Pemanfaatan bola sebagai alat peraga untuk membantu siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) memahami konsep perkalian : studi kasus pada siswa kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta.

(1)

ABSTRAK

Dennis Meilky La’lang. 2016. Pemanfaatan Bola Sebagai Alat Peraga Untuk Membantu Siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) Memahami Konsep Perkalian. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika. Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui hasil belajar yang dicapai siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan bola sebagai alat peraga pada materi perkalian, (2) mengetahui pengaruh penggunaan bola sebagai alat peraga dalam pembelajaran matematika terhadap pemahaman siswa SLB A pada materi perkalian.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Subjek penelitian adalah 2 orang siswa kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Agustus dan September 2016. Data diperoleh dari wawancara peneliti dengan siswa dan hasil pre-test dan post-test. Data hasil wawancara dianalisis secara kualitatif, sedangkan data hasil belajar siswa dianalisis secara kuantitatif untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang telah dirumuskan.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: (1) hasil belajar siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta dalam pembelajaran yang menggunakan alat peraga berupa bola pada materi perkalian meningkat, dimana secara keseluruhan rata-rata nilai hasil belajar siswa meningkat dari 35% dalam kriteria rendah menjadi 85% dalam kriteria sangat tinggi, (2) pemahaman siswa mengenai konsep perkalian sangat baik, dimana siswa menjadi paham mengenai konsep perkalian sebagai penjumlahan berulang. Alat peraga yang digunakan dalam penelitian ini sangat membantu siswa dalam memahami konsep perkalian karena membuat materi yang abstrak menjadi konkret sehingga mudah dipahami siswa.

Kata Kunci: alat peraga, tunanetra, konsep perkalian, hasil belajar, pre-test, post-test, pemahaman.


(2)

ABSTRACT

Dennis Meilky La’lang. 2016. The utilization of ball as learning media to help the students of Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) in comprehending the concept of multiplication. Undergraduate Thesis. Mathematics Education Study Program. Department of Mathematics Education and Science. Faculty of Teachers Training and Education. Sanata Dharma University, Yogyakarta. This research aims to (1) investigate the learning results of the students in second grade of SLB A Yaketunis Yogyakarta using ball as the learning media in teaching multiplication, (2) investigate the effect of ball utilization as a learning media on teaching multiplication for students of SLB A.

This research is a qualitative descriptive research. The subject of this research is two students of second grade in SLB A Yaketunis Yogyakarta. The data gathering was conducted from August to September 2016. The data were taken from an interview result with the students and from pre-test and post-test results. The data from the interview result was scrutinized qualitatively, while pre-test and post-pre-test results were scrutinized quantitatively in order to solve the problem formulation.

This research shows that (1) the result of students in second grade of SLB A Yaketunis Yogyakarta in learning multiplication using ball as a media increases from 35% as low criterion up to 85% as high criterion, (2) Students’ comprehension of multiplication is excellent, in which the students are able to comprehend that multiplication is repeated addition. This learning media makes the abstract concept of multiplication become more concrete so that the students can comprehend the concept with less difficulty.

Keywords: learning media, vision loss, multiplication concept, learning result, pre- test, post-test, comprehension.


(3)

PEMANFAATAN BOLA SEBAGAI ALAT PERAGA UNTUK

MEMBANTU SISWA SEKOLAH LUAR BIASA TUNANETRA (SLB A) MEMAHAMI KONSEP PERKALIAN

(Studi Kasus Pada Siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

Disusun Oleh:

Dennis Meilky La’lang NIM : 121414117

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


(4)

i

PEMANFAATAN BOLA SEBAGAI ALAT PERAGA UNTUK

MEMBANTU SISWA SEKOLAH LUAR BIASA TUNANETRA (SLB A) MEMAHAMI KONSEP PERKALIAN

(Studi Kasus Pada Siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

Disusun Oleh:

Dennis Meilky La’lang NIM : 121414117

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu (Amsal 1 : 8)

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Tuhan Yesus

Terima kasih untuk anugerahMu yang saya rasakan hingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk setia dan

pertolonganMU

Be ja i La’la g, S.E., Alm. Sabina Patandean & Helena, S.Pd.

Terima kasih kepada orang tua saya yang sudah memberi dukungan kepada saya, terima kasih untuk semua doa yang sudah dipanjatkan

untuk anakmu ini.

