Sistem Pertanggung Jawaban Pelaku UsahaProdusen Terhadap Produk Makanan Cacat Produksi

a. Pengembalian sejumlah uang b. Penggantian barang atau yang setara c. Perawatan kesehatan d. Pemberian santunan sesuai kebutuhan perundang-undangan Produk baik barang maupun jasa, pemasarannya dan penggunaannya oleh konsumen senantiasa mengandung dampak negatif, baik karena prilaku produsen maupun sebagai akibat dari prilaku konsumen itu sendiri. Misalnya, karena prilaku curang produsen ataupun karena ketidaktahuan konsumen. Pendidikan terhadap konsumen dan penyadaran kepada semua pihak tentang perlunya keamanan dan keselamatan didalam mengkonsumsi suatu produk amatlah penting. Misalnya dalam mengkonsumsi roti, konsumen diharapkan teliti sebelum membeli roti tersebut dengan melihat tanda expired date yang tertera pada bungkusan roti ataupun memeriksa apakah bungkusan roti tersebut masih baik, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian. Pertanggung jawaban terhadap produk dapat membantu konsumen dalam mendapatkan produk yang baik dan layak untuk dikonsumsi.

B. Sistem Pertanggung Jawaban Pelaku UsahaProdusen Terhadap Produk Makanan Cacat Produksi

Tanggung jawab pelaku usaha atas barang cacat produksi diterapkan prinsip tanggung jawab mutlak dimana pelaku usaha pembuat produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali dia dapat membuktikan keadaan sebaliknya. Pada dasarnya konsepsi tanggung jawab produk inim secara umum tidak jauh berbeda dengan konsepsi tanggung jawab sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 dan 1865 KUH Perdata. Perbedaannya Universitas Sumatera Utara adalah bahwa tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi diperoleh setelah pihak yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa cacatnya produk tersebut serta kerugian yang timbul merupakan akibat kesalahan yang dilakukan oleh produsen. Perbedaan lainnya adalah ketentuan ini tidak secara tegas mengatur pemberian ganti rugi atau beban pembuktian kepada konsumen, melainkan kepada pihak manapun yang mempunyai hubungan hukum dengan produsen, apakah sebagai konsumen, sesama produsen, penyalur, pedagang, atau instansi lain. 59 b. Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat tersebut Mengenai cacat produk ini, ditekankan bahwa pelaku usahalah yang harus bertanggung jawab hal ini dipicu oleh : c. Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi korban produk cacat yang tidak dapa dihindari. Menurut pendapat yang menyatakan produk cacat merupakan produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, karena tiga hal yakni : 60 1 Cacat Produk atau Manufaktur ProductionManufacturing Defect Cacat produk adalah keadaan produk yang umumnya berada dibawah tingkat harapan konsumen atau dapat pula cacat itu sedemikian rupa sehingga dapat membahayakan harta bendanya, kesehatan tubuh, atau jiwa konsumen. 2 Cacat Desain Terjadi apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari desain produk tersebut lebih kecil dari risikonya. 59 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 73. 60 Ibid., hal. 72. Universitas Sumatera Utara 3 Cacat Peringatan atau Instruksi Warning Instruction Defect Cacat produk karena tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau Instruksi penggunaan tertentu. Mengenai cacat produksi juga tercantum dalam Pasal 1504 KUH Perdata yang mewajibkan penjual untuk menjamin cacat tersembunyi yang terdapat pada barang yang dijualnya. Cacat itu mesti cacat yang sungguh-sungguh bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu tidak dapat dipergunakan dengan sempurna atau mengurangi manfaat dari barang atau produk tersebut. Masalah apakah penjual mengetahui atau tidak akan adanya cacat tersebut tidak menjadi persoalan. Baik dia mengetahui atau tidak, penjual harus menjamin atas segala cacat yang tersembunyi pada barang yang dijualnya. Menurut Subekti, cacat tersembunyi tersebut adalah cacat yang tidak mudah dilihat oleh seseorang pembeli yang normal, bukan seorang pembeli yang terlampau teliti, sebab adalah mungkin sekali bahwa orang yang sangat teliti akan menemukan adanya cacat tersebut. Terhadap cacat yang mudah dilihat dan sepatutnya pembeli dapat melihat tanpa susah payah, maka terhadap cacat yang sedemikian penjual tidak bertanggung jawab. Pasal 1505 KUH Perdata menginsyatkan bahwa ganti kerugian pada cacat tersembunyi diberikan sebatas kerugian yang dialami oleh pembeli konsumen. Ganti kerugian terhadap cacat tersembunyi dapat diperoleh konsumen dengan cara mengembalikan barangnya dengan menuntut pengembalian harga pembelian barang tersebut atau tetap memiliki barang dengan sebagian harga pembelian Pasal 1507 KUH Perdata. Apabila penjual telah mengetahui mengenai cacat barang tersebut, maka produsen diwajibkan untuk mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya,serta Universitas Sumatera Utara diwajibkan mengganti segala biaya, kerugian dan bunga kepada pembeli Pasal 1508 KUH Perdata. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, dalam UUPK juga terdapat pengaturan mengenai ganti kerugian terhadap produk cacat. Produk cacat merupakan tanggung jawab pelaku usaha dan termasuk dalam perbuatan melanggar hukum dan disertai dengan unsur tanggung jawab yang mutlak. Pasal 4, 5, 7 sampai dengan Pasal 17, Pasal 19 sampai dengan Pasal 21 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 mengatur mengenai perbuatan yang berkibat menimbulkan kerugian dan membahayakan konsumen. Berikut bunyi Pasal 19 UUPK : 1 Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakkan, pencemaran danatau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2 Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengambilan uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perwatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3 Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah tanggal transaksi. 4 Pemberian ganti rugi sebagaimana dimasksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak mengahapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur sedemikian rupa untuk melindungi konsumen, dengan beban pembuktian dibebankan kepada pelaku usaha, dengan tujuan agar konsumen mendapatkan prestasi berupa produk dengan kontraprestasi harga produk. Standar minimal yang harus dipedomani dalam memproduksi suatu produk amat diperlukan untuk menjalankan amanat Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun Universitas Sumatera Utara perturan perundang-undangan lainnya, untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat atau berbahaya sehingga menghasilkan produk yang layak dan ama untuk dipakai, inilah yang disebut standardisasi. Menurut Gandi, standardisasi yakni : Proses penyusunan dan penerapan aturan-aturan dalam pendekatan secara teratur bagi kegiatan tertentu untuk kemanfaatan dan dengan kerja sama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan penghematan menyeluruh secara optimum dengan memperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Hal ini didasarkan pada konsolidasi dari hasi ilmu teknologi dan pengalaman. 61 a. Pemakaian bahan secara ekonomi, perbaikan mutu, penurunan ongkos produksi, dan penyerahan yang cepat Manfaat dari standardisasi menurut Gandi yakni : b. Penyederhanaan pengiriman dan penangan barang c. Perdagangan yang adil, peningkatan kepuasan pelanggan d. Keselamatan kehidupan dan harta. Standardisasi dapat menjembatani kepentingan konsumen dan kepentingan pelaku usaha dengan menetapkan standardisasi yang mencerminkan asipasi kedua belah pihak sehingga tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan kedua belah pihak dan tentunya penting peran serta pemerintah karena, standardisasi ini berkaitan dengan keselamatan, dan keamanan masyarakat umum apalagi mengenai produk makanan yang dikonsumsi langsung oleh konsumen maupun produk lainnya, dengan adanya standar mutu yang ditetapkan akan sangat membantu konsumen dalam mengkonsumsi barang. 61 Janus Sidabolak, op.cit., hal. 19. Universitas Sumatera Utara Berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia banyak yang telah mengatur mengenai standardisasi yang dijadikan landasan hukum bagi pelaksanaan standardisasi indusrti, yaitu : 62 b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Barang c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal d. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1997 tentang Pangan e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen f. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1989 tentang Standar Nasional untuk Satuan Ukuran g. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia h. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia i. Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997 tentang Badan Standardisasi Nasional. j. dan sebagainya. Peraturan perundang-undangan yang lahir telah banyak mengatur hal-hal untuk melindungi konsumen, namun kesadaran konsumen sendiri sangat diperlukan untuk dapat menjaga keselamatannya sendiri dari mengkonsumsi produk sehingga akan lebih kompleks untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen yang didukung oleh berbagai produk undang-undang yang di buat pemerintah dan itikad baik produsen dalam memproduksi maupun memasarkan produknya. 62 Ibid, hal. 21. Universitas Sumatera Utara

C. Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Makanan Kadaluwarsa dan Cacat Produksi

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Anak Balita Di Puskesmas Panyabungan Jae Kabupatenmandailing Natal Tahun 2014

0 53 122

Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Atas Akut (ISPaA) Pada Anak Balita Di Kelurahan Mangga Keacamatan Medan Tuntungan Tahun 2010

9 65 141

Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) Pada Balita Di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias Tahun 2008

1 55 137

Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Jumlah Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Di Kota Medan Tahun 2003 - 2013

0 40 54

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) BAGIAN ATAS PADA BALITA DI DESA NGRUNDUL KECAMATAN KEBONARUM KABUPATEN KLATEN

0 5 10

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANYUDONO 1 KABUPATEN BOYOLAL

0 2 16

PENDAHULUAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANYUDONO 1 KABUPATEN BOYOLALI.

0 1 8

DAFTAR PUSTAKA FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANYUDONO 1 KABUPATEN BOYOLALI.

0 2 4

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CEPOGO KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2009.

0 3 7

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep Dasar Infeksi, Saluran Pernafasan, Infeksi Akut, dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) - Analisis Faktor yang Mempengaruhi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Kota Medan Tahun 2002-2012

0 0 14