Perbaikan Sifat Tanah Kebun Kakao Pada Berbagai Kemiringan Lahan Dengan Menggunakan Teknik Biopori Dan Mulsa Vertikal
PERBAIKAN SIFAT TANAH KEBUN KAKAO
PADA BERBAGAI KEMIRINGAN LAHAN
DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK BIOPORI
DAN MULSA VERTIKAL
T E S I S
Oleh :
RINA MAHARANY
097001016/AET
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
SEKOLAH PASCA SARJANA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PERBAIKAN SIFAT TANAH KEBUN KAKAO
PADA BERBAGAI KEMIRINGAN LAHAN
DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK BIOPORI
DAN MULSA VERTIKAL
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Pertanian
Dalam Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian
Pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh :
RINA MAHARANY
097001016/AET
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Tesis : Perbaikan Sifat Tanah Kebun Kakao Pada Berbagai
Kemiringan Lahan Dengan Menggunakan Teknik Biopori Dan Mulsa Vertikal
Nama Mahasiswa : Rina Maharany
Nomor Pokok : 097001016
Program Studi : Agroekoteknologi
Fakultas : Pertanian
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP
Ketua Anggota
Ir. T. Sabrina, M.agrSc. Ph.D
Ketua Program Studi Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS
(4)
Telah diuji pada
Tanggal :
PANITIA PENGUJI TESIS:
Ketua
: Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP
Anggota
: Ir. T. Sabrina, M.agrSc. Ph.D
Penguji
: 1. Dr. Deni Elfiati, SP. MP
2. Dr. Delvian, SP. MP
(5)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Perbaikan Sifat Tanah Kebun Kakao Pada Berbagai Kemiringan Lahan Dengan Menggunakan Teknik Biopori dan Mulsa Vertikal”.
Selama berlangsungnya kegiatan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, MP selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, saran dan kritik yang bersifat membangun.
2. Ir. T. Sabrina, M.agrSc. Ph.D selaku Dosen Pembimbing II atas segala bantuan, masukan, petunjuk dan pengarahannya dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Ibu Dr. Deni Elfiati, SP. MP selaku Dosen Penguji I atas kritik dan saran yang telah diberikan.
4. Bapak Dr. Delvian, SP. MP selaku Dosen Penguji II atas segala masukan yang diberikan.
5. Ayah dan Ibu serta kakak, abang dan adik, atas segala bantuan moril maupun materiil, serta do’a dan kasih sayangnya selama ini.
6. Teman-teman seperjuangan di pasca sarjana - Agroekoteknologi’09 yang senantiasa memberikan bantuan dan semangat kepada penulis selama ini. 7. Pak Slamet yang telah memberikan izin lahan kepada penulis, terimakasih
banyak atas bantuan dan kerjasamanya.
8. Semua pihak yang telah membantu hingga terselesainya penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik atau saran yang bersifat
(6)
membangun untuk kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang membutuhkan.
Medan, Januari 2012
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.4. Hipotesis ... 4
1.5. Manfaat Penelitian ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kakao ... 5
2.1.1.Iklim ... 6
2.1.2.Tanah dan Topografi ... 6
1) Sifat Fisik Tanah ... 7
2) Sifat Kimia Tanah ... 9
2.2. Perkembangan Perkebunan Kakao di Indonesia ... 11
2.3. Peran Pupuk Organik dan Bahan Organik ... 14
2.3.1. Peran BO Terhadap Kesuburan Fisika Tanah ... 17
2.3.2. Peran BO Terhadap Kesuburan Kimia Tanah ... 19
2.3.3. Peran BO Terhadap Kesuburan Biologi Tanah ... 21
2.4. Karakteristik Tanah di Indonesia ... 23
2.5. Biopori ... 25
2.6. Mulsa Vertikal ... 28
(8)
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32
3.2. Alat dan Bahan ... 32
3.2.1.Alat ... 32
3.2.2.Bahan ... 32
3.3. Rancangan Penelitian ... 32
3.4. Pelaksanaan Penelitian ... 34
A. Pembuatan Lubang Biopori ... 34
B. Pembuatan Mulsa Vertikal ... 34
C. Pengambilan Sampel Tanah ... 35
D. Pengukuran Bulk Density Tanah ... 35
E. Penetapan Kandungan Bahan Organik Tanah ... 36
3.5. Parameter Pengamatan ... 36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ... 38
4.1.1.Sifat Fisika Tanah ... 38
4.1.2.Sifat Kimia Tanah ... 43
4.1.3.Sifat Biologi Tanah ... 57
4.2. Pembahasan ... 65
4.2.1.Perbaikan Sifat Fisika Tanah ... 65
4.2.2.Perbaikan Sifat Kimia Tanah ... 67
4.2.3.Perbaikan Sifat Biologi Tanah ... 72
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 77
5.2. Saran ... 78
(9)
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Perkembangan Areal & Produksi Perkebunan Kakao di Indonesia 13
2. Kelas Kemiringan Lahan... 25
3. Faktor Pertama (Kemiringan Lahan) ... 32
4. Faktor Kedua (Penempatan Serasah Kakao) ... 32
5. Tabel Kombinasi Perlakuan ... 33
6. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Sifat Fisika Tanah Kebun Kakao ... 38
7. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Sifat Kimia Tanah Kebun Kakao ... 43
8. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Sifat Biologi Tanah Kebun Kakao ... 57
(10)
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
dan Kemiringan Lahan Terhadap Bulk Density Tanah Kebun Kakao 39 2. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
Dan Kemiringan Lahan Terhadap Permeabilitas Tanah Kebun Kakao 40 3. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
Dan Kemiringan Lahan Terhadap Infiltrasi Tanah Kebun Kakao .... 42 4. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
Dan Kemiringan Lahan Terhadap pH Tanah Kebun Kakao ... 44 5. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
Dan Kemiringan Lahan Terhadap P-tersedia Tanah Kebun Kakao .. 46 6. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
Dan Kemiringan Lahan Terhadap K-tukar Tanah Kebun Kakao ... 48 7. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
Dan Kemiringan Lahan Terhadap Ca-tukar Tanah Kebun Kakao .... 50 8. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
Dan Kemiringan Lahan Terhadap Mg-tukar Tanah Kebun Kakao ... 52 9. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
Dan Kemiringan Lahan Terhadap Na-tukar Tanah Kebun Kakao .... 53 10.Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
Dan Kemiringan Lahan Terhadap KTK Tanah Kebun Kakao ... 55 11.Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
Dan Kemiringan Lahan Terhadap C-organik Tanah Kebun Kakao .. 58 12.Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
Dan Kemiringan Lahan Terhadap N-total Tanah Kebun Kakao ... 60 13.Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal)
(11)
14.Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) Dan Kemiringan Lahan Terhadap Total Mikroba Tanah Kebun Kakao 63 15.Pelaksanaan Penelitian Pada Perlakuan Biopori ... 99 16.Pelaksanaan Penelitian Pada Perlakuan Mulsa Vertikal ... 100
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Bagan Areal Percobaan di Lapangan ... 79
2. Hasil Analisis Tanah Pada Perlakuan Tanpa Pemberian Mulsa dengan Kemiringan Lahan Datar, Landai dan Miring ... 80
3. Hasil Analisis Tanah Pada Perlakuan Biopori dengan Kemiringan Lahan Datar, Landai dan Miring ... 81
4. Hasil Analisis Tanah Pada Perlakuan Mulsa Vertikal dengan Kemiringan Lahan Datar, Landai dan Miring ... 82
5. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Secara Umum ... 83
6. Hasil Analisis Total Mikroba Tanah ... 84
7. Hasil Analisis Rasio C/N Daun Kakao ... 84
8. Hasil Uji Statistik Nilai Bulk Density Tanah ... 85
9. Hasil Uji Statistik Nilai Permeabilitas Tanah ... 86
10.Hasil Uji Statistik Nilai pH Tanah ... 87
11.Hasil Uji Statistik Jumlah P-tersedia Dalam Tanah ... 88
12.Hasil Uji Statistik Nilai K-tukar Tanah ... 89
13.Hasil Uji Statistik Nilai Ca-tukar Tanah ... 90
14.Hasil Uji Statistik Nilai Mg-tukar Tanah ... 91
15.Hasil Uji Statistik Nilai Na-tukar Tanah ... 92
16.Hasil Uji Statistik Nilai KTK Tanah ... 93
17.Hasil Uji Statistik Kandungan C-organik Tanah ... 94
18.Hasil Uji Statistik Kandungan N-total Tanah ... 95
19.Hasil Uji Statistik Rasio C/N Tanah ... 96
20.Hasil Uji Statistik Total Mikroba Tanah ... 97
21.Pelaksanaan Penelitian Pada Perlakuan Biopori di Kebun Kakao .... 98 22.Pelaksanaan Penelitian Pada Perlakuan Mulsa Vertikal di Kebun
(13)
(14)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman kakao (Theobroma cacao, L.) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang pengembangannya cukup signifikan. Hal ini disebabkan tanaman kakao dapat meningkatkan sumber devisa negara dari sektor nonmigas. Tanaman kakao menghendaki tanah dengan solum tanah yang dalam, yang memberikan ruang perakaran yang cukup. Jika permukaan air tanah dangkal maka akan menyebabkan dangkalnya perakaran sehingga pertumbuhannya tanaman kurang kuat, dan mudah tumbang.
Tanah yang ideal untuk tanaman kakao adalah yang mempunyai daya menahan air dengan baik, serta mempunyai drainase dan aerasi tanah yang baik, sehingga tidak membatasi pertumbuhan akar dan tanaman (Darmawijaya, 1997). Disamping itu tanaman kakao juga menginginkan tanah dengan sifat kimia tanah yang baik, yaitu mengandung bahan organik tinggi, pH netral dan kaya akan unsur hara. Bahan organik sangat diperlukan untuk tanaman kakao, karena dapat berperan untuk menahan air, memperbaiki struktur tanah, dan sebagai sumber unsur hara. Untuk tanaman kakao kandungan bahan organik pada lapisan tanah 0-15 cm tidak boleh kurang dari 3%. Disebutkan bahwa ada hubungan positif antara kandungan bahan organik tanah dan produksi kakao meningkat secara linier apabila kandungan bahan organik meningkat dari 3-6% (Bintaran, 2007).
(15)
Penyebaran tanah di Indonesia sebagian besar bertopografi datar hingga bergelombang dan sebagian kecil bergelombang hingga berbukit. Karena sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring (Koedadiri dkk, 1999). Lahan miring tersebar luas pada daerah tropis, dimana proses pembentukan tanahnya berasal dari proses pelapukan yang sangat intensif karena berlangsung pada daerah tropis yang bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi. Pencucian basa-basa yang berlangsung sangat intensif pada rezim temperatur mesik, iso mesik mengakibatkan tanah bersifat masam dan miskin unsur hara (Koedadiri dkk, 1999).
