kolom perairan yang mempunyai kedalaman yang cukup kedalaman jaring ≤ 0,75
kedalaman perairan, umumnya untuk menangkap ikan pelagis. Menurut Ayodhyoa 1981 diacu dalam Syahrir 2011, pada umumnya
purse seine terdiri atas kantong bag, bunt, badan jaring, tepi jaring, pelampung float, corck, tali pelampung corck line, float line, sayap wing, pemberat
singker, lead, tali penarik purse line, tali cincin purse ring dan silvege. Fungsi mata jaring mesh size dan jaring sebagai dinding penghadangbukan
sebagai penjerat ikan, sehingga perlu ditentukan besarnya ukuran mata jaring mesh size, ukuran benang jaring twine yang sesuai dengan ikan yang menjadi
tujuan penangkapan.
e. Payang
Payang merupakan kelompok jenis alat penangkapan ikan pukat tarik. Pengoperasian alat penangkapan ikan pukat tarik dilakukan dengan cara
melingkari gerombolan ikan pelagis atau ikan demersal dengan menggunakan kapal atau tanpa kapal Gambar 7. Pukat ditarik kearah kapal yang sedang
berhenti atau berlabuh jangkar atau ke daratpantai melalui tali selambar di kedua bagian sayapnya.
Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan, kolom maupun dasar perairan umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal
tergantung jenis pukat tarik yang digunakan. Pukat tarik pantai dioperasikan di daerah pantai untuk menangkap ikan pelagis dan demersal yang hidup di daerah
pantai. Dogol dan lampara dasar dioperasikan pada dasar perairan umumnya menangkap ikan demersal. Payang dioperasikan di kolom perairan umumnya
menangkap ikan pelagis.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 7. Payang Sumber : Kep06Men2010
Model Surplus Produksi
Sparre dan Venema 1999, menyatakan bahwa pada umumnya hasil tangkapan C per unit upaya penangkapan f atau CPUE, dapat digunakan
sebagai indeks kelimpahan relatif. Metode surplus produksi mendasarkan diri pada asumsi bahwa CPUE merupakan fungsi dari f, baik bersifat linier seperti
pada model Schaefer maupun bersifat eksponensial seperti pada model Fox. Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat
upaya optimum biasa disebut fmsy atau effort MSY, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi
produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari Maximum Sustainable YieldMSY.
Sementara Widodo dan Suadi 2006, menyatakan MSY Maximum Sustainable Yield adalah hasil tangkapan terbesar yang dihasilkan dari tahun ke
tahun oleh suatu perikanan. konsep MSY didasarkan atas suatu model yang sangat sederhana dari suatu populasi ikan yang dianggap sebagai unit tunggal. Konsep ini
dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort dengan suatu nilai maksimum yang jelas, terutama bentuk parabola dari
model Schaefer yang paling sederhana. Berdasarkan model surplus produksi dari Schaefer diperoleh bahwa hasil tangkapan optimum yaitu upaya yang
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan produksi yang maksimum dapat dicapai pada tingkat upaya sebesar a2b, dengan tingkat produksi maksimum sebesar a
2
Model ini dikatakan sederhana karena data yang diperlukan sangat sedikit. Sebagai contoh, tidak perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian
tidak perlu penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan atau produksi yang biasanya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan, dan upaya
penangkapan. Model surplus produksi dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total berdasarkan spesies danatau hasil
tangkapan per unit upaya catch per unit effortCPUE per spesies danatau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun
Sparre dan Venema, 1999. 4b. Sedangkan dari Fox laju
penangkapan optimum Fopt adalah qkq dan MSY adalah Býe.
Namun menurut Widodo dan Suadi 2008, pengukuran yang tepat terhadap upaya penangkapan akan sangat menentukan bagi keberhasilan
penerapan metode produksi surplus. Selama upaya penangkapan ditetapkan sebagai proporsi yang sebanding dengan mortalias penangkapan dan CPUE
proporsional terhadap kelimpahan, maka nilai absolutnya tidak menjadi masalah penting.
Menurut Sparre dan Venema 1999, persyaratan untuk analisis model surplus produksi adalah sebagai berikut :
1.
Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif.
2.
Distribusi ikan menyebar merata.
Universitas Sumatera Utara
3.
Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam.
Tingkat Pemanfaatan Ikan Tembang Sardinella sp.
Bila penangkapan ikan lebih banyak dibandingkan kemampuan ikan memijah, maka wilayah laut tersebut akan miskin. Hal tersebut yang dikenal
sebagai kondisi upaya tangkap lebih overfishing. Sehubungan dengan hal itu terdapat analisis Total Allowable Catch jumlah tangkapan yang diperbolehkan
dan Maximum Sustainable Yield Jumlah Maksimum Tangkapan Lestari Poernomo, 2009.
