Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran

B. Rumusan Masalah

Pertanyaan yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh politik domestik Malaysia terhadap hubungan bilateral Indonesia-Malaysia pada periode 2004-2009, serta bagaimana upaya yang dilakukan antara kedua negara dalam menanggapi berbagai isu yang mewarnai hubungan bilateral tersebut ?”.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini antara lain: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hubungan bilateral Indonesia- Malaysia periode 2004-2009. 2. Memperoleh Informasi mengenai upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh kedua negara dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang mewarnai hubungan bilateral Indonesia-Malaysia periode 2004-2009.

D. Kerangka Pemikiran

D.1 Teori Consociational. Malaysia adalah negara yang pernah mencoba menerapkan mekanisme “consociational democracy” sebagai upaya untuk mengelola konflik-konflik yang mereka hadapi. Tetapi penerapan consociational democracy di Malaysia mengalami kegagalan dengan pecahnya kerusuhan rasial pada 13 Mei 1969. Membahas permasalahan Malaysia tersebut, digunakan konsep consociational democracy yang dikemukakan seorang ilmuan Belanda, Arend Lijphart. Dalam makalah World Politics, dengan judul Consociational Democracy. Apa yang dikemukakan oleh Lijphart mendekati model politik plural yang berdasarkan pada faktor perkauman seperti yang terdapat di Malaysia. 12 Teori ini menekankan kerjasama dan kompromi antara partai-partai politik yang mewakili berbagai kelompok yang membentuk pemerintahan. Partai-partai politik tersebut mewakili kelompok atau etnik masing-masing. Dampaknya ialah terdapat pergeseran kekuasaan yang secara relatif bersifat sama atau adil dari segi pembagian kursi parlemen. Hal ini menjadikan menteri- menteri yang duduk dalam jabatannya dipilih berdasarkan ketentuan etnis masing-masing. 13 Secara etimologis consociation berasal dari consociato, adalah istilah yang pernah digunakan David Apter untuk menggambarkan situasi politik di Nigeria. Sementara itu orang Belanda menggunakan istilah verzuiling untuk menggambarkan situasi masyarakat yang terbagi dalam pilar-pilar yang menyangga suatu kubah, seperti pilar yang menyangga bangunan kuno di Yunani. Pada kubah atau bangunan sosial tersebut terjadi akomodasi dan kompromi antara elit dari masing-masing pilar. Dalam masyarakat yang 12 Intercollegiate Studies Institute ISI, Consociational Democracy: The Views of Arend Lijphart and Collected Criticisms. www.mmisi.Org. diakses pada12 Januari 2007. Dikutip dari Penelitian Armein Daulay dan Eva Mushoffa. 2010. Perubahan Politik Malaysia Pasca Pemilu 2008 Implikasinya dalam Praktek Kehidupan Bermultietnis. Jurusan Hubungan Internasional, FISIP. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. h. 11. 13 Lihat Ahmad Atory Hussain. 1998. Dari Berantakan Menuju Pembangunan Politik Melayu 1990-2000. Kuala Lumpur: Percetakan Cergas M SDN. BHD. h. 36. sesungguhnya pilar-pilar tersebut mempunyai bentuk seperti pyramid. 14 Lapisan atas dihuni oleh elit, kemudian lapisan bawah dihuni oleh massa pengikutnya sebagaiman tergambar dalam diagram di bawah ini: Diagram D.I.I. Consociational Democracy Elit Masa Pengikut „ Sumber : Nur Azizah, National Building, Satate Buiding, dan Pemabngunan Perekonomian di Asia Tenggara, diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. . Dari diagram di atas, maka ciri khas dari consociational democracy adalah: pertama, adanya pengelompokan masyarakat dalam masing-masing kubu yang sangat kedap, tertutup rapat-rapat dan sulit ditembus dari luar. Kedua, adanya komunikasi secara vertikal yang menghubungkan massa dengan 14 Dwi Rahayu Ningsih. 