Kecamatan Perbaungan Sebagai Pusat Pertumbuhan Di Kabupaten Serdang Bedagai

(1)

KECAMATAN PERBAUNGAN SEBAGAI PUSAT

PERTUMBUHAN DI KABUPATEN

SERDANG BEDAGAI

T E S I S

Oleh

ERWIN HARAHAP

077003015/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S

E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA

N


(2)

KECAMATAN PERBAUNGAN SEBAGAI PUSAT

PERTUMBUHAN DI KABUPATEN

SERDANG BEDAGAI

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ERWIN HARAHAP

077003015/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : KECAMATAN PERBAUNGAN SEBAGAI PUSAT PERTUMBUHAN DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

Nama Mahasiswa : Erwin Harahap Nomor Pokok : 077003015 Program Studi

Konsentrasi

: :

Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Perencanaan Pembangunan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Iic rer reg. Sirojuzilam, SE) Ketua

(Kasyful Mahalli, SE, M.Si) Anggota

(Agus Suriadi, S.Sos, M.Si) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. H. Bachtiar Hassan Miraza, SE)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 10 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Iic. rer. reg. Sirojuzilam, SE Anggota : 1. Kasyful Mahalli, SE, M.Si

2. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si 3. Dr. Ir. Rahmanta, M.Si


(5)

ABSTRAK

Erwin Harahap, 077003015, “Kecamatan Perbaungan Sebagai Pusat

Pertumbuhan di Kabupaten Serdang Bedagai”. Komisi Pembimbing Prof. Dr. lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE (Ketua); Kasyful Mahalli, SE, M.Si (Anggota)

dan Agus Suriadi, S.Sos, M.Si (Anggota).

Beberapa permasalahan yang diteliti yaitu i. kondisi wilayah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai pada saat ini, ii. kebutuhan sarana pendidikan, kesehatan dan tenaga kerja yang dilihat dari penyerapan tenaga kerjanya di Kecamatan Perbaungan sampai tahun 2014.

Analisis data menggunakan 2 (dua) alat analisis yaitu i. Metode trend yang dimana untuk mengukur proyeksi jumlah penduduk dan penyerapan tenaga kerja beberapa tahun ke depan, ii. standar pedoman perencanaan lingkungan kota dari Dep.PU.Dir. Cipta Karya menghitung jumlah sarana prasarana kesehatan dan pendidikan yang akan dibutuhkan dan luas lahan yang akan digunakan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa proyeksi penduduk di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai sampai dengan tahun 2014 berjumlah 136.184 jiwa. Dengan jumlah penduduk sebanyak 136.184 jiwa. Maka di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai membutuhkan penambahan fasilitas bangunan sekolah, taman kanak-kanak (TK) sebanyak 66 unit, gedung sekolah dasar (SD) sebanyak 65 unit dan gedung sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) sebanyak 25 unit. Sedangkan untuk fasilitas sarana prasarana kesehatan perlu penambahan gedung Puskesmas sebanyak 1 Unit, Puskesmas Pembantu sebanyak 14 Unit, Balai Pengobatan Umum sebanyak 4 Unit dan Praktek Dokter sebanyak 12 Unit. Hasil analisis menunjukkan bahwa proyeksi penyerapan tenaga kerja di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai sampai dengan 2014 berjumlah 16.681 jiwa.

Kata Kunci : Pusat Pertumbuhan (growth pole), pertumbuhan penduduk, peningkatan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan dan penyerapan tenaga kerja.


(6)

ABSTRACT

Erwin Harahap. 077003015. The tittel of Research "Sub Perbaungan For

Growth Center in Serdang Bedagai". The Consulting Commission Prof. Dr. Lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE (Chairman); Kasyful Mahalli, SE, M. Si

(Member) and Agus Suriadi, S. Sos, M. Si (Member).

Some problems in the study of i. Perbaungan subdistrict conditions Serdang Bedagai at this time, ii. needs of educational facilities, health and labor as seen from the absorption of labor in the District until the year 2014 Perbaungan.

Data analysis using the 2 (two) analysis tool that is i. The method in which trends to measure the projection of the population and employment the next few years, ii. standard guidelines of urban environmental planning Dep.PU.Dir. Cipta Karya count the number of health infrastructure and education will be needed and the land that will be used.

Results of analysis showed that the population projections in the District Serdang Bedagai Perbaungan until the year 2014 amounted to 136,184 souls. With a population of 136,184 inhabitants. So in District Perbaungan Bedagai Serdang require additional school facilities, kindergartens (TK) as many as 66 units, primary schools (SD) of 65 units and the building's first level of secondary school (SLTP) as many as 25 units. As for the health infrastructure facilities need to increase health center building of Unit 1, District Clinic of Unit 14, Hall 4 of the General Medicine Unit and Practice of Dr. Unit 12. Results of analysis showed that the projected employment in the District Perbaungan Serdang Bedagai until 2014 amounted to 16,681 souls.

Keywords: Growth Center, Population Growth, Improving Infrastructure and Health Education and Employment.


(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga dapat diberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul ”Kecamatan Perbaungan Sebagai Pertumbuhan di Kabupaten Serdang Bedagai” dimana penulis membuat tesis ini untuk melengkapi kewajiban studi pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) di Universitas Sumatera Utara.

Keberhasilan dalam pengerjaan dan penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik bantuan secara langsung maupun tidak langsung, sehingga dapat terselesaikannya tesis ini.

Pada kesempatan ini saya sampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A(K). Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE, Kasyful Mahalli, SE, M.Si dan Agus Suriadi, S.Sos, M.Si, selaku Komisi Pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan petunjuk, pengarahan dan membimbing penulis sejak awal penyusunan proposal sampai selesainya tesis ini.

4. Bapak Prof. H. Bachtiar Hassan Miraza, SE, selaku Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Universitas Sumatera Utara.


(8)

5. Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Universitas Sumatera Utara.

6. Kepada Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji mengucapkan terima kasih atas masukannya sehingga selesainya penyusunan tesis ini.

7. Seluruh Dosen-Dosen dan karyawan dan karyawati Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Bupati Serdang Bedagai Ir. H. T. Erry Nuradi, MBA. M.Si, yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.

9. Bapak Kepala Bappeda Serdang Bedagai Ir. H. Safaruddin yang telah memberikan izin kepada peneliti di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.

10.Kepada Bapak Camat Perbaungan, Sekretaris Camat Perbaungan, Lurah dan Pegawai Badan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten Serdang Bedagai dan seluruh Staff yang telah memberikan bantuan dalam proses penelitian ini.

11.Kepada keluarga Besar H. Muhammad Idris Harahap yang tercinta yang telah memberikan semangat, dukungan dan doa restunya.

12.Kepada Ayahanda H. Husni Thamrin Harahap dan Ibunda tercinta Dra. Hj. Nazmah Lubis. yang telah memberikan semangat, dukungan doa kepada

ananda sehingga dapat terselesaikannya tesis ini.

13.Kepada Abangda Andri Putra Harahap, S.Kom memberikan bantuan kepada adinda sehingga dapat terselesaikannya tesis ini.

14.Kepada teman-teman kuliah dan teman yang telah membantu dalam suka dan duka di Program Studi Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Universitas Sumatera Utara terima kasih atas dukungan saran dan semangatnya kepada penulis.


(9)

15.Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini yang tidak pernah penulis lupakan selamanya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna maka diharapkan memberikan saran, pendapat dan kritikan yang bersifat membangun dalam perbaikan dan penyempurnaan yang akan datang.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, September 2009 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 31 Juli 1984. Penulis merupakan anak kedua dari 2 (dua) orang bersaudara dengan nama Ayahanda H. Husni Thamrin Harahap dan nama Ibunda Dra. Hj. Nazmah Lubis. Saat ini penulis memiliki Saudara kandung nama Andri Putra Harahap, ST.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada SD Negeri 060853 Medan pada tahun 1997, menyelesaikan pendidikan SLTP Swasta di SLTP Swasta Al-Fattah Medan pada tahun 2000, menyelesaikan pendidikan SLTA Swasta di SLTA Swasta Dharmawangsa Medan pada tahun 2002 dengan jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan menyelesaikan perguruan tinggi pada Sekolah Tinggi Teknik Harapan (STTH) Studi S1 (Strata satu) pada jurusan Teknik Informatika di Medan Sumatera Utara pada tahun 2006 dengan Gelar Sarjana Teknik (ST). Sejak September 2007 sampai saat ini dalam menyelesaikan Studi S2 (Strata dua) pada Sekolah Pascasarjana Jurusan Perencanaan Pembangunan Wilayah Pedesaan (PWD) dengan bidang kekhususan Perencanaan Pembangunan (PP) Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR GRAFIK ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1 Pusat Pertumbuhan ... 9

2.2 Teori Kutub Pertumbuhan ... 14

2.3 Pertumbuhan Wilayah ... 18

2.4 Pembangunan Ekonomi ... 25

2.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Perkembangan Ekonomi Wilayah ... 26

2.6 Lokasi Industri dan Kawasan Industri ... 34

2.7 Proses Pertumbuhan... 37

2.8 Konsep Pertumbuhan Ekonomi ... 39

2.9 Pertumbuhan Penduduk ... 41

2.10 Penelitian Terdahulu ... 43

2.11 Kerangka Penelitian ... 45

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 47

3.2 Jenis dan Sumber Data... 47

3.3 Teknik Analisis Data... 48

3.4 Definisi Operasional Variabel... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53 4.1 Gambaran Umum Kecamatan Perbaungan Kabupaten


(12)

4.1.1 Letak dan Keadaan Geografis ... 53

4.1.2 Kondisi Topografi ... 55

4.1.3 Iklim ... 55

4.1.4 Penggunaan Lahan ... 57

4.2 Kondisi Saat Ini Wilayah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai ... 58

4.2.1 Penduduk... 58

4.2.1.1 Penduduk Menurut Jenis Kelamin ... 62

4.2.1.2 Penduduk Menurut Kelompok Umur... 64

4.2.1.3 Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 65

4.2.1.4 Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 66

4.2.2 Keadaan Perekonomian Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai ... 66

4.2.2.1 Pertumbuhan Ekonomi... 66

4.2.2.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi ... 69

4.2.2.3 Kontribusi PDRB Antar Kecamatan ... 72

4.2.3 Keadaan Sarana Prasarana Wilayah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai ... 75

4.2.3.1 Sarana Pendidikan... 75

4.2.3.2 Sarana Kesehatan ... 78

4.3 Angkatan Kerja ... 80

4.3.1 Penyerapan Tenaga Kerja ... 80

4.4 Analisis Kebutuhan Pengembangan Penyediaan Sarana Prasarana Pendidikan dan Kesehatan pada Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Sampai dengan Tahun 2014 ... 82