Dalam pengelolaan perikanan, tingkat pemanfaatan suatu sumberdaya perikanan dapat dinilai dari hasil perbandingan antara produksi aktual dengan
potensi hasil maksimum berkelanjutan yang diperbolehkan sebagai acuan biologis. Tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang digunakan oleh komisi
pendugaan Stok Ikan Laut Nasional 1997 diacu dalam Murniati 2011 terdiri atas empat tingkatan yaitu :
1.
Tingkat rendah apabila hasil tangkapan masih sebagian kecil dari potensi hasil lestari 0-33,3 dan upaya penangkapan masih perlu ditingkatkan.
2.
Tingkat sedang apabila hasil tangkapan sudah menjadi bagian yang nyata dari potensi lestari 33,3-66,6 namun penambahan upaya masih
memungkinkan untuk mengoptimalkan hasil.
3.
Tingkat optimum apabila hasil tangkapan sudah mencapai bagian dari potensi lestari 66,6-99,9, penambahan upaya tidak dapat
meningkatkan hasil.
Universitas Sumatera Utara
4.
Tingkat berlebih atau overfishing apabila hasil tangkapan sudah melebihi potensi lestari 100 dan penambahan upaya dapat berbahaya terhadap
kepunahan sumberdaya. Menururt Boer dan Aziz 1995 diacu dalam Syakila 2009, analisis
surplus produksi juga dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan Total allowable catchTAC dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan TP.
TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai tangkapan maksimum lestari atau MSY Maximum Sustainable Yield suatu sumberdaya perikanan yang perhitungannya
didasarkan atas berbagai pendekatan atau metode.
Perikanan yang Berkelanjutan
Perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan sustainable dimulai pada awal tahun 1990-an yang merupakan proses dari terjadi beberapa
perubahan yang menyangkut: a meningkatnya perhatian terhadap lingkungan dari para stakeholders sebagai akibat Rio summit yang menyerukan diperlukannya
perbaikan secara global terhadap pengelolaan sumberdaya alam termasuk perikanan dan kelautan; b terjadinya collapse dari beberapa perikanan dunia
seperti anchory, tuna dan salmon yang menyadarkan orang tentang konsekuensi yang ditimbulkan tidak hanya ekologi, namun juga konsekuensi sosial dan
ekonomi; dan c pemberdayaan para stakeholders yang menuntut diperlukan pandangan yang lebih luas holistik mengenai pengelolaan perikanan
Aldier, et al., 2000 diacu dalam Kartika, 2010. Charles 2001, menyatakan keberhasilan menggapai keberlanjutan
perikanan berkaitan erat dengan adopsi secara memadai atas konsepsi perikanan
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu sistem dari interaksi kompleks antar elemen-elemen ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Ontologi ilmu pengetahuan perikanan yang semula
berorientasi pada kelestarian sustainable sumberdaya ikan, dengan demikian telah megalami reorientasi keberlanjutan sustainability perikanan.
Menurut Fauzi 2006, ada dua hal yang secara implisit menjadi perhatian dalam konsep keberlanjutan menurut Komisi Brundtland. Pertama, menyangkut
pentingnya memperhatikan kendala sumberdaya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi. Kedua, menyangkut perhatian pada
kesejahteraan generasi mendatang, sehingga pembangunan berkelanjutan dalam perikanan dapat diartikan sebagai pembangunan sektor perikanan untuk
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Menurut Biasane 2004 diacu
dalam Kartika 2010, berpendapat bahwa paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi biologi ke
paradigma rasionalisasi ekonomi kemudian ke paradigma sosialkomunitas. Sementara Charles 1993 diacu dalam Kartika 2010, menyatakan meskipun
ketiga paradigma tersebut masih tetap relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan berkelanjutan, sehingga pandangan pembangunan perikanan yang
berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga aspek tersebut di atas. Oleh karenanya menurut Fauzi dan Anna 2005 konsep pembangunan perikanan
berkelanjutan sendiri harus mengandung aspek:
1.
Ecological sustainability keberlanjutan ekologi. Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stokbiomass, sehingga tidak melewati daya
Universitas Sumatera Utara
dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama.
2.
Socioeconomic sustainability keberlanjutan sosio-ekonomi. Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan
keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan
masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian dalam kerangka keberlanjutan ini.
3.
Community sustainabily, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi
perhatian membangun perikanan yang berkelanjutan.
4.
Institutional sustainability keberlanjutan kelembagaan. Dalam kerangka ini keberlanjutan yang kelembagaan menyangkut memelihara aspek
finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan keberlanjutan di atas.
Sebagai suatu bentuk implementasi dari upaya mendeskripsikan keberlanjutan perikanan tangkap, Pitcher dan Preikshot 2001, memperkenalkan
44 atribut Tabel 1 digunakan untuk menentukan status keberlanjutan perikanan dalam dimensi-dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika.
