Pengaruh pendekatan contextual teaching and learning (CTL) terhadap hasil belajar siswa: kuasi ekspereimen di SMP Al-Ikhlas Cipete Jakarta Selatan

(1)

Skripsi Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Penelitian ini dilakukan di Kelas VIII-A (menggunakan Eksperimen) dan Kelas VIII-B (menggunakan kontrol) SMP Al-Ikhlas Cipete Jakarta Selatan pada materi Getaran dan Gelombang. Pemilihan kedua kelas ini berdasarkan teknik

purpossive sampling dan pengujian kehomogenan kedua kelas. Penelitian ini berlangsung sekitar satu bulan, yaitu pada bulan maret 2010. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes berupa soal-soal pilihan ganda dan instrumen nontes berupa lembar observasi. Data hasil instrumen tes, dianalisis dengan uji analisis statistik berupa uji perbandingan nilai posttest kedua kelas, sedangkan data hasil instrumen nontes lembar observasi dianalisis secara kualitatif dan digunakan untuk mendeskripsikan tingkat ketercapaian proses pembelajaran.

Berdasarkan analisis data hasil penelitian diperoleh bahwa perbedaan hasil belajar kedua kelas cukup signifikan. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji t terhadap kedua nilai posttest. Hasilnya adalah nilai thitung= 3,130 sedangkan nilai ttabel pada taraf signifikansi 1% adalah 2,684 dan pada taraf signifikansi 5% adalah 2,012. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar fisika siswa yang menggunakan pendekatan CTL lebih baik dari pada yang menggunakan pendekatan konvesional.

Kata kunci : Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), Hasil Belajar.


(2)

Program Faculty of Physical Education and Teacher Training Tarbiyah Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2010.

This research was conducted in the Class VIII-A (using the experiment) and Class VIII-B (use control) SMP Al-Ikhlas Cipete South Jakarta on Vibrations and Waves materials. Election of the two classes based on purposive sampling techniques and testing of homogeneity of the two classes. This study takes approximately one month, ie in March 2010. The instrument used is a test instrument in the form of multiple choice questions and instruments such as observation sheets nontes. Data from the test instrument, were compared by using statistical analysis of posttest value comparison test both classes, while the data observation sheet nontes instrument results were analyzed qualitatively and used to describe the level of achievement for the learning process.

Based on the analysis of survey data and found that differences in the two-class learning outcomes significantly. This conclusion is based on hypothesis test results using t test to the second posttest values. The result is a value t = 3.130 while the value ttable on 1% significance level is 2.684 and at 5% significance level is 2.012. Therefore, it can be concluded that the study of physics students who use the CTL approach is better than using conventional approaches.

Keywords: Contextual Approach Teaching and Learning (CTL), Learning Outcomes.


(3)

yang berjudul ”Pengaruh Pembelajaran Melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning Terahadap Hasil Belajar Siswa” (Penelitian Kuasi Eksperimen di SMP Al-Ikhlas Cipete Jakarta Selatan)”. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang dijadikan sebagai teladan terbaik bagi segenap manusia, juga kepada segenap keluarga dan sahabatnya yang selalu menjaga kemurnian

sunnah-nya.

Apresiasi dan terima kasih yang setinggi-tingginya, disampaikan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Semoga menjadi amal baik dan dibalas oleh Allah dengan balasan yang lebih baik. Secara khusus, apresiasi dan terima kasih tersebut disampaikain kepada:

1. Ayahanda Asmadi dan Ibunda Esniwati, yang kasih sayangnya kepada peneliti tak terbatas, semoga Allah selalu menyayangi keduanya sebagaimana keduanya menyayangi peneliti.

2. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Baiq Hana Susanti, M. Sc., Ketua Jurusan Pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak DR. Sujiyo Miranto, M.Pd, Dosen Pembimbing I dan Ibu Erina Hertanti, M.Si., Dosen Pembimbing II, yang selalu ada ketika peneliti kesulitan dalam penelitian ini.

5. Bapak Drs. H. Prasetyo, Kepala SMP Al-Ikhlas Cipete Jakarta Selatan, dan Bapak Indra Dwi, S.Pd., guru mata pelajaran Fisika, yang telah memberikan ijin penelitian dan menjadi konsultan terbaik selama eksperimen, dan seluruh sivitas akademika SMP Al-Ikhlas Cipete Jakarta Selatan.

6. Adik-adik tercinta: Dwi, Heri, Apri, dan Delvi tempat berkeluh kesah dan sumber inspirasi serta semangat, bagian kehidupan yang tak tergantikan. 7. Sitti Aisyah sebagai teman yang baik, Thanks for youBest Friend.


(4)

ii

Maryoko Dosantos Leite, Irwan Siska, John Paisal, Radinal Fauzi, Harry Muswen, Febrian Sudarta, Oktamiadi, M. Ikbal Fikri dan Ridho.

10.Rekan-rekan mahasiswa Pendidikan Fisika Angkatan 2005, Lebih khusus kepada Khaerul Anwar, Samsul Bahri, Arip Rahman Fauzi, Ade Yusman, Muhammad Nurudin, dan Sulaeman.

Atas semuanya semoga Allah SWT membalas dengan balasan yang lebih baik, jazákum ahsan al-jazâ’.

Ciputat, Agustus 2010 M

Dzulhijjah 1431 H


(5)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTA TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Perumusan Masalah ... 5

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

BAB II DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS ... 6

A. Deskripsi Teoritis ... 6

1. Landasan Filosofis Contextual Teaching and Learning (CTL) ... 7

a. Konstruktivisme Kognitif Piaget ... 7

b. Konstruktivisme Sosial Vygotsky ... 11

2. Pengertian Pendekatan CTL ... 14

3. Prinsip Pendekatan CTL ... 17

4. Karakteristik Pembelajaran CTL ... 18

5. Komponen CTL ... 19

6. Langkah-langkah Pembelajaran CTL ... 24

7. Perbedaan Pendekatan Konvensional dan CTL ... 27

8. Evaluasi Pembelajaran CTL ... 29

9. Hasil Belajar ... 29


(6)

D. Pengajuan Hipotesis ... 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. Waktu dan Tempat ... 40

B. Metode Penelitian ... 40

C. Populasi dan Sampel ... 41

D. Teknik Pengumpulan Data ... 42

E. Variabel Penelitian ... 42

F. Instrumen Penelitian ... 43

1. Instrumen Tes (Kognitif) ... 43

2. Instrumen Nontes ... 43

G. Uji Coba Instrumen Tes ... 44

1. Validitas ... 45

2. Reliabilitas Tes ... 46

3. Taraf Kesukaran dan Daya Pembeda ... 46

H. Teknik Analisis Data ... 48

1) Uji Normalitas ... 49

2) Uji Homogenitas ... 49

3) Uji Hipotesis dan Uji Analisis ... 50

I. Teknik Analisis Data Hasil Observasi ... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Hasil Pretest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 52

B. Hasil Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 54

C. Rekapitulasi ... 56

D. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 57

1. Uji Normalitas ... 57


(7)

BAB V PENUTUP ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 69


(8)

Gambar 4.1 Histogram Tes Hasil Belajar (Pretest)

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 55

Gambar 4.3 Histogram Tes Hasil Belajar (Posttest)

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 56


(9)

vii

Tabel 2.2 Tahap-tahap Pembelajaran CTL ... 25

Tabel 2.3 Perbedaan Pendekatan CTL dan Pendekatan Konvensional ... 28

Tabel 2.4 Perbedaan Pendekatan CTL dan Pendekatan Konvensional ... 28

Tabel 3.1 Desain Penelitian ... 42

Tabel 3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 44

Tabel 3.3 Variabel Penelitian ... 44

Tabel 3.4 Lembar Uji Validitas Instrumen Nontes ... 47

Tabel 3.5 Kategori Derajat Kesukaran ... 50

Tabel 3.6 Kategori Daya Pembeda ... 51

Tabel 4.1 Rekapitulasi Data Hasil Penelitian ... 58

Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kai Kuadrat ... 58

Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ... 59

Tabel 4.4 Data Hasil Observasi ... 61


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan segala usaha yang dilaksanakan dengan sadar dan bertujuan mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik dan sesuai dengan yang diharapkan. Pendidikan akan merangsang kreativitas seseorang agar sanggup menghadapi tantangan-tantangan alam, masyarakat, teknologi serta kehidupan yang semakin kompleks.

Pendidikan adalah aspek kehidupan yang harus dan pasti dijalani oleh setiap manusia di muka bumi sejak kelahiran, selama masa pertumbuhan dan perkembangannya sampai mencapai kedewasaan masing-masing. Pengalaman pendidikan selama masa tersebut sangat dipengaruhi dan bahkan ditentukan oleh orang dewasa yang bertanggung jawab dalam membantu dan mengarahkan manusia yang belum dewasa agar mencapai kedewasaan sesuai dengan kualifikasi yang ditetapkan oleh masyarakat dan lingkungannya.

Sejauh ini pendidikan masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai seperangkat fakta–fakta yang harus dihafal. Sehingga hasil pendidikan hanya tampak dari kemampuan siswa menghafal fakta-fakta. Walaupun banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya tetapi pada kenyataannya mereka sering kali tidak memahami secara mendalam substansi materinya.

Ary Ginanjar menyatakan bahwa kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan otak atau IQ saja.1 Orientasi pendidikan selama ini cenderung menitikberatkan pada penguasaan materi semata yang terbukti keberhasilan hanya terjadi pada kompetensi jangka pendek tetapi gagal membekali anak dalam memecahkan masalah atau persoalan jangka panjang. Secara umum pembelajaran fisika yang selama ini diterapkan kurang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan juga belum       

1

Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. (Jakarta: Agra. 2001) hal. 41. 