Disisi lain, kebutuhan akan pangan, papan, dan serat serta lapangan pekerjaan terus meningkat yang menyebabkan pemanfaatan lahan berlereng curam hingga sangat curam semakin intensif. Pemanfaatan lahan berlereng yang tidak terkendali dan tanpa disertai dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air bukan hanya menyebabkan lahan terdegradasi, lebih dari itu dapat menimbulkan bencana banjir, dan longsor di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Lahan miring berpotensi untuk dikembangkan apabila dipadukan dengan teknik konservasi lahan yang sesuai. Guna mengatasi masalah tersebut, salah satu teknik konservasi lahan yang sesuai dan diharapkan dapat menekan degradasi lahan miring adalah dengan penerapan teknik mulsa vertikal dan pemanfaatan lubang biopori pada pertanaman kakao.
Selain itu potensi suatu lahan juga sangat ditentukan oleh sifat fisik dan sifat kimia tanah. (Hakim dkk, 1986) menyatakan apabila sifat fisik dan kimia tanah diketahui akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi suatu tanaman.
(16)
1.2. Rumusan Masalah
Pengelolaan limbah tanaman kakao di desa Prapat Janji masih belum ditangani dengan tepat, karena limbah tanaman kakao seperti serasah dan kulit buah tidak dikelola (tetap berada menumpuk diatas permukaan tanah saja). Selain itu kadar bahan organik di kebun kakao tersebut juga tergolong rendah hanya 1,1%, karena tidak adanya upaya pengembalian bahan organik ke dalam tanah. Oleh karena itu sangat diperlukan upaya pengelolaan yang tepat dalam pengelolaan serasah kakao. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membenamkannya ke dalam tanah agar terjadi percepatan pelapukan, dan memberikan kontribusi terhadap perbaikan dan kesuburan sifat tanah.
1.3. Tujuan Penelitian
1.Untuk mengevaluasi teknik biopori dan mulsa vertikal dalam penempatan serasah kakao terhadap perbaikan sifat tanah di kebun kakao.
2.Untuk mengevaluasi pengaruh kemiringan lahan terhadap sifat tanah di perkebunan kakao.
3.Untuk mengevaluasi interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan lahan terhadap sifat tanah diperkebunan kakao.
1.4. Hipotesis
1.Penempatan serasah kakao dengan menggunakan teknik biopori dan mulsa vertikal berpengaruh signifikan terhadap perbaikan sifat tanah di kebun kakao.
(17)
2.Kemiringan lahan berpengaruh signifikan terhadap sifat tanah kebun kakao.
3.Interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan lahan berpengaruh signifikan terhadap perbaikan sifat tanah di kebun kakao.
1.5. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan pelaku perkebunan kakao dapat memperoleh informasi tentang teknik konservasi yang dapat dilakukan khususnya pada daerah dengan kemiringan lahan yang berbeda-beda, salah satunya yaitu pembuatan lubang biopori dan mulsa vertikal yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman kakao.
(18)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kakao
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan ekspor non migas negara Indonesia.D
Tanaman kakao mempunyai akar tunggang (radik primaria), dengan pertumbuhan ke arah samping dapat mencapai 8 m dan 15 m ke arah bawah. Tanah mempunyai hubungan erat dengan sistem perakaran tanaman kakao, karena perakaran tanaman kakao sangat dangkal dan hampir 80% dari akar tanaman kakao berada disekitar 20 - 30 cm dari permukaan tanah, sehingga untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik tanaman kakao menghendaki struktur tanah yang gembur agar perkembangan akar tidak terhambat. Perkembangan akar yang baik menentukan jumlah dan distribusi akar yang kemudian berfungsi sebagai organ penyerapan hara dari tanah (Anonymous, 2006).
i Indonesia tanaman kakao pertama kali dibudidayakan pada tahun 1921 dan berkembang pesat di daerah-daerah pulau Jawa dan sekarang sudah menyebar di seluruh wilayah Indonesia (Sri mulato dkk, 2005).
Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk dapat berproduksi secara baik. Kakao saat ini bukan hanya tanaman perkebunan besar tetapi telah menjadi tanaman rakyat. Di Indonesia, menurut data statistik tahun 2002, luas areal kakao telah mencapai lebih dari 777.900 ha (Goenadi dkk, 2005). Kakao tersebar pada lahan yang beragam dan tingkat produktivitas yang juga beragam. Kakao dapat berproduksi tinggi dan menguntungkan jika diusahakan pada lingkungan yang sesuai. Faktor lahan
(19)
mempunyai andil yang cukup besar dalam mendukung tingkat produktivitas kakao. Adapun syarat tumbuh tanaman kakao yang sesuai adalah sebagai berikut : 2.1.1. Iklim
Sebaran curah hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah curah hujan yang tinggi. Jumlah curah hujan mempengaruhi pola pertunasan kakao (flush). Curah hujan yang tinggi dan sebaran yang tidak merata akan berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap produksi kakao. Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air, sehingga kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun(Anonymous, 2004).
2.1.2. Tanah dan Topografi
Lahan di perkebunan kakao didominasi oleh tanah-tanah marginal. Tanah-tanah marginal di perkebunan kakao berkembang di daerah dengan curah hujan tinggi dan distribusinya merata sepanjang tahun dan telah mengalami proses pencucian yang sangat intensif. Tanah tersebut memiliki karakteristik fisika dan kimia dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah dan kurang menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman (Koedadiri dkk, 1999).
Tanaman kakao dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asal persyaratan fisik dan kimia tanah yang berperan terhadap pertumbuhan dan produksi kakao terpenuhi. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman adalah sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Sifat kimia tanah meliputi kadar unsur hara mikro dan makro tanah, kejenuhan basa, kapasitas pertukaran kation, pH atau keasaman tanah, dan kadar
(20)
bahan organik. Sifat fisik tanah meliputi tekstur, struktur, kedalaman efektif tanah dan bulk density. Selain itu kemiringan lahan juga merupakan sifat fisik yang mempengaruhi pertumbuhan dan pertumbuhan kakao. Sedangkan sifat biologi tanah belum menjadi pertimbangan dalam melakukan penilaian kesesuaian lahan, karena hubungannya belum banyak diketahui secara pasti. Secara tidak langsung sifat tersebut mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Rahutomo dkk., 2001).
Produksi optimum suatu tanaman dapat dicapai dengan pemupukan dan usaha-usaha perbaikan sifat fisik tanah. Akan tetapi pemupukan tidak akan berhasil dan menguntungkan sebelum usaha-usaha pencegahan erosi, perbaikan keadaan air dan udara, usaha-usaha pemeliharaan bahan organik tanah, perbaikan tanah-tanah yang telah rusak, atau perbaikan drainase telah dilakukan (Arsyad, 2000).
1) Sifat Fisik Tanah
Pertumbuhan tanaman tidak hanya tergantung pada tersedianya unsur hara yang seimbang, tetapi juga harus ditunjang oleh keadaan fisik dan kimia tanah yang baik. Pentingnya sifat-sifat fisik dan kimia yang baik dalam menunjang pertumbuhan tanaman sering tidak disadari karena kesuburan tanah selalu dititik beratkan hanya pada kesuburan kimianya (Rohlini dan Soeprapto, 1989).
Sifat tanah yang baik untuk tanaman kakao adalah solum tebal 80 cm. Solum tebal akan merupakan media yang baik bagi perkembangan akar sehingga efisiensi penyerapan hara tanaman akan lebih baik. Tekstur tanah yang baik untuk tanaman kakao adalah lempung liat berpasir dengan komposisi 30 ‐ 40% fraksi
liat, 50% pasir, dan 10 ‐ 20% debu. Susunan demikian akan mempengaruhi
(21)
agregat yang mantap menciptakan gerakan air dan udara di dalam tanah sehingga menguntungkan bagi akar. Perkembangan struktur baik, konsistensi gembur sampai agak teguh dan permeabilitas sedang (Rohlini, 1989).
Terdapat hubungan yang positif antara sifat fisik tanah, permeabilitas, ruang pori total, pori drainase dan kerapatan bongkah dengan pertumbuhan tanaman. Semakin baik sifat fisik tanah semakin baik pula pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Akar akan mudah menembus tanah biasanya pertumbuhan tanaman secara keseluruhan akan semakin cepat dan akan memberikan hasil yang tinggi (Martoyo, 1992).
Permeabilitas tanah sangat erat kaitannya dengan pori makro pada tanah. Semakin banyak pori makro pada tanah, maka air akan semakin mudah melewati partikel - partikel tanah sehingga nilai permeabilitasnya juga akan semakin besar (Adiwiganda, 1998). Aktifitas biologi menunjukkan berkurangnya jumlah pori makro pada lahan yang ditanami daripada yang tidak ditanami. Pengurangan ini menjadi alasan utama dari lebih rendahnya permeabilitas tanah pada lahan pertanian dibandingkan dengan yang masih bervegetasi alami. Dengan permeabilitas yang lebih kecil pada lahan pertanian dibandingkan dengan yang masih alami mengakibatkan hanya sebagian kecil air yang mampu masuk ke dalam lapisan tanah sedangkan yang lain akan mengalir melalui permukaan yang dikenal sebagai limpasan permukaan (Hakim dkk., 1986).
Porositas tanah tinggi apabila bahan organik juga tinggi. Tanah-tanah dengan sistem granuler atau remah mempunyai porositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah-tanah dengan struktur pejal (massive). Tanah dengan
(22)
tekstur pasir banyak mempunyai pori-pori makro sehingga sulit menahan air (Hardjowigeno, 1993).
Kerapatan lindak (bulk density) menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume total (padat dan pori-pori). Bulk density dipengaruhi oleh stuktur tanah seperti kelonggaran tanah atau kepadatan tanah, akibat dari sifat mengembang dan mengerut yang dipengaruhi oleh kadar liat dan kelembaban (Hilel, 1980). Menurut Hardjowigeno (1993) guna menentukan kerapatan lindak (bulk density) adalah untuk :
a) Deteksi adanya lapisan padas dan tingkat kepadatannya, semakin memadas maka semakin tinggi bulk densitynya.
b) Menentukan adanya kandungan abu volkan dan batu apung yang cukup tinggi. Tanah dengan kandungan abu volkan/batu apung yang tinggi mempunyai bulk density yang rendah dengan nilai 0,85 g/cm3
c) Evaluasi terhadap kemungkinan akar menembus tanah. Pada tanah-tanah dengan bulk density tinggi akar tanaman tidak dapat menembus lapisan tanah tersebut.
.
