PENGARUH PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA KONSEP ZAT DAN WUJUDNYA TERINTEGRASI NILAI KEAGAMAAN (Eksperimen di MTs Al-Khairiyah,Citeureup-Bogor)

(1)

(Eksperimen di MTs Al-Khairiyah,Citeureup-Bogor) Skripsi

Oleh :

SITI NUR’AINI HANDAYANI NIM. 104016300484

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2010


(2)

Pembangunan dalam berbagai sektor pada era globalisasi seperti sekarang sangat penting untuk menunjang kemajuan suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang ada pada suatu bangsa tersebut. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa tidak terlepas dari peranan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas diperoleh melalui pendidikan. Karena pendidikan merupakan kebutuhan dasar mendapatkan hak untuk pendidikan dan pengajaran sesuai dengan kesanggupannya. Pendidikan dalam tingkat dan lingkup manapun pada wujud nyata adalah belajar.

Berdasarkan informasi yang didapatkan, bahwa hampir setiap proses pembelajaran berlangsung di kelas VII yang menjadi sampel penelitian masih bersifat konvensional, maka guru yang menjadi pusat pembelajaran. Dan dilihat dari nilai rata-rata siswa pada konsep wujud zat masih dibawah kriteria ketuntasan minimal (KKM), yaitu 66. Sementara nilai KKM yang ditentukan adalah 70. Sehingga peneliti memiliki keinginan untuk menciptakan proses pembelajaran yang lebih efektif dengan mencoba menggunakan suatu pendekatan melalui salah satu model pembelajaran, sehingga diharapkan siswalah yang menjadi pusat pembelajaran, yang disebut dengan student center, dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Pada proses pembelajaran, guru mengharapkan tercapainya tujuan pembelajaran secara maksimal, dan tujuan tersebut tidak tercapai selama komponen-komponen lainnya tidak ada, antara lain strategi atau pendekatan pembelajaran.

Strategi pembelajaran adalah salah satu alat untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan, oleh karena itu seorang guru


(3)

harus mampu melakukannya untuk menunjang kegiatan pembelajaran, sehingga dapat dijadikan alat yang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Dengan demikian, seorang guru menerapkan sebuah strategi pengajaran dengan suatu pendekatan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk berperan aktif dan menggali potensi yang ada pada dirinya sendiri, sehingga siswa mampu mengembangkan keterampilan tertentu seperti keterampilan; menyelesaikan masalah, keterampilan mengambil keputusan, menganalisis data, berpikir secara logis dan sistematis.

Pendekatan pembelajaran yang mengajak siswa untuk terlibat secara nyata dalam pembelajaran adalah CTL salah satu model pembelajarannya berbasis inkuiri.

Karakteristik sains yang bersifat fisik, empiris, observable, eksperimental, dan terukur telah melahirkan sains yang mendistorsi nilai dan berwatak sekuler-materialistik. Pandangan positivisme telah mengukuhkan watak sains yang bertolak belakang dengan keyakinan agama. Seperti Laplace, Darwin, Freud, Dhurkheim, dan lain-lain ke dalam ateisme.1

Islam membangun akidah tauhid yang murni dengan cara memaparkan bukti dan fakta alam raya, jauh dari ilusi-ilusi filsafat konvensional anti-Tuhan yang justru menutup cahaya ilmu dan keimanan.2 Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis memberikan pandangan komprehensif dan metode terpadu, yang tidak memisahkan antara alam fisika dan alam metafisika, atau antara ilmu yang bersifat parsial dan tujuan ilmu itu sendiri yang bersifat universal.

Oleh karena itu, melalui integrasi antara sains dan al-Qur’an diharapkan siswa lebih memahami gejala-gejala alam secara konstruktivistik. Pada konsep zat dan wujudnya terdapat nilai yang ada relevansinya dengan nilai

1

Kusmana, et.al, Integrasi Keilmuan ….,Jakarta : PPJM dan UIN Jakarta Press, 2006, h. 79

2

Prof. Dr. Ahmad Fuad Pasya, Dimensi Sains Al-Qur’an …., Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004


(4)

keagamaan, artinya selain belajar konsep perubahan sifat-sifat suatu materi wujud zat siswa juga mengenal sifat-sifat wajib bagi Allah SWT.

Dalam prosesnya, peneliti menggunakan model pembelajaran berbasis inkuiri pada pembelajaran konsep zat dan wujudnya yang diintegrasikan dengan nilai keagamaan. Hal ini bertujuan untuk siswa dapat belajar dengan aktif, konstruktivistik dan menyenangkan.

Melalui kegiatan pembelajaran CTL dengan pembelajaran berbasis inkuiri (Inquiry Based Learning) siswa aktif dikelas juga mampu berpikir rasional dan membuat konsep zat dan wujudnya yang terintegrasi nilai keagamaan (religius).

B. Identifikasi Masalah

Dengan melihat masalah sebelumnya dapat diidentifikasi masalah-masalah ini sebagai berikut:

1. Proses Pembelajaran yang ada belum efektif karena masih bersifat konvensional.

2. Menerapkan strategi pengajaran melalui pendekatan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk berperan lebih aktif.

3. Belajar konsep wujud zat sebelumnya bersifat konvensional, guru sering menggunakan metode ceramah dan belum terintegrasi nilai keagamaan.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian dibatasi pada :

1. Proses pembelajaran kontekstual (CTL) pada konsep zat dan wujudnya terintegrasi nilai keagamaan terhadap hasil belajar siswa.

2. Hasil belajar siswa dibatasi aspek kognitif yang diambil dari siswa yang diberikan model pembelajaran berbasis inkuiri.

3. Pada prosesnya pendekatan CTL yang digunakan adalah model pembelajaran berbasis inkuiri.


(5)

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah pada penelitian ini dirumuskan:”Bagaimana pengaruh pendekatan Contextual Teaching and

Lerning (CTL) dengan model pembelajaran berbasis inkuiri pada konsep zat

dan wujudnya yang terintegrasi nilai keagamaan terhadap hasil belajar.”?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaruh dari pendekatan CTL dengan menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri (Inquiry Based Learning) pada konsep zat dan wujudnya terintegrasi nilai keagamaan

2. Untuk mengetahui hasil belajar siswa pada konsep zat dan wujudnya terintegrasi nilai keagamaan melalui pendekatan CTL dengan menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri (Inquiry Based Learning).

F. Manfaat Penelitian

Peneliti mengharapkan dari penelitian, masalah ini bisa memberikan beberapa manfaat diantaranya :

1. Bagi instansi, memberikan informasi tentang pendekatan pembelajaran kontekstual dengan menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri (Inquiry

Based Learning) terhadap hasil belajar siswa pada konsep zat dan

wujudnya terintegrasi nilai keagamaan.

2. guru, dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pembelajaran agar dapat tercipta suasana pembelajaran yang efektif dan efisien.

3. siswa, dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam mata pelajaran fisika, pada pokok bahasan zat dan wujudnya.


(6)

A. Kajian Teori

1. Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) a. Landasan Filosofis CTL

CTL banyak dipengaruhi oleh filasafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran epistimologi Giambatista Vico (Suparno, 1997). Vico mengungkapkan: “Tuhan adalah menciptakan alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaannya.” Mengetahui, menurut Pico, berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Artinnya, seseorang dikatakan menegtahui manakala ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Oleh karena itu menurut Vico, pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari subjek yang mengamati. Selanjutnya, pandangan filsafat konstruktivisme tentang hakikat pengetahuan memengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekadar menghafal, tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru, tetapi proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari pemberitahun tidak akan menjadi pengetahuan yang makna. Bagaimana proses mengkonstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh setiap subjek?

Piaget berpendapat, bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan ‘skema”. Skema terbentuk karena pengalaman. Pandangan Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognitif anak, sangat berpengaruh terhadap beberapa model pembelajaran, diantaranya model


(7)

pembelajaran kontekstual. Menurut pembelajaran kontekstual, penegetahuan itu akan bermakna manakala ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa. Pegetahuan yang diperoleh dari hasil pemberitahuan orang lain, tidak akan menjadi penengetahuan yang bermakna. Pengetahuan yang demikian akan mudah dilupakan dan tidak fungsional.1

b. Pengertian CTL

CTL adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah.2 Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli, disini ditampilkan lima pengertian yang berasal dari beberapa sumber yang berbeda.

Pertama, Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan suatu

proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari sehingga siswa mmiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan ( ditransfer ) dari satu permasalahan ke permasalahan lain.3

Kedua, Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu

strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.4

1

Dr. Wina Sanjaya, M.Pd., Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses…, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 257

2

Elaine B. Johnson, PH.D., Contextual Teaching & Learning: Menjadikan kegiatan belajar-mengajar….., Bandung: Mizan Learning Center (MLC), 2007, h. 65

3

http://mariman-guruku.blogspot.com/2008/12/contextual-teaching-and-learning-ctl.html

4


(8)

Ketiga, Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan anatara meteri yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.5

Keempat, Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan

konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.6 Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa., sehingga strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.

Kelima, Finger dalam Suryobroto (77) mengungkapkan metode

mengajar lingkungan hidup di mana guru membawa anak-anak keluar kelas untuk mengamati menyelidiki dan mempelajari hal-hal yang diajarkan.7 Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.. Melalui proses penerapan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipejarinya.8

Dari beberapa pengertian, dapat disimpulkan bahwa CTL dapat dikatakan sebagai sebuah strategi pembelajaran yang menunjukan kondisi alamiah dari pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan diluar kelas,

5

http://dahli-ahmad.blogspot.com/2009/01/peran-pembelajaran-ctl-dalam.html. 6

http://fisikamobile.multiply.com/journal/item/3. 7

Paul Suparno, Metodologi Pembelajaran Fisika; Konstruktivistik & Menyenangkan, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2007, h.120

8


(9)

bagi siswa dalam membangun pengetahuan dan mengkonstruksi pemahamannya berdasarkan pengalamannya yang akan mereka terapkan dalam kehidupannya. CTL menyajikan suatu konsep yang mengaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks dimana materi tersebut digunakan, serta berhubungan dengan bagaimana cara belajar siswa.