(11)

secara optimal membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan peserta didik sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Seperti hal diatas, orientasi pendidikan selama ini cenderung menitikberatkan pada penguasaan materi semata yang terbukti keberhasilan hanya terjadi pada kompetensi jangka pendek tetapi gagal membekali anak dalam memecahkan masalah atau persoalan jangka panjang. Secara umum pembelajaran fisika yang selama ini diterapkan kurang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan juga belum secara optimal membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan peserta didik sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Pembelajaran yang selama ini diterapkan adalah pembelajaran konvensional yang monoton, berupa transfer pengetahuan dari guru ke siswa secara searah. Mata pelajaran fisika yang tujuannya untuk membentuk pola pikir kritis belum dapat terwujud secara baik, hal itu diprediksi karena pola pembelajaran fisika hanya cenderung menitikberatkan pada aspek penguasaan materi (subject mater oriented) belum menuju ke aspek kecakapan hidup (life skill oriented). Apabila diorientasikan pada penguasaan life skill fisika akan dapat digunakan peserta didik untuk menghadapi kehidupan nyata.

Sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan digunakan/dimanfaatkan. Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan yaitu menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah. Mereka sangat butuh untuk memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan tempat kerja dan masyarakat pada umumnya dimana mereka akan hidup dan bekerja.

Ada kecenderungan dalam dunia pendidikan dewasa ini untuk kembali memikirkan bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak ‘mengalami’ sendiri apa yang dipelajari bukan sekedar mengetahuinya. Sehingga diperlukan konsepsi pembelajaran yang baru yang bisa meghadirkan situasi belajar yang bermakna


(12)

bagi siswa. Dan itu akan terwujud jika dalam pembelajaran terdapat upaya untuk menghadirkan suasana realistis yang bisa menghubungkan antara pengetahuan yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa. Pada dasarnya pendekatan yang bersifat realistik akan membimbing siswa untuk menemukan kembali konsep-konsep fisika yang memungkinkan siswa dapat menemukan hal yang sama sekali belum pernah ditemukan.

Dalam mempelajari fisika, sebetulnya siswa dapat lebih mengenal alam sekitar. Pada akhirnya, siswa akan lebih bijaksana dalam melakukan eksplorasi sumber daya alam tanpa melakukan eksploitasi. Permasalahan yang muncul kemudian adalah andaipun siswa mengetahui dan hafal akan konsep fisika yang diajarkan, tetapi hanya sebagian kecilnya saja yang memahami konsep tersebut. Sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan/dimanfaatkan. Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak atau hanya dengan metode ceramah.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah di atas, menurut Elaine B. Johnson adalah menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis

Contextual Teaching Learning (CTL). Pendekatan ini terdiri dari delapan komponen: membuat keterkaitan yang bermakna, pembelajaran mandiri, melakukan pekerjaan yang berarti, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian autentik.2

Pendekatan ini memungkinkan siswa yang lemah, yang terbiasa mengulang pelajaran maupun siswa yang beruntung, yang mendapatkan nilai A dengan mudah, untuk menyadari potensi mereka. Ternyata pendekatan ini sekaligus dapat membantu siswa untuk menghubungkannya dengan konsep-konsep pelajaran lain. Lebih lanjut Elaine B. Johnson mengungkapkan berdasarkan penemuan dalam ilmu saraf, otak mencari makna dan ketika otak menemukan makna ia belajar dan       

2 

Elaine B. Johnson, Contextual Teaching Learning (CTL), (Bandung: Mizan Learning Center, 2009), hal. 65. 


(13)

ingat. Misi utama dari otak manusia adalah bertahan hidup. Kelangsungan hidupnya bergantung sebagian besar pada kemampuannya menemukan makna di dunia luar.3

Berdasarkan uraian di atas, maka diasumsikan bahwa pendekatan CTL dapat meningkatkan hasil pembelajaran dan menjadikan pembelajaran berlangsung menyenangkan. Pendekatan ini dianggap mampu memberikan solusi terhadap permasalahan sebagaimana diuraikan pada penjelasan di atas. Pendekatan ini diharapkan dapat membantu siswa lebih cepat memahami materi pelajaran fisika, khususnya dalam penelitian ini yaitu tentang materi Getaran dan Gelombang. Hal itu dikarenakan pendekatan tersebut merupakan pendekatan yang lebih bermakna sehingga dapat membekali siswa dalam menghadapi permasalahan hidup yang akan mereka hadapi dalam kehidupannya. Berdasarkan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti mengangkat judul sebagai berikut.

“PENGARUH PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah pada penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

1. Bagaimana signifikansi peningkatan hasil belajar siswa setelah diberikan perlakuan dalam pembelajaran melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)?

2. Bagaimana pengaruh hasil belajar siswa setelah menggunakan pendekatan

Contextual Teaching and Learning (CTL)?

3. Bagaimana pengaruh pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap penguasaan materi pelajaran siswa?

       3

Ibid, hal. 63. 


(14)

 

       

C. Pembatasan Masalah

Adapun pembatasan masalah pada penelitian ini adalah hasil belajar siswa yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan hasil tes kognitif saja. Ranah kognitif yang dinilai berdasarkan taksonomi Bloom.4 Ranah kognitif yang akan diukur pada penelitian ini dari tingkat C1 sampai dengan C4.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, penelitian merumuskan permasalahan berupa pertanyaan, yaitu: Adakah pengaruh pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap hasil belajar siswa?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh hasil belajar siswa melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Adapun Manfaat dari Penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

1. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dalam bidang penelitian pendidikan dan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang akan menjadi bekal untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata setelah menyelesaikan studinya.

2. Bagi guru mata pelajaran khususnya fisika, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif pilihan untuk menggunakan pendekatan dalam pembelajaran yang lebih efektif dalam pembelajaran.

3. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan dapat membantu mereka untuk meningkatkan hasil belajar.

  4

Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 117 – 121. 


(15)

BAB II

DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teoritis

1. Landasan Filosofis Contextual Teaching and Learning (CTL)

Landasan filosofis CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofis belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal. Peserta didik harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.

Konstruktivisme merupakan salah satu pendekatan belajar yang menyatakan bahwa siswa akan belajar dengan lebih baik jika siswa secara aktif membangun (construct) sendiri pengetahuan dan pemahamannya.1 Dalam hal ini, siswa belajar dengan mengembangkan pengetahuan awal yang sudah terlebih dahulu dimilikinya. Dengan bermodalkan pengetahuan awal ini, siswa mencoba membangun sendiri pengetahuan dan pemahamannya didasarkan pada informasi-informasi baru yang diterimanya baik dari lingkungan maupun dari orang-orang yang berada di sekitarnya.

Oleh karena itu, para pakar konstruktivisme (constructivist) yakin bahwa pengetahuan itu tidak mutlak, melainkan dibangun oleh pembelajar berdasarkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya dan pandangannya terhadap dunia di sekitarnya.2 Para pakar konstruktivisme juga mengemukakan bagaimana pengetahuan dapat disusun sehingga dapat dipelajari, yaitu dengan cara para pembelajar sendiri yang harus aktif sehingga pembelajar dapat memilih dan menginterpretasikan informasi yang diperolehnya dari lingkungan di sekitar dirinya.

Konstruktivisme menjelaskan bahwa pemahaman bisa didapat dari interaksi seseorang dengan lingkungannya, konflik kognitif dapat mendorong seseorang       

1

John W Santrock, Educational Psychology, 2nd Edition, (New York: McGraw Hill Companies Inc., 2004), hal. 314. 

2

Maggi Savin-Baden dan Claire Howell Major, Foundation of Problem-based Learning, (London: SRHE, tt), hal. 29. 


(16)

untuk belajar, dan pengetahuan dapat terbentuk ketika siswa menegosiasikan situasi sosial dan mengevaluasi pemahaman individualnya. Terdapat banyak teori yang menjelaskan konstruktivisme. Teori-teori tersebut menjelaskan bagaimana sebuah pengetahuan dan pemahaman terbentuk pada diri seseorang. Dua di antaranya adalah teori konstruktivisme kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget dan konstruktivisme sosial yang dijelaskan oleh Lev Vygotsky.

Hal senada seperti disampaikan oleh Wina Sanjaya yang menyebutkan bahwa pandangan filsafat konstruktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa belajar bukanlan sekedar menghafal, tetapi porses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman.3 Melalui landasan filosofis konstruktivisme CTL di “promosikan” menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui CTL siswa diharapkan belajar “mengalami”, bukan “menghafal”.4

Pandangan filsafat konstruktivisme menekankan pembelajaran lebih mengontuksi persepsi-persepsi pengalaman mereka. Pengetahuan individu menjadi sebuah fungsi dari pengalaman, struktur mental, dan keyakinan-keyakinan seseorang sebelumnya yang digunakan untuk menafsirkan objek dan peristiwa.5 Proses belajar mengajar lebih diwarnai student center daripada teacher center. Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan demikian, diharapkan peserta didik dapat mengalami proses pencarian pengetahuan bukan menghafal konsep yang diajarkan.

a. Konstruktivisme Kognitif Piaget

Teori konstruktivisme kognitif ini tidak terlepas dengan teori Piaget tentang teori perkembangan kognitif. Dalam penjelasannya mengenai bagaimana pengetahuan terbentuk pada diri seseorang selalu dikaitkan dengan perkembangan       

3

Wina sanjaya, Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 255. 

4

Yatim Rianto, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 163. 

5

Mark Smith, dkk., Teori Pembelajaran dan Pengajaran, (Yogyakarta: Mirza Media Pustaka, 2009), hal. 84. 


(17)

kognitifnya. Piaget menyatakan bahwa pembelajaran akan berjalan dengan sukses jika sesuai dengan perkembangan kognitif siswa. Oleh karena itu, konstruktivisme ini disebut dengan konstruktivisme kognitif.

Dalam membangun pemahaman tentang lingkungannya secara aktif, anak-anak menggunakan skema (schema atau scheme, bentuk jamaknya adalah

schemata).6 Skema merupakan sebuah konsep atau kerangka kerja (framework) yang menempatkan pikiran seseorang untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi. Skema dapat berubah dari bentuk yang sangat sederhana (misalnya skema tentang sebuah mobil) sampai bentuk yang sangat kompleks (misalnya skema tentang alam semesta). Piaget tertarik dengan skema-skema dan terfokus dengan bagaimana seorang anak dapat mengorganisasikan pengalaman yang sedang dialaminya menjadi sebuah pengetahuan.