2) Sifat Kimia Tanah
Tanah dikatakan subur apabila fase padat mengandung cukup unsur hara tersedia dan cukup air serta udara bagi pertumbuhan tanaman. Apabila ruang-ruang pori yang terdapat diantara partikel-partikel padat menyebar sedemikian rupa sehingga dapat menyediakan air yang cukup untuk pertumbuhan tanaman dan pada waktu yang bersamaan memungkinkan aerasi yang cukup pada akar, maka tanah itu dinilai mempunyai hubungan air dan udara yang cocok (Lubis, 1992).
(23)
Banyaknya unsur hara di dalam tanah tidak menjamin tanaman dapat tumbuh dengan baik dan berproduksi tinggi, tetapi tergantung juga dari hubungan air dan udara yang memungkinkan tanaman dapat mempergunakan unsur hara tersedia secara efisien, perkembangan akar lebih intensif dan proses biologi dan kimia berlangsung baik pada kondisi optimum (Hasibuan, 1981). Singkatnya untuk kesuburan kimia, tanah harus memiliki kesuburan fisik.
Sifat kimia tanah yaitu pH secara umum adalah 4,0 – 6,0, kandungan unsur hara tinggi, C/N mendekati 10 dengan C:1% dan N:0,1% (Lubis, 1992). Kemasaman (pH) tanah merupakan faktor paling penting dan merupakan indikator ketersediaan unsur hara dalam tanah. Tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki pH 6 ‐ 7,5 tidak lebih tinggi dari 8 serta
tidak lebih rendah dari 4; paling tidak pada kedalaman 1 meter. Kemasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral atau berkisar 6 - 7,5. Sifat ini khusus berlaku untuk tanah atas (top soil), sedangkan pada tanah bawah (subsoil) kemasaman tanah sebaiknya netral, agak asam, atau agak basa. Pada pH > 8 (alkalis) menyebabkan klorosis karena Fe, Mn, Zn, Cu tidak dapat diserap oleh akar tanaman kakao, sebaliknya pada pH < 4 (masam) terjadi keracunan karena Fe, Mn, Zn, Cu tersedia dalam jumlah yang berlebihan (Bintaran, 2007).
Disamping faktor keasaman, sifat kimia tanah yang juga turut berperan adalah kadar bahan organik. Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu di atas 3% pada lapisan tanah setebal 0 – 15 cm. Kadar tersebut setara dengan 1,75% unsur karbon yang dapat menyediakan hara dan air serta struktur tanah yang gembur. Kadar bahan organik yang tinggi akan memperbaiki struktur tanah, biologi tanah, kemampuan penyerapan (absorpsi)
(24)
hara, dan daya simpan lengas tanah. Tingginya kemampuan absorpsi menandakan bahwa daya pegang tanah terhadap unsur-unsur hara cukup tinggi dan selanjutnya melepaskannya untuk diserap akar tanaman. Usaha meningkatkan kadar organik dapat dilakukan dengan memanfaatkan serasah sisa pemangkasan maupun pembenaman kulit buah kakao(Bintaran, 2007).
2.2. Perkembangan Perkebunan Kakao di Indonesia
Kakao merupakan salah satu komoditi utama nasional dengan sebaran sentra penanaman yang cukup banyak dan tumbuh dengan baik di Indonesia. Kakao juga telah lama menjadi salah satu komoditi ekspor unggulan Indonesia yang memiliki kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan devisa negara. Seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dunia, maka permintaan pasar untuk komoditi kakao juga akan meningkat. Ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk terus meningkatkan produksi kakao. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi kakao adalah dengan memperluas lahan penanaman. Hal ini sulit untuk dilakukan karena kurangnya lahan yang sesuai untuk dapat dimanfaatkan sebagai usaha perkebunan kakao di Indonesia (Anonymous, 2007).
Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 1980-an dan pada tahun 2004, areal perkebunan Kakao Indonesia tercatat seluas 992.191 ha dimana sebagian besar (89,59%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 5,04% perkebunan besar negara serta 5,37% perkebunan besar swasta.
Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia hingga saat ini. Luas perkebunan kakao di Indonesia terus meningkat sepanjang 5 tahun terakhir. Pada tahun 2007 luas perkebunan kakao di Indonesia mencapai 1.379.279 ha. Luas perkebunan ini mengalami pertumbuhan sebesar 6,8%
(25)
menjadi 1.473.259 ha. Luas perkebunan kakao kembali bertambah menjadi 1.592.982 ha atau tumbuh 8,1% pada tahun berikutnya. Secara rata-rata pertumbuhan luas perkebunan kakao di Indonesia dari tahun 2006 hingga tahun 2009 adalah 8,1%. Perkebunan kakao di Indonesia sebagian besar terletak di pulau Sulawesi. Luas perkebunan ini sekitar 953.691 ha atau 60% dari seluruh perkebunan kakao di Indonesia. Wilayah terbesar kedua adalah di pulau Sumatera yakni sekitar 18% dengan luas mencapai 300.461 ha (Siregar, 2006).
Beberapa program terkait pengembangan perkebunan kakao yang dicanangkan pemerintah adalah peremajaan perkebunan seluas 70.000 ha, rehabilitasi 235.000 ha lahan kakao, intensifikasi pada 145.000 ha lahan, serta pengendalian hama pada 450.000 ha lahan kakao dalam tiga tahun sejak 2009 hingga 2011 (Goenadi, 2005).
Pada tahun 2002 komposisi tanaman perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 224.411 ha (24,6%) tanaman belum menghasilkan (TBM), 618.089 ha (67,6%) tanaman menghasilkan (TM), dan 71.551 ha (7,8%) tanaman tua/rusak. Produktivitas rata-rata nasional tercata 924 kg/ha, dimana produktivitas perkebunan rakyat (PR) sebesar 963,3 kg/ha, produktivitas perkebunan besar negara (PBN) rata-rata 688,13 kg/ha dan produktivitas perkebunan besar swasta (PBS) rata-rata 681,1 kg/ha (Anonymous, 2007).
Tabel 1. Perkembangan Areal dan Produksi Perkebunan Kakao di Indonesia
Tahun Areal (ha) Produksi (ton)
PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah
1980 13.125 18.636 5.321 37.082 1.0588 8.410 816 10.284 1985 51.765 29.198 11.834 92.797 8.997 20.512 4.289 33.798
(26)
1990 252.237 57.600 47.653 357.490 97.418 27.016 17.913 142.347 1995 428.614 66.021 107.484 602.119 231.992 40.933 31.941 304.866 2000 641.133 52.690 56.094 749.917 363.628 34.790 22.724 421.142 2001 710.044 55.291 56.114 821.449 476.924 33.905 25.975 536.804 2002 798.628 54.815 60.608 914.051 511.379 34.083 25.693 571.155 2003 861.099 49.913 53.211 964.223 634.877 32.075 31.864 698.816 2004 1.033.252 38.668 19.040 1.090.960 636.783 2.583 52.338 691.704 2005 1.081.102 38.295 47.649 1.167.046 693.701 25.494 29.633 748.828 2006 1.105.654 38.453 47.635 1.191.742 723.992 26.112 29.360 779.474
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004.
Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat, PBN = Perkebunan Besar Negara, PBS = Perkebunan Besar Swasta
Pada Tabel 1 terlihat bahwa perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat umumnya dilakukan petani, sehingga perkebunan rakyat telah mendominasi perkebunan kakao Indonesia. Tanaman kakao ditanam hampir di seluruh pelosok tanah air dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Kalimantan Timur, maluku Utara dan Irian Jaya. Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan produksi tersebut telah memberikan hasil nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan dunia. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen Kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote d’lvoire) pada tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003 (International Cocoa Organization, 2003). Tergesernya posisi Indonesia tersebut salah satunya disebabkan oleh makin mengganasnya serangan hama PBK. Di samping itu rendahnya produktivitas tanaman kakao disebabkan oleh masih dominannya kebun yang dibangun dengan asalan, terutama perkebunan rakyat dan belum banyaknya adopsi penggunaan tanaman klonal.
2.3. Peranan Pupuk Organik dan Bahan Organik
Pupuk organik mempunyai fungsi untuk menggemburkan tanah, meningkatkan populasi jasad renik, mempertinggi daya serap dan daya simpan air,
(27)
yang keseluruhannya dapat meningkatkan kesuburan tanah (Troeh and Thompson, 2005). Kompos merupakan semua bahan organik yang telah mengalami degradasi/penguraian/pengomposan sehingga berubah bentuk dan sudah tidak dikenali bentuk aslinya, berwarna kehitam-hitaman, dan tidak berbau (Indriani, 2008). Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah (Isroi, 2008).
Bahan organik merupakan bahan penting dalam pasokan hara tanah dan meningkatkan kesuburan tanah, baik secara fisik, kimia, dan biologi tanah. Sekitar dari setengah kapasitas tukar kation (KTK) berasal dari bahan organik yang merupakan sumber hara tanaman (Hakim dkk, 1986). Bahan organik ditemukan dipermukaan tanah. Jumlahnya tidak besar hanya sekitar 3-5%, tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah besar sekali. Syarat tanah sebagai media tumbuh dibutuhkan kondisi fisik dan kimia yang baik. Keadaan fisik tanah yang baik apabila dapat menjamin pertumbuhan akar tanaman dan mampu sebagai tempat aerasi dan lengas tanah, yang semuanya berkaitan dengan peran bahan organik. (Hardjowigeno, 1993) menjelaskan pengaruh bahan organik terhadap tanah dan pertumbuhan tanaman adalah sebagai berikut : i. Granulator yaitu memperbaiki struktur tanah, ii. Sumber unsur hara bagi tanaman, iii. Menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur hara (kapasitas tukar kation menjadi tinggi), iv. Sumber energi bagi mikroorganisme, dan v. Menambah kemampuan tanah untuk menahan air. Seperti tanaman lainnya, tanah tempat tumbuh tanaman kakao juga memerlukan bahan organik, agar dapat tumbuh dengan baik
(28)
memerlukan bahan organik sebesar 3,5% pada kedalaman 0-15 cm (Widyotomo dkk, 2007).
Kadar zat organik yang tinggi akan meningkatkan laju pertumbuhan pada masa sebelum panen. Untuk itu zat organik pada lapisan tanah setebal 0 - 15 cm sebaiknya lebih dari 3%. Kadar tersebut setara dengan 1,75% unsur karbon yang dapat menyediakan hara dan air serta struktur tanah yang gembur. Usaha meningkatkan kadar organik dapat dilakukan dengan memanfaatkan serasah sisa pemangkasan maupun pembenaman kulit buah kakao. Kulit tanaman kakao sangat potensial dijadikan sumber hara karena mengndung sejumlah unsur hara, setiap 900 kg kulit buah kakao dapat menghasilkan unsur hara setara dengan 29 kg urea, 9 kg RP, 56,6 kg KCl dan 8 kg Kieserit (Bintaran, 2007).
