KAJIAN STILISTIKA PANYANDRA PENGANTEN JAWA ADAT SURAKARTA

(1)

commit to user

iii

PANYANDRA PENGANTEN JAWA

ADAT SURAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh : ENY PUSPITOSARI

C0107019

JURUSAN SASTRA DAERAH

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA


(2)

commit to user


(3)

commit to user


(4)

commit to user

vi Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama : Eny Puspitosari

NIM : C 0107019

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Kajian Stilistika Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, April 2011 Yang membuat pernyataan


(5)

commit to user

vii


(6)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibu, Bapak, Mertua, Suamiku tercinta, serta Almamaterku.


(7)

commit to user

ix

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “Kajian Stilistika Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan penuh kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada

1. Drs. Sudarno, M.A. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa beserta stafnya yang telah memberi ijin dalam penulisan skripsi ini.

2. Drs. Imam Sutarjo, M.Hum selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah berkenan memberikan semangat dan masukan dalam penulisan skripsi ini. 3. Drs. Sujono, M.Hum, selaku Pembimbing I atas kesabaran, ketekunan,

kedisiplinan serta masukan diberikan kepada penulis.

4. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum selaku Sekertaris Jurusan Sastra Daerah, Ketua Koordinator Bidang Linguistik Jurusan Sastra Daerah, pembimbing Akademik, serta Pembimbing II yang telah memberikan sumbang saran, semangat serta masukan yang sangat berharga di dalam mengarahkan secara intensif dalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar Jurusan Sastra Daerah yang telah memberikan bekal wawasan ilmu pengetahuan bahasa, sastra dan budaya


(8)

commit to user

x Sebelas Maret Surakarta.

6. Segenap staf Perpustakaan Pusat UNS serta para petugas Fakultas Sastra dan Seni Rupa atas pelayanan yang telah diberikan.

7. Bapak, Ibu, Mertua dan Suamiku tercinta, yang telah membantu doa dan berbagai pengorbanan serta kasih sayang di dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Teman-teman Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa semuanya

khususnya teman-teman angkatan 2007 atas kebersamaan, segala perhatian, dorongan dan kerjasamanya.

9. Sahabat terbaikku Betha Ericka Ayu, E.B Taqwdaswintrani, dan Tina Subekti atas dukungan dan semangat yang diberikan, tak lupa Dhagan Widyaloka yang telah meminjami buku sampai penyelesaian skripsi ini.

Akhirnya, penulis sepenuhnya menyadari bahwa di dalam penelitian ini masih ada kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk sempurnanya skripsi ini.

Surakarta, April 2011


(9)

commit to user

ix

Halaman

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAGAN ... xi

DAFTAR TANDA, LAMBANG DAN SINGKATAN ... xiii

ABSTRAK ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian... 7

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ... 9

A. Kajian Pustaka ... 9

1. Pengertian Stilistika ... 9

2. Panyandra ... 12

3. Aspek-aspek bunyi ... 12

4. Diksi ... 14

5. Gaya Bahasa ... 21


(10)

commit to user

x

A. Jenis Penelitian ... 28

B. Sumber Data dan Data ... 29

C. Alat Penelitian ... 30

D. Populasi dan Sampel ... 30

E. Metode Pengumpulan Data ... 31

F. Metode Analisis Data ... 32

G. Metode Penyajian Analisis Data ... 35

BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Aspek-aspek bunyi ... 37

1. Purwakanthi Swara ‘asonansi’ ... 37

2. Purwakanthi Sastra ‘aliterasi’... 40

3. Purwakanthi Lumaksita ‘pengulangan’ ... 45

B. Diksi ... 47

1. Tembung Rangkep ‘Reduplikasi’ ... 47

2. Tembung Garba ‘Sandi’ ... 53

3. Antonim ... 55

4. Sinonim ... 57

5. Kata-kata Kawi... 61

6. Afiksasi ... 63

C. Gaya Bahasa ... 71

1. Gaya Bahasa Retoris ... 71

a. Anastrof ... 71

b. Asidenton ... 73

c. Pleonasme ... 74

d. Erotesis ... 74

e. Hiperbola ... 75


(11)

commit to user

xi

b. Metafora ... 79

c. Personifikasi ... 81

d. Eponim ... 81

BAB V PENUTUP ... 83

1. Simpulan ... 83

2. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85


(12)

commit to user

xii

Halaman Bagan Kerangka Pikir ... 27


(13)

commit to user

xiii DAFTAR TANDA

1. … : tuturan sebelumnya dan tuturan sesudahnya.

2. ‘…’ : arti dari suatu kata atau terjemahan.

3. (…) : pemerlengkap.

4. {…} : kurung kurawal untuk mengapit proses pembentukan.

5. / : atau.

6. : terbentuk dari.

7. + : dan.

8. >< : berlawanan dengan.

9. = : sama dengan.

LAMBANG

1. é : melambangkan bunyi vokal /é/, seperti édan ‘gila’.

2. O : melambangkan bunyi vocal /O/ belakang bulat, seperti klOpO ‘kelapa’.


(14)

commit to user

xiv 1. Aj : Adjektif (kata sifat) 2. BUL : Bagi Unsur Langsung

3. D : Dasar

4. N : Noun (kata benda)

5. PAJL : Perkawinan Adat Jawa Lengkap

6. PPJAS : Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta 7. RGen : Rekaman Geneng

8. RSad : Rekaman Sadaan 9. RTG : Rekaman Tegal Gede 10.SS : Sekar Semawur

11.TKPP : Tuntunan Kagem Panatacara tuwin Pamedhar Sabda 12.UMJGS : Upacara Mantu Jangkep Gagrak Surakarta


(15)

commit to user

xv

Eny Puspitosari. C0107019. 2011. Kajian Stilistika Panyandra Pengaten Jawa Adat Surakarta. Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif mengenai Kajian Stilistika Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini: (1) Bagaimanakah penggunaan aspek-aspek bunyi dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta?, (2) Bagaimanakah pilihan kata atau diksi dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta?, (3) Bagaimanakah gaya bahasa dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta?. Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan aspek-aspek bunyi, pilihan kata atau diksi dan gaya bahasa dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta.

Data dalam penelitian ini berupa data tulis yaitu kalimat panyandra dalam buku Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta dan data lisan yaitu kalimat panyandra dalam rekaman pernikahan yang menggunakan adat Surakarta. Sumber data berasal dari buku dan tuturan panyandra penganten Jawa adat Surakarta. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling. Penyediaan data dilakukan dengan teknik pustaka, teknik rekam dan teknik catat. Analisis data dengan menggunakan metode distribusional dan metode padan.

Metode distribusional digunakan untuk menganalisis aspek-aspek bunyi dan pilihan kata atau diksi dengan teknik dasar BUL (Bagi Unsur Langsung) dan teknik lanjutan berupa teknik interpretasi. Sedangkan metode padan digunakan untuk menganalisis gaya bahasa.

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Pemanfaatan atau pemilihan bunyi-bunyi bahasa yang dipergunakan dalam PPJAS ditemukan adanya purwakanthi yaitu purwakanthi swara ‘asonansi’, purwakanthi sastra ‘aliterasi’, purwakanthi lumaksita. (2) Pemilihan kata atau diksi dalam PPJAS yaitu digunakannya (a) tembung rangkep yang meliputi dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin swara, (b) tembung garba ‘sandi’, (c) antonim, (d) sinonim, (e) kata-kata kawi, (f) afiksasi arkhais. (3) Pemakaian gaya bahasa dalam PPJAS adalah gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yaitu (a). gaya bahasa retoris : anastrof, asidenton, pleonasme, erotesis, hiperbola, (b). gaya bahasa kiasan : simile, metafora, personifikasi, eponim. Pemakaian gaya bahasa memberikan kesan yang lebih indah dan estetis.


(16)

commit to user


(17)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap daerah memiliki adat dan budaya yang berbeda-beda. Upacara perkawinan merupakan salah satu upacara yang sampai saat ini masih dilaksanakan dan hidup di masyarakat. Perkawinan dengan rangkaian acara merupakan salah satu peristiwa menarik untuk diamati.

Dalam budaya Jawa dikenal 3 M yaitu metu (lahir), manten (menikah), mati (meninggal). Ketiga peristiwa tersebut merupakan manivestasi budaya Jawa yang bersifat mistik dan religius. Dari ketiga peristiwa tersebut peneliti hanya mengkaji tentang manten. Manten (menikah) adalah salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Begitu pentingnya hal tersebut, menyebabkan masyarakat Jawa melaksanakannya dengan penuh perhitungan. Masyarakat Jawa mengenal adanya tanggal, hari, dan bulan dalam kalender Jawa yang diperbolehkan atau dihindari untuk melaksanakan sebuah upacara perkawinan. Tanggal dan hari yang dihindari adalah tanggal dan hari yang merupakan waktu kematian keluarga tertuanya sedangkan bulan yang tidak diperbolehkan atau dihindari adalah bulan suro karena bulan tersebut dianggap sakral oleh masyarakat.

Selain itu banyak tahapan yang harus dilalui dalam sebuah acara perkawinan adat Jawa, yaitu nontoni, lamaran, paningset, gethak dina, pasang tarub, siraman, paes, midodareni, ijab qobul yang menjadi inti acara pernikahan dan acara panggih sebagai puncak resepsi perkawinan. Pada acara resepsi


(18)

commit to user

perkawinan, pambiwara menggambarkan keindahan suasana perkawinan, kedua mempelai serta para pengiringnya dengan menggunakan bahasa yang indah atau lebih dikenal dengan istilah panyandra.