Berkenaan dengan ini, Piaget mengatakan bahwa dua proses yang berperan dalam bagaimana seseorang menggunakan dan mengadaptasi skema adalah asimilasi (assimilation) dan akomodasi (accomodation). Asimilasi berperan ketika seseorang memadukan sebuah pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah ada. Dalam hal ini, orang tersebut mengasimilasikan lingkungan ke dalam skema. Di sisi lain, akomodasi berperan ketika seseorang memasukkan dirinya ke dalam informasi baru. Dalam hal ini, orang tersebut memasukkan skema ke dalam lingkungan.

Sebagai contoh, seorang anak berusia delapan tahun diberi sebuah palu dan paku untuk menggantungkan sebuah foto di dinding. Dia tidak pernah menggunakan palu, tetapi dari pengamatannya terhadap orang yang menggunakannya, dia memahami bahwa palu adalah sebuah benda yang dapat digunakan untuk memasukan paku ke dalam dinding dengan cara memegang pegangan palu tersebut dan memukulkan kepala palu ke paku. Berdasarkan hal ini, anak tersebut menyesuaikan perilakunya ke dalam skema yang telah ada (asimilasi). Tetapi palu itu terlalu berat, sehingga ia memegangnya di dekat kepala palu tersebut. Ketika ia mulai memukulkan palu tersebut, ia memukul terlalu keras       

6

John W Santrock, Op.Cit., hal. 39 dan Kro’s Report, Theories of Human Learning (The Koron Exploration Department, tt), hal. 204. 


(18)

sehingga paku yang akan dimasukkan ke dalam dinding menjadi bengkok, sehingga pada pukulan berikutnya ia mulai menyesuaikan pukulannya agar paku tidak bengkok lagi. Perilaku ini menunjukkan bahwa ia merefleksikan kemampuannya ke dalam konsep lingkungannya (akomodasi).7 Kedua konsep ini, asimilasi dan akomodasi, merupakan perilaku adaptasi yang dilakukan oleh setiap orang.8

Piaget juga menekankan bahwa untuk membuat pemikiran tentang dunianya, seseorang secara kognitif mengorganisasikan (organize) pengalaman-pengalamannya. Organisasi merupakan konsep yang diusulkan Piaget tentang pengelompokkan perilaku yang terisolasi menuju tingkat yang lebih tinggi, dan merupakan sistem kognitif. Dengan kata lain, organisasi merupakan pengelompokkan atau penyusunan segala sesuatu ke dalam kategori-kategorinya. Penggunaan organisasi akan dapat mengembangkan memori jangka panjang (long-term memory).

Penyaringan dan perbaikan yang terus-menerus terhadap organisasi ini merupakan bagian yang inheren dari pembangunan dan pengembangan pengetahuan. Seorang anak yang mempunyai pengetahuan samar-samar tentang cara bagaimana menggunakan palu sangat mungkin akan mempunyai pengetahuan yang samar-samar pula tentang cara menggunakan alat-alat lain. Setelah mempunyai pengetahuan tentang cara menggunakan salah satu alat tersebut, anak itu akan menghubungkannya dengan cara menggunakan benda-benda lainnya, atau dengan kata lain mengorganisasikan pengetahuannya. Dengan cara yang sama, seorang anak akan terus-menerus memadukan dan mengkoordinasikan cabang-cabang pengetahuan lain yang kadang-kadang berkembang terpisah dan merangkainya menjadi sebuah pengetahuan baru yang terpadu.

Konsep lain berkenaan dengan ini adalah ekuilibrasi (equalibration). Ekuilibrasi adalah sebuah mekanisme yang diusulkan Piaget untuk menjelaskan bagaimana seorang anak dapat berpindah dari tahap kognitif yang satu ke tahap       

7

Ibid., hal. 39 – 40. 

8

John L. Phillips, Jr., The Origins of Intellect: Piaget’s Theory, (San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1969), hal. 8 – 10. 


(19)

kognitif berikutnya. Kenaikan tahap kognitif ini terjadi ketika seorang anak mengalami konflik kognitif atau diekulibrium dalam memahami lingkungannya. Piaget yakin bahwa perubahan akibat konflik kognitif ini disebabkan oleh asimilasi atau akomodasi.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukannya, Piaget mengelompokkan perkembangan kognitif ke dalam empat tahapan. Keempat tahapan perkembangan kognitif ini berhubungan dengan perkembangan usia seseorang yang diikuti perkembangan cara berpikirnya. Keempat tahapan tersebut adalah tahap

sensorimotor (0–2 tahun), preoperational (2–7 tahun), concrete operational (7–11 tahun), dan formal operational (11–menjelang dewasa).9 Phillips menggolongkan tahapan-tahapan perkembangan kognitif Piaget menjadi tiga periode, yaitu periode sensorimotor (0 – 2 tahun), periode concrete operation (2 – 11 tahun), dan periode

formal operation (11 – 15 tahun).10

Berkaitan dengan proses pembelajaran, B. Carrol dan Benjamin Bloom dalam Bruce Joyce dkk. mengemukakan bahwa pembelajaran dengan model merupakan metode yang menarik dalam meningkatkan kemungkinan siswa untuk mampu mencapai level performa yang memuaskan.11 Pembelajaran yang baik harus melibatkan pemberian situasi-situasi sehingga seorang anak dapat secara mandiri melakukan eksperimen atau mencoba segala sesuatu yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, simbol-simbol, mengajukan pertanyaan, dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokan yang ia temukan pada suatu saat dengan yang ia temukan pada saat yang lain, dan membandingkan temuannya dengan temuan anak lain. Pernyataan ini sangat berkaitan dan didasarkan dengan konsep Piaget tentang konstruktivisme kognitif dan tahapan-tahapan perkembangan kognitif seseorang.

       9

John W Santrock, Op.Cit. hal. 41. 

10

John Phillips, Jr., Op. Cit. hal. xvii – xviii. 

11


(20)

b. Konstruktivisme Sosial Vygotsky

Vygotsky percaya bahwa seorang anak akan secara aktif membangun sendiri pengetahuannya. Tiga inti pandangan Vygotsky tentang hal ini adalah sebagai berikut.

1. Keterampilan kognitif seorang anak hanya dapat dipahami ketika ketarampilan kognitif tersebut dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan perkembangannya secara terpadu dengan keterampilan kognitif lain yang bersangkutan.

2. Keterampilan-keterampilan kognitif dimediasi dengan kata-kata, bahasa, dan bentuk percakapan sebagai alat psikologis untuk memfasilitasi dan mentransformasikan aktivitas mental.

3. Keterampilan-keteramplan kognitif mempunyai asal-usul dalam hubungan sosial dan tersimpan dalam latar belakang sosiokultural.

Menurut Robbins dalam Vygotsky, melakukan pendekatan perkembangan kognitif berarti memahami fungsi kognitif seorang anak dengan menguji asal-usul dan transformasinya dari bentuk awal ke bentuk akhir.12 Sebagai contoh, perilaku mental yang terpisah seperti perilaku menggunakan kemampuan berpidato tidak dapat dipelajari secara baik jika dipelajari secara terpisah, tetapi dapat dievaluasi sebagai salah satu tahap dari proses perkembangan mental.

Klaim kedua Vygotsky tersebut adalah bahwa untuk memahami fungsi-fungsi kognitif, sangat penting untuk menguji alat-alat yang menjadi mediasinya dan selalu memperbaikinya, dalam hal ini Vygotsky yakin bahwa bahasa merupakan alat mediasi kognitif yang paling penting. Alasan tentang anggapan bahwa bahasa merupakan alat mediasi yang terpenting adalah bahwa pada masa anak-anak, bahasa mulai digunakan oleh mereka untuk membantu mereka dalam merencanakan aktivitasnya dan memecahkan masalah.

Berkenaan dengan klaim ketiganya bahwa keterampilan kognitif berasal dari hubungan sosial dan budaya.13 Vygotsky menggambarkan bahwa perkembangan kognitif seorang anak dapat terinspirasi dari aktivitas-aktivitas sosial dan budaya.       

12

John W Santrock, Op. Cit., hal. 51. 

13 Ibid.  


(21)

Ia yakin bahwa perkembangan memori, perhatian, dan pemikiran meliputi belajar untuk menggunakan temuan yang berkembang di masyarakat, seperti bahasa, sistem matematis, dan strategi memori. Sebagai contoh, dalam sebuah budaya, terdapat cara belajar menghitung dengan menggunakan komputer, mungkin di budaya lain terdapat belajar menghitung dengan menggunakan jari atau menggunakan tasbih. 14

Teori Vygotsty yang lain mengatakan bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam daerah perkembangan terdekat atau zone of proximal development siswa.15 Daerah perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Tingkat perkembangan seseorang saat ini tidak lain adalah tingkat pengetahuan awal atau pengetahuan prasyarat itu telah dikuasai, maka kemungkinan sekali akan terjadi pembelajaran bermakna.

Teori Vygotsky ini didasari oleh ketertarikannya terhadap pandangan bahwa pengetahuan itu tersituasikan (situated) dan terkolaborasi (collaborative). Dalam hal ini, pengetahuan disebarkan melalui orang dan lingkungan yang meliputi benda-benda, artifak, alat, buku, dan komunitas di mana orang tersebut tinggal. Hal ini mengilhami bahwa belajar yang lebih baik adalah belajar dengan orang lain dalam kegiatan kelompok. Oleh karena itu, konstruktivisme yang dikembangkan oleh Vygotsky dinamakan dengan konstruktivisme sosial karena penekanannya pada interaksi sosial dalam pembelajaran.

Ide kunci Vygotsky tentang konstruktivisme sosial ini adalah konsepnya tentang zone of proximal development (ZPD). Menurutnya, seorang anak mempunyai dua tingkat perkembangan, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual adalah penggunaan fungsi intelektual individu suatu saat dan kemampuan untuk belajar sesuatu yang khusus atas kemampuannya sendiri. Tingkat perkembangan potensial didefinisikan oleh Vygotsky sebagai tingkat seseorang ketika dapat menggunakan fungsi tersebut atau mencapai tingkat itu dengan bantuan orang       

14

John W Santrock, Op. Cit., hal. 51 – 53. 