2.4. Karakteristik Tanah di Indonesia
Tanah-tanah di Indonesia tergolong peka terhadap erosi, karena terbentuk dari bahan-bahan yang mudah lapuk. Erosi yang terjadi akan memperburuk kondisi tanah tersebut dan menurunkan produktivitasnya. Oleh karena itu penerapan teknik konservasi memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah yang telah terdegradasi (Kartasapoetra dkk., 1991).
Erosi pada dasarnya adalah proses pengikisan tanah. Proses ini terjadi dengan penghancuran, pengangkutan dan pengendapan. Di alam ada dua penyebab utama yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air. Akan tetapi dengan adanya aktifitas manusia di alam, maka manusia akan menjadi faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi erosi (Kartasapoetra dkk, 1991). Pengaruh erosi berat terhadap kesuburan tanah antara lain sebagai berikut: i. Hilangnya atau berkurangnya lapisan atas tanah (top soil) yang subur, ii. Kedalaman efektif tanah
(29)
berkurang sehingga ruang tumbuh akar dalam menyerap air dan unsur hara terbatas, iii. Kemampuan menyimpan air di dalam tanah berkurang.
Lahan dengan kemiringan lebih dari 15% tidak baik ditujukan sebagai lahan pertanian, melainkan sebagai lahan konservasi, karena semakin besar kemiringan lahan maka laju aliran permukaan akan semakin cepat, daya kikis dan daya angkut aliran permukaan makin cepat dan kuat. Oleh karena itu strategi konservasi tanah dan air pada lahan berlereng adalah memperlambat laju aliran permukaan dan memperpendek panjang lereng untuk memberikan kesempatan lebih lama pada air untuk meresap kedalam tanah (Kartasapoetra dkk, 1991).
Lahan yang memiliki kemiringan dapat dikatakan lebih mudah terganggu atau rusak, apalagi bila derajat kemiringannya besar. Tanah yang mempunyai kemiringan akan selalu dipengaruhi oleh curah hujan (apalagi jika curah hujan itu mencapai 3.200 mm curah hujan/tahun atau distribusi hujan yang merata setiap bulannya), oleh teriknya sinar matahari dan angin yang selalu berhembus. Akibat pengaruh-pengaruh tersebut, gangguan atau kerusakan tanah akan berlangsung melalui erosi maupun kelongsoran tanah, terkikisnya lapisan tanah yang subur atau humus (Kartasapoetra dan Sutedjo., 1991).
Pada lahan yang miring tanah lebih rentan mengalami kerusakan, terutama oleh erosi, dibandingkan lahan yang relatif datar. Demikian juga, lahan miring lebih sedikit dalam absorbsi air sehingga ketersediaan air untuk tanaman lebih kritis dibanding lahan datar dalam zona iklim yang sama (Paimin dkk., 2002).
Lahan miring tersebar luas pada daerah tropis. Sekitar 500 juta orang memanfaatkan sebagai lahan pertanian pada lahan tersebut. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk menyebabkan budidaya yang relatif luas pada lahan
(30)
miring, memunculkan masalah erosi tanah. Berdasarkan kemiringan lahan di Indonesia dapat dibedakan atas kelas-kelas (Tabel 2) (Darmawijaya, 1997):
Tabel 2. Kelas Kemiringan Lahan
Kelas Kemiringan Lahan (%) Kelas Kemiringan Lahan Relief
A 0 – 3 Datar Datar
B 3 – 8 Agak miring Landai
C 8 – 15 Miring Berombak
D 15 – 25 Agak terjal Bergelombang
E 25 – 45 Terjal Berbukit
F > 45 Curam Bergunung
Sumber : Dephut, 2004
2.5. Biopori
Biopori adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai akitifitas organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya. Lubang tersebut akan berisi udara dan menjadi jalur mengalirnya air di dalam tanah sehingga air hujan tidak langsung masuk ke saluran pembuangan air, tetapi meresap ke dalam tanah melalui lubang tersebut (Johnherf, 2008). Pada dasarnya, lubang resapan biopori merupakan lubang vertikal ke dalam tanah yang berfungsi meningkatkan laju peresapan air hujan. Pembuatan lubang resapan biopori ke dalam tanah secara langsung akan memperluas bidang permukaan peresapan air, seluas permukaan dinding lubang.
Peningkatan jumlah biopori tersebut dapat dilakukan dengan membuat lubang vertikal ke dalam tanah. Lubang-lubang tersebut selanjutnya diisi bahan organik, seperti sampah-sampah organik rumah tangga, potongan rumput atau vegetasi lainnya, dan sejenisnya. Bahan organik ini kelak akan dijadikan sumber energi bagi organisme di dalam tanah sehingga aktifitas mereka akan meningkat.
(31)
Dengan meningkatnya aktifitas mereka maka akan semakin banyak biopori yang terbentuk (Bambang dan Sibarani, 2009).
Lubang biopori merupakan lubang silindris yang dibuat ke dalam tanah dengan diameter 10-30 cm, dengan kedalaman sekitar 100 cm atau jangan melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang biopori sebaiknya dibuat di bagian tanah yang tidak terendam air atau lebih tinggi dari saluran air. Jadi, selama musim kering, lubang tidak terendam air(Brata, 2008).
Teknik biopori ini dicetuskan oleh Dr. Kamir R. Brata, salah satu peneliti senior di IPB. Lubang resapan biopori adalah metode yang diilhami dari dunia pertanian yang akrab dikenal dengan rorak. Lubang biopori dapat berperan sebagai resapan untuk menangkap air yang jatuh ke tanah terutama di lahan miring untuk meminimalisasi erosi. Lubang resapan biopori dapat juga dijadikan sebagai komposter sederhana untuk memproduksi pupuk organik yang akrab dengan sebutan kompos. Di daerah perkotaan fungsi utama lubang resapan biopori adalah untuk meminimalisasikan masalah banjir yang kerap menyerang daerah perkotaan apabila musim hujan. Dalam hal ini lubang resapan biopori juga berperan sebagai water reservoir (penangkap air) yang semakin minim di kawasan urban. Disamping itu bahan organik yang dimasukkan ke dalam lubang-lubang tersebut dapat memperbaiki kondisi tanah/sifat tanah baik kimia, biologi juga fisikanya (Rauf, 2009).
Fungsi utama biopori sebagai ruang di dalam tanah adalah untuk tempat udara dan air. Udara di dalam tanah sangat diperlukan oleh tanaman dan mikroorganisme tanah. Oksigen (O2) digunakan akar tanaman dan organisme
(32)
tanah untuk melakukan proses fotosintesa, N2
Selain fungsi utama tersebut, biopori memiliki banyak fungsi lainnya, yaitu (Rauf, 2010) :
tanah digunakan oleh bakteri penambat N untuk meningkatkan kesuburan tanah, dan lain-lain. Sementara air di dalam tanah sangat diperlukan sebagai pelarut unsur hara, diserap akar untuk berbagai proses fisiologis di dalam tubuh (organ) tanaman, menjaga kelembaban dan mengendalikan suhu tanah (Rauf, 2010).
1. Meningkatkan daya resapan air
2. Memperbesar kemampuan tanah menyerap (meng-infiltrasi) air hujan, sehingga erosi tanah dapat dikendalikan karena run-off (limpasan permukaan) dapat dikurangi.
Kehadiran lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang resapan air, setidaknya sebesar luas kolom/dinding lubang. Dengan Adanya aktifitas fauna tanah pada lubang resapan maka biopori akan terbentuk dan senantiasa terpelihara keberadaannya. Oleh Karena itu bidang resapan ini akan selalu terjaga kemampuannya dalam meresapkan air. Dengan demikian kombinasi antara luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersama-sama akan meningkatkan kemampuan dalam meresapkan air.
3. Membantu menekan terjadinya genangan/banjir pada tapak lahan. Lubang biopori sedalam 1 meter berdiameter 10 cm dapat menampung air sebanyak 0,03 m3 (30 liter). Bila jarak antar biopori 2 x 2 m maka akan ada 2.500 lubang biopori per hektar yang berarti dapat menampung air sebanyak 75 m3 (75.000 liter)/hektar.
(33)
4. Menggemburkan tanah, sehingga memudahkan terjadinya pertukaran udara di dalam tanah.
5. Dapat digunakan sebagai lubang pembuat kompos dengan memasukkan sampah organik sisa panen atau sampah organik (sampah basah) rumah tangga (sekaligus menanggulangi sampah rumah tangga).
6. Dapat menyuburkan tanaman karena sampah organik yang dibuang di lubang biopori merupakan makanan untuk organisme yang ada dalam tanah. Organisme tersebut dapat membuat sampah menjadi kompos yang merupakan pupuk bagi tanaman di sekitarnya.
7. Meningkatkan kualitas air tanah karena organisme dalam tanah mampu membuat sampah menjadi mineral-mineral yang kemudian dapat larut dalam air. Hasilnya, air tanah menjadi berkualitas karena mengandung mineral.
2.6. Mulsa Vertikal
Teknik mulsa vertikal ini adalah salah satu teknik dalam konservasi tanah dan air. Teknik ini adalah pemanfaatan limbah hutan yang berasal dari bagian tumbuhan atau pohon seperti serasah, gulma, cabang, ranting, batang maupun daun-daun bekas tebangan dengan cara memasukkannya ke dalam saluran atau alur yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah yang diusahakan (Brata dkk, 1992).
Mulsa vertikal atau disebut juga “teknik jebakan mulsa” adalah bangunan menyerupai rorak yang dibuat memotong lereng dengan ukuran yang lebih panjang bila dibandingkan dengan rorak. Ukuran mulsa vertikal harus disesuaikan dengan keadaan lahan dengan lebar 0,40 - 0,60 m dan dalam 0,30 - 0,50 m, jarak
(34)
antar barisan mulsa vertikal ditentukan oleh kemiringan lahan atau berkisar antara 3 - 5 m (Rauf, 1999).
Penerapan mulsa vertikal pada dasarnya selalu dikombinasikan dengan pembuatan guludan. Mulsa vertikal dapat digunakan sebagai alternatif cara pemanfaatan sisa tanaman untuk usaha konservasi tanah dan air sekaligus lebih mendayagunakan saluran teras gulud sebagai tempat pengomposan pada lahan pertanian agak miring (lereng <15%) (Rauf, 1999).
Modifikasi teknik mulsa vertikal yang diperkirakan dapat diterapkan oleh petani adalah pembuatan alur dengan cangkul dan galian tanah ditumpukkan untuk membuat guludan di sebelah hilir/bawah saluran (seperti teras gulud). Sisa tanaman dimasukkan ke dalam saluran untuk memelihara dan meningkatkan permukaan resapan saluran. Dengan demikian teknik mulsa vertikal tersebut diharapkan dapat memudahkan petani membersihkan sisa tanaman sebelum pengolahan tanah, sekaligus mendayagunakan saluran untuk mengomposkan sisa tanaman di lahannya (Kurnia, 2004).