4.4.1 Analisis Proyeksi Perkembangan Penduduk... 82

4.4.2 Analisis Kebutuhan Pengembangan Sarana Pendidikan... 85

4.4.3 Analisis Kebutuhan Pengembangan Sarana Kesehatan ... 89

4.5 Analisis Proyeksi Angkatan Kerja dalam Penyerapan Tenaga Kerja di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai sampai dengan Tahun 2014 ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

5.1. Kesimpulan ... 96

5.2. Saran ... 97


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 3.1. Standar Pedoman Perencanaan Sarana Pendidikan ... 49 3.2. Standar Pedoman Perencanaan Sarana Kesehatan... 51 4.1. Lokasi dan Keadaan Geografis Kecamatan Perbaungan

Kabupaten Serdang Bedagai ... 53 4.2. Luas Wilayah Kecamatan Perbaungan

Kabupaten Serdang Bedagai ... 54 4.3. Curah Hujan dan Banyak Hari Hujan di Kecamatan

Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai ... 56 4.4. Luas Penggunaan Lahan Wilayah Kecamatan Perbaungan

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2007 ... 58 4.5. Jumlah dan Perkembangan Penduduk di Kecamatan

Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 1996-2007... 59 4.6. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan

Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai ... 62 4.7. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kecamatan

Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai ... 64 4.8. Jumlah Penduduk 10 Tahun ke atas Menurut Tingkat

Pendidikan di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang

Bedagai Tahun 2008 ... 65 4.9. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan

Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2007 ... 66 4.10. Pertumbuhan Ekonomi Kecamatan Perbaungan Kabupaten

Serdang Bedagai pada Tahun 2004-2007 (Persen) ... 67 4.11. Laju Pertumbuhan PDRB atas Dasar Harga berlaku 2000


(14)

4.12. Sumber Pertumbuhan PDRB atas Dasar Harga berlaku 2000

Kecamatan Perbaungan Tahun 2005-2007 (Persen)... 71 4.13. Banyaknya Jumlah Sekolah, Guru dan Murid TK, MI,

SD, SLTP, SLTA, MTs, SMK di Kecamatan Perbaungan

Kabupaten Serdang Bedagai ... 76 4.14. Jumlah Sekolah di Kecamatan Perbaungan Kabupaten

Serdang Bedagai Tahun 2007 ... 77 4.15. Jumlah Sarana Prasarana Fasilitas Kesehatan Kecamatan

Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2007 ... 79 4.16. Jumlah dan Perkembangan Angkatan Kerja di Kecamatan

Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 1996-2007 (Persen) ... 81 4.17. Proyeksi Penduduk Kecamatan Perbaungan Kabupaten

Serdang Bedagai Tahun 2008-2014... 83 4.18. Proyeksi Jumlah Sarana Prasarana Fasilitas Pendidikan

Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2014 ... 86 4.19. Proyeksi Kebutuhan Sarana Prasarana Fasilitas Pendidikan

di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2014 .... 87 4.20. Analisis Kebutuhan Fasilitas Pendidikan Kecamatan

Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2014 ... 89 4.21. Proyeksi/Penambahan Kebutuhan Jumlah Sarana Prasarana

Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Perbaungan Kabupaten

Serdang Bedagai Tahun 2014 ... 90 4.22. Analisis Kebutuhan Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Perbaungan

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2014 ... 91 4.23. Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja di Kecamatan


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1 Susunan Orde Kota dalam Suatu SWP (Satuan Wilayah

Pengembang ... 20 2 Kerangka Pemikiran “Kecamatan Perbaungan sebagai


(16)

DAFTAR GRAFIK

Nomor Judul Halaman 4.1. Jumlah dan Perkembangan Penduduk di Kecamatan Perbaungan

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 1996-2007... 59 4.2. Kepadatan Penduduk Kabupaten Serdang Bedagai Menurut

Per Kecamatan Tahun 2007 ... 61 4.3. Grafik Penduduk Kecamatan Menurut Jenis Kelamin Tahun 2007 ... 63 4.4. Distribusi PDRB atas Dasar Harga Berlaku Kecamatan

Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2007 (persen)... 68 4.5. Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Kecamatan

Perbaungan dan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2005-2007

(Persen) ... 70 4.6. Kontribusi PDRB Kecamatan Perbaungan Dibandingkan

Kecamatan lain di Kabupaten Serdang Bedagai terhadap PDRB

Kabupaten Serdang Bedagai 2007 (persen) ... 74 4.7. Jumlah dan Perkembangan Angkatan Kerja di Kecamatan Perbaungan

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 1996-2007 (persen). ... 82 4.8. Proyeksi Penduduk Kecamatan Perbaungan Kabupaten

Serdang Bedagai Tahun 2008-2014... 84 4.9. Jumlah dan Perkembangan Penduduk di Kecamatan

Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 1996-2014... 84 4.10. Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja di Kecamatan Perbaungan

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2008-2014... 93 4.11. Jumlah dan Perkembangan Angkatan Kerja di Kecamatan

Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 1996-2014


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Surat Izin Penelitian dari Universitas Sumatera Utara... 103 2. Surat Izin Penelitian dari Bupati Serdang Bedagai ... 104 3. Peta Wilayah Kecamatan Perbaungan ... 105 4. Foto Dokumentasi Penelitian di Kecamatan Perbaungan


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan (growth) merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai di lapisan paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah. Pertumbuhan harus berjalan secara beriringan dan terencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan dan pembagian hasil-hasil pembangunan dengan lebih merata. Dengan demikian maka daerah yang miskin, tertinggal, tidak produktif akan menjadi produktif, yang akhirnya akan mempercepat pertumbuhan itu sendiri. Strategi ini dikenal dengan istilah ”redistribution with growth”. Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda intensitasnya akan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau dispantas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah.

Menurut Kuznets dalam Jhigan (1966) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai ”Kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu wilayah untuk menyediakan semakin banyak barang kepada penduduknya, kemampuan ini bertambah sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang dipertahankan.


(19)

Perekonomian Indonesia menghadapi sejumlah masalah yang sangat berat, khususnya akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Penerimaan pendapatan, kemiskinan, pengangguran, laju inflasi yang tinggi, ketahanan pangan yang kropos merupakan sederetan persoalan ekonomi yang memerlukan pemecahan sesegera mungkin, krisis ekonomi suatu korelasi pasar akibat kebijakan yang ditempuh selama ini, yang lebih memfokuskan kepada pembagunan industri yang bersifat hi-tech dengan mengandalkan murahnya tenaga kerja dengan komponen bahan baku utama adalah impor (foot loose industry).

Krisis ekonomi yang berkepanjangan tersebut, terhitung sejak 1 Januari 2001, secara resmi pelaksanaan otonomi daerah mulai diterapkan sejalan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Masing-masing pemerintah Kabupaten dan Kota memiliki hak dan kewenangan penyelengaraan pemerintah yang cukup luas. Ini membawa implikasi dan perubahan yang cukup mendasar dalam hal peningkatan tanggung jawab penyelengaraan pemerintah, kemampuan pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal pembiayaan, aparatur penyelengaraan, sarana dan prasarana, organisasi dan manajemen serta ketersediaan dokumen induk perencanaan yang strategis untuk melaksanakan otonomi daerah tersebut masih sangat terbatas.

Sesuai dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, Pasal 26 ayat (1) menyebutkan:


(20)

(1) Rencana tata ruang wilayah Kabupaten memuat:

a. Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah Kabupaten;

b. Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah Kabupaten;

c. Rencana pola ruang wilayah Kabupaten yang meliputi kawasan lindung Kabupaten dan kawasan budi daya Kabupaten;

d. Penetapan kawasan strategis Kabupaten;

e. Arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan

f. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.

Peranan PAD sebagai salah satu sumber pembiayaan terhadap APBD yang masih kecil, kurang transparannya dana yang bersumber dari subsidi pemerintah pusat, membengkaknya belanja rutin akibat pelimpahan pegawai eks instansi vertikal dan adanya tuntutan pelayanan prima dari masyarakat, merupakan sederetan persoalan-persoalan penyelenggaraan daerah yang harus mampu untuk segera diantisipasi oleh setiap pemerintah Kabupaten/Kota.

Untuk mempercepat pertumbuhan, pembangunan dan mengurangi terjadinya ketimpangan-ketimpangan serta memberikan pelayanan pada masyarakat


(21)

di Kecamatan Perbaungan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang merupakan kota hirarki/orde ke II dengan fungsi sebagai berikut :

1. Pusat pelayanan wilayah pengembang sekaligus sebagai pusat pemerintahan Kecamatan.

2. Pusat perekonomian jasa perdagangan bagi wilayah pengembangan. 3. Pusat pendidikan masyarakat, kesehatan (RSU) dan pertanian.

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu Kabupaten yang ada dikawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada posisi 2’57” Lintang Utara, 3’16” Lintang Selatan, 99’27” Bujur Timur, 99’27” Bujur Timur dengan ketinggian berkisar 0-500 meter di atas permukaan laut.

PDRB perkapita Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2006 mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. PDRB perkapita pada tahun 2006 sebesar Rp. 9.385.791, meningkat dari Rp. 8.602.475 tahun 2005, sedangkan berdasarkan harga konstan 2000 juga meningkat, dari Rp. 5.746.191 tahun 2005 menjadi Rp. 5.927.942 pada tahun 2006.

Pertumbuhan ekonomi Serdang Bedagai mencapai 3,31% pada tahun 2004. Pencapaian ini meningkat dengan cukup signifikan bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun 2003 sebesar 3,04%. Dalam pembentukan total PDRB Kabupaten Serdang Bedagai berdasarkan harga konstan pada tahun 2004 ada tiga sektor yang cukup dominan yaitu pertanian (Rp.580.955,97 juta), Industri


(22)

(Rp.203.081,36 juta) dan sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (Rp.165.061,53 juta).

