Perilaku nyeri pasien kanker kronis

sel-sel tumor dapat dirusak 20 sampai 99 Brunner Suddarth, 2001. Kemoterapi juga sering dikombinasikan dengan penanganan kanker lainya yaitu pembedahan dan radiasi karena kemoterapi dapat mematikan sel-sel kanker yang sudah menyebar di seluruh tubuh. Sebagian besar responden sedang tidak mengikuti treatment 43,5, tetapi sedang rawat inap dalam persiapan mengikuti salah satu treatment beberapa hari kemudian. Ada beberapa prosedur yang harus dijalani oleh pasien kanker kronis sebelum mengikuti treatment seperti pemeriksaan laboratorium darah. Prosedur ini membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu 2-3 hari, jika ditemukan ada hal-hal yang tidak normal maka kondisi ini harus terlebih dahulu ditangani sebelum akhirnya treatment dilakukan kepada pasien. Hal inilah yang menyebabkan peneliti menemukan sebagian besar responden penelitian ini belum menjalani treatment kanker.

2.2. Perilaku nyeri pasien kanker kronis

Pada saat responden didampingi pasangan hidup, sebagian besar responden memiliki perilaku nyeri dalam level rendah 73.9 dengan skor rata-rata 3 SD= 1.65 dan pada saat responden tidak didampingi, sebagian besar responden memiliki perilaku nyeri dalam level rendah 82.6 dengan skore rata-rata 2.74 SD= 1.84. Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa perilaku nyeri sebagian besar responden pada saat didampingi maupun tidak didampingi adalah perilaku nyeri rendah. Universitas Sumatera Utara Dalam penelitian ini, kriteria salah satu responden adalah pasien yang memiliki nyeri dalam rentang ringan sampai sedang. Harahap 2007 meneliti hubungan intensitas nyeri dengan perilaku nyeri, dari penelitian yang dilakukan diperoleh adanya hubungan yang signifikan antara intensitas nyeri dengan perilaku nyerir= 0.59, p= 0.01 . Berdasarkan penelitian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu sebagian besar responden memiliki perilaku nyeri rendah karena responden penelitian ini memang pasien yang memiliki nyeri ringan sampai sedang. Semakin tinggi usia maka respon terhadap nyeri semakin menurun Brunner Suddarth, 2001. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Woodrow dan koleganya 1972 yang menemukan bahwa baik pria maupun wanita mengalami penurunan toleransi nyeri dengan semakin bertambahnya usia. Selama melakukan pengumpulan data, Peneliti menemukan banyak pasien kanker kronis yang mengaku tidak merasakan nyeri meskipun telah memasuki stadium lanjut terutama pasien yang telah memasuki usia madya tengah ke atas jadi usia memang sangat mempengaruhi respon pasien terhadap nyeri. Pada penelitian ini lebih dari setengah responden merupakan dewasa madya tengah 56.5 dimana mereka telah mengalami penurunan toleransi nyeri sehingga perilaku nyeri yang diekspresikan juga adalah perilaku nyeri rendah. Jenis kelamin mempengaruhi perilaku nyeri pasien. Pada Robinson dan koleganya 2003, dalam Brannon Feist, 2007 menemukan bahwa ada perbedaan persepsi nyeri antara pria dan wanita yaitu bahwa wanita lebih Universitas Sumatera Utara sensitif terhadap nyeri. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Berkley 1998 yang menemukan bahwa wanita lebih sering melaporkan nyeri yang dirasakannya dan lebih mengekspresikan perilaku nyeri sedangkan pria lebih jarang melaporkan nyeri dan cenderung menutupi rasa nyerinya. Pada penelitian ini jumlah responden laki-laki lebih dari setengah 56.5 dimana pria kurang sensitif terhadap nyeri dan kurang mengekspresikan perilaku nyerinya. Nyeri kanker dipengaruhi oleh jenis kanker itu sendiri, tidak semua jenis kanker menghasilkan intensitas nyeri yang sama Baredo koleganya, 2007. Kanker nasopharing merupakan kanker dengan rata-rata intensitas nyeri rendah Anderson, Syrjala, Cleeland, 2001. Sebagian besar responden penelitian ini merupakan pasien kanker nasopharing 30.4 dimana seperti yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa jenis kanker ini merupakan kanker dengan intensitas nyeri rendah. Hal yang sama memang ditemukan oleh peneliti di lapangan bahwa pasien kanker nasopharing melaporkan jarang merasakan nyeri, keluhan yang dilaporkan lebih kepada adanya cairan yang menyumbat hidung pasien dan beberapa pasien mengalami pendarahan dari hidung sehingga membuat pasien kurang nyaman. Jadi hal ini juga mempengaruhi ditemukannya perilaku nyeri responden adalah rendah. Individu yang mengalami nyeri biasanya tergantung pada dukungan atau bantuan dan perlindungan anggota keluarga atau teman dekat Potter Perry, 2005. Pasangan hidup mengambil peranan yang besar dalam penguatan pasien akan nyeri yang dialami Cano, Bartein Heller, 2008. Selama pengumpulan Universitas Sumatera Utara data, peneliti menemukan hampir sebagian besar pasien kanker tidak didampingi pasangan hidupnya lagi setelah siklus pertama pengobatan terutama pada pasien perempuan, jadi yang menggantikan pendampingan untuk pasien selama pengobatan adalah