Aprya to Mi hael La’la g, S.Pd., De y Novita La’la g, S.Si., da Rei hard Oka P iel La’la g

Terima kasih saudara-saudaraku untuk dukungan dan semangat yang diberikan.

Teman-Teman Terkasih

Dedy, Anton, Riris, Winda, Grace, Edith, Yopek, Arum, Nita Terima kasih teman-teman untuk semangat yang selalu kalian


(8)

(9)

(10)

vii ABSTRAK

Dennis Meilky La’lang. 2016. Pemanfaatan Bola Sebagai Alat Peraga Untuk Membantu Siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) Memahami Konsep Perkalian. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika. Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui hasil belajar yang dicapai siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan bola sebagai alat peraga pada materi perkalian, (2) mengetahui pengaruh penggunaan bola sebagai alat peraga dalam pembelajaran matematika terhadap pemahaman siswa SLB A pada materi perkalian.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Subjek penelitian adalah 2 orang siswa kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Agustus dan September 2016. Data diperoleh dari wawancara peneliti dengan siswa dan hasil pre-test dan post-test. Data hasil wawancara dianalisis secara kualitatif, sedangkan data hasil belajar siswa dianalisis secara kuantitatif untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang telah dirumuskan.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: (1) hasil belajar siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta dalam pembelajaran yang menggunakan alat peraga berupa bola pada materi perkalian meningkat, dimana secara keseluruhan rata-rata nilai hasil belajar siswa meningkat dari 35% dalam kriteria rendah menjadi 85% dalam kriteria sangat tinggi, (2) pemahaman siswa mengenai konsep perkalian sangat baik, dimana siswa menjadi paham mengenai konsep perkalian sebagai penjumlahan berulang. Alat peraga yang digunakan dalam penelitian ini sangat membantu siswa dalam memahami konsep perkalian karena membuat materi yang abstrak menjadi konkret sehingga mudah dipahami siswa.

Kata Kunci: alat peraga, tunanetra, konsep perkalian, hasil belajar, pre-test, post-test, pemahaman.


(11)

ABSTRACT

Dennis Meilky La’lang. 2016. The utilization of ball as learning media to help the students of Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) in comprehending the concept of multiplication. Undergraduate Thesis. Mathematics Education Study Program. Department of Mathematics Education and Science. Faculty of Teachers Training and Education. Sanata Dharma University, Yogyakarta. This research aims to (1) investigate the learning results of the students in second grade of SLB A Yaketunis Yogyakarta using ball as the learning media in teaching multiplication, (2) investigate the effect of ball utilization as a learning media on teaching multiplication for students of SLB A.

This research is a qualitative descriptive research. The subject of this research is two students of second grade in SLB A Yaketunis Yogyakarta. The data gathering was conducted from August to September 2016. The data were taken from an interview result with the students and from pre-test and post-test results. The data from the interview result was scrutinized qualitatively, while pre-test and post-pre-test results were scrutinized quantitatively in order to solve the problem formulation.

This research shows that (1) the result of students in second grade of SLB A Yaketunis Yogyakarta in learning multiplication using ball as a media increases from 35% as low criterion up to 85% as high criterion, (2) Students’ comprehension of multiplication is excellent, in which the students are able to comprehend that multiplication is repeated addition. This learning media makes the abstract concept of multiplication become more concrete so that the students can comprehend the concept with less difficulty.

Keywords: learning media, vision loss, multiplication concept, learning result, pre- test, post-test, comprehension.


(12)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis haturkan pada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemanfaatan Bola Sebagai Alat Peraga Untuk Membantu Siswa Sekolah Luar biasa Tunanetra (SLB A) Memahami Konsep Perkalian” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak pengalaman, hambatan dan rintangan. Namun berkat kuasa Tuhan dan berkat bantuan, saran, bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Dr. Hongki Julie, M.Si. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Prof. Dr. St. Suwarsono selaku dosen pendamping akademik yang telah banyak membimbing dan memberikan nasihat kepada penulis.

4. Bapak Dr. Yansen Marpaung, selaku dosen pembimbing skripsi atas waktu yang diberikan untuk membimbing dengan penuh perhatian dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Haniek Sri Pratini, M.Pd. dan Ibu Niluh Sulistyani, M.Pd. selaku dosen penguji yang telah memberi banyak saran sehingga skripsi ini bisa lebih baik.