15

Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Prestasi Pustaka. 2007), hal. 107. 


(22)

lain, seperti guru, orang tua, atau teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih tinggi. Zona antara tingkat perkembangan aktual seseorang dengan tingkat perkembangan potensial disebut zona perkembangan terdekat yang didefinisikan sebagai tingkat perkembangan yang sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat itu.16

ZPD yang diusulkan Vygotsky ini mempunyai batas bawah dan batas atas. Tugas-tugas dalam ZPD terlalu sulit bagi anak untuk dikerjakan sendiri. Oleh karena itu, mereka membutuhkan bimbingan dari orang dewasa atau anak yang mempunyai kemampuan lebih tinggi. Selama pengalamannya dalam pengajaran verbal dan demonstrasi, seorang anak mengorganisasikan informasi yang ada dalam struktur mentalnya, sehingga pada akhirnya mereka dapat melakukan keterampilan yang dibimbingkan tersebut secara mandiri.17

Konsep yang sangat erat kaitannya dengan ZPD adalah konsep scaffolding

yang diartikan sebagai sebuah cara untuk mengubah tingkatan bimbingan. Setelah sesi rangkaian pembelajaran, seseorang yang mempunyai keterampilan lebih tinggi (guru atau anak yang mempunyai kemampuan lebih tinggi) memberikan sejumlah bimbingan untuk menyesuaikan tingkatan keterampilan pada saat itu. Ketika tugas yang diberikan kepada siswa yang sedang belajar merupakan tugas baru, orang yang mempunyai keterampilan yang lebih tinggi ini menggunakan pengajaran langsung (direct instruction). Setelah kompetensi siswa tersebut bertambah, maka pemberian bimbingan mulai dikurangi.18

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikemukakan beberapa perbedaan antara teori konstruktivisme kognitif Piaget dan konstruktivisme sosial Vygotsky. Pada tabel berikut ini, disajikan perbandingan antara konstruktivisme kognitif Piaget di satu sisi dan konstruktivisme sosial Vygotsky di sisi lain.

       16

Ibid., hal. 53. 

17

John W Santrock, Op. Cit., hal. 52. 

18 Ibid. 


(23)

Tabel 2.1 Perbandingan Konstruktivisme Kognitif Piaget dan Konstruktivisme Sosial Vygotsky

Topik yang

dibandingkan Piaget Vygotsky

Konteks sosiokultural

Penekanan yang lebih sedikit Penekanan yang lebih kuat

Konstruktivisme Konstruktivisme kognitif Konstruktivisme sosial

Tahapan

Penekanan yang kuat pada tahapan-tahapan

(sensorimotor, praopera-sional, kongkrit operasio-nal, dan formal operasional

Tidak ada tahapan perkembangan yang diusulkan.

Proses kunci

Skema, asimilasi, akomodasi,

operasi, konservasi, klasifikasi, pemikiran deduktif-hipotetik

ZPD, bahasa, diskusi, alat-alat kebudayaan (tools of the culture)

Pandangan terhadap pendidikan

Pendidikan hanya merupakan perkembangan keterampilan kognitif anak yang telah ada.

Pendidikan memainkan peranan sentral, membantu anak mempelajari alat-alat kebudayaan.

Implikasi pengajaran

Guru merupakan fasilitator dan pemandu, bukan pengarah (director), menyediakan bimbingan bagi anak untuk mengeksplorasi dunianya dan menemukan pengetahuan

Guru merupakan fasilitator dan pemandu, bukan pengarah (director); memberikan banyak kesempatan kepada anak untuk belajar bersama dengan guru atau teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih tinggi

Di antara pendekatan pembelajaran yang menggunakan konstruktivisme kognitif Piaget dan konstruktivisme sosial Vygotsky sebagai landasan teorinya adalah Contextual Teaching and Learning (CTL). Berikut ini adalah penjelasan rinci tentang pendekatan pembelajaran tersebut.

2. Pengertian Pendekatan CTL

Kontekstual berasal dari kata kerja latin contexera yang berarti “menjalin bersama”. Kata “konteks” merujuk pada “keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan” yang berhubungan dengan diri, yang terjalin bersamanya. Kontekstual berasal dari bahasa latin con artinya dengan dan textum adalah merangkai.19

       19

Elaine B Johnson, Contextual Teaching and Lerning, (bandung: Mizan Media Utama. 2008), hal. 82, dan Anonim, “Kaedah Pembelajaran Kontekstual”, diakses dari http://www.tutor.com.my/lada/tourism/edu-kontekstual.htm, agustus 2008. 


(24)

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.20 Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya.

Zahorik dalam Saepul Hamdani mengemukakan: “proses pembelajaran kontekstual berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa.21 CTL merupakan sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. CTL merupakan suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Dengan memanfaatkan kenyataan bahwa lingkungan merangsang sel-sel saraf otak untuk membentuk jalan, sistem ini memfokuskan diri pada konteks, pada hubungan-hubungan.

CTL terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secarah terpisah yang melibatkan proses-proses yang berbeda. Ketika digunakan secara bersama-sama, mampu membuat siswa membentuk hubungan yang menghasilkan makna. Setiap bagian CTL yang berbeda-beda memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas sekolah. Secara bersama-sama mereka membentuk suatu sistem yang memungkinkan para siswa melihat makna didalamnya dan mengingat materi akademik.22

CTL juga merupakan suatu pendekatan yang menuntun para siswa dalam menggabungkan subjek-subjek akademik dengan konteks keadaan mereka sendiri. CTL melibatkan para siswa dalam mencari makna itu sendiri. CTL menekankan

       20

Wina Sanjaya, Op. Cit, hal 255. 

21

Saepul Hamdani, DIDAKTIS Jurnal Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, (Surabaya: UNMUH Surabaya. 2004), hal. 43. 

22

Isjoni, “Sejarah Pembelajaran Kontekstual”, berita diakses pada tanggal 14 Februari 2010 dari www.riaupos.com, hal. 33. 


(25)

pada berpikir tingkat lebih tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisaan dan pensintesisan informasi dari berbagai sumber dan pandangan.23 Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.24

Seperti hal di atas pendekatan kontekstual merupakan strategi yang dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna, tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. Dengan siswa diajak bekerja dan mengalami, siswa akan mudah memahami konsep suatu materi dan nantinya diharapkan siswa dapat menggunakan daya nalarnya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada.

Sementara itu siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit dan dari proses mengkonstruksi sendiri sebagai bakal untuk meningkatkan prestasi akademik. CTL mengaktifkan berbagai aspek yang dimiliki siswa, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Sehingga proses belajar akan lebih menyenangkan dan berimplementasi kepada keberhasilan yang membanggakan.

Sejalan dengan pengertian CTL diatas Dan Hull mengatakan bahwa

“Student’s involvement in their schoolwork increases significantly when they are learning the concept can be used outside the classroom. And the most students learn much more effeciently when they are allowed to work cooperatively with other students in groups or teams”.25 Keterlibatan siswa akan meningkat secara signifikan ketika mereka belajar konsep lalu dapat diterapkan di luar kelas dan

       23

Trianto, Op. Cit, hal. 102. 

24

Bandono, Contextual Teaching and Learning, diakses dari:

http://bandono.web.id/2008/03/07/menyusun-model-pembelajaran-contextual-teaching-and-learning-ctl.php. Maret 2008. 

25

Anonoim, ”Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual”, diakases dari http://219.94.96.174/sainsmath2002/pedagogi%20ubahsuai/Kontekstual.pdf, agustus 2008. 


(26)

sebagian besar siswa belajar banyak secara efisien ketika mereka kerja sama dengan teman sekelompoknya.

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sistem yang menyeluruh.26 CTL menawarkan strategi pembelajaran sedemikian rupa sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi siswa. Selain menghadirkan jalan terbaik untuk mencapai prestasi akademik yang unggul, CTL adalah proses yang tidak bisa diukur dengan menggunakan pengukuran standar.27 Selaian itu, strategi ini akan efektif dalam membantu siswa yang termasuk dalam kelompok di bawah rata-rata. Anak-anak dari kelompok ini bukan hanya terdiri dari mereka yang benar-benar tergolong lambat belajar, tetapi juga anak-anak yang karena lingkungannya menjadi anak yang kurang kreatif. Dengan kata lain guru harus memiliki berbagai keterampilan strategi mengajar yang akan dituangkan dalam kegiatan mengajar sehari-hari.

Hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah perlunya guru membekali diri dengan sikap positif seperti keinginan untuk selalu memperbaiki diri, selalu ingin tahu hal baru, dan bersedia menerima kegagalan atau kritikan. Mendorong guru untuk mula-mula belajar melakukan pengamatan serta mencatatnya, dan lama kelamaan belajar membuat penelitian tindakan kelas, yang pada gilirannya akan sangat bermanfaat untuk penyempurnaan pembelajaran.

3. Prinsip Pendekatan CTL

COR (Center for Occupational Research) dalam Masnur menjabarkan lima prinsip CTL yang disingkat REACT antara lain.28

1) Keterkaitan, relevansi (Relating)

Proses pembelajaran hendaknya ada keterkaitan (relevance) dengan bekal pengetahuan (prerequisite knowledge) yang telah ada pada diri peserta didik, dengan konteks pengalaman dalam kehidupan dunia sebenarnya seperti manfaat untuk bekal bekerja di kemudian hari dalam kehidupan masyarakat.       

26

Elanie B. Johnson, Op. Cit, hal.65. 

27

Ibid, hal. 150. 

28

Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009),hal. 41-42. 


(27)

2) Pengalaman langsung (Eksperiencing)

Dalam proses pembelajaran peserta didik perlu mendapatkan pengalaman langsung melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, investigasi, penelitian, dan lain-lain. Proses pembelajaran akan berlangsung cepat jika peserta didik diberi kesempatan untuk memanipulasi peralatan, memanfaatkan sumber belajar, dan melakukan bentuk-bentuk kegiatan penelitian yang lain secara aktif.

