Hubungan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal
HUBUNGAN ANTARA TRAIT KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA INDIVIDU
DEWASA AWAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Ina Marchellyna Florentine NIM : 089114014
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(2)
ii
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA TRAIT KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA INDIVIDU
DEWASA AWAL
Disusun Oleh :
Ina Marchellyna Florentine NIM : 089114014
Telah Disetujui Oleh :
Dosen Pembimbing,
(3)
iii
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA TRAIT KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA INDIVIDU
DEWASA AWAL
Dipersiapkan dan ditulis oleh : Ina Marchellyna Florentine
NIM : 089114014
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 13 Maret 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Penguji 1 : Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi ...
Penguji 2 : P. Henrietta P.D.A.D.S, M.A. ...
Penguji 3 : Y. Heri Widodo, M.Psi ...
Yogyakarta, Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Dekan,
(4)
iv
I can do anything through Him who gives me strength.
–
Phillippians 4 : 13
For what its worth, it’s never too late to be whoever you want to be.
I hope you
live a life you proud of. And if you found you’re not, I hope you have the
strength to start all over again.
–
Scott Fitzgerald
It’s not good to dwell in dreams and forget to live.
–
Albus Dumbledore
, Harry Potter and The Sorcerer’s Stone
In everything, it is better to hope than to despair.
–
Von Goethe
Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.
–
Galatia 6 : 7b
(5)
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya milik orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 25 April 2013
Penulis,
(6)
vi
HUBUNGAN ANTARA TRAIT KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA INDIVIDU
DEWASA AWAL
Ina Marchellyna Florentine
ABSTRAK
Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal. Hipotesis nol dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal. Subjek penelitian ini adalah 110 individu dewasa awal yang berusia 18-40 tahun. Subjek dipilih menggunakan teknik convenience sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan mengunakan skala trait kecerdasan emosional dan skala kecenderungan pembelian impulsif. Validitas skala diuji menggunakan validitas isi. Koefisien reliabilitas skala kecenderungan pembelian impulsif adalah 0,924 dan skala trait kecerdasan emosional adalah 0,913. Melalui analisis regresi sederhana diperoleh F(1,108)=24,048, p=0,000 dan β=-0,427. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis nol dalam penelitian ini ditolak. Artinya, terdapat hubungan negatif dan signifikan antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal.
Kata kunci : kecenderungan pembelian impulsif, trait kecerdasan emosional, dewasa awal
(7)
vii
CORRELATION BETWEEN TRAIT EMOTIONAL INTELLIGENCE AND IMPULSE BUYING TENDENCY
Ina Marchellyna Florentine
ABSTRACT
This research aimed to determine the relationship between trait emotional intelligence and impulse buying tendency. The null hypothesis of this research was there is no relationship between trait emotional intelligence and impulse buying tendency. Participants of this study were 110 early adults aged between 18 and 40 years old. Participants were selected using convenience sampling technique. Data collected with impulse buying tendency scale and trait emotional intelligence scale. The validity of the scale was tested using content validity. Impulse buying tendency scale reliability coefficient was 0,924 and trait emotional intelligence scale was 0,913. Data analyzed using regression analysis. The result (F(1,108)=24,048, p=0,000 dan β=-0,427) showed that the null hypothesis of this study is rejected. This means that trait emotional intelligence corelate negatively and significantly with impulse buying tendency.
(8)
viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Ina Marchellyna Florentine NIM : 089114014
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Hubungan antara Trait Kecerdasan Emosional dengan Kecenderungan Pembelian Impulsif pada Individu Dewasa Awal
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 25 April 2013
Yang menyatakan,
(9)
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Yang Maha Baik, yang selalu hadir dan
menyertai perjalanan hidup penulis. Dengan berkat dan penyertaan-Nya, penulis
dapat menghadapi segala tantangan hingga akhirnya dapat menyelesaikan
penelitian (skripsi) ini. Skripsi dengan judul “Hubungan Antara Trait Kecerdasan Emosional dan Kecenderungan Pembelian Impulsif pada Individu Dewasa Awal” disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan di Fakultas Psikologi Sanata
Dharma Yogyakarta dan meraih gelar sarjana psikologi.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, kritik dan saran bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. DR. Ch. Siwi Handayani, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma dan sekaligus dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas
pengalaman hidup yang sempat dibagikan dan semangat luar biasa yang
ditunjukkan kepada penulis dan segenap mahasiswa yang didampingi. Sangat
menginspirasi!
2. Ratri Sunar Astuti, M.Si. sebagai Kaprodi Fakultas Psikologi Sanata Dharma.
Penulis mengucapkan terima kasih atas segala bentuk bantuan yang telah
diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.
3. Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi. selaku dosen pembimbing skripsi. Terima
(10)
x
selama proses pengerjaan skripsi. Terima kasih juga atas kesempatan curhat
colongan disela-sela proses bimbingan.
4. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S., M.A dan Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi yang
telah memberikan banyak masukan dalam penyelesaian tugas akhir ini.
5. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Terima kasih atas pelajaran yang telah diberikan selama masa studi penulis,
baik berupa ilmu pengetahuan, pengalaman, motivasi, maupun inspirasi.
6. Orang tua penulis, Alm. Yoseph Doni Boli dan Carolina Sri Handayani.
Meskipun tidak banyak waktu yang kita habiskan bersama, aku yakin kisah
dan kasih Bapak-Ibu selalu ada, tak terbatas ruang dan waktu.
FX. Bambang Suripno dan Robertha Kresnowati. Terima kasih tak terhingga
atas kasih sayang, segala daya dan upaya, serta pendampingan luar biasa yang
telah Bapak-Ibu berikan selama ini. Karya Tuhan yang nyata dan
mengagumkan terwujud dalam kehadiran Bapak dan Ibu.
7. Robertha Yolins Dwi Putri, thanks for being the challange for me to be a
good sister. Jangan kalah dengan pikiran buruk kita sendiri!
8. F. Dani Anom Sandjaja, terima kasih atas segala kasih sayang, penerimaan,
dan pengalaman beserta tawa dan tangis yang telah kita bagikan selama 5
tahun ini. “You met me in the wierdest moment of my life.” But thank God we met each other.
9. Anom, Luci, Dewi, Puput, Edy, Agung, Meili, Heni, Mbak Ti, Mbak Isti, Bu
(11)
xi
yang telah membantu dalam tersebarnya skala selama tryout dan pengambilan
data penelitian. Tanpa kalian, entah kapan skripsi ini selesai. Hehe..
10. Teman-teman seperjuangan dan sebimbingan dalam penyusunan skripsi.
Martha, Nursih, Wawan, terima kasih atas diskusi dan masukan selama
menyusun skripsi. Agung dan Presti, ayo tancap gas!
11. Teman-teman yang penulis kasihi. Aik, Skolas, Puput, Winas. Terima kasih
atas kebersamaan yang sempat kita alami selama masa kuliah. Semoga sukses
di fase hidup selanjutnya. Luci, Adita, Gigi, Irin, Heni, ayo semangat, sedikit
lagi selesai! Seluruh teman-teman Psikologi 2008, terima kasih atas
kebersamaan kalian selama masa kuliah ini.
12. Penghuni kos Starbut dan para pengunjung setianya: Alden, Puput, Aji,
Hargi, Vinsen, Adam ‘Si Junior’, Hanip, Dytha, Satrio. Terima kasih atas pengalaman rekreasi yang selalu mengesankan dan segala hal dalam diri
kalian yang menginspirasi.
13. Teman-teman OMK Don Bosco Gereja St. Maria Assumpta Paroki Babarsari.
People say “Time is prescious, waste it wisely”. I guess I’ve wasted my time
wisely with you guys. =)
14. Seluruh partisipan yang telah terlibat dalam penelitian ini. Terima kasih
karena telah meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukan kalian untuk
mengisi skala penelitian ini.
15. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih karena
telah membantu penelitian ini, sehingga penelitian ini dapat berjalan dan
(12)
xii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Terima
kasih.