Panyandra adalah cerita yang menggambarkan keindahan suatu bab atau indahnya pesta, panyandra itu hanya pantas jika digunakan dalam suasana yang penuh dengan kebahagiaan dan rasa suka, misalnya pada pesta pernikahan. Panyandra berasal dari kata candra yang artinya cerita tentang sifat sesuatu dengan perumpamaan, dicandra artinya diceritakan dengan perumpamaan (Retno Purwandari, 2007:27). Panyandra ini akan mendominasi acara puncak perkawinan yaitu upacara panggih yang dilakukan setelah upacara ijab qobul. Pelaksanaan upacara panggih melalui berbagai tahapan, antara lain upacara balang gantal (melempar sirih yang diikat dengan benang), mecah tigan (memecah telur), mijiki samparan (membasuh kaki), sinduran (dipakaikan selendang dibahu pengantin), jumenengan (penobatan sungkeman/penghormatan), kacar-kucur (memberi harta), dhahar kembul walimahan (makan bersama), kirab.

Panyandra atau juga disebut rumpaka, janturan/ rerepan biasanya dituturkan oleh seorang pranatacara “pembawa acara”. Panyandra/ wacana panyandra merupakan rangkaian kisah penggambaran/pidato yang menjadi ilustrasi dalam peristiwa perkawinan. Wacana panyandra termasuk dalam jenis wacana monolog yang dituturkan untuk satu orang. Sebagai wacana monolog yang digunakan dalam upacara perkawinan yang dianggap sakral, maka wacana panyandra mempunyai ciri-ciri kosakata yang cenderung arkais dan struktur kalimat yang kompleks.


(19)

commit to user

Wacana panyandra merupakan bentuk bahasa yang puitis, penuh dengan ungkapan, baik klise maupun orisinil yang dianggap memancarkan konotasi-konotasi keindahan. Wacana panyandra cenderung menggunakan kosakata bahasa arkais, bahasa arkais selain digunakan dalam karya sastra juga digunakan dalam percakapan bahasa sehari-hari yang memperhatikan kesopanan, tempat, suasana serta lawan bicara. Bahasa panyandra termasuk bahasa rinengga/ bahasa indah. Ciri bahasa indah bahasa Jawa adalah adanya bentuk-bentuk kawi atau arkais yang merata pada unsur-unsur fonologi, morfologi, sintaksis maupun leksikon. Contoh :

(1) Dhuh, dharahing budaya ingkang sampun kontab saidhenging rat

pramudita, lubering sih darma saking andika sadaya ingkang sampun kapareng

jumurung ing karsa suka pepuji mangastungkara, andayanana dhumateng anak kula penganten kekalih, ingkang sampun widagda anambut guna talining

akrama, temah jumbuh ingkang sami ginayuh, sembada ing sami sinedya, lestari

ingkang sami kaesthi, hinaywan dening Gusti Ingkang Maha Hayu, umiring puji miwah pangastuti hayu, hayu, rahayu, ring ulah ahayu.

‘Duh, keturunan orang berbudaya yang sudah terkenal di seluruh dunia, tumpahnya kasih sayang dari Anda semua yang sudah bersedia untuk membantu dan memberi doa restu agar memberi kekuatan kepada anak saya pengantin berdua, yang sudah pandai menerima ikatan pernikahan sehingga tercapai apa yang diharapkan, tercapai yang diinginkan, disetujui oleh Tuhan Yang Maha Pemberi Selamat, diiringi doa dan restu selamat, selamat, selamat dalam segala perbuatan semoga selamat’.


(20)

commit to user

Kata-kata yang sifatnya arkais adalah kata rat pramudita ‘bumi atau dunia’. Hal ini juga berlaku pada bentuk morfologisnya yaitu penggunaan prefiks (a-) seperti pada kata anambut ‘menerima’ dan infiks (-in-) seperti dalam ginayuh ‘diharapkan’ yang merupakan bentuk arkais yang menunjukan kelitereran dan memiliki nilai rasa yang lebih dibanding dengan afiks yang lain. Struktur kalimat dalam contoh (1) merupakan jenis kalimat majemuk yang terdiri dari beberapa klausa.

Wacana panyandra merupakan bahasa yang banyak mengandung pengulangan (rima). Contoh :

(2) Saya caket saya ngalela

‘Semakin dekat semakin terlihat jelas’

Contoh (2) merupakan kalimat yang mempunyai pengulangan bunyi vokal atau asonansi yaitu pengulangan bunyi vokal /a/ yang terdapat pada bagian akhir suku kata.

Cara-cara pengungkapan bahasa atau pemanfaatan bahasa dalam proses kreatif berbahasa untuk menggambarkan suatu hal seperti panyandra, dapat dikaji melalui teori pendekatan stilistika. Stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra atau dapat dikatakan sebagai telaah tentang variasi pemilihan dan penggunaan unsur-unsur bahasa sesuai dengan situasi dan akibat bagi pembaca atau pendengar.

Panyandra Penganten dapat dianalisis secara stilistika mengingat bahasa digunakan memerlukan pemilihan kata dan mengandung gaya bahasa. Alasan mengenai penelitian ini adalah: 1) bahwa wacana panyandra penganten secara


(21)

commit to user

kebahasaan belum pernah dikaji, 2) bahasa panyandra penganten merupakan bahasa yang indah dan unik untuk diteliti, 3) bahasa panyandra penganten merupakan bahasa yang banyak menggunakan purwakanthi, pilihan kata yang tidak asal-asalan serta gaya bahasa yang dapat menambah keindahan bahasa panyandra penganten.

Karya sebelumnya yang menggunakan pendekatan stilistika adalah

1) Kajian Stilistika Bahasa Jawa dalam Lagu-Lagu Karya Koes Plus oleh Rani Gutami tahun 2005. Penelitian tersebut mendeskripsikan bentuk lirik lagu yang berupa parikan, wangsalan, kekhasan bentuk morfologi, dan pola rima. Deskripsi makna berkaitan dengan gaya bahasa repetisi, aliterasi, asonansi, dan makna yang tergantung dengan konteks sesuai dengan kenyataannya, serta fungsi lirik lagu bahasa Jawa dalam lagu-lagu karya Koes Plus yakni fungsi pendidikan, nilai bagi penguasa, nilai untuk kekayaan, dan nilai moral pergaulan.

2) Serat Piwulang Warni-Warni Karya Mangkunagara IV (Suatu Tinjauan Stilistika) oleh Priyanto tahun 2008. Penelitian ini berisi pembahasan tentang pemilihan bunyi-bunyi bahasa, pemakaian kosakata arkhais dan gaya bahasa yang dipergunakan dalam Serat Piwulang Warni-Warni Karya Mangkunegara IV.

3) Kajian Kohesi Koherensi Wacana Pambiwara Berbahasa Jawa dalam Adat Perkawinan Jawa oleh Enie Rochmini tahun 2000. Penelitian tersebut mendiskripsikan tentang penanda kohesi gramatikal, penanda kohesi leksikal


(22)

commit to user

serta konteks situasi yang terdapat dalam Wacana Pambiwara Berbahasa Jawa dalam Adat Perkawinan Jawa.

Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, menunjukkan bahwa penelitian tentang stilistika yang terdapat dalam panyandra penganten belum pernah dilakukan sehingga menarik untuk diteliti. Adapun penelitian ini diberi judul “Kajian Stilistika Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta”.

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan pada suatu masalah perlu dilakukan agar penelitian tidak keluar dari sasaran yang akan dicapai. Masalah pada penelitian ini dibatasi pada kajian stilistika. Stilistika tersebut meliputi aspek-aspek bunyi, diksi dan gaya bahasa dalam wacana Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta.

C. Rumusan Masalah

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penggunaan aspek-aspek bunyi (masalah ini perlu dikaji untuk menjelaskan purwakanthi swara/ asonansi, purwakanthi sastra/ alisterasi serta purwakanthi lumaksita) dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta?

2. Bagaimanakah pilihan kata atau diksi (masalah ini perlu dikaji untuk menjelaskan reduplikasi, persandian, antonim, sinonim, kata-kata kawi, dan afiksasi) dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta?


(23)

commit to user

3. Bagaimanakah gaya bahasa (masalah ini perlu dikaji untuk menjelaskan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna: gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan) dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta?

D. Tujuan

Dari perumusan masalah di atas dapat diperoleh tujuan penulisan sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan penggunaan aspek-aspek bunyi (purwakanthi swara/asonansi, purwakanthi sastra/ alisterasi serta purwakanthi lumaksita) dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta.

2. Mendeskripsikan pilihan kata atau diksi (reduplikasi, persandian, antonim, sinonim, kosakata kawi, dan afiksasi) dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta.

3. Mendeskripsikan gaya bahasa (gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna: gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan) dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoretis dan praktis.


(24)

commit to user

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perkembangan teori linguistik Jawa, khususnya bidang stilistika.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh: (1) para pambiwara atau peminat budaya Jawa dalam tugasnya di masyarakat; (2) masyarakat umum, dapat menambah wawasan dalam memahami bentuk panyandra dan karakteristik pemakaian gaya bahasa panyandra terutama panyandra penganten; (3) peneliti selanjutnya dapat dipakai sebagai model penelitian dan bahan acuan untuk penelitiannya; (4) guru untuk menambah materi pengajaran bahasa Jawa.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini meliputi lima bab, yaitu:

Bab I. Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II. Landasan Teori, yang meliputi pengertian stilistika, pengertian panyandra, pengertian aspek-aspek bunyi, pengertian diksi serta pengertian gaya bahasa.

Bab III. Metode Penelitian, meliputi jenis penelitian, data dan sumber data, alat penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, metode analisis data, metode penyajian hasil analisis.


(25)

commit to user

Bab IV. Analisis data dan Pembahasan, mengenai aspek-aspek bunyi (asonansi/ purwakanthi swara, alisterasi/ purwakanthi sastra, purwakanthi lumaksita), pilihan kata (dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin swara, tembung rangkep/ reduplikasi, tembung garba/ persandian, antonim, sinonim, kosakata kawi, afiksasi) dan kajian gaya bahasa.