Kecamatan Perbaungan merupakan sebuah Kecamatan yang masih di dalam wilayah Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah 111,620 Km2 yang terdiri dari 28 Desa dan Kelurahan yang di mana jumlah penduduk di Kecamatan Perbaungan sejumlah 97.031 di mana kepadatan penduduk di Kecamatan Perbaungan di Kabupaten Serdang Bedagai adalah 869 Jiwa/Km2, dapat dipersentasekan bahwa penduduk yang ada di Kecamatan Perbaungan di Kabupaten Serdang Bedagai adalah 16,02 % pada tahun 2006.

Pada tahun 2007, jumlah penduduk di Kecamatan Perbaungan sebanyak 97.031 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 23.091 rumah tangga. Dengan luas wilayah Kecamatan Perbaungan 111, 620 km2, maka tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Perbaungan mencapai 869 jiwa/km2, dapat dipersentasekan bahwa penduduk yang ada di Kecamatan Perbaungan di Kabupaten Serdang Bedagai adalah 16,02%.

Ekonomi kota Perbaungan, sebagai Kecamatan yang mengandalkan kepada sektor sekunder dan tersier. Sebelum pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Serdang Bedagai mencapai 6,22 persen. Pertumbuhan ekonomi terbesar terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian.

Laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah menunjukan tingkat pencapaian kinerja ekonomi makro di mana perkembangan sembilan struktur ekonomi akan dapat


(23)

diamati selama siklus ekonomi sedang berlangsung sehingga sinyalemen positif atau negatif yang mempengaruhi kinerja ekonomi makro secara umum dapat diantisipasi sedini mungkin.

Sejalan dengan maksud tersebut penelitian ini dilakukan di Kabupaten Serdang Bedagai dengan judul : “Kecamatan Perbaungan Sebagai Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Serdang Bedagai.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dari latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan beberapa permasalahan yang akan diteliti dan diamati dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kondisi wilayah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai pada saat ini?

2. Bagaimanakah kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan dan industri yang dilihat dari penyerapan tenaga kerjanya di Kecamatan Perbaungan sampai tahun 2014?

1.3. Tujuan Penelitian

Bertitik berat latar belakang dan permasalahan Kota Perbaungan sebagai pusat pertumbuhan di Kabupaten Serdang Bedagai, maka tujuan dari penelitian ini bertujuan sebagai berikut:


(24)

1. Menggambarkan keadaan sekarang pada wilayah pusat pertumbuhan di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Untuk menganalisis kebutuhan pengembangan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan dan industri (dilihat dari penyerapan tenaga kerjanya) pada wilayah pusat pertumbuhan di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai sampai tahun 2014.

1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan kajian tentang penelitian diatas diharapkan memberikan manfaat bagi:

1. Sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah daerah dan merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan jumlah masalah perencanaan pertumbuhan (growth) wilayah Kecamatan.

2. Sebagai bahan studi bagi akademis untuk mengkaji lebih jauh tentang pusat pertumbuhan (growth pole theory).

Sebagai bahan yang dapat menambah pengetahuan dalam bidang Ekonomi Regional terutama mengenai Pusat Pertumbuhan, sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah di daerah. Juga dapat menjadi kajian-kajian yang meneliti kondisi, baik dari proyeksi pertambahan penduduknya tiap tahunnya, sarana dan prasarana industri, pendidikan dan kesehatan di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pusat Pertumbuhan

Konsep pusat-pusat pertumbuhan pertama kali diperkenalkan oleh Francois Perroux (1995) dengan istilah growth pole atau pole de croissance (kutub pertumbuhan). Konsep ini erat hubungannya dengan konsep central place-nya Christaller (1993) dan konsep heksagonalnya August Losch (1944). Pola pemikiran Christaller dan Losch dipengaruhi oleh teori Von Thunen (1926) dan Alfred Weber (1909). Dalam konsepnya tersebut, Perroux menyatakan bahwa pertumbuhan tidak terjadi secara serentak, pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub perkembangan dengan intensitas yang berubah-ubah, perkembangan itu menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka ragam terhadap keseluruhan perekonomian (Jayadinata, 1999)

Bertitik tolak dari konsep growth pole dari Perroux ini muncul konsep-konsep serupa, yaitu kutub-kutub pengembangan (development poles), pusat-pusat pertumbuhan (growth centres), titik-titik pertumbuhan (growth points), daerah-daerah pertumbuhan (growth areas), zona-zona pertumbuhan (growth zones) dan core region yang pada prinsipnya bermaksud sama, yaitu untuk mendorong perkembangan daerah. Letak perbedaannya adalah bahwa konsep kutub mendorong perkembangan daerah. Letak perbedaannya adalah bahwa konsep kutub pertumbuhan tanpa suatu


(26)

dimensi geografik yang spesifik, sedangkan konsep pusat-pusat pertumbuhan, titik-titik pertumbuhan, maupun core region berkenaan dengan dimensi geografik atau lokasi (Glasson, 1977).

Konsep-konsep pertumbuhan mengandung pengertian adanya suatu hubungan saling mempengaruhi secara timbal balik antara pusat-pusat tersebut dengan daerah pengaruhnya. Pusat-pusat itu sendiri berada pada suatu jenjang tertentu yang terdiri atas pusat pertumbuhan pertama, pusat pertumbuhan kedua, dan seterusnya. Menurut teori ini pertumbuhan akan dapat dijalarkan dari pusat pertama ke pusat kedua dan seterusnya melalui mekanisme yang disebut spread effect oleh Gunner Myrdal (1976) atau disebut trickling down effect oleh Hirschman (1958), yaitu gaya-gaya yang mendorong perkembangan ke daerah pengaruhnya yang biasanya merupakan daerah yang relatif kurang berkembang. Dalam pengembangan daerah melalui pusat-pusat pertumbuhan, kegiatan akan disebar ke beberapa pusat-pusat pertumbuhan sesuai dengan hirarki dan fungsinya. Pada skala regional dikenal tiga orde, yaitu:

1. Pusat pertumbuhan primer (utama)

Pusat pertumbuhan primer atau pusat utama orde satu ialah pusat utama dari keseluruhan daerah, pusat ini dapat merangsang pusat pertumbuhan lain yang lebih bawah tingkatannya. Biasanya pusat pertumbuhan orde satu ini dihubungkan dengan tempat pemusatan penduduk terbesar, kelengkapan fasilitas dan potensi aksesibilitas terbaik, mempunyai daerah belakang terluas serta lebih multi fungsi dibandingkan dengan pusat-pusat lainnya.


(27)

2. Pusat pertumbuhan sekunder (kedua)

Pusat pertumbuhan sekunder ini adalah pusat dari sub-daerah, seringkali pusat ini diciptakan untuk mengembangkan sub-daerah yang jauh dari pusat utamanya. Perambatan perkembangan yang tidak terjangkau oleh pusat utamanya dapat dikembangkan oleh pusat pertumbuhan sekunder ini.

3. Pusat pertumbuhan tersier (ketiga)

Pusat pertumbuhan tersier ini merupakan titik pertumbuhan bagi daerah pengaruhnya. Fungsi pusat tersier ini ialah menumbuhkan dan memelihara kedinamisan terhadap daerah pengaruh yang dipengaruhinya (Friedmann, 1966). Manfaat konsep pusat-pusat pertumbuhan sebagai alat kebijaksanaan dalam perencanaan regional telah cukup lama disadari. Akan tetapi relevansinya tidak hanya terbatas pada daerah-daerah yang mengalami kemunduran saja, karena pada awal tahun 1964 telah disarankan suatu kebijaksanaan yang mengkonsentrasikan semua pertumbuhan industri dalam sejumlah kecil pusat besar bagi daerah makmur (Glasson, 1977). Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut juga telah mendapat sambutan yang menyenangkan di negara-negara yang sedang berkembang. Beberapa contoh yang terkenal adalah kompleks industri Bari Toronto-Brindisi untuk daerah Mezzogiorno di Italia Selatan, dan pembangunan pusat-pusat baru di Brasilia dan Cuidad Guyana sebagai usaha untuk menimbulkan pertumbuhan ke dalam daerah-daerah yang terbelakang di Brasilia dan Venezuela.


(28)

Gagasan ini juga telah diterima di Amerika Serikat untuk membantu daerah-daerahnya yang mengalami kemunduran (Glasson, 1977). Konsep-konsep pusat pertumbuhan dalam pengembangan wilayah. Dari beberapa kenyataan di atas, nyatalah bahwa konsep pusat-pusat pertumbuhan merupakan salah satu konsep pengembangan wilayah yang mempunyai kaitan sangat erat dengan aspek penataan ruang dan mempunyai peranan yang cukup penting untuk mempercepat perkembangan daerah. Baik daerah-daerah yang relatif terlambat perkembangannya, atau daerah-daerah yang mengalami krisis karena habisnya sumber daya atau menurunnya nilai sumber daya. Usaha pengembangan melalui strategi pusat-pusat pertumbuhan itu sendiri bukan berarti hanya mengembangkan satu pusat pertumbuhan tunggal, tetapi akan mengembangkan beberapa pusat pertumbuhan sesuai dengan tingkatannya (hirarki) yang mempunyai fungsi dan peranan tersendiri. Sistem pusat pertumbuhan yang terbentuk ini akan mempengaruhi penyediaan fasilitas perkotaan yang merupakan konsekuensi dari fungsi dan peran yang akan disandang oleh tiap pusat pertumbuhan. Dalam pelaksanaannya, penerapan fungsi dan peran dari setiap pusat juga harus disesuaikan dengan karakteristik daerah yang bersangkutan dan daerah yang dipengaruhinya atau daerah dibelakangnya.

Friedmann (1966) memberikan beberapa pendekatan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Menentukan pusat-pusat pertumbuhan utama yang mempunyai kapasitas pertumbuhan yang tinggi.


