkan satu ekor betina dari jenis Katak pohon bergaris (Polypedates leucomystax). Kejadian ini tidak berlangsung lama karena Katak pohon bergaris menolak untuk melakukan perkawinan sehingga kedua katak langsung terjatuh ke dalam parit dan keduanya langsung terpisah.

Persaingan dan gangguan dari intruder (jantan pengganggu) juga merupakan kejadian menarik yang terjadi pada pasangan katak di Lab. Konservasi Tumbuhan. Gangguan dari intruder terjadi ketika pasangan


(50)

telah amplexus dimana ada jantan lain yang ingin ikut kawin dan berusaha untuk naik ke tubuh pasangan. Gangguan oleh jantan lain dapat dilihat pada Gambar 20.

Perilaku kawin yang seperti ini belum pernah ada laporannya di Indonesia namun di Kosta Rika beberapa jenis katak pohon juga mengalami gangguan yang sama seperti ini, namun gangguan berasal dari jenis yang berbeda (Mattison, 2005).

Gambar 20. Gangguan yang terjadi selama perkembangbiakan di lokasi Laboratorium Konservasi Tumbuhan.

Pasangan yang diganggu sebelum bertelur masih dapat mempertahankan diri dan biasanya terjadi perkelahian yang berakhir dengan jatuhnya jantan pengganggu ke tanah (Gambar 20a dan 20d). Gangguan yang datang pada saat pasangan bertelur tidak dapat dicegah oleh pasangan tersebut (Gambar 20c). Fenomena gangguan dari jantan lain ini umum terjadi pada hewan yang betinanya melakukan perkawinan ganda dimana kompetisi sperma terjadi untuk memastikan keberhasilan reproduksi (Vieites et al., 2004; Goin et al., 1978). Hal lain yang unik adalah katak jantan pengganggu lainnya statusnya sama (intruder) menjadi tidak memiliki teritori khusus dalam periode perkembangbiakan tersebut (Gambar 20a dan 20b). Dengan kata lain terdapat proses sosial yang terjadi karena jantan pengganggu (intruder) yang memiliki tujuan sama saling bekerjasama. Kejadian ini terlihat jelas pada tiga pasangan katak


(51)

yang amplexus dari empat pasang yang ditemukan di Lab. Konservasi Tumbuhan.

D. Suara (Vocalizations)

Suara merupakan salah satu faktor yang dapat menstimulasi terjadinya perkawinan. Suara yang ditampilkan oleh katak jantan dapat merangsang betina dan jantan lain untuk melakukan reproduksi. Menurut Obert (1977)

dalam Duellman dan Trueb (1994) suara dapat menstimulasi aktivitas endokrin pada testis sehingga dapat membawa situasi kepada kondisi puncak untuk melakukan reproduksi. Oldham (1975) berpendapat bahwa suara dapat menyebabkan terjadinya ovulasi pada betina jenis katak tertentu.

Suara merupakan hal yang paling utama dalam perkembangbiakan bagi jenis-jenis amfibi terutama katak. Pada periode berbiak, jantan Katak pohon hijau mengeluarkan suaranya untuk memanggil betina dan memberitahu jantan lain tentang keberadaannya. Jenis pohon tempat memanggil yang paling banyak digunakan di Arboretum Fahutan adalah Burahol (Stelechocarpus burahol), Angsana (Pterocarpus indicus), dan Kaliandra (Caliandra callothyrsus). Sedangkan jenis pohon yang paling banyak digunakan di Laboratorium Konservasi Tumbuhan adalah Matoa (Pometia pinnata). Menurut Stebbins & Cohen (1995), volume dan kepadatan suara dalam mengeras dan merambat sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat bersuara, batang dan cabang pada vegetasi, frekuensi suara dan pantulan permukaan

