BAB IV : UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS
PEMBELAJARAN BAHASA ARAB A.
Pembaharuan Komponen Pembelajaran .................................. 102 B.
Lingkungan Berbahasa ............................................................. 134 C.
Membangkitkan Motivasi dan Minat ....................................... 137
BAB V : PENUTUP A.
Kesimpulan .............................................................................. 149 B.
Saran ......................................................................................... 150
Daftar Referensi Lampiran-lampiran
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran yang berasal dari kata dasar “belajar” diartikan sebagai proses kegiatan belajar mengajar yang merubah perilaku seseorang setelah melakukan
proses belajar. Dikatakan juga pembelajaran merupakan proses perubahan yang terjadi pada perilaku seseorang setelah melakukan proses belajar.
Gagne 1974 memberikan definisi belajar sebagai sebuah perubahan dalam karakteristik dan kemampuan manusia yang berkelanjutan dalam kurun waktu
tertentu.
1
Definisi yang diberikan Gagne tersebut seiring dengan Sudirman yang menyatakan bahwa belajar merupakan proses perubahan perilaku yang dinyatakan
dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian tentang pemahaman, pengetahuan, sikap, nilai dan keterampilan.
2
Dengan demikian apabila seseorang sudah belajar, berarti seseorang tersebut sudah dapat memperoleh keterampilan
baik secara teoritis maupun praktis yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Pemerolehan pengetahuan dan kemampuan seseorang itu dapat dilalui
dengan belajar yang tidak hanya sekedar menerima informasi atau pengetahuan, tetapi juga dengan belajar seseorang dapat merubah atau mengubah perilakunya
dengan memahami makna dari sesuatu yang dipelajarinya. Dengan ungkapan lain, seseorang dapat belajar dan yang membelajarkan.
Belajar yang membelajarkan adalah kegiatan proses belajar dilakukan dengan cara mengkonstruksi pengetahuan yang dibangun sendiri berdasarkan
pengalaman tanpa harus menghafal seperangkat fakta sebagaimana proses belajar yang terdapat di paradigma pendidikan lama.
1
Gagne Robert M., Essentials of Learning For Instruction, Illiones; The Drayden Press, 1974, h. 5
2
Sudirman, Ilmu Pendidikan, Bandung; Remaja Rosdakarya, 1987, h. 9
Kegiatan belajar yang membelajarkan bercirikan adanya keterlibatan langsung peserta didik dalam proses pembelajaran. Dengan keterlibatannya itu,
mereka akan merasakan pentingnya belajar karena belajar dapat bermakna. Berbicara tentang belajar bermakna, ada beberapa strategi yang dapat
digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar, yang saat ini sedang melebarkan sayapnya ketika diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi
KBK. Berkenaan dengan kurikulum, dapat diungkap bahwa penerapan sebuah kurikulum yang baik, tidak hanya melaksanakan sebuah instruksi pembelajaran
yang disusun pemerintah, tetapi juga perlu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan peserta didik sesuai dengan tuntutan kehidupan di lingkungan masyarakatnya.
Salah satu strategi pembelajaran yang saat ini dikembangkan adalah pendekatan kontekstual
3
yang memfokuskan perhatiannya terhadap kecakapan hidup yang dilakukan peserta didik.
Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning CTL adalah sebuah reaksi dari pendekatan behaviorisme yang menekankan pada
stimulus-respon supaya mampu dalam menggunakan bahasa secara alami seperti dalam kehidupan yang riil dan dalam berbagai situasi, pemikiran yang kritis dan
arti dari manfaat belajar. Ketika peserta didik dapat menghubungkan materi pelajaran yang mereka peroleh dari sekolah dengan kehidupan mereka, mereka
akan merasakan betapa pentingnya belajar. Di samping mereka juga menyadari pentingnya sekolah.
Melalui proses penerapan materi dalam situasi dunia nyata, peserta didik selain merasakan betapa pentingnya belajar, juga akan memperoleh makna yang
3
Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning diperkenalkan oleh hasil penelitian Johnson yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar lebih baik jika apa yang
dipelajari terkait dengan apa yang diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya. Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning;What It is and Why It’s
here to Stay, Thousand Oaks;Corwin Press,Inc., 2002. dan munculnya CTL didasarkan pada kekecewaan pemerintah Amerika terhadap pembelajaran tradisional yang berlangsung lama.
Namun tak ada perubahan dalam hasil yang diperoleh oleh peserta didik di sana.
berarti terhadap materi yang dipelajari. Pembelajaran kontekstual mendorong peserta didik dalam memahami hakikat, makna dan manfaat belajar, sehingga
mereka termotivasi untuk senantiasa belajar, bahkan sampai kecanduan belajar. Dalam CTL, terdapat beberapa kecenderungan tentang pemikiran proses
belajar yang mendasar pada filosofi pembelajaran berbasis kompetensi, yang berintikan bahwa belajar itu harus bermakna dengan siswa mengalami bukan
hanya sekedar menghafal. Ada beberapa prinsip yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam belajar yang bermakna, yaitu: berpusat kepada siswa, belajar
dengan melakukan, mengembangkan kemampuan sosial, mengembangkan keingintahuan imajinasi dan fitrah bertuhan, mengembangkan keterampilan dalam
memecahkan masalah, mengembangkan kreatifitas siswa, mengembangkan kemampuan dalam menggunakan IPTEK, menumbuhkan kesadaran kebangsaan
sebagai warga negara yang baik, belajar sepanjang hayat dan perpaduan kompetisi kerjasama dan solidaritas.
4
Mendasar pada prinsip-prinsip belajar yang bermakna, maka diperlukan adanya tenaga pendidik -hal ini guru- yang mempunyai keterampilan dalam
mengelola pembelajaran. Pembelajaran sebagai aktualisasi kurikulum, menuntut keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan peserta didik
sesuai dengan rencana yang diprogramkan. Dalam hal ini, guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat ketika peserta didik belum
dapat membentuk sebuah kompetensi, oleh karena guru harus menguasai prinsip- prinsip pembelajaran, pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran, metode
mengajar, keterampilan menilai hasil-hasil belajar peserta didik serta memilih dan menggunakan strategi atau pendekatan pembelajaran.
5
4
Puskur Balitbang Depdiknas, Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar, Jakarta;Balitbang Depdiknas, 2002, h. 1-3
5
Hal ini juga dinyatakan oleh Mansur Pateda dalam buku Linguistik Terapan bahwa sebelum melaksanakan kegiatan belajar terdapat beberapa langkah yang perlu diperhatikan yaitu;
pertama, menentukan teori linguistik yang melandasi kegiatan pembelajaran bahasa, kedua, menentukan pendekatan yang digunakan dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti faktor
Guru juga dituntut mampu untuk mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dalam masyarakat. Tugas guru di
sekolah diharapkan mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi tinggi dan siap menghadapi tantangan hidup dengan keyakinan dan percaya diri yang
tinggi dan dapat juga menghasilkan peserta didik yang berkualitas, baik secara akademik, skill, kematangan emosional, moral maupun spiritual, karena guru yang
berhadapan langsung dengan peserta didik di kelas melalui proses belajar mengajar. Oleh karena itu, untuk meningkatkan prestasi peserta didik, guru harus memiliki
pengetahuan dan kemampuan secara profesional selain melaksanakan tugasnya. Istilah profesional bersangkutan dengan profesi yakni bidang pekerjaan
yang dilandasi pendidikan keahlian keterampilan, kejuruan dan lain sebagainya tertentu, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, dan
mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Profesionalitas guru termasuk didalamnya guru bahasa Arab ditandai oleh kompetensi guru tentang
kurikulum, bahan ajar, strategi pembelajaran, sistem penilaian dan sikap positif terhadap tugasnya. Pernyataan ini juga dirumuskan oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan tentang kemampuan yang harus dimiliki oleh guru dan mengelompokkannya atas tiga dimensi umum kemampuan yaitu, kemampuan
profesional, sosial, dan personal yang kemudian dirinci ke dalam sepuluh kemampuan dasar yaitu penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar
keilmuannya, pengelolaan program belajar mengajar, pengelolaan kelas, penggunaan media dan sumber pembelajaran, penguasaan landasan-landasan
kependidikan,pengelolaan interaksi belajar mengajar, penilaian prestasi siswa,
tujuan, siswa, materi, alat Bantu, keterampilan, pengajar, alokasi waktu dan lain-lain, ketiga, menentukan strategi yang tepat, keempat, menentukan metode, kelima, menentukan teknik
pembelajaran, keenam, menentukan prosedur, ketujuh, mempertimbangkan faktor penunjang berupa sumber pelajaran dan pengayaan, alat bantu yang dibutuhkan dan alokasi waktu, ke8,
menyusun satuan pelajaran, kesembilan, pelaksanaan proses pembelajaran di kelas dan kesepuluh adalah evaluasi, Mansur Pateda, Linguistik Terapan, Flores; Nusa Indah, 1991, cet. I, h. 124-
126
pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan, pemahaman dan penyelenggaraan sekolah, dan pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil
penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran.
6
Berkaitan dengan kompetensi, ada beberapa kompetensi yang perlu dikembangkan,
7
agar peserta didik dapat berkomunikasi dengan baik dan memanfaatkan hasil pembelajaran peserta didik dalam kehidupan sehari hari.
Diantara kompetensi dasar yang perlu dikembangkan adalah kompetensi dasar bahasa -dalam hal ini bahasa Arab- yang terdapat dalam pusat kurikulum, ada tiga
komponen dalam mempelajari bahasa yaitu pertama; mengembangkan kemampuan komunikasi baik secara lisan maupun tulisan yang mencakup
kemampuan mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Kedua; meningkatkan kesadaran alamiah berbahasa baik bahasa Arab sebagai bahasa asing maupun
bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dengan memkomparasikan kedua bahasa tersebut. Dan yang ketiga; mengembangkan pemahaman sekitar hubungan antara
bahasa dan budaya dan kemudian memperluas horizon budaya. Oleh karena itu peserta didik mampu mengetahui persilangan budaya dan melibatkan diri dalam
keragaman budaya. Untuk dapat menguasai semua kompetensi tersebut, peserta didik dapat
memperolehnya secara sadar dan tidak sadar. Pemerolehan secara tidak sadar adalah dengan melibatkan diri atau berinteraksi langsung dengan pemakai bahasa
Arab. Sedang pemerolehan kompetensi secara sadar adalah dengan melalui proses pembelajaran. Pemerolehan dengan sadarlah yang menemukan beberapa kendala
terkait dengan
proses pembelajaran,
baik dari
komponen-komponen pembelajaran, karakteristik pembelajar -peserta didik- maupun unsur-unsur
lainnya menjadi kendala, seperti ketersediaan dukungan lingkungan pembelajaran
6
Dikutip dari Nana Saodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktek, Bandung:Rosdakarya, 2001, h. 192-193
7
Mulyasa, E., Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK, Bandung; Rosdakarya,2007, h. 6
yang akan memberi masukan atau bahan yang akan dipelajari, guru dengan kemahiran berbahasa Arab yang memadai, latar belakang pendidikan guru, dan
metode mengajar yang keefektifannya akan sangat bergantung pada semua faktor yang telah disebutkan di atas. Semuanya akan berinteraksi dalam membuat
kegiatan belajar mengajar bahasa Arab yang kondusif dan bermanfaat. Selain itu juga, diungkapkan oleh Al-Qasimi bahwa ada beberapa persoalan
yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran bahasa asing termasuk bahasa Arab, yaitu kebutuhan peserta didik, usia peserta didik, waktu pembelajaran, tujuan dan
metodologi pembelajarannya.
8
Bahasa Arab sebagai salah satu bahasa Asing yang oleh masyarakat Indonesia perlu menguasai dengan tujuan untuk penyerapan dan pengembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, sosial budaya dan pembinaan hubungan dengan bangsa timur tengah.