(29)

b. Menentukan daerah pengaruh dan arah pelayanan dari titik-titik pertumbuhan. c. Menentukan daerah belakang dan regionalisasi

d. Mengukur tingkat pelayanan di setiap pusat-pusat pertumbuhan yang terpilih e. Meluaskan jaringan jalan yang difokuskan pada pusat-pusat pertumbuhan f. Mengukur potensi aksesibilitas antar pusat-pusat pertumbuhan

g. Menggali kemungkinan untuk mengembangkan industri ringan dan industri padat karya pada pusat pertumbuhan

h. Melakukan usaha mengubah pola pertanian subsistem kepada pertanian komersial i. Menentukan kegiatan perekonomian dasar di pusat-pusat pertumbuhan

Aktivitas kegiatan primer terkait dengan sistem perdagangan yang lebih luas (makro), meliputi produsen barang (industri) hingga jasa ekspor-impor. Hampir semua jenis aktivitas primer merupakan perdagangan dengan skala luas (regional, nasional/internasional). Pengembangan kegiatan primer di wilayah perencanaan, membutuhkan dukungan fasilitas pergudangan, sebagai tempat penyimpanan stok barang, untuk mengantisipasi aktivitas bongkar-muat barang yang relatif tinggi dan jasa/lembaga keuangan untuk mendukung kelancaran aktivitasnya. Pengembangan komponen kegiatan primer diarahkan terkait dengan fungsi lainnya, khususnya sistem transportasi mengingat aktivitas bongkar-muat dapat menimbulkan adanya perlambatan (delay) dan kemacetan (congestion) lalu-lintas disekitar kawasan aktivitas primer tersebut. Karena secara tidak langsung kondisi tersebut dapat mengurangi intensitas perdagangan, khususnya aktivitas perdagangan eceran.


(30)

Pengembangan kegiatan sekunder mencakup aktivitas yang langsung mendistribusikan barang pada konsumen akhir, dalam hal ini penduduk itu sendiri. Wujud fisik aktivitas antara lain dalam bentuk pasar, toko, pertokoan, supermarket, warung, dan kios. Perkembangan aktivitas perdagangan jenis ini, sangat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi dan demand penduduk. Pengembangan aktivitas sekunder mengikuti pola pengembangan tata ruang secara makro di bidang ekonomi serta kecenderungan perkembangan fisik kawasan. Pengembangannya juga mempertimbangkan distribusi penduduk sebagai demand market, pola konsumsi serta prospek ekonomi kegiatan (ditinjau dari potensi daya dukung berkembangnya kegiatan). Kegiatan sekunder diarahkan sesuai kebutuhan pada unit pelayanan yang ada. Aktivitas sekunder dikembangkan menurut jenis dan skala pelayanan fasilitas. Dengan dasar tersebut, maka pengembangan jenis aktivitas sekunder diarahkan menurut penduduk pendukung dan jenis aktivitasnya. Pasar dikembangkan melayani beberapa kelurahan (satu Kecamatan), toko/warung dikembangkan pada tiap kelurahan dan unit lingkungan sedangkan supermarket memiliki skala pelayanan wilayah.

2.2. Teori Kutub Pertumbuhan

Teori Kutub Pertumbuhan ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang ekonom yang berasal dari Perancis, Francis Perroux (1950) dengan teorinya Pole Croisanse atau Pole de Development. Ia mendefinisikan pengertian dari kutub


(31)

pertumbuhan regional sebagai seperangkat industri-industri sedang mengalami perkembangan, dan berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan lanjut dari kegiatan ekonomi melalui daerah pengaruhnya. Kutub pertumbuhan regional terdiri dari suatu kumpulan industri-industri yang mengalami kemajuan dan saling berhubungan, serta cenderung menimbulkan anglomerasi yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor ekonomi/eksternal (Sihotang ,2001). Pemikiran dasar dari teori kutub pertumbuhan ini adalah kegiatan ekonomi di dalam suatu daerah cenderung terpusat pada satu titik lokal (pusat), dan titik-titik lokal ini akan memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi yang ada pada daerah yang berada disekitar titik tersebut.

Menurut Arsyad (1999) inti dari teori kutub pertumbuhan yang dikemukakan oleh Perroux ini adalah :

a. Dalam proses pembangunan akan muncul industri unggulan yang merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan suatu daerah, Karena keterkaitan antara industri. Sehingga, pengembangan terhadap industri unggulan akan mempengaruhi industri lainnya yang berhubungan erat dengan industri unggulan tersebut

b. Pemusatan industri pada suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan ekonomi, karena pemusatan industri akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar daerah sehingga perkembangan industri di daerah akan mempengaruhi


(32)

c. Perekonomian merupakan gabungan dari sistem yang relatif aktif dengan industri-industri yang relatif pasif yaitu industri-industri yang bergantung pada industri-industri unggulan atau pusat pertumbuhan. Daerah yang relatif maju atau aktif akan mempengaruhi daerah-daerah yang relatif pasif atau daerah pendukung.

Menurut Richardson, faktor utama terjadinya ekspansi regional adalah adanya interaksi antara industri-industri inti (industri penggerak) yang merupakan pusat nadi dari kutub perkembangan dengan industri lain yang ada disekitar industri inti (Sitohang, 2001). Menurutnya, ciri-ciri yang harus dimiliki oleh sebuah konsentrasi kegiatan ekonomi agar dapat dikatakan sebagai sebuah pusat pertumbuhan (Tarigan, 2005 ) adalah:

a. Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi.

Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah Kota. Ada keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya yang apabila satu sektor yang tumbuh maka sektor tersebut akan mendorong sektor lainnya, karena saling terkait. Jadi, kehidupan Kota menjadi satu irama dengan berbagai komponen kehidupan Kota dan bersinergi untuk saling mendukung terciptanya pertumbuhan.

b. Ada efek pengganda (multiplier effect)

Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek pengganda. Apabila ada satu sektor atas permintaan dari luar


(33)

wilayah yang produksinya meningkat, akan membuat produksi sektor lain juga meningkat. Hal ini terjadi karena adanya keterkaitan antar sektor dan akan terjadi beberapa kali putaran pertumbuhan sehingga total kenaikan produksi bisa beberapa kali lipat dibandingkan dengan kenaikan permintaan dari luar untuk sektor tersebut (sektor yang pertama kali meningkat permintaanya).

c. Adanya konsentrasi geografis

Konsentrasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi diantara sektor-sektor yang saling membutuhkan, juga menimbulkan daya tarik (gravitasi) dari Kota tersebut. Orang yang datang ke Kota tersebut bisa mendapatkan berbagai kebutuhan pada lokasi yang berdekatan. Jadi, kebutuhan dapat diperoleh dengan lebih hemat waktu, tenaga, dan biaya. Hal ini membuat Kota itu menarik untuk dikunjungi dan karena volume transaksi yang makin meningkat akan menciptakan economic of scale sehingga tercipta efisiensi lanjutan.

d. Bersifat mendorong daerah belakangnya.

Hal ini berarti antara Kota dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Kota membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat mengembangkan diri. Apabila terdapat hubungan yang harmonis dengan wilayah belakangnya dan


(34)

Kota itu memiliki tiga karakteristik seperti yang disebutkan terdahulu, maka Kota tersebut akan berfungsi mendorong kebelakang.

Selain itu Kadariah (1985), juga mengartikan bahwa kutub pertumbuhan adalah sebagai suatu kelompok perusahaan cabang industri atau unsur-unsur dinamis yang merangsang kehidupan ekonomi. Selain pengertian tersebut, Ia juga menyimpulkan bahwa pusat pertumbuhan dapat menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berkumpul di suatu tempat, tanpa adanya hubungan antara usaha-usaha tersebut.

2.3. Pertumbuhan Wilayah

Pertumbuhan wilayah adalah produk dari banyak sektor, sebagian bersifat intern dan sebagian lagi bersifat ekstern serta faktor sosial politik. Faktor-faktor yang berasal dari dalam wilayah itu sendiri meliputi faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal. Salah satu penentu ekstern yang sering digunakan dan bersifat penting adalah tingkat peruntukan dari wilayah-wilayah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh wilayah tersebut.

Dalam kita mengetahui lokasi berbagai kegiatan, ahli ekonomi regional/geografi terlebih dahulu membuat asumsi bahwa ruang yang dianalisis adalah datar dan kondisinya di semua arah adalah sama. Dalam dunia nyata, kondisi dan potensi setiap wilayah adalah berbeda. Dampaknya menjadi lebih mudah di analisis karena tingkah laku manusia dalam kondisi potensi ruang adalah sama. Salah satu unsur ruang adalah jarak. Jarak menciptakan ”gangguan” ketika manusia


(35)

berhubungan/berpergian dari suatu tempat ketempat yang lain. Jarak menciptakan gangguan karena dibutuhkan waktu dan tenaga (biaya) untuk mencapai lokasi yang satu dari lokasi yang lainnya. Selain itu jarak juga menciptakan gangguan informasi sehingga makin jauh dari suatu lokasi makin kurang diketahui potensi/karakter yang terdapat pada lokasi tersebut. Makin jauh jarak yang ditempuh, makin menurun minat orang untuk berpergian dengan asumsi faktor lain semuanya sama. Salah satu hal yang banyak dibahas dalam teori lokasi adalah pengaruh jarak terhadap intensitas orang berpergian dari satu lokasi ke lokasi lainya. Analisis ini dapat dikembangkan untuk melihat bagaimana suatu lokasi yang memiliki potensi/daya tarik terhadap batas wilayah pengaruhnya di mana orang masih ingin mendatangi pusat yang memiliki potensi tersebut. Hal ini terkait dengan besarnya daya tarik pada pusat tersebut dan jarak antara lokasi dengan pusat tersebut. (Tarigan, 2006)

Konsep Growth Poles ini berasal dari salah satu ahli perencanaan yang bernama Francois Perroux dalam Sirojuzilam (1955). Mengatakan suatu pengembangan didefenisikan sebagai suatu konsentrasi industri pada suatu tempat tertentu yang kesemuanya saling berkaitan melalui hubungan antara input dan ouput dengan industri utama (propulsive industry). Kosentrasi dan saling berkaitan merupakan dua faktor penting dalam setiap pusat pengembangan karena melalui faktor ini akan dapat diciptakan berbagai bentuk aglomeration economics yang dapat menunjang pertumbuhan industri-industri yang bersangkutan melalui penurunan ongkos produksi.


(36)

Sumber: Sinulingga, B. 2005

Gambar 1. Susunan Orde Kota dalam Suatu SWP (Satuan Wilayah Pengembang)

Dilihat dari gambar di atas pada orde pertama terletak pada jalan nasional mempunyai fasilitas yang paling lengkap pada wilayah ekonomi tersebut termasuk pelabuhan air. Pada daerah tersebut terdapat kegiatan perindustrian yang besar dan modern, jasa perdagangan termasuk ekspor dan impor, perbankan internasional, dan pelayanan-pelayanan lainnya dalam skala nasional seperti universitas, rumah sakit dan spesialis serta bandara nasional maupun internasional lain-lain.