Tabel 6. Pemilihan substrat untuk bersuara

Jumlah individu

Substrat Lab KT Arboretum

Ranting 25 32

Pohon 19 16

Tanah 0 6

Dll (kabel listrik) 0 1

TOTAL 44 55

Substrat yang paling banyak digunakan untuk melakukan panggilan pada saat periode berbiak adalah ranting. Penggunaan ranting dinilai lebih efisien karena katak jantan dapat melihat dengan jelas posisi katak betina dan katak


(52)

jantan dapat dengan cepat bergerak untuk melompat jika hendak berpindah tempat. Selain itu pemilihan ranting sebagai tempat bersuara diduga agar suara yang dihasilkan dapat lebih keras karena pantulan dan rambatan sedikit berkurang jika dibandingkan dengan bersuara diatas daun. Ranting yang digunakan juga umumnya lebih dari 2 m dari permukaan tanah sehingga pemilihan lokasi bersuara dapat menentukan volume dan kepadatan suara yang dihasilkan.

Suara direkam pada cabang yang sama selama beberapa malam, namun suara yang didapatkan tidak dapat dipastikan berasal dari individu yang sama, karena jantan yang ada tidak dapat ditandai secara khusus. Suara yang di dapat dipisahkan berdasarkan tipe suara yang dihasilkan dan aktivitas katak saat suara dikeluarkan.

Suara panggilan yang dikeluarkan selama waktu berbiak ada bermacam-macam, hal ini bergantung pada jenis katak (Pombal dan Haddad, 1992 dalam

Abrunhosa dan Wogel, 2004), umur dan situasi yang dihadapi (Abrunhosa dan Wogel, 2004). Saat ini sangat sedikit sekali laporan mengenai suara katak di Indonesia, satu-satunya data yang tersedia adalah mengenai suara panggilan dari katak Rana arathooni dari Sulawesi (Brown dan Iskandar, 2000) sementara laporan mengenai katak pohon dari Indonesia tidak ada. Berbeda misalnya untuk jenis-jenis katak pohon di Amerika tengah sudah banyak penelitian yang dilakukan.

Menurut Abrunhosa dan Wogel (2004), Katak pohon Phyllomedusa burmeisteri mengeluarkan 4 tipe suara selama periode perkembangbiakannya. Empat tipe tersebut adalah suara panggilan pendek, suara panggilan panjang, suara pertahanan untuk teritori dan suara berantai (berurutan).

Suara yang dikeluarkan oleh Katak pohon hijau selama periode berbiak sangat beragam. Beberapa macam suara yang dikeluarkan oleh Katak pohon hijau selama periode berbiak di Kampus IPB Darmaga dapat dilihat pada Gambar 21-26.


(53)

Gambar 21. Oscillogram, spectogram dan power spectrum suara panggilan kawin (pendek) jantan Katak pohon hijau. (Frekuensi Hz: 477 +/- 3,0 dan spectrum level dB/Hz:55). Direkam pada tanggal 9 Januari 2006, suhu udara: 24,0 ºC.


(54)

Gambar 22. Oscillogram, spectogram dan power spectrum suara panggilan kawin (panjang) jantan Katak pohon hijau. (Frekuensi Hz: 1830 +/- 38 dan spectrum level dB/Hz:58). Direkam pada tanggal 9 Januari 2006, suhu udara: 24,0 ºC.


(55)

Gambar 23. Oscillogram, spectogram dan power spectrum suara jantan Katak pohon hijau saat amplexus. (Frekuensi Hz: 1374 +/- 54 dan spectrum level dB/Hz:44). Direkam pada tanggal 9 Januari 2006, suhu udara: 24,0 ºC.


(56)

Gambar 24. Oscillogram, spectogram dan power spectrum suara teritori jantan Katak pohon hijau. (Frekuensi Hz: 1412 +/- 43 dan spectrum level dB/Hz:49). Direkam pada tanggal 9 Januari 2006, suhu udara: 24,0 ºC.


(57)

Gambar 25. Oscillogram, spectogram dan power spectrum suara perkelahian jantan Katak pohon hijau. (Frekuensi Hz: 1129 +/- 18 dan spectrum level dB/Hz:45). Direkam pada tanggal 9 Januari 2006, suhu udara: 24,0 ºC.