Pengajaran bahasa Arab merupakan suatu proses pendidikan yang diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina kemampuan
peserta didik supaya mampu menyimak, berbicara, membaca dan menulis bahasa Arab. Dengan ungkapan lain, memberikan bekal kepada peserta didik agar
mampu menggunakan bahasa secara produktif dan reseptif. Oleh karena itu, dalam pembelajaran berbasis kompetensi yang mencakup empat kemahiran
berbahasa diajarkan secara integral. Kompetensi berbahasa Arab, sebaiknya penekanan kompetensinya terdapat hubungan dengan pekerjaan yang ada di
masyarakat dan tuntutan kehidupan yang nyata. Seperti halnya penekanan kompetensi bahasa Arab adalah kemampuan peserta didik dalam berbahasa baik
secara lisan maupun tulisan, namun perlu ada penekanan pada salah satu kemampuan bahasa pada peserta didik, seperti pada tingkat pendidikan dasar
penekanan kompetensinya pada kemampuan menyimak dan berbicara sebagai
8
Ali Muhammad al-Qasimi, Ittijahât haditsah Fi Ta’lîm al-Arabiyah Linnâthiqîna Bi al- Lughât al-Ukhra, Riyadh; al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, 1979, h. 59-60
landasan berbahasa. Pada tingkat menengah, keempat keterampilan diajarkan secara seimbang dan pada tingkat pendidikan lanjut, penekanan kompetensinya
pada kemampuan membaca dan menulis, sehingga peserta didik diharapkan mampu mengakses berbagai referensi berbahasa Arab.
Permasalahan mengenai sekolah atau madrasah merupakan bagian integral dari lingkungan masyarakat. Maka Istilah madrasah
9
dalam pemahaman di masyarakat Indonesia digunakan untuk mengacu pada lembaga pendidikan
10
keagamaan Silam, baik yang berbentuk formal yang terdiri dari madrasah ibtidaiyah MI, madrasah tsanawiyah MTs. dan madrasah aliyah MA,
maupun yang berbentuk informal yaitu madrasah diniyah yang terdiri dari jenjang awaliyah, wushtha dan ulya.
Sedangkan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, madrasah merupakan jenis pendidikan umum. Istilah
madrasah hanya digunakan untuk merujuk pada jenis pendidikan formal yang terdiri atas madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah sejenjang dengan
sekolah dasar dan menengah pertama yang merupakan jenjang pendidikan dasar, dan madrasah aliyah dan madrasah aliyah kejuruan setaraf dengan sekolah
menengah atas yang merupakan jenjang pendidikan menengah. Salah satu madrasah yang berada di bawah naungan di salah satu
departemen pemerintah Republik Indonesia adalah Madrasah Aliyah Negeri 8 - penulisan selanjutanya MAN 8- yang terletak di kawasan Jakarta Timur. Dalam
kegiatan belajar mengajar di madrasah tersebut terdapat beberapa kendala, halnya
9
Sekolah pada dasarnya mempunyai makna yang sama dengan madrasah. Istilah sekolah lebih mengarah kepada pendidikan umum sedang madrasah mengacu kepada pendidikan
keagamaan yang kata madrasah merupakan kata serapan dari bahasa Arab berwazan isim makân yang menunjukkan makna tempat, berarti tempat belajar. Tempat belajar berarti suatu ruangan
yang dapat dijadikan seseorang belajar.
10
Jika ditinjau dari struktur internal, lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya lembaga pendidikan Islam terdapat empat kategori, menurut ungkapan Yasmadi, yaitu pendidikan pondok
pesantren, pendidikan madrasah, pendidikan umum berasaskan Islam, dan pelajaran agama di lembaga pendidikan umum. Lebih terinci, lih. Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholis
Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta; Ciputat Press, 2002, h. 58-59
dengan beberapa kendala yang terdapat dalam proses pembelajaran, di antaranya adalah motivasi dan minat siswa terhadap mata pelajaran bahasa khususnya
bahasa Arab. Istilah pembelajaran berbeda dengan pengajaran meskipun keduanya
terdapat hubungan yang erat. Kata pembelajaran merupakan sebagai proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar, yakni proses belajar yang
berlangsung baik di dalam kelas ataupun luar kelas formal. Dengan ungkapan lain pembelajaran memusatkan perhatian terhadap bagaimana membelajarkan siswa
dan apa yang dapat diperolehnya. Karena, tujuan pembelajaran adalah membentuk watak, mendewasakan penalaran dan pemikiran, memandirikan
sikap, memerdekakan dan memberdayakan. Sedang pengajaran adalah belajar untuk mengetahui dan tujuan pengajaran adalah membentuk konsep dan
mentransfer ilmu.
11
Oleh sebab itu, dalam pembelajaran, siswa bukan hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar tetapi juga berinteraksi
pada keseluruhan komponen yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Biasanya dalam proses belajar mengajar guru hanya menyampaikan materi
dengan cara memerintah peserta didik untuk menghafal tanpa memikirkan apakah peserta didik dapat menerapkan materi yang dipelajarinya -dalam hal ini bahasa
Arab- dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru bukan hanya sekedar menyampaikan materi namun
memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai begitu halnya juga dengan
mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar.
Untuk memperjelas teknik-teknik CTL dalam pembelajaran bahasa Arab, penulis mencoba menerapkannya pada siswa-siswi kelas sepuluh atau kelas satu
11
Andreas Harefa, Pembelajaran di Era serba Otonomi, Jakarta;Kompas, cet. I, h. 63-64
tingkat menengah atas. Pertimbangan pemilihan kelas sepuluh, disebabkan beberapa hal. diantaranya;
1. Kelas sepuluh adalah kelas transisi antara menengah pertama dan menengah
atas. 2.
Kelas sepuluh adalah pondasi utama pendidikan menengah atas, di kelas ini ilmu-ilmu pengetahuan tingkat atas diajarkan pertama kali.
3. Di kelas ini, keberhasilan pembelajaran akan berimbas pada keberhasilan
pembelajaran-pembelajaran selanjutnya. 4.
Kelas sepuluh ini menjadi jembatan yang menghubungkan pemahaman- pemahaman siswa selama masa menengah pertama dengan pelajaran-
pelajaran tingkat atas. 5.
Selain itu, sebagai kelas pertama di sekolah menengah atas, pengaruh- pengaruh luar bisa diminimalisir karena posisi siswa sebagai siswa angkatan
baru junior. Pemilihan tingkat menengah atas, diasumsikan karena pada tingkat ini,
minat dan bakat siswa mulai diarahkan pada spesialisasi-spesialisasi tertentu. Selain itu, secara psikologis masa-masa usia kelas sepuluh yang diperkirakan
berusia 15-16 tahun adalah masa adoselen atau masa remaja yang sesungguhnya
12
. Adapun sekolah yang dijadikan fokus penelitian adalah Madrasah
13
Aliyah
14
Negeri Delapan Jakarta. Adapun alasan pemilihan penelitian pada MAN
12
Pembagian tahap perkembangan yang paling tua, dikemukakan oleh Aristoteles, Aristoteles membagi masa perkembangan ini atas tiga tahap, yaitu: masa kanak-kanak 0-7 tahun,
masa anak 7-14 tahun, masa remaja 14-21 tahun setelah itu masa dewasa. Jean Jacques Rosseau seorang filosof dan negarawan Perancis, juga mengemukakan tentang tahap-tahap
perkembangan anak. Menurut Rosseau ada empat perkembangan yaitu masa bayi 0-2 tahun anak hidup sebagai binatang, masa kanak-kanak 2-12 tahun anak hidup sebagai manusia biadab, masa
remaja awal 12-15 tahun anak hidup sebagai petualang; perkembangan intelek dan pertimbangan, dan masa remaja yang sesungguhnya 15-24 tahun individu hidup sebagai manusia
beradab; pertumbuhan kelamin, social dan kata hati. Lih. Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007, cet. IV, hal. 117
13
Sekolah pada dasarnya mempunyai makna yang sama dengan madrasah. Istilah sekolah lebih mengarah kepada pendidikan umum sedang madrasah mengacu kepada pendidikan
Delapan Jakarta, pertama, MAN Delapan adalah salah satu Madrasah yang dicanangkan pemerintah menerapkan dua program sebagai implementasi KBK
KTSP. Yakni; Program Pengembangan Potensi Akademik P2A dan Program Persiapan Hidup Mandiri PHM. P2A disiapkan untuk siswa yang berminat dan
memiliki kemampuan untuk melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi dan PHM disiapkan untuk siswa yang hanya memiliki sedikit kesempatan untuk
melanjutkan ke Perguruan Tinggi sehingga ia harus menjadi siswa yang siap kerja. Pada PHM, MAN Delapan menawarkan keterampilan Montir, Tata Busana
dan Industri Mebelair
15
. Kedua, sebagai salah satu madrasah yang tengah dicanangkan menjadi
MAN standar Nasional, MAN Delapan merupakan tempat yang tepat untuk menginformasikan metode CTL pada mata pelajaran Bahasa Arab. Apalagi MAN
Delapan belum membuka bidang konsentrasi Bahasa dalam jurusan-jurusan yang ditawarkannya pada program P2M, sehingga pengajaran Bahasa Asing khususnya
Bahasa Arab hanya mendapat porsi lima persen dari seluruh waktu belajar siswa MAN Delapan. Padahal sebagai madrasah, memahami bahasa Arab adalah mutlak
adanya karena dengan pengetahuan berbahasa Arab, siswa-siswa madrasah memiliki nilai tambah dari alumni-alumni SMU. Lagi pula selama ini, para
alumni madrasah selalu dituntut untuk dapat memahami dan mengerti nilai-nilai ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadis, demi keperluan itu
keagamaan yang kata madrasah merupakan kata serapan dari bahasa Arab berwazan isim makân yang menunjukkan makna tempat, berarti tempat belajar. Tempat belajar berarti suatu ruangan
yang dapat dijadikan seseorang belajar.
14
Jika ditinjau dari struktur internal, lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya lembaga pendidikan Islam terdapat empat kategori, menurut ungkapan Yasmadi, yaitu pendidikan pondok
pesantren, pendidikan madrasah, pendidikan umum berasaskan Islam, dan pelajaran agama di lembaga pendidikan umum. Lebih terinci, lih. Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholis
Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta; Ciputat Press, 2002, hal. 58-59
15
Tim Penyusun, Info MAN Delapan, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Siswa Jakarta 2006-2007 “Pendidikan Islami yang Unggul dalam Prestasi Akademik dan Non
Akademik”, Jakarta, MAN DELAPAN, 2006
bahasa Arab menjadi unsur yang harus dan wajib diperdalam oleh siswa-siswa madrasah.
Ketiga, MAN Delapan merupakan Madrasah Aliyah berprestasi Tingkat Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 2005 sampai dengan 2007
16
. Penghargaan ini menunjukkan bahwa MAN Delapan adalah madrasah yang patut diperhitungkan.
Sehingga segala upaya menuju penyempurnaan madrasah selalu diupayakan. Salah satunya adalah dengan memperkuat kemampuan bahasa siswa.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, penulis memutuskan untuk menjadikan MAN Delapan sebagai tempat pembelajaran siswa berbahasa Arab
dengan pendekatan CTL. Dengan audiensi penelitian siswa kelas sepuluh atau kelas satu MAN Delapan.
Untuk menjalankan metode pembelajaran CTL, penulis membuat rencana pembelajaran bahasa Arab selama satu semester, rencana ini disesuaikan dengan
kebutuhan peserta didik, usia peserta didik, waktu pembelajaran, tujuan dan metodologi pembelajarannya
17
. Setelah menjalankan metode ini, penulis menyebarkan angket dan latihan-latihan untuk mengetahui bagaimana nilai dan
partisipasi siswa selama pembelajaran bahasa Arab. Dari angket dan latihan- latihan ini, penulis akan mengetahui tingkat keberhasilan metode CTL dalam
membangkitkan minat dan kompetensi siswa dalam berbahasa Arab. Besar harapan penulis untuk membantu siswa-siswa madrasah menguasai
bahasa Arab sampai tahap berbicara dan menulis serta memahami maknanya meskipun pada tingkat yang paling sederhana. Sehingga sedikit waktu yang
selama ini diberikan untuk mata pelajaran bahasa Arab menjadi waktu berkualitas.
16
Piagam Penghargaan Departemen Agama RI, Nomor K.W. 09.45 KP.08.82212007
17
Dalam pembelajaran bahasa asing, al-Qasimi menekankan pentingnya melihat kebutuhan dan usia peserta didik agar ilmu yang diajarkan menjadi tepat sasaran. Lih. Ali Muhammad al-
Qasimi, Ittijahât haditsah Fi Ta’lîm al-Arabiyah Linnâthiqîna Bi al-Lughât al-Ukhra, Riyadh; al- Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, 1979, h. 59-60
Dengan demikian penelitian ini berupaya untuk mengadakan kajian lebih lanjut tentang upaya apa saja yang dilakukan untuk membelajarkan siswa dalam
proses pembelajaran bahasa Arab dengan menggunakan pendekatan contextual teaching and learning CTL di madrasah?