keluarga maupun anak-anak mereka. Ketidakhadiran pasangan hidup pasien ini dikarenakan pasangan hidup harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kehadiran pasangan mempengaruhi perilaku nyeri pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Block dan koleganya 1980 menemukan bahwa pasien yang didampingi pasangan hidupnya menunjukkan perilaku nyeri tinggi. Flor dan koleganya 1987 menemukan bahwa pasien yang memiliki hubungan yang harmonis dengan pasangan hidupnya menunjukkan perilaku nyeri yang lebih tinggi sedangkan pasien yang memiliki hubungan yang kurang harmonis menunjukkan perilaku nyeri yang lebih rendah. Dalam melakukan observasi perilaku nyeri pada saat pasien didampingi pasangan hidup, peneliti menemukan bahwa pasangan hidup pasien kurang berpartisipasi. Peneliti sebenarnya meminta pasangan hidup pasien untuk berdiri di dekat pasien selama observasi dilakukan tetapi sebagian besar pasangan hidup pasien tidak bersedia, mereka memang di dalam ruangan tetapi duduk di kursi dengan jarak satu atau dua meter dari tempat tidur pasien, beberapa pasangan hidup pasien malah bercerita dengan pasien lain atau keluarga pasien lainnya saat observasi dilakukan. Peneliti melihat bahwa kondisi-kondisi di atas yang telah mempengaruhi kenapa pasien kanker kronis menunjukkan perilaku nyeri rendah saat Universitas Sumatera Utara didampingi pasangan hidup, berbeda dengan yang ditemukan oleh Blok dan koleganya. Hal ini pasti dikarenakan pasien memang kurang merasakan pendampingan atau kehadiran pasangan hidup itu sendiri. Dalam melakukan observasi perilaku nyeri ada lima item perilaku nyeri yang akan diobservasi. Pada saat didampingi pasangan hidup perilaku nyeri yang paling sering muncul adalah menahan nyeri bracing M=0.84, SD= 0.73 dan pada saat tidak didampingi perilaku nyeri yang paling sering muncul adalah menahan nyeri bracingM= 0.98, SD= 0.62. Menahan nyeri merupakan perilaku yang ditujukan pasien berupa gerakan yang statis dengan memberikan tahanan pada daerah yang mengalami nyeri. Prakchin 2008 mengatakan bahwa perilaku terjaga guarding dan menahan nyeri bracing mengacu kepada adanya kerusakan jaringan. Sebagian besar responden penelitian ini adalah pasien kanker nasopharing NPC dan kanker payudara Ca. Mammae. Hampir semua pasien tersebut di atas menunjukkan gerakan yang statis pada daerah nyeri yang dialami, misalnya pada pasien NPC jika sumber nyerinya pada leher sebelah kiri maka pada saat ingin melihat ke sebelah kiri pasien akan membalikkan badannya ke sebelah kiri bukan mengarahkan lehernya ke sebelah kiri. Pada pasien kanker payudara menunjukkan perilaku menahan payudara yang merupakan sumber nyeri pada saat melakukan aktivitas observasi perilaku nyeri. Menurut peneliti, perilaku menahan nyeri dilakukan oleh responden karena responden memiliki persepsi bahwa bagian tubuh tersebut merupakan sumber nyeri jadi harus Universitas Sumatera Utara dilindungi supaya tidak terjadi gesekan atau gerakan yang dapat merangsang nyeri. 2.3 Perbedaan Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis yang Didampingi Pasangan Hidup dengan yang Tidak Didampingi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Gil dan koleganya 1986 yang tidak menemukan adanya perbedaan perilaku nyeri pada pasien nyeri kronis 51 responden yang mendapatkan dukungan sosial yang tinggi dengan yang rendah. Dukungan sosial yang tinggi diartikan jika pasien mengaku merasakan memperoleh adanya kepuasan dari keluarga dan teman dekat sedangkan dukungan sosial yang rendah jika pasien kurang puas terhadap keluarga dan teman dekat. Pada saat observasi perilaku nyeri dilakukan peneliti menemukan bahwa sebagian besar pasangan hidup pasien kurang berpartisipasi. Mereka memang di dalam ruangan tetapi duduk di kursi dengan jarak satu atau dua meter dari tempat tidur pasien, beberapa pasangan hidup pasien malah bercerita dengan pasien lain atau keluarga pasien lainnya saat observasi dilakukan. Jadi pasien kurang mersakan kehadiran dari pasangan hidupnya tersebut sehingga tidak berpengaruh terhadap perilaku nyeri pasien. Penelitian-penelitian sebelumnya yang bertujuan melihat hubungan perilaku nyeri dengan kehadiran pasangan selalu memiliki responden dengan tingkat nyeri rata-rata sedang dan tinggi sedangkan dalam penelitian ini tingkat Universitas Sumatera Utara nyeri responden rata-rata rendah dan sedang, hal ini mungkin saja mempengaruhi hasil penelitian ini sehingga tidak ditemukan perbedaan perilaku nyeri pada saat didampingi dengan saat tidak didampingi. Selain itu, selama penelitian peneliti memang kurang mengontrol faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku nyeri lainnya seperti obat-obatan sehingga dapat juga mempengaruhi hasil penelitian ini. Universitas Sumatera Utara BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan dan saran mengenai perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1. Kesimpulan