Yogyakarta, 25 April 2013
Penulis
(13)
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat penelitian ... 10
1. Manfaat Teoretis... 10
(14)
xiv
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
A. Individu Dewasa Awal ... 11
1. Pengertian Individu Dewasa Awal ... 11
2. Karakteristik Perkembangan Individu Dewasa Awal ... 12
B. Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 15
1. Pengertian Pembelian Impulsif ... 15
2. Aspek-aspek Pembelian Impulsif ... 16
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif ... 18
4. Dampak Pembelian Impulsif ... 21
5. Alat Ukur Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 22
C. Trait Kecerdasan Emosional ... 23
1. Model-model Kecerdasan Emosional ... 23
2. Pengertian Trait Kecerdasan Emosional... 25
3. Faktor dan Faset Trait Kecerdasan Emosional ... 26
4. Alat Ukur Trait Kecerdasan Emosional ... 33
D. Dinamika Hubungan antara Trait Kecerdasan Emosional dengan Kecenderungan Pembelian Impulsif Individu Dewasa Awal ... 33
E. Hipotesis ... 36
BAB III. METODE PENELITIAN ... 37
A. Jenis Penelitian ... 37
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 37
C. Definisi Operasional ... 37
(15)
xv
2. Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 38
D. Subjek Penelitian ... 39
E. Metode Pengambilan Data ... 39
1. Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 40
2. Skala Trait Kecerdasan emosional ... 41
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 42
1. Validitas dan Reliabilitas Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 42
2. Validitas dan Reliabilitas Skala Trait Kecerdasan Emosional ... 43
G. Metode Analisis Data ... 44
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46
A. Persiapan Penelitian ... 46
B. Pelaksanaan Penelitian ... 46
C. Deskripsi Subjek Penelitian ... 47
D. Deskripsi Data Penelitian ... 48
E. Hasil Analisis Data ... 49
1. Uji Asumsi ... 49
2. Uji Hipotesis... 52
F. Analisis Tambahan ... 54
G. Pembahasan ... 55
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59
A. Kesimpulan ... 59
(16)
xvi
C. Saran ... 60
1. Bagi Individu Dewasa Awal ... 60
2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 61
(17)
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Struktur Faktor dan Faset Trait Kecerdasan Emosional (diadaptasi
dari Mickolajzack et al., 2007) ... 32
Tabel 2. Pemberian Skor pada Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 41
Tabel 3. Blueprint Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif (Sebelum Uji Coba dan Seleksi Aitem) ... 41
Tabel 4. Pemberian Skor pada Skala Trait Kecerdasan Emosional ... 41
Tabel 5. Blueprint Skala Trait Kecerdasan Emosional (Sebelum Uji Coba dan Seleksi Aitem)... 42
Tabel 6. Blueprint Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif (Setelah Uji Coba dan Seleksi Aitem) ... 43
Tabel 7. Blueprint Skala Trait Kecerdasan Emosional (Setelah Uji Coba dan Seleksi Aitem)... 44
Tabel 8. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin .. . 48
Tabel 9. Rangkuman Uji T Mean Empiris, Teoretis, dan Standar Deviasi .... . 48
Tabel 10. Hasil Uji Normalitas Residu ... 50
Tabel 11. Hasil Uji Linearitas ... 51
Tabel 12. Hasil Analisis R Kuadrat ... 52
Tabel 13. Hasil Uji F pada Analisis Regresi ... 52
(18)
xviii
Tabel 15. Rangkuman Perbandingan Mean Empiris, Teoretis,
(19)
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur Faktor Trait Kecerdasan Emosional (Sumber: Petrides, 2001,
www.psychometriclab.com) ... 28
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Hubungan Trait Kecerdasan Emosional
dengan Pembelian Impulsif pada Individu Dewasa
Awal ... 36
Gambar 3. Scatterplot untuk Uji-uji Asumsi ... 50
(20)
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Impulse Buying Tendency Scale (IBT-Scale) ... 68
Lampiran 2. Trait Emotional Intelligence Questionnaire-Short Form (TEIQue-SF) ... . 71
Lampiran 3. Skala Penelitian ... 73
Lampiran 4. Reliabilitas Skala Penelitian... 78
Lampiran 5. Hasil Uji Asumsi... 86
Lampiran 6. Hasil Uji Hipotesis... 88
(21)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbelanja merupakan kegiatan yang sangat lazim dilakukan
masyarakat saat ini. Berbelanja bukan sekedar untuk membeli barang-barang
yang dibutuhkan sehari-hari melainkan sebagai aktivitas pengisi waktu luang
dan gaya hidup yang utama (Lury; Bayley dan Nancarrow dalam Herabadi,
Verplanken, dan van Knippenberg, 2009). Data dari Consumer Survey
Indonesia pada bulan Februari tahun 2010 yang didapat dari 512 responden di
Jakarta menunjukkan bahwa setiap responden mengunjungi pusat
perbelanjaan dengan frekuensi rata-rata 6,5 hari sekali. Durasi kunjungan
rata-rata 3,5 jam dan jumlah uang yang dibelanjakan responden pada setiap
kunjungan rata-rata Rp.194.500,00 (Oei, 2010). Data tersebut menjadi
petunjuk lain bahwa berbelanja sudah menjadi aktivitas rutin bagi
masyarakat, terutama di kota besar.
Alasan yang mendorong orang berbelanja pun bermacam-macam.
Selain untuk membeli produk yang dibutuhkan, berbelanja juga didorong oleh
beberapa alasan lain. Bagi sebagian orang, khususnya wanita, berbelanja
dilakukan sebagai perwujudan perannya sebagai seorang ibu atau istri
(Tauber, 1972). Berbelanja dapat dilakukan sebagai hiburan atau rekreasi
setelah melakukan rutinitas sehari-hari dan sarana pemuasan diri ketika
(22)
motif-motif pribadi tersebut, terdapat pula motif-motif sosial yang
mendorong orang untuk berbelanja. Motif-motif tersebut antara lain
melakukan aktivitas sosial di luar rumah, berkomunikasi dengan orang lain
yang memiliki kesamaan minat, acara teman sebaya, merasakan status dan
otoritas sebagai tamu yang dilayani, dan menikmati kegiatan tawar-menawar
(Tauber, 1972).
Merencanakan produk yang hendak dibeli sebelum berbelanja
merupakan hal yang lazim. Akan tetapi, banyak pula orang tidak membuat
daftar belanja. Dari hasil riset yang dilakukan Nielsen terhadap 1804
responden dengan pengeluaran di atas Rp 1.500.000,00 di beberapa kota
besar di Indonesia, 21 % responden tidak pernah membuat perencanaan
belanja. Selain itu, 39 % responden mengaku membeli produk di luar daftar
belanja yang telah disusun. Hal ini menjukkan adanya peningkatan aktivitas
belanja yang tidak terencana dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya
dan menunjukkan bahwa konsumen di Indonesia semakin impulsif
(Industrial Post, 2011).
Di dalam sebuah forum di halaman situs FemaleDaily, seorang
anggota menulis:
Pas lagi di sale. Aduh gak tahan deh ... Biasanya beli accessories, langsung deh secepat kilat tanpa pikir panjang ... Terkadang puas sekali karena dapet barang yang bagus melebihi yang dipikirkan, tapi kadang nyesel setengah mati karena barangnya tidak sesuai dengan yang dikehendaki.(femaledaily.com, 2012)
Anggota-anggota lain juga mengaku pernah, bahkan sering mengalami
hal serupa. Ketika melihat suatu produk, para anggota situs tersebut
(23)
membelinya serta kurang ada pertimbangan lebih lanjut. Ketika membeli
produk mereka merasa sangat bersemangat tetapi setelah membeli terkadang
timbul perasaan menyesal. Perilaku membeli seperti ini disebut perilaku
pembelian impulsif (Beatty dan Ferrell, 1998; Rook, 1987).
Pembelian impulsif sangat menguntungkan bagi pihak produsen
ataupun pemasar karena dapat meningkatkan penjualan. Sebaliknya,
konsumen dapat mengalami kerugian setelah melakukan pembelian impulsif.
Kerugian tersebut dapat berupa rasa menyesal atau bersalah dan masalah
finansial (Gardner dan Rook, 1988; Rook, 1987). Perilaku pembelian impulsif
dapat pula berkembang menjadi perilaku membeli yang berlebihan atau
kompulsif (Faber & O’Guinn, 1992; Dittmar & Drury, 2000; Dittmar, 2005 dalamHerabadi, Verplanken, dan van Knippenberg, 2009).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku pembelian impulsif
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal individu, misalnya harga yang murah
dan adanya promosi berupa kupon atau potongan harga (Rook, 1987; Tendai
dan Crispen, 2009; Karbasivar dan Yarahmadi, 2011). Ketersediaan waktu
dan uang juga memiliki pengaruh terhadap perilaku pembelian impulsif.
Ketika seseorang memiliki waktu lebih banyak untuk berbelanja dan
melihat-lihat produk di toko, semakin besar peluang untuk membeli produk secara
impulsif, terutama jika individu memiliki uang yang cukup untuk
membelinya (Beatty dan Ferrell, 1998). Lingkungan belanja yang
menyenangkan juga mendorong terciptanya suasana hati yang menyenangkan
(24)
tempat tersebut dan berpeluang lebih besar untuk melakukan pembelian
impulsif (Tendai dan Crispen, 2009).
Penelitian-penelitian lain yang menggunakan subjek orang dewasa
menunjukkan bahwa selain dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, perilaku
pembelian impulsif pada dasarnya sangat terkait dengan faktor-faktor internal
individu. Verplanken dan Herabadi (2001) menemukan bahwa
kecenderungan pembelian impulsif berkaitan erat dengan kepribadian.
Dimensi neurotisisme (Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010) dan
ekstraversi (Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010; Verplanken
dan Herabadi, 2001) dari kepribadian Big Five berhubungan positif dengan
perilaku dan kecenderungan pembelian impulsif. Namun, studi Pirog III dan
Roberts (2007) menemukan bahwa pengguna kartu kredit yang memiliki
kepribadian introvert memiliki perilaku pembelian impulsif yang lebih tinggi.
Selain itu, dimensi kewaspadaan dan otonomi (atau keterbukaan, Verplanken
dan Herabadi, 2001) memiliki hubungan negatif dengan kecenderungan
perilaku pembelian impulsif.
Di luar faktor kepribadian Big Five, regulasi diri juga mempengaruhi
kecenderungan seseorang dalam perilaku pembelian impulsif secara negatif
(Vohs dan Faber, 2007). Beberapa penelitian lain (Mick and Demoss 1990;
Rook dan Gardner 1993; Youn dan Faber, 2000 dalam Vohs dan Faber, 2007)
mengemukakan bahwa suasana hati positif maupun negatif dapat memicu
(25)
Berdasarkan definisi, beberapa faktor penyebab, dan dampak perilaku
pembelian impulsif tampak bahwa komponen afektif menjadi ciri khas
sebagai penggerak dan memegang peran dominan dalam episode-episode
pembelian impulsif (Beatty dan Ferrel, 1998; Gardner dan Rook, 1988;
Herabadi, Verplanken, dan Van Knippenberg, 2009; Rook, 1987; Verplanken
dan Herabadi, 2001). Pembelian impulsif merupakan contoh pengambilan
keputusan dengan sedikit upaya yang lebih berdasarkan pada pemrosesan
perasaan daripada pemrosesan kognitif dan disertai komponen afektif yang
kuat (Hoyer and Macinnis dalam Sharma, Sivakumaran, dan Marshal, 2006;
Verplanken dan Herabadi, 2001).
Penelitian yang dilakukan Wood (dalam Kacen dan Lee, 2002)
menemukan bahwa pembelian impulsif mengalami peningkatan pada usia
18-39 tahun dan setelahnya menurun. Penemuan tersebut memperkuat hasil studi
Bellenger et al. (dalam Kacen dan Lee, 2002) yang menunjukkan bahwa
individu dewasa di bawah usia 35 tahun lebih rentan melakukan pembelian
impulsif daripada yang berusia di atas 35 tahun. Jika ditinjau berdasarkan
masa perkembangannya, rentang usia tersebut termasuk dalam usia dewasa
awal (Santrock, 2002).