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian tersebut diatas dapat diidentifikasi berbagai permasalahan dalam upaya membelajarkan siswa berbahasa Arab dengan menggunakan
pendekatan CTL di madrasah Aliyah Negeri 8 merupakan hal yang penting guna meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Arab.
Maka sehubungan dengan itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi siswa dalam proses belajar-mengajar yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
Faktor-faktor tersebut berasal dari intern dan ekstern seperti siswa, guru, materi, metode, fasilitas, tempat dan waktu.
1. Siswa atau Peserta didik
Siswa sebagai subjek dan objek serta kegiatan dalam proses pembelajaran, masing-masing memiliki beraneka ragam karakter. Seperti
dari latar belakang baik berasal dari pendidikan maupun keluarga, motivasi, kemampuan, kecerdasan, dan ketertarikan. Sikap siswa dalam
proses kegiatan belajar mengajar ditentukan oleh dua komponen dasar, yaitu: kepribadian dan kompetensi.
Kepribadian siswa terkait dengan karakteristik mereka. Sebagai bukti, dalam suatu kelas terdapat berbagai macam karakteristik siswa, contohnya
terdapat siswa yang malas, rajin, aktif, pasif, disiplin, kreatif, dan sebagainya. Perbedaan karakteristik inilah yang akan mempengaruhi proses kegiatan
belajar mengajar. Kompetensi siswa terdiri dari tiga kompetensi, yaitu: kognitif yang
kaitannya dengan otak siswa, karena setiap siswa memiliki kemampuan berfikir
yang berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya seperti dalam menerima dan memahami informasi, menganalisa suatu masalah dan dalam
memecahkan permasalahan, kedua; afektif yang berhubungan dengan sikap dan perilaku siswa terhadap materi seperti sebagai contoh seorang siswa yang
cenderung menganggap qawâ’îd lebih penting dari komponen bahasa Arab yang lain, maka siswa tersebut akan terfokus terhadap qawâ’îd daripada kemampuan
berbahasa yang lain, dan kompetensi yang ketiga adalah psikomotorik yang hubungannya dalam persoalan keahlian siswa karena rasa keinginan dan
kemampuan siswa itu berbeda-beda seperti dalam keberanian dalam berdiskusi atau tanya jawab dengan berinteraksi dengan guru dan atau siswa lainnya.
Keperbedaan dari ketiga kompetensi tersebut dapat mempengaruhi dalam proses kegiatan belajar mengajar siswa.
2. Guru
Begitu juga halnya dengan siswa, guru sebagai objek dalam pengajaran dipengaruhi juga oleh dua komponen dasar, yaitu: kepribadian dan
kompetensi. Kompetensi guru terdiri dari kompetensi kognitif yang berhubungan dengan kemampuan berfikir, afektif yang berhubungan dengan
tingkah laku, dan psikomotorik yang berhubungan dengan profesionalisme guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Guru juga memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda, seperti: galak, sabar, santai, disiplin, kreatif dan sebagainya. Karakteristik tersebut
terdapat hubungan yang erat dengan kepribadiannya.
3. Materi
Dalam menyampaikan materi, guru harus membuat ketertarikan siswa terhadap materi yang disampaikan dengan membangun kreatifitas yang
dimilikinya. Karena dengan berbagai macam cara guru dalam menyalurkan
materi yang diberikan sangat mempengaruhi siswa dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.
Oleh karena itu, perlua adanya pengembangan materi untuk dapat mewujudkan peserta didik yang berkompeten.
4. Metode
Guru harus menggunakan metode yang tepat dalam melaksanakan pengajaran karena untuk menarik perhatian siswa dan membuat mereka
menyukai materi yang diberikan. Metode yang baik juga akan mempengaruhi dalam proses belajar-mengajar.
Untuk membangkitkan keaktifan peserta didik dalam proses belajar mengajar, maka diupayakan beragam proses agar siswa terlibat dalam proses
pendidikan, diantaranya: 1.
Mengubah pola pembelajaran yang berasal dari berbasis guru menjadi berbasis siswa;
2. Pembelajaran yang bermula dari mengajar tentang bahasa menjadi
mengajar berbahasa; 3.
Melengkapi sarana belajar; 4.
Menciptakan lingkungan berbahasa; 5.
Meningkatkan hubungan yang harmonis antara guru dengan peserta didik; 6.
Mengubah penilaian yang bersifat subyektif menjadi obyektif; 7.
Mengembangkan materi pembelajaran; 8.
Menggunakan pendekatan yang relevan; 9.
Memadukan pembelajaran di sekolah dengan kehidupan yang riil.
5. Fasilitas
Fasilitas adalah unsur yang membantu dalam proses belajar mengajar, seperti: buku pelajaran, OHP, kamus, papan tulis, tape recorder, kapur,
boardmarker dan sebagainya. Fasilitas yang dimiliki oleh madrasah harus
dimanfaatkan secara maksimal oleh guru dalam proses belajar mengajar. Penyajian materi yang didukung oleh pemanfaatan yang maksimal oleh guru
akan membelajarkan siswa dalam proses belajar mengajar.
6. Tempat
Tempat yang dimaksud adalah ruang kelas. Ruang kelas yang nyaman, bersih dan tertata rapi dapat mempengaruhi dalam proses belajar
mengajar. Ruang kelas yang nyaman adalah ruang kelas yang memiliki pencahayaan yang baik, ventilasi yang cukup, tidak bising, pengaturan tempat
duduk, dan ukuran ruangan. Ruang yang nyaman akan membuat proses- belajar mengajar lebih kondusif.
7. Waktu
Begitu halnya dengan alokasi waktu yang ada juga akan mempengaruhi pengajaran di kelas. Waktu atau durasi yang digunakan guru
dalam menyajikan suatu materi dan urut-urutan proses belajar mengajar
didalam kelas harus diupayakan seoptimal mungkin. C.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari permasalahan tersebut di atas dibatasi pada aspek-aspek tertentu saja. Seperti permasalahan mengenai upaya membelajarkan siswa berbahasa Arab
dengan pendekatan pembelajaran kontekstual guna meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Arab di madrasah aliyah negeri 8.
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk
membelajarkan siswa berbahasa Arab dengan pendekatan CTL di madrasah aliyah negeri 8?
D. Landasan Teori
1. Pengajaran Bahasa Arab
Istilah pengajaran dengan pembelajaran merupakan dua peristiwa yang berbeda tetapi keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan terjadi
keterkaitan dan interaksi dan saling pengaruh mempengaruhi serta saling menunjang satu sama lain. Keduanya juga melibatkan berbagai variabel.
Dengan ungkapan lain bahwa proses belajar mengajar bahasa itu bukan hal yang sederhana tetapi untuk melaksanakan suatu proses kegiatan belajar
mengajar atau dalam hal ini pengajaran bahasa, seseorang harus memikirkan berbagai komponen yang berkaitan dengan pengajaran bahasa. Komponen-
komponen utama yang berkaitan dengan pengajaran bahasa diantaranya adalah guru dan peserta didik, bahan ajar serta tujuan pengajaran.
Guru memiliki peranan yang penting karena guru sangat menentukan keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai subjek yang
bertugas melaksanakan proses belajar mengajar, baik sebagai fasilitator, informator maupun sebagai pembimbing, ia harus dapat menjadikan peserta
didik tuntas berbahasa bahasa yang diajarkan. Tugas guru menurut Stevick
18
mencakup tiga hal yaitu mengembangkan kompetensi komunikasi, mengembangkan kompetensi linguistik dan
mengembangkan kompetensi
personal. Yang
berhubungan dengan
kompetensi komunikasi adalah mengacu kepada upaya agar peserta didik berani dalam berkomunikasi dengan temannya dan lingkungan yang terdapat
di sekitar peserta didik. Kompetensi komunikasi dan linguistik bersama-sama akan memperkuat kemandirian peserta didik sebagai makhluk yang
berkembang. Keberanian berkomunikasi dapat menimbulkan kepercayaan pada diri sendiri bahwa peserta didik merupakan pribadi yang berarti. Oleh
karena kompetensi personalnya telah berkembang sedemikian rupa dengan
18
Dikutip dari Mansur Pateda, Linguistik Terapan …h. 38
melalui interaksi antara guru, peserta didik dan lingkungan sekitarnya, maka keadaan tertentu dapat menentukan sikap terhadap sejumlah alternatif yang
dihadapinya. Sedang peserta didik yang merupakan subjek dan objek serta kegiatan
pembelajaran yang akan dikenai proses diharapkan dapat mempunyai kemampuan yang lebih baik setelah proses belajar selesai.
Komponen selanjutnya adalah bahan dan tujuan pengajaran. Sebelum menyusun bahan ajar, perlu ditinjau terlebih dahulu mengenai karakteristik
peserta didik termasuk kebutuhan-kebutuhan peserta didik, karena setiap peserta didik memiliki karakteristik yang berbeda-beda baik dalam
perkembangan kognitif, intelegensi dan lain sebagainya. Begitu halnya dalam merumuskan tujuan pengajaran sebaiknya ditelusuri terlebih dahulu dengan
menganalisis akan kebutuhan peserta didik. Kebutuhan ini dapat diketahui antara lain dengan mengidentifikasi fungsi yang menjadi sasaran
pembelajaran. Semua komponen tersebut mempunyai hubungan fungsional dalam
aktivitas pengajaran bahasa dan turut menentukan keberhasilan proses pengajaran termasuk dalam pengajaran bahasa Arab.
Bahasa sebagai alat komunikasi termasuk bahasa Arab mempunyai empat keterampilan yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan
menulis. Keempat keterampilan tersebut sangat berkaitan dalam rangka mewujudkan tujuan pengajaran bahasa.
Salah satu tujuan pengajaran bahasa adalah mempersiapkan peserta didik untuk melakukan interaksi yang bermakna, yaitu dengan cara membuat mereka
mampu menggunakan dan memahami bentuk-bentuk ujaran alamiah. Oleh karena, ketika guru akan mengajarkan keterampilan bahasa ia dapat
menggunakan satu model pembelajaran yang ada dalam prosedur pengajaran. Sebagai contoh, ketika akan mengajarkan keterampilan menyimak, sebaiknya
guru menggunakan prosedur dengan menekankan aktivitas-aktivitas yang berorientasi pada keterampilan menyimak. Begitu halnya dalam pengajaran pada
keterampilan bahasa yang lain.
2. Contextual Teaching and Learning
Istilah contextual berasal dari bahasa Inggris yang berarti yang berhubungan dengan konteks. Kata contex berarti keadaan, situasi dan
kejadian. Contextual Teaching and Learning CTL merupakan sistem pengajaran yang didasarkan dari hasil penelitian John Dewey yang
menyimpulkan bahwa peserta didik akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan aktivitas atau
peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya.
19
Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer ilmu pengetahuan, mengumpulkan dan
menganalisis data, dan memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara individu maupun kelompok.
Pembelajaran kontekstual merupakan strategi pembelajaran yang membantu guru untuk menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata
dan mendorong peserta didik untuk menciptakan hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari peserta didik
sebagai anggota masyarakat. Contextual teaching and learning memiliki karakteristik
20
dalam strategi pengajaran yaitu: pertama; pembelajaran berbasis masalah, maksudnya
sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar, meminta peserta didik untuk mengobservasi suatu peristiwa atau fenomena terlebih dahulu kemudian
mencatat beberapa permasalahan yang muncul. Setelah itu, guru merangsang dan mengarahkan peserta didik untuk berpikir kritis dalam memecahkan
19
Elaine B. Johnson, Contextual teaching…
20
Teaching For
Contextual Learning,
diakses tanggal
06 Maret
2008, http:ateec.orglearninginstructurcontextual.htm
permasalah tersebut dan bertanya, membuktikan asumsi dan mendengarkan perspektif yang berbeda dari berbagai pola pikir peserta didik. Kedua;
penggunaan multi konteks, artinya guru memberikan tugas kepada peserta didik yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungannya seperti di
sekolah, keluarga dan masyarakat. Pemberian tugas tersebut memberikan kesempatan peserta didik untuk belajar di luar kelas, seperti peserta didik
keluar dari kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan interview dengan harapan mendapatkan pengalaman langsung tentang apa yang sedang
dipelajari. Dengan pengalaman tersebut merupakan upaya dalam pencapaian penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.