Materi belajar akan semakin berarti jika siswa mempelajari materi pelajaran yang disajikan melalui konteks kehidupan mereka, dan menemukan arti di dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran akan menjadi lebih berarti dan menyenangkan. Siswa akan belajar keras untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan selanjutnya siswa akan memanfaatkan kembali pemahaman pengetahuan dan kemampuannya itu dalam konteks di luar sekolah untuk menyelesaikan permasalahan dunia nyata, baik secara mandiri maupun secara kelompok.

c. Asas-asas CTL

CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas-asas ini melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL, diantaranya yaitu:9

1. Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pentingalaman.

2. Menemukan (Inquiry)

Inkuiri artinya, proses pemebelajaran sidasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:

a. Merumuskan masalah b. Mengajukan hipotesis c. Mengumpulkan data

9


(10)

d. Menguji hipotesis e. Membuat kesimpulan

3. Bertanya (Questioning)

Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk:

a. Menggali informasi tentang kemampuan siswa untuk belajar b. Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar.

c. Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu. d. Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan.

e. Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Dalam kelas CTL, penerapan asas masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya. Biarkan dalam kelompoknya mereka saling membelajarkan; yang cepat belajar didorong untuk membantu yang lambat belajar, yang memiliki kemampuan tertentu didorong untuk menularkannya pada yang lain.

5. Pemodelan (Modeling)

Proses modeling tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan.

Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL,

sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.

6. Refleksi (Reflection)

Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa


(11)

untuk “merenung’ atau mengingat kembali apa ayang telah dipelajarinya, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman belajarnya.

Konsep pengetahuan baru siswa juga akan lebih bermakna jika seorang guru memperhatikan berbagai jenis kecerdasan yang dimiliki siswa, yaitu setiap orang memiliki kesemua kecerdasan tersebut. Walau bagaimanapun, tahapan dan kombinasi kecerdasan yang berbeda-beda diantara individu. Dari berbagai jenis kecerdasan tersebut tidak hanya memberi informasi tentang apa yang dipelajari, tetapi lebihpenting lagi bagaimana mempelajarinya. Justru CTL dapat membangkitkan potensi kecerdasan siswa dan pembelajaran akan lebih berkesan.

Dalam CTL, berbagai gaya pembelajaran dapat diterapkan, yaitu:10 1. Pembelajaran secara konkrit seperti mengalami dan melakukan

percobaan, merasakan dan melihatnya.

2. Pembelajaran abstrak, yaitu: dengan melihat konsep yang dipelajarinya, siswa memikirkan informasi yang mereka terima ketika pembelajaran.

Dalam penerapan CTL juga diperlukan berbagai macam pasilitas, diantaranya: berbagai lingkungan, daftar pelajaran, peraturan fisik dikelas, dan anggaran.11

d. Langkah-langkah Pembelajaran CTL

Dalam CTL, guru berperan dalam memilih, menciptakan, dan menyelenggarakan pembelajaran yang menggabungkan seberapa banyak bentuk pengalaman siswa termasuk aspek social, fisikal, dan psikologikal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Dalam lingkungan sekitar, siswa menemukan hubungan yang bermakna antara ide abstrak dan aplikasi pratikal dalam konteks nyata. Siswa akan memproses

10

Pusat Perkembangan Kurikulum Kementrian Pendidikan Malaysia, Pembelajaran Secara Kontekstual, [oneline], http:// myschoolnet.ppk.kpm.my/bhn /modul/kontekstual.pdf. h. 20

11

Betty P. Smith, Implementasi CTL: Case Study of Cindy a High School Family and Consumer Science Novice Teacher, (Universitas of Georgia: 2003), [online] http://www.coe.uga.edu/ctl/casestudy/BSmith.pdf, h. 15


(12)

informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal dengan kerangka berpikir yang dimilikinya (ingatan, pengalaman, dan tanggapan).

Dalam pelaksanaan kegiatan CTL di kelas, guru harus memperhatikan langkah-langkah pembelajaran seperti di bawah ini.12

1. Guru memotivasi siswa

Sebelum proses pembelajaran dimulai guru memberikan stimulus dengan memberikan pertanyaan mengenai materi yang dibahas atau yang dipelajari.

2. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

Siswa diajak untuk mempelajari sebuah materi ajar yang sesuai dengan standar kompetensi. Dalam hal ini bahwa siswa harus mampu menyelidiki sifat-sifat zat berdasarkan wujudnya dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

3. Guru membagi kelompok

Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa. Tiap siswa ditugaskan untuk melakukan observasi. Melalui observasi siswa ditugaskan untuk mencatat berbagai hal yang ditemukan di perpustakaan.

4. Melakukan percobaan

Untuk memperoleh pembelajaran yang bermakna, siswa diharapkan mampu dan mengetahui penerapannya pada proses yang sebenarnya yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

5. Diskusi kelompok

Setiap kelompok mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan pembagian tugas masing-masing.

6. Hasil diskusi dipresentasikan

Di dalam kelas semua siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Kemudian siswa melaporkan hasil diskusi.

12


(13)

7. Guru menerangkan konsep

Guru membantu menyampaikan materi sekitar masalah yang dipelajari yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi oleh siswa.

8. Menyimpulkan

Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil observasi sekitar hasil eksperimen yang dilakukan siswa sesuai dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai.

9. Penugasan

Guru menugaskan siswa untuk membuat laporan dari hasil diskusi dan eksperimen yang merupakan hasil pengalaman dari proses pembelajaran berlangsung.

Agar proses instruksional dapat dianggap sebagai CTL, guru harus memperhatikan factor-faktor berikut ketika menggunakan pendekatan CTL. Konsep ini berdasarkan pada bagaimana siswa belajar, oleh Karena itu guru harus; 13

1. Merencanakan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan para siswa. Hubungan antara isi kurikulum dan metode yang digunakan untuk mengajar para siswa harus didasarkan pada tingkatan tertentu, perkembangan social, emosional, dan intelektual siswa. Dengan demikian yang harus menjadi pertimbangan adalah unsure para siswa, karakteristik individual, lingkungan social dan budaya mereka.

2. Membentuk kelompok yang saling tergantung. Melalui kelompok yang kecil, siswa belajar dari yang lain dan belajar bekerjasama, perputaran kualitas, dan bentuk-bentuk kerjasama lainnya yang diperlukan orang dewasa di tempat kerja dan dalam konteks yang lain dimana siswa diharapkan untuk berperan aktif.

3. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (diatur sendiri). Para siswa harus memahami kekuatan dan kelemahan

13

Robert G. Bern and Patricia M. Erickson, CTL The Higlightzone: Research @ Work No. 5 [online],

http://www.neete.org/publications/infosynthesis/highlightzone/highlight05/highlight05-CTL.pdf. h.4-5


(14)

mereka, untuk menetapkan target yang dicapai, dan untuk mengembangka strategi untuk mencapai target mereka. Ketika mereka mempelajari keterampilan ini mereka akan memperoleh kepercayaan diri dan kompetisi. Melalui guru juga menciptakan lingkungan dimana siswa merefleksikan bagaimana mereka belajar, bagaimana mereka mengatasi pekerjaan sekolah, bagaimana mereka mengatasi kesulitan mereka, dan bagaimana mereka dapat bekerja secara harmonis dengan yang lain. Dengan pendekatan CTL yang membutuhkan kerja kelompok., para siswa harus mampu memberikan kontribusi sehingga kelompok mereka sukses.

4. Mempertimbangkan perbedaan para siswa. Para guru harus mengajar berbagai siswa. Pertimbangan termasuk latar belakang suku dan ras siswa, status social, ekonomi mereka, dan berbagai ketidak mampuan yang mereka miliki.

5. Memperhatikan multi-intelgensi siswa. Dalam menggunakan pendekatan CTL, maka cara siswa berpartisipasi di dalam keas harus memperhatikan kebutuhan delapan orientasi pembelajaran. Delapan orientasi pembelajaran yang melibatkan factor-faktor seperti bahasa, pendengaran atau penglihatan, musik, bilangan, visualisasi, gerakan manusia, sosialisasi, dan kepemimpinan.

6. Menggunakan teknik pertanyaan yang meningkatkan pembelajaran siswa dan perkembangan pemecahan masalah dan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Agar CTL mencapai tujuannya harus digunakan jenis dan tingkat pertanyaan yang sesuai. Pertanyaan-pertanyaan harus disiapkan untuk menghasilkan tingkat berpikir, respon, dan tindakan yang diharapkan dari siswa.

7. Menerapkan penilaian yang sebenarnya. Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang dapat memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Penilaian sebenarnya mengevaluasi aplikasi penegatahuan siswa dan pemikiran yang kompleks daripada menghafal daya ingat akan informasi faktual.


(15)

Scott G. Paris meninjau 12 prinsip pembelajaran mandiri dalam empat kategori umum yang dapat digunakan oleh para guru di dalam kelas, yaitu: kategori menilai diri sendiri, kategori mengatur diri sendiri, menolong siswa, memperoleh pemahaman, dan membentuk identitas siswa sebagai pelajar.14

e. Strategi yang Berasosiasi dengan CTL

Startegi pengajaran yang berasosiasi dengan CTL diperlukan dalam proses belajar mengajar dikelas agar pembelajaran berlangsung lebih terarah dan baik. Dibawah ini merupakan beberapa strategi pengajaran yang berasosiasi dengan CTL dan pelaksanaannya di lapangan dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya. Strategi tersebut adalah:15

1) Cara Belajar Siswa Aktif 2) Pendekatan Proses

3) Life Skill Education (Pendidikan Kecakapan Hidup) 4) Authentic Instruction

5) Inquiry-Based Learning

6) Cooperatif Learning

7) Service Learning

CTL mengarahkan para guru untuk menggunakan beraneka ragam strategi pembelajaran, yaitu: kegiatan keterampilan, pengetahuan, bekerjasama, pengetahuan dasar masalah dan penelitian, penerapan kehidupan nyata, penilaian sebenarnya dan penggabungan teknologi.16

Para guru di dunia pendidikan, sains telah memperjuangkan beberapa cara untuk mengkontekskan materi. Mereka telah menggunakan aktivitas keterampilan, permainan, simulasi, eksperimen, dan menghubungkan

14

Scott G. Paris dan Peter Wiegrad, The Role Self-Regulated Learning in Contextual Teaching: Priciples and Practices for Teacher Preparation, [online], http;//www.ciera.org/library/archive/2001-04/0104 parwin.htm. h.5

15

Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Pendekatan Kontekstual(Contextual Teaching and Learning/CTL), 2003, h. 6

16

Richard L. Lynch and Dorothy Harnsh, 2003, Implementasi CTL by Novice Teachers, [online], http://www.coe.uga.edu/ctl/casestudy/Final.pdf, h.28


(16)

dengan kehidupan nyata (seperti tes darah, masalah control statistik, menggambar kebun), di laboratorium sekolah dan teknologi. Para guru lebih menggunakan strategi dasar disekolah (seperti pemecahan masalah penemuan, penilaian portofolio) dan ini sudah banyak terkenal pada mata pelajaran pilihan, aan tetapi mereka lebih mempercayakan kuliah, membuat catatan, menguji fakta dan isi buku, dan instruksi guru.