Hal ini menarik karena pada usia dewasa awal, individu diharapkan
sudah mencapai kematangan, termasuk secara kognitif maupun emosional
(Jahja, 2011). Secara kognitif, individu dewasa awal pada umumnya sudah
mampu berpikir abstrak dan kompleks, tetapi lebih sistematis dan pragmatis
(26)
penelitian neo-Piagetian, individu dewasa awal juga dapat berpikir reflektif,
yaitu dengan pertimbangan secara aktif, terus-menerus, dan hati-hati
berdasarkan bukti-bukti yang mendukung dan kesimpulan yang hendak
dibuat (Papalia, Olds, dan Feldman, 2005). Kemampuan berpikir tersebut
tampak bertentangan dengan aspek kognitif pembelian impulsif, yang
dicirikan dengan sedikitnya pertimbangan yang dilakukan atas konsekuensi
yang dapat terjadi.
Dari segi perkembangan emosi, pada separuh masa dewasa awal,
individu dihadapkan pada banyak penyesuaian hidup yang mungkin
menyebabkan ketegangan emosi (Jahja, 2011; Santrock, 2002). Dengan
melihat hal ini, berbelanja atau membeli sesuatu, yang kadang dilakukan
secara impulsif, pada masa masa dewasa awal dapat dipahami sebagai sarana
untuk menghibur diri atau menghilangkan perasaan-perasaan yang
mengganggu seperti bosan, sedih, dan frustrasi (Gardner dan Rook, 1988;
Herabadi, Verplanken, dan van Knippenberg, 2009; Tauber, 1972). Dengan
kata lain, pembelian impulsif dapat dipandang sebagai suatu bentuk regulasi
emosi (Vohs dan Faber, 2007). Sayangnya, ketika seseorang melakukan
regulasi emosi dengan cara membeli sesuatu secara berulang, yang dalam
konteks ini dilakukan secara impulsif, regulasi emosi yang dilakukan justru
dapat menjadi kontraproduktif (Kamp dan Kopp, 2011).
Dari penelitian-penelitian tentang hubungan faktor-faktor individual
dengan pembelian impulsif, dapat dilihat bahwa karakteristik individu,
(27)
impulsif. Salah satu konsep yang menyediakan operasionalisasi komprehensif
dari aspek-aspek kepribadian yang berhubungan dengan emosi adalah
kecerdasan emosional dengan model trait (Carroll dalam Petrides et al.,
2010). Beberapa faktor individual yang berhubungan dengan pembelian
impulsif, seperti harga diri, regulasi emosi, dan impulsivitas yang rendah juga
terangkum sebagai faset dalam kecerdasan emosional dengan model trait
(Petrides dan Furnham, 2007).
Dalam model trait, kecerdasan emosional dipandang sebagai
sekumpulan persepsi diri dan disposisi terkait emosi (Mikolajzack, Petrides,
dan Hurry, 2009; Petrides, Furnham, dan Mavroveli, 2007). Konsep
kecerdasan emosional dengan model trait sering disebut trait kecerdasan
emosional atau lebih lebih tepat disebut efikasi diri emosional karena
mengacu pada persepsi diri individu tentang kemampuan emosionalnya
(Petrides et al., 2010). Kecerdasan emosional dengan model trait berbeda
dengan model kemampuan yang dikembangkan Mayer dan Salovey. Model
kemampuan melihat kecerdasan emosional sebagai kemampuan atau suatu
jenis kecerdasan (inteligensi) yang harus diukur dengan tes performansi
maksimal sedangkan model trait melihat kecerdasan emosional sebagai
bagian dari kepribadian dan dapat diukur dengan pelaporan diri (Petrides dan
Furnham, 2001).
Trait kecerdasan emosional terdiri dari lima belas faset kepribadian
yang terkait dengan emosi, yaitu adaptabilitas, persepsi emosi (pada diri dan
(28)
yang rendah, relasi, harga diri, motivasi diri, kesadaran sosial, manajemen
stres, trait empati, trait kebahagiaan, dan trait optimisme (Mikolajzack,
Petrides, dan Hurry, 2009; Petrides, Furnham, dan Mavroveli, 2007). Tiga
belas faset terkelompokkan ke dalam empat faktor yang lebih umum, yaitu
kesejahteraan, pengendalian diri, emosionalitas, dan sosiabilitas. Dua faset
yang tersisa, yaitu adaptabilitas dan motivasi diri, tidak termasuk dalam
faktor manapun tetapi tetap memberi sumbangan pada trait kecerdasan
emosional secara keseluruhan (Mikolajzack, Petrides, dan Hurry, 2009).
Trait kecerdasan emosional yang dikembangkan Petrides dan
rekan-rekannya ini memiliki hubungan yang unik dengan model kepribadian Big
Five. Trait kecerdasan emosional memiliki hubungan yang negatif dan kuat
dengan dimensi neurotisisme, serta memiliki hubungan positif dengan
ekstraversi dan kewaspadaan. Ketiga dimensi tersebut juga merupakan
dimensi kepribadian yang berkaitan dengan pembelian impulsif. Individu
dengan dimensi neurotisisme yang tinggi dan kewaspadaan yang rendah
memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang tinggi pula (Shahjehan et
al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010). Di sisi lain, dimensi ekstraversi yang
tinggi maupun rendah memiliki hubungan dengan tingginya pembelian
impulsif (Pirog III dan Roberts, 2007; Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu, dan
Youn, 2010; Verplanken dan Herabadi, 2001).
Peter dan Krishnakumar (2010) melakukan penelitian untuk melihat
hubungan antara kecerdasan emosional dengan model kemampuan dan
(29)
hubungan negatif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan
pembelian impulsif. Peneliti lain (Lin dan Chuang, 2005) mencoba melihat
karakteristik individual remaja yang mencakup kecerdasan emosional dengan
kecenderungan pembelian impulsif dengan perilaku pembelian impulsif.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa remaja dengan kecerdasan
emosional yang rendah memiliki kecenderungan dan perilaku pembelian
impulsif yang secara signifikan lebih tinggi daripada remaja yang memiliki
kecerdasan emosional lebih tinggi. Meskipun Lin dan Chuang (2005) tidak
menyatakan mengenai model kecerdasan emosional yang dijadikan acuan
dalam penelitian tersebut, alat ukur kecerdasan emosional yang digunakan
adalah alat ukur dengan model trait yang dikembangkan oleh Schutte.
Berdasarkan paparan tersebut, peneliti tertarik untuk melihat
hubungan antara kecerdasan emosional, khususnya dengan model trait, dan
kecenderungan perilaku pembelian impulsif pada individu dewasa awal.
Lebih lanjut, penelitian ini juga hendak melihat sejauh mana trait kecerdasan
emosional dapat memprediksikan kecenderungan pembelian impulsif pada
individu dewasa awal. Dengan meneliti hal tersebut, informasi mengenai
perilaku pembelian impulsif dan hubungannya dengan aspek kepribadian
terkait emosi pada konsumen dewasa awal akan semakin lengkap. Hal ini
dapat menjadi dasar untuk menemukan cara-cara yang lebih efektif dalam
mengatur perilaku pembelian impulsif individu dewasa awal agar tidak
(30)
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah kondisi hubungan antara trait kecerdasan emosional
dengan kecenderungan perilaku pembelian impulsif pada individu dewasa
awal?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui hubungan antara trait kecerdasan emosional dengan
kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal serta melihat
sejauh mana trait kecerdasan emosional dapat memprediksi kecenderungan
pembelian impulsif.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
Memberikan referensi teoretis di bidang psikologi konsumen,
psikologi kepribadian, dan psikologi perkembangan mengenai hubungan
antara trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan perilaku
pembelian impulsif pada individu dewasa awal.
2. Manfaat Praktis
Memberikan bahan evaluasi dan umpan balik bagi individu
(31)
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Individu Dewasa Awal
1. Pengertian Individu Dewasa Awal
Masa dewasa awal merupakan permulaan dari masa dewasa setelah
berakhirnya masa remaja. Menurut Santrock (2002), masa dewasa awal
adalah periode perkembangan yang dimulai pada akhir usia belasan tahun
atau awal usia duapuluhan tahun dan yang berakhir pada usia tigapuluhan
tahun. Pada masa ini, individu membentuk kemandirian pribadi dan
ekonomi serta mengembangkan karir. Bagi banyak individu, masa dewasa
awal merupakan masa pemilihan pasangan dan hidup berkeluarga
(Santrock, 2002).
Pengertian yang tidak jauh berbeda dikemukakan Hurlock (1997),
yang menyatakan bahwa masa dewasa awal berlangsung saat individu
berusia antara 18-40 tahun. Masa ini merupakan masa penyesuaian diri
terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baaru.
Individu dewasa awal diharapkan untuk dapat memainkan peran baru
(seperti suami/istri, orang tua, dan pencari nafkah) serta mengembangkan
sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan
tugas-tugas baru tersebut (Hurlock, 1997).
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa individu
(32)
yang dimulai pada usia 18 tahun dan berakhir pada usia 40 tahun, di mana
individu tersebut menunjukkan kematangan biologis maupun psikologis,
membentuk kemandirian pribadi dan ekonomi, serta dapat diharapkan
untuk memainkan peranan di dalam masyarakat.
2. Karakteristik Perkembangan Individu Dewasa Awal
Perkembangan kognitif dan sosioemosional pada individu dewasa
awal adalah sebagai berikut.
a. Perkembangan Kognitif
Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget (dalam
Santrock, 2002), individu pada masa remaja dan dewasa awal berpikir
dengan cara yang sama, atau berada pada tahap pemikiran operasional
formal. Ahli lain beranggapan bahwa individu dewasa awal
merencanakan dan membuat hipotesis tentang masalah-masalah seperti
remaja, tetapi menjadi lebih sistematis. Selain itu, kemampuan kognitif
pada masa dewasa awal menunjukkan adaptasi dengan aspek-aspek
pragmatis dari kehidupan. Maksudnya, selain membuat rencana dan
hipotesis, dalam menyelesaikan masalah individu dewasa awal juga
mempertimbangkan keterbatasan-keterbatasan yang ada dan dampak
pengambilan keputusan terhadap pihak-pihak lain (Santrock, 2002).
