Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Jaminan Hutang Yang Dieksekusi Lelang Berdasarkan Risalah Lelang Pada Kantor Pertanahan Kota Medan (Studi Kasus Pada KP2LN Medan)

(1)

PELAKSANAAN PENDAFTARAN PERALIHAN HAK ATAS JAMINAN

HUTANG YANG DIEKSEKUSI LELANG BERDASARKAN RISALAH

LELANG PADA KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN

(STUDI KASUS PADA KP2LN MEDAN)

TESIS

Oleh

ALVINA MASITAH 047011004/MKn

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

PELAKSANAAN PENDAFTARAN PERALIHAN HAK ATAS JAMINAN

HUTANG YANG DIEKSEKUSI LELANG BERDASARKAN RISALAH

LELANG PADA KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN

(STUDI KASUS PADA KP2LN MEDAN)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan

dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALVINA MASITAH 047011004/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

Judul Tesis : PELAKSANAAN PENDAFTARAN PERALIHAN HAK ATAS JAMINAN HUTANG YANG DIEKSEKUSI LELANG BERDASARKAN RISALAH LELANG PADA KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN (STUDI KASUS PADA KP2LN MEDAN)

Nama Mahasiswa : Alvina Masitah Nomor Pokok : 047011004 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Soleman Mantayborbir, S.H., M.H) Ketua

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum) Anggota

(Syahril Sofyan, S.H., M.Kn) Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc) Tanggal Lulus : 23 Juni 2007


(4)

Telah Diuji Pada Tanggal: 23 Juni 2007

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Dr. Soleman Mantayborbir, S.H.,M.H.

Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum.

2.

Notaris Syahril Sofyan, S.H.,M.Kn.

3.

Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N.

4.

Prof. Dr. Tan Kamello, S.H.,M.S.


(5)

ABSTRAK

Pasal 41 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang, dan di dalam Pasal (5) disebutkan untuk pendaftaran peralihan hak yang diperoleh melalui lelang disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan menyertakan risalah lelang dan dokumen lain yang berhubungan dengan tanah tersebut. Dalam hal permohonan untuk pemindahan hak tersebut, ternyata si pemenang lelang tidak bisa melakukan pemindahan haknya padahal semua persyaratan sudah dipenuhi, oleh karena tanah sebagai objek lelang tersebut ternyata bermasalah atau bersengketa hal ini baru terjadi setelah diterbitkannya Risalah Lelang bahkan sertifikat hak atas tanah telah pula dilakukan haknya ke atas nama pembeli lelang. Pemohon hak menuntut haknya untuk memperoleh kepastian hukum terhadap tanah yang telah dimilikinya secara lelang pada Kantor Pertanahan karena pendaftaran itu menjadi tugas pokok dari Kantor Pertanahan untuk memberikan landasan hukum bidang pertanahan dalam mewujudkan suatu tata kehidupan bagi masyarakat dimana tanah disamping mempunyai fungsi sosial, juga berfungsi untuk memberikan nilai ekonomi bagi pemilik hak atas tanah. Oleh karena dilakukan penelitian tentang pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas jaminan hutang yang dieksekusi lelang pada Kantor Pertanahan Kota Medan berdasarkan Risalah Lelang, kendala yang ditemui dalam pelaksanaannya serta upaya dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dengan lokasi penelitian wilayah hukum KP2LN Medan. Sampel ditentukan secara purposive sampling yaitu Risalah Lelang pelaksanaan eksekusi lelang jaminan hutang berupa tanah. Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap data yang terkumpul melalui wawancara, inventarisasi peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, dokumen-dokumen resmi yang ada dan laporan-laporan penelitian yang berkaitan dengan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pendaftaran pemindahan hak atas tanah pada Kantor Pertanahan di Kota Medan, dari segi teknis dijumpai bahwa baik itu mengenai waktu maupun jumlah biaya yang harus dibayarkan oleh pemohon hak untuk mendaftarkan pemindahan haknya tidak berjalan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam peraturan. Kendala yang timbul dalam pelaksanaan pendaftaran pemindahan hak ini pada Kantor Pertanahan Medan, yaitu, berkaitan dengan kendala teknis antara lain mengenai masalah waktu dan biaya serta mengenai sengketa yang terjadi terhadap sertifikat yang dilelang. Upaya yang dilakukan dalam hal kendala yang bersifat teknis seperti yang telah disebutkan di atas adalah biasanya pemohon hak membayar biaya tambahan agar


(6)

proses pendaftaran pemindahan haknya dapat diselesaikan dengan cepat dan terhadap adanya sengketa dan gugatan sampai adanya putusan dari pengadilan yang bersifat final dan sesuai dengan putusan tersebut.

Disarankan kepada Pejabat Kantor Pertanahan perlu mempedomani kepada Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 untuk mengurangi biaya-biaya operasional yang bukan merupakan kewajiban utama dari pendaftaran hak atas tanah.


(7)

ABSTRACT

Section 41 sentence (1) PP No. 24 Year 1997 about Land Registry express switchover of rights through conveyancing with auction can only be enlisted if proved with made by auction brochure citation Functionary of Auction, and in Section (5) mentioned for the registration of switchover of obtained rights through auction submitted to Chief Land by figuring in brochure auction and other related documents of land. In the case of application for conveyancing, in the reality the winner of auction cannot /conduct its conveyancing though all conditions have been fulfilled, because of land as the auction object in the reality have problem or have this matter dispute to just happened after publishing of Brochure Auction even land right certificate had also been conducted by its rights to on behalf. Applicant of rights present to it to obtain rule of law to land which have owned of auctioned at land’s registration office (BPN) because that registration become fundamental duty of BPN to give the basis for land area law in realizing an arranging life to society where land beside have social function, also function to assign value economics to owner of land right. Is along of conducted by research about execution of registration of switchover of rights of debt guarantee executed by auction at BPN Medan pursuant to Treats Auction (risalah lelang), constraint met in its execution and also strive to be conducted to overcome the constraint.

Its research have the character of analytical descriptive with approach of normative juridical and empirical juridical with location research of territory of jurisdiction of Service of Receivable and Auction State Office (KP2LN) Medan. Sample determined by purposive sampling that is Treats Auction (risalah lelang) execution execute debt guarantee auction in the form of land. Activity of analysis started conducted of inspection to gathered data through interview, law and regulation stocktaking, erudite masterpiece, existing formal documents and research reports related to research.

Result of research indicate that process registration of conveyancing of land at BPN Medan, of technical facet met that that goodness regarding expense amount and also time which must be paid by applicant the right to register its conveyancing do not walk as according to what have been specified in regulation. Constraint arising out in execution of registration of this conveyancing at BPN Medan, that is, relating to technical constraint for example hitting the problem of expense and time and also regarding dispute that happened to certificate which by auction. Strive performed within constraint matter having the character of technical such as those which have been mentioned by above is usually applicant of rights pay for surcharge so that process registration of its conveyancing can be finished swiftly and to existence of suing and dispute until the existence of decision of justice having the character of final and as according to decision.


(8)

Its suggested to Functionary of BPN of guidance require to Regulation of Government of No. 24 Year 1997, Regulation of State's Minister of Agrarian/BPN Number 3 Year 1997 to lessen operational costs which not such a especial obligation of registration of land right.


(9)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Taufik dan Hidayah serta InayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian Tesis ini dengan judul “Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Jaminan Yang Dieksekusi Lelang Berdasarkan Risalah Lelang Pada Kantor Pertanahan Kota Medan”.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para komisi pembimbing, yaitu:

1. Bapak Dr. S. Mantayborbir, S.H.,M.H. 2. Bapak Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum. 3. Bapak Syahril Sofyan, S.H.,M.Kn.