Bab V. Penutup, berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.


(26)

commit to user

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Penelitian terhadap bahasa dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta dengan menggunakan tinjauan stilistika belum pernah dilakukan. Linguistik merupakan ilmu yang berupaya memerikan bahasa dan menunjukkan bagaimana cara kerjanya, sedangkan stilistika merupakan kajian variasi linguistik yaitu gaya yang mempunyai hubungan yang erat dengan konteks teks dan konteks situasi (Sujono dkk, 1988:4). Dalam kajian pustaka ini dijelaskan tentang pengertian stilistika, panyandra, aspek-aspek bunyi, pilihan kata dan gaya bahasa dalam PPJAS.

1. Pengertian Stilistika

Pada masa ini style diartikan sebagai teknik serta bentuk gaya bahasa seseorang dalam memaparkan gagasan sesuai ide dan norma yang digunakan sebagaimana ciri pribadi pemakainya (Aminuddin, 1995:4). Stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Burhan, 1995:276). Stile ditandai ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Makna stile menurut (Leech, 1981 dalam Burhan 1995:277), suatu hal yang pada umumnya tidak lagi mengandung sifat kontroversional, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu untuk tujuan


(27)

commit to user

tertentu dan sebagainya. Gaya adalah cara berbahasa seseorang dalam perpomansinya secara terencana maupun tidak, baik secara lisan maupun tertulis (Soeparno, 2002:74).

Kata stilistika berhubungan dengan kata Style asal kata stilistics. Pada perkembangan bahasa Latin kemudian muncul kata stylus dan memilki arti khusus yang mendeskripsikan tentang penulisan, kritik terhadap kualitas sebuah tulisan. Stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wacana sastra dengan berorientasi linguistik. Stilistika mengkaji bagaimana seorang pengarang itu memanipulasi dalam arti memanfaatkan unsur dan sarana atau kaidah-kaidah kebahasaan, serta mencari efek yang dapat ditimbulkan dari penggunaan bahasa dalam karya sastra. Pada prinsipnya pusat perhatian stilistika adalah style atau gaya bahasa, yaitu cara yang digunakan oleh seseorang untuk mengutarakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana ungkapnya (Panuti Sudjiman, 1993:2).

Stilistika (stilistics) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra. Dapat dikatakan bahwa stilistika adalah proses menganalisis karya sastra dengan melihat bagaimana unsur-unsur bahasa sebagai medium karya sastra yang digunakan oleh sastrawan, sehingga terlihat bagaimana sikap sastrawan dalam rangka menggunakan bahasa untuk menuangkan gagasannya. Semua proses yang berhubungan dengan analisis bahasa karya sastra dikerahkan untuk mengungkapkan aspek kebahasaan dalam karya sastra tersebut, seperti diksi, penggunaan bahasa kias, bahasa figuratif, struktur kalimat, bentuk-bentuk wacana dan sarana retorika lainnya (Edi Subroto dkk, 1997:26).


(28)

commit to user

Stilistika tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan saja, melainkan juga studi gaya bahasa pada umumnya walaupun terdapat penelitian khusus pada bahasa kesusastraan seperti hal-nya yang dikemukakan oleh Turner. G.W : “Stylistics is that part of linguistics which concentrate on variation in the use of language” (Stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan diri pada variasi dalam penggunaan bahasa). (Turner. G.W dalam Erry Pranawa, 2005:21)

Lapangan kajian stilistika dapat meliputi kata-kata, tanda baca, gambar serta bentuk tanda lain yang dapat dianalogikan sebagai kata-kata (Aminuddin, 1995:44). Pada jaman modern stilistik seringkali memperlihatkan persamaan dengan retorika, tetapi tanpa aspek normatifnya; stilistik, ilmu gaya bahasa, juga diberi definisi yang bermacam-macam, tetapi pada prinsipnya selalu meneliti pemakaian bahasa yang khas atau istimewa, yang merupakan ciri khas seorang penulis, aliran sastra dan lain-lain atau pula yang menyimpang dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa yang dianggap normal, baku dan lain-lain (Teeuw, 1984:72). Bahwa secara umum lapangan kajian stilistika meliputi pemakaian bahasa. Sehingga dapat dilihat bagaimana bahasa yang digunakan dalam karya sastra dan bagaimana pengarang menggunakan bahasa itu secara kreatif.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan stilistika merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dengan berorientasi pada ciri-ciri formal linguistik seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Adapun tujuan telaah kajian stilistika yaitu (a) mencari fungsi estetik karya sastra dan (b) mencari bukti-bukti linguistik. Untuk


(29)

commit to user

mencari bukti-bukti linguistis, proses kajian berkisar pada deskripsi segi-segi kebahasaan yang ada dalam karya sastra.

2. Panyandra

Panyandara yaiku pepindhan kang surasane nyandra utawa ngandakake becike perangan badaning manungsa. Panyandra adalah perumpamaan yang artinya menceritakan atau membicarakan tentang keindahan tubuh manusia’ (Subalidinata, 1986:35). Menurut Retno Purwandari (2007:27), panyandara berasal dari kata candra yang artinya cerita tentang sifat sesuatu dengan perumpamaan. Panyandra adalah cerita yang menggambarkan keindahan suatu bab atau indahnya pesta. Struktur panyandara berbeda dengan strukstur pidato perkawinan yang lain, karena panyandra bersifat mendeskripsikan upacara perkawinan yang sedang berlangsung kepada tamu undangan sehingga seorang pambiwara menuturkan apa yang sedang ia lihat dengan menggunakan bahasa-bahasa yang indah agar lebih menarik. Struktur wacana panyandra tidak terbagi atas bagian pendahuluan, bagian isi dan bagian penutup karena isi dari panyandra tersebar di setiap wacana panyandra.

3. Aspek-aspek Bunyi

Aspek-aspek bunyi yang dimaksud dalam karya sastra bisa disebut dengan perulangan bunyi. Adanya pengulangan bunyi akan lebih indah untuk dibaca. Istilah Jawa yang sepadan dengan perulangan bunyi adalah purwakanthi.


(30)

commit to user

Purwakanthi merupakan hasil dari kesusastraan Jawa, berupa runtutan suara baik vokal maupun konsonan dalam suatu kalimat atau wacana.

Purwakanthi: tembung purwa ateges wiwitan, ngarep. Dene tembung kanthi ateges kanca gandheng karo nganggo. Purwakanthi yaiku gandhenging suara kang mburi karo suara kang wis kacetha ing ngarep. ‘Purwakanthi berasal dari kata purwa yang berarti permulaan. Sedangkan kanthi berarti teman bergabung dan memakai/tautan. Purwakanthi artinya tautan bunyi setelahnya dengan bunyi sebelumnya yang telah ada (Subalidinata 1986:57).

Purwakanthi ada tiga jenis sebagai berikut:

a. Purwakanthi swara adalah purwakanthi berdasarkan persamaan suara/bunyi. Dalam bahasa Indonesia disebut asonansi yaitu sajak yang berdasarkan perulangan bunyi bagian akhir suku kata/ perulangan vokal. Asonansi berfungsi untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan bunyi (Gorys Keraf, 2005:130).

Contohnya, Nadyan santana myang warga ‘Walaupun kerabat dan

saudara’ , Lamun durung mangsanipun ‘Kalau belum waktunya’.

Berdasarkan contoh tersebut adanya perulangan vokal a pada suku kata pertama dan terakhir serta perulangan vokal u pada suku kata terakhir. b. Purwakanthi sastra adalah purwakanthi berdasarkan persamaan sastra

atau huruf. Dalam bahasa Indonesia purwakanthi sastra identik dengan sajak aliterasi yaitu sajak yang berdasarkan pada persamaan suku kata bagian awal atau permulaan konsonan. Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama (Gorys Keraf,


(31)

commit to user

2005:130). Aliterasi adalah ulangan bunyi konsonan, pada awal kata yang berurutan untuk mencapai efek kesedapan bunyi.

Misalnya;

Aling-aling kang ngalingi ‘Bayang-bayang yang menyelimuti’, Kidung kadrêsaning kapti ‘Lagu kuatnya keinginan’. Berdasarkan contoh tersebut adanya bentuk perulangan konsonan l pada suku kata tengah serta perulangan konsonan k pada suku pertama.

c. Purwakanthi lumaksita adalah purwakanthi berdasarkan persamaan kata, suku kata akhir dengan suku kata awal yang bertuturan atau persamaan huruf akhir dengan huruf awal yang berturut-turut dalam suatu bait/baris tembang. (Prasetya Adi Wisnu Wibawa, 2003:61).

Contohnya;

Pelag punapa kang abdi abdi dalêm barang ngomyang 'Baik apanya hamba ini,

hamba mengamen dengan mulut’.

Berdasarkan contoh tersebut ditemukan adanya bentuk perulangan kata abdi ‘hamba’.

4. Diksi

Diksi berasal dari bahasa latin dicere, dictum yang berarti to say ‘mengatakan’. Diksi berarti pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam tuturan atau penulisan (Scoot, 1980:170). Pengertian pilihan kata atau diksi lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah ini bukan saja


(32)

commit to user

dipergunakan untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologis, gaya bahasa dan ungkapan (Gorys Keraf, 2005:23).

Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa. (Gorys Keraf, 2005:24).