6. Ibu Ambarsih, S.Pd., selaku Kepala SLB A Yaketunis Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian.

7. Ibu Sofia Patriyati Humardani, S.Pd., Ibu Siti Syamsidariyah, S.Pd., dan Bapak Warno, S.Pd. selaku guru SLB A Yaketunis Yogyakarta yang telah membantu serta memberikan bimbingan dan arahan positif bagi perkembangan dalam melaksanakan penelitian.


(13)

8. Siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta, Anas dan Layla yang telah membantu peneliti melaksanakan penelitian dan telah aktif selama pembelajaran.

9. Seluruh dosen Pendidikan Matematika yang telah memberikan pengalaman, pengetahuan dan arahan selama penulis menuntut ilmu di Universitas Sanata Dharma.

10. Seluruh staf sekretariat JPMIPA yang telah membantu segala administratif selama penulis berkuliah di Universitas Sanata Dharma.

11. Keluarga yang senantiasa mendoakan dan mendukung, Papa, Alm. Mama, Tante Lena, Ribek, Bolong, Bude sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

12. Sahabat-sahabat seperjuangan Grace, Riris, Edith, Winda, Dedy, Anton, dan Yopek yang selalu mendukung, menemani dan memberi saran selama penulis menyelesaikan skripsi.

13. Sahabat terkasih Febby Winda Pelupessy yang tidak henti-hentinya memberikan semangat, motivasi, dan masukan yang sangat berarti kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini

14. Teman-teman terbaik Giri Iriani (Mendes) dan Maria Yunita (Combro) yang selalu mendukung, memberi dukungan dan semangat selama penulis menyelesaikan skripsi.

15. Teman-teman Pendidikan Matematika angkatan 2012 khususnya kelas C yang sudah berdinamika dan menjalani seluruh proses perkuliahan serta selalu menyemangati selama berkuliah di Universitas Sanata Dharma.

16. Serta semua pihak dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas dukungan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan tepat waktu.


(14)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Batasan Istilah ... 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Tunanetra ... 9

B. Klasifikasi Ketunanetraan ... 10

C. Klasifikasi Tunanetra Berdasarkan Kemampuan Melihat ... 10

D. Metode Pengajaran Anak Tunanetra ... 12

E. Media Pembelajaran Untuk Anak Tunanetra ... 15

F. Huruf Braille ... 16

G. Hasil Belajar ... 19


(15)

I. Perkalian ... 22

J. Alat Peraga Bola ... 24

K. Cara Penggunaan Alat Peraga ... 25

L. Penelitian Yang Relevan ... 29

M. Kerangka Berpikir ... 30

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 31

B. Subjek Penelitian ... 31

C. Objek Penelitian ... 31

D. Waktu dan Tempat Penelitian ... 32

E. Jenis Data ... 32

F. Teknik Pengumpulan Data ... 32

1. Observasi ... 32

2. Tes ... 33

3. Wawancara ... 33

4. Dokumentasi ... 34

G. Instrumen Penelitian ... 35

H. Validasi Instrumen ... 35

I. Teknik Analisis Data ... 36

J. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN, ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ... 40

1. Observasi Awal ... 40

2. Pelaksanaan Penelitian di Dalam Kelas ... 43

B. Hasil Penelitian ... 47

1. Data Pre-Test ... 47

2. Data Post-Test ... 48

3. Data Pemahaman Siswa ... 48


(16)

xiii

D. Pembahasan ... 52

E. Keterbatasan Penelitian ... 56

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Hasil Belajar Siswa Mengerjakan Soal Pre-Test ... 47