Beberapa strategi lain yang dapat diterapkan dalam CTL, diantaranya:17

1. Menghubungkan kepada keterkaitan siswa 2. Membawa IPA ke dalam kerikulum

3. Memerankan pekerjaan sains ke dalam bntuk simulasi. 4. Menggunakan penilaian alternatif

f. Perbedaan CTL dengan Pembelajaran Konvensional

Dibawah ini dijelaskan secara singkat perbedaan kedua model tersebut dilihat dari konteks tertentu.

1) CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran. Sedangkan, dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.

2) Dalam pembelajaran CTL, siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima dan memberi. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional siswa lebih banyak belajar secara individual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran.

3) Dalam CTL, pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil; sedangkan dalam pembeljaran konvensional, pembelajaran bersifatteoritis dan abstrak.

17

Deborah J. Tippins, Implementasi CTL: Casr Study of Julia a middle School Science Novice Tescher, (Universitas Georgia: 2003), [online],


(17)

4) Dalam CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman; sedangkan dalam pembelajaran konvensional kemampuan dperoleh melalui latihan-latihan.

5) Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri; sedangkan dalam pembeajaran konvensional, tujuan akhir adalah nilai dan angka.

6) Dalam CTL tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri; sedangkan dalam pembelajaran konvensional, tindakan atau prilaku individu didasarkan oleh factor dari luardirinya, misalnya individu tidakmelakukan sesuatu disebabkan takut hukuman atau sekadar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru.

7) Dalam CTL pengetahuan yang dimilii setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, oleh sebab itu terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran konvensional hal ini tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat absolute dan final, oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain.

8) Dalam pembelajarn CTL, siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing; sedagkan dalam pembelajaran konvensional guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.

9) Dalam pembelajaran CTL, pembelajaran biasa terjadi di mana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan; sedangkan dalam pembelajaran konvensional hanya terjadi di dalam kelas.

10) Oleh karena tujjuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek erkembangan siswa, maka dalam CTL keberhasilan pembelajaran diukur dengan cara misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan lain


(18)

sebagainya; sedangkan dalam pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran biasanya hanya diukur dengan tes. 18

2. Pembelajaran Berbasis Inkuiri

Inkuiri berasal dari bahasa inggris inquiry yang dapat diartikan sebagai proses bertanya dan mencari tahu jawaban terhadap pertanyaan ilmiah yang diajukan. Pertanyaan ilmiah ini adalah pertanyaan yang dapat mengarahkan pada kegiatan penyelidikan terhadap objek pertanyaan. Dengan kata lain, inkuiri adalah suatu proses untuk memperoleh dan mendapatkan informasi dengan melakukan observasi atau eksperimen untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah terhadap pertanyaan atau rumus masalah dengan menunjukkan kemampuan berpikir kritis.19

Pembelajaran dengan penemuan (inquiry) merupakan satu pilar penting alam pendekatan konstruktivistik yang memiliki sejarah panjang dalam inovasi atau pembaharuan pendidikan. Burner (1966), penganjur pembelajaran dengan basis inkuiri, menyatakan idenya sebagai berikut : ” Kita mengajarkan suatu bahan kajian tidak untuk menghasilkan perpustakaan hidup tentang bahan kajian, tetapi lebih ditujukan untuk membuat siswa berpikir … untuk diri mereka sendiri, meneladani seperti apa yang dilakukan oleh seorang sejarawan, mereka turut mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan. Mengetahui adalah suatu proses bukan suatu produk” (Nurhadi & Wikandari, 2000:10) 20. Dengan demikian belajar dengan penemuan dapat diterapkan dalam banyak mata pelajaran

Menurut Dettrick (Rustaman et al. 2003) melakukan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri berarti membelajarkan siswa untuk mengendalikan situasi yang dihadapi ketika berhubungan dengan dunia nyata, yaitu dengan

18

Wina Sanjaya M.Pd., op. cit., h. 261-262 19

Muslimin Ibrahim, Inkuiri, Diakses dari http://www.puspa-Unindra6.Blogspot.com/2008_03_01 archive.html.2008

20

Nurhadi, Kurikulum 2004 (Pertanyaan dan Jawaban), Jakarta:Grasindo, 2004, h. 122-123


(19)

menggunakan teknik yang digunakan oleh para ahli penelitian.21 seperti dalam merumuskan masalah, mengajukan pertanyaan, menentukan langkah-langkah penelitian, membuat ramalan, dan menjelaskan hasil penelitian

Sementara ini menurut Sund dan Trowbridge (1973), model pembelajaran inkuiri adalah mempersiapkan situasi dan kondisi bagi anak untuk melakukan eksperimen sendiri untuk melihat apa yang terjadi, ingin menggunnakan simbol-simbol dan mencari jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan yang satu dengan yang lain, membandingkan apa yang ditemukan dengan apa yang ditemukan orang lain.22

Menurut Sund pengajaran dengan inkuiri mempunyai proses mental yang lebih kompleks misalnya merumuskan masalah, merancang eksperimen, menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Dalam pelaksanaan inkuiri dibutuhkan sikap-sikap objektif, jujur, terbuka, penuh dorongan ingin tahu, dan tangguh dalam pengajaran.

Menurut NRC (1996) pembelajaran berbasis inkuiri meliputi kegiatan: observasi, mengajukan pertanyaan, memeriksa buku-buku dan sumber-sumber lain untuk melihat informasi yang ada, merencanakan penyelidikan, merangkum apa yang sudah diketahui dalam bukti eksperimen, menggunakan alat untuk mengumpulkan, menganalisa, dan prediksi serta mengkomunikasikan hasil.23

Jenis-jenis keterampilan proses yang dikembangkan sejak kurikulum 1984 meliputi keterampilan mengamati (observasi), berkomunikasi, menafsirkan (inter-pretasi), meramalkan, menerapkan (aplikasi), melaksanakan percobaan. Keterampilan mengajukan pertanyaan dan yang penting dikembangkan dalam bekerja ilmiah, yaitu berhhipotesis24

Pembelajaran inkuiri membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran

21

Nengsih Juanengsih, Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan…, Tesis, 2006, h. 22.

22

Wartono, Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pendidikan Sains di Sekolah Dasar, IMAPIPA: Khazanah Pengajaran IPA, 1996, h. 34.

23

Sri Anggraeni, Pembelajaran Biologi Berbasis Inkuiri ….. 24


(20)

bermakna. Inkuiri adalah seni dan ilmu bertanya serta menjawab. Inkuiri melibatkan observasi dan pengukuran, pembuatan hipotesis dan interpretasi, pembentukan model dan pengujian model. Inkuiri menuntut adanya eksperimentasi, refleksi, dan pengenalan akan keunggulan dan kelemahan metode-metodenya sendiri.

Pembelajaran inkuiri dilakukan melalui beberapa siklus, berikut.25 a. Observasi (Observation). Dalam siklus ini siswa melakukan observasi

terhadap objek atau bahan yang akan dijadikan sumber belajar.

b. Bertanya (Questioning). Setelah melakukan observasi, siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan observasi.

c. Mengajukan hipotesis (Hipothesis), kegiatan pembuatan prediksi atau jawaban-jawaban sementara atas pertanyaan-pertanyaan diatas.

d. Pengumpulan data (Data gathering), yaitu kegiatan mengumpulkan data atau informasi yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam masalah di atas melalui berbagai sumber yang ada.

e. Pembahasan, yaitu kegiatan menganalisis dan membahas data atau bahan yang telah berhasil dikumpulkan oleh siswa.

f. Penyimpulan (Conclusion), yaitu kegiatan menyimpulkan atas apa yang sudah dibahas dan ditemukan terhadap suatu masalah.

Langkah-langkah kegiatan inkuiri adalah sebagai berikut:26 1) Merumuskan masalah

2) Mengamati atau melakukan observasi

3) Menganalisis dan menyajikan hasil delam Tulsan, gambar, laporan, bagan, table, dan karya lainnya

4) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan contextual Teaching and Learning (CTL) dengan menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri adalah pendekatan yang ditujukan untuk

25

Kunandar, Guru Profesional…….h. 374 26

Trianto, S. Pd., M. Pd, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi ….,Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007, h. 110


(21)

membantu siswa mengembangkan disiplin intelektual dan keahlian yang diperlukan memunculkan masalah dan menemukan pemecahan masalah tersebut (konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori baru) oleh siswa itu sendiri, sehingga siswa menjadi penemu pemecahan masalah yang independen.

3. Pembelajaran Fisika Terintegrasi Nilai Keagamaan (religius) a. Hakikat Ilmu Fisika

Menurut K.H Bahaudin Mudhary, “Ilmu pengetahuan fisika merupakan ilmu yang mempelajari materi dan energi, mulai inti atom, yang dipelajari para ahli fisika nuklir, sampai bintang-bintang dan galaksi. Dalam kajian fisika segala sesuatu digolongkan menjadi materi (seperti benda padat, cair, dan gas), dan energi (seperti cahaya, listrik, dan panas), Dengan kata lain, kajian dari ilmu pengetahuan fisika adalah alam semesta yang sering disebut al-Amin atau al-Kaun. Alam semesta ini merupakan salah satu sumber kebenaran ilmiah yang harus di tafakurkan, diobservasi, diteliti, dan dinalari secara cermat, akurat, dan seksama. ILmu pengetahuan fisika ini oleh Kiai Bahaudin digolongkan sebagai ilmu pengetahuan eksata. Perintah Allah untuk mengkaji ayat-ayat kauniyah ini sangat banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti pada surat al-Ghasyiyah ayat 17-20, yang berbunyi:27

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia

diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung

bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan”.

mengintegrasikan, menyatupadukan, menggabungkan, mempersatukan, (dua hal atau lebih menjadi satu). Sebagai kata benda, integration, berarti

integrasi, pengintegrasian atau penggabungan, atau integrity berarti

ketulusan hati, kejujuran dan keutuhan. Dalam kamus besar Bahasa

Indonesia, kata integrasi mengndung arti:1. mengenai keseluruhannya; meliputi bagian yang perlu untuk menjadikan lengkap; utuh, bulat, sempurna; 2. tidak terpisah terpadu. Berintegrasi: bergabung supaya menjadi kesatuan yang utuh, yang tidak akan bias berubah lagi.