Karakteristik yang ketiga adalah memberikan aktivitas kelompok dengan cara guru membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok dengan
jumlah personel kelompok tersebut disesuaikan dengan tingkat kesulitan dalam penugasan. Aktivitas belajar secara kelompok ini untuk membangun
kompetensi personal seperti salah satu tugas guru yang diungkapkan Stevick. Keempat; dorongan belajar mandiri. Dengan kata lain, peserta didik mampu
mencari kemudian menganalisis dan menggunakan informsi tanpa bantuan guru. Untuk dapat melakukannya, mereka harus lebih memperhatikan
bagaiamana memproses informasi, menerapkan srategi pemecahan masalah dan mengaplikasi pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman
pembelajaran CTL harus berani melakukan trial dan error, disiplin waktu, menyusun refleksi dan mencoba tanpa meminta bantuan guru agar dapat
melakukan proses pembelajaran secara mandiri. Kelima; dorongan belajar bekerjasama dengan masyarakat. Sekolah dapat bekerja sama dengan orang
tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu karena untuk memberikan pengalaman belajar secara langsung agar peserta didik
termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu juga, bekerja sama dengan institusi tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Seperti
meminta peserta didik untuk magang di tempat kerja. Dan keenam adalah menerapkan penilaian autentik. Dalam CTL, penilaian ini dilakukan untuk
membangun pengetahuan dan keterampilan yang bermakna dengan melibatkan siswa ke dunia nyata atau konteks yang alamiah. Adapun bentuk-
bentuk penilaian yang dapat digunakan adalah portofolio, tugas kelompok, demonstrasi dan laporan tertulis.
Selain karakteristik-karakteristik tersebut, CTL juga terdapat komponen- kompenen penting untuk menerapkannya dalam pengajaran bahasa. Tujuh
komponen tersebut adalah kontruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian autentik.
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan dengan perumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui mengenai pendeskripsian upaya-upaya
membelajarkan siswa berbahasa Arab dengan menggunakan pendekatan CTL. Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah hasil penelitian ini diharapkan
menjadi pertimbangan untuk berbagai pihak terkait terutama lembaga pendidikan formal dalam memutuskan kebijakan terkait dengan menggunakan strategi
pembelajaran kontekstual. Kegunaan yang kedua adalah sebagai sumbangsih khazanah linguistik terapan bahasa Arab khususnya mengenai pendekatan
kontekstual yang diterapkan dalam proses pembelajaran bahasa Arab.
F. Metode Penelitian
1. Subjek dan Latar Penelitian
Setting penelitian ini akan dilaksanakan di MAN 8 yang terletak di daerah Jakarta Timur tepatnya di jalan Balai Rakyat Cakung Jakarta Timur.
Sekolah ini memiliki sebuah cabang yang letaknya masih dalam satu kawasan di Jakarta Timur dan dari dua tempat tersebut, madrasah ini memiliki 18 kelas
yang dibagi dalam tiga tingkat. Dan sekolah ini juga dilengkapi oleh berbagai
fasilitas yang mendukung kegiatan belajar mengajar seperti perpustakaan, laboratorium bahasa dan komputer serta IPA. Sasaran dari penelitian ini adalah
siswa kelas X MAN 8 sebanyak 40 siswa, yang mencakup kelas yang peserta didiknya memilih program pengembangan potensi akademik dan program
persiapan hidup mandiri, dengan alasan bahwa para peserta didik yang terdapat di kelas X adalah pendatang baru di madrasah, sehingga upaya
peningkatan membelajarkan siswa berbahasa Arab dalam proses pembelajaran khususnya mata pelajaran bahasa Arab sangat perlu untuk dilaksanakan.
2. Sumber Data
Data dan informasi mengenai upaya membelajarkan siswa berbahasa Arab dengan pendekatan CTL di MAN 8 diperoleh melalui berbagai
dokumen. Dokumen ini berupa pengamatan dan pelaksanaan interview dengan kepala bidang kurikulum, guru yang bersangkutan dan penyebaran
angket
21
terhadap siswa serta melakukan eksperimen tentang penerapan pendekatan CTL di kelas.
Sumber data dalam penelitian ini adalah ungkapan dan tindakan orang- orang yang diobservasi
22
dan diinterview. Selain dari sumber data tersebut juga diperlukan argument-argumen yang mendukung dalam pembahasan ini
dengan memaparkan teori mengenai kajian penggunaan pendekatan pembelajaran kontekstual dalam pengajaran bahasa Arab adalah buku-buku
karya para tokoh linguistik edukasional dari berbagai aliran. Walaupun
21
Angket adalah termasuk alat untuk mengumpulkan dan mencatat data atau informasi, sikap dan paham akan hubungan kausal. Angket mempunyai kesamaan dengan wawancara. Dalam
wawancara, interviewer berhadapan langsung dengan responden, sedang angket dilaksanakan secara tertulis. Terdapat dua macam bentuk angket, yaitu berstruktur dan takberstruktur. Bentuk
pertama adalah adanya kemungkinan jawaban yang disediakan, dan bentuk kedua, angket yang memberikan jawaban secara terbuka yang respondennya menjawab secara bebas dari sebuah
pertanyaan. Baca di M. Sobry Sutikno, Pembelajaran Efektif, Mataram; NTP Press, 2005, h. 83- 84
22
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilaksanakan secara terprogram dan terdapat unsur kesengajaan yang diawali dengan pengamatan dan pencatatan terhadap gejala yang
diselidiki khususnya dalam proses kegiatan belajar mengajar bahasa Arab. Lih. Pengantar Teori Konseling; Suatu Uraian Ringkas, Jakarta; Galia Indonesia, 1985, h. 110
sebagian literatur dari buku-buku tersebut menggunakan bahasa Inggris pengantarnya,
namun tidak
menutup kemungkinan
dalam objek
pembahasannya terdapat kajian mengenai pembelajaran kontekstual, meskipun dalam memberikan contoh kebanyakan bahasa Inggris tetapi juga
mencakup bahasa-bahasa lain pada umumnya. Literatur secara khusus yang membahas pembelajaran kontekstual
bahasa Arab belum banyak ditemui di berbagai perpustakaan di tanah air. Akan tetapi, pembahasan -walaupun tidak terperinci- mengenai pembelajaran
kontekstual yang mencakup dalam pembelajaran bahasa asing banyak ditulis oleh para ahli sebagai bagian dari babsub bab dari pembahasan kurikulum
berbasis kompetensi secara umum yang akan sangat membantu dalam penelitian.
Untuk merencanakan penulisan yang terarah dan sistematis, penulis mengklasifikasi sumber data pada dua bagian;
a Sumber Data Primer
Yaitu data-data yang menjadi dasar penelitian berupa data-data mengenai pembelajaran bahasa Arab di sekolah Madrasa Aliyah Negeri
Delapan serta bagaimana penguasaan siswa terhadap bahasa tersebut diperkaya dengan karya-karya yang menerangkan metode CTL dan teknik-
teknik penerapannya dalam pembelajaran. b
Sumber Data Sekunder Yaitu data-data pendukung di seputar pembahasan mengenai; 1.
Metode Pembelajaran; 2. Pengajaran Bahasa Arab; 3. Teknik-teknik mengajar pelajaran bahasa, baik bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
1 Dalam memaparkan mengenai metode-metode pembelajaran, diantara
referensi pendukung yang digunakan adalah: The Theory and Practice of Teaching, editor Peter Javis; Tools for Teaching Philosophy and
Ideas You Can Use ditulis oleh George Richardson, Jim Parsons dan
Laura Servage; Active Learning 101 Strategies to Teach Any Subject oleh Mel Silberman; Quantum Learning oleh Bobbi De Porter dan Mike
Hernacki; Quality in Education: An Implementation Handbook oleh Jerome S. Arcaro serta beberapa buku berbahasa Indonesia diantaranya,
Menjadi Guru oleh Hernowo, Perencanaan Pembelajaran oleh Hamzah B.
Uno, Strategi
Belajar Mengajar;
Strategi Mewujudkan
Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami karya Pupuh Fathurrahman; Pembelajaran di Era serba
Otonomi oleh Andreas Harefa dan lainnya. 2
Untuk pengajaran bahasa Arab, beberapa referensi pendukungnya antara lain Ta’lîm al-‘Arabiyyah li Ghairi al-Nâthiqîn bihâ Manâhijuhu
wa Asâlîbuhu oleh Doktor Rusydi Ahmad Thu’aimah, al-Lughat al- ‘Arabiyyah; Ushuluhâ al-Nafsiyah wa Thuruq Tadrisihâ karya Abdul
‘Aziz ‘Abdul Majid; Khashâis al-‘Arabiyyah wa Tharâiq Tadrîsihâ yang ditulis oleh Mahmûd Nayîf Ma’ruf dan Ta’lim al-Lughat al-
‘Arabiyah baina al-Nadhriyah wa al-Tathbîq oleh Hasan Shahatah, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab oleh Ahmad Fuad Effendy, dan
buku-buku pelajaran bahasa Arab yang digunakan pada sekolah menengah atas madrasah aliyah.
3 Adapun teknik-teknik mengajar pelajaran bahasa, penulis merujuk pada
beberapa buku, diantaranya The Context of Language Teaching diedit oleh Jack C. Richards, Languange Teaching Methodology ditulis oleh
David Nunan; al-Lughât al-Ajnabiyah Ta’lîmuhâ wa Ta’alumihâ oleh ‘Alî Hajaj; Strategi Belajar dan Mengajar Bahasa Indonesia Berbagai
Pendekatan, Metode Teknik dan Media Pengajaran karya M. Subana dan Sunarti; Metodologi Pengajaran Bahasa oleh Sri Utari Subyakto-
Nababan; Terampil Berbahasa Indonesia karya Sudarno dan Eman A. Rahman; Pengajaran Bahasa Asing; Sebuah Tinjauan dari Segi
Metodologi karya Muljanto Sumardi; Linguistik Terapan oleh Mansur Pateda; Linguistik Edukasional; Metodologi Pembelajaran Bahasa
Analisis Konstrastif dan Analisis Kesalahan Berbahasa karya Daniel Jos Parera dan buku terjemahan Paul Ohoiwutun; Sosiolinguistik;
Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan.
3. Metode Analisis
Berdasarkan uraian permasalahan, penelitian ini mencoba untuk mendeskripsikan, mencatat, mengarah, dan menginterpretasikan data, sehingga
didapati berbagai fakta dan keterangan yang nyata. Oleh sebab itu, metode dalam penelitian ini menggunakan deskriptif-analisis. Dengan ungkapan lain,
bahwa dalam penelitian ini mencoba untuk menggambarkan objek pembahasan dengan penyertaan analisis kualitatif tentang upaya membelajarkan siswa
berbahasa Arab dengan pendekatan CTL di MAN 8. Ada beberapa langkah yang harus digunakan dalam metode deskriptif-
analisis, yaitu dengan mengumpulkan data sebagai langkah pertama yang berhubungan dengan kajian pembahasan kemudian dianalisis, setelah itu data
diinterpretasikan dan sebagai langkah terakhir adalah langkah menarik kesimpulan.
Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, data tersebut diolah. Dalam menganalisa data
23
dilakukan secara kontinuitas dan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Yaitu peneliti akan melakukan analisis data
pada saat pengumpulan data dalam bentuk catatan supaya peristiwa yang diteliti dapat dideskripsikan secara utuh, objektif dan sistematis.
23
Analisis data adalah suatu proses investigasi secara sistematis terhadap pedoman interview, catatan lapangan, dan data-data lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan
pemahaman terhadap data-data tersebut supaya dapat dinterpretasikan kepada orang lain. Analisis data juga dapat disebut dengan pengolahan data, ada pula yang menyebut sebagai data
preparation. Lih. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta; Rineka Cipta, 1991, h. 191
BAB II TEORI CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING CTL
Dalam wacana pendidikan ada dua tataran penting yang selalu bersinggungan namun sesungguhnya bekerja secara bersamaan dan bersinergi, yakni tataran teoritis
dan praktis. Konsep teoritis ini biasanya disusun oleh professional pendidikan dan para pengamat pendidikan yang mengujicobakan satu teori dengan teori lainnya,
sedangkan praktisi pendidikan adalah guru-guru yang berhubungan langsung dengan aktivitas belajar mengajar dalam kelas. Tataran teoritis dan praktis ini seyogyanya
berjalan beriringan agar dengan mudah dievaluasi hasilnya, tetapi realitasnya, wacana teoritis selalu cepat berubah-ubah dan praktik di lapangan berjalan di tempat.