Pada orde kedua yang berorientasi ke daerah orde pertama mempunyai fasilitas yang kurang lengkap dibanding dengan orde pertama, pada umumnya terletak pada jalan nasional atau jalan provinsi memiliki terminal penumpang, memiliki perusahaan industri terutama agroindustri, sebagai penyediaan tenaga kerja, serta fasilitas jasa seperti perbankan, pasar. Di samping itu juga memiliki pelayanan rumah sakit dan sekolah-sekolah menengah umum ataupun kadang-kadang suatu universitas.


(37)

Orde ketiga adalah daerah yang beorientasi ke daerah orde kedua terletak pada jalan Provinsi atau jalan Kabupaten pada hakikatnya menghubungkan pedesaan dan merupakan pusat wilayah pedesaan yang terbesar, daerah ini mempunyai beberapa pelayanan yang sering dilakukan walaupun tidak tiap hari seperti pasar, penyimpanan produksi, penyortiran produksi pertanian, juga termasuk pelayanan jasa keuangan, perdagangan, pertukaran barang, jasa pengangkutan. Jasa lain yang tersedia pada daerah orde ketiga ini adalah pendidikan, kesehatan, sosial dan administrasi.

Growth poles Theory adalah salah satu teori yang dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan disentralisasi secara sekaligus. Dengan demikian teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini juga dapat mengabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan terpadu.

Menurut Glasson (1997) Pertumbuhan Wilayah dapat terjadi sebagai akibat dari penentu endogen atau eksogen, yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam wilayah yang bersangkutan ataupun faktor-faktor diluar wilayah atau kombinasi dari keduanya. Dalam model-model ekonomi makro disebutkan bahwa ekonomi penentu intern pertumbuhan wilayah adalah modal, tenaga kerja, tanah (sumber daya alam), dan sistem sosio-politik, sedangkan menurut model ekspor pertumbuhan, industri


(38)

ekspor dan kenaikan permintaan adalah penentu pokok pertumbuhan wilayah yang bersifat ekstern.

Pertumbuhan berdasarkan pendekatan wilayah adalah suatu rencana dan aktivitas pembangunan yang terkait antara satu daerah dengan daerah lain, sehingga arah pembangunan antar daerah dalam suatu wilayah menampung kebutuhan yang semakin tinggi. ada kerja sama antar daerah didalam melaksanakan aktivitas pertumbuhan di daerah, pada dasarnya memiliki karakteristik potensi ekonomi dan sosial yang hampir sama bahkan saling menguatkan. Kerjasama ini dimaksudkan agar pertumbuhan daerah bisa berjalan secara optimal melalui penciptaan sinergi atas penggunaan potensi ekonomi yang ada. Untuk saat ini pembangunan di daerah berlandaskan pada potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di daerah. Pemanfaatan kedua potensi ini yang diperlukan kerjasama sehingga dapat menciptakan suatu hasil atau manfaat yang lebih besar jika dibandingkan dengan bekerja sendiri (Miraza, 2005).

Pentingnya perencanaan dan pengembangan wilayah terpadu yang akan mengkombinasikan semua potensi yang dimiliki Kabupaten/Kota, semakin terasa sejalan dengan banyaknya pemekaran Kabupaten dan Kota di Indonesia. Meskipun masing-masing Kabupaten/Kota memiliki keunggulan dan potensi kewilayahan yang idealnya dipadukan dengan keunggulan dari kawasan lain, sehingga synergy effect yang ditimbulkan akan semakin memperkuat kedua kawasan tersebut (Surya, 2006).


(39)

North dalam Jhingan (1990) mengemukakan bahwa pertumbuhan wilayah sangat tergantung pada keberhasilan dari suatu kegiatan yang dilakukan terhadap suatu wilayah yang merupakan hasil pengembangan ekspor baru.

Pertumbuhan wilayah dalam pembangunan adalah berbagai jenis kegiatan, baik yang tercakup dalam sektor pemerintahan maupun dalam masyarakat, dilaksanakan dan diatur dalam rangka pengembangan dan pertumbuhan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat. Peningkatan kawasan dapat pula diartikan sebagai peristiwa pengembangan wilayah pada wilayah yang bersangkutan, sehingga keseluruhan usaha yang menjurus pada perbaikan dalam tingkat kesejahteraan hidup masyarakat, dapat dipandang sebagai penyebab berlangsungnya proses perkembangan wilayah (Purnomosidi dalam Sukirno, 1981).

Menurut Sukirno (1985) memberikan pengertian wilayah atau daerah dalam tiga hal yaitu: daerah homogen, daerah modal dan daerah administratif. Pengertian pertama menganggap bahwa suatu daerah sebagai suatu space atau ruang di mana kegiatan ekonomi berlaku di berbagai pelosok ruang yang mempunyai sifat-sifat sama seperti pendapatan penduduk, agama, suku bangsa atau struktur ekonominya. Pengertian yang kedua daerah sebagai ruang ekonomi yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi. Pengertian yang ketiga adalah memberikan batasan suatu daerah berdasarkan pembagian administrasi dari suatu negara seperti Provinsi, Kabupaten, Desa dan sebagainya.


(40)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wilayah administrasi merupakan wilayah perencanaan yang merupakan suatu ruang ekonomi yang berada di bawah satu tingkat tertentu seperti Provinsi, Kabupaten, Desa dan sebagainya. Untuk tujuan analisis dan pembahasan aspek pembangunan wilayah dalam penelitian ini digunakan pengertian wilayah administrasi sebagai unit analisis wilayah perencanaan.

Menurut Miraza (2005) perencanaan wilayah adalah suatu perencanaan yang berjangka panjang, bertahap dan tersistematik dengan suatu tujuan yang jelas. Tujuan yang jelas itu adalah yang menyangkut pada keseluruhan kepentingan steakholders, baik masyarakat dari berbagai lapisan, kelompok pengusaha maupun pemerintah sendiri. Perencanaan wilayah menyangkut pada bagaimana pemanfaatan potensi wilayah, baik potensi alam maupun potensi buatan, harus dilaksanakan secara fully dan effciently agar pemanfaatan potensi dimaksud benar-benar berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara maksimal. Di samping itu kita juga perlu memikirkan bagaimana pertumbuhan dan perkembangan wilayah menjadi lebih baik lagi ke masa depannya.

Satu hal perlu ditekankan sejak awal adalah bahwa didalam ilmu ekonomi tidak hanya terdapat satu teori pertumbuhan, tetapi terdapat banyak teori pertumbuhan. Sampai saat ini tidak ada suatu teori ekonomi yang menyeluruh dan lengkap dan yang merupakan satu-satunya teori pertumbuhan yang baku. Berbagai ekonom besar, sejak lahirnya ilmu ekonomi, mempunyai pandangan atau persepsi


(41)

yang tidak seringkali pandangan atau persepsi ini sangat dipengaruhi oleh keadaan atau peristiwa-peristiwa pada waktu ekonom tersebut hidup. Seringkali pula teori pertumbuhan seorang ekonom dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh ekonom itu, sehingga aspek-aspek yang ditonjolkan dalam teorinya mencerminkan kecenderungan ideologisnya. Ini semua perlu dipahami oleh setiap orang yang mempelajari teori pertumbuhan (dan ilmu ekonomi pada umumnya).

2.4. Pembangunan Ekonomi

Sukirno (1985) mengemukakan pendapatnya tentang pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi mempunyai 3 (tiga) sifat penting, proses terjadinya perubahan secara terus menerus, adanya usaha untuk menaikkan pendapatan masyarakat dan kenaikan pendapatan masyarakat yang terjadi dalam jangka waktu panjang. Demikian pula dengan Todaro (1999) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi telah digariskan kembali dengan dasar mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi atau ekonomi negara yang sedang berkembang.

Dengan demikian dalam memahami pembangunan, pertanyaan-pertanyaan harus diarahkan pada apa yang terjadi dengan kemiskinan, pengangguran dan ketidakmerataan atau ketimpangan.

Chenery dan Syirquin dalam Arsyad (1996) mengartikan pembangunan ekonomi sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian yang


(42)

diperlukan bagi terciptanya pertumbuhan yang terus menerus. Pembangunan ekonomi sebagai suatu proses perubahan struktur yang ditandai dengan peningkatan sumbangan sektor industri, manufaktur dan jasa-jasa dalam pertumbuhan PDB di satu pihak dan menurunnya pangsa (share) sektor pertanian dalam PDB di lain pihak.

Hal ini menunjukkan bahwa salah satu indikator berkurang tidaknya suatu perekonomian terlihat dari peran sektor industri dan jasa terhadap PDB, artinya sumbangan sektor jasa dan industri yang meningkat akan mengakibatkan perekonomian tersebut semakin tinggi.

2.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Perkembangan Ekonomi Wilayah

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Di sini, proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Para teoretikus ilmu ekonomi pembangunan masa kini, masih terus menyempurnakan makna, hakikat dan konsep pertumbuhan ekonomi. Para teoretikus tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan penambahan PDB dan PDRB saja, tetapi juga diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan, dan kebahagiaan, dengan rasa aman dan tenteram yang dirasakan masyarakat luas (Arsyad, 1999).

Pertumbuhan ekonomi (economic growth) bertautan erat dengan peningkatan produksi barang dan jasa, yang antara lain diukur dengan besaran yang disebut produk domestik bruto (PDB) pada aras nasional dan produk domestik regional bruto (PDRB) untuk daerah, baik propinsi maupun Kabupaten/Kota. BPS (2000) menyebut


(43)

pertumbuhan ekonomi sebagai pertumbuhan produksi riil, baik secara sektor maupun totalitasnya. Disebut pertumbuhan produksi riil karena harga yang digunakan dalam menilai suatu produksi dari tahun ke tahun menggunakan harga pada tahun tertentu sehingga perubahan harga (inflasi) tidak mempengaruhi nilai produksinya. Penilaian ini dapat dilakukan atas dasar harga berlaku (current price) pada tahun perhitungan, atau atas dasar harga konstan (constant price) dari suatu tahun yang dipilih sebagai tahun dasar (base year).

Wijaya dalam Joni (1989) mengemukakan dua konsep pertumbuhan ekonomi : (1) pertumbuhan ekonomi adalah proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang apabila terjadi pertumbuhan output riil. Output riil suatu perekonomian bisa juga tetap konstan atau mengalami penurunan sepanjang waktu.