(58)

Gambar 26. Oscillogram, spectogram dan power spectrum suara gabungan antara suara perkawinan dan suara teritori jantan Katak pohon hijau. (Frekuensi Hz: 2108 +/- 8,4 dan spectrum level dB/Hz:55). Direkam pada tanggal 9 Januari 2006, suhu udara: 24,0 ºC.


(59)

Katak pohon hijau memiliki 6 tipe suara selama periode berbiak yaitu panggilan kawin (pendek; Gambar 21), panggilan kawin (panjang; Gambar 22), suara jantan saat amplexus (Gambar 23), suara untuk menyatakan teritori (Gambar 24), suara katak jantan saat berkelahi dengan pasangan amplexus (Gambar 25) dan gabungan antara beberapa tipe (contoh: suara panggilan kawin dan teritori; Gambar 26). Frekunsi dominan berkisar antara 477-2108 Hz dengan spectrum level berkisar antara 44-58 dB/Hz.

Suara panggilan kawin memiliki beberapa tipe yaitu tipe pendek dan tipe panjang. Selain itu, panggilan kawin juga memiliki beberapa variasi dalam hal jumlah gelombang yang dihasilkan. Beberapa individu jantan juga memiliki perbedaan kualitas suara yang kemungkinan diduga bergantung pada umur dari katak jantan.

Katak pohon hijau jantan mengeluarkan suara (ketika amplexus). Suara yang dikeluarkan sangat pelan. Suara ini merupakan suatu perintah terhadap katak betina, dimana betina akan melakukan pergerakan saat jantan mengeluarkan suara ini. Pergerakan dapat berupa lompatan, jalan pendek, tanda akan dimulainya proses bertelur, bahkan perintah serangan terhadap katak jantan lain yang merupakan pengganggu (intruder).

Panggilan teritori (teritorial call) dilakukan jika ada katak jantan lain yang berada di sekitar jantan penetap dan hendak mendekat. Tipe suara ini banyak terjadi jika betina sudah diketahui keberadaannya oleh katak jantan.

Suara perkelahian juga dikeluarkan oleh katak jantan pada saat terjadi serangan oleh katak jantan lain (intruder) (Gambar 20d). Tidak diketahui secara pasti apakah terjadi perbedaan tipe suara antara katak jantan penyerang dan katak jantan pasangan (yang sedang amplexus). Namun dalam suatu periode penyerangan tipe suara yang dikeluarkan adalah seperti pada Gambar 26.

Menurut Wells (1997) katak memiliki evolusi dalam pengembangan suara yang dihasilkan. Suara katak pada awalnya hanya beberapa tipe dan dapat berkembang menjadi gabungan suara yang lebih kompleks. Katak pohon hijau pada saat berbiak diketahui memiliki beberapa pola suara gabungan. Dari hasil


(60)

analisis diketahui salah satu gabungan yang dihasilkan adalah antara suara panggilan kawin (mating call) dan teritori (teritorial call) (Gambar 26).

E. Upaya Konservasi

Upaya konservasi secara nyata di Kampus IPB Darmaga belum pernah dilakukan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam melestarikan keberadaan Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga adalah dengan cara melindungi habitatnya, tidak melakukan penangkapan yang berlebihan dan melakukan penelitian tentang bio-ekologi Katak pohon hijau.

Preservasi (pengawetan; Gambar 27) merupakan salah satu upaya konservasi untuk mempelajari secara lebih dalam mengenai Bio-ekologi Katak pohon hijau.

Gambar 27. Preservasi berudu Katak pohon hijau sebagai upaya mempelajari Bio-ekologi di laboratorium.

Upaya penyelamatan populasi di alam dapat dilakukan dengan menanam pohon sebagai habitat dari katak pohon hijau dan membuat genangan air buatan di bawah tajuk pohon, terutama pada lokasi tempat Katak pohon hijau ditemukan.