27

KH. Bahaudin Mudhary, Daya Nalar Budi, Surabaya: Pustaka Progressif, 2003, h. 10.


(22)

Hal lain yang perlu dijelaskan adalah pengetahuan dan ilmu (dan atau ilmu pengetahuan). Menurut Jujun S. Suriasumantri pengetahuan dapat diartikan sebagai segala hal ynag kita ketahui tentang suatu obyek tertentu. Pengetahuan didapat lewat proses berpikir, merasa dan ,mengindra atau melalui intuisidan wahyu dari Tuhan. Terdapat tiga jenis penetahuan: etis, estetis, dan logis. Pengetahuan etis membicarakan pengetahuan yang baik dan buruk, estetis yang indah dan jelek, dan logis yang benar atau salah. Dalam kerangka ini, menurut Jujun, ilmu termasuk pada penegtahuan logis. Sementara ilmu adalah “organized knowledge especially when obtained by observation and testing of facts, about physical world, natural laws and society; study leading to such

knowledge.” (pengetahuan yang terorganisir, khususnya ketika didapat

melalui observasi dan pengujian fakta-fakta tentang dunia fisik, hokum alam dan masyarakat; suatu kajian yang mengarahkan pada peraihan pengetahuan seperti itu). Jujun mendefinisikannya sebagai “ suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri.” Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketika disebut ilmu atau ilmu pengetahuan, maka yang dimaksud adalah satu cabang pengetahuan yang dicirikan dengan sifat sistematis atau terorganisir, dapat diuji kembali, dan dapat didapat melalui pikiran, perasaan, indera, intuisi dan wahyu.28

b. Integrasi Sains dengan Agama (Kesadaran Ketuhanan)

Upaya untuk menegakkan obyektivitas ilmu, dan melepaskannya dari dogma agama (kristen) dalam sejarah Eropa mengalami pergulatan yang sangat panjang. Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatic, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret seperti teknologi. Perkembangan ilmu berbanding terbalik dengan

28

Kusmana et.al., Integrasi Keilmuan, Jakarta: PPJM dan UIN Jakarta Press, 2006, h. 47-49


(23)

kepercayaan agama, seperti dalam tradisi positivisme. Satu-satunya kebenaran ialah kebenaran ilmiah yang bersifat obyektif, dapat diobservasi (observable) dan terukur (measurable). Penemuan-penemuan ilmiah hanya dapat dilakukan oleh mereka yang sudah meninggalkan keyakinan agama yang bersifat dogmatis.

Perkembangan ilmu dan teknologi yang merupakan puncak intelektualitas manusia yang tidak terkait dengan persoalan moral dan agama, ternyata menimbulkan ekses negatif yang cenderung menimbulkan fenomena dehumanisasi. Dihadapkan masalah moral dan ekses sains dan teknologi yang bersifat merusak, pendapat para ilmuan terbagi kedalam dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologism maupun aksiologis. Dalam hal ini hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Kelompok ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada masa Galileo. Kelompok kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Kelompok ketiga mendasarkan pendapatnya pada realitas bahwa: (a) ilmu menimbulkan ekses yang bersifat destruktif, seperti munculnya senjata pemusnah missal; (b) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin eksoterik hingga kaum ilmuan lebih mengetahui ekses-ekses yang mungkin terjadi dalam kasus penyalahgunaan ilmu; dan (c) ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika.29

Bagaimana memasukan nilai-nilai, etika, dan moral Islam ke dalam bangunan sains? Hal ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, ditinjau dari hasil proses sains dan teknologi yang dapat dilihat dalam dua bentuk, yakni: (a) teori, gagasan, rumusan-rumusan tentang nilai dan etika yang dibangun berdasarkan realitas empiris, laboratories (dilakukan

29


(24)

dilaboratorium), replicable (dapat diulang), measurable (dapat diukur), dan adanya kemungkinan kesalahan yang diketahui melalui rumus-rumus dan perhitungan statistic. Kedua, ditinjau dari kerangka berpikir yang menghasilkan teori.30

Dalil-dalil yang melahirkan ide-ide keilmuan (Scientific Ideas) al-Qur’an dan sunnah adalah rujukan ilmu-ilmu Islam. Al-al-Qur’an adalah himpunan wahyu yang merupakan dalil ilmu-ilmu. Dalil disini mengandung arti petunjuk adanya ilmu-ilmu, bukan ilmu itu sendiri. Oleh karena itu, sejarah menunjukan adanya fakta bahwa al-Qur’an mendorong umatnya untuk menciptakan ide-ide sains yang menjadi dasar bagi perkembangan ilmu dikemudian hari.31

c. Signifikansi Pembelajaran Sains dengan Agama (bernuansa IMTAQ)

Pembelajaran sains bernuansa IMTAQ dapat diberikan secara eksplisit maupun implisit. Pembelajaran sains bernuansa IMTAQ secara eksplisit adalah mempelajari sains dengan sistem nilai dan moralnya dikaitkan dengan dalil-dalil ajaran agama, seperti dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang relevan untuk melegitimasinya. Adapun pembelajaran sains bernuansa IMTAQ secara implisit adalah menggali sistem nilai dan moral yang dikandung oleh setiap bahan ajarnya dikaitkan dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat untuk dianalogikan dalam kehidupan manusia. Pemberian nuansa secara implicit dalam setiap pembelajaran sains tersebut adalah sangat diberikan kepada kelas yang bersifat heterogen, yaitu siswa-siswa di dalam kelas itu menganut Agama yang berbeda-beda sehingga penganut Agama lainnya tidak merasa tersinggung. Tetapi untuk sekolah-sekolah yang sifatnya homogen, seperti madrasah-madrasah sudah semestinya pemberian nuansanya secara eksplisit, seehingga menambah keyakinan dan keimanan terhadap ajaran

30

Kusmana, Ibid., h. 93 31


(25)

agamanya, serta lebih meyakini kebenaran ilmu yang dipelajarinya. Bertambahnya pemahaman dan penghayatan seseorang terhadap system nilai dan moral dari materi pelajaran sains, serta akhirnya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang senantiasa ingat adanya Allah, dalam kehidupannya akan terjaga dari perbuatan nista atau terhindar dari perbuatan yang dimurkai oleh Allah, karena ia meyakini bahwa siksa Allah adalah sangat pedih.Dengan demikian pembelajaran sains bernuansa IMTAQ diharapkan dapat menghasilkan generasi yang memiliki wawasan IPTEK dan menghayati akan nilai-nilai dan moral yang didukung oleh setiap bahan ajarnya.32

d. Konsep Zat dan Wujud

Bentuk zat ada yang padat, cair, dan juga gas. Ini merupakan tiga keadaan atau fase zat. Bahwa suatu zat mampu berubah bentuk atau wujud tetapi zatnya tetap sama. Zat kayu akan tetap kayu walaupun bentuknya berubah-ubah. Misalkan batang dari pohon digunakan untuk membangun rumah dan membuat perabotan meja atau kursi. Begitu juga dengan wujud es, air, dan uap air yang memiliki bentuk yang berbeda tetapi merupakan zat yang sama. Cara termudah dan umum dilakukan untuk membedakan fase-fase zat ialah dengan memperhatikan bentuk dan volume zat.33

Padat: partikel zat padat sangat rapat sehingga tidak dapat bergerak dengan bebas. Setiap partikel tersusun teratur dan tetap pada posisinya karena diikat kuat oleh gaya tarik-menarik antar partikel. Susunan ini menyebabkan partikel tidak dapat berpindah, tatpi memiliki energi untuk bergerak. Jadi, partikel zat padat hanya dapat bergetar dan berputar ditempatnya. Inilah alasan mengapa zat padat memiliki bentuk dan volume yang tetap.

32

DR. H. Suroso Adi Yudianto, M.Pd., Manajemen Alam; Sumber Pendidikan Nilai, Bandung: Mughni Sejahtera, 2005, h. 28

33Kamajaya, Tedy Wibowo, Inspirasi Sains Pelajaran IPA Terpadu


(26)

Cair: Partikel zat cair juga rapat tetapi tidak serapat partikel zat padat sehingga dapat bergetar dan bergerak lebih bebas. Walaupun demikian, partiel zat cair tidak mudah meninggalkan kelompoknya karena gaya tarik-menarik antar partikel yang mengikat. Hal ini menyebabkan zat cair mempunyai volume tetap tetapi tidak mempunyai posisi yang tetap sehingga dapat dikatakan zat cair mengalir

Gas: Partikel zat gas terbesar luas dan tidak tersusun. Partikel-partikelnya bergerak bebas ke semua arah dengan cepat karena gaya tarik-menarik antar partikel zat sangat lemah. Partikel-partikel tidak lagi bersentuhan kecuali pada saat bertumbukan. Selain itu, partikel juga bertumbukan dengan dinding wadah yang ditempatinya. Kondisi inilah yang menyebabkan gas dapat memberikan tekanan. Partikel zat gas tidak mempunyai bentuk dan volume yang tetap.

Nilai religius : Menurut Suroso Adi Yudianto, ”nilai religius suatu bahan ajar IPA adalah kandungan nilai yang dapat meningkatkan keyakinan terhadap Allah SWT. Keteraturan, keseimbangan, peristiwa sebab akibat, dan sebagainya merupakan aspek yang dapat menumbuhkan kesadaran bahwa segala hal yang terjadi pasti ada yang menciptakan dan mengaturnya ( Suroso Adi Y., 1998: 14).”34

Perkara gaib yang paling agung dan paling jauh dari jangkauan pengetahuan manusia adalah tentang hakikat zat Tuhan Yang Maha Suci, yang Mahaluhur mengatasi semua makhluk, yang tersifati dengan segala kesempurnaan dan suci dari setiap kekurangan.35

lembaga-lembaga Al-Qur’an mengajak akal untuk mengakui kekurangan dirinya dalam menegtahui hakikat zat Allah SWT, yaitu dengan mengetahui wujud-Nya, keesaan-Nya, dan kekhasan pribadi-Nya dengan kesempurnaan yang paling luhur. Juga dengan mengetahui keindahan pengaturan-Nya terhadap jagat raya ini dan kebersifatan-Nya dengan sifat ilmu, hikmah, berkehendak, kuasa, mulia, kasih saying, dan seterusnya dari sifat-sifat kesempurnaanyang layak bagi zat-Nya.