3) Aplikasi (Applying)

Menerapkan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang dipelajari dalam situasi dan konteks yang lain merupakan pembelajaran tingkat tinggi, lebih dari sekedar menghafal.

4) Kerjasama (Cooperating)

Kerjasama dalam konteks saling tukar pikiran, mengajukan dan menjawab pertanyaan, komunikasi interaktif antar sesama peserta didik, antar peserta didik dengan guru, antar guru dengan peserta didik, dan peserta didik dengan narasumber. Memecahkan masalah dan mengerjakan tugas bersama merupakan strategi pokok pembelajaran dalam pembelajaran CTL.

5) Alih Pengetahuan (Transfering)

Pembelajaran CTL menekankan pada kemampuan peserta didik untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang telah dimiliki pada situasi lain. Dengan kata lain pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki bukan sekadar untuk menghafal tetapi dapat digunakan atau dialihkan pada situasi dan kondisi lain.

4. Karakteristik Pembelajaran CTL

Pembelajaran CTL memiliki karakteristik sebagai berikut.29

1) Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang diarahkan pada keterampilan dalam konteks kehidupan nyata atau pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting).

       29


(28)

2) Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learning).

3) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa (learnig by doing).

4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi antarteman (learning in a group).

5) Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, bekerjasama, dan saling memahami antarsatu dengan yang lain secara mendalam (learning to know each other deeply).

6) Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerjasama (learning to ask, to inquiry, to work together).

7) Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan (learning as an enjoy activity).

5. Komponen CTL

Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (Constructuvism), penemuan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat belajar (Learning Community), refleksi (Reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).30

1) Konstruktivisme

Konstruktivisme (Constructuvism) merupakan landasan berpikir pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh siswa sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteksnya yang terbatas. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya. Dengan demikian pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan “menerima” pengetahuan. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Strategi “memperoleh” lebih

       30


(29)

diutamakan dibanding seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.

Pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengelaman. Pengalaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengelaman baru. Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia dalam dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi bermakna pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi bermakna struktur pengetahuan yang sudah ada di modifikasi untuk menampung dan menyesuaikan hadirnya pengetahuan baru.

Pembelajaran fisika sangat memungkinkan untuk diajarkan dengan menggunakan prinsip konstruktivisme, karena fisika sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa.

2) Inkuiri

Inkuiri adalah keyakinan dasar bahwa siswa harus belajar penuh dan aktif dalam proses penyelidikan, pemerosesan, mengumpulkan, memadukan, meyaring dan menyampaikan pengetahuan mereka pada sebuah topik.31 Inkuiri sebagai suatu proses dimana siswa terlibat dalam pembelajaran mereka, merumuskan pertanyaan, menyelidiki secara luas dan kemudian membangun pemahaman baru, makna dan pengetahuan yang baru bagi siswa dan dapat digunakan untk menjawab pertanyaan, untuk mengembangkan solusi atau untuk mendukung suatu posisi atau sudut pandang.

National Science Education Standards menggunakan istilah inkuiri dalam dua hal berbeda. Pertama, inkuiri menunjukan pada kemampuan siswa mengembangkan kemampuan merancang dan melakukan investigasi ilmiah serta pemahaman siswa akan hakikat penemuan ilmiah (scientific inquiri). Kedua,

       31


(30)

inkuiri menunjukkan pada strategi belajar mengajar yang memungkinkan konsep ilmiah dikuasai melalui investigasi.32

Menemukan merupakan bagian inti dari CTL (Contextual Teaching and Learning). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan sekedar sebagai hasil mengingat seperangkat fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan menuju pada kegiatan menemukan sendiri terhadap materi yang diajarkannya. Ada lima siklus inquiri, yaitu (1) observasi (observation), (2) bertanya (question), (3) mengajukan dugaan (hiphotesis), (4) pengumpulan data (date gathering), dan (5) penyimpulan (conclussion).

3) Bertanya

Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya (questioning). Bertanya yang merupakan strategi utama pembelajaran CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan utama guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan strategi inquari, yaitu menggali informasi, menginformasikan apa yang telah diketahui dan mengarahkan pelatihan pada aspek yang belum diketahinya. Kegiatan bertanya berguna untuk mengkaji informasi, mengecek pemahaman siswa, membangkitkan respon siswa, mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru. Membangkitkan lebih banyak pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

Dalam penerapannya di kelas, bertanya dapat diterapkan, antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara guru dengan siswa, dan antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. Aktivitas bertanya ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menuai kesulitan, ketika mengamati dan sebagainya. Kegiatan tersebut akan menumbuhkan dorongan untuk “bertanya”.

       32

National Research Council, Inquiri and The National Science Education Standards: A Guided for Teaching and Learning, (Washington DC: National Academy Press, 2000) hal. 1. 


(31)

4) Masyarakat Belajar

Masyarakat belajar dapat terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran peserta didik, memberi informasi yang diperlukan oleh teman belajarnya dan meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Konsep masyarakat belajar menyadarkan bahwa hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharring antar teman, antar kelompok dan antara yang tahu dengan yang belum tahu. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman dan keterampilan berbeda yang perlu dipelajari.

Membangun pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana di atur dalam pasal 55 UUSPN, masyarakat di beri hak oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat.33

Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang pandai mengajari yang kurang, yang tahu mengajari yang belum tahu, yang cepat mendorong yang lambat, dan yang berinisiatif memberikan gagasannya.

5) Pemodelan

Dalam proses pembelajaran yang dimaksud dengan pemodelan adalah suatu bentuk pengetahuan atau keterampilan dengan memberi model yang dapat ditiru atau cara melakukan sesuatu. Dalam pembelajaran fisika proses modeling sering dilakukan ketika komunitas belajar sedang mengubah masalah dalam kehidupan sehari-hari menjadi kalimat fisika. Dalam pembelajaran CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk menjadi contoh kepada siswa lain.

       33

Depdiknas Pustekinkom Pendidikan, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (vol. 15 No. 2, maret 2009) hal 244. 


(32)

6) Refleksi

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang telah dilakukan di masa lalu. Siswa diberi kesempatan untuk “mengedepankan” apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan yang lama. Dengan demikian siswa merasa telah memperoleh pengetahuan baru yang berguna bagi dirinya.

7) Penilaian yang Sebenarnya

Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan siswa. Gambaran perkembangan siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang diperoleh menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan belajar, maka secepatnya guru mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasinya. Assessment tidak harus selalu di akhir proses pembelajaran, tetapi dilakukan bersama-sama secara integral dalam proses pembelajaran.

Kemajuan siswa dinilai dari proses, tidak hanya hasil. Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan pada upaya membentuk siswa bagaimana seharusnya belajar (learning how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir proses pembelajaran. Guru yang ingin melihat perkembangan hasil belajar fisika siswanya, harus mengumpulkan data dari perilaku nyata siswanya dikelas maupun di luar kelas dalam mengaplikasikan fisika, bukan hanya dari hasil mengerjakan soal tes fisika. Proses pengambilan data seperti inilah yang dimaksud dengan Authentic Assessment.

Mansur mengutip pendapat John A. Zahorik dalam Constructivist Teaching mencatat lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktik pembelajaran CTL. Lima elemen yang dimaksud sebagai berikut.34

1) Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada

2) Pemerolehan pengetahuan baru dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu kemudian memerhatikan detailnya.

       34


(33)

3) Pemahaman pengetahuan yaitu dengan cara menyusun konsep sementara (hipotesis), melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validitas), dan atas tanggapan itu, konsep tersebut direvisi dan dikembangkan. 4) Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut.

5) Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Dalam CTL, guru berperan dalam memilih, menciptakan, dan menyelenggarakan pembelajaran yang menggabungkan seberapa banyak pengalaman siswa termasik aspek sosial, fisikal, dan psikologikal untuk mencapai hasil belajar yang diinginkan. Dalam lingkungan sekitar, siswa menemukan hubungan yang bermakna antara ide abstrak dan aplikasi praktikal dalam konteks nyata. Siswa akan memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan sesuai dengan kerangka pikir yang dimilikinya.

6. Langkah-langkah Pembelajaran CTL

Tugas guru dalam pembelajaran CTL ini adalah membantu peserta didik mencapai tujuannya, maksudnya guru kelas lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerjasama untuk menemukan suatu yang baru bagi anggota kelas (peserta didik).

Depdiknas dalam Trianto menyatakan pembelajaran CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.35 Menggunakan pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya yaitu: mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya, melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik, mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya, menciptakan masyarakat belajar, menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, melakukan refleksi di akhir pertemuan, melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

       35


(34)

Secara garis besar langkah-langkah penerapan CTL dalam kelas sebagai berikut36

1) Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

2) Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. 3) Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.

4) Menciptakan masyarakat belajar.

5) Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran. 6) Melakukan refleksi di akhir pertemuan.

7) Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

Untuk mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, serta indikator pada pembelajaran fisika dengan menggunakan CTL. Sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran CTL diatas guru melakukan tahap-tahap pembelajaran seperti tabel berikut.

Tabel 2.2 Tahap-tahap Pembelajaran CTL

Tahap Tingkah Laku Guru

Tahap 1

Kembangkan pemikiran siswa tentang belajar

lebih bermakna

Guru membimbing siswa untuk berpikir sendiri. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya. Guru mendiskusikan rubric assesment yang akan digunakan dalam menilai kegiatan atau hasil karya siswa.

Tahap 2

Kegiatan inkuiri

Guru membimbing siswa untuk bisa menemukan pemahaman materi. Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Tahap 3

Kembangkan sifat ingin tahu siswa

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai materi, melaksanakan eksperimen atau demonstrasi. Guru menjelaskan materi serta contoh-contoh dalam kehidupan nyata.

Tahap 4

Ciptakan masyarakat belajar

Guru membimbing siswa untuk membentuk kelompok dan bekerjasama memecahkan masalah tentang materi pelajaran.

Tahap 5

Menghadirkan model sebagai contoh

pembelajaran

Guru memperagakan alat yang berkaitan dengan materi pelajaran. Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

Tahap 6 Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi

       36


(35)

Melakukan refleksi terhadap eksperimen mereka

Tahap 7

Melakukan penilaian yang sebenarnya

Guru mengevaluasi kinerja siswa terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. Kemudian memberikan penghargaan kepada siswa atau kelompok.

