Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Burnout .1 Uji Normalitas
1.3 Tingkat Burnout Perawat Pelaksana
Hasil analisa data mengenai tingkat burnout yang dialami oleh perawat pelaksana dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.3
Tingkat Burnout Perawat Pelaksana n=63 Variabel
Kategori Frekuensi
Persentase Burnout
Tinggi 0,0
Sedang 5
7,9 Rendah
58 92,1
Sumber: Data Primer Pada tabel 5.3, terdapat tiga tingkatan burnout yang menjadi fokus
penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar perawat pelaksana yang bekerja di RS Dr. Pirngadi Medan menunjukkan tingkat burnout yang
rendah 92,1, diikuti dengan burnout tingkat sedang 7,9.
1.4 Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Burnout 1.4.1 Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui tingkat kenormalan pendistribusian data. Uji normalitas data gaya kepemimpinan dan burnout
menggunakan grafik histogram. Jika kedua data terdistribusi normal, maka uji hipotesis yang dilakukan adalah uji parametrik. Jika salah satu dari data gaya
kepemimpinan dan burnout tidak terdistribusi normal, maka uji yang digunakan adalah uji non-parametrik.
Berdasarkan hasil uji normalitas dengan grafik histogram, didapatkan kesimpulan bahwa data gaya kepemimpinan terdistribusi normal, sedangkan data
burnout terdistribusi tidak normal. Dengan demikian, uji hipotesis yang digunakan adalah uji non-parametrik dengan uji korelasi Spearman.
1.4.2 Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Burnout
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh mengenai hubungan gaya kepemimpinan kepala ruangan dengan burnout perawat pelaksana di ruang rawat
inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan, peneliti memutuskan untuk melakukan uji hubungan dengan menghubungkan setiap sub-variabel Gaya Kepemimpinan
Otokratis, Demokratis, Laissez-faire dengan variabel Burnout. Hasil pengolahan
diperoleh sebagai berikut: Tabel 5.4
Hubungan Gaya Kepemimpinan Otokratis, Demokratis, dan Laissez- faire dengan Burnout Perawat Pelaksana
VariabelSub-Variabel
P Gaya Kepemimpinan Otokratis
Burnout -0.112
0.382 Gaya Kepemimpinan Demokratis
Burnout 0.005
0.971 Gaya Kepemimpinan Laissez-faire
Burnout 0.131
0.306 Sumber: Data Primer
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa nilai probabilitas untuk setiap hubungan lebih besar daripada nilai 0.1. Dengan demikian, tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara gaya kepemimpinan otokratis, demokratis, atau laissez- faire yang diterapkan oleh kepala ruangan dengan burnout perawat pelaksana di
ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan. 2.
Pembahasan 2.1 Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan Rawat Inap Rumah Sakit Dr.
Pirngadi Medan Gaya kepemimpinan merupakan cara seorang pemimpin dalam memberikan
arahan, melaksanakan rencana, dan memotivasi anggotanya untuk mencapai
Universitas Sumatera Utara
tujuan kelompok secara bersama-sama Jones, 2007. Gaya kepemimpinan seseorang muncul dari perilaku dan kepribadiannya dalam berinteraksi dengan
anggota kelompok dalam menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan bersama. Dengan mengenali gaya kepemimpinan, seorang pemimpin akan mampu
mengetahui bagaimana cara memimpin suatu kelompok pada saat tertentu. Para anggota juga akan lebih mudah mengenal dan berkolaborasi dengan pemimpin
sehingga tujuan kelompok juga akan lebih mudah tercapai Kippenberger, 2002. Gaya kepemimpinan secara umum dibagi menjadi tiga: otokratik,
demokratik, dan laissez-faire. Gaya kepemimpinan otoriter memiliki karakteristik dimana wewenang mutlak dan tanggung jawab berada pada pemimpin. Gaya
kepemimpinan demokratis memiliki karakteristik dimana wewenang pekerjaan berada pada pemimpin dan anggota. Gaya kepemimpinan laissez-faire memiliki
karakteristik dimana wewenang pekerjaan lebih banyak berada pada anggota Kippenberger, 2002.