Menurut teori dan penelitian neo-Piagetian, individu dewasa
awal berpikir dengan reflektif. Berpikir reflektif merupakan bentuk
(33)
dan hati-hati atas informasi atau kepercayaan dengan mengingat
bukti-bukti yang mendukung dan kesimpulan-kesimpulan yang akan dibuat.
Kemampuan berpikir reflektif diperkirakan muncul di antara usia 20
sampai 25 tahun. Meskipun hampir semua individu dewasa
mengembangkan kemampuan berpikir reflektif, hanya sedikit yang
mencapai kecakapan yang optimal dan menerapkannya secara konsisten
pada berbagai jenis masalah (Papalia, Olds, dan Feldman, 2005).
b. Perkembangan Sosioemosional
Hurlock (1997) menyatakan bahwa masa dewasa memiliki ciri
yang menonjol, yaitu adanya peletakan dasar dalam banyak aspek
kehidupan, melonjaknya persoalan hidup yang dihadapi dibandingkan
dengan remaja akhir, dan terdapatnya ketegangan emosi.
Peletakan pada banyak aspek kehidupan mencakup beberapa hal
dan tampaknya sesuai dengan kriteria dimasukinya masa dewasa awal
yang dijelaskan oleh Santrock (2002). Santrock (2002) menawarkan
dua kriteria bagi individu untuk dapat dikatakan telah mengakhiri masa
remaja dan memasuki masa dewasa awal. Kriteria pertama adalah
mandiri secara ekonomi yang ditandai dengan didapatkannya pekerjaan
penuh waktu yang kurang lebih tetap. Kriteria kedua adalah mandiri
dalam membuat keputusan atau mandiri secara pribadi, termasuk dalam
hal karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan, serta gaya hidup. Dengan
(34)
di berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam hal status sosial di
masyarakat (Jahja, 2011).
Banyak penyesuaian baru yang harus dihadapi individu selama
masa dewasa awal sehingga periode perkembangan ini terkadang
disebut sebagai masa yang problematik. Persoalan yang dihadapi
bermacam-macam, mulai dari memasuki dan menyelesaikan pendidikan
tinggi di universitas, mencari pekerjaan dan mengembangkan karir,
memilih teman hidup (menikah), memiliki anak, dan berperan menjadi
orang tua (Hurlock, 1997; Santrock, 2002). Hal-hal yang berhubungan
dengan keuangan juga menjadi salah satu persoalan yang menuntut
penyesuaian diri oleh individu dewasa awal karena kehidupan keluarga
dan bermasyarakat juga melibatkan penggunaan uang. Berbagai
masalah keuangan dialami individu dewasa awal yang kurang memiliki
pengetahuan dalam memanfaatkan uang secara bijaksana atau karena
terbawa kebiasaan saat masih remaja (Hurlock, 1997).
Banyaknya persoalan-persoalan baru yang menuntut
penyesuaian selama masa dewasa awal, menyebabkan
ketegangan-ketegangan emosi sering dialami oleh individu dalam separuh masa ini
(Jahja, 2011, Santrock, 2002). Menurut Havighurst (dalam Hurlock,
1997), individu pada umumnya telah dapat memecahkan
persoalan-persoalan dan dapat mengendapkan ketegangan emosinya sehingga
dapat mencapai emosi yang lebih stabil dan tenang pada usia sekitar 30
(35)
B. Kecenderungan Pembelian Impulsif 1. Pengertian Pembelian Impulsif
Rook (1987) menggambarkan bahwa pembelian impulsif terjadi
ketika seseorang mengalami dorongan yang tiba-tiba, sering kali kuat dan
menetap untuk segera membeli sesuatu. Dorongan untuk membeli
melibatkan elemen hedonis yang rumit dan dapat menimbulkan konflik
emosional. Pembelian impulsif juga cenderung dilakukan tanpa
pertimbangan lebih lanjut mengenai konsekuensi dari pembelian tersebut.
Dengan kata lain, pembelian impulsif merupakan pembelian tidak
terencana yang melibatkan dirasakannya dorongan yang tiba-tiba, kuat,
dan tidak dapat ditahan untuk membeli sesuatu (Beatty dan Ferrell, 1998).
Beatty dan Ferrell (1998) sedikit memperluas pengertian pembelian
impulsif yang dikemukakan oleh Rook (1987). Pembelian impulsif
didefinisikan sebagai pembelian tiba-tiba dan segera yang dilakukan tanpa
maksud untuk membeli sebelumnya, terjadi setelah konsumen mengalami
dorongan untuk membeli, serta cenderung dilakukan secara spontan dan
tanpa banyak refleksi (Beatty dan Ferrell, 1998). Pembelian suatu barang
yang dilakukan karena teringat bahwa persediaan di rumah telah habis atau
untuk memenuhi tujuan tertentu yang telah direncanakan (misalnya
membeli hadiah untuk seseorang) tidak dapat dikatakan sebagai pembelian
impulsif (Beatty dan Ferrell, 1998; Verplanken dan Aarts dalam
(36)
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelian
impulsif merupakan pembelian tidak terencana yang ditandai dengan
dirasakannya keinginan yang sangat kuat, menetap, dan tidak dapat
ditahan untuk membeli sesuatu, dan biasanya disertai reaksi emosional
yang kuat, serta dilakukan tanpa banyak pertimbangan.
2. Aspek-aspek Pembelian Impulsif
Dalam penelitian yang dilakukan Rook (1987), ditemukan delapan
fitur perilaku yang biasanya muncul pada pembelian impulsif. Tidak
semua fitur muncul pada subjek penelitian. Kedelapan fitur ini
disimpulkan berdasarkan prosentase subjek penelitian yang mengaku
mengalaminya. Fitur-fitur tersebut adalah dorongan spontan untuk
membeli (32%), kekuatan dan kompulsi (31%), kegairahan dan stimulasi,
(19%), sinkronisitas (5%), animasi produk (6%), elemen hedonis (merasa
baik atau merasa buruk, 41%), konflik (baik atau buruk, kontrol atau
mengikuti kesukaan hati, 29%), dan mengabaikan konsekuensi (tidak
disebutkan).
Di samping fitur-fitur perilaku yang sering muncul pada pembelian
impulsif tersebut, Verplanken dan Herabadi (2001) menyatakan bahwa
setidaknya terdapat dua aspek penting yang menandai pembelian impulsif.
(37)
a. Aspek Kognitif
Aspek kognitif mencakup kurangnya perencanaan dan
pertimbangan ketika melakukan pembelian impulsif. Kurangnya
pertimbangan dapat terjadi karena beberapa alasan. Misalnya, ketika
pembelian yang dilakukan merupakan pembelian barang kebutuhan
rutin, atau barang yang sebenarnya sudah ingin dibeli sejak lama tetapi
baru ditemukan saat itu (Verplanken dan Herabadi, 2001). Pembelian
impulsif pada umumnya dilakukan oleh atas dasar pertimbangan
hedonis atau berfokus pada kesenangan daripada pertimbangan
utilitarian yang lebih berfokus pada kebutuhan sebenarnya (Herabadi,
Verplanken, dan van Knippenberg, 2009).
b. Aspek Afektif
Aspek afektif mencakup dirasakannya emosi yang kuat ketika
melakukan pembelian impulsif. Suatu pembelian baru dapat dikatakan
sebagai pembelian impulsif jika melibatkan respons emosi yang kuat.
Respon emosi dapat muncul sebelum, selama, atau pun setelah
melakukan pembelian (Verplanken dan Herabadi, 2001). Afek positif
maupun negatif dapat menjadi penyebab awal dari pembelian impulsif
(Mick dan Demoss, 1990; Rook dan Gardner, 1993; Youn dan Faber,
2000 dalam Vohs dan Faber, 2007). Saat melakukan pembelian
impulsif, emosi yang paling sering muncul adalah rasa senang dan
(38)
untuk segera melakukan pembelian. Hal tersebut dapat dikatakan
sebagai bentuk ringan dari kompulsi (Verplanken dan Herabadi, 2001).
Setelah melakukan pembelian, dapat pula muncul rasa menyesal,
misalnya karena telah menghabiskan uang untuk membeli barang yang
sebenarnya tidak dibutuhkan (Dittmar dan Drury, 2000).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif
Pembelian impulsif dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional
maupun individual.
a. Faktor Situasional
Harga yang murah, kegiatan promosi (adanya kupon, potongan
harga) terbukti terkait erat dengan pembelian impulsif (Karbasivar dan
Yarahmadi, 2011). Verplanken dan Sato (2011) menyatakan bahwa
pembelian impulsif sering kali terjadi karena konsumen dipaparkan
pada atau berada dekat dengan stimulus. Selain itu, lingkungan toko
seperti sirkulasi udara, pencahayaan, tata letak, dan display produk
memperbesar kemungkinan seseorang untuk melakukan pembelian
impulsif (Tendai dan Crispen, 2009). Waktu dan uang yang tersedia,
baik secara nyata atau pun yang dipersepsikan oleh konsumen, juga
memiliki hubungan yang kuat dengan pembelian impulsif (Beatty dan
(39)
b. Faktor Individual
Di luar pengaruh faktor situasional yang dapat memicu
dilakukannya pembelian impulsif, banyak peneliti membuktikan bahwa
pembelian impulsif memiliki akar pada kepribadian individu. Sejumlah
peneliti (Pirog III dan Roberts, 2007; Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu,
dan Youn, 2010; Verplanken dan Herabadi, 2001) mencoba melihat
hubungan antara pembelian impulsif dengan dimensi-simensi
kepribadian Big Five. Hasilnya menunjukkan hubungan yang beragam.
Dimensi ekstraversi dari kepribadian Big Five berhubungan kuat
dan positif dengan kecenderungan pembelian impulsif individu
(Shahjehan et al., 2012; Sun, Wu, dan Youn, 2010; Verplanken dan
Herabadi, 2001). Namun, Pirog III dan Roberts (2007) menemukan hal
yang berbeda pada remaja pengguna kartu kredit, di mana tingkat
ekstroversi yang rendah (introvert) diikuti dengan perilaku pembelian
impulsif yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki tingkat
ekstraversi tinggi. Shahjehan et al. (2012) serta Sun, Wu, dan Youn
(2010) juga menemukan bahwa dimensi neurotisisme berhubungan dan
positif dengan pembelian impulsif. Sementara itu, dimensi
kewaspadaan dan otonomi (atau keterbukaan, Verplanken dan
Herabadi, 2001) memiliki hubungan negatif dengan kecenderungan
perilaku pembelian impulsif.