2003. Persaingan Partai Pemerintah dan Partai Oposisi di Malaysia. Skripsi Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta h. 17. Consociational Democracy UMNO Melayu MCA China MIC India elitnya pemimpinnya dalam masing-masing kelompok subculture, dan Ketiga, Adanya perlembagaan perundingan antar elit atau dengan kata lain, perundingan antar elit dijadikan proses negoisasi yang melembaga. Sejalan dengan pendapat Francis Loh Koh Wah, yang mengatakan bahwa upaya Malaysia membentuk nation-building didukung oleh sistem politik akomodasi yang menganut teori consociational. Artinya masyarakat yang plural hidup dalam atmosfir komunal. Mereka terefleksi dalam koalisi besar partai- partai politik yang berbasis etnik, yang memainkan peranan penting bagi stabilitas politik dan bagi pertumbuhan ekonomi. 15 Selanjutnya, Lijphart melihat bahwa teori consociational lebih tepat untuk masyarakat pluralis yang tersegmentasi dalam berbagai kelompok sosial yang berbeda, karena teori ini menjamin bahwa setiap kelompok akan berbagi kekuasaan dan mendorong para elit untuk memerintah bersama. Dengan demikian, teori ini merupakan cara yang ampuh untuk melindungi kelompok minoritas dan masyarakat budaya akomodasi pada elit perwakilan. Kesimpulan yang dikemukakan oleh Lijphart bahwa demokrasi consociational tidak hanya dapat diaplikasikan dalam masyarakat yang plural, tetapi juga untuk beberapa negara, yang merupakan cara dibutuhkan untuk mencapai kestabilan demokrasi. Karena prinsip yang mendasar bagi Lipjhart adalah “The realistic choice is….between consociational democracy and no democracy at all” pilihan yang 15 Francis Loh Koh Wah. 2009. Old Vs New Politics in Malaysia, Selanggor: SIRD ALIRAN. h. xiii. realistis adalah antara demokrasi consociational, atau tidak demokratis sama sekali. 16 D.2 Konseptual dari Demokrasi “Ala” Malaysia. Konsep demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan berasal dari para filsuf Yunani. Akan tetapi pemakaian konsep ini di zaman modern dimulai sejak terjadinya pergolakan revolusioner dalam masyarakat barat pada akhir abad ke-18. Pada pertengahan abad ke-20 dalam perdebatan mengenai arti demokrasi muncul tiga pendekatan umum. Sebagai suatu bentuk pemerintah menurut Samuel P. Huntington, demokrasi didefinisikan berdasarkan sumber wewenang bagi pemerintah, tujuan yang dilayani oleh pemerintah, dan prosedur untuk membentuk pemerintah. 17 Dari sisi yang lain, Huntington menjelaskan bahwa demokrasi berkaitan dengan kemakmuran. Oleh karena itu, peralihan menuju demokrasi akan berlaku di negara-negara yang mempunyai tahap perkembangan ekonomi yang tinggi. Pendapat Huntington ini di aplikasikan dalam konteks Malaysia yang merupakan sebuah negara yang masih dalam proses pengukuhan demokrasi atau lebih tepat lagi masih di peringkat pendemokrasian politik, di mana kemakmuran dan perpaduan antar kelompok sangat penting selain aspek ekonomi. 18 16 Intercollegiate Studies Institute ISI, Consociational Demokracy. h. 10. 17 Samuel P. Huntington. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: PT Midas Surya Grafindo h. 4. 18 Malike Brahim. 2002. Dasar Awam di Malaysia; respons Kepada Isu-Isu Semasa. Dalam Majalah Pemikir; Membangun Minda Berwawasan. Penerbit UTUSAN Malaysia h. 89. Sidney Hook misalnya berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Menurut pendapat Henry B. Mayo demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. 19 Menurut Ahmad Atory Hussain, yang mengutip pendapat Diamond bahwa demokrasi terbagi atas demokrasi electoral electoral democracy sampai demokrasi liberal liberal democracy, dan di antara dua varian ini ada beberapa varian lainnya. Dengan merujuk pada konsep demokrasi electroral dari Schumpeter, Diamond memandang demokrasi electoral sebagai konsep demokrasi yang sangat minimal, karena varian ini mengukur demokrasi dari hasil pemilihan umum pemilu dan mengabaikan aspek lainnya yang memastikan bahwa seluruh unsur masyarakat terlibat, atau menyisakan ruang bagi kemungkinan aktor-aktor yang tidak terseleksi dalam pemilu untuk mempengaruhi pembuatan keputusan. 20 Sedangkan di sisi lain Demokrasi 19 Azyumardi Azra, 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakarta. ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta h. 110. 20 Larry Diamond, “Defining and Developing Democracy”, in The Democracy Source Book, edited by Robert Dahl, Ian Shapiro and Jose Antonio Cheibub Cambridge: The MIT Press, 2003, hal. 32-33, dikutip dari Ahmad Atory Hussain. 1998. Dari Berantakan Menuju Pembangunan Politik Melayu 1990-2000. Kuala Lumpur: Percetakan Cergas M SDN. BHD h.34. Liberal, telah melampaui ukuran-ukuran pemilu karena varian ini dengan tegas menolak pembagian kekuasaan kepada militer atau elemen lain yang tidak dapat dipertanggung jawabkan di hadapan pemilih. Varian ini juga mengukur kewenangan eksekutif dengan akuntabilitas vertikal dan horizontal, serta memberikan kebebasan yang penuh bagi ekspresi kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang berseberangan. 21 Berangkat dari uraian di atas, ada baiknya kita melihat pelaksanaan demokrasi di Malaysia, karena penerapannya agak “berbeda” dengan negara- negara demokratis lainnya, sehingga Ahmad Atory Hussain menamakannya sebagai demokrasi “ala” Malaysia. Konsep ini dirasakan berdasarkan pengamatannya sendiri. Walaupun istilah tersebut tidak ada dalam kamus ilmu politik, dalam hal ini Atory menambahkan bahwa tidak semua teori dan konsep politik barat itu sesuai atau serasi dengan Malaysia. Atas dasar itu maka kita merasa bahwa terdapat beberapa aspek demokrasi yang kalau di Barat dianggap mempunyai unsur-unsur positif pada mereka, tetapi sebaliknya di Malaysia mempunyai unsur negatif jika sampai diterapkan konsep demokrasi atau politik barat tersebut. Dalam pelembagaan Malaysia terdapat beberapa pasal yang menyebut bahwa semua warga negara bebas berbicara, berbahasa, berkesatuan, bebas mengamalkan agama, menulis, mengeluarkan pendapat, menggunakan bahasa dan bebas menjalankan apa saja yang menjadi aktivitas dalam masyarakat. Hal 21 Azyumardi Azra, 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. h. 111. ini berhubungan dengan Hak Asasi Manusia, di mana secara definitif “hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berprilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. 22 Selanjutnya, Hak Asasi Manusia sangat erat hubungannya dengan kebebasan, dan pada dasarnya setiap manusia di negara manapun berhak mendapatkan kebebasan dalam segala hal termasuk dalam berpolitik. Namun dalam hal ini tidak semua negara sama dalam menerapkan suatu kebebasan tersebut, seperti hal nya kebebasan yang dijalankan di Malaysia hampir mutlak dijalankan di barat dan sering membandingkan dengan kebebasan yang dijalankan di Malaysia, dan pihak oposisi di negara ini juga hampir senada selalu menghantam kerajaan karena dianggap selalu membatasi kebebasan. Meskipun demikian dengan kebebasan “ala” Malaysia ini, negara Malaysia telah mencapai kemajuan ekonomi dan pembangunan yang sangat pesat. Jika Malaysia menerapkan kebebasan seperti yang dituntut oleh demokrasi barat atau Persatuan Bangsa-Bangsa PBB, mungkin saja Malaysia tidak akan mencapai pembangunan seperti sekarang ini. Jika media diberikan kebebasan mutlak seperti yang terjadi di barat, maka api perkauman akan merebak. Hal ini disebabkan karena tidak semua orang bisa mengerti atau memahami arti kebebasan dan demokrasi. Ada sebagian yang 22 Ahmad Atory Hussain. 1998. Dari Berantakan Menuju Pembangunan Politik Melayu 1990- 2000. h. 35. mengartikan kebebasan sebagai pihak yang beroposisi terhadap pemerintah membangkang kerajaan. Jika tidak dipimpin secara jujur oleh para pemimpin- pemimpin politik, maka pergolakan antar kaum atau etnis akan terjadi. Terlebih lagi apalagi dalam kampanye pemilihan umum diijinkan seperti tahun 60-an dulu, tentu akan kembali terjadi pergolakan antar etnis. 