34

Suroso Adi Yudianto,., op.cit, h. 306-307 35

Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gema Insani, 1996, h. 201,304


(27)

Untuk mengetahui dalil-dalil secara rinci tentang sifat wujud Allah SWT. Firman-Nya,

“apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi?....” (ath-Thur: 35-36)

Karena, adanya akibat pasti ada penyebabnya. Segala gerak pasti ada penggeraknya dan setiap ciptaan pasti ada penciptanya. Ini fitrah hukum alam yang tidak mungkin dispungkiri kecuali oleh para pendusta. Kalau mereka tidak tercipta dari sesuatu, mungkinkah mereka menciptakan dari mereka sendiri? Tentu tidak, karena sesuatu tidak akan menciptakan dirinya sendiri, juga karena makhluk sebelum kejadiannya adalah ‘adam’ tidak ada’, sedang ketiadaan (‘adam) mustahil bisa menjadikan sesuatu menjadi ada.

Wujud Sang Pencipta merupakan hakikat yang baku dan beriman kepada-Nya merupakan fitrah dalam jiwa yang bersih. Dari sini dapat dikatakan bahwa perasaan pertama yang muncul dalam diri manusia ketika ia mengamati dirinya dan alam sekitarnya adalah tentang adanya sebuah kekuatan besar yang mengendalikan, memelihara, mengatur alam dan kehidupan, serta bertindak sekehendak sekehendak dirinya. Kepercayaan dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu sudah cukup jika perasaan fitrahnya sesuai dengan hal-hal yang dicapai oleh peneliti melalui metodologi yang benar. Jika penelitian tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu dan fanatisme, akan menagantarkan penelitianya mencapai hasil yang sesuai dengan perasaan fitrahnya, dan tentu akan mengantarkannya


(28)

beriman kepada Allah serta beriman kepada semua yang ditetapkan oleh Islam, agama yang benar.36

Dari penjelasan di atas, penulis menganalisa bahwa konsep zat dan wujudnya dapat diintegrasikan dengan nilai keagamaan yang dihubungkan dengan nilai-nilai ilahiyah melalui ayat-ayat qauniyyah. Dengan harapan siswa lebih paham akan konsep materi tersebut, dan dapat meningkatkan keyakinan dank ke-Esaan Allah SWT (tauhid) pada diri siswa.

B. Bahasan Hasil Penelitian yang Relevan

CTL dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah dan lembaga lembaga ayat-ayat 37

Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning

(CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menghidari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk meggapainya.

36

Ahmad Fuad Pasya, Dimensi Sains Al-Qur’an …., Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2004, h. 7

37

http://ipotes.wordpress.com/2008/05/13/pendekatan-kontekstual-atau-contextual-teaching-and-learning-ctl/


(29)

C. Kerangka Berpikir

Belajar dan pembelajaran adalah aktivitas dimana guru dan siswa dapat saling berinteraksi. Didalam proses interaksi yang terjadi di kelas melibatkan adanya perbedaan kecepatan setiap siswa dalam menerima dan memahami suatu materi pelajaran, ada siswa yang cepat, sedang, dan ada juga yang lambat.

Beberapa faktor yang menjadi penghambat atau penghalang proses pembelajaran siswa antara lain: pertama hambatan psikologis misalnya minat, sikap, dan intelgensi. Dan kedua adalah hambatan fisik seperti kelelahan, sakit, dan keterbatasan dengan indera. Karena adanya hambatan tersebut menyebabkan proses pembelajaran siswa kurang efektif dan efisien. Oleh karena itu pembelajaran CTL terintegrasi nilai keagamaan dengan menggunakan metode inkuiri (Inquiry Based Learning) dapat dijadikan salah satu pilihan strategi dan metode yang efektif dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran agar tercapai hasil belajar yang bermakna.

Pendekatan CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan dunia nyata, mendorong siswa membuat hubungan antar pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka menambahkan keyakinan mereka terhadap apa yang jadi pengalamannya dalam belajar. Guru mengintegrasikan suatu ilmu pengetahuan dalam ilmu fisika dengan nilai religius. Kemampuan para siswa mengaitkan pengetahuan akademis mereka dengan kehidupan sehari-hari mereka, semakin banyak makna pelajaran.

Proses pembelajaran CTL berlangsung alamiah. Siswa bekerja mengalami sendiri, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil, Siswa akan menyadari bahwa yang mereka pelajari berguna bagi kehidupannya nanti.

Belajar berbasis inkuiri membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna. Dengan mengaplikasikan CTL berbasis inkuiri, siswa dapat membangun ilmu pengetahuan melalui percobaan-percobaan yang dilakukan


(30)

dalam proses pembelajaran sehari-hari. Hal ini dapat meningkatkan minat belajar fisika siswa dan berimplikasi pada hasil belajar yang berupa pemahaman siswa terhadap konsep zat dan wujudnya yang terintegrasi nilai

religius.

Pendekatan CTL dengan menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri (inquiry based learning) ini diharapkan hasil belajar siswa meningkat.


(31)

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir D. Pengajuan Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

Ho = Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara penggunaan CTL model

inquiry based learning pada konsep zat dan wujudnya terhadap hasil belajar siswa.

Ha = Terdapat pengaruh yang signifikan antara penggunaan CTL model

inquiry based learning pada konsep zat dan wujudnya terhadap hasil belajar siswa.

Faktor Internal

Faktor Eksternal

Pembelajaran CTL Inquiry Based Learning

Mengaktifkan Potensi Siswa BELAJAR

Penerimaan dan penggunaan konsep Terintegrasi Nilai Keagamaan

Menghubungk an pikiran danTindakan

Kebergantung an Positif

Meningkatkan Partisipasi, Minat dan Motivasi Hasil Belajar


(32)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian dan Desain Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen, dengan menganalisis uji-t yang menganalisis pengaruh yang terjadi antara variabel X dan O berdasarkan perbedaan hasil belajar antara kelompok eksperimen yang menggunakan pendekatan CTL dengan model pembelajaran berbasis imkuiri, dan kelompok kontrol dengan menggunakan metode demonstrasi. Metode eksperimen merupakan kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh peneliti untuk mengumpulkan bukti-bukti yang ada hubungannya dengan hipotesis yang diajukan, yaitu dengan melihat akibat setelah subjek dikenai perlakuan pada variabel bebasnya.

Tujuan penelitian eksperimen yaitu mengetahui sebab-akibat dengan cara mengenakan kepada satu kelompok atau lebih kelompok eksperimental kondisi perlakuan dan membandingkan hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai kondisi perlakuan.1

2. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Control

Group Pre test-Post test Design”2. Dalam rancangan ini dilibatkan dua

kelompok yang dibandingkan. Kelompok eksperimen diberikan perlakuan untuk jangka waktu tertentu.

Pengukuraran dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan diberikan dan pengaruh perlakuan diukur dari perbedaan antara tes awal (O1) dan tes akhir

(O2). Desain penelitian ini tampak pada tabel 3.1.

1

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: suatu pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, h. 108-109.

2

. Suharsimi Arikunto, Ibid, h. 86-87.


(33)

Tabel 3.1 Control Group Pre test-Pos test Design

Grup Pre test Variabel Terikat Post test

Eksperimen O1 XM O2

Kontrol O1 Xm O2

Keterangan:

O1 = Tes yang diberikan sebelum proses belajar mengajar dimulai,

diberikan kepada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol).

XM = Pemberian perlakuan proses belajar mengajar untuk kelompok

eksperimen menggunakan model pembelajaran berbais inkuiri (inquiry based learning)

Xm = Pemberian perlakuan proses belajar mengajar untuk kelompok kontrol

dengan menggunakan metode demonstrasi

O2 = Tes yang diberikan setelah proses belajar mengajar dan diberikan

kepada kedua kelompok.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2009/2010, pada bulan Oktober 2009. Dan bertempat di MTs Al-Khairiyah Citeureup-Bogor.

C. Prosedur Penelitian

1. Tahap Awal (Pendahuluan)

Langkah awal pada tahap persiapan sebelum melaksanakan penelitian adalah pengurusan surat izin penelitian dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Langkah selanjutnya adalah survey ke tempat penelitian yang dituju, melalui informasi yang diperoleh dapat dikaji suatu masalah yang terdapat pada proses kegiatan belajar-mengajar kemudian melakukan studi literatur yang berhubungan dengan kajian teori yang sesuai dengan masalah yang di teliti. Setelah itu melakukan telaah kurikulum,yaitu untuk


(34)

mengetahui perangkat penelitian yang harus disiapkan, juga dapat menentukan waktu yang direncanakan untuk penelitian.

Pada tahap ini, melakukan pembuatan perangkat pembelajaran dengan bimbingan dosen pembimbing, dan penyusunan instrumen untuk penelitian. Setelah itu instrumen yang telah dibuat dapat diuji cobakan.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Menentukan dua kelompok sampel, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Selanjutnya, dilaksanakan tes awal (pre test) kepada kedua kelompok penelitian menggunakan soal-soal hasil analisis data uji coba instrumen penelitian. Setelah itu dilaksanakan kegiatan belajar mengajar dapat dilaksanakan. Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa pembelajaran melalui pendekatan CTL dengan menggunakan model pembelajaran berbasis inkuiri, sedangkan kelompok kontrol dengan menggunakan metode demonstrasi. Setelah diberikan perlakuan, dilaksanakan tes akhir ( post test) untuk kedua kelompok penelitian dengan menggunakan soal-soal yang sama pada saat tes awal (pre test) dilaksanakan. Tes post test merupakan langkah terakhir pada tahap pelaksanaan penelitian. Tahap selanjutnya adalah tahap akhir dalam proses penelitian.