Selain dimensi-dimensi kepribadian Big Five, harga diri yang
(40)
berasosiasi positif dengan pembelian impulsif (Verplanken et al., 2005).
Dittmar dan Drury (2000) juga menemukan bahwa pembelian impulsif
lebih sering dilakukan oleh orang yang memiliki nilai-nilai materialistis
dan kesenjangan antara gambaran diri yang sesungguhnya dengan
gambaran diri yang ideal. Kurangnya regulasi diri juga membuat
kecenderungan seseorang dalam perilaku pembelian impulsif semakin
tinggi (Vohs dan Faber, 2007). Penelitian Youn dan Faber (2000) juga
menemukan hubungan positif antara kecenderungan pembelian impulsif
dengan dimensi kepribadian berupa pengendalian diri rendah
(impulsivitas) dan reaksi terhadap stres. Berdasarkan penelitian
tersebut, bagi sebagian orang pembelian impulsif mungkin dilakukan
sebagai salah satu cara menghadapi stres (Youn dan Faber, 2000). Hal
ini selaras dengan hasil penelitian lain (Gardner dan Rook, 1988;
Herabadi, Verplanken, dan van Knippenberg, 2009; Tauber, 1972) yang
menyebutkan bahwa pembelian impulsif dapat dipahami self-gift dan
sarana untuk menghibur diri atau menghilangkan perasaan-perasaan
yang mengganggu seperti bosan, sedih, dan frustrasi.
Di luar faktor situasional dan individual yang telah disebutkan,
sejumlah penelitian juga mencoba meneliti hubungan pembelian impulsif
dengan faktor demografis seperti usia dan jenis kelamin tetapi
menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa penelitian (Ghani, Imran, dan
(41)
menunjukkan bahwa usia memiliki hubungan negatif dengan pembelian
impulsif. Artinya, pembelian impulsif lebih banyak dilakukan oleh
konsumen yang lebih muda, khususnya yang berusia 18 sampai 35 atau 39
tahun (Shahjehan et al., 2012). Usia tersebut menunjukkan bahwa individu
yang sering melakukan pembelian impulsif pada umumnya merupakan
individu yang termasuk dalam periode perkembangan dewasa awal.
Terkait dengan variabel jenis kelamin, studi pertama Verplanken
dan Herabadi (2001) menunjukkan bahwa pembelian impulsif lebih
banyak dilakukan oleh wanita. Namun, studi kedua yang dilakukan pada
konsumen yang jumlahnya lebih besar dan beragam, tidak menemukan
perbedaan yang berarti antara pembelian impulsif pria maupun wanita
(Verplanken dan Herabadi, 2001). Hal ini diperkuat oleh penelitian Ghani,
Iman, dan Jan (2011) yang dilakukan untuk melihat hubungan
karakteristik demografis dengan pembelian impulsif di Pakistan. Hasilnya
adalah tidak terdapat perbedaan besar antara tingkat pembelian impulsif
pria maupun wanita.
4. Dampak Pembelian Impulsif
Secara sekilas, pembelian impulsif dapat memberi dampak positif
bagi konsumen karena dapat membuat konsumen merasa senang (Gardner
dan Rook, 1988; Rook, 1987). Namun, jika dilihat lebih lanjut pembelian
impulsif dapat berakibat negatif pula (Gardner dan Rook, 1988; Rook,
(42)
(1987) menunjukkan bahwa pembelian impulsif dapat membuat konsumen
merasa bersalah dan mengalami masalah keuangan.
Pembelian impulsif dapat pula berkembang menjadi perilaku
membeli yang berlebihan (Kamp dan Kopp, 2011) dan memiliki hubungan
yang kuat dengan berkembangnya perilaku patologis, yaitu pembelian
kompulsif (O’Guinn dan Faber dalam Vohs dan Faber, 2007; Shahjehan et
al., 2012). Hal ini dapat terjadi ketika konsumen berulang kali melakukan
pembelian impulsif sebagai sarana untuk mengatasi kondisi psikologis
yang tidak menyenangkan seperti suasana hati yang buruk dan frustasi
(Kamp dan Kopp, 2011).
5. Alat Ukur Kecenderungan Pembelian Impulsif
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur berupa
adaptasi skala kecenderungan pembelian impulsif yang dibuat oleh
Verplanken dan Herabadi (2001). Skala kecenderungan pembelian
impulsif disusun berdasarkan aspek kognitif dan afektif dari pembelian
impulsif. Skala tersebut terdiri atas 20 aitem dengan 10 aitem
merepresentasikan aspek kognitif dan 10 aitem merepresentasikan aspek
afektif. Setiap aitem dilengkapi respons setuju-tidak setuju dengan rentang
1-7 poin. Setiap jawaban dikodekan sehingga nilai tinggi pada setiap aitem
menggambarkan tingginya kecenderungan pembelian impulsif. Penyusun
skala menyarankan untuk menggunakan semua aitem untuk peneliti lain
(43)
C. Trait Kecerdasan Emosional
1. Model-model Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional mulai banyak diteliti sejak dipopulerkan
oleh Goleman pada tahun 1995 dengan klaim bahwa kecerdasan emosional
menentukan kesuksesan individu dua kali lebih besar daripada IQ
(Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 1997; Mayer, Salovey, dan Caruso, 2000;
Papalia, Olds, dan Feldman, 2005). Banyak model kecerdasan emosional
yang berkembang dan secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga
model, yaitu model kemampuan, campuran, dan trait. Pembedaan ini
dianggap perlu karena model yang berbeda memiliki sudut pandang dan
pengukuran yang berbeda pula (Mayer, Salovey, dan Caruso, 2000; Perez,
Petrides, dan Furnham, 2005).
Model kecerdasan emosional yang pertama, yaitu model
kemampuan, dikembangkan oleh Mayer, Salovey, dan Caruso. Kecerdasan
emosional didefinisikan sebagai kemampuan individu dalam menangkap
dan mengekspresikan emosi, mengasimilasikan emosi ke dalam pikiran,
memahami dan berpikir dengan emosi, serta mengatur emosi dalam diri
sendiri maupun orang lain. Model ini memandang kecerdasan emosional
sebagai sebuah kemampuan yang setara dengan bentuk kecerdasan dan
paling tepat diukur dengan tes performansi maksimal (Mayer, Salovey,
dan Caruso, 2000).
Model yang kedua adalah model campuran, di mana pengembang
(44)
dan sifat-sifat individu ke dalam konsep kecerdasan emosional yang
disusunnya. Dalam pengukurannya, model ini menggunakan respons
tipikal atau pelaporan diri (self-report). Konsep yang ditawarkan oleh
model-model campuran ini dinilai kurang sesuai dengan metode
pengukuran dari tiap konsep (Mayer, Salovey, dan Caruso, 2000; Petrides,
Furnham, dan Mavroveli, 2007).
Seiring dengan semakin banyaknya konsep kecerdasan emosional
dengan model campuran yang kurang memenuhi standar-standar ilmiah
sebuah konstruk, Petrides menawarkan cara pandang lain yang saat ini
disebut dengan model trait. Petrides beranggapan bahwa konsep
kecerdasan emosional dengan model kemampuan dan trait pada dasarnya
mengacu pada gagasan yang sama, yaitu tentang kualitas individu yang
terkait dengan emosi. Perbedaan utamanya terletak pada pandangan bahwa
model kemampuan memandang kecerdasan emosional merupakan suatu
bentuk kecerdasan (inteligensi) sedangkan model trait lebih memandang
kualitas-kualitas individu terkait emosi sebagai bagian dari kepribadian.
Konsekuensinya, metode pengukuran yang digunakan kedua model
tersebut juga berbeda. Kecerdasan emosional dengan model kemampuan
diukur dengan tes performansi maksimal sedangkan kecerdasan emosional
dengan model trait diukur dengan tes respons tipikal (Perez, Petrides, dan
Furnham, 2005; Petrides, Furnham, dan Mavroveli, 2007).
Dalam penelitian ini, model kecerdasan emosional yang dijadikan
(45)
dikembangkan oleh Petrides dan Furnham. Kecerdasan emosional dengan
model trait ini sering disebut trait kecerdasan emosional atau efikasi diri
emosional (emotional self-efficacy). Peneliti menggunakan model ini
berdasarkan beberapa alasan. Pertama, model ini dinilai sebagai sebuah
konstruk yang komprehensif dari segi cakupan domain-domain
kepribadian yang berhubungan dengan emosi (Carroll dalam Petrides et al,
2010). Kedua, model trait dipandang sesuai dengan subjektivitas emosi
(Petrides, 2010). Ketiga, pengukuran kecerdasan emosional dengan model
ini lebih mudah dan tidak menghadapi masalah-masalah ketidaksesuaian
konstruk dengan alat ukur seperti yang terjadi pada pengukuran
kecerdasan emosional dengan model kemampuan dan campuran (Pérez,
Petrides, dan Furnham, 2005; Petrides, Furnham, dan Frederickson, 2004).
Pengkajian secara psikometris juga menunjukkan bahwa kecerdasan
emosional dengan model trait ini menjanjikan alat ukur dengan atribut
psikometris yang unggul dibandingkan dengan alat ukur lain yang
berdasarkan pada model kemampuan, campuran, ataupun trait (Gardner
dan Qualter, 2010; Petrides et al, 2007; Petrides et al, 2010).
2. Pengertian Trait Kecerdasan Emosional
Petrides dan Furnham (dalam Furnham dan Petrides, 2003)
menjelaskan trait kecerdasan emosional sebagai konstelasi
disposisi-disposisi perilaku dan persepsi diri tentang kemampuan yang berhubungan
(46)
yang melibatkan emosi. Trait kecerdasan emosional disebut juga efikasi
diri emosional karena mengacu pada persepsi diri individu mengenai
disposisi dan kemampuan-kemampuan tersebut. Dalam hirarki
kepribadian, trait kecerdasan emosional merupakan komponen
kepribadian yang terletak di tingkat lebih bawah dari model kepribadian
Big Five dan Eyseckian (Petrides, Pita, dan Kokkinaki, 2007).