Arboretum Fahutan dan Laboratorium Konservasi Tumbuhan di Kampus IPB Darmaga perlu dilestarikan karena merupakan lokasi tempat ditemukannya Katak pohon hijau. Kelestarian Arboretum Fahutan dan Laboratorium Konservasi Tumbuhan merupakan salah satu kunci kelestarian Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga.


(61)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku berbiak Katak pohon hijau adalah suhu udara, curah hujan, jumlah hari hujan, kelembaban, jumlah dan tipe suara katak jantan.

2. Perilaku meletakkan sarang Katak pohon hijau di kampus IPB Darmaga terbagi menjadi dua tipe yaitu: (a) Tipe yang meletakkan sarang pada tumbuhan (daun atau ranting) dan (b) Tipe yang meletakkan sarang di atas tanah.

3. Urutan perkembangbiakan Katak pohon hijau dimulai dari (a) Panggilan suara (acoustical communication) oleh katak jantan, (b) Pertunjukkan gerakan (display; visual communication) oleh jantan dan betina, (c) Amplexus, (d) Pelepasan telur dan (e) Penutupan telur.

4. Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii) memiliki 6 tipe suara selama periode berbiak yaitu panggilan kawin pendek (short advertisement call), panggilan kawin panjang (long advertisement call), suara jantan saat amplexus (amplexus call), suara untuk menyatakan teritori (teritorial call), suara katak jantan saat berkelahi dengan pasangan amplexus (fight call/ distress call) dan gabungan antara beberapa tipe suara dasar.

5. Faktor yang mempengaruhi gagalnya proses berbiak adalah gangguan predator (ular) dan hujan pada saat katak sedang amplexus.

B. Saran

1. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui faktor fisik yang menyebabkan perubahan perilaku dari sarang yang diletakkan diatas daun menjadi diletakkan diatas tanah.

2. Pemantauan populasi perlu dilakukan untuk mengetahui keberhasilan dari strategi perkembangbiakan yang dilakukan oleh Katak pohon hijau terutama di Arboretum Fahutan.


(1)

analisis diketahui salah satu gabungan yang dihasilkan adalah antara suara panggilan kawin (mating call) dan teritori (teritorial call) (Gambar 26).

E. Upaya Konservasi

Upaya konservasi secara nyata di Kampus IPB Darmaga belum pernah dilakukan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam melestarikan keberadaan Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga adalah dengan cara melindungi habitatnya, tidak melakukan penangkapan yang berlebihan dan melakukan penelitian tentang bio-ekologi Katak pohon hijau.

Preservasi (pengawetan; Gambar 27) merupakan salah satu upaya konservasi untuk mempelajari secara lebih dalam mengenai Bio-ekologi Katak pohon hijau.

Gambar 27. Preservasi berudu Katak pohon hijau sebagai upaya mempelajari Bio-ekologi di laboratorium.

Upaya penyelamatan populasi di alam dapat dilakukan dengan menanam pohon sebagai habitat dari katak pohon hijau dan membuat genangan air buatan di bawah tajuk pohon, terutama pada lokasi tempat Katak pohon hijau ditemukan.

Arboretum Fahutan dan Laboratorium Konservasi Tumbuhan di Kampus IPB Darmaga perlu dilestarikan karena merupakan lokasi tempat ditemukannya Katak pohon hijau. Kelestarian Arboretum Fahutan dan Laboratorium Konservasi Tumbuhan merupakan salah satu kunci kelestarian Katak pohon hijau di Kampus IPB Darmaga.


(2)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku berbiak Katak pohon hijau adalah suhu udara, curah hujan, jumlah hari hujan, kelembaban, jumlah dan tipe suara katak jantan.

2. Perilaku meletakkan sarang Katak pohon hijau di kampus IPB Darmaga terbagi menjadi dua tipe yaitu: (a) Tipe yang meletakkan sarang pada tumbuhan (daun atau ranting) dan (b) Tipe yang meletakkan sarang di atas tanah.