Hasil analisa data mengenai gaya kepemimpinan kepala ruangan yang dipersepsikan oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr.
Pirngadi Medan terhadap 63 orang responden menunjukkan bahwa mayoritas responden mempersepsikan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh sebagian
besar kepala ruangan adalah gaya kepemimpinan demokratik 79.4, beberapa responden mempersepsikan gaya kepemimpinan kepala ruangan sebagai gaya
kepemimpinan otokratik 12.7, dan hanya sebagian kecil responden yang mempersepsikan gaya kepemimpinan kepala ruangan sebagai gaya kepemimpinan
laissez-faire 7.9. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Munthe 2006
Universitas Sumatera Utara
yang menyatakan di dalam penelitiannya di RSUP H. Adam Malik bahwa gaya kepemimpinan yang sering dan tepat diterapkan di ruangan rawat inap adalah
gaya kepemimpinan demokratis, dimana kepala ruangan dan perawat pelaksana membuat keputusan bersama-sama.
Gaya kepemimpinan demokratis memiliki orientasi hubungan langsung kepada anggota dan memberikan bimbingan yang efisien dari para pemimpinnya.
Gaya kepemimpinan demokratis juga memiliki koordinasi pekerjaan yang baik terhadap seluruh anggota dengan menekankan pada tanggung jawab bersama
antara pemimpin dan anggota serta kerja sama dan kinerja yang baik Kartono, 2013 dalam Fuadiputra, 2014. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Umam, Hakam dan Susilo 2015 yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan demokratis yang diterapkan oleh pemimpin memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap motivasi kerja dan kinerja para anggotanya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan
demokratis merupakan gaya kepemimpinan yang efektif diterapkan di dalam situasi tertentu seperti di ruangan rawat inap karena situasi ruangan rawat inap
lebih membutuhkan kerja sama tim yang baik dibandingkan pengambilan keputusan yang cepat dalam melakukan penanganan.
2.2 Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan
Burnout adalah sindroma kejenuhan kerja yang ditandai dengan kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian diri yang dapat terjadi pada
seseorang dalam pekerjaannya. Burnout merupakan fenomena multi-dimensional
Universitas Sumatera Utara
yang terdiri dari tiga dimensi utama: kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian diri. Kelelahan emosional mengacu pada penurunan
bahkan hilangnya sumber kekuatan emosional tanpa penyebab yang jelas. Depersonalisasi merupakan perkembangan sikap yang negatif dan kecenderungan
untuk menjauh dari lingkungan. Penurunan pencapaian diri adalah kecenderungan untuk mempercayai bahwa tujuan dalam pekerjaannya tidak tercapai, yang
ditunjukkan oleh perasaan ketidakcukupan sehinggan menimbulkan rasa harga diri profesional yang rendah Maslach Jackson, 1986.
Hasil analisa data mengenai tingkat burnout yang dialami oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan terhadap 63
orang responden menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami burnout tingkat rendah 92.1 dan hanya sebagian kecil responden yang mengalami
burnout tingkat sedang 7.9. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Kidd dan Wagner 1992 yang menyatakan bahwa perawat yang bekerja di ruangan critical
care, misalnya intensive care unit dan emergency room, lebih rentan mengalami burnout tingkat tinggi dibandingkan perawat yang bekerja di ruangan lain,
misalnya di ruangan rawat inap. Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas responden yang mengalami burnout
tingkat rendah adalah perawat pelaksana yang berjenis kelamin perempuan 92.1. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zaidi,
Wajid dan Zaidi 2011 tentang hubungan karakteristik demografi dengan burnout guru sekolah di Lahore Pakistan yang menyatakan bahwa tingkat depersonalisasi
sebagai salah satu dimensi burnout lebih tinggi ditemukan pada laki-laki
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan perempuan.