Yang telah banyak memberikan petunjuk dan arahan, sehingga penelitian tesis ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan penelitian tesis ini. Oleh karena itu segala masukan, kritik dan saran sangat diharapkan penulis untuk perbaikan di masa yang akan datang

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Mei 2007 Hormat Saya,


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR SINGKATAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Gambaran Umum Mengenai Jaminan Hutang ... 9

1. Pengertian Jaminan Hutang ... 9

2. Jenis-Jenis Jaminan hutang ... 19

3. Hak Tanggungan Sebagai Pengikat Hak Jaminan Hutang 24 B. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Jaminan Hutang Yang Dieksekusi Lelang ... 45

C. Pendaftaran Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ... 50


(11)

1. Pengertian Risalah Lelang dan Dasar Hukumnya ... 58

2. Bentuk dan Susunan Risalah Lelang ... 63

3. Kekuatan Risalah Lelang mengikat para pihak ... 67

4. Fungsi Risalah Lelang ... 72

BAB III METODE PENELITIAN ... 75

A. Sifat Penelitian dan Jenis Penelitian ... 75

B. Lokasi Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian ... 76

C. Teknik Pengumpulan Data ... 77

D. Alat Pengumpul Data ... 77

E. Analisis Data ... 78

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 80

A. Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Jaminan Hutang Yang Dieksekusi Lelang Berdasarkan Risalah Lelang Pada Kantor Pertanahan Kota Medan ... 80

B. Kendala Yang Ditemui Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Pemindahan Hak Atas Tanah, Berdasarkan Risalah Lelang ... 92

C. Upaya Yang Dilakukan Untuk mengatasi Kendala Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Pemindahan Hak Atas Tanah Berdasarkan Risalah Lelang ... 95

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ... 100


(12)

DAFTAR SINGKATAN

BKPN = Berkas Kasus Piutang Negara

BIAD = Biaya Administrasi

BMPK = Batas Maksimum Pemberian Kredit

BNI = Bank Negara Indonesia

BPN = Badan Pertanahan Nasional

BRI = Bank Rakyat Indonesia

BUMD = Badan Usaha Milik Daerah

BUMN = Badan Usaha Milik Negara

BUPN = Badan Urusan Piutang Negara

BUPLN = Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara DJPLN = Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara HIR = Het Herziene Indonesiche Reglement

HGB = Hak Guna Bangunan

HM = Hak Milik

HGU = Hak Guna Usaha

Keppres = Keputusan Presiden

KLN = Kantor Lelang Negara

KMK = Keputusan Menteri Keuangan

KP3N = Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara KP2LN = Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara KUHPdt = Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

PB = Pernyataan Bersama

Perpu = Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang PH/PjH = Penanggung Hutang/Penanggung Jawab Hutang PJPN = Penetapan Jumlah Piutang Negara

PN = Pengadilan Negeri

PNDT = Piutang Negara Dapat Ditagih PNTO = Piutang Negara Telah Optimal

PP = Penyerah Piutang

PPN = Pengurusan Piutang Negara

PUPN = Panitia Urusan Piutang Negara PTUN = Pengadilan Tata Usaha Negara

RBg = Rechtsreglement Buitengewesten

SAIPPN = Sistem Administrasi Informasi Pengurusan Piutang Negara SEBI = Surat Edaran Bank Indonesia


(13)

SP3N = Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara

SP = Surat Paksa

SPP = Surat Perintah Penyitaan

SPPBS = Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan SPPS = Surat Perintah Pengangkatan Sita

Stb = Staatsblad

UUD 1945 = Undang-Undang Dasar 1945

UU = Undang-Undang

UUHT = Undang-Undang Hak Tanggungan


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai sarana dalam menyelenggarakan berbagai segi kehidupan manusia, tanah mempunyai peran yang sangat penting, bukan saja dapat digunakan sebagai tempat tinggal, mencari nafkah, namun dapat juga digunakan sebagai pendukung keberhasilan pembangunan di segala bidang, yang artinya tanah dapat dipergunakan dalam berbagai kegiatan sosial, keagamaan, kesehatan, pendidikan, olahraga, politik pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta bidang-bidang lainnya. Sehingga tujuan dari pembangunan itu dapat tercapai sebagaimana dirumuskan dalam isi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut disamping mempunyai kedudukan yuridis yang tinggi, yang sangat mendasar, juga mempunyai nilai filsafat dan nilai politis yang tinggi pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Segala kebijaksanaan para penyelenggara Negara di bidang pengelolaan fungsi bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung didalamnya ini tidak boleh menyimpang dari ketentuan tersebut, baik secara yuridis maupun secara filosofis.


(15)

Sehingga seperti yang dikatakan oleh Sri Sultan HB X bahwa:

Tanah selain memiliki fungsi ekonomis, juga mengandung nilai-nilai yang dapat memberikan justifikasi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengaturan oleh Negara secara ketat tentang kepemilikan dan kemanfaatannya. Salah satu prasyarat yang terpenting adalah bahwa pemerintah sebagai regulator dan pelaku bisnis harus jauh dari watak curang dan tidak kompeten. Tanah merupakan sumber kehidupan yang tidak pernah bertambah sejak bumi diciptakan. Oleh sebab itu pula, harus dipelihara dengan sistem hukum yang ketat, jujur dan terbuka bagi kepentingan rakyat banyak.1

Berdasarkan ketentuan tersebut pada tanggal 24 September 1960 maka diundangkan dan mulai berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria dimuat dalam Lembaga Negara No. 104 Tahun 1960 yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria dan sering disingkat dengan UUPA (untuk selanjutnya dalam tulisan ini disingkat dengan UUPA).

UUPA adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan antar bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa, serta kekayaan yang terkandung di dalamnya.

A.P. Parlindungan mengatakan bahwa:

UUPA telah meletakkan dasar-dasar yang baik dalam suatu hukum agraria yang modern, karya yang terbesar setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan di bidang hukum, sebagai pelaksanaan dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwa UUPA telah meletakkan dasar-dasar yang modern dan serasi dalam perkembangan di negara kita.2

1

Sri Sultan HB X, Reformasi Agraria Perspektif Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan RI, Diambil dari reformasi, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 9.

2


(16)

Sebagaimana juga yang tercantum dalam Penjelasan Umum angka 1 bahwa UUPA telah meletakkan dasar-dasar pemikiran baru dalam hubungan hukum antara rakyat dan masyarakat Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, seperti yang dijelaskan dalam tujuan pokok UUPA yaitu antara lain:

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.3

Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa tujuan UUPA tersebut adalah untuk meletakkan landasan yang kuat guna memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah, yaitu dalam hal kepemilikan dan penguasaan atas tanah.

Jika dihubungkan dengan tujuan UUPA di atas dengan usaha-usaha Pemerintah dalam rangka penataan kembali, penggunaan dan pemilikan serta peralihan hak-hak atas tanah maka pendaftaran tanah atau pendaftaran hak-hak

3

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 216.


(17)

atas tanah merupakan sarana penting dalam mewujudkan kepastian hukum hak-hak atas tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dan sekaligus turut serta pula dalam penataan kembali penggunaan penguasaan dan kepemilikan serta peralihan hak-hak atas tanah.

Peralihan hak-hak menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat terjadi melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan pembuatan hukum pemindahan hak atas lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 41 ayat (1) peraturan pemerintah tersebut menyatakan bahwa peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan Kutipan Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang. Risalah Lelang tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan akta jual beli yang dibuat PPAT yang biasa dipergunakan sebagai salah satu dasar untuk mendaftarkan peralihan hak atas tanah pada Kantor Pertanahan.

Pasal 41 ayat (5) menyatakan bahwa peralihan hak bagi tanah yang diperoleh melalui lelang yang hak atas tanahnya sudah dibukukan (bersertifikat) disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan data berupa:


(18)

1. Kutipan Risalah Lelang yang bersangkutan

2. a. Sertifikat tanah, jika di bidang tanah tersebut sudah terdaftar.

b. Surat Keterangan dari Kepala Kantor Lelang mengenai alasan tidak diserahkannya sertifikat, apabila sertifikat tersebut diserahkan kepada pembeli lelang eksekusi.

3. Surat Keterangan Pendaftaran Tanah 4. Identitas Pemenang Lelang

5. Surat-surat lain yang diperlukan.4

Apabila dokumen tersebut di atas, diteliti dan dinyatakan sebagai berkas lengkap maka Kepala Kantor Pertanahan mencatat adanya perubahan data dengan cara mencatat pemindahan hak itu dalam buku tanah dan pada buku sertifikat serta daftar lain yang ada pada kantor pertanahan, dan hal ini dikenal dalam masyarakat luas dengan istilah pemindahan hak.

Timbul kendala, bagaimana dalam hal permohonan untuk pemindahan hak tersebut, ternyata si pemenang lelang tidak bisa melakukan pemindahan haknya padahal semua persyaratan sudah dipenuhi, oleh karena tanah sebagai objek lelang tersebut ternyata bermasalah atau bersengketa hal ini baru terjadi setelah diterbitkannya Risalah Lelang bahkan sertifikat hak atas tanah telah pula dilakukan haknya ke atas nama pembeli lelang.5

4

A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Berdasarkan PP24 Tahun 1997) Dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP 37 Tahun 1998), Mandar Maju, 1999, hlm. 139.

5

Mengenai peralihan-peralihan hak atas tanah, disebutkan bahwa yang berasal dari objek lelang hanya peralihan haknya menurut Pasal 41 PP No.24 Tahun 1997 disebut dengan pemindahan hak.


