10. Alat Bukti Menurut Hukum Acara TUN dan UU ITE

39

2. 10. Alat Bukti Menurut Hukum Acara TUN dan UU ITE

Hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta tersebut terdiri dari fakta hukum dan fakta biasa. Fakta hukum yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang keberadaannya tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan fakta biasa yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta hukum tersebut. Selain itu, terdapat fakta yang juga dapat menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusannya yang tidak perlu dibuktikan, yaitu pertama, hal-hal yang menurut pengalaman umum selalu terjadi. Kedua, fakta-fakta prosesual yang terjadi selama pemeriksaan. Ketiga, eksistensi hukum Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pembuktian merupakan tata cara untuk menetapkan terbuktinya suatu fakta dalam suatu perkara TUN untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Dalam penjelasan umum UU No. 5 tahun 1986 28 disebutkan bahwa ajaran pembuktian yang digunakan dalam PTUN adalah ajaran pembuktian bebas. Hukum acara yang digunakan pada PTUN mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada peradilan umum untuk perkara perdata dengan beberapa perbedaan. Pada PTUN, hakim berperan lebih aktif dalam 28 Telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 tahun 2004 dan perubahan terakhir Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan TUN. 40 proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang- undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas dan suatu gugatan Tata Usaha pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang disengketakan. Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada hakim. Berdasarkan ajaran pembuktian bebas, maka Hakim PTUN dapat menentukan sendiri apa yang harus dibuktikan, dalam hal ini hakim dapat mengesampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh Penggugat atau Tergugat, demikian pula hakim dapat memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila fakta dan hal tersebut memiliki arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dari hakim. Selanjutnya siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri dalam hal ini, Penggugat dan Tergugat adalah para pihak yang dibebani pembuktian. Beban pembuktian adalah kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusannya. Alat bukti mana saja yang diutamakan dalam pembuktian dalam hal ini alat-alat bukti diatur oleh undang-undang. Hakim mempunyai wewenang untuk memilih alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang dan memberikan penilaian tentang kekuatan pembuktian dari alat bukti tersebut. Kekuatan 41 pembuktian alat bukti yang telah diajukan Hakim mempunyai wewenang untuk memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dengan memperhatikan pembatasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 107 UU No. 5 tahun 1986. 29 Ketentuan-ketentuan tentang alat bukti dalam Hukum Acara TUN sedikit sekali jika dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Perdata. Hal ini terjadi karena Hukum Acara TUN mengikuti ajaran pembuktian bebas sebagaimana telah dijelaskan di atas sehingga dalam undang-undang tidak terdapat ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti, tidak seperti di dalam Hukum Acara Perdata. Pasal 100 Ayat 1 UU No. 5 tahun 1986 menentukan alat-alat bukti surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan pengetahuan hakim. Dengan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa selain bersifat bebas, alat bukti yang digunakan dalam acara TUN juga bersifat terbatas, karena telah ditentukan oleh UU No. 5 tahun 1986. Oleh karena itu, untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Sehingga alm. Indroharto 30 menyebutkan bahwa ajaran pembuktian yang diikuti merupakan ajaran pembuktian bebas terbatas, bukan 29 Ibid, hal., 39. 30 Setelah Beliau meninggal, terjadi pemekaran UU No. 5 tahun 1986 diubah dengan Undang- Undang Republik Indonesia No. 9 tahun 2004 dan perubahan terakhir Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan TUN. 42 ajaran pembuktian bebas. Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu akta, adalah surat yang diberi tanda tangan memuat peristiwa- peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian dan bukan akta. Akta itu sendiri ada dua macam akta otentik dan akta dibawah tangan. Sedangkan menurut UU No. 51986 Pasal 101 bahwa surat sebagai alat bukti yaitu akta otentik, surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Selanjutnya akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Di dalam UU No. 51986 Pasal 102 Ayat 1, dijelaskan bahwa: “K eterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya” Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah 43 atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya. 31 Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan. Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar sebagai saksi dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli. 32 Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang tidak diperbolehkan didengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam Pasal 88 UU PTUN No. 5 tahun 1986 sebagai berikut: 1 keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa, 2 istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai, 3 anak yang belum berusia tujuh belas tahun, 4 orang sakit ingatan. Ada pula beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula mengundurkan diri sebagai saksi mebnurut Pasal 89 UU PTUN, 1 31 Pasal 103 UU PTUN. 32 Pasal 88 UU PTUN. 44 saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak, 2 setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu. Adakalanya, orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa Indonesia, hakim dapat menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan sebelum melaksanakan tugasnya ia harus di sumpah terlebih dahulu 33 dan apabila seorang saksi dalam keadaan bisu-tuli dan tidak dapat menulis, maka demi kepentingan pemeriksaan, hakim menunjuk seorang yang sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai juru bahasa. Sebelum melaksanakan tugasnya, ia wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepecayaannya. 34 Sedangkan apabila yang dipanggil sebagai saksi adalah pejabat TUN, maka pejabat tersebut tidak boleh mewakilkan kepada orang lain, ia wajib datang sendiri di persidangan. 35 Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli. 1 keterangan ahli seorangbeberapa saksi ahli dipanggil ke muka pengadilan untuk mengemukakan keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa, 2 keterangan saksi atau ahli bisa secara lisan ataupun tertulis, 3 kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang 33 Pasal 91 UU No. 5 tahun 1986. 34 Pasal 92 ayat 1 dan 92 UU No. 5 tahun 1986. 35 Pasal 93 UU No. 5 tahun 1986. 45 lain yang sesuai dengan keahliannya, 4 pengakuan para pihak, adalah keterangan sepihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan. Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar. 36 Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang diberikan di luar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak menerimanya. 37 Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. 38 Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya sikap, perilaku, emosional dan tindakan para pihak dalam memutus perkara. Supomo mengemukakan bahwa persangkaan sebagai 36 Penjelasan UU No. 5 tahun 1986. 37 Penjelasan UU No. 5 tahun 1986. 38 Pasal 106 UU No. 5 tahun 1986. 46 alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya namun, menurut Pasal 107 UU No. 5 tahun 1986 untuk sahnya pembuktian dengan persangkaan masih harus didukung oleh satu alat bukti lagi. Sehingga terdapat minimal 2 alat bukti yang terdiri dari persangkaan hakim, dan alat bukti lain. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara. Menurut Pasal 100 Ayat 2 UU No. 5 tahun 1986 pengetahuan hakim ataupun keadaan lain yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan. UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi: “ Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang- Undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Sistem pembuktian ini berpangkal tolak pada aturan- aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh Undang- Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim. Pembuktian sangat penting artinya dalam perkara TUN, karena dikabulkan atau ditolaknya suatu gugatan bergantung pada terbukti atau tidaknya gugatan tersebut didepan pengadilan. Untuk itu hakim harus menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar atau tidak? Dalam praktik tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, seperti terhadap dalil-dalil yang telah diakui atau tidak 47 disangkal oleh Tergugat serta hal-hal yang telah diketahui oleh khalayak ramai notoir feiten . Pasal 100 UU No. 5 tahun 1986 dan UU No. 9 tahun 2004 menentukan, bahwa alat-alat bukti dalam PTUN terdiri dari surat akta autentik, akta di bawah tangan, surat lain, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, pengetahuan hakim. Setelah selesai acara pembuktian, kepada para pihak diberikan kesempatan untuk meyampaikan konklusi yang disusun dalam bentuk