Tabel 4.2 Hasil Belajar Siswa Mengerjakan Soal Post-Test ... 48

Tabel 4.3 Persentase Ketercapaian Hasil Belajar Siswa ... 49

Tabel 4.4 Analisis Hasil Pre-Test ... 49


(18)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Huruf Braille ... 18

Gambar 2.2 Alat Peraga Bola ... 24

Gambar 2.3 Langkah Pertama Penggunaan Alat Peraga ... 26

Gambar 2.4 Langkah Kedua Penggunaan Alat Peraga ... 27

Gambar 2.5 Posisi Bola Setelah Melakukan Langkah Pertama dan Kedua .. 28


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A ... 63

Lampiran A.1 Surat Permohonan Ijin Penelitian ... 64

Lampiran A.2 Surat Ijin Penelitian Dari Dinas Perizinan... 65

Lampiran A.3 Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ... 66

Lampiran B ... 67

Lampiran B.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 68

Lampiran B.2 Validasi Instrumen Pre-Test Siswa ... 74

Lampiran B.3 Validasi Instrumen Post-Test Siswa ... 80

Lampiran B.4 Soal Pre-Test ... 86

Lampiran B.5 Soal Post-Tes ... 87

Lampiran B.6 Soal Pre-Test Dalam Huruf Braille ... 88

Lampiran B.7 Soal Post-Test Dalam Huruf Braille ... 90

Lampiran C ... 92

Lampiran C.1 Kunci Jawaban Soal Pre-Test ... 93

Lampiran C.2 Kunci Jawaban Soal Post-Test ... 94

Lampiran C.3 Lembar Jawab Hasil Pre-Test Siswa (Braille) ... 95

Lampiran C.4 Lembar Jawab Hasil Post-Test Siswa (Braille) ... 97

Lampiran C.5 Jawaban Pre-Test Siswa ... 99

Lampiran C.6 Jawaban Post-Test Siswa ... 101

Lampiran D ... 103

Lampiran D.1 Foto Hasil Penelitian... 104

Lampiran D.2 Transkripsi Percakapan Hasil Wawancara ... 107


(20)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang, sebagai pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Setiap pengalaman belajar dalam hidup dengan sendirinya terarah kepada pertumbuhan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar pengalaman belajar, tetapi terkandung dan melekat di dalamnya. Misi atau tujuan pendidikan yang tersirat dalam pengalaman belajar memberi hikmah tertentu bagi pertumbuhan seseorang.

Penyelenggaraan pendidikan pada jenjang sekolah dasar bertujuan memberikan bekal kepada siswa untuk hidup bermasyarakat dan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maka tujuan pembelajaran matematika di sekolah dimaksudkan agar siswa tidak hanya terampil menggunakan matematika, tetapi dapat memberikan bekal kepada siswa dengan tekanan penataan nalar dalam penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat di mana ia tinggal.

Matematika merupakan salah satu bidang studi yang dipelajari pada semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan matematika diajarkan di taman kanak-kanak secara informal.

Cockroft dalam Mulyono (2009: 253) mengemukakan bahwa matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan


(21)

dalam segi kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah menantang. Berbagai alasan perlunya sekolah mengajarkan matematika kepada siswa pada hakikatnya dapat diringkas karena masalah kehidupan sehari-hari.

Belajar matematika merupakan suatu syarat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Karena dengan belajar matematika, akan diajar bernalar secara kritis, kreatif, dan aktif. Matematika merupakan ide-ide abstrak yang berisi simbol-simbol, maka konsep-konsep matematika harus dipahami terlebih dahulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu.

Pada kurikulum Depdiknas 2014 dalam Susanto (2013: 184) disebutkan bahwa standar kompetensi matematika di sekolah dasar yang harus dimiliki siswa setelah melakukan kegiatan pembelajaran bukanlah penguasaan matematika, namun yang diperlukan ialah dapat memahami dunia sekitar, mampu bersaing, dan berhasil dalam kehidupan. Standar kompetensi yang dirumuskan dalam kurikulum ini mencakup pemahaman konsep matematika, komunikasi matematis, koneksi matematis, penalaran, dan pemecahan masalah, serta sikap dan minat yang positif terhadap


(22)

3

Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk menggolongkan atau mengklasifikasikan sekumpulan objek. Konsep akan dibutuhkan dalam elemen keterampilan dan pemecahan masalah. Konsep matematika harus diajarkan dengan benar sejak siswa berada pada tingkat sekolah dasar, karena dengan konsep matematika yang benar akan menjadi bekal siswa untuk belajar matematika pada materi berikutnya atau bahkan di tingkat selanjutnya, serta penting untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan khusus pembelajaran matematika di sekolah dasar sebagaimana yang disajikan oleh Depdiknas yaitu memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma.

Salah satu contoh kasus konsep matematika yang keliru yang pernah terjadi adalah kasus yang dialami oleh Habibi, siswa sekolah dasar di Semarang. Kasus mengenai konsep perkalian yang menghebohkan itu dimuat dalam beberapa media cetak maupun media online, salah satunya di Liputan6.com. Berikut adalah kutipan berita dari kasus yang menarik perhatian beberapa pakar di Indonesia:

Liputan6.com, Jakarta – Di akun Facebook, Muhammad Erfas Maulana memposting hasil tugas matematika adiknya, Habibi yang mendapat ponten merah dari sang guru. Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Diponegoro itu mempertanyakan kesalahan jawaban tugas matematika adiknya yang bersekolah di salah satu SD di Semarang.