(19)

Melihat kendala seperti itu jelas mempengaruhi proses pendaftaran pemindahan haknya. Lalu upaya apa yang dilakukan oleh pemohon hak (pembeli lelang) sendiri dalam hal menuntut haknya untuk memperoleh kepastian hukum terhadap tanah yang telah dimilikinya secara lelang ataupun Kantor Pertanahan, mengingat pendaftaran itu sendiri adalah suatu program yang menjadi tugas pokok dari Kantor Pertanahan dapat melaksanakan dan memberikan landasan hukum bidang Pertanahan untuk terwujudnya suatu tata kehidupan bagi masyarakat dimana tanah disamping mempunyai fungsi sosial, juga berfungsi untuk memberikan nilai ekonomi bagi pemilik hak atas tanah, hal ini disebabkan karena tanah sebagai benda tidak bergerak dan mempunyai nilai jaminan bagi pemenang hak

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas jaminan hutang yang dieksekusi lelang pada Kantor Pertanahan Kota Medan berdasarkan Risalah Lelang?

2. Kendala apa sajakah yang ditemui dalam pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas jaminan hutang yang dieksekusi lelang pada Kantor Pertanahan Kota Medan?


(20)

3. Upaya apa sajakah yang dilakukan untuk mengatasi kendala dalam pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas jaminan hutang yang dieksekusi lelang pada Kantor Pertanahan Kota Medan berdasarkan Risalah Lelang?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas jaminan hutang yang dieksekusi lelang pada Kantor Pertanahan Kota Medan berdasarkan Risalah Lelang.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan kendala yang ditemui dalam pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas jaminan hutang yang dieksekusi lelang pada Kantor Pertanahan Kota Medan.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala dalam pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas jaminan hutang yang dieksekusi lelang pada Kantor Pertanahan Kota Medan berdasarkan Risalah Lelang.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis antara lain, yaitu:

1. Mengharapkan bahwa sesuai hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum khususnya ilmu hukum agraria dan sebagai


(21)

acuan dalam memahami hak-hak atas tanah dan peralihan hak atas tanah berdasarkan risalah lelang.

2. Upaya memberikan suatu pemahaman yang mendalam serta bahan pegangan bagi Kantor Pertanahan, Pemenang Lelang, maupun instansi terkait sehubungan dengan pelaksanaan peralihan hak atas tanah berdasarkan risalah lelang, dan khusus bagi pemenang lelang agar dapat memiliki kepastian hukum atas hak atas tanah yang baru saja diperoleh melalui lelang.

3. Untuk dapat dijadikan rujukan bagi peneliti lanjutan yang ingin mengkaji secara rinci dari sisi lain dari pelaksanaan peralihan hak atas tanah berdasarkan risalah lelang.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, bahwa belum ada judul penelitian sebelumnya berjudul: “Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Jaminan Hutang Yang Dieksekusi Lelang Pada Kantor Pertanahan Kota Medan Berdasarkan Risalah Lelang (Penelitian Pada KP2LN Medan)”.

Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

F. Gambaran Umum Mengenai Jaminan Hutang 1. Pengertian Jaminan Hutang

Dalam literatur hukum, tidak dikenal istilah hukum jaminan, sebab kata recht dalam perkataannya sebagai zekerheidsrechten berarti hak, sehingga zekerheidsrechten adalah hak-hak jaminan.6 Dengan demikian jika hendak merumuskan hukum jaminan, maka hukum jaminan dapat dikatakan sebagai “ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan pada umumnya, berarti jaminan tagihan kreditur/bank atas hutang nasabah debitur”7

“Jaminan” dalam kata peraturan perundang-undangan dapat dijumpai pada Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan, namun dalam kedua peraturan tersebut tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan jaminan. Meskipun demikian dari kedua ketentuan di atas dapat diketahui, bahwa jaminan erat hubungannya dengan masalah hutang.8

6

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997a, hlm. .54.

7

J. Satrio, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997b, hlm.4. 8

Eungenia Liliawati Muljono, Tinjauan Yuridis Terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit Oleh Perbankan, Harvarindo, Jakarta, 2003, hlm. 17.


(23)

Biasanya dalam perjanjian pinjam meminjam uang, pihak kreditur/bank meminta kepada nasabah debitur agar menyediakan jaminan berupa sejumlah harta kekayaan untuk kepentingan pelunasan hutang, apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan ternyata nasabah debitur tidak melunasinya, maka barang jaminan yang dijaminkan pada kreditur dieksekusi lelang dan atau dijual di bawah tangan untuk pelunasan hutang nasabah debitur, karena perjanjian hutang piutang bukan perjanjian jual beli yang mengakibatkan pemindahan hak milik atas suatu barang sebagaimana peraturan yang berlaku. Hasilnya untuk melunasi hutang, dan apabila masih terdapat kelebihannya dapat dikembalikan kepada nasabah debitur.9

Kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur. Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur barang jaminan dalam pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah

9


(24)

dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur mengembalikan hutangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.

Pemberian jaminan selalu diikuti dengan adanya perjanjian yang mendahuluinya, yaitu perjanjian hutang piutang yang disebut dengan perjanjian pokok. Tidak mungkin ada perjanjian jaminan tanpa ada perjanjian pokoknya. Sebab perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikut perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya berakhir, maka perjanjian jaminannya pun turut berakhir. Tidak mungkin ada orang yang bersedia menjamin suatu hutang, kalaupun hutang itu sendiri tidak ada. Sifat perjanjian yang demikian ini disebut accessoir.

Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa perjanjian hak tanggungan adalah perjanjian accessoir. Perjanjian hak tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain, yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk bagi perjanjian hak tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin. Dengan kata lain, perjanjian hak tanggungan adalah suatu perjanjian accessoir. Dalam butir 8 Penjelasan Umum UUHT ada dikemukakan hal yang demikian. Dalam butir 8 Penjelasan Umum UUHT itu disebutkan: “Oleh karena Hak Tanggungan menurut


(25)

sifatnya merupakan ikutan atau accesoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya”. Bahwa perjanjian Hak Tanggungan adalah suatu perjanjian accessoir adalah berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UUHT, yaitu karena: (a) Pasal 10 ayat (1) UUHT menentukan bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan. (b) Pasal 18 ayat (1) huruf a menentukan Hak Tanggungan hapus karena hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.10

Untuk dapat membuat perjanjian jaminan, maka perjanjian pokoknya harus diatur dengan jelas tentang adanya janji tentang jaminan. Dengan janji ini sebagai sumber terbitnya perjanjian jaminan yang dikehendaki oleh kreditur/bank dan nasabah debitur. Jadi membuat perjanjian jaminan merupakan salah satu pelaksanaan dari perjanjian pokok.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak menyebutkan adanya jaminan umum dan jaminan khusus, namun dari sejumlah peraturan yang berlaku, dapat diketahui bahwa mana jaminan yang bersifat umum dan

10

Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hlm. 28-29.


(26)

mana yang bersifat khusus. Jaminan umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menyebutkan: “segala kebendaan si berutang, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.11

Nasabah debitur dalam hal ini, bersikap pasif, tidak perlu membuat perjanjian jaminan, karena perikatannya sudah diatur oleh undang-undang. Tanpa adanya perjanjian yang diadakan para pihak lebih dulu, maka para kreditur konkuren semuanya secara bersama-sama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh undang-undang.12

Jadi dalam jaminan umum ini, semua harta kekayaan milik nasabah debitur merupakan jaminan bagi para kreditur/bank tanpa memandang siapa kreditur yang membuat perikatan lebih dahulu. Semua kreditur mempunyai hak yang sama, namun mengenai pembayaran hutang tidak dibagi rata dari hasil penjualan harta kekayaan tersebut. Menurut Pasal 1132 KUH Perdata, hasil penjualan atas barang-barang itu dibagi-bagikan menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur/bank, kecuali di antara kreditur mempunyai hak untuk didahulukan.

11

Mariam Darus Badrulzaman, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional, Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional tentang kesiapan dan persiapan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Hak Tanggungan yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung, dan Seminar Nasional Sehari tentang Persiapan pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada tanggal 25 Juli 1996 di Medan.

12

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberry, Yogyakarta, 1980, hlm. 45


(27)

Sehubungan dengan itu Sri Soedewi Masjchoen Sofwan13 mengatakan bahwa jaminan yang demikian dalam praktek perkreditan (perjanjian jaminan hutang) tidak memuaskan kreditur/bank, dan kurang memberikan rasa aman dan jaminan bagi kredit yang diberikan. Hal ini karena dengan jaminan tersebut kreditur tidak mengetahui secara persis berapa jumlah harta kekayaan nasabah debitur, serta kepada siapa saja nasabah debitur telah berutang, sehingga dikhawatirksn hasil penjualan harta kekayaan nasabah debitur nantinya tidak cukup untuk melunasi hutangnya.

Dalam hal jaminan khusus ini pihak nasabah debitur memperjanjikan kepada kreditur/bank atas suatu barang tertentu yang diperuntukkan sebagai jaminan hutang nasabah debitur. Selain dapat berupa barang, jaminan khusus juga dapat berupa orang. Meskipun dapat berupa orang, tetapi pada akhirnya harta benda orang yang bersangkutan dapat disita dan dieksekusi lelang untuk pelunasan hutang.