3. Tahap Akhir Penelitian

Setelah kelompok penelitian melaksanakan tes akhir (post test). Selanjutnya adalah melakukan analisis data hasil tes awal (pre test) dan tes akhir (post test) kedua kelompok penelitian, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, menggunakan uji statistik. Setelah itu dilakukan penarikan kesimpulan berdasarkan hasil uji statistik yang telah dilakukan sebelumnya. Penarikan kesimpulan merupakan langkah paling akhir dalam prosedur penelitian dapat dilihat jelas pada gambar 3.1 berikut:


(35)

Studi Literatur Survei

Pendahuluan

Telaah Kurikulum

Masalah

Pembuatan Perangkat Pembeljaran

Penyusunan Instrumen

Gambar 3.1 Prosedur Penelitian

Uji coba Revisi

Pelaksanaan

Pretest

Penerapan CTL dengan menggunakan pembelajaran

berbasis inkuiri di kelas

Pelaksanaan Posttest

Analisa Data

Hasil Penelitian


(36)

D. Populasi dan Sampel

Populasi merupakan keseluruhan subjek penelitian, sedangkan sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.3Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII MTs Al-Khairiyah Citeureup-Bogor. Pembagian kelas di sekolah tersebut disebar secara merata dan tidak dibagi berdasarkan kelas unggulan.

Sampel penelitian yang digunakan diambil dua kelas VII yang ada. Adapun sampel yang akan diambil adalah kelas VII-A sebagai kelas eksperimen dan kelas VII-B sebagai kelas kontrol.

E. Teknik Pengambilan Sampel Penelitian

Teknik pengambilan sampel dilaksanakan secara claster sampling, dan pemilihan kelas diambil secara random, sehingga terpilih satu kelas yakni kelas VII-A sebagai kelas eksperimen dengan jumlah sebanyak 30 siswa yang diberi metode CTL dan kelas VIII-B sebagai kelas control dengan jumlah 30 siswa yang diajar dengan metode demonstrasi.

F. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan, yaitu dengan tes (Test). Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes hasil belajar pada aspek kognitif. Tes merupakan alat ukur dalam menentukan adanya perubahan akibat perlakuan dari penelitian. Tes diberikan dalam bentuk pilihan ganda (a, b, c, dan d). Soal-soal yang diambil dari beberapa sumber yang relevan dan di adaptasi untuk tujuan penelitian ini.

G. Instrumen Penelitian

Sebelum instrumen tes di buat, peneliti terlebih dahulu membuat kisi-kisi instrumen tes. Kisi-kisi-kisi adalah suatu format atau tes matriks yang

3


(37)

membuat kriteria tentang soal-soal yang diperlukan oleh suatu tes atau ujian4. Kisi-kisi disusun bertujuan untuk menjamin bahwa soal yang dikembangkan sesuai dengan tujuan yang hendak diukur. Untuk itu, sebelum uji coba instrumen peneliti melakukan validitas isi berdasarkan jugdmen pakar, yaitu pembimbing skripsi dan praktisi, yaitu guru bidang studi fisika.

Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen

Aspek yang diukur

Konsep/subkonsep C1 C2 C3 C4 Σ

Wujud Zat 1.Wujud Zat 2.Partikel-partikel

Zat

3.Perubahan Wujud 4.Kohesi dan

Adhesi 5.Kapilaritas

1*, 2

9*, 10*

17*, 18*

25, 26*

33, 34*

3, 4 11*, 12

19, 20

27, 28, 29

35*, 36*, 37

5*, 6*

13*, 14

21*, 22

30

19*, 39*, 40*

7*, 8*

15, 16

23, 24*

31, 32 4 4 4 4 4

Jumlah 10 12 10 8 40

Keterangan:

* = Soal yang dipakai

H. Variabel Penelitian

Variabel Bebas (O) :Pembelajaran menggunakan pendekatan CTL dengan pembelajaran berbasis inkuiri.

Variabel Terikat (X) :Hasil belajar siswa pada konsep Zat dan wujudnya terintegrasi nilai keagamaan.

4

.Ahmad Sofyan, et.al, Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006, h. 93


(38)

I. Uji Coba Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sebelumnya telah diujicobakan terlebih dahulu kepada siswa kelas VIII yang tidak diikutkan dalam sampel. Uji coba instrumen ini dimaksudkan untuk mengetahui syarat-syarat suatu tes yang baik seperti validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda.

1. Pengujian Validitas

Pengujian validitas dilakukan dengan analisis faktor, yaitu dengan mengkorelasikan antara skor item instrumen dengan menggunakan rumus korelasi Pearson Product Moment,5 yaitu :

(

) ( )( )

( )

{

2 2

}

{

2

( )

2

}

Y Y n X X n Y X XY n rxy Σ − Σ × Σ − Σ Σ Σ − Σ = Keterangan :

rxy = koefisien korelasi

ΣXi = jumlah skor item

ΣYi = jumlah skor total (seluruh item) n = jumlah responden

Setelah harga koefisien korelasi Pearson Product Moment diperoleh, maka dilakukan uji signifikansi untuk mengukur keberartian korelasi berdasarkan distribusi kurva normal dengan menggunakan statistik uji-t dengan rumus :

2 1 2 xy xy hitung r n r t − − = Keterangan :

thitung = nilai hitung koefisien validitas rxy = koefisien korelasi tiap butir soal n = jumlah responden

5

Ridwan, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula,


(39)

Kemudian hasil di atas dibandingkan dengan nilai t-tabel pada signifikansi 5% (α = 0.05) dan derajat kebebasan (dk) = n – 2. Kaidah keputusannya : jika thitung > ttabel berarti valid, sebaliknya jika thitung < ttabel

berarti tidak valid. Jika instrumen itu valid, maka dilihat kriteria penafsiran indeks korelasinya (r)6 sebagai berikut :

Tabel 3.3 Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0.80 – 1.000 Sangat tinggi

0.60 – 0.799 Tinggi

0.40 – 0.599 Sedang

0.20 – 0.399 Rendah

0.00 – 0.199 Sangat rendah (tidak valid)

2. Pengujian Reliabilitas

Dalam hal ini peneliti menguji reliabilitas dengan menggunakan metode single test single trial method, maksudnya pengetesan hanya menggunakan sebuah tes dan di uji cobakan satu kali. Reliabilitas tes ditentukan dengan menggunakan rumus (KR20): 7

⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ −

=

2

2 11 1 S pq S n n r Keterangan :

r 11 = koefisien reliabilitas tes

p = proporsi subjek yang menjawab item yang benar

q = proporsi subjek yang menjawab item dengan salah (q = 1- p)

Σpq = jumlah hasil perkalian antara p dan q

6

Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi, Jakarta : Erlangga, 2008,, h. 81- 82.

7

. Anas Sujiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, h. 252


(40)

n = banyaknya item S2 = standar deviasi dari tes

Jika instrument itu reliable, maka dapat dilihat kriteria penafsiran indeks reliabilitasnya (r11) sebagai berikut:

Tabel 3.4 Interpretasi Kriteria Reliabilitas Instrumen Interval Koefisien Tingkat Korelasi

< 0,20 Tidak ada korelasi

0,020 0,40 Korelasi rendah

0,40 0,70 Korelasi sedang

0,70 0,90 Korelasi tinggi

0,90 1,00 Korelasi sangat tinggi

1,00 Korelasi sempurna

3. Tingkat Kesukaran

Taraf kesukaran butir soal merupakan bagian dari keseluruhan siswa yang menjawab benar pada butir soal tersebut, soal yang baik memiliki 3 variasi, yaitu mudah (25%), sedang (50%), dan sukar (25%). Angka indeks kesukaran item itu dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:8

JS B

P=

Keterangan:

P = Taraf kesukaran butir soal

B = Jumlah siswa yang menjawab benar pada butir soal yang dianalisis

JS = jumlah seluruh siswa peserta tes

Berdasarkan harga P yang dimiliki masing-masing butir soal, dapat diketahui butir soal mana yang tergolong sukar, sedang dan mudah. Butir soal

8

Yanti Herlanti, Tanya Jawab Seputar PenelitianPendidikan Sains, Jakarta:2008, h.38


(41)

dengan P>0.75 tergolong mudah, butir soal dengan 0.25≤P≤0.75 tergolong sedang, dan butir soal dengan P<0.25 tergolong sukar.

4. Daya Pembeda (Discriminating Power)

Daya pembeda butir soal menunjukka seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut dalam membedakan siswa pandai atau berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Daya pembeda (DP) daya pembeda butir soal diperoleh melalui persamaan:9

B B A A

J B J B P

D = −

Keterangan:

BA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal

dengan benar BB

= banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar

JA = banyaknya peserta kelompok atas

JB = banyaknya peserta kelompok bawah

DP = daya pembeda Klasifikasi daya pembeda soal:

Tabel 3.5 Klasifikasi daya pembeda

Indeks Kriteria

DP = 0,00 Sangat Jelek

0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek 0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup 0,40 < DP ≤ 0,70 Baik 0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat Baik

9


(42)

J. Teknik Analisis Data

Analisis data diawali dengan pengujian persyaratan analisis, yaitu uji normalitas dan uji homogenitas kemudian dilanjutkan dengan pengujian hipotesis.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas adalah pengujian terhadap normal tidaknya sebaran data yang akan dianalisis. Teknik yang digunakan untuk menguji normalitas dalam penelitian ini adalah dengan metode Chi-Kuadrat.10

Adapun langkah-langkah pengujiannya sebagai berikut: 1) Mencari skor terkecil dan terbesar

2) Mencari nilai rentang (R) 3) Mencari banyaknya kelas (BK) 4) Mencari nilai panjang kelas:

BK R i=

5) Membuat tabulasi dengan table penolong 6) Mencari rata-rata:

n fXi

=

χ

7) Mencari simpangan baku (standar deviasi):

(

)

(

1

)

2

− −

=

n n

fX fX

n

S i i

8) Membuat daftar frekuensi yang diharapkan dengan cara: a) Menentukan batas kelas

b) Mencari nilai Z-skor untuk batas kelas interval dengan rumus:

S

x

Kelas

Batas

=

Ζ

c) Mencari luas 0 – Z dari tabel kurva mormal dari 0 – Z dengan menggunakan angka-angka untuk batas kelas


(43)

d) Mencari luas kelas interval dengan mengurangkan angka-angka 0 – Z yaitu angka baris pertama dikurangi baris ketiga dan seterusnya.

e) Mencari frekuensi yang diharapkan (fe) dengan cara mengalikan luas tiap interval dengan jumlah responden.