7. Perbedaan Pendekatan Konvensional dan CTL

Konvensional merupakan sebuah pendekatan secara klasikal yang biasa digunakan oleh setiap pendidik dalam mendidik siswanya. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan pengajaran yang menempatkan guru sebagai inti dalam keberlangsungan proses belajar mengajar. Peran siswa lebih banyak belajar sendiri secara individual. Siswa tidak diberi banyak kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan berinteraksi dengan siswa lainnya. Keadaan seperti ini membuat proses belajar menjadi tidak efektif, karena waktu siswa hanya dihabiskan untuk mengisi buku tugas, mendengarkan pengajar dan menyelesaikan latihan-latihan. Sebaliknya siswa di minta untuk mengikuti ujian yang bisa mengungkapkan pemahaman berdasarkan hafalan yang mereka miliki.

Pendekatan konvensional lebih mengutamakan hasil akhir daripada proses pencapaiannya. Guru berfungsi sebagai sumber ajar yang memberikan informasi dan siswa hanya sebagai penerima informasi yang mengikuti langkah sang guru. Metode ceramah adalah metode yang paling banyak digunakan, hal ini mungkin dianggap guru sebagai metode mengajar yang paling mudah dilaksanakan. Jika bahan pelajaran dikuasai dan ditentukan urutan penyampaiannya, guru tinggal menyajikannya di depan kelas dan siswa hanya memperhatikan guru berbicara, mencoba menangkap apa isinya dan membuat catatan. Selain metode ceramah metode yang sering dilakukan adalah metode ekspositori, metode kelompok dan metode diskusi.

Pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL mengajak siswa untuk aktif, berpikir kreatif, memberikan tugas-tugas yang merangsang bukan hanya kerja otaknya tetapi juga fisiknya, dan terlibat penuh dalam proses pembelajaran. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional, siswa hanya berperan sebagai penerima informasi yang pasif, yaitu siswa lebih banyak belajar sendiri secara individual. Siswa tidak diberi kesempatan banyak untuk mengemukakan pendapat


(36)

dan berinteraksi dengan siswa lainnya. Keadaan seperti ini membuat proses belajar menjadi tidak efektif, karena waktu siswa hanya dihabiskan untuk mengisi buku tugas, mendengarkan pengajar dan menyelesaikan latihan-latihan yang membosankan. Selebihnya siswa diminta untuk mengikuti ujian yang bisa mengungkapkan pemahaman siswa, mereka hanya mengikuti ujian yang mengukur kemampuan mereka dalam menghapal fakta.

Untuk lebih lengkapnya, perbedaan pendekatan CTL dengan pendekatan tradisional (konvensional) dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.3 Perbedaan pendekatan CTL dan pendekatan konvensional

No CTL Konvensional

1 Menyandarkan pada memori spasial (pemahaman makna)

Menyandarkan pada hafalan 2 Cenderung mengintegrasikan beberapa

bidang (disiplin)

Pemilihan informasi ditentukan oleh guru

3 Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin)

Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin tertentu)

4 Mengaitkan informasi pengetahuan awal yang dimiliki siswa

Memberikan tumpukan informasi pasif

5 Siswa secara aktif terlibat dalam pembelajaran

Siswa adalah penerima informasi pasif

6 Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, dan saling mengoreksi

Siswa belajar secara individual

7 Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata atau masalah yang disimualasikan

Pembelajaran abstrak, teoritis dan kurang dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa

Tabel 2.4 Perbedaan pendekatan CTL dan Konvensional37

No CTL Konvensional

1 Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran

Siswa adalah penerima informasi pasif

2 Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi

Siswa belajar secara individual 3

Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan masalah yang disimulasikan

Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis

4 Perilaku dibangun atas kesadaran sendiri Perilaku dibangun atas kebiasaan 5 Keterampilan dikembangkan atas dasar

pemahaman

Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan

6 Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri

Hadiah untuk perilaku baik adalah tujuan atau nilai rapor

       37


(37)

7 Seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan

Seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia takut hukuman 8 Bahasa diajarkan dengan pendekatan

komunikatif, yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata

Bahasa diajarkan dengan pendekatan struktural, rumus diterangkan sampai paham kemudian dilatihkan

9 Pemahaman rumus dikembangkan atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa

Rumus itu ada di luar diri siswa 10 Pemahaman itu berbeda antara siswa yang

satu dengan yang lainnya (on going process of development)

Rumus adalah kebenaran absolut (sama untuk semua orang).

11 Siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif

Siswa secara pasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengar, mencatat, menghafal)

12 Pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri

Pengetahuan adalah fakta, konsep, atau hukum yang berada diluar diri manusia

13 Pengetahuan tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative incomplete)

Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan bersifat final

14 Siswa diminta bertanggungjawab memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing

Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran

15 Penghargaan terhadap pengalaman siswa sangat diutamakan

Proses pembelajaran tidak memerhatikan pengalaman siswa

16 Hasil belajar diukur dengan berbagai cara proses bekerja hasil karya, penampilan, rekaman tes

Hasil belajar hanya diukur dengan tes

17 Pembelajaran terjadi diberbagai tempat, konteks, dan setting

Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas

18 Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek

Sangsi adalah hukuman dari perilaku jelek

19 Perilaku baik berdasarkan motivasi instrinsik Perilaku baik berdasar dari motivasi ekstrinsik

20 Seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat

Seseorang berprilaku baik karena dia terbiasa melakukan begitu

Perbedaan CTL dengan pengajaran konvensional, juga dapat dibedakan melalui strategi-strategi yang terkandung di dalamnya. Strategi CTL berisi kooperatif, proyek pengetahuan dasar, masalah pengetahuan dasar, perkembangan portofolio, penilaian sebenarnya, berbagai pendekatan disipliner, pembelajaran menggunakan komputer, pembelajaran yang memudahkan guru siap dalam bimbingan dan pelatihan, tanggung jawab atas pembelajaran siswa, melangsungkan komunitas pembelajaran, memberikan umpan balik, dan dorongan kepada siswa. Sedangkan pembelajaran dan pengajaran konvensional berisi modul pendidikan teknologi, demonstrasi guru, diskusi guru, tugas individu, penilaian


(38)

tradisional, menggunakan papan buletin dan poster, dan menggunakan papan tulis dalam kegiatan pembelajaran.38

8. Evaluasi pembelajaran CTL

Adapun evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran CTL antara lain. 1) Penilaian kinerja

Penilaian kinerja adalah penilaian berdasarkan hasil pengamatan penilai terhadap aktivitas siswa sebagaimana yang terjadi. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penilaian kinerja yaitu identifikasi semua aspek penting. Tuliskan semua kemampuan khusus yang diperlukan, usahakan kemampuan yang akan dinilai dapat diamati dan tidak terlalu banyak. Urutkan kemampuan yang akan dinilai berdasarkan urutan yang akan diamati.

2) Penilaian tes tertulis

Penilaian secara tertulis dilakukan dengan tes tertulis. Tes tertulis yang digunakan adalah tes pilihan ganda. Tes pilihan ganda dapat digunakan untuk kemampuan mengingat dan memahami. Dalam menyusun instrumen penilaian tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal berikut yaitu materi, konstruksi, dan bahasa.

9. Hasil Belajar

Pengertian belajar menurut konstruktivisme, adalah perubahan proses mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman nyata yang dialami peserta didik sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan yang mereka peroleh sebagai hasil interpretasi pengalaman yang disusun dalam pikirannya. Belajar atau juga yang disebut dengan learning, adalah perubahan yang secara relatif berlangsung lama pada prilaku yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman.39

       38

John L. Scott, “Implementing Contextual Teaching and Learning: Case Study of David, a High School Technology Education Novice Teacher”, (University of Georgia, 2003) dari: http://www.coe.uga.edu/ctl/casestudy/scott.pdf. Juli 2008, hal. 13-14. 

39

Zikri Neni Iska, Psikologi Pengantar Pemahaman Diri dan lingkungan, (jakarta: KIZI BROTHER’S, 2006) hal. 76. 


(39)

Belajar menurut Muhibbin Syah adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan.40 Belajar merupakan tahap perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Belajar bukan sekedar penguasaan bahan, akan tetapi terjadinya perubahan tingkah laku anak sehingga terbentuk suatu kepribadian yang baik.41

Proses belajar pada prinsipnya bertumpu pada struktur kognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga membentuk satu kesatuan yang memiliki makna bagi subjek didik. Aktivitas belajar dapat dikatakan efektif bila proses pembelajaran telah dapat mewujudkan sasaran atau hasil belajar yang beranekaragam. Belajar merupakan tingkah laku sebagai hasil belajar yang terjadi melalui usaha dengan mendengar, membaca, mengikuti petunjuk, mengamati, memikirkan, mengahayati, meniru, melatih dan mencoba sendiri dengan penglaman atau latihan. Jadi perubahan perilaku akibat kematangan atau pertumbuhan fisik itu bukan hasil belajar.

Hasil belajar adalah kemampuan aktual yang berupa penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan yang dicapai peserta didik sebagai hasil dari suatu yang dipelajarinya. Indikator hasil belajar merupakan terget pencapaian kompetensi secara operasional dari kompetensi dasar dan standar kompetensi.42 Hasil belajar yang dicapai siswa sangat erat kaitannya dengan rumusan tujuan instruksional yang direncanakan guru sebelumnya. Hal ini dipengaruhi pula oleh kamampuan guru sebagai perancang (designer) belajar-mengajar.

       40

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 89. 

41

Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 21. 

42

Ahmat Sofian, dkk, Evaluasi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2006), hal. 13. 


(40)

Bloom dalam Ahmad Sofian mengklasifikasi hasil belajar secara garis besar terdiri dari.43

a. Ranah kognitif, yang berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari Hafalan (C1), pemahaman (C2), aplikasi/penerapan (C3), analisis (C4), sintesis (C5), dan evaluasi (C6).

1) Hafalan (C1) meliputi kemampuan menyatakan kembali fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang telah dipelajari.