3. Urutan perkembangbiakan Katak pohon hijau dimulai dari (a) Panggilan suara (acoustical communication) oleh katak jantan, (b) Pertunjukkan gerakan (display; visual communication) oleh jantan dan betina, (c) Amplexus, (d) Pelepasan telur dan (e) Penutupan telur.

4. Katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii) memiliki 6 tipe suara selama periode berbiak yaitu panggilan kawin pendek (short advertisement call), panggilan kawin panjang (long advertisement call), suara jantan saat amplexus (amplexus call), suara untuk menyatakan teritori (teritorial call), suara katak jantan saat berkelahi dengan pasangan amplexus (fight call/ distress call) dan gabungan antara beberapa tipe suara dasar.

5. Faktor yang mempengaruhi gagalnya proses berbiak adalah gangguan predator (ular) dan hujan pada saat katak sedang amplexus.

B. Saran

1. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui faktor fisik yang menyebabkan perubahan perilaku dari sarang yang diletakkan diatas daun menjadi diletakkan diatas tanah.

2. Pemantauan populasi perlu dilakukan untuk mengetahui keberhasilan dari strategi perkembangbiakan yang dilakukan oleh Katak pohon hijau terutama di Arboretum Fahutan.


(3)

3. Parit yang menjadi tempat hidup berudu di Arboretum Fahutan perlu dibendung agar air tetap tersedia untuk perkembangan berudu sehingga tingkat kematian berudu dapat dikurangi.

4. Pembabatan tumbuhan bawah di bagian selatan Arboretum Fahutan sebaiknya sebaiknya tidak dilakukan terlalu sering terutama pada musim hujan agar sarang yang ada diatas tanah tidak rusak.

5. Keberadaan pohon Burahol (Stelechocarpus burahol) dan Matoa (Pometia pinnata) harus dipertahankan dan dipelihara, dan pembukaan tajuk di Arboretum Fahutan perlu dihindarkan.

6. Arboretum Fahutan dan Laboratorium Konservasi Tumbuhan harus tetap dipertahankan keberadaannya di Kampus IPB Darmaga sebagai salah satu perlindungan terhadap habitat Katak pohon hijau agar kelestarian Katak pohon hijau dapat dipertahankan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abrunhosa, P. A. & H. Wogel. 2004. Breeding Behavior of the Leaf-frog Phyllomedusa burmeisteri (anura: Hylidae). Amphibia-Reptilia 25: 125-135.

Alcala, A. C. 1962. Breeding Behaviour and Early Development of Frogs of Negros, Phillipine Islands. Copeia 4: 679 - 726.

Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 366 hal.

Berry, P. Y. 1975. The Amphibians Fauna of Peninsular Malaysia. Tropical Press. Kuala Lumpur. 127 hal.

Brown, R. M. & D. T. Iskandar. 2000. Nest Site Selection, Larval Hatching, and Advertisement Call of Rana aranthooni from SouthWestern Sulawesi (Celebes) Island, Indonesia. Journal of Herpetology 34 (3): 404-413.

Campbell, N. A.; J. B. Reece & L.G. Mitchell. 2003. Biologi. Terjemahan. Erlangga. Jakarta. 436 hal.

Cogger, H. G. & R. G. Zwiefel. 1998. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians: a Comprehensive Illustrated Guide by International Expert. Fog City Press. San Francisco. 240 hal.

Duellman, W.E & L. Trueb. 1986. Biology of Amphibians. McGraw-Hill, New York. USA. 670 hal.

Eggert, C. & R. Guyetant. 2003. Reproductive Behaviour of Spadefoot Toads (Pelobates fuscus): Daily Sex Ratios and Males Tactics, Ages and Physical Condition. Canadian Journal of Zoology 81: 46-51.

Goin, C. J. ; O. B. Goin & G. R. Zug. 1978. Introduction to Herpetology. W.H Freeman and Company. San Fransisco. 378 hal.