Sebagaimana perjanjian jaminan umum, untuk membuat perjanjian jaminan khusus, maka pada perjanjian pokoknya juga harus diperjanjikan tentang hal itu. Kemudian dibuat perjanjian jaminan yang bersifat accessoir. Ada bermacam-macam jaminan khusus yang terdapat dalam KUH Perdata. Jaminan khusus diatur dalam KUH Perdata adalah: hipotik, gadai, penanggungan (borgtocht).

13


(28)

Sedangkan jaminan khusus yang diatur dalam KUH Perdata terdapat dalam Koninklijk Besluit, yaitu: credietverband, oogstverband. 14

J. Satrio menyatakan bahwa:

Hak Jaminan Khusus, kedudukannya lebih baik, karena diberikan oleh undang-undang (Pasal 1134 KUHPdt), atau diperjanjikan (Pasal 1151, 1162, 1820 KUH Perdata). Jadi, hak jaminan khusus di sini bukan dalam arti tanggungan atas perikatan tertentu, untuk membedakannya dari tanggungan umum, yang merupakan tanggungan atas segala perikatan seseorang, karena borgtoch dapat diberikan untuk semua hutang nasabah debitur kepada kreditur, jadi tidak harus untuk perikatan tertentu. Di samping itu, pada jaminan khusus perikatannya tertentu, tetapi benda jaminannya ditunjuk secara tertentu untuk kreditur tertentu.15

Selain itu masih ada jaminan di luar KUH Perdata yang timbul dalam praktek kemudian diakui yurisprudensi yaitu fiduciare eigendoms overdracht. Dari bermacam-macam jaminan tersebut, hipotik dan credietverband merupakan jaminan terhadap barang-barang tidak bergerak. Gadai, oogstverband dan fiduciare eigendoms overdracht sebagai jaminan atas barang-barang bergerak. Sedangkan penanggungan merupakan jaminan perorangan.16

Selain kedua macam hak jaminan khusus seperti tersebut di atas, masih dikenal apa yang dinamakan hak istimewa (privelege) dan sebagaimana

14

Eugenia Liliawati Muljono, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Dalam Kaitannya dengan Pemberian Kredit oleh Perbankan, 2003, Harvarindo, Jakarta, hlm. 19.

15

J. Satrio, 1996, Hukum Perikatan Tentang Hapusnya Perikatan, Bagian 2, Op.Cit, hlm.11. 16

Eugenia Liliawati Muljono, 2003, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Op.Cit, hlm. 12. Jadi jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh nasabah debitur kepada kreditur, hak tagihan mana mempunyai hak mendahului sehingga ia berkedudukan sebagai kreditur privilege (hak preverent).


(29)

telah dikemukakan di atas, sesuai dengan perkembangan zaman, bila dilihat di dalam praktek adanya jaminan lain, yang tak dapat dimasukkan ke dalam salah satu kelompok tersebut, yaitu jaminan dalam wujud ijasah, surat pensiun dan lain-lain yang berupa jaminan benda sekelompok benda tertentu, tetapi tidak mempunyai sifat hak kebendaan dan bukan pula merupakan jaminan perorangan. Di samping itu benda jaminan bagi orang lain tidak mempunyai nilai ekonomis.17

Dengan demikian, yang dimaksud dengan jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang diberikan oleh nasabah debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur/bank karena pihak kreditur/bank mempunyai suatu kepentingan bahwa nasabah debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan.

Dari pengertian tersebut lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa: jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak kebendaan maupun hak perorangan. Hak kebendaan adalah berupa, benda berwujud dan benda tak berwujud, benda bergerak maupun benda tak bergerak. Sedangkan hak perorangan adalah penanggungan hutang, yang diatur dalam Pasal 1820 1850 KUH Perdata. Barang jaminan yang diberikan kepada kreditur/bank tersebut dapat diberikan oleh nasabah debitur sendiri maupun oleh pihak

17


(30)

ketiga yang disebut juga penjamin atau penanggung. Barang jaminan perorangan atau penanggungan hutang selalu diberikan oleh pihak ketiga kepada kreditur/bank. Penanggungan mana diberikan baik dengan sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan dari nasabah debitur yang bersangkutan. Barang jaminan yang diberikan kepada kreditur/bank tersebut, untuk keamanan dan kepentingan kreditur/bank, haruslah diadakan dengan suatu perikatan khusus, perikatan mana bersifat acessoir dari perjanjian kredit atau pengakuan hutang yang diadakan antara nasabah debitur dengan kreditur/bank.18

Mengenai pentingnya suatu barang jaminan oleh kreditur/bank atas suatu pemberian kredit, tidak lain adalah salah satu upaya untuk mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pembayaran dan pelunasan kredit tersebut.

Keberadaan barang jaminan kredit (collateral) merupakan persyaratan guna memperkecil risiko kreditur/bank dalam menyalurkan kredit. Pada prinsipnya, tidak selalu suatu penyaluran kredit harus dengan jaminan kredit, sebab jenis usaha dan peluang bisnis yang dimiliki pada dasarnya sudah merupakan jaminan terhadap prospek usaha itu sendiri. Hanya saja,

18

Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Rraktek, buku kesatu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 141. bahwa “menurut teori hukum secara umum, seorang direktur bank bertanggung jawab secara pribadi, baik karena bertindak di luar batas kewenangan atau perbuatan melawan hukum pada umumnya”.


(31)

jika suatu kredit dilepas tanpa barang jaminan, maka memiliki risiko yang sangat besar, jika investasi yang dibiayai mengalami kegagalan atau tidak sesuai dengan perhitungan semula. Jika hal ini terjadi maka kreditur/bank akan dirugikan, sebab dana yang disalurkan memiliki peluang untuk tidak dapat dikembalikan oleh nasabah debitur.

Berarti kredit tersebut macet tanpa ada asset dari nasabah debitur yang dapat menutup kredit tersebut. Sementara itu, jika ada barang jaminan, maka pihak kreditur/bank dapat menarik kembali dana yang disalurkan dengan memanfaatkan barang jaminan tersebut. Masalah collateral dapat menjadi pelik, jika tidak disikapi dengan seksama.

Lebih dari itu, jaminan kredit yang diberikan nasabah debitur diharapkan dapat membantu memperlancar proses analisis terhadap pemberian kredit dari kreditur/bank, yang dengan demikian barang jaminan kredit atau collateral tersebut, haruslah: secured, artinya barang jaminan kredit tersebut dapat diadakan pengikatannya secara yuridis formal, sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga apabila di kemudian hari terjadi wanprestasi dari nasabah debitur, maka kreditur/bank telah mempunyai alat bukti yang sempurna dan lengkap untuk menjalankan suatu tindakan hukum. Barang jaminan marketable, artinya barang jaminan tersebut letaknya sangat strategis, mempunyai nilai ekonomi


(32)

yang cukup tinggi, sehingga dengan mudah dapat dijual atau diuangkan untuk melunasi hutang nasabah debitur.19

Dengan pertimbangan tersebut, maka kenyataannya kreditur/bank saat ini hanya menerima barang jaminan yang secara umum dapat memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh kreditur/bank.20

Barang jaminan tidak selalu milik nasabah debitur, akan tetapi peraturan perundang-undangan juga memperbolehkan barang milik pihak ketiga, asalkan pihak yang bersangkutan merelakan barangnya untuk dipergunakan sebagai jaminan hutang nasabah debitur.21

2. Jenis-Jenis Jaminan Hutang

Pada dasarnya jenis-jenis jaminan hutang dalam kredit, terdiri dari: jaminan perorangan dan jaminan kebendaan.

a. Jaminan perorangan

Jaminan perorangan (personal guarante) adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seseorang pihak ketiga, guna

19

John Salindeho, Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 5. “Suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (nasabah debitur), berdasarkan adanya suatu perjanjian pokok (perjanjian hutang piutang) kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridis levering dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan hutang nasabah debitur), sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh nasabah debitur, tetapi bukan lagi sebagai eigenaar maupun berzitter, melainkan hanya sebagai detentor atau honder untuk atas nama kreditur – eigenaar”.

20

Hasanuddin Rahman, 1998, Op.Cit, hlm. 163-164. 21

S. Mantayborbir, Sistem Hukum Pengurusan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hlm. 263


(33)

menjamin pemenuhan kewajiban nasabah debitur kepada pihak kreditur/bank, apabila nasabah debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).

Bahkan saat ini bukan saja jaminan perorangan, tetapi kreditur/ bank sudah sering menerima jaminan serupa yang diberikan oleh perusahaan yang dikenal dengan istilah “corporate guarantee. Jaminan semacam ini pada dasarnya penanggungan hutang yang diatur dalam KUH Perdata pada Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 (termasuk Pasal 1316 KUH Perdata).

Pasal 1820 KUH Perdata memberikan pengertian penanggungan hutang sebagai suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya berhutang, apabila orang ini sendiri tidak memenuhi kewajibannya.