2) Pemahaman (C2) meliputi kemampuan menangkap arti dari informasi yang diterima, misalnya dapat menafsirkan bagan, diagram, atau grafik, menerjemahkan suatu pernyataan verbal ke dalam rumusan matematis atau sebaliknya.

3) Penerapan (C3) meliputi kemampuan menggunakan prinsip, aturan, metode yang dipelajari pada situasi baru atau pada situasi konkrit.

4) Analisis (C4) meliputi kemampuan menguraikan suatu informasi yang dihadapi menjadi komponen-komponennya, sehingga struktur informasi serta hubungan antar komponen informasi tersebut menjadi jelas.

5) Sintesis (C5) meliputi kemampuan untuk mengintegrasikan bagian-bagian yang terpisah-pisah menjadi suatu keseluruhan yang terpadu.

6) Evaluasi (C6) meliputi kemampuan untuk mempertimbangkan nilai suatu pernyataan, uraian, pekerjaan, berdasarkan kriteria tertentu yang ditetapkan.

b. Ranah afektif dirinci oleh kratwohl dkk dalam ahmad sofyan menjadi lima jenjang,44 yaitu perhatian/penerimaan (receiving), tanggapan (responding), penilaian/penghargaan (valuing), pengorganisasian (organization), dan karakterisasi terhadap suatu nilai atau beberapa nilai (characterization by a value or value complex).

1) Penerimaan (receiving) merupakan kepekaan atau keinginan menerima atau memperhatikan fenomena dan stimuli, menunjukkan perhatian yang terkontrol dan terseleksi.

       43

Ibid, hal. 14-27. 

44


(41)

2) Responsi (responding) menunjukkan perhatian aktif, melakukan sesuatu fenomena, setuju, ingin dan puas menanggapi.

3) Penilaian (valuing) menunjukkan konsistensi perilaku yang mengandung nilai, termotivasi berperilaku sesuai dengan nilai yang pasti.

4) Pengorganisasian (organization) seperti mengorganisasikan nilai-nilai yang relevan ke dalam suatu sistem.

5) Pembentukan karakter (charecterization) menginternalisasi nilai-nilai menjadi karakter.

c. Ranah psikomotorik menurut Dave dalam Uzer Usman mengklasifikasi dalam lima kategori, yaitu peniruan, manipulasi, ketetapan, artikulasi, dan pengalamiahan.45 Ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu.46

Dari pengertian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan aktual yang berupa penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dicapai peserta didik sebagai hasil dari sesuatu yang dipelajarinya. Penguasaan konsep dapat dilihat melalui tes hasil belajar berupa angka-angka, sedangkan sikap dapat teraktualisasikan melalui kepekaannya terhadap kejadian yang terjadi disekitarnya, begitupun dalam hal keterampilan.

Pengukuran hasil belajar merupakan bagian penting dalam proses mengajar, karena dengan pengukuran tersebut dapat ditentukan tingat keberhasilan suatu program sekaligus juga dapat diukur hasil-hasil dicapai oleh suatu program dengan baik untuk menilai hasil belajar yang beranekaragam dapat diukur dengan menggunakan alat bantu atau teknik evaluasi, yang biasanya berupa tes yang disusun berdasarkan tujuan instruksional yang hendak dicapai.

       45

Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 36-37. 

46


(42)

10.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Hasil belajar yang diinginkan berhubungan dengan keyakinan bagaimana prosesnya berlangsung. Pandangan mengenai proses belajar bukan saja menentukan hasilnya tapi juga model evaluasi yang dianjurkan untuk digunakan.47 Aktivitas belajar bagi setiap individu tidak selamanya dapat berlangsung wajar. Kadang-kadang lancar dan kadang tidak, kadang-kadang cepat menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang-kadang-kadang terasa amat sulit. Dalam hal semangat kadang semangatnya tinggi, tetapi terkadang juga sulit untuk mengadakan konsentrasi. Demikian diantara kenyataan yang sering kita jumpa pada setiap anak didik dalam kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan aktivitas belajar mengajar.

Berhasil atau tidaknya seseorang dalam belajar disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian hasil belajar dari dalam diri orang yang belajar dan ada pula dari luar dirinya. Zikri Neni dalam bukunya menjelaskan bahwa hasil belajar disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal.48

Jadi, secara umum, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan prestasi belajar terbagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Berikut ini penulis akan menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan kedua faktor tersebut. 1) Faktor Internal

Faktor Internal adalah faktor yang ada dalam diri seseorang dalam hal ini dalam diri siswa. Faktor ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:49

a) Faktor Fisiologis

Faktor ini ditinjau berdasarkan keadaan jasmani. Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai

       47

Depdiknas Pustekinkom, Jurnal Teknodik (No. 17/IX/Teknodik, Desember 2005) hal 178. 

48

Zikri Neni Iska, Op. Cit, hal. 85. 

49

Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. 1, hal.131-138. 


(43)

pusing- pusing kepala misalnya, dapat menurunkan ranah cipta kognitif sehingga materi yang dipelajarinya kurang atau tidak berbekas.

Jadi orang yang sehat akan berbeda dengan pengaruhnya terhadap belajar dibandingkan dengan jasmani yang kurang sehat. Kondisi fisiologi siswa terdiri atas kondisi kesehatan dan kebugaran fisik serta kondisi panca inderanya, terutama sekali indera penglihatan dan pendengaran.

Apabila seseorang siswa memiliki kondisi fisiologi yang kurang baik seperti indera pendengaran dan penglihatannya kurang baik, maka hampir dapat dipastikan siswa tersebut akan mengalami kesulitan dalam belajar, sebagaimana telah disebutkan pada awal penulisan. Jika hal tersebut tidak segera di tindak lanjuti maka akan berpengaruh terhadap prestasi belajar yang akan diperoleh siswa tersebut.

b) Faktor Psikologis

Muhibbin Syah dalam bukunya Psikologi belajar menyebutkan, yang termasuk ke dalam faktor psikologis diantaranya adalah motivasi, minat, dan bakat.50 Apabila seseorang memiliki motivasi, minat, dan bakat maka ia akan terpacu untuk terus belajar. Dengan kata lain ia memiliki semangat yang luar biasa untuk terus belajar. Akan tetapi sebaliknya apabila keadaan individunya seperti kurang sehat, gangguan pada inderanya, dan lain-lain, maka hal tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi kegiatan belajarnya.

2) Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa. Faktor ini terdiri dari faktor-faktor lingkungan dan faktor-faktor Intsrumental.51

a) Faktor-Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : 52 (1) Lingkungan Sosial

Faktor linkingan sosial juga bisa berwujud manusia dan reprentasinya termasuk budayanya akan mempengaruhi proses belajar dan hasil belajar       

50

Ibid, hal. 132. 

51

Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan berdasarkan Kurikulum Nasional, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), Cet. 2, hal. 59. 

52


(44)

siswa. Lingungan sekolah seperti guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Para guru yang selalu menunjukan sikap dan prilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.

Selanjutnya juga yang termasuk lingkungan sosial siswa adalah masyarakat dan tetangga serta teman-teman sepermainan disekitar perkampungan siswa tersebut. Kondisi masarakat dilingkungan kumuh yang serba kekurangan dan anak-anak penganggur misalnya akan sangat mempengaruhi aktifitas belajar siswa. Paling tidak siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau berdiskusi atau meminjam alat- alat belajar tertentu yang kebetulan belum dimiliki.

(2) Lingkungan Non Sosial

Lingkungan non sosial yang dimaksud adalah hal-hal yang dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa yang tak terhitung jumlahnya misalnya: keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu (pagi, siang atau malam), gedung sekolah dan letaknya, alat-alat sekolah yang digunakan siswa untuk belajar, tempat tinggal siswa dan letak tempat tinggal tersebut. b) Faktor-Faktor Instrumental

Faktor Instrumental ini terdiri dari gedung/sarana fisik kelas, sarana pengajaran, guru, dan kurikulum pelajaran serta strategi belajar mengajar yang digunakan akan mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa.53 Banyak psikolog beranggapan bahwa belajar merupakan suatu proses yang asosiatif, yaitu asosiasi atau koneksi antara suatu rangsang tertentu.

11.Hubungan Pendekatan CTL dengan Hasil Belajar

Salah satu cara belajar-mengajar yang menekankan berbagai kegiatan dan tindakan adalah menggunakan pendekatan tertentu dalam belajar-mengajar karena pendekatan dalam belajar-mengajar pada hakekatnya merupakan suatu upaya       

53


(45)

dalam mengembangkan keaktifan belajar yang dilakukan oleh peserta didik dan guru.

Terdapat kecendrungan dalam dunia pendidikan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan sacara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalamai” sendiri apa yang dialaminya, bukan “mengetahi”-nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dari kompetensi “mengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang, pendekatan CTL adalah suatu pendekatan pengajaran yang karakteristiknya memenuhi harapan itu.

Kuatnya arus globalisasi yang terus menerus terjadi menyebabkan nilai-nilai yang menjadi pondasi pertahanan peserta didik akan runtuh. Dengan penanaman pendidikan nilai dimaksudkan akan menambah ruh bagi para peserta didik untuk menghadirkan kepekaan terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar dan memberi arahan untuk bisa berkontribusi terhadap lingkungannya.