23 Jadi Atory memberikan contoh pada pembentukan ideologi komunis jika diijinkan juga seperti yang dituntut dalam demokrasi barat, tentu akan terjadi revolusi dan pergolakan antar masyarakat. Bagaimanpun jika trend pembangunan yang mapan, pendidikan di kalangan masyarakat yang merata serta budaya civic yang luas ditanamkan kepada rakyat yang tergolong dalam beberapa kaum, pastinya kampanye secara besar-besaran dalam pemilihan umum dapat dijalankan dengan beberapa peraturan dan etika. Akan tiba pada satu tahap nantinya, masyarakat Malaysia tidak akan bertindak primitif dan nuncivilized. Kemudian akan mencoba mengadakan kampanye secara terbuka dan memberikan kebebasan kepada media namun secara bertahap. Adanya perbedaan proses sosialisasi politik di tiap negara dapat menimbulkan budaya politik yang berbeda di tiap negara. Kemudian dengan adanya budaya politik yang berbeda di tiap negara dapat menyebabkan perbedaan kinerja sistem politik tiap negara tersebut. Budaya politik juga dapat 23 Atory, Ibid., h. 38-39. membentuk identitas nasional karena budaya politik merupakan sikap, tingkah laku, dan orientasi pemikiran politik dari masyarakat. 24 Pendapat lain dikemukakan oleh Ahmad Nidzammuddin Sulaiman, yang dikutip dari Abdul Monir Yaacob dan Suzalie Mohamad bahwa latar belakang budaya politik di Malaysia memiliki pengaruh yang besar dari budaya politik Melayu. Budaya dan pemikiran politik Melayu sedang mengalami transformasi. Budaya politik Melayu bersifat feodal dengan ciri-ciri yang jelas seperti pada masa kesultanan Melayu Malaka. Sifat atau struktur budaya politik ini bercirikan agrarian, patron-client, pasif, non-political, setia, sensitif, dengan derajat dan kedaulatan pemimpin Raja. Budaya politik tersebut tidak mengenal nilai demokrasi, persaingan dan kebebasan yang dituntut oleh kebanyakan masyarakat sekarang. 25 Akan tetapi dalam perkembangannya budaya politik tersebut dapat berkembang, berubah ataupun tetap. Walaupun kemungkinan besar budaya politik akan lebih cenderung untuk terus berkembang atau berubah. Namun hal ini tergantung pada sosialisasi politik karena sosialisasi politik merupakan proses pewarisan nilai dan norma politik dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Begitu juga dengan Malaysia, dengan kedatangan penjajah yang 24 Toto Pribadi, dkk. 2007. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka h. 2.9. 25 Ahmad Nidzammuddin Sulaiman. Budaya Politik dalam Masyarakat Majmuk di Malaysia. Dalam buku Abdul Monir Yaacob dan Suzalie Mohamad. 2002. Etika dan Budaya Politik dari Perspektif Islam. Malaysia. Institut Kefahaman Islam Malaysia IKIM h. 34-35. membawa pendidikan barat telah membawa sedikit perubahan walaupun tidak menyeluruh. 26 Demokrasi dan kebebasan mulai berkembang, baik di Filipina yang dijajah oleh Amerika Serikat maupun Malaysia yang dijajah oleh British Inggris. Secara jelas kedatangan penjajah tersebut telah menggeserkan nilai politik tradisional dengan nilai politik yang baru, diantaranya telah mengenalkan institusi politik yang baru seperti pelembagaan, dewan perwakilan, pemilihan umum, partai politik dan mahkamah. Selepas perang dunia kedua zaman penjajahan secara berangsur-angsur berakhir. Tanah-tanah jajahan mulai mencapai kemerdekaan, setelah mendapat kemerdekaan kebanyakan negara baru memiliki semangat yang tinggi untuk membangun negaranya baik dalam sudut sosial, ekonomi, maupun politik. Kemudian kebanyakan negara membangun dan melaksanakan sistem pemerintahan dengan demokrasi seperti yang dilaksanakan di barat tanpa mengambil perbedaan atas latar belakang masyarakat, seperti taraf pendidikan yang masih rendah, elemen feodal yang masih kuat, tingkat ekonomi yang masih rendah serta sifat budaya politik yang parokial. Dalam masyarakat seperti ini identifikasi individu masih terikat dengan sentiment primordium. Ikatan kesetiaan masih terpusat pada sentiment perkauman yang menonjolkan ciri-ciri etnik, agama, bahasa dan budaya. Sehingga etnis bukan Melayu masih belum merasakan negara ini sebagai 26 Sulaiman, Ibid., h. 35. negara mereka, seperti hal nya terjadi di Malaysia yang menyebabkan terjadinya kerusuhan 