Beberapa tahun belakangan ini, berbagai konsep teoritis sudah muncul, tetapi kesiapan di lapangan belum direncanakan dengan baik. Quantum Learning, Ambak,
Active Learning dan Contextual Learning menjadi populer dengan cepat, tetapi teknik mengajar berbasis teori-teori tersebut belum terlihat jelas. Saat pendidikan bermula di
Yunani, metode ceramah adalah metode yang dianggap tepat untuk mendidik dan mengajar peserta didik.
24
Padahal, teori-teori ini muncul dari hasil penelitian yang cukup panjang dengan berupaya untuk memperbaharui metode-metode lama yang diasumsikan
sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Melalui pembaharuan-pembaharuan inilah, perjalanan mutu dan kualitas bangsa disusun dan direncanakan untuk
kemudian dibimbing menjadi lebih baik. Tapi apalah artinya teori-teori tersebut, jika pada praktiknya tidak sejalan dengan teorinya. Sehingga setiap upaya sosialisasi
teori-teori tersebut menjadi keharusan dan pengetahuan mengenai perbedaan antara teori terbaru dengan teori-teori sebelumnya menjadi pekerjaan terpenting agar setiap
24
M. Subana dan Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia; Berbagai Pendekatan, Metode Teknik dan Media Pengajaran, Bandung, Pustaka Setia, tt, h. 94
guru atau praktisi pendidikan dapat memahami benar bahwa teori tersebut adalah teori yang tepat dalam proses pembelajaran.
A. Model Pembelajaran Bahasa
CTL atau pembelajaran kontekstual sebagai salah satu pendekatan approach dalam pembelajaran
25
yang merupakan gebrakan dari pembelajaran tradisional yang dianggap kurang layak untuk dipergunakan di saat sekarang ini.
Dalam dunia pengajaran, kata approach lebih tepat diartikan a way of beginning something. Secara harfiah bahwa , approach ialah cara memulai sesuatu, sedang
secara istilah sebagai seperangkat asumsi tentang hakikat mata pelajaran tertentu, pengajarannya dan proses belajarnya.
26
Istilah pendekatan approach sering dikaitkan dengan metode method dan teknik technique. Daniel Parera menyebutkan tiga istilah tersebut berhubungan
secara hierarkis. Hubungan ini menggambarkan bahwa teknik merupakan satu hasil dari metode yang selalu konsisten dengan pendekatan. Gambaran
lengkapnya adalah, pendekatan approach merupakan satu latar belakang filosofis mengenai pokok bahasan yang hendak diajarkan, termasuk di dalamnya
teori-teori yang berbeda tentang hakikat suatu ilmu dan cara mengajarkannya.
27
Adapun metode merupakan satu rancangan menyeluruh untuk menyajikan secara teratur bahan-bahan dari mata pelajaran yang diajarkan, yang semuanya
didasarkan pada asumsi yang ditetapkan dalam pendekatan. Sedangkan teknik adalah usaha pemenuhan akan metode dalam pelaksanaan pengajaran di dalam
kelas.
28
25
Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, Jakarta, Bumi Aksara, 2007, h. 40
26
Kutipan dalam Subana dan Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia Berbagai Pendekatan, Metode Teknik dan Media Pengajaran, Bandung, Pustaka Setia, tth, h. 19
27
Jos Daniel Parera, Linguistik Edukasional, Jakarta, Erlangga, 1987, h. 18
28
Parera, Linguistik …, h. 18-19
Menurut para ahli, istilah pendekatan digunakan untuk merujuk pada rancang bangun silabus syllabus design. Melalui syllabus design ini kemudian
dijabarkan penyusunan materi pelajaran, penyusunan ini membawa konsekuensi metodologis. Itu sebabnya ketika satu pendekatan ditetapkan, penyusunan materi
pelajaran dan metode pengajarannya sudah harus disinergikan. Bila tidak segera disinergikan, maka yang terjadi adalah perbedaan antara taraf teoritis dengan
praktik yang terjadi di lapangan. Karenanya, suatu approach sangat menentukan dalam dunia pendidikan dan
pengajaran. Approach mempunyai pengaruh besar terhadap hasil yang diharapkan, maka sebelum melaksanakan pembelajaran, perlu dipikirkan terlebih
dahulu atau dipilih approach yang tepat. suatu approach yang dilaksanakan secara konsekuen dalam pengajaran bahasa disebut aliran pengajaran bahasa.
Artinya, CTL sebagai sebuah pendekatan approach, menjadi dasar bagi setiap guru dalam penentuan isi program, materi pembelajaran, strategi
pembelajaran, sumber belajar dan teknik bentuk penilaian. CTL juga menjadi acuan bagi guru untuk menentukan keseluruhan tahapan pengelolaan
pembelajaran.
29
Kesadaran perlunya pendekatan CTL dalam pembelajaran didasarkan dengan kenyataan bahwa sebagian besar siswa kurang mampu menghubungkan
antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata. Hal ini disebabkan pemahaman konsep akademik yang mereka
peroleh hanyalah merupakan sesuatu yang abstrak, belum menyentuh kebutuhan praktis kehidupan mereka baik di lingkungan kerja maupun di masyarakat.
Pendekatan pembelajaran yang selama ini mereka terima hanyalah penonjolan tingkat hafalan dari sekian rentetan topik atau pokok bahasan, tetapi tidak diikuti
29
Muslich, KTSP …, h. 40
dengan pemahaman atau pengertian yang mendalam, yang bisa diterapkan ketika mereka berhadapan dengan situasi baru dalam kehidupannya.
Ini tidak berarti bahwa pendekatan-pendekatan pra-CTL, merupakan pendekatan-pendekatan tak bermakna. Karena sesungguhnya setiap teori
pendekatan yang lahir semuanya didasarkan pada tantangan zamannya masing- masing. Satu pendekatan yang lahir pada masa lalu tentu saja belum dapat
dipastikan tepat digunakan pada masa selanjutnya, dan mungkin teori pendekatan pada masa ini juga tidak sesuai bila diterapkan di masa itu.
Keterpaduan pendekatan-pendekatan approaches dengan metode-metode dan teknik-teknik pendukungnya ini kemudian disebut dengan “Model
Pembelajaran”.
30
Jadi, model pembelajaran adalah sesuatu yang merangkum semua kegiatan pembelajaran, termasuk metode dan teknik-tekniknya. Maka, jika
CTL sudah dikategorikan sebagai model pembelajaran, CTL tersebut telah dijalankan dalam proses pengajaran dengan metode dan teknik-teknik yang sudah
dirumuskan sebelumnya. Secara umum, terdapat beberapa model pembelajaran yang pernah
dirumuskan oleh para praktisi pendidikan sejak zaman dahulu hingga kini, sebagiannya sudah jarang digunakan tetapi sebagian lainnya masih dipertahankan
dalam kegiatan belajar mengajar. Perlu diketahui pula bahwa keberadaan satu pendekatan atau satu model pembelajaran dilatarbelakangi oleh pendekatan atau
model pembelajaran sebelumnya. Misalnya keberadaan pendekatan diskusi
30
Model pembelajaran disusun dari dua kata besar, model dan pembelajaran. Menurut kamus bahasa Indonesia, model diartikan dengan pola dari sesuatu yang akan dibuat atau
dihasilkan. Berkaitan dengan pembelajaran, model diartikan oleh Bruce dan Weil sebagai suatu perencanaan yang digunakan dalam menyusun kurikulum, merancang materi pelajaran dan untuk
memberi arah dalam proses pembelajaran dan pengaturan lain, Dalam hal ini, Jujun memberikan definisi model sebagai penyederhanaan dari realitas sebuah abstraksi sehingga hanya unsur-unsur
yang penting yang muncul dalam bentuknya. Lih. Bruce Joice Marsha Weil, Models of Teaching, New Jersey; Prentece Hall International, Inc., 1985, hal. 1 dan Jujun S. Suriasumantri,
Berpikir Sistem; Konsep, Penerapan, Teknologi, dan Strategi Implementasi, Jakarta; PPS IKIP Jakarta, 1988, h. 22
didorong oleh usaha pembaharuan terhadap pendekatan ceramah. Dengan demikian model pembelajaran dan atau pendekatan adalah sebuah evolusi dari
model-model pembelajaran sebelumnya. Dengan memilih pendekatan yang tepat, dikatakan David Nunan dapat
membantu menyukseskan kegiatan belajar mengajar. Tetapi ditekankannya bahwa kesuksesan ini takkan terjadi jika tidak terdapat interaksi komunikatif dua belah
pihak; antara siswa sebagai orang yang sedang belajar dan guru sebagai figur yang mengajar.
31
Menurut Ernest Chang dan Simpson, terdapat beberapa model pembelajaran aplikatif pendekatan beserta teknik dan metodenya
32
, diantaranya; 1.
Model Pembelajaran traditional lectures ceramah tradisional Disebut dengan traditional, karena konon model pembelajaran ini
merupakan model pembelajaran tertua. Model pembelajaran ini menggunakan pendekatan ceramah dengan metode penyajian fakta atau ide secara lisan,
tekniknya adalah melalui retorika-retorika terbaik,
33
agar murid memfokuskan diri pada ceramah yang disampaikan. Model ini mencapai puncak
keemasannya pada abad ke-5 Masehi, yaitu pada masa kejayaan para sufi Yunani kuno, yang memandang dan menggunakan ceramah sebagai suatu
cara yang paling cemerlang untuk mengemukakan pikiran, menyampaikan pidato, atau membacakan sajak-sajak tanpa teks. Peter Jarvis mengasumsikan
bahwa pada masa Yunani dulu, ada kecenderungan untuk menilai kemampuan
31
David Nunan, Language Teaching Methodology a Textbook for Teachers, Hertfordshire, Prentice Hall International, 1998, h. 2-3
32
Dikutip dari Muhammad Surya, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, Bandung; Pustaka Bani Quraisy, 2004, h. 59
33
Kelebihan teknik ceramah dikatakan Subana, antara lain; memberikan pengalaman praktis pada siswa untuk mengembangkan keterampilan membuat catatan, menghemat waktu
mengajar karena hanya menerangkan informasi dan memungkinkan guru mampu menghadapi siswa dalam jumlah banyak, dan jika perlu menyajikan materi pelajaran yang banyak pula, lih. M.
Subana dan Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia, Berbagai Pendekatan, Metode Teknik dan Media Pengajaran, Bandung, Pustaka Setia, tt, h. 96-97
mengajar seseorang dengan kemampuannya berkomunikasi dengan audiens. Sehingga retorika menjadi hal yang esensial dalam pengajaran.
34
Agaknya, model pembelajaran ini sangat digemari, terbukti bahwa dalam Islam
sekalipun sejak zaman dahulu, metode lisan adalah satu-satunya metode yang digunakan dalam pembelajaran. Seperti yang terjadi dalam proses belajar
mengajar hadis ajaran-sunnah Nabi Saw .
Model pembelajaran traditional lectures disebut juga dengan belajar menerima. Belajar menerima maksudnya adalah sebuah bentuk kegiatan
belajar, dengan peranan peserta didik lebih pasif, mereka lebih banyak menerima pengetahuan yang disampaikan guru.
35
Dengan ungkapan lain, peserta didik lebih banyak menerima pengetahuan -dalam hal ini materi- yang
disampaikan guru dalam proses pembelajaran. Model ini mempunyai nilai positif bila peserta didik kreatif dan dapat menangkap semua informasi yang
diberikan. Strategi pembelajaran dalam model ini, dilakukan dengan mengikuti
ceramah dari guru, sehingga peserta didik dijadikan hanya sebagai pendengar setia tanpa diikutsertakan dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini tentu saja
akan membuat peserta didik merasa bosan untuk mengikuti proses belajar. Ciri-ciri utama dalam model pembelajaran ini adalah mendengarkan
penjelasan guru, kegiatan dan lingkungan dikendalikan guru, pengetahuan yang diperoleh tergantung penangkapan pembicaraan guru, dukungan
teknologinya sedikit dan berlangsung dalam keadaan otoriter. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, yang menjadi sumber utama dalam model
ini adalah guru, sehingga model ini selalu dipandang sebagai model
34
Peter Jarvis ed., The Theory Practice of Teaching, Canada, Kogan Page, 2002, h. 90
35
Ibrahim dan Nana Syaodih, Perencanaan Pengajaran, Jakarta; Rineka Cipta, 2003, h. 38
tradisional dan kurang memberdayakan kecakapan peserta didik dalam mengembangkan pengetahuannya dan juga kemandirian dalam proses belajar
mengajar. Oleh karena itu, dalam upaya membelajarkan siswa, model ini tidak
dapat diterapkan kecuali jika model ini dikombinasikan dengan model pembelajaran yang lebih inovatif. Seperti contoh, model ini berkombinasi
dengan model diskaveri.