kesimpulan dan masing-masing pihak, 39 secara sitematis mulai dan eksepsi, tentang pokok perkara, tentang bukti tertulis, bukti saksi dan lainlainnya. Suatu konklusi biasanya berisikan pertayaan, kesimpulan jawab- menjawab, cara proses jawab-menjawab gugatan, jawaban, repliek dan dupliek apa hal-hal yang dianggap telah terbukti, atau hal-hal yang tidak terbukti sebaliknya bagi tergugatnya tidak terbukti, kesimpulan dan bukti-bukti tertulis, biasanya isi penting dan aIat-alat bukti tertulis dikemukakan secara singkat dan jelas. Kemudian dirumuskan hal-hal yang dianggap terbukti atau tidak dan bukti- bukti tersebut, kesimpulan dari saksi, inti-inti pokok dan keterangan masing- masing saksi Penggugat maupun Tergugat. Selanjutnya dari keterangan saksi- saksi itu disimpulkan hal-hal yang terbukti atau hal-hal yang tidak terbukti, simpulan hal-hal mengenal penilaian terhadap alat bukti secara lengkap misalnya penilaian terhadap alat bukti lawan, korban, konklusi yang disusun secara baik 39 Pasal 97 ayat 1, UU No. 5 tahun 1986 Jo. No. 9 tahun 2004. 48 akan dapat menjadi masukan bagi hakim dalam mengambil keputusan tentang perkara yang diperiksanya, akan tetapi apabila disusun secara subjektif dan sepihak dengan mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, konklusi itu akan mempersulit hakim dalam mempertimbangikan perkara yang ditanganinya. Sengketa TUN diatur dalam Pasal 1 Angka 4 UU No. 5 tahun 1986 40 yaitu sebagai sengketa yang timbul dalam bidang TUN, antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah. Sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unsur- unsur sengketa TUN, yaitu: 1 sengketa yang timbul dalam bidang TUN, 2 antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, 3 sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sengketa TUN itu ditimbulkan oleh dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara KTUN, oleh karena itu KTUN menjadi dasar lahirnya Sengketa TUN. KTUN menurut Pasal 1 Angka 3 41 UU No. 5 tahun 1986, dimaksudkan sebagai suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan 40 Sekarang Pasal 1 Angka 10 UU No. 51 tahun 2009. 41 Sekarang Pasal 1 Angka 9 UU No. 51 tahun 2009. 49 perundang-undangan yang berlaku yang bersifat kongkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Unsur-unsur KTUN berdasarkan Pasal 1 Angka 3 dan penjelasannya UU No. 5 tahun 1986, adalah: 1 penetapan tertulis. Istilah penetapan tertulis terutama menujukan kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukan bentuk formalnya seperti Surat Keputusan Pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudaham segi pembuktian, sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu KTUN menurut undang- undang ini apabila sudah jelas. 2 dikeluarakan oleh badan atau pejabat TUN. Badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. 3 berisi tindakan hukum TUN. Tindakan hukum TUN yaitu tindakan hukum yang bersumber pada suatu ketentuan hukun TUN yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. 4 bersifat kongkrit, individual dan final. Bersifat kongkrit artinya objek yang diputuskan dalam KTUN itu tidak abstrak tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya KTUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju lebih dari seorang maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu, disebutkan. Bersifat Final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan 50 instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Unsur-unsur KTUN sebagi mana tercantum dalam Pasal 1 Angka 3 UU No. 5 tahun 1986 ternyata belum tuntas, ternyata terdapat pengecualian berupa pengurangan untuk hal-hal yang tercantum dalam Pasal 2 dan pengecualian yang berupa tambahan pada hal-hal yang tercantum dalam Pasal 3. Menurut Pasal 2, yang tidak termasuk dalam pengertian KTUN: a KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata; b KTUN merupakan pengaturan yang bersifat umum; C KTUN yang masih memerlukan persetujuan; d KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang- undangan lain yang bersifat hukum pidana; e KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f KTUN mengenai tata usaha negara Tentara Nasional Indonesia; g Keputusan KPU baik di Pusat maupun di Daerah, mengenai hasil pemilihan umum. Pasal 3 yang merupakan pengecualian yang berupa tambahan, mengatur: a jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan KTUN; b jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan 51 keputusan yang dimaksud; c dalam hal peraturan peundang-undangan yang bersangkutan rtidak menentukan jangka waktu sebagai mana dimaksud dalam Ayat 2, maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohobnan, Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Isi ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 5 tahun 1986, dapat ditarik pengertian bahwa yang tercantum dalam Pasal 2 sebenarnya merupakan suatu KTUN, akan tetapi menurut sifatnya oleh undang- undang ini dianggap bukan sebagai KTUN, sedangkan hal-hal yang tercantum dalam Pasal 3 UU No. 5 tahun 1986 sebenarnya bukan merupakan KTUN, tetapi menurut sifatnya oleh undang-undang ini dianggap sebagai KTUN. Kompetensi Absolut tersebut di atas masih dilimitasi oleh suatu keadaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 49, bahwa: Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: dalam waktu perang keadaan bahaya,keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan” Menurut Pasal 47 wewenang Peraturan Undang-Undang Peratun mengadili sengketa TUN. Sengketa TUN menurut Pasal 1 Angka 4 ditimbulkan sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, sedangkan pengertian KTUN 52 tercantum dalam Pasal 1 Angka 3. Isi rumusan KTUN tersebut ternyata tidak tuntas. Terhadap rumusan tersebut masih terdapat pengecualiannya yaitu berupa pengurangan pada hal-hal yang tercantum dalam Pasal 2 dan penambahan pada hal-hal yang terdapat dalam Pasal 3, serta masih lagi dilimitasi oleh keadaan yang tercantum dalam Pasal 48 dan 49. Merujuk pada ketentuan dalam UU No. 11 tahun 2008 Pasal 5 UU ITE dapat dilihat mengenai apakah e-mail dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan perdata: 1 Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah; 2 Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia; 3. Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini; 4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku untuk surat yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. 53 Dengan mendasarkan pada ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa UU ITE telah mempertegas kedudukan e-mail sebagai salah satu dokumen elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Informasi elektronik menjadi alat bukti surat jika informasi elektronik itu diubah dalam bentuk cetak. Informasi elektronik menjadi alat bukti petunjuk apabila informasi elektronik itu punya keterkaitan dengan alat bukti lain dan semua kekuatan alat bukti tersebut bebas artinya, informasi elektronik tersebut tetap dikaitkan dengan alat bukti lain dan menurut keyakinan hakim, selain kemampuan jaksa meyakinkan hakim. Sedangkan untuk ranah perdata, karena dalam hukum acara perdata tidak ada alat bukti petunjuk, maka e-mail yang kemudian diubah menjadi bentuk cetak adalah termasuk alat bukti surat. Namun, sesuai pengaturan Pasal 5 Ayat 4 UU ITE, tidak semua e-mail dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah. E-mail tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam beberapa hal: a surat yang menurut undang- undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; b surat beserta dokumen pendukungnya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah. Jadi, e-mail dapat saja dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan perdata dengan mendasarkan pada hal-hal tertentu seperti telah dijabarkan di atas. 54

2. 11. Penemuan Hukum

Dokumen yang terkait

Keabsahan Tanda Tangan Secara Elektronik dalam Proses Pendirian Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

0 62 142

ASPEK HUKUM TANDA TANGAN ELEKTRONIK (DIGITAL SIGNATURE) DALAM KONTRAK TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE)

0 4 16

ASPEK HUKUM TANDA TANGAN ELEKTRONIK (DIGITAL SIGNATURE) DALAM KONTRAK TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE)

0 7 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan E-Commerce dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312012708 BAB II

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Hukum Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature ) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Hukum Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature ) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312009062 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Hukum Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature ) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312009062 BAB IV

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perjanjian Jual Beli Melalui Internet ( E-Commerce ) Pasca Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312006040 BAB II

0 0 54

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jaringan dan Informasi serta Transaksi Elektronik T1 BAB II

0 1 52

UNDANG - UNDANG INFORMASI dan TRANSAKSI ELEKTRONIK

0 0 38