Peranan dari teknik mulsa vertikal ini yang terdiri dari 3 komponen, yaitu pemanfaatan limbah (serasah), pembuatan saluran, dan guludan, antara lain :
1. Limbah (serasah) berfungsi sebagai :
a) Menghasilkan unsur-unsur hara yang penting bagi tanaman, yaitu seresah yang dimasukkan dalam saluran, akan terdekomposisi. Lalu aktivitas mikroba meningkat dalam proses penghancuran atau dekomposisi bahan organik.
(35)
b) Biomass segar yang telah dikomposisi tersebut merupakan media yang dapat menyerap dan memegang massa air dalam jumlah besar sehingga penyimpanan air dalam tanah dapat berjalan efisien.
c) Bahan organik yang telah terkomposisi di dalam saluran dapat diangkat dan digunakan sebagai kompos. Kompos ini akhirnya dapat memperbaiki kesuburan tanah.
d) Dapat meningkatkan keragaman biota tanah, karena mulsa merupakan niche ekologi bagi berbagai jenis biota tanah. Biota ini akan memanfaatkan energi dan unsur hara di dalam mulsa dan akan menghasilkan senyawa organik yang dapat memantapkan agregat tanah.
e) Limbah/seresah yang dimasukkan dalam saluran dapat berfungsi sebagai penghambat penyumbatan pori makro dinding saluran oleh sedimen sehingga air akan mudah meresap ke dalam saluran.
2. Saluran berfungsi sebagai:
a) Adanya saluran maka infiltrasi akan meningkat sehingga aliran permukaan yang menyebabkan erosi akan menurun tajam, karena air akan masuk ke dalam saluran.
b) Saluran merupakan tempat menyimpan partikel tanah yang terbawa oleh aliran dari bidang di atas saluran sehingga dapat terendapkan di bagian saluran mulsa vertikal tersebut.
3. Dan guludan berfungsi sebagai penahan aliran permukaan dan pertikel-partikel tanah sebelum tererosi ke bagian hilir. Dengan demikian pertikel-
(36)
partikel-partikel tanah akan terhenti di bagian guludan tersebut (www.dephut.go.id/files/Pratiwi).
Teknik pemulsaan (mulching) yang selama ini dilakukan yaitu tindakan pelapisan permukaan tanah (teknik mulsa horizontal) yang menggunakan bahan tertentu agar tanah terhindar dari pukulan langsung (energi kinetik) curah hujan, limpasan permukaan (run-off) dan erosi, serta mempertahankan/meningkatkan kelembaban tanah, mengendalikan fluktuasi temperatur tanah, dan menambah unsur hara tanah hanya sesuai pada lahan datar, tetapi kurang/tidak efektif bila diterapkan pada lahan dengan kemiringan lereng tinggi, apalagi dengan kedalaman solum yang dangkal sampai sangat dangkal (Arsyad, 2000).
Pada kondisi lahan miring perlakuan mulsa vertikal dapat menekan laju limpasan permukaan dan erosi yang sekaligus menekan pencucian bahan organik dan unsur hara, dapat meningkatkan infiltrasi tanah, meningkatkan kadar unsur hara dan biota tanah secara signifikan (Brata, 1995; Rauf, 1999).
(37)
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kebun kakao desa Prapat Janji Dusun VII, Kel. Bangun Rejo, Kec. Buntu Pane, Kab. Asahan, pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2011.
3.2. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini antara lain : cangkul, meteran, tali plastik, timbangan, bor tanah, dan program SAS untuk analisa statistik.
Bahan-bahan yang digunakan selama melakukan penelitian antara lain: serasah daun kakao yang akan digunakan sebagai bahan organik dalam teknik biopori dan mulsa vertikal.
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan petak berjalur (strip plot design) dengan 3 (kali) ulangan. Dimana faktor pertamanya yaitu kemiringan lahan dan faktor keduanya yaitu penempatan serasah kakao.
Tabel 3. Faktor Pertama (Kemiringan Lahan)
No. Simbol Tingkat Kemiringan Lahan (%)
1. T1 3 ( datar )
2. T2 8 ( landai )
3. T3 15 ( miring )
Tabel 4. Faktor Kedua (Penempatan Serasah Kakao)
No. Simbol Perlakuan
1. M0 Kontrol (tanpa pemberian mulsa)
2. M1 Biopori
(38)
Dengan kombinasi perlakuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 5. Tabel Kombinasi Perlakuan
Perlakuan Kemiringan Lahan (T)
Penempatan Serasah Kakao (M)
M0T1 M1T1 M2T1
M0T2 M1T2 M2T2
M0T3 M1T3 M2T3
Jumlah perlakuan : 9 Jumlah ulangan : 3
Jumlah plot : 27
Jumlah tanaman/plot : 12
Jumlah tanaman seluruhnya : 324
Data penelitian yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Strip plot design yaitu:
Yijk = µ + ρi + αj + εij+ βk + εjk + (αβ)jk+ εijk i = 1,2,3 j = 1,2,3 k = 1,2,3
Yijk
µ = Rataan umum
= Adalah nilai pengamatan pada ulangan ke – i, perlakuan kemiringan lahan ke – j dan penempatan serasah ke - k
ρi = Pengaruh ulangan ke – i
αj = Pengaruh kemiringan lahan ke – j
€ij = Nilai error pada ulangan ke – i dan kemiringan lahan ke - j
βk = Pengaruh penempatan serasah ke – k
εjk
(αβ) jk = Pengaruh interaksi perlakuan kemiringan lahan ke – j dan penempatan serasah ke – k
= Nilai error pada perlakuan kemiringan lahan ke – j dan penempatan serasah ke - k
(39)
€ijk = Efek error pada ulangan ke – i, perlakuan kemiringan lahan ke – j dan penempatan serasah ke – k.
Bila data yang diperoleh berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5%.
3.4. Pelaksanaan Penelitian
A. Pembuatan Lubang Biopori
1) Tanah dilubangi dengan menggunakan bor tanah sampai dengan kedalaman 100 cm dari atas permukaan tanah
2) Setelah itu isi lubang biopori dengan serasah daun kakao sedikit demi sedikit, dan dipadatkan dengan menggunakan kayu pemukul hingga lubang biopori terisi penuh oleh bahan organik.
3) Tutup lubang biopori dengan menggunakan tanah sekaligus melakukan pemberian tanda pada lubang biopori yang akan diamati.
4) Plot penelitian dibuat dengan ukuran 10 x 10 m yang terdiri dari 40 lubang biopori, jarak antar lubang biopori adalah 100 cm. Dalam 1 lubang biopori berisi bahan organik sisa tanaman atau serasah daun kakao sebanyak 3 kg.
B. Pembuatan Mulsa Vertikal
Tanah digali dengan menggunakan cangkul dengan lebar 50 cm, kedalaman 50 cm dan panjang 10 m. Setelah itu masukkan serasah daun kakao dengan jumlah yang sama yang digunakan dalam perlakuan biopori. Selanjutnya tutup mulsa vertikal dengan menggunakan tanah galian.
(40)
Pengambilan sampel tanah yang dilakukan pada masing-masing perlakuan adalah sama yaitu sampel tanah komposit. Sampel tanah yang diambil pada perlakuan biopori maupun mulsa vertikal adalah yang berjarak 10 cm dengan kedalaman 0 – 20 cm dari lubang biopori dan mulsa vertikal.
Pada penelitian ini dilakukan 2x pengambilan sampel tanah yaitu sampel tanah tanpa pemberian mulsa (kontrol) dan pada saat bahan organik telah terdekomposisi/matang (1 bulan setelah aplikasi bahan organik) atau setelah perlakuan biopori dan mulsa vertikal.
D. Pengukuran Bulk Density Tanah
Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan menggunakan ring sample dengan cara sebagai berikut :
1) Bersihkan lapisan tanah yang akan diambil dan gali hingga kedalaman ± 10 cm, kemudian letakkan ring sampletegak pada lapisan tanah tersebut. 2) Tekan ring samplesampai seluruh bagiannya masuk kedalam tanah atau
rata dengan tanah.
3) Kemudian ring sample beserta tanah didalamnya digali dengan menggunakan sekop. Potonglah kelebihan tanah yang ada pada bagian atas dan bawah ring sample sampai rata sekali dengan menggunakan pisau.
4) Tutup ring sample dengan tutup plastik, dan sampel tanah siap diuji di laboratorium.
(41)
Bahan organik tanah adalah hasil peruraian tubuh bekas jasad hidup (tumbuhan dan hewan), sehingga menunjukkan perbedaan dalam ukuran, bangun, komposisi, dan watak fisika – kimia dari aslinya dan telah menyatu dengan bahan penyusun tanah lainnya. Penetapan bahan organik tanah dilakukan dengan metode Walkley dan Black.
Penetapan N
Dilakukan dengan metode Kjehdal pH tanah
dilakukan dengan metode Elektrimeter dengan menggunakan pH meter.
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Dilakukan dengan metode ekstraksi 1 N NH4Oac
P-tersedia
pH 7.
Dilakukan dengan metode Bray II.
3.5. Parameter Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi variabel sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi tanah yaitu :
Sifat Fisik Tanah :
1. Permeabilitas 2. Bulk density (BD) 3. Infiltrasi
Sifat Kimia Tanah :
1. pH
(42)
3. K-tukar (me/100gr) 4. Ca-tukar (me/100gr) 5. Mg-tukar (me/100gr) 6. Na-tukar (me/100gr) 7. KTK (me/100gr) Sifat Biologi Tanah :
1. Total mikroba dalam tanah 2. C-organik (%)
3. N-total (%) 4. C/N
Parameter pengamatan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabel mana yang berpengaruh terhadap perbaikan sifat tanah di kebun kakao.
(43)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Sifat Fisik Tanah
Berdasarkan hasil pengukuran dilapangan dan analisis laboratorium diperoleh nilai pengamatan untuk setiap parameter fisika yang diamati pada masing-masing perlakuan dengan kemiringan lahan yang berbeda seperti yang terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan terhadap Bulk Density dan Permeabilitas Tanah Kebun Kakao
Perlakuan Bulk Density
(g/cm3
Permeabilitas
) (cm/jam)
M0 1.22 11.89c
M1 1.12 14.16b
M2 1.14 16.10a
Kemiringan Lahan
T1 1.01 16.15a
T2 1.16 12.98c
T3 1.30 13.02b
Perlakuan Interaksi
M0T1 1.05 13.61e
M1T1 1.01 16.51b
M2T1 0.98 18.33a
M0T2 1.23 11.73g
M1T2 1.1 12.6f
M2T2 1.16 14.63d
M0T3 1.38 10.34h
M1T3 1.25 13.36e
M2T3 1.27 15.35c
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk setiap perlakuan tidak berbeda nyata menurut uji beda nyata jujur (BNT) pada taraf 5%.