Ini berarti perekonomian statis atau mengalami penurunan. Penurunan merupakan perubahan negatif, sedang pertumbuhan adalah perubahan positif. (2) Pertumbuhan ekonomi terjadi apabila ada kenaikan output per kapita. Dalam hal ini pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup yang diukur dengan output riil per orang. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi terjadi apabila tingkat kenaikan output riil total lebih besar daripada tingkat pertumbuhan. Sebaliknya terjadi penurunan taraf hidup aktual bila laju kenaikan jumlah penduduk lebih cepat dari pada laju pertumbuhan output riil total.


(44)

Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik, seperti Adam Smith, David Recardo, Thomas Robert Malthus, dan John Sturt Mill, ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu jumlah penduduk, jumlah stok barang modal, luas tanah dan kekayaan alam, dan tingkat teknologi yang digunakan (Sukirno, 1981). Pakar pertumbuhan ahli-ahli ekonomi klasik tersebut lebih lanjut dikembangkan oleh para pemikir Neo Keynes dan Neo Klasik, yang mengatakan pertumbuhan ekonomi berpokok pada proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat (Djoyohadikusumo, 1994).

Dari teori klasik hingga teori Keynes dan Harrod-Domar, laju pertumbuhan ekonomi suatu negara pada umumnya didukung oleh unsur investasi. Aspek utama yang dikembangkan Keynes, misalnya adalah aspek yang menyangkut peran investasi melalui perantara masyarakat (aggregate demand). Kemudian Harod-Domar mengembangkan peranan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui konsep Capital Output Ratio (COR).

Menurut Rostow dalam Sukirno (1981) ada 5 tahap pertumbuhan ekonomi, masyarakat tradisional, pra kondisi lepas landas, lepas landas, gerakan menuju kematangan dan masa konsumsi besar-besaran. Kunci diantara tahapan ini adalah tahap tinggal landas yang ditandai dengan meningkatnya investasi dan pendapatan riil masyarakat dari 5% menjadi lebih dari 10% PDB, pengembangan satu atau sektor andalan yang tumbuh dengan laju yang tinggi, munculnya kerangka politik dan sosial serta institusional yang berorientasi pada modernisasi yang kuat dan inspirasional.


(45)

Untuk membangun daya saing yang kuat, suatu daerah harus menerapkan kebijakan yang jelas dan terpadu bagi investasi domestik maupun asing. Menurut Kotler dalam Sirojuzilam (1998) investasi asing pada dasarnya memperhatikan paling sedikit empat ciri daya tarik suatu negara bagi investasi yaitu:

a. Keuntungan komparatif dan bersaing, meliputi empat atribut yang luas yakni berkaitan dengan kondisi-kondisi faktor produksi, kondisi-kondisi perantara, industri-industri terkait dan pendukung dan strategi struktur dan persaingan yang tegas.

b. Stabilitas Ekonomi dan Politik Dalam Negeri, merupakan faktor kunci keberhasilan Asia Timur, Singapura dan Malaysia dalam menarik investasi langsung. Dipihak lain kegagalan Brazilia untuk mempertahankan stabilitas makro ekonominya merupakan faktor utama dalam menarik investasi asing langsung di negara ini pada tahun 1980-an. Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia pada 3 tahun terakhir ini.

c. Perlindungan Hak Cipta, berkaitan dengan kerangka hukum dan kelembagaan yang menguasai investor asing langsung hendaknya terbuka, dapat diramalkan, dan stabil. Akses bebas ke valuta asing untuk pengalihan keuntungan dan untuk memperoleh output hendaknya diterapkan. Para penanam modal asing khawatir terhadap upaya nasionalisasi.

d. Zona-zona Perdagangan Asing, merupakan salah satu cara untuk menarik investasi asing langsung dengan membangun zona-zona Perdagangan Asing


(46)

(Foreign Trade Zone (FTZ) dan Multi National Corporation (MNC) yang diperbolehkan untuk beroperasi, impor, membuat dan bahkan memiliki secara keseluruhan suatu bisnis di dalam lingkungan FTZ.

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu ukuran utama keberhasilan dari pembangunan yang dilaksanakan. Pertumbuhan harus berjalan secara berdampingan dan berencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan dan pembagian hasil-hasil pembangunan dengan lebih merata.

Djojohadikusumo dalam Joni (1994), pertumbuhan ekonomi ditandai dengan tiga ciri pokok: (1) Laju pertumbuhan pendapatan per kapita dalam arti nyata (2) Pesebaran (distribusi) angkatan kerja menurut sektor kegiatan produksi yang menjadi sumber nafkahnya, dan (3) pola persebaran penduduk.

Ananta dalam Sirojuzilam (1993) menjelaskan pertumbuhan ekonomi biasanya disertai dengan adanya proses akselerasi. Pemberdayaan sumber daya dan dana untuk menunjukkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Dalam rangka melihat fluktuasi pertumbuhan ekonomi tersebut dengan secara riil dari jangka waktu tahun ke tahun akan tergambar melalui besarnya Produk Domestik Regional Bruto atau indeks harga Konsumen secara berkala. Pertumbuhan yang positif akan menunjukkan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya apabila negatif akan menunjukkan adanya penurunan.

Sedangkan menurut Kaldor dalam Boediono (1957) pertumbuhan ekonomi yang membaik, yakni pertumbuhan dengan tingkat optimis. Dalam hal ini harus


(47)

diperhatikan komposisi kekuatan atau output yang dihasilkan.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tujuan penting dari kebijakan ekonomi makro. Perekonomian yang tumbuh akan memberikan kesejahteraan ekonomi yang lebih baik bagi penduduk negara yang bersangkutan. Untuk mengetahui kemajuan, kesejahteraan suatu perekonomian diperlukan suatu alat pengukur yang tepat. Beberapa alat ukur itu, diantaranya adalah produk domestik bruto, pendapatan per kapita, pendapatan perjam kerja, dan tingkat harapan hidup. Kenaikan produk domestik bruto atau pendapatan nasional sangat ditentukan oleh intensitas penggunaan faktor produksi (Suparmoko dalam Joni, 1996).

Menurut Sudarman dalam Joni (1996) mengatakan bahwa faktor-faktor produksi dalam ekonomi disebut "sumber daya" yang meliputi tenaga kerja, kapital, tingkat teknologi, dan sumber daya alam, sumber daya yang dimiliki oleh suatu perekonomian, mempunyai sifat tidak stabil (fluit) dan berubah-ubah (versatile) dalam arti bentuk dan macam benda yang dihasilkan.

Pada dasarnya pembangunan wilayah berhubungan dengan tingkat dan perubahan dalam kurun waktu tertentu suatu rangkaian variabel seperti produksi, produk, angkatan kerja, rasio modal tenaga dan berbagai faktor dalam wilayah dibatasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari daerah-daerah biasanya diukur menurut output atau tingkat pendapatan yang berbeda-beda.

Pola pertumbuhan ekonomi wilayah tidak sama dengan apa yang ditemukan pada pertumbuhan ekonomi nasional. Pada dasarnya disebabkan pada analisa


(48)

pertumbuhan ekonomi wilayah yang lebih memerlukan pengaruh perbedaan karakteristik space terhadap pertumbuhan ekonomi. Kesamaannya yakni penilaiannya pada unsur waktu yang merupakan faktor penting dalam analisa pertumbuhan ekonomi wilayah (Hardjisaroso dalam Joni, 1994).

Perbedaan lainnya dengan teori pertumbuhan ekonomi nasional, dalam pertumbuhan ekonomi wilayah faktor yang mendapat perhatian utama adalah keuntungan lokasi, aglomerasi, migrasi dan arus lalu lintas modal antara wilayah. Sementara faktor yang sangat diperhatikan dalam pertumbuhan ekonomi nasional adalah modal, lapangan pekerjaan dan kemajuan teknologi yang bisa tumbuh dalam berbagai bentuk.

Esmara (1986) mengelompokkan teori pertumbuhan ekonomi wilayah atas, 4 (empat) bagian yaitu:

1. Kelompok pertama disebut export base-models

Dipelopori oleh North (1955) dan dikembangkan oleh Tiebout (1965), kelompok ini mendasarkan pandangan dari sudut teori lokasi, berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi suatu region lebih banyak ditentukan oleh jenis keuntungan lokasi dan dapat dipergunakan oleh wilayah akan ditentukan oleh eksplorasi dan eksploitasi yang bersifat alamiah. Pertumbuhan ekspor wilayah yang bersangkutan juga dipengaruhi oleh tingkat permintaan ekstern wilayah lain.

Pendapatan yang diperoleh dari penjualan ekspor akan mengakibatkan berkembangnya kegiatan-kegiatan penduduk setempat, perpindahan modal dan


(49)

tenaga kerja, keuntungan eksternal dan pertumbuhan wilayah suatu region, strategi pembangunannya harus disesuaikan dengan keuntungan lokasi yang dimilikinya dan tidak harus sama dengan strategi pembangunan pada tingkat nasional.

2. Kelompok kedua lebih berorientasikan pada kerangka pemikiran Neoklasik. Dipelopori oleh Stein (1964) dan dikembangkan oleh Roman (1965) dan Siebert (1969), Kelompok ini mendasarkan analisanya pada peralatan fungsi produksi. Dikatakan bahwa unsur-unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi wilayah adalah tanah, tenaga kerja, dan modal. Dalam kelompok ini juga dibahas tentang pengaruh perpindahan penduduk (migrasi) dan lalu lintas modal terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.

Dalam model ini terdapat hubungan antar tingkat pertumbuhan suatu negara dengan perbedaan kemakmuran wilayah (regional disparity) pada negara yang bersangkutan. Pada saat proses pembangunan baru dimulai (negara sedang berkembang) tingkat perbedaan kemakmuran antar wilayah cenderung akan tinggi (divergence), bila proses pembangunan telah berjalan dalam waktu yang lama (sedang berkembang) perbedaan tingkat kemakmuran antar wilayah cenderung menurun (convergence).

3. Kelompok ketiga, menggunakan jalur pemikiran Keynes yang disebut cummulative-causative models

Dipelopori oleh Myrdal dalam Boediono (1975) dan dilanjutkan oleh Kaldor. Kelompok ini berpendapat peningkatan pemerataan pembangunan antar wilayah tidak


(50)

hanya diserap pada kekuatan pasar (market mechanism). Perlu adanya campur tangan pemerintah dalam bentuk program-program pembangunan wilayah, terutama wilayah yang relatif masih terbelakang.