36
2. Model pembelajaran self study belajar sendiri
Self study merupakan reaksi dari pendekatan ceramah, yang diduga berpotensi memandulkan siswa. Model pembelajaran ini mengarahkan
pembelajaran pada kemandirian peserta didik dalam keseluruhan aktifitasnya. Disini, guru hanya menciptakan sarana dan prasarana yang diarahkan
sedemikian rupa untuk membangkitkan kemandirian siswa. Tetapi untuk dapat memainkan peran ini, seorang guru harus teliti dalam mencari arahan
yang tepat, karena jika guru tidak dapat memberikan motivasi yang tepat alih- alih membentuk membangun kemandirian siswa yang terjadi malah
sebaliknya. Untuk itu, fasilitas dan media pembelajaran adalah komponen penting yang dapat digunakan sebagai strategi pembelajaran. Hal yang paling
penting dan perlu diawasi dalam model pembelajaran ini adalah munculnya siswa-siswa yang semakin kuat mandiri. Dan semakin mundurnya beberapa
siswa yang tidak berbakat karena rasa minder mereka dan ketidakyakinan mereka untuk ikut serta dalam program adu bakat dan kemandirian.
Pembelajaran ini harus diiringi pula dengan bimbingan dan konseling, yakni suatu program yang disediakan sekolah untuk membantu mengoptimalkan
36
Model diskaveri adalah model yang menganggap peserta didik mempunyai kemampuan-kemampuan dasar untuk berkembang secara maksimal sesuai dengan kemampuan
yang dimilikinya. Lihat Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta; Quantum Teaching, 2005, h. 11
perkembangan siswa. Bimbingan ini bersifat individual, berusaha membantu para siswa dalam memahami dirinya, menyesuaikan diri dengan tuntutan
lingkungan serta mengatasi problema-problema dirinya.
37
Tanpa bimbingan dan konseling ini, pembelajaran self study seringkali hanya menjadi
pembelajaran untuk siswa-siswa berbakat saja dan membiarkan yang tertinggal semakin tertinggal.
Strategi pembelajaran yang dilakukan dalam model ini adalah kemandirian peserta didik dalam keseluruhan aktifitasnya. Sehingga menuntut
adanya disiplin diri yang kuat dari pihak peserta didik supaya tujuan pembelajaran mencapai optimal, maka motivasi peserta didik harus kuat dan
stabil. Model pembelajaran ini memiliki ciri-ciri seperti pembelajaran berfokus
pada pemikiran sendiri, proses belajar diarahkan sendiri, isi pengetahuan yang berupa refleksi dan integrasi, dengan menggunakan multimedia dan diatas
penghargaan diri secara otonom. Mendasar pada ciri-ciri tersebut, peserta didik dituntut memiliki sikap
disiplin yang kuat karena harus mengatur dirinya sendiri secara terarah. Model ini peserta didik benar-benar diberdayakan untuk belajar mandiri tanpa ada bantuan
dari orang lain. Guru hanya berperan sebagai pembimbing dan motivator. 3.
Model Pembelajaran concurren learning belajar berbarengan Karena self study seringkali menyisihkan siswa-siswa tidak berbakat,
kemudian lahirlah concurren learning atau pembelajaran berbarengan atau berkelompok, yang menuntut setiap siswa langsung dan tidak langsung dalam
keadaan berbarengan dengan yang lain dan saling berinteraksi. Model ini bercirikan pembelajaran partisipatif, dalam sebuah forum terbuka dan keadaan
37
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007, h. 234-235
saling menghargai satu sama lain, materi yang berada dalam perspektif masing-masing, suasana demokratis dengan dukungan teknologi. Kemampuan
siswa dalam satu kelas yang beragam, pandai, sedang dan kurang, menuntut kecermatan guru bagaimana pengelompokkan tersusun dan kerjasama terjalin.
Kapan siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuan yang sama homogen, sehingga guru mampu berkonsentrasi pada kelompok yang kurang; dan kapan
pengelompokkan berdasarkan variasi heterogen sehingga terjadi tutorial sebaya.
38
Dari strategi guru tersebut, memungkinkan murid untuk terampil dalam mengemukakan pendapat dan bertoleransi terhadap perbedaan
pemahaman dan pendapat orang lain. Model ini dapat dipakai dalam upaya membelajarkan siswa belajar bahasa, karena peserta didik bebas dalam
mengemukakan pendapat dengan menggunakan bahasa Arab dan guru hanya mengarahkan jika ada kesalahan dalam penggunaan bahasa.
Concurren learning atau pembelajaran berbarengan, pada dasarnya dilakukan dengan tanggung jawab peserta didik secara mandiri namun secara
langsung dan tidak langsung dalam keadaan berbarengan dengan yang lain dan saling berinteraksi.
Model ini bercirikan pembelajaran dilakukan secara partisifatif, dalam sebuah forum terbuka dan keadaan saling menghargai satu sama lain, materi
yang berada dalam perspektif masing-masing, suasana demokratis dengan dukungan teknologi.
Dari ciri-ciri tersebut, memungkinkan murid untuk terampil dalam mengemukakan pendapat dan bertoleransi terhadap perbedaan pemahaman
dan pendapat orang lain.
38
Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, Jakarta, Bumi Aksara, 2007, h. 73
4. Model Pembelajaran Kolaboratif
39
collaborative learning Model ini merupakan pengembangan dari model concurren learning
hanya saja penekanan kerja sama untuk mendapatkan consensus lebih ditekankan untuk mencapai pemahaman yang “sama” dan keputusan yang
dibuat bersama atas dasar nilai yang disepakati bersama. Terdapat dua unsur
penting dalam model pembelajaran kolaboratif yaitu 1 adanya tujuan yang sama dan 2 ketergantungan yang positif. Dua unsur ini menuntun peserta didik
bekerja sama dengan teman untuk menentukan strategi pemecahan masalah yang ditugaskan guru, kemudian berdiskusi untuk mencari jalan keluar dan
menetapkan keputusan bersama. Dengan berdiskusi, peserta didik akan berpikir bahwa persoalan yang didiskusikan bersama adalah milik bersama. Perbedaan
pendapat dalam mengemukakan ide dan saling menanggapi antar peserta didik satu dengan peserta didik lainnya akan dapat mengembangkan pengetahuan
bersama dan pengetahuan dari masing-masing individu. Kedua, ketergantungan yang positif, dengan ungkapan lain, bahwa setiap anggota kelompok hanya
dapat berhasil mencapai tujuan apabila seluruh anggota bekerja sama. Dengan demikian, ketergantungan individu sangat tinggi dalam model ini.
40
Maka,
39
Strategi pembelajaran kolaboratif dilakukan dalam bentuk kolaboratif yakni bekerja sama yang saling membantu antar peserta didik dalam bentuk tim, dengan memecahkan suatu
permasalahan bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Model ini diungkapkan juga dalam buku Holistik bahwa collaborative learning adalah metode yang melibatkan siswa dalam diskusi
yang dapat dilakukan dengan melalui media elektronik ataupun internet dalam upaya mencari jawaban atau sebuah solusi yang sedang dipelajari. Dan ada sebuah model yang lebih spesifik dari
kolaboratif yaitu cooperative learning . baca selengkapnya di Ratna megawati et.al., Pendidikan Holistik, Bogor; Indonesia Heritage Foundation, 2005, cet. I, h.66
40
Terdapat beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam model pembelajaran kolaboratif, yaitu: meningkatkan pengetahuan anggota kelompok; siswa belajar untuk memecahkan
permasalahan bersama-sama; menanamkan rasa kebersamaan antara peserta didik yang satu dengan yang lainnya; meningkatkan keberanian dalam mengemukakan pendapat untuk pemecahan
bersama karena setiap peserta didik diarahkan untuk membantu teman kelompoknya yang belum paham; memupuk rasa tanggung jawab peserta didik dalam mencapai satu tujuan bersama,
sehingga dalam bekerja tidak terjadi tumpang tindih. Lih. Muhammad Surya, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004, h. 62.
belajar disini bukan hanya sekedar bekerja sama dalam sebuah kelompok tetapi lebih menekankan kepada suatu proses pembelajaran yang melibatkan
komunikasi secara utuh dan adil dalam kelas.
41
5. Model Pembelajaran Kuantum quantum learning
Model pembelajaran kuantum muncul untuk mengatasi permasalahan yang rumit di sekolah, yaitu “rasa bosan dalam belajar”. Model ini berakar
dari Lozanoz dengan eksperimennya mengenai suggestopedia. Suggestopedia berprinsip bahwa sugesti dapat mempengaruhi hasil belajar dan dalam suasana
belajar apapun memberikan sugesti positif atau negatif.
42
Ada beberapa teknik yang digunakan untuk memberikan sugesti positif seperti memberikan
kenyamanan, menggunakan musik, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan beraneka ragam gambar dengan diselipkan informasi supaya
terkesan dan menyediakan guru-guru yang terlatih dalam seni pembelajaran sugesti. Dengan ungkapan lain bahwa dalam upaya membelajarkan siswa
berbahasa dapat dilalui dengan kenyamanan, meningkatkan partisispasi individu dan menghadirkan seni. Dengan demikian, model ini menyarankan
lingkungan pembelajaran yang aman, nyaman, menyenangkan karena dalam proses belajar mengajar sambil mendengar musik, ruangan yang indah karena
terdapat beraneka warna gambar dan lain sebagainya, positif dan dilaksanakan dengan menggunakan berbagai metode pengajaran seperti metode menirukan,
permainan, simbol dan simulasi. Untuk membuktikan suasana atau lingkungan pembelajaran tersebut, guru harus mengerti kondisi peserta didik
yang mencakup kebiasaan belajar dan faktor-faktor yang menghalangi dalam proses kegiatan belajar mengajar.
41
Adi W. Gunawan, Genius Learning; Strategi Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Aktif Learning, Jakarta; Gramedia, 2006, h.198
42
Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning: Unleashing The Genius in You, terj., Bandung, Kaifa, 2003, h. 14
6. Model Pembelajaran Kontekstual contextual teaching and learning
Model pembelajaran kontekstual muncul karena hipotesa yang berkembang mengenai lulusan-lulusan sekolah yang tidak siap guna. Alumni-
alumni atau sarjana-sarjana ini bukan tidak pintar, tetapi seringkali hanya menguasai teori-teori dan tidak memiliki kemampuan praktis, sehingga saat
diterjunkan ke dunia kerja dan masyarakat, para sarjana ini tidak dapat mengaplikasikan ilmunya, kecuali dengan pengajaran-pengajaran terbaru di
lingkungan kerjanya tersebut. Hipotesa ini mendorong Elaine B. Johnson merumuskan pembelajaran CTL, dengan asumsi bahwa belajar itu akan
berjalan baik jika para peserta didik dapat menemukan makna dalam pengetahuan yang mereka peroleh dan pemerolehan pengetahuan tersebut dapat
dikaitkan dengan situasi atau lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
43
Sehingga hasil pembelajaran dihadapkan lebih bermakna untuk peserta didik. Dengan
ungkapan lain bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik bukan hanya sekedar mengetahui pengetahuan melainkan bermanfaat untuk diri sendiri
sehingga mereka merasa kecanduan untuk belajar. Artinya, pendekatan CTL adalah proses pendidikan yang membantu peserta didik untuk memahami
makna yang
terdapat dalam
materi yang
mereka pelajari
dan menghubungkannya dengan situasi keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka.
7. Model Pembelajaran Belajar Tuntas
Belajar tuntas adalah model pembelajaran yang disiapkan untuk mendukung sistem pendidikan holistik. John B. Carol memastikan bahwa
dalam model belajar tuntas, peserta didik diharapkan mampu belajar dengan baik dan mencapai hasil yang maksimal terhadap materi pelajaran dan peserta
didik ini tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan atau aktifitas
43
Elaine B. Johnson PH.D, Contextual Teaching and Learning: What it is and why it’s here to stay, terj., Bandung, Mizan Media Utama, 2007 cet. V, h. 60
berikutnya sebelum mereka mampu menyelesaikan tindakan tersebut dengan prosedur yang benar dan dapat memperoleh hasil yang baik. Teknik
pengajarannya, bisa dilakukan dengan sistem berkelompok atau individual yang terpenting, setiap siswa dianjurkan mencapai tujuan-tujuan pembelajaran
dengan baik.