Diksi atau pilihan kata memegang peranan penting dan utama dalam mencapai efektivitas komunikasi. Memilih kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan memang bukan hal yang mudah. Banyak orang yang menggunakan kata yang boros dan mewah, akan tetapi tidak ada isinya dan tidak dapat mewakili perasaan sehingga orang yang diajak komunikasi pun tidak dapat menangkap maksud dan tujuan dari perkataannya. Oleh karena itu, ketepatan memilih kata sangatlah diperlukan dalam komunikasi agar gagasan yang disampaikan tepat dan sesuai dengan maksud yang diharapkan. Hal-hal yang harus diperhatikan agar bisa mencapai ketepatan pilihan kata menurut Gorys Keraf (2006:88) adalah sebagai berikut:

1) membedakan secara cermat denotasi dan konotasi,


(33)

commit to user

3) membedakan kata-kata yang mirip ejaannya, 4) hindarilah kata-kata ciptaan sendiri,

5) waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing yang mengandung akhiran tersebut,

6) kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara idiomatik, 7) untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus mambedakan

kata umum dan kata khusus,

8) mempergunakan kata indria yang menunjukan presepsi yang khusus,

9) memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal,

10) memperhatikan kelangsungan pilihan kata.

Penggunaan diksi atau pemilihan kata yang akan dikaji dalam PPJAS adalah (a). tembung rangkep/ reduplikasi, (b). tembung garba, (c). antonim, (d). sinonim, (e). kosakata kawi, (f). afiksasi. Adapun penjelasannya sebagai berikut : (a) Tembung rangkep ‘Reduplikasi’

Tembung rangkep disebut juga reduplikasi. Dalam bahasa Jawa reduplikasi terdapat empat macam yaitu: (1) dwipurwa ‘pengulangan awal suku kata’ (2) dwilingga ‘pengulangan kata’ (3) dwiwasana ‘pengulangan akhir suku kata’ (4) dwilingga salin swara ‘perulangan kata berubah bunyi’. Tembung dwipurwa, misalnya kata kekalih ‘berdua’ terbentuk dari {ka + kalih} ‘berdua’. Tembung dwilingga, misalnya kata alon-alon ‘pelan-pelan’. Tembung dwiwasana, misalnya kata cekakakan ‘terbahak-bahak’. Tembung dwilingga salin swara, misalnya grumat-grumut ‘berjalan pelan-pelan’.


(34)

commit to user

(b) Tembung Garba ‘Persandian’

Tembung garba adalah meringkas atau menyambung satu dua kata atau lebih menjadi satu kata. Dalam linguistik tradisional persandian identik dengan tembung garba, tegese tembung kang kadadean saka gandhenge tembung loro utawa luwih banjur luluh dadi siji ‘kata garba adalah kata yang terjadi karena pertemuan dua kata atau lebih lalu lebur menjadi satu’ Persandian yaitu hubungan dua kata yang mengakibatkan perubahan bunyi. Persandian ini terjadi apabila kata yang pertama berakhir dengan bunyi vokal dan kata yang kedua berawal dengan bunyi vokal pula. Dengan adanya persandian ini terjadilah pengurangan jumlah suku kata (Sujono dkk, 1988: 42). Misalnya kata tekèng ‘datang di’ berasal dari kata {teka + ing}, Murbeng ‘menguasai di’ berasal dari kata {murba + ing}, jayeng ‘menang akan’ berasal dari kata {jaya + ing}; ketiganya merupakan pertemuan bunyi O dengan i berubah menjadi è. Sireki ‘kamu ini’ berasal dari kata {sira + iki}, yeku ‘ya itu’ berasal dari kata {ya + iku}, kedua sandi tersebut dapat dirumuskan a + i = e, maksudya bahwa kata pertama berakhir dengan a dan kata kedua berawal dengan i kemudian berubah menjadi e, begitu juga dengan kata dupyantuk ‘ketika mendapat’ berasal dari kata {dupi + antuk} kata dupyantuk merupakan pertemuan bunyi i dengan a sehingga berubah menjadi y.

(c) Antonim

Antonim yaiku tembung, frasa, utawa ukara kang duwe teges walikan karo tembung, frasa, utawa ukara liyane ‘antonim yaitu kata, frase, atau kalimat yang memiliki makna berlawanan dengan kata, frase, atau kalimat


(35)

commit to user

lainnya’ (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2008:225). Menurut Gorys Keraf (2005:39) Antonim adalah kata yang berlawanan atau sering disebut lawan kata.

Parera (2004:70) memberikan pengertian mengenai antonim secara singkat yaitu bahwa antonim adalah pertentangan makna. Pendapat yang hampir sama dengan Parera adalah Aminuddin (2003:122) ia berpendapat bahwa antonim adalah kata-kata yang maknanya bertentangan.

Antonim dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonim disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras maknanya saja. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) oposisi mutlak yaitu pertentangan makna secara mutlak, misalnya: urip >< mati ‘hidup >< mati’, obah >< mandhek ‘bergerak >< diam’. (2) oposisi kutub yaitu oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi, misalnya: sugih >< mlarat ‘kaya >< miskin’, dawa >< cendhak ‘panjang >< pendek’. (3) oposisi hubungan yaitu oposisi makna yang bersifat melengkapi, masalnya: rama >< ibu ‘bapak >< ibu’, guru >< murid ‘guru >< murid’. (4) oposisi hirarkial yaitu oposisi makna yang menyatakan jenjang atau tingkatan, misalnya: SD >< SLTP >< SMU >< PT, detik >< menit >< jam, hari >< minggu >< bulan >< tahun. (5) oposisi majemuk yaitu oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih


(36)

commit to user

dari dua), misalnya: berlari >< berjalan >< melangkah >< berhenti. ( Sumarlam, 2009:40-44)

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa antonim merupakan kata yang maknanya berlawanan antara kata yang satu dengan kata yang lain.

(d) Sinonim

Sinonim yaiku rong tembung utawa luwih kang wujud lan panulise beda, nanging duwe teges padha, utawa meh padha ‘sinonim yaitu dua kata atau lebih yang wujud dan penulisannya berbeda, tetapi memiliki makna yang sama, atau hampir sama’ (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2008: 223). Menurut Gorys Keraf (2005, 35-36), ada tiga faktor penyebab terjadinya sinonim, yaitu proses penyerapan, tempat tinggal, makna emotif dan evaluatif.

Dua ujaran dalam bentuk morfem terikat, kata, frasa, atau kalimat yang menunjukan kesamaan makna disebut sinonim (Parera, 2004:61). Sedangkan menurut Harimurti Kridalaksana (2008:154) mengartikan sinonim sebagai bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata atau kalimat, walaupun yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja. Secara singkat Fatimah Djadjasudarma (1993: 36) berpendapat bahwa sinonim adalah kesamaan arti.

Abdul Chaer (1990:85) memberikan pengertian mengenai sinonim sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain. Berdasarkan wujud satuan lingualnya sinonim dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1)


(37)

commit to user

sinonim morfem (bebas) dengan morfem (terikat), misalnya: aku = …ku, kamu = …mu. (2) sinonim kata dengan kata, misalnya: bayaran = gaji, putra = siwi = atmaja = kulup = yoga ‘anak’. (3) sinonim kata dengan frase atau sebaliknya, misalnya: hujan dan badai = musibah. (4) sinonim frasa dengan frasa, missal: pandai bergaul = beradaptasi dengan baik. (5) sinonim klausa dengan klausa, misalnya: memecahkan masalah tersebut = menyelesaikan persoalan itu.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinonim adalah satu kata atau lebih yang memiliki makna yang sama.

(e) Kata-kata Kawi

Kata-kata kawi merupakan kata arkhais karena di dalam penggunaannya dapat memancarkan keindahan. Kata-kata atau bahasa Kawi dalam puisi tradisional Jawa memegang peranan penting karena kata-kata tersebut dapat memancarkan kesan indah dalam puisi. Begitu pula bahasa kawi yang terdapat dalam bahasa panyandra penganten, selain memancarkan keindahan, penggunaan bahasa kawi dapat menambah kesakralan suatu upacara perkawinan. Misalnya jalu ‘laki-laki’, driya ’hati’, amba ‘aku’. Kata-kata tersebut berasal dari bahasa kawi/ Jawa kuna.

(f) Afiksasi

Afiksasi membuat bahasa dalam karya sastra menjadi indah dengan adanya ater-ater ‘prefiks’, seselan ‘infiks’, panambang ‘akhiran’ dan imbuhan bebarengan ‘konfiks’. Afiksasi yang menimbulkan keindahan meliputi prefiks dan konfiks, yaitu prefiks {kaD} dan konfiks {(kaD) (an, ing, aken,


(38)

-commit to user

ipun)}; prefiks {ma-/maN-D}; prefiks {a-/aN-D atau ha-haN-D} dan sufiks {-i –aken}; prefiks {sa-D} dan sufiks ing}; prefiks {pa-paN-D} dan sufiks {-an, -a, -ing}; prefiks {pi-D} dan sufiks {-ipun, -ku}; prefiks {pra-D} dan sufiks {ing} Seselan ‘infiks’ {-in-, -um-} dan konfiks yang meliputi (1) {inD} dan sufiks {a, an, na}, (2) infiks {um{inD} dan sufiks {ing, ning, a, -an, -na}; panambang ‘sufiks’ {-ing, -nya, ira}(Edi Subroto, 1991:55).

Konfiks (prefiks dan sufiks) misalnya konfiks {ka-D-an}, {ka-} guna {+an}, kagunan ‘kelebihan’, {ka-} yuwana ‘selamat’ {+an}, kayuwanan ‘keselamatan’. Konfiks {ka-D-ing}, misalnya {ka-} sorot ‘sinar’ {-ing}, kasoroting, ‘terkena sinar’.

Infiks {-in-}, misalnya {-in-} surasa ‘terasa’, sinurasa ‘dirasakan’. { -in-} buka, ‘buka’, binuka ‘dibuka’. {-um-} tata ‘tata’, tumata ‘kelihatan’. { -um-} silih ‘ganti’, sumilih ‘berganti’. Nuansa keindahan terasa bila afiks yang fungsi dan maknanya sama dibandingkan, misalnya infiks {-in-} dengan {-di-} pada kata buka, buka dengan menggunakan infik {– in} ‘binuka’ terasa lebih indah dibandingkan dengan kata buka yang menggunakan infiks {-di-} ‘dibuka’ terkesan biasa saja.