4. Kelompok Keempat dinamakan core-periphery models

Dipelopori oleh Friedman dalam Boediono (1966). Kelompok ini menekankan pada hubungan yang kuat dan saling mempengaruhi antara pembangunan Kota (Core) dan Desa (Peripheral). Menurut teori tersebut, gerak langkah pembangunan wilayah perkotaan akan lebih banyak ditentukan oleh keadaan Desa-Desa yang ada disekitarnya. Corak pembangunan wilayah pedesaan akan ditentukan oleh arah pembangunan perkotaan. Dengan demikian aspek interaksi antar daerah (spatial interaction) akan lebih ditonjolkan.

2.6. Lokasi Industri dan Kawasan Industri

Salah satu ciri yang membedakan kota dan perdesaan ialah kegiatan industri, bahwa kegiatan industri di sebuah kota akan merangsang pertumbuhan Kota itu sendiri. Kegiatan industri sangat sensitif terhadap lokasi karena akan mempengaruhi biaya produksi, sedangkan biaya produksi akan menentukan kemampuan bersaing dalam pemasaran produksi.

Lokasi indutri di suatu daerah sangat ditentukan oleh akses terhadap sumber air, jaringan transportasi, jalan bebas hambatan, jaringan distribusi pipa pelayanan industri yang semuanya memerlukan kajian yang terpadu.


(51)

Kegiatan industri pada awalnya sangat sederhana, hanya memproduksi barang-barang seperti kerajinan tangan, yang langsung berhubungan dengan konsumen dan skalanya tidak terlalu besar. Oleh karena itu lebih menguntungkan apabila berlokasi di pusat kota dan dilakukan pada rumah tangga. Industri jenis ini masih ada sampai saat ini dan dinamakan industri rumah tangga (home industry). Dengan adanya revolusi industri di mana tenaga manusia digantikan oleh mesin-mesin sehingga industri seperti ini memerlukan lokasi khusus. Banyak diantara mesin-mesin industri ini memerlukan air sebagai pelengkap dan sebab itu sepanjang sungai bahan pelengkap dan oleh sebab itu sepanjang sungai sering ditemui kelompok industri.

Menurut Sinulingga, Budi(1999) beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan industri yang pesat dikawasan industri adalah:

a. Prasarana perkotaan telah tersebar ke seluruh bagian kota sehingga pembangunan kawasan industri pada tiap bagian kota pada umumnya dapat dilayani.

b. Terbatasnya tanah yang diperuntukkan sebagai zona industri pada kawasan kota lama, sehingga tidak memungkinkan pengembangan lebih lanjut.

c. Pada zona industri yang lama, sudah terjadi kemacetan-kemacetan lalu lintas yang membuat operasi pengangkutan tidak efisien, apalagi bila ditingkatkan kegiatannya.


(52)

d. Pengangkutan barang-barang yang makin besar volumenya, memerlukan area yang luas untuk bongkar muat yang tidak mungkin disediakan lagi zona industri lama.

e. Kepastian hukum tentang rencana kota lebih mantap pada kawasan industri, sehingga para investor lebih pasti dengan rencananya terutama untuk jangka panjang. Perlu diketahui bahwa RUTRK (Rancangan Undang-Undang Tata Ruang Kota) hanya berlaku selama 10 tahun sehingga kemungkinan perubahan dapat terjadi. Sebagai contoh bahwa salah satu zona industri di Medan pada RUTRK 1974 yaitu di simpang Marindal, pada RUTRK 1995 dinyatakan bukan sebagai kawasan industri lagi, dan industri yang berlokasi di sana dianjurkan untuk memindahkan kegiatannya.

f. Para investor tidak perlu membagun UPL (Unit Pengelolaan Limbah) sendiri-sendiri yang biayanya mahal karena telah disediakan oleh manajemen kawasan industri, dengan biaya operasi yang jauh lebih murah.

g. Banyak permasalahan administrasi di perusahaan yang dapat diselesaikan oleh pengusaha kawasan industri. Hal ini terjadi terutama tentang jaringan birokrasi yang terlalu panjang sehingga membuat para investor merasa dirugikan dari segi waktu untuk memperoleh perizinan. Di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka proses perizinan di kawasan industri akan dikoordinasikan oleh manajemen kawasan industri.


(53)

Sehingga lokasi dari kawasan industri saat ini mempengaruhi oleh kedekatannya dengan jalan bebas hambatan untuk memudahkan pengangkutan barang.

2.7. Proses Pertumbuhan

Mengenai aspek-aspek proses pertumbuhan D. Ricardo secara lebih terperinci dalam bagian ini, tetapi akan sangat berguna apabila sekarang mencoba mengerti lebih dahulu garis besar proses pertumbuhan yang akan dibayangkan oleh (David Ricardo dalam Boediono, 1823) di mana perekonomian Ricardo ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:

a. Tanah terbatas jumlahnya.

b. Tenaga kerja (Penduduk) yang meningkat (atau menurun) sesuai dengan apakah tingkat upah di atas atau dibawah tingkat upah yang minimal [yang oleh Ricardo disebut tingkat upah alamiah (natural wage)].

c. Akumulasi kapital terjadi apabila tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik kapital berada di atas tingkat keuntungan minimal yang diperlukan untuk menarik mereka melakukan investasi.

d. Dari waktu ke waktu terjadi kemajuan teknologi. e. Sektor pertanian dominan.

Dengan terbatasnya tanah, maka pertumbuhan penduduk (tenaga kerja) akan menghasilkan produk marginal (marginal product) yang semakin menurun. Ini tidak


(54)

lain adalah hukum produk marginal yang makin menurun atau lebih terkenal dengan nama the Law of Diminishing Return, selama buruh yang diperkerjakan pada tanah tersebut bisa menerima tingkat upah di atas upah ”alamiah ”, maka penduduk (tenaga kerja) akan terus bertambah, dan ini akan menurunkan lagi produk marginal tenaga kerja, dan selanjutnya menekan ke bawah tingkat upah. Proses ini akan berhenti apabila tingkat upah turun pada tingkat upah alamiah. Apabila misalnya, tingkat upah ternyata turun di bawah tingkat upah alamiah, maka jumlah penduduk (tenaga kerja) menurun. Dan tingkat upah akan naik kembali pada tingkat upah alamiah. Pada posisi ini jumlah penduduk konstan. Jadi segi faktor produksi tanah dan faktor produksi tanah dan faktor produksi tenaga kerja, ada satu kekuatan dinamis yang selalu menarik peekonomian ke arah tingkat upah minimum, yaitu bekerjanya the Law of Diminishing Return.

Ricardo mengatakan bahwa kedua faktor ini cenderung meningkatkan produktivitas tenaga kerja, artinya bisa memperlambat bekerjanya the Law of Diminishing Return sehingga memperlambat pula penurunan tingkat hidup ke arah tingkat hidup minimal. Tetapi antara akumulasi kapital dan teknologi itu sendiri terdapat perbedaan peranan. Ricardo mengatakan bahwa akumulasi kapital memang bisa memperlambat penurunan produktivitas tenaga kerja. Apabila si pekerja diberi perlengkapan alat-alat yang lebih banyak, produktivitasnya meningkat. Tetapi ini ada batasnya menurut dia, akumulasi kapital hanya akan dilakukan orang apabila kapital menerima imbalan (keuntungan) yang cukup. Tetapi faktor produksi kapital inipun,


(55)

apabila diterapkan pada pekerja yang menggarap sebidang tanah (sumber alam) tertentu, akan mengalami pula penurunan produktivitas marginalnya dengan kata lain, akumulasi kapital itu sendiri akan terkena oleh bekerjanya the Law of Diminishing Return. Akibatnya produk marginal dari kapital terus menurun dengan adanya proses akumulasi kapital tersebut. Ini selanjutnya berakibat menurunnya imbalan (keuntungan) yang diterima oleh para penanam modal. Proses akumulasi kapital ini akan berhenti apabila tingkat keuntungan dipeoleh penanam modal turun sampai pada tingkat keuntungan minimal yang diperlukan untuk mendorong mereka melakukan investasi. Dan apabila akumulasi kapital berhenti, maka produktivitas tenaga kerja (dus, tingkat upah) juga tidak akan bisa dipertahankan pada tingkat yang tinggi (di atas tingkat upah alamiah). Dapat kita lihat bahwa pada akhirnya the Law of Diminishing Return menang, meskipun ada akumulasi kapital.

2.8. Konsep Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi, pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan di masa yang akan datang.


(56)

Pertumbuhan merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan dan hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai di lapisan paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah.

Pertumbuhan harus berjalan secara beriringan dan terencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan dan pembagian hasil-hasil pembangunan dengan lebih merata, untuk melihat fluktuasi pertumbuhan ekonomi tersebut secara riil dari tahun ke tahun tergambar melalui penyajian PDRB atas harga konsumen secara berkala, yaitu pertumbuhan yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya apabila negatif menunjukan terjadinya penurunan. Pertumbuhan biasanya disertai dengan proses sumber daya dan dana negara.

Selain itu pertumbuhan ekonomi umumnya juga disertai dengan terjadinya pergeseran pekerjaan dari kegiatan yang relatif rendah produktivitasnya kegiatan yang lebih tinggi. Dengan perkataan lain pertumbuhan ekonomi secara potensial cenderung meningkatkan produktivitas pekerja, dan meningkatkan skala unit usaha.

Kuznets dalam Jhingan (1966) mendefenisikan pertumbuhan ekonomi sebagai “Kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak barang kepada penduduknya, kemampuan ini bertambah sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukan”.

Pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) juga merupakan perubahan nilai kegiatan ekonomi. Dari tahun ke tahun untuk satu periode ke periode yang lain


(57)

dengan mengambil rata-ratanya dalam waktu sama, maka untuk mengatakan tingkat pertumbuhan ekonomi harus dibandingkan dengan tingkat pendapatan nasional dari tahun ke tahun.

2.9. Pertumbuhan Penduduk

Aspek kedua dari pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan penduduk. Disebutkan bahwa penduduk bersifat ”pasif” dalam proses pertumbuhan output, dalam arti bahwa dalam jangka panjang, berapapun jumlahnya tenaga kerja yang dibutuhkan oleh proses produksi akan tersedia melalui pertumbuhan penduduk. Smith mempunyai teori pertumbuhan kependudukan dari Thomas Malthus yang terkenal itu, meskipun Smith justru mengungkapkan lebih dahulu daripada Malthus.