13 Mei 1969 hingga meruntuhkan kerajaan dan keseluruhan sistem pemerintahan. Dari uraian di atas, maka dibuatlah konsep demokrasi yang cocok dengan latar belakang masyarakat Malaysia yaitu, demokrasi “ala” Malaysia seperti yang sudah dijelaskan di atas. 27 D.3 Politik Internasional International Politics. Politik internasional menurut K.J Holsti adalah studi mengenai pola tindakan negara terhadap lingkungan eksternal sebagai reaksi atas respon negara lain. 28 Selain mencakup unsur power, kepentingan, dan tindakan, politik internasional juga mencakup perhatian terhadap sistem internasional deterrence, dan perilaku para pembuat keputusan dalam situasi konflik. Jadi politik internasional menggambarkan hubungan dua arah, menggambarkan reaksi dan respon bukan aksi. 29 Politik internasional merupakan salah satu wujud dari interaksi dalam hubungan internasional. politik internasional membahas keadaan atau soal-soal politik di masyarakat internasional dalam arti yang lebih sempit, yaitu dengan 27 Pribadi, dkk. 2007. Sistem Politik Indonesia. h. 35-37. 28 Lingkungan eksternal juga dijelaskan oleh Rosenau dalam konsep politik luar negeri yang mengatakan bahwa kebijakan luar negeri yaitu, upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya. Selain itu, kebijakan luar negeri menurutnya ditunjukan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. James N. Rosenau. 1980. The Scientific Study of Foreign Policy. New York: The Free Press. hal. 171-173. 29 K.J Holsti. 1992. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Banndung: Bina Cipta h. 26. berfokus pada diplomasi dan hubungan hubungan antar negara dan kesatuan- kesatuan politik lainnya. Politik internasional seperti halnya politik domestik terdiri dari elemen-elemen kerjasama dan konflik, permintaan dan dukungan, gangguan dan pengaturan. Negara membuat pembedaan antara kawan dan lawan. Politik internasional memandang tindakan suatu negara sebagai respon atas tindakan negara lain. Dengan kata lain, politik internasional adalah proses interaksi antara dua negara atau lebih. 30 Politik internasional merupakan suatu proses interaksi yang berlangsung dalam suatu wadah atau lingkungan, atau suatu proses interaksi, interrelasi, dan interplay, antar aktor dalam lingkungannya. Secara umum, objek yang menjadi kajian politik internasional juga merupakan kajian politik luar negeri, dimana keduanya menitik beratkan pada penjelasan mengenai kepentingan, tindakan serta unsur power. Suatu analisis mengenai tindakan terhadap lingkungan eksternal serta berbagai kondisi domestik yang menopang formulasi tindakan merupakan kajian politik luar negeri, dan akan menjadi kajian politik internasional apabila tindakan tersebut dipandang sebagai salah satu pola tindakan suatu negara serta reaksi atau respon oleh negara lain, seperti dapat dilihat pada tabel berikut: 30 Dikutip dari Howard Lentner. 1974. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach. Ohio: Bill and Howell Co.,hal 2. Dalam buku Anak Agung Banyu Perwita, Yayan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. h. 40 Tabel D.3.I. Politik Internasional Negara A Negara B Tujuan Tindakan Tindakan Tujuan Dalam interaksi antar negara terdapat hubungan pengaruh dan respons. Pengaruh dapat langsung ditujukan pada sasaran tetapi dapat juga merupakan limpahan dari suatu tindakan tertentu. Apapun alasannya, negara yang menjadi sasaran pengaruh yang langsung maupun tidak langsung, harus menentukan sikap melalui respons., manifestasi dalam hubungan dengan negara lain untuk mempengaruhi atau memaksa pemerintah negara lainnya agar menerima keinginan politiknya. 31 Kerangka pemikiran politik internasional ini akan digunakan untuk menganalisis proses apa saja yang diambil oleh kedua negara dalam menyelesaikan berbagai permasalahan antara Indonesia-Malaysia. hal ini penting untuk dikaji dan dibahas secara mendalam karena menyangkut kepentingan kedua negara.

E. Metoda Penelitian