Dari pengertian tersebut dapatlah ditemukan unsur-unsur dalam suatu penanggungan hutang, yaitu:

1) Adanya hubungan hutang piutang (antara berhutang dengan

berpiutang);

2) Disepakatinya persetujuan penanggungan hutang dengan masuknya pihak ketiga (penanggung) dalam hubungan hukum tersebut di atas; 3) Masuknya pihak ketiga yang dinyatakan dalam suatu persetujuan yang

berisi kesanggupan penanggung untuk memenuhi perikatan nasabah debitur jika melakukan wanprestasi.22

Untuk kepentingan kreditur/bank, apabila penanggungan hutang ini akan diterima sebagai jaminan atas kredit yang akan diberikannya, maka

22

Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia (panduan dasar: Legal Officer), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.1998, hlm. 163 – 164.


(34)

Legal Officer, harus memperhatikan hal-hal tersebut di bawah ini: perjanjian penanggungan hutang adalah perjanjian acessoir artinya harus ada perjanjian hutang piutang yang diikutinya. Sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 1821 ayat (1) KUH Perdata, yang menegaskan bahwa tiada penanggungan jika tidak ada perikatan pokok yang sah. Dan hal ini sekaligus berarti, kualitas dari perjanjian hutang piutang haruslah benar-benar sempurna tanpa cacat hukum, karena cacatnya perjanjian hutang piutang akan berpengaruh terhadap cacatnya pula penanggulangan hutang sebagai perjanjian accessoir.23

Apabila penanggungan hutang tersebut adalah Personal Guarantee, atau dengan kata lain penanggungan hutang (guarantor) adalah perorangan, maka diperlukan persetujuan isteri (atau persetujuan suami) dalam melakukan perjanjian penanggungan hutang tersebut. Filosofinya terletak pada Pasal 1826 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa perikatan-perikatan para penanggung berpindah kepada ahli warisnya. Apabila penanggungan hutang tersebut adalah corporate guarantee, atau dengan kata lain penanggung hutang (guarantor)nya adalah perusahaan (biasanya Perseroan Terbatas), maka yang pertama-tama harus diperhatikan adalah anggaran dasar/akta pendirian perseroan, tentang siapa-siapa yang harus bertindak mewakili perseroan tersebut.

23


(35)

Dalam perjanjian penanggungan hutang, hendaknya dimasukkan ketentuan pasal yang menyebutkan bahwa penanggung hutang (guarantor) melepaskan hak-hak istimewanya yang diatur dalam KUH Perdata, sehingga kreditur/bank dapat juga menagih penanggung tanpa adanya kewajiban menagih terlebih dahulu yang berhutang (nasabah/debitur). Mengenai hal ini, dapat dilihat pada Pasal 1831 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selain jika si berhutang lalai, sedangkan benda-benda si berhutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya. Sedangkan pada Pasal 1832 KUH Perdata antara lain menyebutkan pengecualiannya bahwa si penanggung tidak dapat menuntut supaya benda-benda si berhutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya, apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda si berhutang lebih dahulu disita dan dijual.24

Nasabah debitur tidak dibenarkan menjadi penanggung hutang (guarantor), baik berupa personal guarantee maupun corporate guarantee. Filosofinya, bahwa nasabah debitur atau orang yang berhutang, secara yuridis formal menjadikan orang yang berhutang, seluruh harta bendanya, baik yang

24

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 14. “Hak jaminan baru mempunyai arti penting, kalau kekayaan yang dimiliki nasabah debitur tidak mencukupi guna melunasi semua hutang-hutangnya, atau dengan perkataan lain kalau pasivanya melebihi aktivanya”.


(36)

sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan atas hutang-hutangnya (Pasal 1131 KUH Perdata).25

Apabila diadakan tambahan jumlah kredit dan atau perpanjangan masa perjanjian kredit/hutang piutang, yang dijamin oleh penanggungan hutang, maka haruslah dengan sepengatahuan dan persetujuan penanggung hutang (guarantor) yang bersangkutan. Dengan demikian bahwa setiap hutang harus dijamin oleh guarantor,26 dan harus diketahui olehnya, sehingga tidak akan ada sangkalan mengenai adanya perubahan atas kredit tersebut, karena guarantor ikut mengetahui dan menyetujuinya, sehingga setiap perubahan atas perikatan pokoknya, maka secara yuridis formal perjanjian yang mengikutinya harus pula diubah sesuai dengan perikatan pokoknya. Tidaklah diperbolehkan untuk memperluas penanggungan hutang hingga melebihi ketentuan yang menjadi syarat sewaktu mengadakannya (Pasal 1824 KUH Perdata).

b. Jaminan hutang kebendaan

Jaminan hutang kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda maupun hak kebendaan, yang diberikan dengan cara pemisahan, bagian dari harta kekayaan baik dari nasabah debitur maupun dari pihak ketiga, guna

25

Ibid, hlm. 166. 26

S.N. Gupta, The Law Relating to Guarantees, Fouth Edition, Universal Law Publishing Co. PVT. LTD., Delhi, 1999, hlm. 317.


(37)

menjamin pemenuhan kewajiban nasabah debitur kepada pihak kreditur/bank, apabila nasabah debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).

Menurut sifatnya, jaminan kebendaan ini terbagi 2 (dua), yaitu (1) jaminan dengan benda berwujud (material), dan (2) jaminan dengan benda tak berwujud (immaterial). Benda berwujud, dapat berupa benda/ barang bergerak dan atau barang tidak bergerak. Sedangkan benda tak berwujud yang lazim diterima oleh kreditur/bank sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih.

Barang bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh kreditur/bank, dapat berupa kendaraan bermotor, logam mulia, stok barang dan sebagainya yang dapat dinilai baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sedangkan barang tidak bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit pada kreditur/bank, dapat berupa tanah dan bangunan di atasnya, kapal berukuran 20 meter kubik ke atas dan lain sebagainya termasuk mesin-mesin pabrik yang melekat dengan tanah. Pembagian barang bergerak dan tidak bergerak tersebut di atas, diatur dalam ketentuan Pasal 508 sampai dengan Pasal 518 KUH Perdata.27

27

S. Mantayborbir, Iman Jauhari dan Agus Hari Widodo, Hukum Piutang dan Lelang Negara, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002, hlm. 167. Bandingkan dengan pendapat J. Satrio, 1996, Hukum Perikatan Tentang Hapusnya Perikatan, Bagian 2, Op.Cit, hlm. 18-21 bahwa Hak Jaminan Kebendaan dibagi dua, yaitu a) Hak jaminan kebendaan menurut KUH Perdata, yang telah dikelompokkan dalam hak jaminan khusus terbagi dua, yaitu (1) privelege, (2) yang diperjanjikan juga terbagi dua, yaitu (a) yang bersifat hak kebendaan, (b) yang bukan merupakan hak kebendaan. Sedangkan b) hak jaminan kebendaan diluar di dalam KUH Perdata, seperti fiducia, credietverband, dan oogstverband.


(38)

3. Hak Tanggungan Sebagai Pengikat Hak Jaminan Hutang

Hak Tanggungan yang diatur di dalam undang-undang hak tanggungan adalah dimaksudkan sebagai pengganti dari hypotheek sebagaimana telah diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai tanah, dan credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan.28

Lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan ini telah lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Seperti dikemukakan di dalam Penjelasan Umum UUHT, ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengenai hypotheek dan credietverband berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya Hukum Tanah Nasional, sebagaimana pokok-pokok ketentuannya tercantum dalam UUPA dan dimaksudkan untuk diberlakukan hanya untuk sementara waktu, yaitu sambil menunggu terbentuknya undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 51 UUPA.

28


(39)

Ketentuan tentang hypotheek dan credietverband, tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan, dengan demikian hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi.29

Akibatnya, ialah timbulnya perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah. Misalnya, mengenai pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan (Penjelasan Umum UUHT).

Hak Tanggungan di dalam UUHT tidaklah dibangun dari sesuatu yang belum ada. Hak Tanggungan dibangun dengan mengambil alih dan dengan mengacu pada asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok dari hipotik yang diatur dalam KUH Perdata. Bila kedua lembaga jaminan ini diperbandingkan, maka terdapat banyak asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok dari hipotik yang diambil alih atau ditiru dari hipotik. Namun, ada pula asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok Hak Tanggungan yang berbeda. Bahkan, ada asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok dari hak tanggungan yang baru, yang tidak terdapat di dalam hipotik.