3. Faktor dan Faset Trait Kecerdasan Emosional
Dalam model trait, terdapat 15 faset kepribadian yang tercakup
dalam trait kecerdasan emosional. Kelimabelas faset tersebut didapatkan
dari faset-faset yang sering muncul pada model-model kecerdasan
emosional yang lain dan dirangkum melalui analisis isi (Pérez, Petrides,
dan Furnham, 2005; Petrides, Furnham, Frederickson, 2004). Lima belas
faset kepribadian tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam 4 faktor
yang lebih umum (Mikolajzack, Petrides, dan Hurry, 2009).
Keempat faktor umum yang menjadi bagian dalam trait kecerdasan
emosional adalah kesejahteraan (well-being), pengendalian diri (
self-control), emosionalitas (emotionality), dan sosiabilitas (sociability,
Mikolajzack et al., 2007; Mikolajzack, Petrides, dan Hurry, 2009; Petrides,
2001). Faset adaptabilitas dan motivasi diri tidak termasuk dalam salah
satu dari keempat faktor tersebut melainkan berdiri sendiri dan menjadi
bagian dari trait kecerdasan emosional secara keseluruhan (Mikolajzack et
(47)
satu faktor tambahan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kedua
faset tersebut tidak dapat disetarakan kedudukannya dengan keempat
faktor lain dari trait kecerdasan emosional. Meskipun dikatakan bahwa
kedua faset tersebut memiliki sumbangan langsung pada trait kecerdasan
emosional, proporsinya tidak sebesar sumbangan keempat faktor trait
kecerdasan emosional. Pertimbangan ini juga didasarkan pada skema
struktur faktor trait kecerdasan emosional yang disampaikan oleh Dr. K.
V. Petrides dalam situs akses terbuka untuk pengembangan teori trait
kecerdasan emosional (www.psychometriclab.com). Berdasarkan
pertimbangan peneliti dan skema tersebut, faktor tambahan yang
mencakup faset adaptabilitas dan motivasi diri dalam penelitian ini akan
dikelompokkan dalam satu faktor yang diberi nama ‘faset-faset tambahan’ (auxiliary facets).
(48)
Gambar 1. Struktur Faktor Trait Kecerdasan Emosional (Sumber: Petrides, 2001, www.psychometriclab.com)
Dengan demikian, faktor-faktor dari trait kecerdasan emosional
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Mikolajzack
et al., 2007; Petrides, 2001):
a. Kesejahteraan (well-being)
Faktor kesejahteraan mengacu pada trait yang menyinggung
mood disposisional. Faset-faset yang termasuk dalam faktor
kesejahteraan adalah harga diri, kebahagiaan, dan optimisme. Individu
(49)
secara umum, merasa positif, bahagia, dan penuh. Sebaliknya,
individu dengan tingkat kesejahteraan yang rendah cenderung
memiliki penghargaan diri yang rendah dan merasa kecewa akan
hidupnya.
b. Pengendalian diri (self-control)
Faktor pengendalian diri mengarah pada trait yang
menyinggung regulasi emosi dan impuls-impuls. Regulasi emosi,
manajemen stres, dan impulsivitas rendah tercakup dalam faktor ini.
Individu dengan tingkat pengendalian diri yang tinggi memiliki
derajat kontrol yang sehat terhadap keinginan-keinginan dan
hasratnya, dapat mengelola tekanan-tekan dari luar, tidak terlalu
menahan diri atau pun terlalu ekpresif. Tingkat pengendalian diri yang
rendah rentan terhadap perilaku impulsif dan tampak kurang dapat
mengendalikan stres.
c. Emosionalitas (emotionality)
Emosionalitas menggambarkan trait yang menyinggung
perpsepsi dan ekspresi emosi. Faktor ini mencakup faset persepsi
emosi, ekspresi emosi, ketrampilan berelasi, dan empati. Tingkat
emosionalitas yang tinggi menunjukkan bahwa individu menganggap
dirinya memiliki ketrampilan emosi yang beragam. Individu mampu
(50)
kemampuan tersebut untuk membangun dan menjaga hubungan dekat
dengan orang-orang terdekat. Sebaliknya, individu dengan tingkat
emosionalitas yang rendah merasa kesulitan untuk mengenali kondisi
emosional dalam dirinya dan mengekspresikan perasaannya pada
orang-orang terdekat.
d. Sosiabilitas (sociability)
Sosiabilitas mengacu pada trait yang menyinggung
penggunaan dan manajemen emosi dalam hubungan interpersonal.
Faktor ini mencakup faset kompetensi sosial, manajemen emosi orang
lain, dan asertivitas. Berbeda dengan faktor emosionalitas, faktor ini
lebih mengacu pada hubungan sosial dan pengaruh sosial. Faktor ini
lebih menitikberatkan individu sebagai agen dalam konteks-konteks
sosial yang berbeda daripada dalam hubungan personal dengan
keluarga atau teman.
Individu dengan tingkat sosiabilitas yang tinggi merasa
memiliki ketrampilan mendengarkan yang baik serta dapat
berkomunikasi dengan jelas dan percaya diri dengan orang-orang dari
berbagai macam latar belakang. Sebaliknya, individu dengan tingkat
sosiabilitas rendah merasa tidak mampu mempengaruhi emosi orang
lain serta kurang dapat bernegosiasi dan menjalin jaringan. Selain itu
(51)
dilakukan atau dikatakan dalam situasi sosial sehingga sering kali
tampak malu-malu dan pendiam.
e. Faset-faset tambahan
Faktor ini mencakup dua faset dari trait kecerdasan emosional
yang tidak termasuk dalam keempat faktor yang telah disebutkan
sebelumnya. Kedua faktor tersebut adalah adaptabilitas dan motivasi
diri. Individu yang memiliki adaptabilitas tinggi merupakan individu
yang fleksibel dan dapat beradaptasi pada situasi baru. Individu
dengan motivasi diri yang tinggi ialah individu yang terarah dan tidak
(52)
Tabel 1. Struktur Faktor dan Faset Trait Kecerdasan Emosional (diadaptasi dari Mickolajzack et al., 2007).
Faktor & Faset Menggambarkan diri sebagai orang yang ...
Kesejahteraan
Harga diri Sukses dan percaya diri
Kebahagiaan Ceria dan puas terhadap hidupnya Optimisme Yakin dan cenderung melihat sisi baik
dalam kehidupan
Pengendalian diri
Regulasi emosi Dapat mengendalikan emosinya Manajemen stres Dapat bertahan terhadap tekanan dan
mengatur stres
Impulsivitas rendah Reflektif dan cenderung tidak mudah menyerah pada keinginannya
Emosionalitas
Persepsi emosi (diri dan orang lain)
Jelas terhadap perasaan-perasaannya dan orang lain
Ekspresi emosi Dapat mengkomunikasikan perasaan dengan kepada orang lain
Ketrampilan berelasi Dapat membangun dan menjaga relasi personal
Empati Dapat melihat dari sudut pandang orang lain
Sosiabilitas
Kompetensi sosial Penjalin jaringan yang handal dengan ketrampilan sosial yang unggul Manajemen emosi (orang
lain)
Dapat mempengaruhi perasaan orang lain
Asertivitas Terus-terang dan mau membela hak-haknya
Faset-faset tambahan
Adaptabilitas Fleksibel dan dapat beradaptasi pada situasi baru
Motivasi diri Terarah dan tidak mudah menyerah pada kemalangan
(53)
4. Alat Ukur Trait Kecerdasan Emosional
Trait kecerdasan emosional dapat diukur dengan sejumlah alat ukur
yang dikembangkan oleh Petrides dan rekan (Perez, Petrides,dan Furnham,
2005). Untuk melihat trait kecerdasan emosional pada orang dewasa
dengan lebih detil dan komprehensif, dapat digunakan Trait Emotional
Intelligence Questionnaire (TEIQue). Petrides dan rekan juga menyusun
TEIQue dalam bentuk yang lebih ringkas, yaitu TEIQue Short-form
(TEIQue-SF; Petrides dan Furnham, 2003). TEIQue-SF dapat digunakan
untuk melihat skor trait kecerdasan emosional secara umum. Alat ukur ini
juga dapat digunakan sebagai alternatif ketika hanya sedikit waktu yang
tersedia untuk mengisi skala. Alat ukur ini terdiri dari 30 aitem dalam
bentuk pernyataan. Setiap aitem dilengkapi dengan pilihan respons yang
memiliki rentang 1 sampai 7. Semakin kecil nilai angka menunjukkan
bahwa subjek semakin tidak setuju dengan pernyataan pada aitem.
Semakin besar nilai angka menunjukkan bahwa subjek semakin setuju
dengan pernyataan pada aitem.
D. Dinamika Hubungan antara Trait Kecerdasan Emosional dengan kecenderungan Pembelian Impulsif pada Individu Dewasa Awal
Individu dewasa awal adalah individu yang berusia 18-40 tahun.
(Hurlock, 1997). Dari segi perkembangan kognitif, individu pada masa
dewasa awal umumnya mampu berpikir dengan melihat aspek-aspek
(54)
dengan mempertimbangkan keterbatasan dan dampak keputusan bagi diri
sendiri maupun pihak-pihak lain (Santrock, 2002). Dari segi perkembangan
sosioemosional, individu pada masa dewasa awal mulai memiliki
kemandirian ekonomi dan pribadi (Santrock, 2002). Individu juga dihadapkan
pada berbagai persoalan baru dalam kehidupan yang menuntut penyesuaian.
Hal ini dapat memberikan banyak tekanan pada individu dan menimbulkan
stres atau ketegangan emosional (Hurlock, 1997; Santrock, 2002).
Trait kecerdasan emosional merupakan gugusan disposisi dan persepsi
diri terkait emosi. Trait kecerdasan emosional yang disebut juga efikasi diri
emosional (Furnham dan Petrides, 2003). Trait kecerdasan emosional terdiri
dari 5 faktor, yaitu kesejahteraan, pengendalian diri, emosionalitas,
sosiabilitas, dan faset-faset tambahan berikut (Mikolajzack et al., 2007;
Petrides, 2001).