44
Oleh karena itu, Pelaksanaan pembelajaran dalam model ini harus sistematis, terutama dalam mengorganisasi tujuan dan bahan pelajaran,
pelaksanaan evaluasi dan pemberian bimbingan khusus terhadap peserta didik yang tidak mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
Pengorganisasian tujuan pembelajaran untuk memudahkan menimbang ulang hasil pembelajaran dan diuraikan menjadi rencana pelaksanaan pembelajaran,
dan sebelum proses pembelajaran berlanjut ke jenjang berikutnya, peserta didik dituntut untuk menguasai kelengkapan materi atau bahan pelajaran dari
semua tujuan rencana pelaksanaan pembelajaran. Setiap proses pembelajaran itu selesai, evaluasi selalu dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
feedback. Tujuan utama dari pelaksanaan evaluasi adalah untuk memperoleh informasi dan bahasan tentang pencapaian tujuan pembelajaran dan
penguasaan materi peserta didik, sehingga mengetahui peserta didik yang hasilnya belum mencapai target supaya dilakukan bimbingan khusus dengan
harapan dapat mencapai tujuan dan penguasaan bahan secara maksimal.
45
Model belajar tuntas berasumsi peserta didik dapat belajar bersama-sama dengan memperhatikan bakat dan ketekunan masing-masing, pemberian
waktu yang memadai, dan pemberian bantuan terhadap peserta didik yang mengalami kesulitan.
46
44
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung; Rosdakarya, 1990, h. 199
45
E Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004 …, h. 53
46
Untuk peserta didik yang memiliki kemampuan belajar lambat dengan materi yang sama, diberikan tambahan waktu sehingga mereka mampu mencapai tujuan pembelajaran. Lih.
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta; Bumi Aksara, 2001, h. 132-133
Setelah memperhatikan tujuh model pembelajaran yang selama ini berkembang dan mewarnai pendidikan di dunia, kita dapat menemukan bahwa suatu
pendekatan dapat berubah menjadi teknik atau metode pada model pembelajaran selanjutnya. Dan lahirnya suatu model pembelajaran dipengaruhi oleh keberadaan
model pembelajaran lainnya. Perhatikan saja, jika pada model pembelajaran traditional, ceramah adalah pendekatan pembelajaran, pada self study, ceramah
merupakan salah satu teknik pengajaran bersama-sama dengan diskusi. Dan pada modul pembelajaran concurren learning, ceramah, diskusi dan program kerjasama
saling bersinergi dalam teknik pengajaran. Saling mengisi dengan porsi masing- masing, misalnya teknik ceramah 20 dari pertemuan, diskusi 35 dari pertemuan
dan latihan kerja sama sebanya 45 dari seluruh pertemuan. Adapun CTL, dalam prosesnya juga didukung oleh teknik-teknik dan metode-
metode tertentu. Landasan filosofis CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, tetapi
merekonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya. Pendekatan ini selaras
dengan konsep KBK dan KTSP yang sedang diberlakukan saat ini. Kehadiran KBK dan KTSP juga dilandasi oleh pemikiran bahwa berbagai kompetensi akan terbangun
secara mantap dan maksimal apabila pembelajaran dilakukan secara kontekstual, yaitu pembelajaran yang didukung situasi dalam kehidupan nyata.
Sistem CTL ini diasumsikan berhasil karena sistem ini meminta siswa untuk bertindak dengan cara yang alami bagi manusia. Cara itu sesuai dengan fungsi otak,
dengan psikologi dasar manusia, dan dengan tiga prinsip kebermaknaan. Prinsip- prinsip tersebut adalah “kesalingbergantungan interpedence, diferensiasi dan
pengaturan diri sendiri” adalah tiga prinsip yang memompa segala sesuatu yang hidup, termasuk manusia. Kesesuaian yang disampaikan melalui penelitian terbaru
menunjukkan terdapat hubungan antara satu bagian dengan bagian lainnya, keseluruhan adalah sinergi dari satu partikel dengan partikel lain dan kehidupan satu
unsur bersandar pada keberadaan unsur lain. Lebih jauh lagi, makna yang dihasilkan hubungan demi hubungan tersebut melampaui sekedar jumlah dari bagian-bagiannya.
Teori ini dikuatkan ahli fisika teoritis, Brian Swimme dan rekannya Thomas Berry, menekankan pola hubungan ini dengan teorinya “tidak ada satu benda pun berdiri
sendiri tanpa adanya yang lain”.
47
Kesesuaian antara cara kerja alam dengan manusia membantu setiap orang memahami mengapa CTL membuka jalan bagi semua siswa dalam mata pelajaran
apa pun untuk mencapai keunggulan akademik. Menurut teori psikologi modern, bahwa sesuatu menjadi bermakna jika sesuatu itu dianggap penting dan berarti bagi
diri pribadi seseorang.
48
Pencarian hidup secara psikologis menurut Viktor Frankl adalah sensibilitas makna yang diterimanya, dan menjadi motivasi utama hidupnya.
Dengan memberikan makna pada hidup, manusia “mengaktualisasikan segala hal dalam proses mencapai makna potensial mereka sendiri.
49
Untuk memahami secara lebih mendalam konsep pembelajaran kontekstual, COR Center for Occupational Research di Amerika menjabarkan lima teknik yang
digunakan untuk menjalankan pendekatan CTL yang disingkat REACT, yaitu Relating, Experiencing, Applying, Coorperating dan Transferring.
50
47
Teori ini dikuatkan juga oleh ahli Biologi Lynn Margulis bersama Dorion Sagan yang berpendapat, “bahwa segala sesuatu di bumi adalah bagian dari sebuah jejaring hubungan. Hewan-
hewan terkait satu dengan lain juga dengan lingkungan hidupnya. Tumbuh-tumbuhan menyediakan makanan dan tempat berlindung bagi hewan. Jamur dan cacing berfungsi sebagai
pendaur ulang, yang membantu mempertahankan kestabilan alam ini, sayang manusia sering kali arogan menganggap dirinya berbeda dari makhluk lain. Padahal sesungguhnya, alam ini terus
menerus berinteraksi termasuk dengan ulah manusia. Tidak ada kemandirian alam, alam adalah kesalingbergantungan; alam terbentuk dari banyak sekali pola hubungan. Jadi kata konteks
dipahami sebagai pola hubungan-hubungan di dalam lingkungan langsung seseorang. Lih. Johnson, Contextual Teaching …,terj., h. 33-34
48
Webster’s New World Dictionary of The American Language, New York, -CD-
49
Frankl, V.E, Man’s Search for Meaning, New York, Simon Schuster, 1984, h. 12
50
Lih. Masnur, KTSP …, h. 42
Relating adalah bentuk belajar dalam konteks kehidupan nyata atau pengalaman nyata. Pembelajaran harus digunakan untuk menghubungkan situasi sehari-hari
dengan informasi baru untuk dipahami atau dengan problema untuk dipecahkan. Experiencing adalah belajar dalam konteks eksplorasi, penemuan, dan penciptaan.
Ini berarti bahwa pengetahuan yang diperoleh siswa melalui pembelajaran yang mengedepankan proses berfikir kritis lewat siklus inquiry.
Applying adalah belajar dalam bentuk penerapan hasil belajar ke dalam penggunaan dan kebutuhan praktis. Dalam praktiknya, siswa menerapkan konsep
dan informasi ke dalam kebutuhan kehidupan mendatang yang dibayangkan. Cooperating adalah belajar dalam bentuk berbagi informasi dan pengalaman, saling
merespons dan saling berkomunikasi. Bentuk belajar ini tidak hanya membantu siswa belajar tentang materi, tetapi juga konsisten dengan penekanan belajar
kontekstual dalam kehidupan nyata. Dalam kehidupan yang nyata siswa akan menjadi warga yang hidup berdampingan dan berkomunikasi dengan warga lain.
Transfering adalah kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan pengetahuan dan
pengalaman belajar yang baru. Jika pada pendidikan tradisional teknik yang dilakukan ditekankan pada
penguasaan dan manipulasi isi, dimana siswa dituntut untuk menghafalkan fakta, angka, nama, tanggal, tempat dan kejadian; mempelajari mata pelajaran secara
terpisah satu sama lain; dan berlatih dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar menulis dan berhitung. Dengan asumsi, bahwa jika siswa
berkonsentrasi hanya untuk menguasai isi, mereka pasti memperoleh informasi mendasar tentang subjek yang mereka pelajari. Anggapan ini diwarisi dari ilmu
pengetahuan abad ke-18 yang juga dikenal dengan pandangan ala Newton, yang
mencatat bahwa keseluruhan sebagai tidak lebih dari jumlah bagian-bagiannya yang terpisah dan berdiri sendiri.
51
Tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa tidak ada bagian yang berdiri sendiri melainkan saling bergantung satu sama lainnya. Dan REACT pun muncul untuk
mendorong siswa menemukan makna dari hubungan-hubungan yang terjadi di alam ini. Sehingga para pendidik merasa perlu berfikir ulang tentang konsep mengajar.
Pembelajaran dan pengajaran kontekstual, sebagai sebuah system mengajar didasarkan pada fikiran bahwa makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks
memberikan makna pada isi dan semakin banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, semakin bermaknalah isinya yang akan mereka dapatkan
dari pelajaran tersebut. Mampu mengerti makna dari pengetahuan dan keterampilan akan menuntun pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan.
Dengan demikian, definisi CTL adalah sebuah sistem menyeluruh, gabungan dari beragam pendekatan. Seperti halnya biola, cello, clarinet dan alat musik lainnya
dalam sebuah orkestra yang menghasilkan bunyi berbeda-beda namun melahirkan alunan musik nan indah. Keterpaduan inilah yang nantinya akan dilakukan dalam
REACT. Namun secara umum, keterpaduan ini harus mengandung delapan komponen, dimana kedelapan komponen tersebut dicetuskan dan dikembangkan
guru. Tanpa delapan komponen ini keterpaduan ini dapat saja meleset dari tujuan utamanya. Kedelapan komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna
2. Menekankan pekerjaan yang berarti
3. Menciptakan pekerjaan yang diatur sendiri
4. Membangun bekerja sama
5. Melatih berfikir kritis dan kreatif
51
Johnson, Contextual Teaching …,terj., hal. 33
6. Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang
7. Memotivasi siswa untuk mencapai standar yang tinggi
8. Menggunakan penilaian autentik
52
B. Srategi Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
Untuk memudahkan penggunaan CTL, ada beberapa strategi dalam kegiatan pembelajaran penjabaran sebagai berikut:
1. Pembelajaran berbasis masalah
Sebelum memulai proses belajar mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena. Kemudian siswa diminta untuk
mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan
perspektif yang berbeda dengan mereka 2.
Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar Guru memberi penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan
siswa antara lain di sekolah, keluarga dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas.
Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman
52
Berdasarkan penelitian Elaine dijelaskan bahwa semua komponen system CTL sangat jelas di dalam karya-karya sekolah-sekolah baru Amerika New American High Schools, New
American High Schools ditunjuk oleh Departemen Pendidikan AS. Untuk menerima penunjukan ini, sekolah-sekolah mendaftar pada Departemen Pendidikan untuk didaftarkan sebagai institusi
inovatif yang usaha-usaha reformasinya membuat para siswa unggul. Sekolah-sekolah ini tidak menggunakan satu model. Ciri-ciri dari sekolah-sekolah ini yang dihargai karena peningkatan
kualitas pendidikannya yang pesat, adalah komponen-komponen CTL berikut: tuntutan akademik yang ketat yang mengharuskan para siswa memenuhi standar yang tinggi; mentor yang
memberikan perhatian individual kepada para siswa termasuk memperhatikan gaya belajar, bakat dan minatnya; penekanan pada pemikiran yang kritis dan kreatif; pembelajaran yang melibatkan
pembentukan hubungan dengan anggota masyarakat, pembuat kebijakan, para orang tua dan pemberi pekerjaan; pembelajaran yang diatur oleh diri sendiri menuntut pembelajaran bebas yang
menghubungkan sekolah dengan kehidupan keseharian; tugas-tugas penilaian autentik digunakan sejalan criteria yang telah ditetapkan; lih. Kutipan no. 11, bab 2, buku Elaine, Contextual
Teaching …, h. 311
langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan
standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran. 3.
