Latar Belakang Dampak Makro Perubahan Iklim Pada Sub Sektor pangan Indonesia

2 I . PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan produksi pangan yang tak stabil dan harga pangan yang makin volatil dan makin tinggi dalam dasawarsa terakhir ini merupakan salah satu wujud dari dampak yang perubahan iklim. Pada Bulan Agustus 2012 ini, organisasi multilateral dan FAO 2008 juga menyatakan bahwa terkait dengan kekeringan yang terjadi di USA, sebagian kawasan Timur Eropa, dan curah hujan di bawah normal di I ndia maka harga pangan tahun ini dan tahun depan diperkirakan akan meningkat. Sementara itu, sebagaimana yang dimuat dalam media massa, BMKG memperkirakan bahwa tahun ini musim kemarau untuk sebagian besar wilayah di I ndonesia lebih panjang daripada tahun lalu. Salah satu kesimpulan kajian ADB 2009 menyebutkan bahwa prospek keberlanjutan ketahanan pangan di kawasan Asia Tenggara tergantung pada tingkat keberhasilan yang dapat dicapai dalam penerapan teknologi produktif yang adaptif terhadap perubahan iklim dalam skala yang luas. Berpijak dari kesimpulan itu, direkomendasikan agar kebijakan dan program adaptasi terhadap perubahan iklim harus diposisikan sebagai bagian integral dari strategi mempertahankan status ketahanan pangannya dan dilakukan akselerasi dalam implementasinya. Terkait dengan kemampuan finansial dan penguasaan teknologinya, secara umum petani kecil lebih rentan terhadap perubahan iklim. I ni logis karena tindakan adaptasi terhadap variabilitas iklim yang tajam membutuhkan kemampuan manajerial, penguasaan teknologi, dan biaya yang memadai. Terkait dengan itu, mengingat sebagia besar petani I ndonesia adalah petani kecil maka dapat disimpulkan bahwa petani I ndonesia rentan terhadap perubahan iklim Sumaryanto, 2010 2 . Pada dasarnya, tanpa diprogramkan-pun secara alamiah petani telah dan selalu berusaha melakukan adaptasi terhadap lingkungannya; termasuk pengaruh 1 Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Budiman Hutabarat atas sumbangan pemikirannya dalam penyusunan proposal ini. 2 Analisis data ‘Pendataan Usahatani Tahun 2009’ PUT 2009 - BPS, menunjukkan bahwa 76 persen petani penghasil pangan utama padi, jagung, kedele, tebu termasuk petani dengan luas garapan di bawah 1 hektar. Bahkan andaikanpun yang disebut petani kecil adalah petani dengan luas garapan 0.5 hektar ke bawah, ternyata proporsinya juga masih sangat besar yakni sekitar 53 persen Sumaryanto, 2010. 3 variabilitas iklim terhadap usahataninya. Akan tetapi untuk beradaptasi terhadap kondisi iklim yang ekstrim, “autonomous adaptation” seperti itu tidak memadai memadai. Diperlukan kualifikasi adaptasi yang lebih tinggi; dan hal itu dapat diwujudkan jika Pemerintah mengambil peran yang tepat. Peran Pemerintah sangat diperlukan, baik dalam konteks penguatan kapasitas adaptasi petani melalui inovasi teknologi dan pengembangan kemampuan manajerialnya maupun dalam penyediaan infrastruktur, kebijakan harga, dan perbaikan kelembagaan pendukungnya ADB, 2009; Lasco, 2011. Efektivitas aksi adaptasi dipengaruhi oleh aksi mitigasi. Di sisi lain, sangat banyak kiat-kiat adaptasi yang sebenarnya merupakan penerapan lebih lanjut dari praktek-praktek adaptasi yang diorientasikan untuk kepentingan jangka panjang. Dengan kata lain, aksi mitigasi akan lebih mudah ditempuh jika pelakunya berpengalaman dalam menerapkan teknologi yang adaptif terhadap perubahan iklim. I mplikasinya kebijakan dan program aksi adaptasi beserta mitigasi harus dilakukan secara simultan dan sinkron sehingga sinergi antar keduanya dapat didayagunakan secara optimal. Perubahan iklim bukanlah fenomena yang sifatnya sementara. I klim memang telah berubah perilakunya; dalam arti bahwa pola musimannya, suhu rata-ratanya, pola dan intensitas curah hujannya telah berubah. Secara umum variabilitas iklim saat ini dan pada masa mendatang tidak kondusif untuk pertanian. Oleh karena itu aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim tidak efektif jika dilakukan secara sporadis, ad hoc, dan responsif. Alasannya, mitigasi dan adaptasi adaptasi bukanlah sekedar “coping strategies”, tetapi merupakan manifestasi dari proses penyesuaian terhadap kondisi lingkungan serta proses pembelajaran dan perencanaan dalam strategi pengembangan eksistensi dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada. Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim harus diposisikan sebagai bagian integral dari pembangunan pertanian jangka pendek – jangka panjang dan dilakukan secara holistik dan konsisten dari waktu ke waktu. Perubahan iklim berimplikasi terhadap hampir semua aspek kehidupan dan aktivitas ekonomi. Menurut Stern et al 2006, total biaya dan risiko diperkirakan setara dengan kehilangan GDP dunia sekitar 5 persen per tahun 4 Stern et al., 2006. Dalam konteks demikian itu persoalan yang dihadapi negara- negara berkembang pada umumnya lebih kompleks kompleks karena selain terjadi penurunan laju pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin dan rawan pangan yang saat ini masih sangat besar diprediksikan akan meningkat tajam. Di sisi lain, penguasaan teknologi dan ketersediaan infrastruktur untuk “coping strategies” maupun mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang pada umumnya lebih terbatas pula. Oleh karena itu secara umum dampak negatif yang diderita negara-negara berkembang diperkirakan lebih besar I PCC, 2001. Dalam era perubahan iklim posisi sektor pertanian sangat strategis. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kondisi berikut: 1 peran vital sektor pertanian dalam penyediaan pangan dan bahan baku industri pengolahan, 2 dibandingkan sektor lain, sektor pertanian adalah paling rentan terhadap perubahan iklim karena cabang usaha utama core business pada sektor ini berbasis usahatani, dan 3 pertanian sangat potensial sebagai kontributor utama aksi mitigasi. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bahwa UNFCCC menempatkan sektor pertanian sebagai prioritas pertama dalam aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Mengingat sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim maka perumusan kebijakan serta penentuan alokasi anggaran untuk pembangunan sektor pertanian sangat membutuhkan data dan informasi mengenai dampak makro perubahan iklim terhadap produksi dan harga-harga komoditas pertanian. Data dan informasi tersebut dapat diperoleh melalui simulasi berdasarkan model yang pengembangannya berbasis pada karakteristik adanya saling keterkaitan antar sub sektor melalui sistem kelembagaan yang berdasarkan kondisi obyektif di lapangan didominasi oleh mekanisme pasar.

1.2. Dasar Pertimbangan