29


(40)

Istilah Hak Tanggungan sebagai pengikatan jaminan, yang dilahirkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Istilah “Tanggungan” adalah suatu istilah yang dipakai dan berkaitan dengan perasuransian. Dalam dunia perasuransian di Indonesia, istilah “Tanggungan” dipakai sebagai sinonim dari ‘Asuransi”. Sejalan dengan itu, muncul istilah “Penanggung” yang berarti asuradur atau perusahaan asuransi, dan istilah “Tertanggung” yang berarti pihak yang ditanggung atau diasuransikan. Sehubungan dengan pemakaian istilah “Hak Tanggungan” di dalam UUPA dan di dalam UUHT, dunia perasuransian telah “menggugat” pemakaian istilah tersebut sebagai istilah khusus bagi dunia mereka, yang sebaiknya tidak digunakan oleh kalangan lain selain kalangan perasuransian. Sebab kalau tidak, kata “Tertanggung” mempunyai dua arti, yaitu “Jaminan (atas tanah)” dan “Asuransi” 30

Hak Tanggungan adalah salah satu jenis dari pengikatan jaminan di samping hipotik, gadai dan fidusia. Pengikatan jaminan dimaksudkan untuk menjamin utang seorang nasabah debitur yang memberikan hak utama kepada seorang kreditur tertentu, yaitu pemegang pengikatan jaminan itu, untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain apabila nasabah debitur cidera janji.

30


(41)

Hak Tanggungan hanya menggantikan hipotik sepanjang yang menyangkut tanah saja. Hipotik atas kapal laut dan pesawat udara tetap berlaku. Di samping pengikatan hak jaminan berupa hipotik atas kapal laut dan hipotik atas pesawat udara, juga berlaku gadai dan fidudia sebagai pengikatan jaminan. Dengan demikian, ada beberapa jenis pengikatan jaminan dengan nama yang berbeda-beda, tetapi asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokoknya boleh dikatakan sama. Hal ini akan dapat sangat membingungkan bagi para pihak, lebih-lebih lagi bagi orang asing, yang ingin atau harus mempelajari hukum Indonesia mengenai pengikatan jaminan tersebut.

Berkaitan dengan itu, Sutan Remy Sjahdeini menyokong pendapat dari para pihak yang menganjurkan agar istilah-istilah bagi berbagai pengikatan jaminan itu disatukan saja. Sedangkan objek-objek pengikatan jaminan tidak lagi dibedakan antara “benda tetap” dan “benda bergerak”, tetapi dibedakan menjadi “benda terdaftar” dan “benda tidak terdaftar”. Sebaiknya dipakai saja istilah “Hak Tanggungan” untuk semua jenis pengikatan jaminan yang objeknya adalah benda yang terdaftar, yaitu untuk menggantikan istilah hipotik. Sedangkan untuk pengikatan jaminan yang objeknya adalah benda-benda yang tidak terdaftar, pengikatan jaminannya disebut gadai. Dengan demikian, fidusia ditiadakan sebagai salah satu pengikatan jaminan. Karena


(42)

fidusia tidak lagi menjadi hak jaminan, asas dalam gadai yang menentukan bahwa bagi sahnya gadai barang yang menjadi objek gadai itu harus secara fisik terlepas dari kekuasaan pemberi gadai, haruslah ditinggalkan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Nieuw Nederlands Burgelijk Wetboek (NNBW) (lihat P.P.C. Haanappel & Ejan Mackaay, Nieuw Nederlands Burgelijk Wetboek, Het Vermogensrecht, Deventer: Kluwer Law and Taxation Publishers, 1990). Apabila maksud dilakukannya pembedaan atas benda-benda itu adalah berkaitan erat dengan dijadikannya benda-benda-benda-benda itu sebagai objek pengikatan jaminan, maka seyogianya pembedaan tersebut adalah menjadi “benda terdaftar” dan “benda tidak terdaftar”. Hal itu karena yang terpenting bagi eksistensi dari suatu pengikatan jaminan itu adalah terdaftar atau tidak terdaftarnya benda-benda yang menjadi objek pengikatan jaminan. Pembedaan terhadap benda-benda sebagai objek pengikatan jaminan adalah lebih tepat bila dibedakan menjadi “benda terdaftar” dan “benda tidak terdaftar”, adalah berkaitan dengan berlakunya asas droit de suite dan asas publisitas dari suatu pengikatan jaminan yang timbul dari dilakukannya pendaftaran atas pengikatan jaminan itu.31

Menurut Pasal 1131 KUH Perdata, segala harta kekayaan seorang debitur, baik yang berupa benda-benda bergerak maupun benda-benda tetap,

31


(43)

baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi semua perikatan utangnya. Dengan berlakunya ketentuan 1131 KUH Perdata itu, maka dengan sendirinya atau demi hukum terjadilah pemberian jaminan oleh seorang nasabah debitur kepada setiap krediturnya atas segala kekayaan nasabah debitur itu.

a. Definisi Hak Tanggungan

UUHT memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, sebagai berikut (Pasal 1 ayat (1) UUHT): Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut. Unsur-unsur pokok itu ialah:

1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang. 2) Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.


(44)

3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.

4) Hutang yang dijamin harus suatu hutang tertentu.

5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

b. Asas-asas Hak Tanggungan

Ada beberapa asas hukum dari Hak Tanggungan yang perlu dipahami betul yang membedakan Hak Tanggungan ini dari jenis dan bentuk jaminan hutang yang lain. Bahkan, yang membedakannya dari hipotik yang digantikannya. Asas-asas tersebut telah diatur dalam berbagai pasal dari UUHT.

Asas-asas hukum dalam Hak Tanggungan antara lain sebagai berikut hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang hak tanggungan

Dari definisi mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Kreditur tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut.


(45)

Mengenai apa yang dimaksudkan dengan pengertian “kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain” tidak dijumpai di dalam penjelasan dari Pasal 1 Hak Tanggungan, tetapi dijumpai di bagian lain, yaitu di dalam Angka 4 Penjelasan Umum UUHT. Dijelaskan dalam Penjelasan Umum UUHT itu bahwa yang dimaksudkan dengan “memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain” ialah: Bahwa jika nasabah debitur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.32

Hal itu dapat diketahui dari ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUHT sebagai berikut:

Apabila nasabah debitur cidera janji, maka berdasarkan:

a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).

objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditur-kreditur lainnya.

32


(46)

Asas ini adalah asas yang berlaku pula bagi hipotik yang telah digantikan oleh Hak Tanggungan sepanjang yang menyangkut tanah. Dalam ilmu hukum asas ini dikenal sebagai droit de preference.

c. Objek Hak Tanggungan

Suatu objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang, sehingga terdapat pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama, peringkat kedua dan seterusnya (Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UUHT). Jika Hak Tanggungan peringkat pertama telah lunas, maka Hak Tanggungan peringkat kedua menjadi peringkat pertama, demikian seterusnya.

Sebagai jaminan, Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accesoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain. Karena itu kelahiran dan keberadaan Hak Tanggungan ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.33

Para pihak dalam perikatan Hak Tanggungan adalah Pemberi Hak Tanggungan, dan Penerima Hak Tanggungan yang dalam UUHT disebut Pemegang Hak Tanggungan. Sesuai dengan tujuan pemberian Hak

33


(47)

Tanggungan, maka Kreditur dengan sendirinya menjadi pemegang Hak Tanggungan. Tidak demikian halnya dengan pemberi Hak Tanggungan yang selain oleh nasabah debitur dimungkinkan juga oleh pemegang hak atas objek yang bukan nasabah debitur.

Kemudian yang dimaksud dengan objek hak tanggungan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan sebagai berikut:

Pasal 4 UUHT berbunyi:

(1) Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah: a. Hak Milik

b. Hak Guna Usaha c. Hak Guna Bangunan

(2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan dapat juga dibebani hak tanggungan.

(3) Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak pakai atas tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(4) Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada dan akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

(5) Apabila bangunan, tanaman dan hasil karya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan seta pada akta pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.

Penjelasan Pasal 4 UUHT:

(1) Yang dimaksud dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan adalah hak-hak atas tanah, sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Hak Guna Bangunan meliputi Hak Guna Bangunan di atas


(48)

tanah negara, di atas tanah hak pengelolaan, maupun di atas tanah hak milik. Sebagaimana telah dikemukakan dalam penjelasan umum angka 4, dua unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan adalah:

a. Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dalam daftar umum, dalam hal ini kantor pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preference) yang diberikan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan megnenai Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dibebani, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas).

b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dipindahtangankan, sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasikan untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya. Sehubungan dengan kedua syarat di atas, Hak Milik yang sudah diwakafkan tidak dapat dibebani Hak Tanggungan, karena sesuai dengan hakikatnya Perwakkafan, Hak Milik yang demikian sudah dikekalkan sebagai harta keagamaan. Sejalan dengan itu hak atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya juga tidak dibebani Hak Tanggungan.