Smith dalam Boediono (1950), penduduk meningkat apabila tingkat upah yang berlaku lebih tinggi daripada tingkat upah subsistensi, yaitu tingkat upah yang pas-pasan untuk seseorang agar bisa mempertahankan hidupnya. Apabila tingkat upah berada di atas tingkat subsistensi, maka orang-orang akan menikah pada umur lebih muda, kematian anak-anak berkurang dan jumlah kelahiran bertambah. Sebaliknya jumlah penduduk akan berkurang apabila tingkat upah yang berlaku jatuh di bawah tingkat upah subsistensi. Dalam keadaan ini kematian anak-anak meningkat dan banyak perkawinan muda.

Terlihat jelas di sini peranan sentral dari tingkat upah sebagai pengatur pertumbuhan penduduk. Tetapi sekarang, apakah yang menentukan tingkat upah pada


(58)

suatu saat? Smith menjawab bahwa seperti halnya dengan harga barang-barang lain, maka ”harga” tenaga manusia ditentukan oleh tarik-menarik antara kekuatan permintaan dan penawarannya. Ia mengatakan bahwa tingkat upah tinggi (dan meningkat) apabila permintaan akan tenaga kerja tumbuh lebih cepat daripada penawaran akan tenaga kerja (atau pertumbuhan penduduk). Kuncinya di sini adalah pertumbuhan permintaan akan tenaga kerja, sebab seperti yang disebutkan di atas, akhirnya penduduk akan menyesuaikan diri dengan permintaan akan tenaga kerja. Reaksi pertumbuhan penduduk karena peningkatan permintaan akan tenaga memerlukan waktu, sehingga apabila permintaan tumbuh dengan cepat maka tingkat upah akan bertahan pada tingkat yang tinggi atau untuk beberapa waktu justru meningkat. Sebaliknya, apabila permintaan tumbuh lebih lambat daripada pertumbuhan penduduk, maka tingkat upah merosot. Dan apabila tingkat upah terus merosot dan jatuh dibawah tingkat upah subsistensi, maka laju pertumbuhan penduduk itu sendiri berubah menjadi negatif.

Smith dalam Boediono (1950) menyatakan ”Permintaan akan tenaga manusia, seperti juga permintaan akan barang-barang lain, mengatur produksi tenaga kerja, ia akan mempercepat produksi tersebut terlalu lambat, dan menyetopnya apabila terlalu cepat”.

2.10. Penelitian Terdahulu

Joni Harmes (2000) melalui penelitian yang berjudul ”Analisis pertumbuhan dan proses transformasi struktur ekonomi Regional Kota Medan” menunjukkan


(1)

25 unit. Penyediaan sarana prasarana Kesehatan yang ada di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai sampai tahun 2014 berdasarkan hasil analisis dalam penelitian, perlu penambahan sebanyak 31 unit di mana Puskesmas sebanyak 1 unit, Puskesmas Pembantu sebanyak 14 unit, Balai Pengobatan Umum sebanyak 4 unit dan Praktek Dokter sebanyak 12 Unit. Tingkatan kerja, yaitu Penyerapan Tenaga Kerja pada Tahun 2008 sebanyak 15.609 Jiwa di mana Pertumbuhan sebanyak 0,009674 % dari hasil analisis dapat di hitung dengan Metode Trend bahwa proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja pada tahun 2014 sebanyak 16.681 jiwa.

5.2.

Saran

Sehubungan dengan hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa saran dalam rangka mewujudkan Kecamatan Perbaungan Sebagai Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Serdang Bedagai antara lain sebagai berikut:

1 Dari hasil penelitian Proyeksi jumlah penduduk, dan Kebutuhan akan sarana prasarana fasilitas Pendidikan dan Kesehatan sampai tahun 2014 dalam penelitian, agar Pemerintah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai, yaitu Bappeda (Badan Perencana Pembagunan Daerah) dapat merencanakan yang sesuai dengan hasil perhitungan penelitian di atas.

2. Dalam mengurangi Tingkat Pengangguran di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai sebaiknya membuka lapangan usaha yang berupa


(2)

UKM (Usaha Kredit Menengah) atau yang dikenal saat ini dengan istilah KUR (Kredit Usaha Rakyat). Dan pemerintah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai yang dengan membuat pelatihan-pelatihan keterampilan agar penduduk siap terjun ke dunia kerja.

3. Kepada peneliti yang ingin menganalisis kebutuhan sarana dan prasarana Kesehatan dan Pendidikan, Proyeksi Pertumbuhan Penduduk dan Penyerapan Tenaga Kerja pada daerah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ananta, Aris, 1993. Ciri Demografis, Kualitas Penduduk, dan Pembangunan Ekonomi. Lembaga Demografi FE-UI Jakarta.

Arsyad, Lincolin, 1996. Analisis Potensi Pembangunan Ekonomi Daerah, Modul Program Penataan Manajemen Sektor Ekonomi Strategis, Kerjasama Direktorat Jenderal PUOD-Depdagri dengan Pusat Penelitian dan Pengkajian Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Azwar, 2009. ”Analisis Pengembangan Wilayah Pada Daerah Pusat Pertumbuhan Kota Tebing Tinggi”. Thesis. PWD. USU. Medan

Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai, 2008, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2004 – 2007.

Badan Pusat Statistik 1996. Kecamatan Perbaungan dalam Angka. Kabupaten Serdang Bedagai

---’ 1997. Kecamatan Perbaungan dalam Angka. Kabupaten Serdang Bedagai

---’ 1998. Kecamatan Perbaungan dalam Angka. Kabupaten Serdang Bedagai

---’ 1999. Kecamatan Perbaungan dalam Angka. Kabupaten Serdang Bedagai

---’ 2000. Kecamatan Perbaungan dalam Angka. Kabupaten Serdang Bedagai

---’ 2001. Kecamatan Perbaungan dalam Angka. Kabupaten Serdang Bedagai

---’ 2002. Kecamatan Perbaungan dalam Angka. Kabupaten Serdang Bedagai

---’ 2003. Kecamatan Perbaungan dalam Angka. Kabupaten Serdang Bedagai


(4)

---’ 2005. Kecamatan Perbaungan dalam Angka. Kabupaten Serdang Bedagai

---’ 2006. Kecamatan Perbaungan dalam Angka. Kabupaten Serdang Bedagai

---’ 2007. Kecamatan Perbaungan dalam Angka. Kabupaten Serdang Bedagai

---’ 2008. Kecamatan Perbaungan dalam Angka. Kabupaten Serdang Bedagai

Boediono, 1981. Teori Pertumbuhan Ekonomi, Edisi 1, BPFE, Yogyakarta. David, F.R, 1997. Strategic Management, Prentive Hall Internasional, Inc. Diulio, A.Eugene, 1993, Teori Makro Ekonomi, UI Press, Jakarta.

Direktorat Jenderal Cipta Karya, 1979, Pedoman Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota, Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bagunan, Bandung.

Djoyohadikusumo, Sumitro, 1994. Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Edisi 2. LPES-Indonesia, Jakarta.

Glasson, John, 1997. Pengantar Perencanaan Regional, (Terjemahan), LPFE-UI, Jakarta.

Harjoni, 2004. ”Menganalisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Dampak Pemekaran Aceh Tenggara”. Thesis. PWD. USU. Medan

Jayadinata, Johara T (1992), Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah, ITB Bandung, Bandung.

Jhingan, M.L, 1993. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.

Joni, Harmes. 2000. ”Analisis Pertumbuhan dan Proses Transformasi Struktur Ekonomi Regional Kota Medan”. Thesis. PWD. USU. Medan


(5)

---’ (2006), Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai.

---’ (2007), Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai.

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Metode Kuantitatif, Edisi Kedua, UPP AMP YPKN, Yogyakarta.

Kadariah, 1985, Ekonomi Perencanaan, Lembaga Penerbit, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Miraza, Bachtiar Hassan, 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Ikatan Sarjana Ekonomi Indoneisa Cabang Bandung. Koordinator Jawa Barat, Bandung.

Myrdal, G, 1968. Asian Drama-An Inquary into the Poverty of Nations, Penguin, Harmondsworth.

Nazir, Moh, 1999. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Cetakan Keempat, Jakarta. Tarigan, R. 2004. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Jakarta : Bumi Aksara. ---’ 2006. Perencanaan Pembagunan Wilayah. Jakarta : Bumi Aksara.

Sinulingga Budi.D, 1999, Pembagunan Kota Tinjauan Regional dan Lokal. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Sirojuzilam, 2005. Beberapa Aspek Pembangunan Regional, ISEI Bandung, Jawa Barat.

Sirojuzilam, 1996. Arah dan Sasaran Pembangunan Mebidang Menuju Metropolitan Area, FE-USU, Medan.

Sirojuzilam, 2008. Disparitas Ekonomi dan Perencanaan Regional. Pustaka Bangsa Press. Medan.

Sarman P Sagala 2009. ”Analisis Kecamatan sebagai pusat pertumbuhan di kabupaten Bangka Propinsi Bangka Belitung”. Jurnal. Bangka Belitung. Sukirno Sadono, 1981. Ekonomi Pembangunan. Edisi 2, Bonta Gorat Medan. Sudarman, Ari, 1996. Teori Ekonomi Mikro, Edisi 3, BPFR, Yogyakarta.


(6)

Sumardi, Mulyanto dan Hans – dieter Evers (1982), Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, Rajawali Press, Jakarta.

Suparmoko, M, 1993. Kaitan antara Sektor Pertanian dan Bukan Pertanian, Pertumbuhan dan Pemerataan dalam Pembangunan Pertanian, PERHEPI, Jakarta.

Todaro, Michael, P, 1999. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Keenam Jidil 1, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Widodo, T. Suseno, 1990. Indikator Ekonomi, Konisius, Yogyakarta. Winardi (1985), Pengantar tentang sistim – sistim Ekonomi, Karya, Jakarta. Wijaya, Feried, 1989. Pengantar Ekonomi Makro, Edisi 3 BPFE, Yogyakarta.

www.yahoo.com http:/ Teori-teori Pertumbuhan dari Francois Perroux (1955), Di akses Tanggal 15 April 2009, Medan

www.yahoo.com http:/ Kumpulan Jurnal Pertumbuhan Wilayah Universitas UGM Jogjakarta (2000), Di akses Tanggal 15 April 2009, Medan

www.yahoo.com http:/ Teori kutub pertumbuhan, Diakses Tanggal 23 juli 2009, Medan