5. Gaya Bahasa

Stilistika adalah ilmu yang meneliti gaya bahasa, akan tetapi pengertian mengenai gaya bahasa sangat beragam definisinya namun menunjukkan adanya persamaan, yakni gaya bahasa merupakan cara penyusunan bahasa guna mendapatkan sisi estetika.


(39)

commit to user

Menurut Gorys Keraf (2000:113) pengertian gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style itu sendiri merupakan kata Latin dari stilus yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Akan tetapi, pengertian mengenai gaya bahasa dapat dibatasi, yaitu gaya bahasa adalah cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa kepribadian penulis atau pemakai bahasa.

Dalam kaitannya dengan gaya bahasa terdapat istilah-istilah lain yang mungkin muncul, di antaranya: seni bahasa, estetika bahasa, kualitas bahasa, ragam bahasa, gejala bahasa, dan rasa bahasa. Dua istilah pertama memiliki pengertian yang hampir sama yaitu bahasa dalam kaitannya dengan ciri-ciri keindahan sehingga identik dengan gaya bahasa itu sendiri. Kualitas bahasa berkaitan dengan nilai penggunaan bahasa secara umum, termasuk ilmu pengetahuan. Ragam bahasa adalah jenis, genre (jenis sastra). Gejala bahasa dalam pengertian sempit menyangkut perubahan (penghilangan, pertukaran) dalam sebuah kata, sedangkan dalam pengertian luas menyangkut berbagai bentuk perubahan bahasa baik lisan maupun tulis, majas termasuk dalam gejala bahasa yang paling khas. Rasa bahasa adalah perasaan yang timbul sesudah mendengarkan, menggunakan suatu ragam bahasa tertentu. (Nyoman Kutha Ratna, 2009:4). Gaya bahasa memiliki tujuan utama yaitu memunculkan aspek keindahan. Dalam karya sastra gaya bahasa memegang peranan penting, karena merupakan unsur pokok yang digunakan untuk mencapai berbagai bentuk keindahan. Dalam hubungannya dengan gaya bahasa, karya sastra sebagai salah satu genre hasil peradaban manusia dan merupakan hasil aktivitas pengarang,


(40)

commit to user

maka menggunakan bahasa sebagai media utama. Jadi gaya bahasa yang dimaksudkan pada suatu karya sastra berkaitan erat dengan tujuan dan pribadi pengarang.

Harimurti Kridalaksana (2001:63) memberikan pengertian mengenai gaya bahasa atau style adalah (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.

Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Pandangan terhadap gaya bahasa dapat dibedakan dari jenisnya dibagi menjadi dua segi yakni segi non bahasa dan segi bahasa. Guna melihat gaya secara luas, maka pembagian berdasarkan masalah non bahasa tetap diperlukan, namun gaya bahasa dilihat dari aspek kebahasaan lebih diperlukan.

Jenis-jenis gaya bahasa menurut Gorys Keraf (2000:115-145) adalah (a) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata dibedakan menjadi gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan, (b) gaya bahasa berdasarkan nada terdiri dari gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah, (c) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat terdiri dari klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi, (d) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna terdiri dari gaya bahasa retoris meliputi aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asidenton, polisidenton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, hysteron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis, erotesis, silepsis dan zeugma, koreksio, hiperbol, paradoks, oksimoron; dan gaya bahasa kiasan meliputi metafora, simile, alegori, personifikasi, alusi,


(41)

commit to user

eponimi, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, inuendo, antifrasis dan pun atau paronomasia.

Semua ragam gaya bahasa di atas, tidak semuanya yang tercantum ada dalam PPJAS. Maka penelitian ini hanya mengacu dan menitik beratkan pada pemakaian gaya bahasa yang terdapat dalam PPJAS yaitu gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, (a) gaya bahasa retoris : anastrof, asidenton, pleonasme, erotesis, hiperbola, (b) gaya bahasa kiasan : simile, metafora, personifikasi, eponim. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna :

1. Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris termasuk dalam gaya bahasa yang maknanya harus diartikan menurut nilai lahirnya. Sehingga tidak akan timbul kesulitan dalam memahami kata, frasa atau kalimat apabila pilihan kata tepat. Gaya bahasa retoris sebagai berikut:

a. Anastrof yaitu gaya bahasa inversi atau pembalikan susunan kata-kata dalam sebuah kalimat, yang berbeda dari susunan biasa. Misalnya, mula lunga saka papan iki, nyawang solah bawane ora seneng ‘maka pergi dari tempat ini, melihat tingkah lakunya’. Dari contoh tersebut kalimat yang lebih tepat nyawang solah bawane ora seneng, mula lunga saka papan iki. b. Asindenton yaitu gaya bahasa yang padat dan mampat, berupa beberapa

kata yang sederajat berurutan atau kalusa-klausa yang sederajat, tidak dihubungkan dengan kata sambung. Biasanya dipisahkan dengan tanda koma. Misalnya, Sigra penganten ngadani adicara kacar-kucur, wujuding


(42)

commit to user

arta receh, beras, palawija, kacang kawak dhele kawak. ‘Segera pengantin mengadakan upacara kacar-kucur, wujudnya adalah uang koin, beras, palawija, biji kacang tua dan biji kedelai tua’. Dari contoh tersebut beberapa benda seperti uang koin, beras, palawija, kacang tua dan kedelai tua, tanpa menggunakan kata penghubung.

c. Pleonasme dan Tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan suatu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan dan acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya,

… manah risang penganten kekalih, kapangeston para pinisepuh,

kasepuhan, sesepuh, kadang miwah sentana. ‘… hati pengantin berdua, direstui para orang tua, tetua, orang yang dianggap tua, saudara.’. Kata pinisepuh, kasepuhan, dan sesepuh sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu orang atau pihak yang dianggap tua atau dituakan sehingga menjadi panutan bagi pihak lain. Begitu juga kadang bermakna sama dengan sentana yaitu saudara atau kerabat.

d. Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Misalnya, Apa rakyat kang kudu nanggung kabeh utang negara ‘apakah rakyat yang harus


(43)

commit to user

menanggung hutang negara’. Selain kata apa ‘apa’, bisa juga

menggunakan kata ‘piye’ bagaimana.

e. Hiperbol adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Misalnya, Penganten kakung pancen baguse kalangkung langkung, ngganthenge sundhul

wuwung… ‘Pengantin pria memang tampan sekali, ketampanannya

melampaui atap rumah…’. Diskripsi yang diutarakan berlebihan karena ketampanann pengantin pria bisa melebihi atap rumah.

2. Gaya Bahasa Kiasan

a. Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Tidak langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Misalnya, mlakune kaya macan luwe ‘berjalannya seperti harimau yang tidak bertenaga’ (pelan-pelan).

b. Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Menurut Aminudin, (1995:242) kiasan yang metaforik, yakni kiasan yang bertumpu pada adanya kesejajaran ciri citraan antara sesuatu yang dianalogikan. Misalnya, Risang penganten sageda ndhedher kasaenan,… ‘Kedua pengantin dapat menumbuhkan kebaikan,…’. Ndhedher kasaenan bukan berarti ‘menumbuhkan atau menanam kebaikan’ (menanam dalam arti yang sesungguhnya), akan tetapi berarti berbuat kebaikan.

c. Personifikasi atau Propopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak


(44)

commit to user

bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Misalnya, watu segara tansah sabar narima nalika ombak segara kerep nesu ‘batu karang selalu sabar setiap kali gelombang laut marah’.

d. Eponim adalah suatu gaya bahasa menggunakan nama seseorang yang namanya sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya, Raden Gatotkaca satriya ing Pringgondani kang gagah prakasa otot kawat balung wesi ora tedhas tapak paluning pandhe ‘Gatotkaca yang gagah perkasa berotot kawat bertulang besi tidak mempan segalanya’. Gatotkaca sebagai simbol kekuatan dan keperkasaan.

B. Kerangka Pikir

Kerangka pikir dalam penelitian merupakan penggambaran pemikiran peneliti dalam memahami masalah yang akan diteliti. Objek dari penelitian ini adalah Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta. Dari panyandra ini peneliti mengamati wujud pemakaian bahasanya. Berdasarkan landasan teori pemakaian bahasa dalam karya sastra yang berbentuk tulisan ini merupakan objek dari kajian stilistika. Wujud pemakaian bahasa tersebut kemudian ditelaah pada aspek bunyi bahasa, pemilihan kata atau diksi, dan gaya bahasa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema di bawah ini.


(45)

commit to user

Bagan : Skema Kerangka Pikir

BAB III PPJAS

Bahasa Jawa

Kajian Stilistika

Diksi - Reduplikasi - Persandian - Antonim - Sinonim

- Kata-kata Kawi - Afiksasi

Gaya bahasa Berdasarkan langsung tidaknya makna :

- Gaya bahasa retoris - Gaya bahasa

kiasan Aspek bunyi

- Purwakanthi swara ‘asonansi’ - Purwakanthi

sastra ‘aleterasi’ - Purwakanthi


(46)

commit to user

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara, alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan sampel data, teknik pengumpulan data dan analisis data (Edi Subroto, 1992:31). Dalam metode penelitian akan dijelaskan mengenai tujuh hal, yaitu (1) jenis penelitian, (2) sumber data dan data, (3) alat penelitian, (4) populasi dan sampel, (5) metode pengumpulan data, (6) metode hasil analisis data, (7) metode penyajian hasil analisis data.

A. Jenis Penelitian

Jenis dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga menghasilkan catatan berupa pemberian bahasa dan sifatnya seperti potret (Sudaryanto, 1992:62). Deskriptif adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi, maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti. Dalam penelitian ini data yang terkumpul berbentuk daftar kata-kata. Penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan data kebahasaan mengenai aspek bunyi, diksi


(47)

commit to user

angka.