Haddad, C. F. B. & R. J. Sawaya. 2000. Reproductive Modes of Atlantic Forest Hylid Frogs: A General Overview and the Description of a New Mode. Biotropica 32 (4b): 862-871.

Hernowo, J. B. ; R. Soekmadi & Ekarelawan. 1991. Kajian Pelestarian Satwaliar di Kampus IPB Darmaga. Media Konservasi III (2): 43-65.

Huang, W. S. ; J. K. Lee & C. H. Ho. 2001. Reproductive Patterns of Two Sympatric Rhacophorid Frogs, Buergeria japonica and B. Robusta, with Comments on Anuran Breeding Seasons in Taiwan. Zoological Science 18: 63-70.


(5)

Inger, R. F & R. B. Stuebing. 1997. A Field guide to the Frogs of Borneo. Natural History Publications. Sabah. 205 hal.

Iskandar, D. T. & E. Colijn. 2000. Preliminary Checklist of Southeast Asian and New Guinean Herpetofauna: Amphibians. Treubia 31 (3): 1-133.

Iskandar, D. T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali-Seri Panduan Lapang. Puslitbang-LIPI. Bogor. 117 hal.

IUCN; Conservation International & NatureServe. 2004. Global Amphibian Assessment. <www.globalamphibians.org>. Accessed on 04 May 2006.

Kadadevaru, G. G & R. D. Kanamadi. 2000. Courtship and Nesting Behavior of the Malabar Gliding Frog, Rhacophorus malabaricus (Jerdon, 1870). Current Science 79 (3): 377-380.

Liem, D. S. S. 1971. The Frogs and Toads of Tjibodas Nasional Park, Mt. Gede, Java, Indonesia. Phillippine Journal of Science 100 (4) : 131 - 160.

Mattison, C. 2005. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians: An Essential Guide to Reptiles and Amphibians of the World. Grange Books.

Morrison, C. ; J. M. Hero & W. P. Smith. 2001. Mate Selection in Litoria chloris and Litoria xanthomera: Females Prefer Smaller Males. Austral Ecology 26: 223-232.

Mulyani, Y. A. 1985. Studi Keanekaragaman Jenis Burung di Lingkungan Kampus IPB Darmaga. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Oldham, R. S. 1975. Ovulation Induced by Vocalization in Members of the Rana pipiens complex. Journal of Herpetology 9: 248-249.

Pratomo, H. 1994. Keragaman dan Ekologi Genus Rana (Amphibia:Ranidae) di Daerah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Tesis Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Premo, D. B. 1985. The Reproductive Ecology of a Ranid Frog Community in Pond Habitats of West Java, Indonesia. Dissertation. Depertment of Zoology. Michigan University. United States.

Schiesari, L.; M. Gordo & W. Hoedl. 2003. Treeholes as Calling, Breeding, and Developmental Sites for the Amazonian Canopy Frog, Phrynohyas resinifictrix (Hylidae). Copeia 2: 263-272.


(6)

Schijfsma, K. 1932. Notes on Some Tadpoles, Toads and Frogs from Java. Treubia (XIV): 43-72.

Shine, R. 1979. Sexual Selection and Sexual Dimorphism in Amphibia. Copiea 2 : 297-306.

Stebbins, R. C & N. W. Cohen. 1995. A Natural History of Amphibians. Princeton University Press. New Jersey. 316 hal.

Susanto, H. 1999. Budidaya Kodok Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. 103 hal.

Vaira, M. 2001. Breeding Biology of the Leaf Frog, Phyllomedusa boliviana (Apura, Hylidae). Amphibia-Reptilia 22: 421-430.

Vieites, D. R.; S. N. Roman, M. Barleunga, A. Palanca, M. Vences & A. Meyer. 2004. Post-Mating Clutch Piracy in an Amphibian. Nature 431: 305-308.

Yuliana, S. 2000. Keragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) di Kampus IPB Darmaga, Bogor. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.