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai bulk density, juga disajikan dalam bentuk diagram (Gambar 1) :
(44)
Gambar 1. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Bulk Density Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan nilai bulk density pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai bulk density. Keadaan atau kemiringan lahan juga berpengaruh signifikan terhadap nilai bulk density. Sedangkan interaksi antara penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai bulk density.
Tabel 6 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori (M1) dan mulsa vertikal (M2) dapat menurunkan nilai bulk density tanah. Pada perlakuan biopori (M1) nilai bulk density menurun menjadi 1.12 g/cm3 dan pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai bulk density menjadi 1.14 g/cm3 berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian mulsa yaitu 1.22 g/cm3
Sementara pada perlakuan kemiringan lahan dapat meningkatkan nilai bulk density. Pada kemiringan lahan datar (T1) nilai bulk density adalah 1.01 g/cm
.
3
, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) nilai bulk density meningkat menjadi 1.16 dan 1.30 g/cm3
Sedangkan perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai
. 1,05 1,23 1,38 1,01 1,10 1,25 0,98 1,16 1,27 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60
3% 8% 15%
Kemiringan Lahan B ul k D ens it y ( g /c m 3 ) Kontrol Biopori Mulsa Vertikal
(45)
bulk density. Perlakuan interaksi menunjukkan bahwa dengan kemiringan lahan yang lebih besar dapat menyebabkan peningkatan nilai bulk density. Hal ini terlihat jelas pada perlakuan biopori (M1) dimana seiring dengan meningkatnya kemiringan lahan maka nilai bulk density juga semakin besar. Begitu juga pada perlakuan mulsa vertikal (M2) dan perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0).
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai permeabilitas, juga disajikan dalam bentuk diagram (Gambar 2) :
Gambar 2. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Permeabilitas Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan nilai permeabilitas pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai permeabilitas. Keadaan atau kemiringan lahan juga berpengaruh signifikan terhadap nilai permeabilitas. Sedangkan interaksi antara penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai permeabilitas.
Tabel 6 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal dapat meningkatkan nilai permeabilitas tanah. Pada perlakuan biopori (M1) nilai permeabilitas meningkat menjadi 14.16 g/cm3
13,61 11,73 10,34 16,51 12,60 13,36 18,33 14,63 15,35 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00
3% 8% 15%
Kemiringan Lahan P e r m e a b il it a s Kontrol Biopori M ulsa Vertikal
, dan pada de
b a
f ef cd
g e
(46)
perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai permeabilitas menjadi 16.10 g/cm3, berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0) yaitu 11.89 g/cm3
Sedangkan pada perlakuan kemiringan lahan dapat menurunkan nilai permeabilitas. Pada kemiringan lahan datar (T1) nilai permeabilitas adalah 16.15 g/cm
.
3
, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) nilai permeabilitas menurun menjadi 12.98 g/cm3 dan 13.02 g/cm3
Perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan lahan menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih besar dapat menyebabkan menurunnya nilai permeabilitas. Pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai permeabilitas tertinggi terdapat pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar 18.33 g/cm
.
3
dan pada kemiringan lahan landai (T2) nilai permeabilitas menjadi menurun yaitu 14.63 g/cm3. Berbeda halnya pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) nilai permeabilitas lebih besar dari kemiringan lahan T2 yaitu 15.35 g/cm3
Sedangkan pada perlakuan biopori (M1) juga dapat menurunkan nilai permeabilitas, tetapi tidak sebesar pada perlakuan mulsa vertikal (M2). Pada perlakuan biopori (M1) nilai permeabilitas tertinggi juga terdapat pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar 16.51 g/cm
. Perlakuan mulsa vertikal (M2) menunjukkan bahwa dengan bertambahnya kemiringan lahan (T2) nilai permeabilitas tanah menurun, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) ternyata nilai permeabilitas tanah lebih besar dari T2.
3
dan pada kemiringan lahan landai (T2) nilai permeabilitas menjadi menurun yaitu 12.60 g/cm3. Berbeda halnya pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) nilai permeabilitas lebih besar dari kemiringan lahan T2 yaitu 13.36 g/cm3. Perlakuan biopori (M1) juga menunjukkan bahwa dengan bertambahnya kemiringan lahan (T2) nilai
(47)
permeabilitas tanah menurun, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) ternyata nilai permeabilitas tanah lebih besar dari T2.
Pada kedua perlakuan (biopori dan mulsa vertikal) menunjukkan bahwa kemiringan lahan landai (T2) dapat menurunkan nilai permeabilitas tanah, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) nilai permeabilitas tanah ternyata lebih besar meskipun tidak sebesar pada kemiringan lahan datar (T1).
Grafik laju infiltrasi pada masing-masing perlakuan dengan kemiringan lahan datar, landai dan miring dapat dilihat pada Gambar 3 :
Gambar 3. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap laju Infiltrasi Tanah Kebun Kakao.
Gambar 3 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori (M1) dan mulsa vertikal (M2) dapat meningkatkan laju infiltrasi tanah. Pada perlakuan mulsa vertikal (M2) laju infiltrasi pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar 3 cm/menit dan pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) laju infiltrasi menjadi meningkat yaitu 4.2
Sedangkan pada perlakuan biopori (M1) juga dapat menaikkan laju infiltrasi, tetapi tidak sebesar pada perlakuan mulsa vertikal (M2). Pada perlakuan cm/menit dan 4.5 cm/menit. Perlakuan mulsa vertikal (M2) menunjukkan bahwa dengan kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) dapat menyebabkan peningkatan laju infiltrasi tanah.
2,5 3,5 4 2,6 3,8 4,2 3 4,2 4,5 0 1 2 3 4 5
M0T1 M0T2 M0T3 M1T1 M1T2 M1T3 M2T1 M2T2 M2T3
Perlakuan L a ju I n fi ltr a si (c m /m e n it) Laju infiltrasi
(48)
biopori (M1) laju infiltrasi infiltrasi pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar 2.6 cm/menit dan pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) laju infiltrasi menjadi meningkat yaitu 3.8cm/menit dan 4.2 cm/menit. Perlakuan biopori (M1) juga menunjukkan bahwa dengan bertambahnya kemiringan lahan (T2) dapat menyebabkan peningkatan laju infiltrasi tanah.
4.1.2. Sifat Kimia Tanah
Berdasarkan hasil analisis laboratorium diperoleh nilai pengamatan untuk setiap parameter kimia yang diamati pada masing-masing perlakuan dengan kemiringan lahan yang berbeda seperti yang terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Sifat Kimia Tanah Kebun Kakao.
Perlakuan pH
P-tersedia
(ppm)
K-dd Ca-dd Mg-dd Na-dd KTK
(me/100gr)
M0 5.78c 8.48b 0.20c 0.70b 0.38c 0.21c 4.11c
M1 6.21b 9.09a 0.61a 1.31a 0.40b 0.29b 6.08b
M2 6.55a 8.59b 0.56b 1.31a 0.45a 0.37a 6.17a
Kemiringan Lahan
T1 5.67c 8.94a 0.46b 1.21a 0.42a 0.25c 6.96a
T2 6.31b 8.58b 0.49a 1.05b 0.40b 0.33a 5.04b
T3 6.55a 8.65b 0.43c 1.06b 0.42a 0.29b 4.36c
Perlakuan Interaksi
M0T1 5.18f 8.59c 0.17f 0.9e 0.38d 0.2e 6.28c
M1T1 5.57e 10a 0.56c 1.31c 0.41c 0.2e 7.15b
M2T1 6.25c 8.22de 0.65b 1.43a 0.46a 0.35b 7.44a M0T2 5.96d 8.58c 0.22e 0.53g 0.39d 0.25d 4.16g M1T2 6.48b 8.02e 0.73a 1.37b 0.37e 0.32c 5.47f
M2T2 6.5b 9.14b 0.51d 1.25d 0.45a 0.41ª 5.48f
M0T3 6.18c 8.27de 0.21e 0.68f 0.37e 0.13f 1.87h M1T3 6.57b 9.26b 0.55c 1.24d 0.43b 0.34c 5.63d M2T3 6.89a 8.42cd 0.53d 1.26d 0.45a 0.36b 5.59de
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk setiap perlakuan tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
(49)
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan perlakuan kemiringan lahan terhadap pH tanah, juga disajikan dalam bentuk diagram (Gambar 4) :
Gambar 4. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap pH Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan pH tanah pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pH tanah. Keadaan atau kemiringan lahan juga berpengaruh signifikan terhadap pH tanah. Sedangkan interaksi antara penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pH tanah.
Tabel 7 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal dapat meningkatkan pH tanah. Pada perlakuan biopori (M1) pH tanah meningkat menjadi 6.21, dan pada perlakuan mulsa vertikal (M2) pH tanah menjadi 6.55, berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0) pH tanah yaitu 5.78.
5,18 5,96 6,18 5,57 6,48 6,57 6,25 6,50 6,89 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00
3% 8% 15%
Kemiringan Lahan pH T a na h Kontrol Biopori M ulsa Vertikal
(50)
Begitu pula dengan kemiringan lahan yang lebih besar dapat meningkatkan pH tanah. Pada kemiringan lahan datar (T1) pH tanah adalah 5.67, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) pH tanah meningkat menjadi 6.31 dan 6.55.
Perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan lahan menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih besar dapat meningkatkan pH tanah. Pada perlakuan mulsa vertikal (M2) pH tanah tertinggi terdapat pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) yaitu sebesar 6.89. Tetapi pada kemiringan lahan yang lebih kecil (T1 dan T2) pH tanah ternyata semakin menurun menjadi 6.25 dan 6.50. Perlakuan mulsa vertikal (M2) menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih besar dapat meningkatkan pH tanah.
Sedangkan pada perlakuan biopori (M1) pH tanah tertinggi juga terdapat pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) yaitu sebesar 6.57. Tetapi pada kemiringan lahan yang lebih kecil (T1 dan T2) pH tanah juga ternyata semakin menurun menjadi 5.57 dan 6.48. Perlakuan biopori (M1) juga menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih besar dapat meningkatkan pH tanah.
Pada kedua perlakuan (biopori dan mulsa vertikal) menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih besar (T3) dapat meningkatkan pH tanah, begitu pula sebaliknya pada kemiringan lahan yang lebih kecil (T1) pH tanah ternyata lebih rendah.