9) Mencari Chi Kuadrat hitung

(

χ2hitung

)

:

(

)

=

− = k

i e

e o

f f f

1

2

χ

10)Membandingkan χ2hitung dengan χ2tabel untuk α = 0.05 dan derajat

kebebasan (dk) = k – 1, dengan criteria:

Jika χ2hitung ≥ χ2tabel artinya distribusi data tidak normal Jika χ2hitung ≤ χ2tabel artinya data berdistribusi normal

2. Uji Homogenitas

Setelah kelas diuji kenormalannya maka setelah itu kelas diuji kehomogenitasannya. Teknik yang digunakan untuk uji homogenitas pada penelitian ini adalah dengan uji Bartlett.11

Adapun langkah-langkah pengujiannya adalah sebagai berikut:

1) Masukan angka-angka statistic untuk pengujian homogenitas pada table penolong

2) Menghitung varians (S) gabungan dari kedua sampel: 3) Menghitung Log S

4) Menghitung B

5) Menghitung nilai χ2hitung

6) Bandingkan χ2hitung dengan χ2tabel untuk α = 0.05 dan derajat kebebasan

(dk) = k – 1, dengan kriteria:

Jika χ2hitung ≥ χ2tabel berarti tidak homogen Jika χ2hitung ≤ χ2tabel berarti homogen

11


(44)

3. Uji Hipotesis

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata antara dua kelompok, maka dilakukan uji-t.

Uji-t adalah tes statistik yang dapat dipakai untuk menguji perbedaan atau kesamaan dua kondisi perlakuan atau dua kelompok berbeda. Kemudian diuji dengan rumus:12

2 1 2 1 1 1 n n S t + −

= χ χ dimana,

(

)

(

)

2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 1 − + − + − = n n S n S n S Keterangan: 1

χ : rata-rata nilai hasil belajar kelompok siswa yang diajar menggunakan pendekatan CTL dengan pembelajaran berbasis inkuiri

2

χ : rata-rata nilai hasil belajar kelompok siswa yang diajar tidak menggunakan pendekatan CTL dengan pembelajaran berbasis inkuiri

1

n : jumlah sample kelas eksperimen 2

n : jumlah sampel kontrol 1

S : varians kelompok esperimen 2

S : varians kelompok kontrol

S : nilai varians gabungan

Langkah selanjutnya adalah sebagai berikut:

1) Menentukan derajat kebebasan (dk) dengan rumus: dk=

(

n1−1

) (

+ n2−1

)

2) Menentukan nilai ttabel

3) Menguji hipotesis

12


(45)

Jika: thitung > ttabel = H0 tolak, Ha diterima

thitung < ttabel = H0 terima, Ha tolak

4. Uji Normal Gain

Gain adalah selisih antara nilai post test dan pre test, gain menunjukan peningkatan pemahaman atau penguasaan konsep siswa setelah pembelajaran dilakukan oleh guru.

Dalam hal ini digunakan rumus normalisasi gain (g) sebagai berikut:13

pretest nilai

imum nilai

pretest nilai

posttest nilai

gain N

− − =

max .

Dengan kategorisasi perolehan sebagai berikut:

Tabel 3.4 Kategorisasi skor N Gain Rentang Indeks Gain Kategori Peningkatan

Nilai (<g>) > 0.7 Tinggi Nilai 0.7 >(<g>)>0.3 Sedang Nilai (<g>) < 0.3 Rendah

13


(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

Seperti yang telah dikemukakan pada Bab III, penelitian ini berlangsung di MTs Al-Khairiyah Citeureup-Bogor dengan sampel kelas VII. Peneliti mengambil sampel dua kelas VII-A dan VII-B. Kelas tersebut masing-masing berjumlah 30 orang, kelas VII-A dijadikan sebagai kelas eksperimen yang belajar menggunakan pendekatan kontekstual dengan pembelajaran berbasis inkuiri pada materi wujud zat yang diintegrasikan dengan nilai keagamaan, dan untuk kelas VII-B sebagai kelas kontrol yang belajar menggunakan metode demonstrasi.

Sebelum pemberian perlakuan pada kedua kelompok, peneliti memberikan pre test untuk mengetahui pengetahuan awal siswa tentang konsep zat dan wujudnya Soal pre test terdiri dari 20 butir jenis pilihan ganda dengan 4 (empat) alternatif jawaban. Setelah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap kedua kelas tersebut, peneliti memberikan post test dengan soal yang sama dengan soal pre test. Soal yang diberikan kepada kedua sampel merupakan tes dengan soal-soal yang valid dan reliabel.

Berikut ini disajikan data dari dua kelompok subjek penelitian yang diambil dari pre test dan post test.


(47)

Tabel 4.1 Daftar Nilai Pre test dan post test kelas Eksperimen dan Kontrol Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Siswa Pre test Post test Pre test Post test

R01 55 95 30 80

R02 15 60 40 50

R03 35 65 45 50

R04 35 55 35 60

R05 40 80 65 55

R06 20 75 55 70

R07 30 70 45 55

R08 40 80 25 70

R09 55 90 55 70

R10 40 80 40 80

R11 15 50 35 55

R12 55 85 50 60

R13 55 85 45 55

R14 35 75 40 55

R15 60 80 60 50

R16 50 85 65 60

R17 40 80 30 55

R18 50 85 40 65

R19 25 80 40 55

R20 15 50 40 60

R21 25 65 35 65

R22 40 65 40 50

R23 25 70 35 65

R24 40 85 55 65

R25 45 80 25 70

R26 25 75 25 65

R27 40 80 40 80

R28 25 75 20 75

R29 35 70 20 55

R30 15 70 35 55

1. Deskripsi Hasil Belajar pre test dan Post test kelas Eksperimen a. Hasil Belajar Pre test Kelas Eksperimen

Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh dari tes awal hasil belajar konsep wujud zat, dari 30 siswa yang dijadikan sampel penelitian diperoleh nilai terendah 15 dan nilai tertinggi 60, nilai rata-rata sebesar 37,43, standar deviasi


(48)

13.53 dan varians (13,53)2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel uji analisis data1 yang dapat dideskripsikan melalui tabel berikut.

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Relatif Pre test Kelas Eksperimen

Frekuensi No

Interval

Kelas Batas Nyata Absolut Relatif

1 15 – 22 14,5 - 22,5 5 16,67

2 23 – 30 22,5 - 30,5 6 20

3 31 – 38 30,5 - 38,5 4 13,33

4 39 – 46 38,5 - 46,5 8 26,67

5 47 – 54 46,5 - 54,5 2 6,667

6 55 – 62 54,5 - 62,5 5 16,67

n = 30 100%

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa skor pada interval 39-46 merupakan skor yang paling banyak diperoleh siswa kelas eksperimen, yaitu sebanyak 26,67%. Skor rata-rata yang diperoleh siswa kelas eksperimen yaitu 37,43. Siswa yang mendapat skor di atas rata-rata sebanyak 50 %, yaitu siswa pada kelas interval nomor 4,5 dan 6. Siswa yang mendapat skor di bawah rata-rata sebanyak 36,67%, yaitu pada kelas interval nomor 1 dan 2. Dari data tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram grafik dibawah ini:

0 2 4 6 8 10

14,5-22,5 22,5-30,5 30,5-38,5 38,5-46,5 46,5-54,5 54,5-62,5

Gambar 4.3 Diagram Grafik Distribusi Frekuensi Pre test Kelas Eksperimen

1


(49)

b. Hasil Belajar Post test Kelas Eksperimen

Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh dari tes awal hasil belajar konsep wujud zat, dari 30 siswa yang dijadikan sampel penelitian diperoleh nilai terendah 50 dan nilai tertinggi 95, nilai rata-rata sebesar 74,30 standar deviasi 11.04 dan varians (11,04)2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel uji analisis data2 yang dapat dideskripsikan melalui tabel berikut.

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Relatif Post test Kelas Eksperimen

Frekuensi No

Interval

Kelas Batas Nyata Absolut Relatif

1 50 – 57 49,5 - 57,5 3 10

2 58 – 65 57,5 - 65,5 4 13.333

3 66 – 73 65,5 - 73,5 4 13.333

4 74 – 81 73,5 - 81,5 12 40

5 82 – 89 81,5 - 89,5 5 16.667

6 90 – 97 89,5 - 97,5 2 6.6667

n = 30 100%

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa skor pada interval 74-81 merupakan skor yang paling banyak diperoleh siswa kelas eksperimen, yaitu sebanyak 40%. Skor rata-rata yang diperoleh siswa kelas eksperimen yaitu 74,30. Siswa yang mendapat skor di atas rata-rata sebanyak 23,33 %, yaitu siswa pada kelas interval nomor 5 dan 6. Siswa yang mendapat skor di bawah rata-rata sebanyak 36,67%, yaitu pada kelas interval nomor 1,2 dan 3. Dari data tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram grafik dibawah ini:

2


(50)

0 2 4 6 8 10

19,5-57,5 27,5-35,5 35,5-43,5 43,5-51,5 51,5-59,5 59,5-67,5

Gambar 4.2 Diagram Grafik Distribusi Frekuensi Post test Kelas Eksperimen 2. Deskripsi Hasil Pre test dan Post test Kelas Kontrol

a. Hasil Belajar Pre test Kelas Kontrol

Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh dari tes awal hasil belajar konsep wujud zat, dari 30 siswa yang dijadikan sampel penelitian diperoleh nilai terendah 20 dan nilai tertinggi 65, nilai rata-rata sebesar 40,03 standar deviasi 12,42 dan varians (12,42)2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel uji analisis data3 yang dapat dideskripsikan melalui tabel berikut.