(2) Hak Pakai atas tanah Negara yang dapat dipindahtangan meliputi hak pakai yang diberikan kepada orang perseorangan atau badan hukum untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan di dalam keputusan pemberiannya. Walaupun di dalam Pasal 43 UUPA ditentkan bahwa untuk memindahtangankan hak pakai atas tanah Negara diperlukan izin dari pejabat yang berwenang hanyalah berkaitan dengan persyaratan apakah penerima hak memenuhi persyaratan untuk menjadi pemegang hak pakai mengenai kewajiban pendaftaran hak pakai atas tanah negara, lihat Penjelasan Umum angka 5.

(3) Hak pakai atas Tanah Hak Milik baru dapat dibebani Hak Tanggungan apabila hal tersebut sudah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan ini diadakan karena perkembangan mengenai hak pakai atas tanah hak milik tergantung kepada keperluannya di dalam masyarakat. Walaupun pada waktu ini belum dianggap perlu mewajibkan pendaftaran hak pakai atas tanah hak milik, sehingga hak tersebut tidak memenuhi syarat untuk dibebani Hak Tanggungan, namun untuk menampung perkembangan di waktu yang akan datang dimungkinkan untuk membenahi Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas Tanah Hak Milik tidak ditutup sama sekali.

(4) Sebagaimana sudah dijelaskan dalam penjelasan umum angka 6, Hak Tanggungan dapat juga meliputi bangunan, tanaman dan hasil karya


(49)

misalnya candi, patung, gapura, relief yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan. Bangunan yang dapat dibebani hak tanggungan bersamaan dengan tanahnya tersebut meliputi bangunan yang berada di atasnya maupun di bawah permukaan tanah misalnya basement, yang ada hubungannya dengan hak atas tanah yang bersangkutan.

(5) Sebagai konsekuensi dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang pemiliknya lain daripada pemegang hak atas tanah wajib dilakukan bersamaan dengan pemberian Hak Tanggungan atas tanah yang bersangkutan dan dinyatakan dalam suatu Akta Pemberian Hak Tanggungan, yang ditandatangani bersama oleh pemiliknya dan pemegang haknya atas tanah atau kuasa mereka, keduanya sebagai pihak pemberi hak tanggungan. Yang dimaksud dengan akta otentik dalam ayat ini adalah Sruat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan atas benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah untuk dibebani hak tanggungan bersama-sama tanah yang bersangkutan.

UUHT mengatur objek Hak Tanggungan secara sporadik dan limiitatif. Peraturan perundangan yang terkait dengan UUHT adalah UURS dan UUPA. Dalam kerangka ini dapat diklasifikasikan 10 (sepuluh) objek Hak Tanggungan sebagai berikut:34

1. Hak Milik, Pasal 20 UUPA

1) Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.

2) Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 25 UUPA:

Hak Milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.

34

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 29.


(50)

2. Hak Guna Usaha (HGU)

Pasal 28 UUPA

1) Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.

2) Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 33 UUPA:

Hak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. 3. Hak Guna Bangunan (HGB)

Pasal 35 UUPA:

1) Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

2) Atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.


(51)

3) HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 39 UUPA:

Hak ini dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.

Selain ini perlu juga untuk mengingat ketentuan ini:

1. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.6/1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Tempat Tinggal;

2. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9/1997 jis No.15/1997 dan No.1/1998 tentang Pemberian Hak Milik atas satuan Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS);

3. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.16/1997 tentang Perubahan Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai.

Dari gambaran beberapa peraturan tersebut di atas maka setiap pemberian hak atas tanah baru yang berasal dari hak-hak atas tanah lainnya, terlebih dahulu akan menghapuskan hak-hak atas tanah yang telah ada sebelumnya, dan selanjutnya baru diberikan hak atas tanah baru yang sesuai.


(52)

Dengan demikian berarti pula setiap hak tanggungan yang telah dibebankan di atas tanah terdahulu menjadi hapus demi hukum. Hal ini sejalan dengan rumusan yang diberikan Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi:

Pasal 1320:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Pasal 1333:

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”

Mengenai hapusnya hak tanggungan sebagai akibat perubahan status hak atas tanah dari Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai menjadi Hak Milik dapat ditemukan pengaturannya dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5/1998 tentang perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal yang dibebani hak tanggungan menjadi hak milik.

Hal tersebut di atas juga pada prinsipnya sejalan dengan dan dapat ditemukan pengaturannya dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT sebagai berikut:


(53)

1) Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:

a) Hapusnya hutang yang dijaminkan dengan hak tanggungan. b) Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan c) Pembersih hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh

Ketua Pengadilan Negeri.

d) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

Ketentuan tersebut di atas memperlihatkan bahwa dalam hal terjadi perubahan status hak atas tanah, maka hak tanggungan harus dibebankan kembali oleh karena dengan perubahan status hak atas tanah tersebut, maka hak tanggungan yang membebani hak atas tanah menjadi hapus demi hukum.

d. Pembebanan Hak Tanggungan atas tanah Hak Milik

Dari rumusan Pasal 4 UUHT berikut diketahui bahwa ternyata selain bidang tanahnya, bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan bidang tanah (Hak Milik) tersebut baik yang merupakan milik pemegang hak atas tanah maupun tidak juga dapat dibebani dengan hak tanggungan selama dan sepanjang tindakan tersebut dilakukan oleh pemiliknya dan pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan. Dengan demikian tepatlah rumusan Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang judul Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Berkaitan dengan pemberian Hak Tanggungan tersebut, dalam ketentuan Pasal 13 UUHT disebutkan sebagai berikut:


(54)

1) Pemberi Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan 2) Selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan Akta

Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 10 ayat 2, PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkat lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.

3) Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh kantor pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat atas tanah yang bersangkutan.

4) Tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-sruat yang diperlukan bagi pendaftarnya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari berikutnya.

5) Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal tanah hak tanggungan sebagaimana dimaksud ayat 4.

Secara tegas ternyata bahwa saat pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan adalah saat lahirnya hak tanggungan tersebut. Sebelum pendaftaran dilakukan, maka hak tanggungan tidak pernah ada. Hak Tanggungan lahir dengan dilaksanakannya pendaftaran pemberian hak tanggungan.

Selanjutnya seperti telah disinggung di muka pendaftaran pembebanan hak tanggungan diatur lebih lanjut pada Pasal 44 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut:

1) Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, Pembebanan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk bangunan atas hak milik, dan pembebanan lain pada hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang ditentukan dengan Peraturan Perundang-undangan, dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang berwenang menurut ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.


(55)

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 berlaku juga untuk pembuatan akta PPAT yang dimaksud pada ayat 1.

e. Pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna Usaha

Mengenai pembebanan hak atas tanah, dalam ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Pokok Agraria dapat diketahui bahwa terhadap tanah dengan status Hak Guna Usaha dapat dijaminkan dengan membebani hak atas tanah terebut (Hak Guna Usaha) dengan Hak Tanggungan.35

f. Pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan

Mengenai pembebanan hak atas tanah, dalam ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Pokok Agraria dapat diketahui bahwa terhadap tanah dengan status Hak Guna Bangunan dapat dijaminkan dengan membebani hak atas tanah tersebut (Hak Guna Bangunan) dengan Hak Tanggungan.36

g. Pencoretan (roya) Hak Tanggungan

Jika debitur telah melakukan pelunasan hutang maka berarti perjanjian diantara debitur dan kreditur pemberi hak tanggungan dan pemegang hak tanggungan berakhir. Seperti telah dijelaskan bahwa perjanjian hutang itu bersifat perorangan, yang mengetahui keadaan ini hanalah para pihak di

35

lihat Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 36

Lihat Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan No.4 Tahun 1996 dan Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996.


(56)

dalam perjanjian itu, tidak pihak ketiga atau umum agar umum mengetahui peristiwa itu, perlu dipenuhi asas publisitas dengan melakukan publikasi ke kantor pertanian. Jika tidak, maka menurut hukum hak tanggungan masih berlaku, untuk itu pelunasan harus diikuti dengan penghapusan hak tanggungan (roya) demikianlah peranan asas publisitas dalam hak keberadaan, yang memberikan perlindungan kepada semua pihak yang terlihat di dalam perjanjian pemberi hak tanggungan.

Pencoretan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Secara sukarela, dengan persetujuan kreditur. Permohonan percoretan diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yagn telah diberi catatan oleh kreditur bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijaminkan pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditur bahwa Hak Tanggungan telah putus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas atau karena kreditur melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.

2. Secara paksa melalui putusan pengadilan, apabila kreditur tdak bersedia memberikan pernyataan pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang


(57)

bersangkutan didaftar. Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri lain, permohonan tersebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara bersangkutan. Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan;

3. Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku-buku hak atas tanah dan sertifikatnya, dalam waktu 7 hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan. Hak Tanggungan menjadi hapus.

4. Sertifikat Hak Tanggungan ditarik dan bersama-sama buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh kantor pertanahan. Apabila sertifikat karena sesuatu sebab tidak dikembalikan kepala kantor pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah Hak Tanggungan.