Pembelian impulsif merupakan pembelian tidak terencana yang
ditandai dengan dirasakannya keinginan yang sangat kuat, menetap, dan tidak
dapat ditahan untuk membeli sesuatu, biasanya disertai reaksi emosional yang
kuat, dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan akan konsekuensinya (Rook,
1987). Hal ini menunjukkan bahwa pembelian impulsif ditandai dengan
tingginya komponen afektif (emosional) dan rendahnya fungsi komponen
kognitif. Individu dewasa yang berusia di bawah 35 tahun atau individu pada
masa dewasa awal paling rentan melakukan pembelian impulsif (Bellenger
dalam Kacen dan Lee, 2002). Beberapa penelitian (Dittmar et al, Dittmar,
(55)
Kamp dan Kopp, 2011) menemukan bahwa pembelian impulsif kerap
dilakukan sebagai bentuk regulasi emosi ketika sedang mengalami kondisi
psikologis yang tidak menyenangkan.Tingginya pembelian impulsif pada
masa dewasa awal mungkin berkaitan dengan kapasitas individu dalam
mengatasi ketegangan emosional yang dihadapinya.
Individu yang memiliki tingkat trait kecerdasan emosional yang tinggi
cenderung dapat memahami, menggunakan, dan mengatur emosinya sehingga
dapat mengarahkan perilaku agar lebih adaptif (Mickolajzcak et al., 2007).
Hal ini dapat berpengaruh pada kecenderungan seseorang dalam melakukan
pembelian impulsif juga. Dengan tingkat trait kecerdasan emosional yang
tinggi, seseorang lebih menyadari emosinya dan mampu mengatur emosi,
impuls, dan keinginan, yang dirasakan saat dihadapkan pada situasi yang
memicu pembelian impulsif sehingga cenderung lebih jarang melakukan
pembelian impulsif. Sebaliknya, individu dengan tingkat trait kecerdasan
emosional rendah merasa kurang mampu menyadari dan mengendalikan
emosi, keinginan, dan impuls-impuls yang mendorong pembelian impulsif.
Individu dengan tingkat trait kecerdasan emosional rendah juga lebih sering
(56)
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Hubungan Trait Kecerdasan Emosional dengan Pembelian Impulsif pada Individu Dewasa Awal
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Hipotesis null (H0) adalah tidak ada hubungan antara trait kecerdasan
emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif pada individu
dewasa awal. Trait kecerdasan emosional tidak dapat menjadi prediktor
bagi kecenderungan pembelian impulsif pada individu dewasa awal.
2. Hipotesis alternatif (Ha) adalah terdapat hubungan negatif antara trait
kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif. Trait
kecerdasan emosional dapat menjadi prediktor bagi kecenderungan
pembelian impulsif pada individu dewasa awal.
Trait kecerdasan emosional tinggi
Lebih dapat menyadari emosi dan mampu mengatur emosi, impuls, dan keinginan, yang
dirasakan saat dihadapkan pada situasi yang memicu
pembelian impulsif
Kecenderungan pembelian impulsif rendah
Individu dewasa awal
Trait kecerdasan emosional rendah
Kurang dapat menyadari emosi dan mengatur emosi, impuls, dan keinginan, yang
dirasakan saat dihadapkan pada situasi yang memicu
pembelian impulsif
Kecenderungan pembelian impulsif tinggi
(57)
37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian
korelasional. Dalam penelitian korelasional, hubungan antara
variabel-variabel penelitian yang terjadi secara alamiah dilihat dengan tujuan
mengidentifikasi hubungan prediktif (Shaughnessy, Zechmeister, dan
Zechmeister, 2007). Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara
trait kecerdasan emosional dengan kecenderungan pembelian impulsif.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Penelitian ini melibatkan 2 variabel yaitu:
1. Variabel bebas : trait kecerdasan emosional
2. Variabel tergantung : kecenderungan pembelian impulsif
C. Definisi Operasional
Definisi operasional mengacu pada pemberian batasan atau arti dari
suatu variabel dengan cara menetapkan kegiatan-kegiatan atau
tindakan-tindakan yang perlu dilakukan peneliti untuk mengukur suatu variabel atau
memanipulasikannya (Kerlinger, 2006). Definisi-definisi operasional dalam
(58)
1. Trait Kecerdasan Emosional
Trait kecerdasan emosional adalah gugusan disposisi dan persepsi
diri terkait emosi yang terdiri dari lima faktor, yaitu kesejahteraan,
pengendalian diri, emosionalitas, sosiabilitas, dan faset-faset tambahan.
Trait kecerdasan emosional diukur dengan skala trait kecerdasan
emosional. Skala trait kecerdasan emosional ini mengacu pada Trait
Emotional IntelligenceQuestionnaire – Short Form (TEIQue-SF; Petrides, Perez, dan Furnham dalam Furnham dan Petrides 2003). Perolehan skor
pada skala ini menunjukkan tingkat trait kecerdasan emosional. Skor total
yang tinggi menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat trait kecerdasan
emosional yang tinggi. Skor total yang rendah menunjukkan rendahnya
trait kecerdasan emosional subjek.
2. Kecenderungan Pembelian Impulsif
Kecenderungan pembelian impulsif merupakan kecenderungan
untuk melakukan pembelian tidak terencana karena adanya dorongan yang
tidak dapat ditahan untuk membeli sesuatu yang terdiri dari dua aspek,
yaitu aspek kognitif dan aspek afektif.
Kecenderungan pembelian impulsif diukur dengan skala
kecenderungan impulsif. Skala kecenderungan pembelian impulsif yang
dipakai dalam penelitian ini merupakan terjemahan dari Impulse Buying
Tendency Scale (IBT Scale) yang dibuat oleh Verplanken dan Herabadi
(59)
subjek memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang besar. Perolehan
skor yang rendah mengindikasikan bahwa subjek memiliki kecenderungan
pembelian impulsif yang rendah.
D. Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian adalah pria dan wanita dewasa awal di
dengan rentang usia 18-40 tahun. Rentang usia tersebut ditentukan
berdasarkan rentang usia yang dikemukakan oleh Hurlock (1997). Dalam
menentukan subjek penelitian, peneliti menggunakan teknik non-probability
sampling, khususnya convenience sampling. Convenience sampling
merupakan penyeleksian subjek yang terutama didasarkan pada kesediaan
subjek untuk terlibat dalam penelitian ini (Shaughnessy, Zechmeister, dan
Zechmeister, 2007). Pengambilan data dilakukan dengan dua cara, yaitu
penyebaran skala secara langsung dan melalui media internet. Penyebaran
skala secara langsung dilakukan di daerah D.I. Yogyakarta, yaitu dengan
memberikan skala secara langsung kepada subjek penelitian untuk segera
diisi. Penyebaran skala melalui media internet dilakukan untuk menjangkau
subjek yang berada di daerah D.I. Yogyakarta.
E. Metode Pengambilan Data
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
(60)
1. Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif
Kecenderungan pembelian impulsif diukur dengan skala
kecenderungan pembelian impulsif yang mengacu pada Impulse Buying
Tendency Scale (IBT Scale) yang dikembangkan oleh Verplanken dan
Herabadi (2001). IBT Scale terdiri dari 20 aitem. 10 aitem mewakili aspek
kognitif dan 10 aitem mewakili aspek afektif. IBT Scale merupakan skala
berbahasa Inggris. Dalam penelitian ini, skala tersebut diterjemahkan agar
dapat dipahami oleh subjek penelitian. Peneliti menggunakan jasa
penerjemah dari Lembaga Bahasa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
dan Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris ELTI Gramedia Yogyakarta
untuk menerjemahkan skala tersebut ke dalam Bahasa Indonesia. Peneliti
mengkaji kedua hasil terjemahan tersebut dan memilih terjemahan terbaik
untuk digunakan dalam skala di bawah supervisi dosen pembimbing.
Setiap aitem dalam skala tersebut memiliki pilihan jawaban, yakni
Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak
Sesuai (STS). Pemberian skor dilakukan sehingga skor yang tinggi
menunjukkan bahwa subjek memiliki kecenderungan pembelian impulsif
yang tinggi, sedangkan skor yang rendah menunjukkan bahwa subjek
memiliki kecenderungan pembelian impulsif yang rendah. Pemberian skor
dan blueprint skala kecenderungan pembelian impulsif sebelum ujicoba
(61)
Tabel 2. Pemberian Skor pada Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif
Respons Favorable Unfavorable
Sangat Sesuai (SS) 1 4
Sesuai (S) 2 3
Tidak Sesuai (TS) 3 2 Sangat Tidak Sesuai (STS) 4 1
Tabel 3. Blueprint Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif (Sebelum Uji Coba dan Seleksi Aitem)
Aspek Jumlah Aitem Total
Favorable Unfavorable
Kognitif 3 7 10 (50%)
Afektif 9 1 10 (50%)
Total 12 (60%) 8 (40%) 20 (100%)
2. Skala Trait Kecerdasan Emosional
Skala trait kecerdasan emosional terdiri 50 aitem yang terdiri dari
aitem favorable dan unfavorable. Setiap aitem dilengkapi dengan pilihan
jawaban menggunakan skala Likert, yakni Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S),
Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skor yang tinggi
menunjukkan bahwa subjek memiliki trait kecerdasan emosional yang
tinggi. Skor yang rendah menunjukkan bahwa subjek memiliki trait
kecerdasan emosional yang rendah. Pemberian skor dan blueprint skala
trait kecerdasan emosional sebelum ujicoba dapat dilihat pada tabel-tabel
berikut ini.