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai P-tersedia, juga disajikan dalam bentuk diagram (Gambar 5) :
(51)
Gambar 5. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap P-tesedia Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan nilai P-tersedia pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai P-tersedia. Keadaan atau kemiringan lahan juga berpengaruh signifikan terhadap nilai P-tersedia. Sedangkan interaksi antara penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai P-tersedia.
Tabel 7 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori (M1) dan mulsa vertikal (M2) dapat meningkatkan nilai P-tersedia. Pada perlakuan biopori (M1) nilai P-tersedia meningkat menjadi 9.09 ppm, dan pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai P-tersedia menjadi 8.59 ppm berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0) nilai P-tersedia yaitu 8.48 ppm.
Sedangkan peningkatan kemiringan lahan (T2) dapat menurunkan nilai P-tersedia, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) nilai P-tersedia meningkat meskipun tidak sebesar pada kemiringan lahan datar (T1). Pada kemiringan lahan datar (T1) nilai P-tersedia adalah 8.94 ppm, dan pada
8,59 8,58 8,27
10,00
8,02
9,26
8,22 9,14 8,42
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00
3% 8% 15%
Kemiringan Lahan P -te r se d ia (p p m ) Kontrol Biopori M ulsa Vertikal
(52)
kemiringan lahan landai (T2) nilai P-tersedia menurun menjadi 8.58 ppm. Berbeda halnya pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) ternyata nilai P-tersedia meningkat menjadi 8.65 ppm.
Perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan lahan menunjukkan bahwa kemiringan lahan (T2) dapat menurunkan nilai tersedia, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) ternyata nilai P-tersedia lebih besar. Pada perlakuan biopori (M1) nilai P-P-tersedia tertinggi terdapat pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar 10.00 ppm. Tetapi pada kemiringan lahan landai (T2) nilai P-tersedia menjadi menurun yaitu 8.02 ppm. Berbeda halnya pada kemiringan lahan yang besar (T3) ternyata nilai P-tersedia meningkat menjadi 9.26 ppm. Perlakuan biopori (M1) menunjukkan bahwa peningkatan kemiringan lahan (T2) dapat menurunkan nilai P-tersedia, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) ternyata nilai P-tersedia menjadi meningkat.
Sedangkan pada perlakuan mulsa vertikal (M2) juga dapat meningkatkan nilai P-tersedia, tetapi tidak sebesar pada perlakuan biopori (M1). Pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai P-tersedia tertinggi terdapat pada kemiringan lahan landai (T2) yaitu sebesar 9.14 ppm. Dan pada kemiringan lahan datar (T1) nilai P-tersedia adalah 8.22 ppm. Sedangkan pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) nilai P-tersedia menurun menjadi 8.42 ppm. Perlakuan mulsa vertikal (M2) menunjukkan bahwa peningkatan kemiringan lahan (T2) dapat meningkatkan nilai tersedia, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) ternyata nilai P-tersedia menjadi lebih rendah.
(53)
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai K-tukar, juga disajikan dalam bentuk diagram (Gambar 6) :
Gambar 6. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap K-tukar Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan nilai K-tukar pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 12. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai K-tukar. Keadaan atau kemiringan lahan juga berpengaruh signifikan terhadap nilai K-tukar. Sedangkan interaksi antara penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai K-tukar.
Tabel 7 dan Gambar 6 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori (M1) dan mulsa vertikal (M2) dapat meningkatkan nilai K-tukar. Pada perlakuan biopori (M1) nilai K-tukar meningkat menjadi 0.61 me/100g, dan pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai K-tukar menjadi 0.56 me/100g berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0) nilai K-tukar adalah 0.20 me/100g.
Sedangkan perlakuan kemiringan lahan dapat meningkatkan nilai K-tukar, tetapi dapat pula menyebabkan menurunnya nilai K-tukar pada kemiringan lahan yang lebih besar. Pada kemiringan lahan datar (T1) nilai K-tukar adalah 0.46
0,17 0,22 0,21
0,56 0,73 0,55 0,65 0,51 0,53 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90
3% 8% 15%
Kemiringan Lahan K -t u k a r ( m e /1 0 0 g ) Kontrol Biopori M ulsa Vertikal
(54)
me/100g, dan pada kemiringan lahan landai (T2) nilai K-tukar meningkat menjadi 0.49 me/100g, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) nilai K-tukar menjadi menurun yaitu sebesar 0.43 me/100g.
Perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan lahan menunjukkan bahwa kemiringan lahan dapat meningkatkan nilai K-tukar, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar nilai K-tukar menjadi lebih rendah. Pada perlakuan biopori (M1) nilai K-tukar tertinggi terdapat pada kemiringan lahan landai (T2) yaitu sebesar 0.73 me/100g. Dan pada kemiringan lahan datar (T1) nilai K-tukar adalah 0.56 me/100g. Sedangkan pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) nilai K-tukar adalah yang paling rendah yaitu sebesar 0.55 me/100g. Perlakuan biopori (M1) menunjukkan bahwa peningkatan kemiringan lahan dapat pula meningkatkan nilai K-tukar, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) nilai K-tukar menjadi menurun.
Sedangkan pada perlakuan mulsa vertikal (M2) juga dapat meningkatkan nilai K-tukar, tetapi tidak sebesar pada perlakuan biopori (M1). Pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai K-tukar tertinggi terdapat pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar 0.65 me/100g. Tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) ternyata nilai K-tukar menurun menjadi 0.51 me/100g dan 0.53 me/100g. Perlakuan mulsa vertikal (M2) menunjukkan bahwa peningkatan kemiringan lahan dapat menurunkan nilai K-tukar.
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai Ca-tukar, juga disajikan dalam bentuk diagram (Gambar 7) :
(55)
Gambar 7. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Ca-tukar Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan nilai Ca-tukar pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 13. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai Ca-tukar. Keadaan atau kemiringan lahan juga berpengaruh signifikan terhadap nilai Ca-tukar. Sedangkan interaksi antara penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai Ca-tukar.
Tabel 7 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori (M1) dan mulsa vertikal (M2) dapat meningkatkan nilai Ca-tukar. Pada perlakuan biopori (M1) dan mulsa vertikal (M2) nilai Ca-tukar meningkat menjadi 1.31 me/100g, berbeda nyata dengan perlakuan tanpa mulsa (M0) nilai Ca-tukaradalah 0.70 me/100g.
Sedangkan perlakuan kemiringan lahan dapat menyebabkan menurunnya nilai Ca-tukar. Pada kemiringan lahan datar (T1) nilai Ca-tukar adalah 1.21 me/100g, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) nilai Ca-tukar menjadi menurun yaitu masing-masing sebesar 1.05 dan 1.06 me/100g.
0,90 0,53 0,68 1,31 1,37 1,24 1,43 1,25 1,26 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60
3% 8% 15%
Kemiringan Lahan C a -t u k a r ( m e /1 0 0 g ) Kontrol Biopori M ulsa Vertikal
(56)
Perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan lahan menunjukkan bahwa kemiringan lahan dapat menurunkan nilai Ca-tukar. Pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai Ca-tukar tertinggi terdapat pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar 1.43 me/100g. Tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) nilai Ca-tukar menurun menjadi 1.25 me/100g dan 1.26 me/100g. Perlakuan mulsa vertikal (M2) menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih besar dapat menyebabkan penurunan nilai Ca-tukar.
Sedangkan pada perlakuan biopori (M1) juga dapat meningkatkan nilai Ca-tukar, tetapi tidak sebesar pada perlakuan mulsa vertikal (M2). Pada perlakuan biopori (M1) nilai Ca-tukar tertinggi terdapat pada kemiringan lahan landai (T2) yaitu sebesar 1.37 me/100g. Dan pada kemiringan lahan datar (T1) nilai Ca-tukar adalah 1.31 me/100g. Tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) ternyata nilai Ca-tukar menurun menjadi 1.24 me/100g. Perlakuan biopori (M1) menunjukkan bahwa peningkatan kemiringan lahan dapat pula meningkatkan nilai Ca-tukar, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar nilai Ca-tukar akan semakin menurun.
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai Mg-tukar, juga disajikan dalam bentuk diagram (Gambar 8) :
(57)
Gambar 8. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Mg-tukar Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan nilai Mg-tukar pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 14. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai Mg-tukar. Keadaan atau kemiringan lahan juga berpengaruh signifikan terhadap nilai Mg-tukar. Sedangkan interaksi antara penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai Mg-tukar.
Tabel 7 dan Gambar 8 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori (M1) dan mulsa vertikal (M2) dapat meningkatkan nilai Mg-tukar. Pada perlakuan biopori (M1) nilai Mg-tukar meningkat menjadi 0.45 me/100g, dan pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai Mg-tukar menjadi 0.40 me/100g berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0) nilai Mg-tukar adalah 0.38 me/100g.
Sedangkan pada perlakuan kemiringan lahan dapat menurunkan nilai tukar. Pada perlakuan kemiringan lahan datar dan miring (T1 dan T3) nilai Mg-tukar adalah sama yaitu sebesar 0.42 me/100g, tetapi pada kemiringan lahan landai (T2) nilai Mg-tukar menurun yaitu 0.40 me/100g.
0,38 0,41 0,390,37 0,37
0,43
0,46 0,45 0,45
0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50
3% 8% 15%
Kemiringan Lahan M g -t u k a r ( m e /1 0 0 g ) Kontrol Biopori M ulsa Vertikal
(58)
Perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan lahan menunjukkan bahwa kemiringan lahan dapat menyebabkan penurunan nilai Mg-tukar. Pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai Mg-tukar tertinggi terdapat pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar 0.46 me/100g. Dan pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) nilai Mg-tukar menjadi menurun yaitu sebesar 0.45 me/100g. Perlakuan mulsa vertikal (M2) menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih besar dapat menurunkan nilai Mg-tukar.
Sebaliknya pada perlakuan biopori (M1) nilai Mg-tukar tertinggi terdapat pada kemiringan lahan miring (T3) yaitu sebesar 0.43 me/100g. Dan pada kemiringan lahan yang lebih kecil (T1 dan T2) nilai Mg-tukar menjadi menurun yaitu sebesar 0.41 me/100g dan 0.37 me/100g. Perlakuan biopori (M1) menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih kecil dapat menyebabkan penurunan nilai Mg-tukar, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar dapat menyebabkan peningkatan nilai Mg-tukar.
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai Na-tukar, juga disajikan dalam bentuk diagram (Gambar 9) :
Gambar 9. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Na-tukar Tanah Kebun Kakao.
0,20 0,25 0,17 0,20 0,32 0,34 0,35 0,41 0,36 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45
3% 8% 15%
Kemiringan Lahan N a -t u k a r ( m e /1 0 0 g ) Kontrol Biopori M ulsa Vertikal
(59)
Data pengamatan nilai Na-tukar pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 15. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai Na-tukar. Keadaan atau kemiringan lahan juga berpengaruh signifikan terhadap nilai Na-tukar. Sedangkan interaksi antara penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai Na-tukar.