B. Sumber Data dan Data

Sumber data merupakan bahan mentah data atau asal muasal data, bahan mentah data yang dalam bentuk konkret tampak sebagai segenap tuturan apapun yang dipilih oleh peneliti karena dipandang cukup mewakili, sumber data merupakan penghasil atau pencipta data (Sudaryanto, 1990:33). Sumber data tulis dalam penelitian ini berasal dari buku panyandra penganten Jawa adat Surakarta. Sumber data lisan dalam penelitian ini berasal dari informan yang berupa tuturan panyandra penganten Jawa adat Surakarta. Informan yang dimaksud adalah pambiwara dalam perkawinan Jawa adat Surakarta yaitu Bp. Suharsono yaitu pambiwara pada perkawinan di Sadaan pada tanggal 15 Juli 2010, Bp. Subari yaitu pambiwara pada perkawinan di Geneng pada tanggal 26 September 2010, serta Bp. Joko yaitu pambiwara pada perkawinan di Tegal Gede pada tanggal 25 Oktober 2010.

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto,1990:3). Data dalam penelitian ada dua yaitu data tulis dan data lisan. Data tulis berupa teks panyandra dalam buku panyandara penganten Jawa adat Surakarta, sedangkan data lisan berasal dari rekaman langsung pernikahan yang menggunakan adat Surakarta. Data dalam penelitian ini adalah kalimat panyandra penganten yang terdapat pada data tulis atau buku panyandra penganten Jawa adat Surakarta maupun kalimat panyandra penganten yang terdapat dalam rekaman pernikahan yang menggunakan adat Surakarta.


(48)

commit to user

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Disebut alat utama karena alat tersebut yang paling dominan dalam penelitian, sedangkan alat bantu berguna untuk membantu memperlancar jalanya penelitian. Alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, sedangkan alat bantu adalah alat tulis, buku catatan, computer, alat rekam, kertas HVS dan alat lainnya yang dapat membantu jalannya penelitian ini.

D. Populasi dan Sampel

Populasi menurut Sudaryanto adalah keseluruhan pemakaian bahasa tertentu, populasi merupakan tuturan yang dipilih sebagai sampel maupun tidak sebagai kesatuan ( Sudaryanto, 1993:36). Populasi dalam penelitian ini adalah semua kalimat panyandra yang terdapat pada buku panyandra penganten Jawa adat Surakarta serta kalimat yang terdapat dalam rekaman panyandra penganten Jawa adat Surakarta.

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian langsung (Sudaryanto, 1993:32). Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu pengambilan data secara selektif disesuaikan dengan kebutuhan (Sudaryanto, 1993:29). Sampel dalam penelitian ini adalah kalimat panyandra penganten Jawa adat Surakarta yang mengandung aspek-aspek bunyi, diksi dan gaya bahasa. Adapun sampel data tulis yang dimaksud:

1. Buku ‘Tuntunan Kagem Para Pranata Cara Tuwin Pamedar Sabda„ karangan


(49)

commit to user

Respationo, terbit tahun 1994, penerbit Dahara Prize, Semarang.

3. Buku „Sekar Semawur’ karangan S. Rekso Panuntun, terbit tahun 2002, penerbit Cendrawasih, Surakarta.

4. Buku „Perkawinan Adat Jawa Lengkap’ karangan Andjar Any, terbit tahun 1985, penerbit P.T Pabelan, Surakarta.

Sampel data lisan :

1. Panyandra pada resepsi pernikahan anak dari Bapak-Ibu Sawal Parto Wirejo-Tukinem, di Sadaan Kidul Rt 03, Rw 03, Gumpang, Kartasura. Pada tanggal 15 Juli 2010.

2. Panyandra pada resepsi pernikahan anak dari Bapak-Ibu Panut karto Suwito-Sumirah, di Sigran Kidul Rt 01, Rw 06, Geneng, Gatak, Sukoharjo. Pada tanggal 26 September 2010.

3. Panyandra pada resepsi pernikahan anak dari Bapak-Ibu Dali Hadiwiyono-Murtini, di Tegal Gede Rt 01, Rw 05, Mayang, Gatak, Sukoharjo. Pada tanggal 25 Oktober 2010.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2001:136). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Metode simak atau penyimakan adalah metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1988:2) adapun teknik dasar yang dipakai dalam penelitian ini ada dua, yang pertama adalah teknik dasar teknik pustaka dengan teknik


(50)

commit to user

berupa teknik sadap serta teknik lanjutan adalah teknik rekam.

Teknik pustaka adalah peneliti berperan sebagai intrumen kunci melakukan penyimakan secara cermat, terarah dan teliti terhadap sumber data utama dalam rangka memperoleh data yang dibutuhkan. Hasil penyimakan kemudian dicatat sebagai sumber data (Edi Subroto, 1992:42). Teknik tersebut digunakan penulis untuk menggumpulkan data tulis.

Teknik rekam merupakan teknik pemerolehan data dengan cara merekam bahasa lisan yang bersifat spontan dengan menggunakan alat perekam (Edi Subroto, 1992:36). Kegunaan teknik ini untuk memperoleh data lisan yaitu pelaksanaan resepsi pernikahan pada tanggal 15 Juli 2010, 26 September 2010, dan 25 Oktober 2010.

F. Metode Analisis Data

Analisis merupakan upaya peneliti menangani langsung masalah yang terkandung pada data (Sudaryanto, 1992:6). Analisis data bertujuan untuk mengetahui masalah-masalah yang berhubungan dengan penggunaan bahasa dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta. Penulis menganalisis data menggunakan metode distribusional dan metode padan.

1. Metode Distribusional

Metode distribusional yaitu metode analisis data yang alat penentunya unsur dari bahasa itu sendiri (Sudaryanto, 1992:15). Teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung (BUL). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur dan unsur-unsur yang bersangkutan


(51)

commit to user

(Sudaryanto, 1992:13). Adapun teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik interpretasi. Sesuai dengan hakikatnya isi interpretasi adalah penafsiran. Interpretasi adalah mengguraikan segala sesuatu yang ada dibalik data yang ada (Nyoman Kutha Ratna, 2010:306). Teknik tersebut digunakan untuk menganalisis rima dan diksi dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta.

Adapun contoh penerapannya sebagai berikut.

(3) Ana ganda arum angambar angebaki jroning sasana pahargyan.

‘Ada aroma harum menyebar memenuhi tempat resepsi.’

Pada data (3) terdapat asonansi berupa perulangan bunyi vocal a yang berada pada awal kata yaitu kata arum ‘harum’, angambar ‘menyebar’ dan angebaki ‘memenuhi’. Perulangan vocal a berulang secara berurutan.

(4) Satuhu sampun kembar tresnane, kembar kekarepe, kembar cipta, rasa,

karsane.

‘Benar-benar sudah sama kasih sayangnya, sama keinginannya, sama cipta, rasa serta karsanya.’

Pada data (4) terdapat alisterasi berupa perulangan bunyi konsonan k yang berada pada awal kata yaitu kata kembar ‘sama’, kekarepe ‘keingginannya’ serta kata karsane ‘karsanya’. Selain itu terdapat purwakanthi lumaksita berupa perulangan kata kembar ‘sama’ secara berurutan dalam satu kalimat.

(5) Kawistara panganten kekalih wus jajar sumandhing aneng luhuring

pasangan linambaran roning pisang raja, pasemone nyata lamun dhaupira

wus pinasthi dadi pasanganira, kang agung kinudang-kudang bangkit


(52)

commit to user

pasangan dilapisi daun pisang raja, dengan kata lain nyata kalau pertemuannya sudah pasti menjadi pasangannya, yang besar ditimang-timang supaya bangkit mandiri pada dirinya sendiri, ditambah pada kewibawaan, seperti sejajar Ratu utama’

Pada data (5) tersebut terdapat banyak pilihan kata, antara lain:

- Reduplikasi : - Dwipurwa pada kata : kekalih ‘keduanya’ ka + kalih. - Tembung garba pada kata : aneng ‘di’ ana + ing dan

mandireng ‘mandiri pada’ mandiri + ing - Sinonim pada kata jajar = sumandhing ‘berjajar’.

- Kosakata kawi pada kata kawistara ‘terlihat jelas’, narendratama ‘ratu utama’.

- Struktur morfologi berupa afiksasi yaitu infiks {-in-} pada kata linambaran ‘dilapisi’, winimbuh ‘menambah’, pinasthi ‘dipastikan’; sufiks {-ira} pada kata dhaupira ‘bertemunya’, pasanganira ‘pasangannya’; sufiks {-ing} pada kata jejering ‘sejajar’, luhuring ‘puncaknya’, roning

‘daun’ konfiks {ka-an} pada kata kawibawan‘kewibawaan’. (4) Metode Padan

Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya diluar, terlepas dan tidak menjadi bagian yang bersangkutan (Sudaryanto, 1992:13). Teknik yang digunakan dalam metode padan adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP). Adapun alat yang digunakan adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti. Daya pilah yang digunakan adalah daya pilah referensial karena yang diteliti adalah buku, daya pilah ortografis karena berupa


(53)

tulisan-commit to user

maksud. Penerapan metode padan adalah sebagai berikut.

(6) Weweging pranaja singset kapathet ing ageman, pindha cengkir gadhing

piningit, yayah anjebol-njebolna mekak madya ingkang minangka

setubandaning sarira.

‘Payudara ketat tertahan oleh busana, sehingga terlihat keluar ibarat buah kelapa gading yang masih kecil/ kuning, laksana akan merobek robek kutang sebagai penutup badan.’