Apabila kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan dan holistik ini tidak dipenuhi maka pembangunan perikanan akan mengarah ke degradasi lingkungan,
over-exploitation dan destructive fishing practics. Hal ini dipicu oleh keinginan untuk memenuhi kepentingan sesaat generasi kini atau masa kini, sehingga
tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan diarahkan sedemikian rupa untuk
Universitas Sumatera Utara
memperoleh manfaat masa kini. Akibatnya, kepentingan lingkungan diabaikan dan penggunaan teknologi “quick yielding” yang bersifat destructive seperti fish
bombing poisoning dapat terjadi Fauzi dan Anna, 2002. Tabel 1. Atribut-atribut keberlanjutan perikanan tangkap menurut dimensinya
Dime nsi
Atribut-atribut keberlanjutan perikanan tangkap Ekolo
gi 1 Status eksploitasi, 2 Keragaman rekruitmen, 3
Perubahan trophic level, 4 Jarak migrasi, 5 Tingkatan Kolaps, 6 Ukuran ikan tangkapan, 7 Tangkapan belum dewasa, 8
Discarded by catch, 9 Spesies tangkapan.
Ekon omi
10 Kontribusi pada PDRB, 11 Upah atau gaji rata- rata, 12 Pembatasan masuk, 13 Sifat pemasaran, 14
Pendapatan lain, 15 Ketenagakerjaan, 16 Kepemilikan, 17 Pasar utama, 18 Subsidi.
Sosial 19 Sosialisasi penangkapan, 20 Pendatang baru, 21
Sektor penangkapan, 22 Pengetahuan lingkungan, 23 Tingkat pendidikan, 24 Status konflik, 25 Pengaruh nelayan, 26
Pendapatan penangkapan, 27 Partisipasi keluarga.
Tekn ologi
28 Lama trip, 29Tempat pendaratan, 30 Pengelolaan pra-jual, 31 Penanganan di kapal, 32 Selektivitas alat
tangkap, 33 Penggunaan FAD’s, 34 Ukuran kapal, 35 Kemampuan menangkap, 36 Efek samping alat tangkap.
Etika 37 Kedekatan historis, 38 Pilihan perikanan, 39
Pertimbangan berkegiatan, 40 Ketepatan pengelolaan, 41 Mitigasi destruksi habitat, 42 Mitigasi deplesi ekosistem, 43
Penangkapan melanggar aturan, 44 Buangan dan limbah.
Sumber : Pitcher dan Preikshot 2001
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Pada priode ini mulai dirasakan bahwa kegiatan penangkapan ikan telah mempengaruhi dan mengubah status stok sumberdaya ikan terutama di perairan
pantai dan perairan darat. Kini, ciri dasar sumberdaya perikanan dunia menunjukkan gejala yang terus menerus ke arah penipisan berbagai stok ikan
yang disertai dengan tingginya tingkat modal dan tenaga kerja yang ditanamkan untuk kegiatan penangkapan. Kondisi ini juga diikuti oleh hasil tangkapan yang
rendah serta sedikitnya pendapatan yang dapat diterima oleh nelayan. Dengan kompleksitas sumberdaya ikan, lingkungan dan manusia di masing-masing WPP
Universitas Sumatera Utara
yang ada, dimasa yang akan datang WPP perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Apalagi, otonomi daerah merupakan salah satu tantangan
tersendiri dalam pengelolaan perikanan laut di Indonesia. Dalam Undang-Undang Otonomi Daerah UU 221999 dan UU 251999 dijelaskan adanya pembagian
kewenangan dalam pengelolaan perikanan antara pemerintah kabupatenkota, provinsi, maupun pusat. Jika antar daerah tidak memiliki itikat yang baik dalam
mengelola sumberdaya perikanan secara bersama akan mendorong pengelolaan sumberdaya ke arah yang tidak berkelanjutan dan lahirnya berbagai komplik
perikanan Widodo dan Suadi, 2008. Menurut lokasi kegiatannya, perikanan tangkap di Indonesia
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu perikanan lepas pantai offshore fishieries, perikanan pantai coastal fisheries, dan perikanan darat inland
fisheries. Kegiatan perikanan pantai dan perikanan darat sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir. Perikanan pantai coastal fisheries ialah
kegiatan penangkapan populasi hewan air ikan, udang, kerang-kerangan dan memanen tumbuhan air ganggang, rumput laut yang hidup liar di perairan
sekitar pantai. Masalah utama yang dihadapi perikanan tangkap pada umumnya adalah menurunnya hasil tangkap yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan
overfishing terhadap sumberdaya perikanan dan degradasi kualitas fisik, kimia, biologi dan lingkungan Dahuri et al, 2004.
Universitas Sumatera Utara
Manajemen Sumberdaya Perikanan
Bentuk-bentuk manajemen sumberdaya perikanan menurut Sutono 2003 diacu dalam Nabunome 2007 dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan
antara lain:
a. Pengaturan Musim Penangkapan