Tabel 7 dan Gambar 9 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori (M1) dan mulsa vertikal (M2) dapat meningkatkan nilai Na-tukar. Pada perlakuan biopori (M1) nilai Na-tukar meningkat menjadi 0.29 me/100g, dan pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai Na-tukar menjadi 0.37 me/100g berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0) nilai Na-tukar adalah 0.21 me/100g.
Begitu pula dengan perlakuan kemiringan lahan dapat meningkatkan nilai Na-tukar, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar dapat menyebabkan penurunan nilai Na-tukar. Pada kemiringan lahan datar (T1) nilai Na-tukar adalah 0.25 me/100g, dan pada kemiringan lahan landai (T2) nilai Na-tukar menjadi meningkat yaitu 0.33 me/100g. Tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar nilai Na-tukar menurun menjadi 0.29 me/100g.
Perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan lahan menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih besar dapat meningkatkan nilai Na-tukar. Pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai Na-tukar tertinggi terdapat pada kemiringan lahan landai (T2) yaitu sebesar 0.41 me/100g, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) nilai Na-tukar menurun menjadi 0.36 me/100g. Dan pada kemiringan lahan datar (T1) nilai Na-tukar
(60)
adalah 0.35 me/100g. Perlakuan mulsa vertikal (M2) menunjukkan bahwa kemiringan lahan dapat menyebabkan peningkatan nilai Na-tukar, tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) dapat menyebabkan penurunan nilai Na-tukar.
Sedangkan pada perlakuan biopori (M1) nilai Na-tukar tertinggi terdapat pada kemiringan lahan miring (T3) yaitu sebesar 0.34 me/100g. Tetapi pada kemiringan lahan yang lebih kecil (T1 dan T2) nilai Na-tukar menurun menjadi 0.20 me/100g dan 0.32 me/100g. Perlakuan biopori (M1) menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih kecil dapat menurunkan nilai Na-tukar.
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai KTK, juga disajikan dalam bentuk diagram (Gambar 10) :
Gambar 10. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap KTK Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan nilai KTK pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 16. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai KTK. Keadaan atau kemiringan lahan juga berpengaruh signifikan terhadap nilai KTK. Sedangkan interaksi antara
6,28 4,16 1,87 7,15 5,47 5,63 7,44 5,48 5,59 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00
3% 8% 15%
Kemiringan Lahan K T K ( m e /1 0 0 g ) Kontrol Biopori M ulsa Vertikal
(61)
penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai KTK.
Tabel 8 dan Gambar 10 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori (M1) dan mulsa vertikal (M2) dapat meningkatkan nilai KTK tanah. Pada perlakuan biopori (M1) nilai KTK meningkat menjadi 6.08 me/100g, dan pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai KTK 6.17 me/100g berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0) nilai KTK adalah 4.11 me/100g.
Sedangkan pada perlakuan kemiringan lahan yang lebih besar dapat menurunkan nilai KTK. Pada kemiringan lahan datar (T1) nilai KTK adalah 6.96 me/100g, dan pada kemiringan lahan landai (T2) dan miring (T3) nilai KTK menjadi menurun yaitu masing-masing sebesar 5.04 dan 4.36 me/100g.
Perlakuan interaksi antara penempatan serasah kakao dan kemiringan lahan menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih besar dapat menurunkan nilai KTK. Pada perlakuan mulsa vertikal (M2) nilai KTK tertinggi terdapat pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar 7.44 me/100g. Tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) nilai KTK menurun menjadi 5.48 me/100g dan 5.59 me/100g. Perlakuan mulsa vertikal (M2) menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang lebih besar dapat menyebabkan penurunan nilai KTK tanah.
Sedangkan pada perlakuan biopori (M1) nilai KTKtertinggi juga terdapat pada kemiringan lahan datar (T1) yaitu sebesar 7.15 me/100g. Tetapi pada kemiringan lahan yang lebih besar (T2 dan T3) nilai KTK menurun menjadi 5.47 me/100g dan 5.63 me/100g. Perlakuan biopori (M1) juga menunjukkan bahwa kemiringan lahan dapat menurunkan nilai KTK tanah.
(62)
4.1.3. Sifat Biologi Tanah
Berdasarkan hasil analisis laboratorium diperoleh nilai pengamatan untuk setiap parameter biologi yang diamati pada masing-masing perlakuan dengan kemiringan lahan yang berbeda seperti yang terlihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap Sifat Biologi Tanah Kebun Kakao.
Perlakuan C-organik N-total C/N
-
Total Mikroba (Gram tanah) (%)
M0 0.65c 0.06c 10..20a 3.11c
M1 3.49a 0.69b 5.14b 4.33b
M2 3.33b 0.71a 4.74b 5.00a
Kemiringan Lahan
T1 2.38c 0.47b 6.12b 6.44a
T2 2.60a 0.56a 6.30b 3.89b
T3 2.49b 0.43c 7.67a 2.11c
Perlakuan Interaksi
M0T1 0.3e 0.04e 8.39 5.17c
M1T1 3.54a 0.66c 5.4 6.50b
M2T1 3.28b 0.72b 4.57 7.67a
M0T2 0.97c 0.1d 10.29 2.50e
M1T2 3.42ab 0.79a 4.32 4.33d
M2T2 3.42ab 0.8a 4.28 4.83c
M0T3 0.67d 0.06e 11.91 1.67g
M1T3 3.52a 0.62c 5.71 2.17f
M2T3 3.29b 0.61c 5.38 2.50e
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk setiap perlakuan tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
Pengaruh antara interaksi perlakuan penempatan serasah kakao dengan perlakuan kemiringan lahan terhadap nilai C-organik, juga disajikan dalam bentuk diagram (Gambar 11) :
(63)
Gambar 11. Pengaruh Penempatan Serasah Kakao (Biopori dan Mulsa Vertikal) dan Kemiringan Lahan Terhadap C-organik Tanah Kebun Kakao.
Data pengamatan kandungan C-organik pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal serta tabel sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 17. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penempatan serasah kakao memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kandungan C-organik. Keadaan atau kemiringan lahan juga berpengaruh signifikan terhadap kandungan C-organik. Sedangkan interaksi antara penempatan serasah kakao dengan kemiringan lahan juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kandungan C-organik.
Tabel 8 dan Gambar 11 menunjukkan bahwa pada perlakuan biopori dan mulsa vertikal dapat meningkatkan kandungan C-organik. Pada perlakuan biopori (M1) kandungan C-organik meningkat menjadi 3.49 %, dan pada perlakuan mulsa vertikal (M2) kandungan C-organik menjadi 3.33 % berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian mulsa (M0) kandungan C-organik adalah 0.65 %.
Begitu pula dengan kemiringan lahan dapat meningkatkan kandungan C-organik. Pada kemiringan lahan datar (T1) kandungan C-organik adalah 2.37 %. Tetapi pada kemiringan lahan landai (T2) kandungan C-organik meningkat menjadi 2.60 %, dan pada kemiringan lahan yang lebih besar (T3) kandungan C-organik adalah sebesar 2.49 %.
0,30
0,97
0,67
3,54 3,42 3,52
3,28 3,42 3,29
0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00
3% 8% 15%
Kemiringan Lahan C -o r g a n ik ( %) Kontrol Biopori M ulsa Vertikal
(1)
T1 T2 T3
M0 0.04 0.10 0.06 0.06
M1 0.66 0.79 0.62 0.69
M2 0.72 0.80 0.61 0.71
Rataan 0.47 0.56 0.43 0.49
Lampiran 19. Data Pengamatan C/N (Tabel A), Analisa Sidik Ragam C/N
(Tabel B) Dan Tabel Rataan C/N (Tabel C) Pada Perlakuan
Biopori Dan Mulsa Vertikal Dengan Kemiringan Lahan
Datar, Landai Dan Miring
Tabel A
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
M0T1 7.5 8 9.67 25.17 8.39
M0T2 12.13 8.17 10.56 30.86 10.28667 M0T3 11.17 13.4 11.17 35.74 11.91333 M1T1 5.47 5.23 5.49 16.19 5.396667 M1T2 4.45 4.28 4.24 12.97 4.323333
M1T3 5.7 5.7 5.73 17.13 5.71
M2T1 4.85 4.41 4.46 13.72 4.573333
M2T2 4.24 4.29 4.31 12.84 4.28
M2T3 6.07 5.21 4.86 16.14 5.38
Total 61.58 58.69 60.49 180.76
Rataan 5.13 4.853333 4.848333 6.694815
Tabel B
SK db JK KT Nilai F
Hitung 0.05 Ket Ulangan 2 0.47 0.237 1.64 3.37 tn Penempatan Serasah (M) 2 166.27 83.13 575.57 3.37 *
Error a 4 0.58 0.14
(2)
Perlakuan Kemiringan Lahan Rataan
T1 T2 T3
M0 8.39 10.29 11.91 10.20
M1 5.40 4.32 5.71 5.14
M2 4.57 4.28 5.38 4.74
(3)
Lampiran 20. Data Pengamatan Total Mikroba (Tabel A), Analisa Sidik
Ragam Total Mikroba (Tabel B) Dan Tabel Rataan Total
Mikroba (Tabel C) Pada Perlakuan Biopori Dan Mulsa
Vertikal Dengan Kemiringan Lahan Datar, Landai Dan
Miring
Tabel A
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
M1T1 6.5 6.5 6.5 19.5 6.5
M1T2 4 4.5 4.5 13 4.333333
M1T3 2 2 2.5 6.5 2.166667
M2T1 7.5 8 7.5 23 7.666667
M2T2 4.5 5 5 14.5 4.833333
M2T3 2.5 2.5 2.5 7.5 2.5
Total 27 28.5 28.5 84
Rataan 4.5 4.75 4.75 4.666667
Tabel B
SK db JK KT Nilai F
Hitung 0.05 Ket Ulangan 2 0.25 0.13 3.00 4.46 tn Penempatan Serasah (M) 1 2.00 2.00 48.00 5.32 *
Error a 2 0.08 0.04
Topografi (T) 2 67.75 33.88 813.00 4.46 * Interaksi (M x T) 2 0.58 0.29 7.00 4.46 *
Error b 8 0.33 0.04
Total 17 71.00
FK 392.00 Ket *=nyata pada α=5% KKa 4.37% tn= tidak nyata pada α=5%
(4)
Lampiran 21. Pelaksanaan Penelitian Pada Perlakuan Biopori di Kebun
Kakao
(5)
Lampiran 22. Pelaksanaan Penelitian Pada Perlakuan Mulsa Vertikal di
Kebun Kakao
(6)