Memberikan Aktivitas Berkelompok Aktivitas belajar secara berkelompok dapat memperluas perspektif serta
membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima, maupun delapan siswa sesuai
dengan tingkat kesulitan penugasan. 4.
Membuat Aktivitas Belajar Mandiri Peserta didik mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan
sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Agar dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan
strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji coba terlebih
dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara
mandiri independent learning 5.
Membuat Aktivitas Belajar Bekerja Sama Dengan Masyarakat Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki
keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung, di mana siswa dapat
termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan
pengalaman kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.
6. Menerapkan Penilaian Autentik
Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang tengah diperoleh pada
situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson, penilaian autentik memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah
mereka pelajari selama proses belajar mengajar. Adapun bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru, yaitu portofolio
53
, tugas kelompok
54
, demonstrasi
55
dan laporan tertulis dapat berbentuk uraian –essay- singkat, brosur dan lainnya. Agar pembelajaran kontekstual ini berhasil dengan baik dan menghasilkan
kualitas yang tepat, John A. Zahorik menyarankan terpenuhinya lima elemen dalam praktik pembelajaran kontekstual, lima elemen tersebut adalah: activating knowledge
atau pengaktifan pengetahuan yang sudah ada; acquiring knowledge atau pemerolehan pengetahuan baru dengan cara mempelajari keseluruhan dulu, kemudian
memperhatikan detailnya; pemahaman pengetahuan atau understanding knowledge dengan cara menyusun hipotesis, melakukan sharing dengan orang lain agar
53
Istilah portofolio dalam bahasa Inggris berarti kotak datar yang bisaanya terbuat dari kulit untuk membawa kertas, dokumen, atau gambar-gambar lepas; perangkat investasi yang
dimiliki seseorang, bank atau sejenisnya; posisi atau tugas kementrian negara. Dalam dunia pendidikan, portofolio diberikan pengertian sebagai kumpulan karya siswa yang dihimpun secara
sistematis. Sedangkan Surapranata dan Hatta memberikan definisi mengenai portofolio lebih rinci, yaitu penilaian portofolio merupakan penilaian terhadap sekumpulan karya peserta didik yang
tersusun secara sistematis dan terorganisasi yang diambil selama proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu, digunakan guru dan peserta didik untuk memantau perkembangan
pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik dalam mata pelajaran tertentu. lih. W. Jhames Popham, Classroom Assesment; What Teacher Need to Know Mass;AllynBacon, 1995, h. 163;
Sumarna Surapranata dan Muhammad Hatta, Penilaian Portofolio; Implementasi Kurikulum 2004, Bandung; Remaja Rosdakarya, 2004, h. 21
54
Tugas kelompok dalam pendekatan CTL berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini dilakukan agar terlihat perbedaan peserta didik dalam gaya belajar, minat dan bakat dari masing-
masing individu. Lih. Masnur Muslich, KTSP …, h. 51
55
Sedang penilaian yang berbentuk demonstrasi, meminta peserta didik untuk mendemonstrasikan hasil tugasnya kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah diraih. Dari
pendemonstrasian tersebut, penonton -peserta didik yang lain ataupun guru- yang melihat dan menyaksikan pendemonstrasian tersebut dapat memberikan evaluasi atau penilaian kepada peserta
didik. Lih. Masnur Muslich, KTSP…, h. 52
mendapat tanggapan dan atas dasar tanggapan itu konsep tersebut direvisi dan dikembangkan; mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman atau applying
knowledge; dan melakukan refleksi atau reflecting knowledge terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
C. Faktor-faktor Penerapan CTL dalam Proses Pembelajaran
Penerapan pendekatan CTL dalam pembelajaran bahasa Arab dinyatakan berhasil atau tidak ditentukan beberapa faktor, baik dari faktor intern maupun
faktor ekstern, linguistik maupun non-linguistik, dan edukatif maupun non- edukatif. Faktor-faktor tersebut antara lain sebagai berikut:
56
1. Tenaga pendidik atau guru
Faktor utama dalam penerapan pendekatan CTL adalah faktor guru, yakni cara berfikir, wawasan dan kompetensi guru dalam kajian bahasa Arab
sangat mempengaruhi dalam proses kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu, dalam pendekatan CTL, sebelum melakukan proses pembelajaran, seorang
guru terlebih dahulu mengamati kebutuhan peserta didik di lingkungan sosialnya sehingga dalam materi yang akan disampaikan ada keterkaitan
dengan peserta didik butuhkan, maka ia akan merasakan betapa pentingnya belajar. Selain dari ketiga tersebut cara berfikir, wawasan dan kompetensi,
seorang guru bahasa Arab juga harus profesional dan memiliki dedikasi, etos kerja serta etos keilmuannya dalam mengembangkan pembelajaran bahasa
Arab. Guru bahasa Arab yang professional selalu senantiasa memikirkan kebutuhan peserta didik, yaitu mencocokkan materi yang akan disampaikan
56
Lih. Muhbib abdul Wahhab, Aplikasi Model Contextual and Creative Teaching and Learning CCTL dalam Pembelajaran Bahasa Arab; Sebuah Gagasan Awal, Makalah Seminar
Nasional, Model Pengembangan Pembelajaran Bahasa Arab di Lembaga Pendidikan Islam, UIN Jakarta; PBA-FITK, 24 Mei 2007, h. 27
dengan menggunakan metode dan media yang sesuai dan desain pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan dengan menggunakan pendekatan CTL.
2. Peserta didik atau siswa
Faktor yang terdapat dalam peserta didik adalah setiap peserta didik memiliki karakteristik yang berbeda-beda baik dari sisi keluarga, intelegensi,
minat, motivasi, kebutuhan dalam belajar bahasa Arab. Faktor yang sangat dominan adalah rasa butuh, minat dan motivasi peserta didik dalam belajar
bahasa Arab, karena ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi dalam proses pembelajaran. Jika peserta didik tidak memiliki minat, rasa butuh dan
motivasi dalam belajar bahasa Arab, maka sebaik apapun guru dalam mengelola kelas, pada dasarnya tujuan pembelajaran tidak akan tercapai.
3. Lembaga Pendidikan
Keberadaan seseorang di lembaga pendidikan pasti akan mengalami perubahan dan perkembangan menurut warna dan corak dari sebuah institusi.
Maka dari itu, sebuah lembaga pendidikan harus mempunyai visi, misi, tujuan yang jelas untuk merubah dan mengembangkan potensi seseorang secara umum
dan secara khusus dalam mengembangkan dan memajukan pembelajaran bahasa Arab. Sebuah lembaga harus memiliki kurikulum, media, fasilitas sarana dan
prasarana untuk menunjang atau membantu proses pembelajaran bahasa Arab. Karena apabila kesemuanya itu ada, maka kemungkinan besar upaya
membelajarkan siswa berbahasa Arab akan tercapai dan dalam mengelola kelas guru merasa mendapat dukungan dari lembaga pendidikan itu.
Dilihat dari perkembangan teknologi saat ini, peserta didik di zaman yang serba canggih selalu berkeinginan memasuki sekolah atau madrasah
yang bergengsi, yang sekolahnya memiliki visi, misi dan tujuan yang berkelas yakni mempunyai keterampilan dan kecakapan yang berguna setelah mereka
lulus nantinya, diantaranya keterampilan dan kecakapan berbahasa asing khususnya kecakapan dan keterampilan berbahasa Arab. Dari pernyataan itu,
bahwa masyarakat termasuk peserta didik selektif dalam memilih sekolah. 4.
Lingkungan Lingkungan
57
juga merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung
berhasil tidaknya
penerapan pendekatan
CTL dalam
membelajarkan siswa berbahasa Arab. Lingkungan yang dimaksud dalam faktor penerapan CTL adalah lingkungan yang tidak hanya sekedar
terciptanya suasana lingkungan eksternal peserta didik untuk belajar. Melainkan, terwujudnya sebuah tradisi masyarakat umum, keluarga
masyarakat pada lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan peserta didik itu sendiri untuk melakukan tugas-tugas belajar dan pembelajaran. Dengan
singkat dapat dinyatakan bahwa peserta adalah sebagai manusia pembelajar. Menciptakan lingkungan belajar di Indonesia sangatlah ribet, karena
untuk menunjukkan sikap belajar dimanapun seseorang merasa malu. Ditambah dengan mempraktekkan bahasa Arab yang mayoritas masyarakat
Indonesia kurang memperhatikan peningkatan mutu pembelajaran bahasa Arab, dibandingkan dalam peningkatan mutu bahasa Inggris.
5. Politik
Politik juga merupakan hambatan dalam penerapan pendekatan CTL, yaitu bahwa dukungan dari lembaga pemerintah, baik dukungan moril maupun
materi dalam pengembangan pembelajaran bahasa Arab dapat membantu terlaksananya tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Dengan dukungan
tersebut, peserta didik diupayakan untuk melibatkan diri dalam proses
57
Lingkungan adalah keberadaan peserta didik di berbagai tempat, yang berupa lingkungan dengar, pandang, lingkungan dengar-pandang, pergaulan di madrasahsekolah, suasana
kelas, lingkungan sosial dan lain sebagainya.
pembelajaran karena mereka merasa butuh untuk belajar bahasa Arab dengan alasan bahwa pemerintah juga mendorong untuk dapat menguasai bahasa asing.
Politik dan pendidikan
58
termasuk didalamnya pembelajaran merupakan dua komponen penting dalam unsur sosial politik di setiap Negara,
baik Negara maju maupun Negara yang berkembang. Meskipun antara pendidikan dan politik terlihat dua hal yang terpisah-pisah, namun merupakan
proses pembentukan karakteristik masyarakat di sebuah Negara dan keduanya saling menunjang dan saling mengisi satu sama lain. Padahal keduanya
terdapat hubungan yang erat dan dinamis. Hubungan tersebut telah terlihat sejak pertama kali peradaban manusia berkembang dan menjadi perhatian
para ilmuan. 6.
Linguistik Hambatan dalam penerapan pendekatan CTL selanjutnya adalah faktor
linguistik yakni, bahwa penelitian bahasa dan sastra di Indonesia sangat sedikit dikarenakan orang yang memiliki bahasa Arab seperti Negara timur
tengah lebih mendominasi dalam pembangunan masjid, pesantren dan yang berkaitan dengan keagamaan, dengan melupakan sumber daya manusia.
Sebenarnya dengan memperhatikan sumber daya manusia –dalam hal ini penelitian bahasa Arab- akan merasa diperlukan karena bahasa akan selalu
berkembang dengan mengikuti perkembangan zaman. 7.
Sosial dan Budaya Dalam pembelajaran bahasa asing khususnya bahasa Arab, faktor
sosial dan budaya juga termasuk hambatan karena sosial budaya Indonesia berbeda dengan sosial dan budaya yang terdapat di Negara timur tengah.
58
M. Sirazi, Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan; Politik Pendidikan, Jakarta; Raja Grafindo Persada, h. 1
Negara selain Negara Indonesia masyarakatnya mempunyai kedisiplinan dalam belajar, waktu, beribadah dan berkarya. Oleh karena itu, ketika ada
pendekatan baru yang peserta didiknya harus aktif sangat mudah diterapkan, karena mereka peserta didik mempunyai keinginan untuk belajar dan
merasakan haus akan ilmu. Berbeda dengan peserta didik masyarakat Indonesia yang lebih senang apabila dalam proses belajar mengajar hanya
mendengar, dapat nilai bagus tanpa memikirkan apa yang akan diperoleh dan dapat bermanfaat di lingkungan sekitar dan dalam dunia kerja. Oleh karena,
dalam upaya membelajarkan siswa berbahasa Arab di Indonesia kurang ada perhatian yang lebih untuk mengembangkannya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa CTL merupakan salah satu model pembelajaran yang dalam kegiatan belajar mengajar dapat mengaktifkan peserta didik
di kelas sehingga peserta didik tidak merasa bosan dan dapat memahami materi yang disampaikan guru karena mereka merasakan pentingnya belajar meskipun dalam
proses pembelajaran terdapat hambatan-hambatan yang dihadapinya.
BAB III PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DI MADRASAH