Adalah hal menarik untuk dikaji penjelasan Pasal 22 ayat (1) UUHT, yang mengemukakan bahwa pencoretan catatan atau roya Hak Tanggungan dilakukan demi ketertiban administrasi dan tidak mempunyai pengaruh hukum terhadap Hak Tanggungan yang bersangkutan yang sudah hapus.37

37

Menurut Marian Barus Dalam bukunya Kompilasi Hukum Jaminan menyatakan bahwa beliau meragukan pendirian ini, karena pecnoretan ini menurutnya adalah refleksi dari asas publisisitas. Kelihatannya diperlkan sanksi bagi para pihak yang terlibat di dalam perjanjian pemberian Hak Tanggungan untuk segera melakukan roya jika hutang dilunasi.


(58)

G. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Jaminan Hutang Yang Dieksekusi Lelang

Penyerahan barang (levering) saat pelaksanaan lelang adalah saat beralihnya kepemilikan dari penjual kepada pembeli. Dalam tahap penjanjian kebendaan, pihak penjual lebih berperan dari pihak lainnya. Dengan kata lain bahwa penjual mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya.

Pasal 1474 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “Ia (penjual) mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya”.

Pasal 1481 KUH Perdata menyebutkan bahwa “barangnya harus diserahkan dalam keadaan dimana barang itu berada pada waktu penjualan.”

Selanjutnya Pasal 1493 KUH Perdata mengatakan bahwa kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan istimewa, memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang–undang; bahkan yang bersangkutan diperbolehkan untuk mengadakan perjanjian bahwa penjual tidak akan diwajibkan menanggung sesuatu apapun, namun penjual tetap bertanggung jawab tentang akibat hukum dari sesuatu perbuatan yang dilakukannya.

Kemudian Pasal 1504 KUH Perdata menyebutkan, bahwa penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual,


(59)

yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya pembeli mengetahui cacat itu, maka pembeli sama sekali tidak akan membeli barang tersebut, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang murah.

Menurut Pasal 1505 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “Si penjual tidaklah diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan, yang dapat diketahui sendiri oleh si pembeli.”

Dalam Pasal 1506 KUH Perdata menyebutkan “Ia (Penjual) diwajibkan untuk menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun penjual yang bersangkutan tidak mengetahui tentang adanya cacat itu kecuali jika dalam hal yang demikian, telah meminta diperjanjikan bahwa penjual tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun”.

Pasal 1507 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “Dalam hal-hal yang disebutkan dalam pasal 1504 dan 1506, si pembeli dapat memilih apakah ia akan mengembalikan barangnya sambil menuntut kembali harga pembeliannya, atau apakah ia akan tetap memiliki barangnya sambil menuntut pengembalian sebagian harta, sebagaimana akan ditentukan oleh Hakim, setelah mendengar ahli-ahli tentang itu.”

Pasal 1508 KUH Perdata mengatakan jika penjual telah mengetahui cacat barang, maka selain diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang


(60)

telah diterimanya, penjual juga diwajibkan mengganti segala biaya, kerugian dan bunga kepada pembeli. Pasal 1509 KUH Perdata menyebutkan jika penjual tidak telah mengetahui cacat-cacatnya barang, maka penjual hanya diwajibkan mengembalikan harga pembelian, dan mengganti kepada pembeli biaya yang telah dikeluarkan untuk penyelenggaraan pembelian dan penyerahan, sepanjang itu telah dibayar oleh pembeli.

Menurut KUH Perdata ada dua macam penyerahan secara yuridis, yaitu penyerahan barang bergerak, dan penyerahan barang tidak bergerak.38 Penyerahan barang bergerak dilakukan dengan penyerahan yang nyata atau menyerahkan kekuasaan atas barangnya, sedangkan penyerahan barang tidak bergerak terjadi dengan pengutipan sebuah akta transport dalam register tanah di depan pegawai balik nama.

Levering barang melalui lelang terhadap barang bergerak sejak barang dikuasai oleh pembeli lelang, maka secara yuridis telah terjadi penyerahan, namun mengenai barang tidak bergerak pembeli lelang harus melakukan penguasaan nyata dengan menerima barang dari penjual lelang. Selanjutnya melakukan levering yuridis melalui balik nama pada Kantor Pertanahan.39

38

Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1996, hlm. 79. 39

S. Mantayborbir dan V.J. Mantayborbir, Hukum Perbankan dan Sistem Hukum Piutang dan Lelang Negara¸ Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006, hlm. 168


(1)

O. Saran

1. Disarankan kepada Pejabat Kantor Pertanahan agar lebih mempermudah proses pendaftaran pemindahan hak atas tanah dan lebih berpedoman kepada Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 serta peraturan pelaksanaannya. 2. Disarankan kepada Pejabat Kantor Pertanahan perlu mempedomani kepada

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 untuk mengurangi biaya-biaya operasional yang bukan merupakan kewajiban utama dari pendaftaran hak atas tanah.

3. Agar tidak timbul kendala-kendala yang cukup mempengaruhi proses pemindahan hak atas tanah yang di kemudian hari dihimbau kepada para pemohon hak yang memperoleh haknya berasal dari lelang hendaknya lebih bersikap hati-hati dan lebih meneliti kembali bagaimana sebenarnya keadaan dan kondisi dari obyek lelang yang dibelinya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ashofa, Burhan, Metode Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung, 2004.

Bungin, Burhan, Analisis data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metedologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Raja Grafindo, Jakarta, 2003.

Gupta, S.N., The Law Relating to Guarantees, Fourth Edition, Universal Law Publishing Co. PVT. LTD., Delhi, 1999.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Djambatan, Jakarta, 1999.

HB X, Sri Sultan, Reformasi Agraria Perspektif Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan RI, Diambil dari reformasi, Mandar Maju, Bandung, 2002.

Mantayborbir, S., Iman Jauhari dan Agus Hari Widodo, 2001, Sistem Pengurusan Piutang Negara Macet Pada PUPN/BUPLN (Suatu Kajian Teori Dan Praktek), Pusataka Bangsa Press, Medan.

_____, 2004, Hukum Piutang dan Lelang Negara di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Mantayborbir, S. dan Iman Jauhari, 2003, Hukum Lelang Negara di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Jakarta.

_____, 2003, Hukum Piutang Negara di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Jakarta.

_____, 2004, Kajian Yuridis Terhadap Sistem Pengurusan Piutang Negara, (edisi revisi), Pustaka Bangsa Press, Jakarta.


(3)

Mantayborbir, S., 2004, Kompilasi Sistem Hukum Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, (edisi revisi), Pustaka Bangsa Press, Jakarta.

_____, 2004, Sistem Hukum Pengurusan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta.

_____, 2004, Aneka Hukum Perjanjian Sekitar Pengurusan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta.

Mantayborbir, S. dan V.J. Mantayborbir, 2006, Hukum Perbankan dan Sistem Hukum Piutang dan Lelang Negara, Pustaka Bangsa Press, Medan. Muljono, Eungenia Liliawati, Tinjauan Yuridis Terhadap Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit Oleh Perbankan, Harvarindo, Jakarta, 2003. Parlindungan, A.P., Kapita Selekta Hukum Agraria, Alumni, Bandung, 1981.

_____, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Berdasarkan PP24 Tahun 1997) Dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Taqnah (PP 37 Tahun 1998), Mandar Maju, 1999.

Rahman, Hasanuddin, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia (panduan dasar: Legal Officer), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.1998.

Satrio, J., Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

_____, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

_____, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

_____, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999.

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

_____, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurismetri, Galia Indonesia, Jakarta 1990.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986


(4)

Subagio, Joko P., Metode Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

Sumarjono, Maria SW., Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta 1989. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 1997.

Tjitrosudibyo, Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1973.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996

Wigjosoebroto, Sutandyo, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Univ. Airlangga Sruabaya.

B Makalah, Jurnal dan Tulisan Ilmiah.

Sianturi, Purnama T., “Hukum Lelang Negara”, Diktat Kuliah, Sekolah Pascasarjana, USU, Medan, 2005.

Draft Laporan Penelitian Evaluasi Penerapan Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Mengenai Hak Tanggungan, Program Magister Kenotariatan, USU, Medan, 2004.

C. Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 tanggal 25 Agustus 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional.

Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.


(5)

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perbankan

Vendu Reglement Staatblad 1908 Nomor 190 tentang Instruksi Lelang

Vendu Reglement Staatblad 1908 Nomor 189 tentang Penjualan Lelang

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang.

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Keuangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Keuangan.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/KMK.04/2002 tentang Jasa Pra Lelang Dalam Lelang Barang Yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang Dikuasai Negara Dan Barang Yang Menjadi Milik Negara Pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 304/KMK.01/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.01/2002 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang

Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor: KEP-25/PL/2002 tentang Petunjuk Pengurusan Piutang Negara.

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif.


(6)

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 tentang Restrukturisasi Kredit.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.