B. Penelitian yang Relevan

Beberapa hasil penelitian dengan penerapan CTL memberikan hasil bahwa pembelajaran CTL dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan menunjukkan sikap yang positif, salah satunya seperti dalam penelitian Tri Murtono dengan judul Keefektifan Model Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) Terhadap Penalaran Matematika Pada Materi Komposisi Fungsi dan Invers Fungsi Pada Siswa Kelas XI 1A SMA Negeri Semarang Tahun Ajaran 2006/2007. Penelitian tersebut memperlihatkan adanya peningkatan hasil belajar siswa setelah pembelajaran melalui pendekatan CTL.54

Lina Rahmawati melakukan penelitian mengenai efektivitas pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning dalam meningkatkan hasil

       54

Tri Murtono, Keefektifan Model Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) Terhadap Penalaran Matematika Pada Materi Komposisi Fungsi dan Invers Fungsi Pada Siswa Kelas XI 1A SMA Negeri Semarang Tahun Ajaran 2006/2007, (skripsi Universitas Negeri Semarang, 2007), diakses pada tanggal 12 Februari dari http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/index/assoc/HASH0134/ce1e0081.dir/doc.pdf


(1)

b. Kelas 48 – 55

z = 0,3830 – 0,2054 = 0,1776 c. Kelas 56 – 63

z = 0,2054 + 0,0438 = 0,2492 d. Kelas 64 – 71

z = 0,2764 – 0,0438 = 0,2326 e. Kelas 72 – 79

z = 0,4207 – 0,2764 = 0,1443 f. Kelas 80 – 87

z = 0,4713 – 0,4207 = 0,0506

4. Menghitung nilai Ei (frekuensi ekspektasi) dengan menggunakan rumus:

tabel luasz f

Ei =

i ×

5. Menentukan nilai kai kuadrat tiap-tiap kelas berdasarkan rumus berikut ini.

(

)

i i i

E E O X

2

2 = −

6. Menentukan jumlah kai kuadrat hitung (X2hitung) dengan menjumlahkan nilai kai kuadrat tiap-tiap kelas.

7. Menguji hipotesis normalitas.

Nilai X2tabel dengan derajat kebebasan (dk) = 3 adalah 11,34. Untuk menguji normalitas data dibandingkan X2hitung dengan X2tabel. Didapat bahwa X2hitung < X2tabel. Sehingga Ha diterima dan Ho ditolak (data berdistribusi normal).

B. Kelas VIII B

Perolehan Nilai Posttest Kelas VIII B 50 75 40 40 70 30 50 50 55 65 35 60 40 45 45 55 65 30 65 60 50 65 60 50 55 55 55 55 45 55


(2)

Tabel Bantu Kai Kuadrat Kelas VIII B

Kelas fi.xi xi fi. Xi2 batas kelas

Z batas kelas

luas Z tabel

Ei Oi (Oi -

Ei)^2/Ei

29.5 -2.06

30 - 37 100.5 33.5 3366.75 0.0688 2.0640 3 0.4245

37.5 -1.35

38 - 45 249 41.5 10333.5 0.1726 5.1780 6 0.1305

45.5 -0.64

46 - 53 247.5 49.5 12251.25 0.2668 8.0040 5 1.1274

53.5 0.07

54 - 61 575 57.5 33062.5 0.2544 7.6320 10 0.7347

61.5 0.78

62 - 69 262 65.5 17161 0.1509 4.5270 4 0.0613

69.5 1.50

70 - 77 147 73.5 10804.5 0.0456 1.3680 2 0.2920

75.5 2.03

76 - 87

Jumlah 1581 321 86979.5 X2 2.7704

Langkah-langkah penentuan nilai-nilai pada kolom tabel bantu tersebut adalah sebagai berikut.

1. Membuat tabel distribusi frekuensi seperti pada Lampiran 4, 5, 6, dan 7. 2. Menentukan z batas kelas dengan rumus:

S X z= BatasKelas

-Dimana X adalah nilai rata-rata dan S adalah nilai deviasi standar. 3. Menentukan luas z tabel.

z batas kelas 2,06 1,35 0,64 0,07 0,78 1,50 2,03 Luas z tabel 0,4803 0,4115 0,2389 0,0279 0,2823 0,4332 0,4788 Luas z tabel masing-masing kelas adalah sebagai berikut.

a. Kelas 30 – 37


(3)

b. Kelas 38 – 45

z = 0,4115 – 0,2389 = 0,1726 c. Kelas 46 – 53

z = 0,2389 + 0,0279 = 0,2668 d. Kelas 54 – 61

z = 0,2823 – 0,0279 = 0,2544 e. Kelas 62 – 69

z = 0,4332 – 0,2823 = 0,1509 f. Kelas 70 – 77

z = 0,4788 – 0,4332 = 0,0456

4. Menghitung nilai Ei (frekuensi ekspektasi) dengan menggunakan rumus:

tabel luasz f

Ei =

i ×

5. Menentukan nilai kai kuadrat tiap-tiap kelas berdasarkan rumus:

(

)

i i i

E E O X

2

2 = −

6. Menentukan jumlah kai kuadrat hitung (X2hitung) dengan menjumlahkan nilai kai kuadrat tiap-tiap kelas.

7. Menguji hipotesis normalitas.

Nilai X2tabel dengan derajat kebebasan (dk) = 3 adalah 11,34. Untuk menguji normalitas data dibandingkan X2hitung dengan X2tabel. Didapat bahwa X2hitung < X2tabel. Sehingga Ha diterima dan Ho ditolak (data berdistribusi normal).


(4)

Lampiran 9

Uji Homogenitas Hasil Belajar (Posttest)

Untuk menguji homogenitas varians kedua data hasil posttest digunakan uji F berdasarkan rumus berikut ini.

2 1 V V F = dimana:

V1 : varians besar atau nilai kuadrat deviasi standar data kelompok yang mempunyai deviasi standar terbesar.

V2 : varians kecil atau nilai kuadrat deviasi standar data kelompok yang mempuyai deviasi standar terkecil.

Kriteria pengujian uji F didasarkan pada ketentuan berikut ini.

a. jika Fhitung ≤ Ftabel, maka Ha diterima dan Ho ditolak (data memiliki varians yang homogen)

b. jika Fhitung > Ftabel,, maka Hoditerima dan Ha ditolak (data memiliki varians yang tidak homogen).

A. Tabel Bantu Uji F

Tabel Bantu Uji F Kelas VIII A

Kelas Batas

Kelas fi xi xi

2

fi .xi fi . xi 2

40 - 47 39,5 3 43.50 1892.25 130.50 5676.75

48 - 55 47,5 9 51.50 2652.25 463.50 23870.25

56 - 63 55,5 4 59.50 3540.25 238.00 14161.00

64 - 71 63,5 5 67.50 4556.25 337.50 22781.25

72 - 79 71,5 7 75.50 5700.25 528.50 39901.75

80 - 87 79,5 2 83.50 6972.25 167.00 13944.50


(5)

Tabel Bantu Uji F Kelas VIII B

Kelas

Batas

Kelas fi xi xi2 fixi fixi2

30 - 37 29,5 3 33.50 1122.25 100.50 3366.75

38 - 45 37,5 6 41.50 1722.25 249.00 10333.50 46 - 53 45,5 5 49.50 2450.25 247.50 12251.25 54 - 61 53,5 10 57.50 3306.25 575.00 33062.50 62 - 69 61,5 4 65.50 4290.25 262.00 17161.00 70 - 77 69,5 2 73.50 5402.25 147.00 10804.50

Jumlah (Σ) 297 30 321.00 18293.50 1581.00 86979.50

B. Perhitungan Nilai Deviasi Standar 1. Kelas VIII A

(

)

(

)

31 , 12 `

54 , 151 29

67 , 4394

29

83 , 115940 5

, 120335

29 30 3478225 5

, 120335

1 30

30 1865 5

, 120335

1 . .

2 2 2

1

= = =

− =

− =

− − =

− − =

i i

i i i

i f

f x f x

f S


(6)

2. Kelas VIII B

(

)

(

)

24 , 11 23 , 126 29 80 , 3660 29 7 , 117938 5 , 121599 29 30 3538161 5 , 121599 1 30 30 1881 5 , 121599 1 . . 2 2 2 2 = = = − = − = − − = − − =

i i i i i i f f x f x f S i

C. Menentukan Nilai Fhitung dan Menguji Hipotesis Homogenitas

Berdasarkan nilai deviasi standar kedua data, maka nilai Fhitung-nya adalah:

( )

( )

199 , 1 3376 , 126 5361 , 151 24 , 11 31 , 12 2 2 2 2 2 1 2 1 = = = = = S S V V Fhitung

Untuk menguji homogenitas, maka harus membandingkan Fhitung dengan Ftabel. Didapat bahwa derajat kebebasannya adalah (29;30), sehingga nilai Ftabel = 1,890 . Terlihat bahwa Fhitung< Ftabel, sehingga Ha diterima dan Ho ditolak (kedua data memiliki varians yang homogen).


Dokumen yang terkait

Pengaruh pendekatan pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) terhadap hasil belajar fisika siswa (quasi eksperimen di SMP al-Fath Cirendeu)

0 22 234

Pengaruh pendekatan contextual teaching and learning (CTL) melalui metode eksperimen terhadap hasil belajar siswa : quasi eksperimen di SMP Negeri 6 kota Tangerang Selatan

0 4 182

PENGARUH PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA KONSEP ZAT DAN WUJUDNYA TERINTEGRASI NILAI KEAGAMAAN (Eksperimen di MTs Al-Khairiyah,Citeureup-Bogor)

1 33 61

Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Sumber Energi Gerak melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) ( Penelitian Tindakan Kelas di MI Muhammadiyah 2 Kukusan Depok)

0 14 135

Peningkatan hasil belajar siswa pada konsep sumber energi gerak melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL): penelitian tindakan kelas di MI Muhammadiyah 2 Kukusan Depok

2 3 135

Penagruh pendekatan contextual teaching laering (CTL) terhadap hasil bejaran biologi siswa kuasi Ekperimen di SMPN 1 Cisauk

0 7 208

Peningkatan Hasil Belajar PKn dalam Materi Peranan Globalisasi Melalui Pendekatan Contekstual Teaching Learning (CTL) di kelas IV MI. Masyirotul Islamiyah Tambora Jakarta Barat Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 4 180

Upaya meningkatkan hasil belajar IPS melalui pembelajaran contextual teaching and learning : CTL di MI Al Islamiyah 01 pagi Jakarta Barat

0 4 167

Penerapan pendekatan pembelajaran contextual teaching and learnig/CTL untuk meningkatkan hasil belajar PKN pada siswa kelas IV MI Miftahussa’adah Kota Tangerang

0 10 158

Upaya meningkatkan hasil belajar IPA pada konsep perkembangbiakan tumbuhan melalui pendekatan kontekstual: penelitian tindakan kelas di MI Hidayatul Athfal Gunungsindur

0 19 141