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Relatif Pre test Kelas Kontrol

Frekuensi No Interval Kelas Batas Nyata

Absolut Relatif

1 20 – 27 19,5 - 27,5 5 16.67

2 28 – 35 27,5 - 35,5 7 23.33

3 36 – 43 35,5 - 43,5 8 26.67

4 44 – 51 43,5 - 51,5 4 13.33

5 52 – 59 51,5 - 59,5 3 10

6 60 – 67 59,5 - 67,5 2 6.667

n = 30 100%

3


(1)

b) Jika thitung ≤ -ttabel atau ttabel ≤ thitung maka Ha diterima pada tingkat

kepercayaan 0,95

Tabel 4.9 Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil Pre test Keterangan Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Jumlah Sampel 30 30

X 37,43 40,03

S2 183,10 154,20

thitung -0,768

ttabel 2,00

Kesimpulan Tidak berbeda

Dari perhitungan diperoleh nilai thitung sebesar -0,768 dan ttabel 2,00. Hasil

pengujian yang diperoleh menunjukan bahwa thitung ada di daerah penerimaan

Ho, yaitu –ttabel < thitung < ttabel atau -2,00 < -0,768 < 2,00. Dengan demikian Ha

ditolak dan Ho diterima pada taraf kepercayaan 0,95, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pre test

kelas eksperimen dengan rata-rata skor pre test kelas kontrol. Perhitungan lengkap uji kesamaan dua rata-rata hasil pre test dapat dilihat pada lampiran.

b. Uji kesamaan dua rata-rata hasil post test

Perolehan hasil uji hipotesis dari dua rata-rata hasil post test kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(2)

Tabel 4.10 Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil Post test Keterangan Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Jumlah Sampel 30 30

X 74,30 63,83

S2 121,80 85,32

thitung 3,90

ttabel 2,00

Kesimpulan Berbeda

Dari perhitungan diperoleh nilai thitung sebesar 3,90 dan ttabel 2,00. Hasil

pengujian yang diperoleh menunjukan bahwa thitung ada di daerah penerimaan

Ha, yaitu –ttabel < thitung < ttabel atau -2,00 < 3,90 < 2,00. Dengan demikian Ha

ditolak dan Ho diterima pada taraf kepercayaan 0,95, hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor post test kelas eksperimen dengan rata-rata skor post test kelas kontrol. Perhitungan lengkap uji kesamaan dua rata-rata hasil post test dapat dilihat pada lampiran.

4) Uji Normalitas Gain

Data penelitian diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul data berupa tes objektif berbentuk pilihan ganda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre test-post test desain, untuk mengetahui hasil penelitian maka perlu di adakan perbandingan hasil pre test dengan hasil post test dari kedua kelas sampel, serta membandingkan normal gain dari kedua kelas tersebut. Dari hasil perhitungan normal gain, diperoleh data sebagai berikut:


(3)

Tabel 4.11 Uji Kesamaan Dua Rata-rata Hasil N-Gain

Keterangan Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Jumlah Sampel 30 30

X 0,61 0,32

S2 0,02 0,25

thitung 6,24

ttabel 2,00

Kesimpulan Berbeda

Peningkatan pemahaman atau hasil belajar fisika siswa diperoleh dari nilai normal gain. Adapun nilai rata-rata normal gain dari hasil belajar siswa kelas eksperimen diperoleh nilai sebesar 0,61 dan kelas kontrol sebesar 0,32. Dari nilai tersebut dapat dikatakan bahwa nilai rata-rata kelas eksperimen lebih besar bila dibandingkan dengan kelas kontrol. Selain itu, berdasarkan hasil uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), diperoleh kelas gain pada kelas eksperimen berbeda secara signifikan dengan kelas kontrol (thitung = 6,24 dan

ttabel = 2,00). Untuk perhitungan lengkap uji normal gain dapat dilihat pada

lampiran.

Kategori peningkatan hasil belajar diperoleh dari perhitungan normal gain. Hasil belajar siswa pada kelas eksperimen sebesar 0,61 secara umum termasuk kategori sedang, sedangkan pada kelas kontrol sebesar 0,32 secara umum termasuk kategori sedang pula. Maka hasil analisis dengan menggunakan statistik uji-t diperoleh nilai thitung = 3,00 sementara nilai ttabel = 2,00 pada tingkat

kepercayaan 95% (α = 0,05) yaitu 2,00. Karena thitung > ttabel maka Ho ditolak.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: terdapat pengaruh hasil belajar siswa pada konsep wujud zat terintegrasi nilai keagamaan yang melalui pendekatan contextual teaching and learning (CTL) dengan menggunakan model pembelajaran berbasis inkuiri. Hanya saja peningkatan hasil belajar ini tidak terlalu signifikan. Dilihat dari kategori rata-rata nilai N-Gain masing-masing kelas termasuk kategori sedang.


(4)

C. Interpretasi Data

Berdasarkan hasil pre test diketahui rata-rata kelas eksperimen sebesar 37,43, dan kelas kontrol sebesar 40,03. Sedangkan berdasarkan hasil post test

diketahui nilai rata-rata kelas eksperimen sebesar 74,30 dan kelas kontrol sebesar 63,83. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa siswa yang diajarkan dengan pembelajaran kontekstual melalui model pembelajaran berbasis inkuiri memiliki kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan siswa yang diajarkan dengan menggunakan metode demonstrasi. Kedua kelas tersebut berada pada distribusi normal, baik pada hasil uji pre test maupun post testnya. Hal ini dapat dilihat pada hasil pengujian prasyarat analisis pada pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, yang menyatakan bahwa x2hitung ≤ x2tabel, dengan nilai x2tabel pada

taraf kepercayaan 95% (α = 0,05) sebesar 11,07. Selain itu, baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol bersifat homogen, berdasarkan hasil uji pre test dan post testnya, yang menyatakan bahwa x2hitung ≤ x2tabel dengan nilai x2tabel

pada taraf 95% (α = 0,05) sebesar 3,841.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t, pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05). Hasil uji kesamaan dua rata-rata pre test, dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pre test kelas eksperimen dengan skor pre test dengan skor pre test kelas kontrol, diperoleh nilai thitung sebesar -0,768 dan nilai ttabel = 2,00. Hasil

pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai thitung berada di daerah

penerimaan Ho, yaiitu –ttabel < thitung < ttabel atau -2,00 < -0,768 < 2,00. Dengan

demikian Ho diterima dan Ha ditolak pada taraf kepercayaan 95%, hal ini menunjukkkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor pre test kelas eksperimen dan kontrol. Sedangkan berdasarkan hasil uji kesamaan dua rata-rata skor post test, dilakukan untuk mengetahui apakah skor

post test kelas eksperimen dan kontrol terdapat perbedaan yang signifikan

diperoleh thitung sebesar 3,90 dan nilai ttabel = 2,00. Hasil pengujian yang

diperoleh menunjukkan bahwa thitung ada di daerah penerimaan Ha, yaitu ttabel ≤

thitung atau 2,00 ≤ 3,90. Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima pada taraf


(5)

yang signifikan antara rata-rata skor post test kelas eksperimen dengan rata-rata skor post test kelas kontrol.

Berdasarkan hasil uji normal gain dari hasil belajar fisika siswa kelas eksperimen sebesar 0,61 dan kelas kontrol sebesar 0,32. Dari nilai tersebut dapat dikatakan bahwa rata-rata normal gain pada kelas eksperimen lebih besar jika dibandingkan dengan dengan kelas kontrol. Selanjutnya, berdasarkan hasil uji-t dengan taraf kepercayaan 95% (α = 0,05) diperoleh nilai thitung sebesar 6,24 dan

ttabel = 2,00. Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa ttabel ≤ thitung

atau 2,00 ≤ 6,24. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa normal gain pada kelas eksperimen berbeda secara signifikan dari kelas kontrol.

D. Pembahasan

pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual, hasilnya meningkat dengan cukup signifikan dibandingkan dengan siswa yang hanya menggunakan metode demonstrasi. Hal ini dibuktikan dari hasil rata-rata Post test yang lebih tinggi pada kelas eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol dan hasil uji kesamaan dua rata-rata post test yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor post test kelas eksperimen dan kontrol. Selain itu, nilai rata-rata normal gain kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Hasil Uji-t pada normal gain, yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan normal gain antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05) diperoleh nilai yang menunjukkan bahwa normal gain pada kelas eksperimen berbeda secara signifikan dari kelas kontrol.

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan data berupa hasil belajar fisika pada kelas eksperimen dan kelas kontrol terhadap penerapan pendekatan kontekstual, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang cukup positif untuk proses pembelajaran.


(6)

diberikan saran-saran sebagai berikut.

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan, bahwa terdapat pengaruh yang signifikan pada penerapan pendekatan kontekstual terhadap hasil belajar siswa pada konsep wujud zat yang diintegrasikan dengan nilai keagamaan oleh siswa kelas VII-A di MTs Al-Khairiyah, Bogor. Hal ini dinyatakan dari hasil perhitungan uji hipotesis pada data penelitian ini diperoleh bahwa ttabel ≤ thitung atau 2,00 ≤ 3,90.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti ingin memberikan saran-saran sebagai berikut:

a. Guru: Dalam penelitian pendekatan kontekstual sebaiknya dipilih materi yang mudah untuk dikaitkan dalam dunia nyata, serta pemberian tugas praktikum-praktikum atau proyek diupayakan agar tugas tersebut dapat terjangkau oleh siswa, sehingga tidak menyulitkan siswa baik sarana maupun dana.

b. Peneliti: Pembelajaran dengan kontekstual, sebaiknya lebih banyak dilakukan untuk mencapai proses pembelajaran yang asyik dan menyenangkan.


Dokumen yang terkait

Pengaruh pendekatan contextual teaching and learning (CTL) terhadap hasil belajar siswa: kuasi ekspereimen di SMP Al-Ikhlas Cipete Jakarta Selatan

0 11 152

Pengaruh pendekatan contextual teaching and learning (CTL) terhadap hasil belajar fisika siswa pada konsep bunyi

2 12 149

Pengaruh pendekatan contextual teaching and learning (CTL) melalui metode eksperimen terhadap hasil belajar siswa : quasi eksperimen di SMP Negeri 6 kota Tangerang Selatan

0 4 182

Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Sumber Energi Gerak melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) ( Penelitian Tindakan Kelas di MI Muhammadiyah 2 Kukusan Depok)

0 14 135

Peningkatan hasil belajar siswa pada konsep sumber energi gerak melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL): penelitian tindakan kelas di MI Muhammadiyah 2 Kukusan Depok

2 3 135

Penagruh pendekatan contextual teaching laering (CTL) terhadap hasil bejaran biologi siswa kuasi Ekperimen di SMPN 1 Cisauk

0 7 208

Pengaruh Pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning) Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Pada Konsep Koloid

0 7 173

Pengaruh Pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning) Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Pada Konsep Koloid

0 10 0

Pengaruh pendekatan contextual teaching and learning (ctl) melalui metode eksperimen terhadap hasil belajar siswa

0 14 195

Upaya meningkatkan hasil belajar IPA pada konsep perkembangbiakan tumbuhan melalui pendekatan kontekstual: penelitian tindakan kelas di MI Hidayatul Athfal Gunungsindur

0 19 141