Pekerja laki-laki
yang mengalami
burnout menunjukkan sikap kehilangan empati dan menarik diri yang lebih nyata
dibandingkan pekerja perempuan. Pekerja laki-laki juga lebih cenderung untuk keluar dari tempat kerja akibat dari burnout yang dialami.
Sebagian besar responden yang mengalami burnout tingkat rendah berusia di bawah 40 tahun 60.3. Hal ini berlawanan dengan teori yang menyatakan
bahwa pekerja yang berusia di bawah 40 tahun lebih berisiko mengalami burnout dibandingkan pekerja yang berusia di atas 40 tahun Schabracq, Winnuubst
Cooper, 2003. Sebagian besar responden di atas 40 tahun yang bekerja di ruang rawat inap tersebut mengalami stres kerja berkepanjangan akibat beban kerja dan
rutinitas yang dialami. Hal ini didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Togia 2005 bahwa tugas–tugas yang bersifat rutin dan berulang, serta beban
kerja yang berlebihan akan menimbulkan stres berkepanjangan yang berujung pada burnout. Hal tersebut juga sesuai dengan hasil observasi yang menunjukkan
bahwa beberapa responden yang berusia di atas 40 tahun mengeluhkan beban kerja yang berat disertai kegiatan rutin sehingga mereka merasa tidak ada
kemajuan dalam pekerjaannya. Hasil penelitan mengenai tingkat pendidikan menunjukkan bahwa sebagian
besar perawat yang mengalami burnout rendah berasal dari responden dengan latar pendidikan D-3 Keperawatan 61.9. Hal ini sejalan dengan pernyataan
yang dikemukakan oleh Schabracq, Winnuubst dan Cooper 2003 bahwa masalah pekerjaan yang berkaitan dengan stres lebih banyak terjadi pada pekerja dengan
tingkat pendidikan yang rendah.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas responden penelitian yang mengalami tingkat burnout rendah memiliki pengalaman kerja lebih dari 10
tahun 71.4. Hal ini sesuai dengan pernyataan Freudenberger 1974 bahwa burnout tingkat tinggi lebih sering terjadi pada pekerja yang memiliki sedikit
pengalaman kerja. Hal ini disebabkan karena para pekerja dengan pengalaman yang sedikit tersebut belum mampu beradaptasi dan membentuk strategi koping
yang efektif dalam mengatasi masalah di dalam pekerjaan sehingga peluang untuk mengalami burnout pada pekerja dengan kondisi tersebut lebih besar
dibandingkan dengan pekerja yang memiliki masa kerja yang lebih lama Schabracq, Winnuubst Cooper, 2003.
2.3 Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan
Hasil penelitian hubungan gaya kepemimpinan kepala ruangan dengan burnout perawat pelaksana menunjukkan bahwa nilai probabilitas p=0.923 lebih
besar dari nilai 0.1, yang berarti hipotesis null H gagal ditolak. Dengan
demikian, penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan kepala ruangan dengan burnout perawat
pelaksana di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan. Gaya kepemimpinan kepala ruangan tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan burnout perawat pelaksana disebabkan oleh karakteristik burnout itu sendiri. Burnout adalah fenomena multi-faktorial. Burnout tidak hanya
disebabkan oleh hubungan individu dengan lingkungan kerjanya, tapi juga disebabkan oleh karakteristik individu itu sendiri Maslach,1986.
Universitas Sumatera Utara
Maslach 1986 menyatakan bahwa sumber utama timbulnya burnout adalah karena adanya stres yang berkembang secara akumulatif yang disebabkan oleh
faktor ekstrinsik beban kerja, dukungan sosial dan gaya kepemimpinan dan faktor intrinsik karakteristik individu, motivasi kerja dan peran individu secara
berkesinambungan.
Universitas Sumatera Utara
45