Tabel 4. Pemberian Skor pada Skala Trait Kecerdasan Emosional
Respons Favorable Unfavorable
Sangat Sesuai (SS) 4 1
Sesuai (S) 3 2
Tidak Sesuai (TS) 2 3 Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4
(62)
Tabel 5. Blueprint Skala Trait Kecerdasan Emosional (Sebelum Uji Coba dan Seleksi Aitem)
Faktor
Trait Kecerdasan Emosional
Jumlah Aitem Total
Favorable Unfavorable
Kesejahteraan 6 4 10 (20%) Pengendalian Diri 6 4 10 (20%) Emosionalitas 5 5 10 (20%) Sosiabilitas 6 4 10 (20%) Faset-faset
Tambahan 5 5 10 (20%) Total 28 (56%) 22 (44 %) 50 (100%)
F. Valditas dan Reliabilitas Alat Ukur
1. Validitas dan Reliabilitas Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif
Pengujian validitas yang digunakan dalam skala ini adalah validitas
isi. Validitas isi adalah proses pengujian isi alat ukur yang dilakukan
berdasarkan professional judgement (Azwar, 2009). Dalam penelitian ini,
pemberian professional judgement dilakukan oleh dosen pembimbing.
Skala kecenderungan pembelian impulsif diuji coba untuk
mengetahui reliabilitas alat ukur tersebut. Hasil uji coba terhadap 20 aitem,
menunjukkan koefisien reliabilitas sebesar 0,851. Peneliti kemudian
memperbaiki 4 aitem yang memiliki daya diskriminasi di bawah 0,3.
Setelah aitem tersebut diperbaiki, peneliti melalakukan uji coba skala
untuk kedua kalinya.
Uji coba skala untuk kedua kalinya menghasilkan koefisien
(63)
memiliki daya diskriminasi di bawah o,3 sehingga diperoleh 18 aitem yang
bertahan dan koefisien reliabilitas skala menjadi 0,924.
Tabel 6. Blueprint Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif (Setelah Uji Coba dan Seleksi Aitem)
Aspek Nomor Aitem Total
Favorable Unfavorable
Kognitif 3, 8, 9 1, 2, 4, 5, 6, 7 9 (50%) Afektif 10, 11, 12, 13,
14, 15, 16, 17, 18 - 9 (50%) Total 12 (66,67%) 6 (33,33%) 18 (100%)
2. Validitas dan Reliabilitas Skala Trait Kecerdasan Emosional
Pengujian validitas yang digunakan dalam skala ini adalah validitas
isi. Validitas isi adalah proses pengujian isi alat ukur yang dilakukan
berdasarkan professional judgment (Azwar, 2009). Dalam penelitian ini,
professional judgement didapatkan dari dosen pembimbing.
Skala trait kecerdasan emosional telah diuji coba untuk mengetahui
reliabilitas alat ukur tersebut. Berdasarkan hasil uji coba terhadap 50
aitem, angka reliabilitas skala trait kecerdasan emosional adalah 0,896.
Berdasarkan hasil uji coba tersebut, peneliti membuang aitem-aitem yang
memiliki daya diskriminasi negatif, sebab aitem tersebut merupakan aitem
yang menyesatkan. Setelah aitem tersebut digugurkan, angka
reliabilitasnya meningkat menjadi 0,919. Namun terdapat dua aspek yang
aitem-aitemnya gugur semua. Peneliti kemudian melakukan uji coba skala
(64)
Peneliti memperbaiki 11 kalimat pada aitem yang memiliki daya
diskriminasi di bawah 0,25 kemudian mengujicobakannya. Uji coba skala
menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,916. Peneliti kemudian
menggugurkan aitem yang memiliki daya diskriminasi di bawah 0,25
sehingga diperoleh 45 aitem yang bertahan dan koefisien reliabilitas skala
menjadi 0,928. Selanjutnya, peneliti menggugurkan aitem dari faktor
pengendalian diri karena dinilai overlap dengan aspek afektif dari skala
kecenderungan pembelian impulsif. Dengan demikian diperoleh 37 aitem
yang bertahan dan koefisien reliabilitas skala menjadi 0,913.
Tabel 7. Blueprint Skala Trait Kecerdasan Emosional (Setelah Uji Coba dan Seleksi Aitem)
Faktor
Trait Kecerdasan Emosional
Nomor Aitem Total
Favorable Unfavorable
Kesejahteraan 17, 19, 20, 27,
29, 30 13, 14, 15, 37 10 (27,04%) Emosionalitas 31, 32, 33, 35 4, 6, 21, 25, 28 9 (24,32%)
Sosiabilitas 5, 8, 10, 24, 34,
36 12, 16, 26 9 (24,32%) Faset-faset
Tambahan 1, 3, 11, 18 2, 7, 9, 22, 23 9 (24,32%) Total 20 (54,05%) 17 (45,95%) 37 (100%)
G. Metode Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis regresi linier sederhanadengan bantuan SPSS 18.00 for Windows.
Penggunaan metode analisis ini sesuai dengan tujuan penelitian, karena
dengan analisis regresi sederhana peneliti dapat melihat hubungan antara
(65)
nilai variabel tergantung bila variabel bebas berubah (Santoso, 2010;
Sugiyono, 2008).
Sebelum melakukan uji hipotesis dengan analisis regresi linier
sederhana, terdapat tiga asumsi yang perlu dipenuhi melalui uji asumsi.
Asumsi-asumsi tersebut adalah asumsi normalitas residu, linearitas
hubungan, dan homogenitas varian (Santoso, 2010). Uji normalitas residu
dilakukan untuk menguji asumsi bahwa residu data dalam penelitian
memiliki distribusi normal. Uji linearitas hubungan dilakukan untuk
menguji asumsi bahwa hubungan kedua variabel mengikuti garis linear.
Uji homogenitas varian dilakukan untuk menguji asumsi bahwa variasi
dari residu tetap sama pada setiap nilai dari variabel bebas (Santoso,
(66)
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
Peneliti melakukan uji coba terhadap alat ukur skala trait kecerdasan
emosional dan kecenderungan perilaku pembelian impulsif kepada pria dan
wanita berusia 18-40 tahun di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Uji coba
dilaksanakan pada tanggal 16 Desember 2012 – 3 Januari 2013. Jumlah subjek yang terlibat dalam uji coba ini adalah 58 subjek. Namun terdapat 3
subjek yang gugur karena tidak mengisi skala dengan lengkap. Dengan
demikian, jumlah subjek yang datanya digunakan dalam uji coba menjadi 55
subjek.
Setelah melakukan uji reliabilitas skala dan seleksi aitem, terdapat dua
aspek yang tidak terwakili dalam skala trait kecerdasan emosional. Peneliti
kemudian melakukan uji coba skala untuk kedua kalinya pada tanggal 11-13
Januari 2013. Jumlah subjek yang terlibat dalam uji coba skala adalah 33
subjek. 1 subjek tidak mengisi skala dengan lengkap sehingga tersisa 32
subjek yang datanya digunakan untuk uji coba skala. Pada uji coba skala yang
kedua ini, seluruh aspek terwakili dalam skala trait kecerdasan emosional.
B. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan dari tanggal 17-21 Januari 2013.
(1)
ANOVA Table Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig. IBT *
TEIr
Between Groups
(Combined) 1470.572 38 38.699 1.377 .122 Linearity 631.076 1 631.076 22.463 .000 Deviation from
Linearity
839.496 37 22.689 .808 .759
Within Groups 1994.701 71 28.094 Total 3465.273 109
(2)
Lampiran 6
Hasil Uji Hipotesis
Hasil Analisis untuk R
2Model Summaryb Model
R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
dimensi on0 1 .427
a .182 .175 5.12275
a. Predictors: (Constant), TEIr b. Dependent Variable: IBT
Hasil Uji F pada Analisis Regresi
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 631.076 1 631.076 24.048 .000a
Residual 2834.197 108 26.243 Total 3465.273 109
a. Predictors: (Constant), TEIr b. Dependent Variable: IBT
Hasil Analisis Regresi untuk Tiap Koefisien
Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 64.503 5.519 11.688 .000 TEIr -.248 .051 -.427 -4.904 .000 a. Dependent Variable: IBT
(3)
(4)
Lampiran 7
Hasil Analisis Tambahan
Statistik Deskriptif Usia Subjek
Statistics Usia N Valid 110
Missing 0 Mean 25.1455 Median 24.0000 Mode 22.00 Std. Deviation 5.04991 Variance 25.502 Range 22.00 Minimum 18.00 Maximum 40.00 Sum 2766.00
Usia
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid 18.00 4 3.6 3.6 3.6
19.00 4 3.6 3.6 7.3 20.00 5 4.5 4.5 11.8 21.00 13 11.8 11.8 23.6 22.00 14 12.7 12.7 36.4 23.00 11 10.0 10.0 46.4 24.00 10 9.1 9.1 55.5 25.00 11 10.0 10.0 65.5 26.00 7 6.4 6.4 71.8 27.00 6 5.5 5.5 77.3 28.00 3 2.7 2.7 80.0 29.00 2 1.8 1.8 81.8
(5)
31.00 1 .9 .9 85.5 32.00 2 1.8 1.8 87.3 33.00 2 1.8 1.8 89.1 34.00 4 3.6 3.6 92.7 35.00 3 2.7 2.7 95.5 37.00 2 1.8 1.8 97.3 38.00 1 .9 .9 98.2 39.00 1 .9 .9 99.1 40.00 1 .9 .9 100.0 Total 110 100.0 100.0
Statistik Deskriptif Jenis Kelamin Subjek
JK
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent Valid Laki-laki 60 54.5 54.5 54.5
Perempuan 50 45.5 45.5 100.0 Total 110 100.0 100.0
Deskripsi Skor Subjek
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation TEIr 110 87.00 147.00 108.8000 9.71124 IBT 110 18.00 52.00 37.5455 5.63839 Valid N (listwise) 110
(6)
Deskripsi Skor Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Report
JK IBT TEIr
Laki-laki Mean 35.8167 109.7167
N 60 60
Std. Deviation 5.04385 10.17323 Minimum 18.00 94.00 Maximum 46.00 147.00 Std. Error of Mean .65116 1.31336 Perempuan Mean 39.6200 107.7000
N 50 50
Std. Deviation 5.66006 9.10539 Minimum 28.00 87.00 Maximum 52.00 128.00 Std. Error of Mean .80045 1.28770 Total Mean 37.5455 108.8000
N 110 110
Std. Deviation 5.63839 9.71124 Minimum 18.00 87.00 Maximum 52.00 147.00 Std. Error of Mean .53760 .92593