Pada data (6) terdapat gaya bahasa simile yang ditandai dengan kata pindha ‘ibarat’ pada pindha cengkir gadhing piningit ‘ibarat buah kelapa gading yang masih kecil dikarantina’ dan yayah ‘laksana’ pada kalimat yayah anjebol-njebolna mekak madya ‘laksana akan merobek robek kutang’. Selain itu terdapat juga gaya bahasa hiperbola pada anjebol-njebolna mekak madya ingkang minangka setubandaning sarira ‘merobek robek kutang sebagai penutup badan’, penggunaan bahasa dianggap berlebih-lebihan karena dijelaskan bahwa payudara seakan-akan merobek-robek kutang. Selain itu penggunaan gaya bahasa seperti di atas akan menimbulkan suasana humor dan mengundang tawa pendengar.

G. Metode Penyajian Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal dan metode informal. Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan secara informal yaitu metode penyajian hasil analisis data yang menggunakan kata-kata biasa atau sederhana agar mudah dipahami. Analisis metode informal dalam penelitian ini agar mempermudah pemahaman terhadap setiap hasil penelitian. Selain itu, juga


(54)

commit to user


(55)

commit to user

HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Deskripsi hasil analisis pada bab IV ini merupakan inti dari pengkajian PPJAS (Suatu Tinjauan Stilistika), yang meliputi (i) aspek-aspek bunyi, (ii) pilihan kata dan (iii) kajian gaya bahasa.

A. Aspek-aspek Bunyi

Dalam PPJAS bahasa yang digunakan adalah berbeda dengan bahasa sehari-hari. Hal itu dilakukan oleh seorang pambiwara untuk menimbulkan nuansa ekspresi estetis, rasa indah agar lebih menarik dibaca dan didengar. Bahasa tersebut sering disebut basa rinengga ‘bahasa indah’. PPJAS banyak menggunakan purwakanthi ‘pengulangan bunyi’. Dalam PPJAS ditemui ada tiga kekhususan purwakanthi ‘pengulangan bunyi’, yaitu asonansi atau purwakathi swara ‘pengulangan bunyi vokal’, purwakanthi sastra ‘pengulangan bunyi konsonan’ dan purwakanthi lumaksita ‘pengulangan kata atau suku kata yang telah digunakan pada bagian sebelumnya’.

1. Purwakanthi swara‘asonansi’

Jumlah vokal bahasa Jawa ada tujuh vokal, dengan perlambangan yang dipakai adalah a, i, u, e, ê, o, dan O. Sandhangan swara atau aksara swara ‘vokal’ ada enam yaitu legena /a/, wulu (…i /i/ ), suku (…u /u/), taling ([… /é/),


(56)

commit to user

berikut.

(01) Panganten kakung angagem makutha awarna kresna…. (TKPP/05/95)

‘ Pengantin pria menggenakan penutup kepala berwarna hitam….’ Pada data (07) merupakan bentuk pengulangan bunyi vokal /a/. Perulangan bunyi vokal /a/ pada suku kata awal dan suku kata tengah pada kata panganten

‘pengantin’, angagem ‘menggenakan’, serta awarna ‘berwarna’. Sedangkan perulangan vokal a yang terdapat pada suku kata awal yaitu pada kata kakung

‘pria’ dan makutha ‘penutup kepala’.

(02) Kumenyar mawa praba, kentar-kentar winar ganda wida, …. (RTG/10/2)

‘Bersinar dengan sorotan, bertebaran aroma wewangian, ….’ Pada data (08) merupakan bentuk pengulangan bunyi vokal /O/. Perulangan bunyi pada suku kata awal dan suku kata akhir terdapat pada kata mawa ‘membawa’, praba ‘sorot’ serta ganda ‘aroma’. Sedangkan perulangan yang terjadi pada suku kata akhir saja terdapat pada kata wida ‘wewangian’.

(03) Sumirat ambabar teja maya, saya dangu saya cetha, . (TKPP/05/84)

‘Terlihat banyak sorotan samar, semakin lama semakin jelas, ….’ (04) …, lulus raharja, sirna saliring rubeda. (TKPP/05/89)

‘…, berakhir dengan selamat, tanpa halangan.’

(05) …, saksana ambuka osiking driya denira sumengka pangawak braja, …. (TKPP/05/91)

‘…, segera menggetahui gerak-gerik hatinya akan menambah


(57)

commit to user

/O/. Perulangan bunyi pada suku kata akhir terdapat pada kata teja ‘sorotan’,

maya ‘samar’, saya ‘semakin’, cetha ‘jelas’, raharja ‘selamat’, sirna ‘hilang’,

rubeda ‘halangan’, saksana ‘segera’, ambuka ‘memmbuka/ mengetahui’, driya

‘hati’, denira ‘dirinya’, sumengka ‘berani’, braja ‘senjata’.

(06) …, rinasa saya karasa. (TKPP/05/93) ‘…, dirasakan semakin terasa.’

Pada data (12) merupakan bentuk pengulangan bunyi vokal /O/. Perulangan bunyi pada suku kata tengah dan suku kata akhir terdapat pada kata rinasa ‘dirasakan’, saya ‘semakin’, karasa ‘terasa’.

(07) …, linambaran weninging penggalih miwah menebing kalbu, …. (TKPP/05/88)

‘…, dilapisi bersihnya pikiran serta tenangnya hati, ….’

(08) …, sulistya ing warni, mumpuni ing kardi, dhasar merak ati, atur panembahe ing Gusti, angrungkebi jejering wanita jati, . (TKPP/05/96)

‘…, cantik sekali, menguasai tugasnya, sungguh menarik hati, sujudnya kepada Tuhan, mengetahui kodratnya sebagai wanita sesungguhnya, ....’

Pada data (13) dan (14) merupakan bentuk pengulangan bunyi vokal /i/. Perulangan bunyi vokal /i/ terdapat pada suku kata akhir pada kata weninging

‘bersihnya’, penggalih ‘pikiran’, menebing ‘tenangnya’, warni‘beraneka macam’, mumpuni ‘menguasai’, kardi ‘tugas’, ati ‘hati’, Gusti ‘Tuhan’, angrungkebi


(58)

commit to user

(TKPP/05/95)

‘… gambar di kening berwarna hitam, hitam, pekat, pekat, pekat sekali dan pantas.’

Pada data (15) merupakan bentuk pengulangan bunyi vokal /e/. Perulangan bunyi vokal /e/ terdapat pada suku kata akhir yaitu kata pepaes ‘gambar di kening’. Pada suku kata tengah pada kata kresna ‘hitam’ dan ireng ‘hitam’, dan pada suku kata awal pada kata meles ‘hitam pekat’ dan menges ‘hitam pekat’.

(10) …, asri dinulu kadi wredhu lumaku ing wanci dalu. (TKPP/05/96) ‘ …enak dilihat seperti berjalan pelan diwaktu malam.’

Pada data (16) merupakan bentuk pengulangan bunyi vokal /u/. Perulangan bunyi vokal /u/ terdapat pada suku kata akhir yaitu pada kata dinulu

‘dilihat’, wredu ‘pelan’, lumaku ‘berjalan’, dalu ‘malam’.

(11) … ana mudha tumaruna lumaksana jajar kalih …. (TKPP/05/94) ‘… ada pemuda berjalan bersebelahan ….’

Pada data (17) merupakan bentuk pengulangan bunyi vokal /u/. Perulangan bunyi vokal /u/ terdapat pada suku kata awal yaitu pada kata mudha

‘muda’, tumaruna ‘muda’, lumaksana ‘berjalan’. 2. Purwakanthi Sastra‘Aliterasi’

Bunyi konsonan atau kakofoni /k, p, t, s, f/ merupakan bunyi ringan, kecil dan tinggi. Bunyi konsonan /b, d, g, z, v, w/ adalah bunyi berat. Kombinasi bunyi-bunyi vokal /a, i, u, è, o, ê/, bunyi-bunyi-bunyi-bunyi voiced ‘konsonan bersuara’ /b, d, g, j/ dan bunyi liquida /r, l/ bunyi aspira /s, h/ dan bunyi sengau /m, n, ng, ny/ menimbulkan bunyi merdu dan berirama.


(59)

commit to user

panyandra. Hal tersebut dapat diperhatikan dalam data di bawah ini:

(12) Katon kambang-kambang kumambanging sekar triwarna kang aneng jro bokor kencana, .… (TKPP/05/88)

‘Terlihat mengapung mengapungnya bunga tiga warna yang berada di dalam wadah emas, ….’

(13) kadi kelem karoban ing memanis, .… (TKPP/05/91) ‘… seperti tenggelam di keindahan,….’

(14) kasarasan, kawasisan, katrampilan, kagunan, miwah kasusilan satatakramanipun, …. (TKPP/05/)

‘… kesehatan, kepintaran, ketrampilan, kepandaian, serta kesopan santunan, .…’

(15) Obah datan krasa kapenak, …. (TKPP/05/93)

‘Gerak tidak terasa enak, ….’

Pada data (18) sampai (21) merupakan bentuk pengulangan bunyi konsonan k. Perulangan bunyi konsonan k terdapat pada awal kata yaitu pada kata

katon ‘terlihat’, kambang-kambang ‘mengapung’, kumambanging ‘mengapungnya’,kang ‘yang’, kencana ‘emas’, kadi ‘seperti’, kelem ‘tenggelam’,

karoban ‘tenggelam’, kasarasan ‘kesehatan’, kawasisan ‘kepinteran’,

katrampilan ‘ketrampilan’, kagunan ‘kepandaian’, kasusilan ‘kesopanan’, krasa ‘terasa’, kapenak ‘enak’.

(16) …tatag tangguh tanggon, …. (TKPP/05/85) ‘…tanpa ragu kuat dan bisa diandalkan, .…’


(60)

commit to user

.…’

Pada data (22) sampai (23) merupakan bentuk pengulangan bunyi konsonan t. Perulangan bunyi konsonan t terdapat pada awal kata yaitu pada kata

tatag ‘tanpa ragu’, tangguh ‘kuat’, tanggon ‘bisa diandalkan’, tinata ‘dipersiapkan’,titi ‘serba hati-hati’,tataning ‘waktu’, wigati ‘penting’.

(18) Kadya asung pepuji pangastuti mring penganten kekalih . (TKPP/05/86)

‘Seperti memberikan doa restu kepada kedua pengantin .…’

Pada data (24) merupakan bentuk pengulangan bunyi konsonan /p/. Perulangan bunyi konsonan /p/ terdapat pada awal kata yaitu pada kata pepuji

‘doa’,pangastuti ‘restu’, dan penganten ‘pengantin’.

(19) … napak tilas sang sujana sarjana…. (TKPP/05/98) ‘…meniru orang yang jujur pintar….’

(20) Kautamening sang subamanggala saya ngalela, .… (TKPP/05/94) ‘Kelebihan pemimpin jalannya kirab semakin terlihat jelas, .…’ Pada data (25) sampai (26) merupakan bentuk pengulangan bunyi konsonan /s/. Perulangan bunyi konsonan s terdapat pada awal kata yaitu pada kata sang ‘orang’, sujana ‘jujur’, sarjana ‘pintar’, subamanggala ‘pemimpin jalannya kirab’ dansaya ‘semakin’.

Pada data (18) sampai (26) perulangan konsonan k, t, p, s merupakan bunyi ringan, kecil dan tinggi.

(21) Pralampita kembar tresnane, kembar bibit, bebet, bobote. (TKPP/05/96)


(1)

commit to user

dijelaskan bahwa irama gamelan seperti doa-doa untuk pengantin. Data (193) dijelaskan bahwa pakaian pengantin bercahaya seperti bintang.

(188) …mrabu ateges pindha jejering narendra kebekan ing kawibawan luhur, .(TKPP/05/85)

‘… menyerupai ratu artinya mirip ratu yang penuh kewibawaan, ….’

Simile juga ditandai dengan kata pembanding yaitu kata pindha ‘mirip’. Dalam data (194) untuk mengibaratkan pakaian yang dikenakan pengantin mirip dengan pakaiannya ratu yang apabila dikenakan akan penuh dengan wibawa.

(189) … Patah Temanten ingkang prasasat bathari Waruju…. (UMJGS/94/163)

‘… anak kecil pendamping pengantin bagai dewi Waruju….’

Kata prasasat‘bagai’ dalam data (195) merupakan bahasa pembanding

dalam bahasa figuratif simile. Dalam data di atas bahwa

keadaan/kecantikan anak kecil pendamping pengantin dibandingkan dengan keadaan/kecantikan dewi Waruju.

b. Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Kiasan yang metaforik, yakni kiasan yang bertumpu pada adanya kesejajaran ciri citraan antara analogon dengan sesuatu yang dianalogikan. Metafora bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding dan


(2)

commit to user

metafora melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain yang sesungguhnya tidak sama. Metafora adalah salah satu wujud kreatif bahasa di dalam penerapan makna. Artinya, berdasarkan kata-kata yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau kemiripan referen, pemakai bahasa dapat memberi lambang baru pada referen tertentu. Metafora dapat memberi kesegaran dalam berbahasa, menghidupkan sesuatu yang sebenarnya tak bernyawa, menjauhkan kebosanan atau ketunggalnadaan dan mengaktualkan sesuatu yang sebenarnya lumpuh. Dalam kasusastran Jawa, metafora hampir sama dengan gaya bahasa entar. Entar berarti pinjaman, bahasa entar berarti bahasa pinjaman, yaitu bahas yang tidak bisa diartikan secara utuh. Dengan kata lain bahasa entar memiliki arti kiasan. Berdasarkan beberapa uraian diatas metafora merupakan bahasa kiasan yang mirip bahasa perbandingan dengan menggunakan referen tertentu atau perbandingan yang dinyatakan secara eksplisit. Bentuk metafora dalam PPJAS dapat diperhatikan dalam data berikut.

(190) Lah punika ingkang nembe dadya raja sadina.

(PAJL/85/81)

‘Ya itu yang baru menjadi raja sehari.’

Metafora dalam data (196) raja sadina ‘raja sehari’ untuk menggambarkan keagungan pengantin yang sedang melaksanakan upacara perkawinan, karena dalam sehari itu mereka berdandan ala seorang raja dan permaisuri serta diperlakukan layaknya raja atau ratu.

(191) Enget marang rama ingkang wus sembada angukir jiwa ragane .(TKPP/05/90)


(3)

commit to user

‘Ingat kepada bapak yang telah mengukir jiwa dan raga.…’ Data (197) mengandung metafora pada frasa angukir jiwa ragane ‘mengukir jiwa raganya’, frasa tersebut bukanlah arti yang sebenarnya, akan tetapi berarti memberikan ajaran dan didikan sehingga mampu membentuk kepribadian seseorang.

c. Personifikasi

Kiasan ini mempersamakan benda mati dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi merupakan gambaran ide-ide abstrak yang diperlukan seperti manusia atau dibantu dengan atribut-atribut persona. Dalam PPJAS personifikasi dapat diperhatikan dalam data.

(192) …, mangambar-gambar gandanya wangi ngebaki jroning sasana pahargayan, .(TKPP/05/83)

‘…, menyebar-nyebar aroma harum memenuhi ruangan perta, .…’

Pada data (198) dapat dikatakan mengandung gaya bahasa personifikasi karena dijelaskan bahwa aroma harum yang tidak kasat mata/abstrak, seakan-akan memenuhi ruangan pesta, dan diketahui bahwa yang dapat melakukan kegiatan memenuhi suatu tempat adalah manusia. d. Eponim

Eponim atau pepindhan adalah suatu gaya bahasa menggunakan seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat. Di bawah ini merupakan data penggunaan gaya bahasa eponim.


(4)

commit to user

(193) Lamun cinandra sirna sipating janma pindha Sang Ywang Bathara Kamajaya miwah Bathari Ratih….(SS/02/14) ‘Jika diumpamakan hilang sifat kemanusiaan seperti Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih….’

Pada data (199) nama Bhatara Kamajaya ‘Dewa Kamajaya’ dan

Bathara Ratih ‘Dewi Ratih’ terkenal dengan ketampanan dan

kecantikannya, sehingga digunakan untuk menunjukan sifat pengantin berdua yang juga terlihat tampan dan cantik.

(194) Dene subamanggala yen cinandra kadi Ki Suwandageni.... (SS/02/22)

‘Sedangkan pemimpin jalannya kirab diumpamakan seperti Suwandageni….’

Data (200) Subamanggala ‘pemimpin jalannya kirab’ diibaratkan seperti Suwandageni, yaitu seorang tokoh yang memiliki kesaktian. Oleh karena itu, pemimpin kirab bisa dipercaya sebagai seorang penunjuk jalan kirab pengantin. Dengan kesaktian yang dimiliki maka dipercaya dapat melindungi pengantin dari ancaman yang berada di depan.


(5)

commit to user

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, penelitian ini dapat ditemukan tiga kesimpulan sejalan dengan permasalahan dan tujuan, sebagai berikut.

1. Pemanfaatan atau pemilihan bunyi-bunyi bahasa yang dipergunakan dalam PPJAS ditemukan adanya purwakanthi ‘persajakan’, yaitu purwakanthi swara ‘asonansi’ berupa vokal /a/, /O/, /i/, è/, /u/ yang paling produktif dalam bait PPJAS. Purwakanthi sastra ‘aliterasi’ yang produktif digunakan dalam PPJAS adalah bunyi konsonan /k/, /t/, /p/, /s/, /g/, /d/, /w/, /j/, /r/, /l/. Purwakanthi lumaksita yaitu pengulangan bunyi berdasarkan persamaan kata, suku kata akhir dengan suku kata awal yang bertuturan atau persamaan huruf akhir dengan huruf awal yang berurutan dalam suatu PPJAS untuk memberi kesan estetis. Bentuk pengulangan yang terdapat dalam PPJAS yaitu perulangan kata, perulangan suku kata, perulangan frasa.

2. Pemilihan dan pemakaian kosakata arkhais dalam PPJAS untuk

menciptakan dan membangun bahasa yang indah dan estetis, sangat produktif yaitu digunakannya (1) tembung rangkep yang meliputi dwipurwa, dwilingga, dan dwilingga salin swara; (2) tembung garba ‘sandi’ yang berfungsi untuk menyingkat bunyi agar terkesan singkat dan lebih indah; (3) antonim agar lebih indah; (4) sinonim untuk memperkaya


(6)

commit to user

kosakata agar tidak monoton; (5) kata-kata Kawi; (6) Afiksasi Arkhais sebagai penambah unsur keindahan karya sastra.

3. Pemakaian gaya bahasa yang terdapat dalam PPJAS adalah gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yaitu (a). gaya bahasa retoris : anastrof, asidenton, pleonasme, erotesis, hiperbola, (b). gaya bahasa kiasan : simile, metafora, personifikasi, eponim. Pemakaian gaya bahasa memberikan kesan yang lebih indah dan estetis.

B. Saran

Tinjauan stilistika terhadap Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta dalam skripsi ini merupakan penelitian tahap awal dan belum dikaji secara menyeluruh. Untuk itu dalam rangka pengembangan dan peningkatan penelitian bahasa Jawa dalam lingkup karya sastra Jawa perlu diadakan penelitian lanjutan secara komprehensif.

Penelitian ini hanya membahas wacana Panyandra adat Surakarta yang berada di beberapa buku dan sebagian panyandra yang masih digunakan dalam masyarakatditinjau dari segi stilistika. Oleh karena itu, diharapkan perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan pendekatan wacana, semantik, sintaksis dan dengan pendekatan linguistik yang lain.