“Bu Guru yang terhormat, mohon maaf sebelumnya, saya kakak dari Habibi yang mengajarinya mengerjakan PR di atas. Bu, bukankah jawaban Habibi benar semua? Apakah hanya karena letaknya yang terbalik sehingga jawaban Habibi Anda salahkan? Menurut saya masalah peletakan bukan menjadi masalah Bu,


(23)

misal 4x6 = 6x4. Hasilnya sama-sama 24. Terima kasih Bu, mohon perhatiannya. Semoga dapat dijadikan pertimbangan,” tulis Irfan dalam kertas tugas matematika adiknya yang di posting di wall facebooknya.

Berdasarkan kutipan berita tersebut, perlu disadari bahwa memahami konsep yang benar sangatlah penting. Konsep bukan tentang hasil yang diperoleh namun proses yang benar. Kasus kesalahan konsep perkalian ini terjadi pada seorang siswa sekolah dasar di Semarang yang secara fisik tidak terdapat kekurangan.

Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa Pendidikan Matematika USD angkatan 2012 mengenai pendidikan di Indonesia. Hasil yang diperoleh dari wawancara tersebut adalah ketika membicarakan mengenai pendidikan di Indonesia peneliti tidak menemukan satu pun jawaban tentang pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Semua mahasiswa yang peneliti wawancarai fokus kepada pendidikan untuk anak yang normal. Belajar matematika dengan konsep yang benar tidak hanya bagi anak normal, namun juga untuk ABK. Anak dengan kebutuhan khusus juga memiliki hak untuk mendapat pendidikan yang baik, sama seperti anak normal pada umumnya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lidya (2013) pada siswa kelas IV SLB-A YPAB Tegalsari Surabaya tentang pendekatan matematika realistik yang menunjukkan bahwa ada pengaruh positif terhadap hasil belajar, maka peneliti juga akan melakukan penelitian


(24)

5

Mengajarkan matematika dengan konsep yang benar kepada ABK dapat dilakukan dengan metode pengajaran menggunakan alat peraga, yang diharapkan dapat lebih membantu siswa dalam belajar dan memahami konsep matematika yang benar. Alat peraga menjadi salah satu alternatif untuk mengajarkan matematika bagi ABK. Anak berkebutuhan khusus dirasa masih kesulitan untuk membuat konsep yang abstrak menjadi konkret, sehingga dengan alat peraga untuk ABK diharapkan mampu membantu pada pembelajaran matematika. Dari sekian banyak ABK, peneliti memilih anak tunanetra dengan alasan bahwa alat peraga yang dapat diraba akan memberi hasil yang maksimal. Peneliti memilih untuk menggunakan alat peraga berupa bola dengan alasan bahwa bola merupakan benda yang bentuknya mudah dibayangkan oleh anak-anak, dapat diraba, dan mudah ditemukan.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti “Pemanfaatan Bola Sebagai Alat Peraga Untuk Membantu Siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) Memahami Konsep Perkalian”

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan pokok masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana hasil belajar yang dicapai siswa SLB A dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan bola sebagai alat peraga untuk materi perkalian?


(25)

2. Bagaimana pemahaman siswa SLB A mengenai materi konsep perkalian pada pembelajaran matematika dengan menggunakan bola sebagai alat peraga?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan hasil yang dicapai siswa SLB A dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan bola sebagai alat peraga untuk materi perkalian.

2. Mendeskripsikan pemahaman siswa SLB A mengenai materi konsep perkalian pada pembelajaran matematika dengan menggunakan bola sebagai alat peraga.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Guru SLB

Guru dapat mempunyai referensi baru dalam memilih alat peraga untuk membuat pembelajaran matematika di SLB menjadi lebih menarik.

2. Bagi Siswa

Siswa mendapat pengetahuan mengenai konsep perkalian dengan menggunakan bola sebagai alat peraga yang akan membantu mengubah konsep abstrak menjadi lebih konkret.


(26)

7

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat digunakan untuk menambah dan memperluas pengetahuan mengenai pembelajaran matematika untuk siswa tunanetra dengan menggunakan alat peraga dan sebagai bahan perbandingan antara teori dengan keadaan sebenarnya.

E. Batasan Istilah 1. Tunanetra

Tunanetra adalah kondisi dimana seseorang mengalami masalah pada indera penglihatan (mata) yaitu kehilangan daya penglihatan sebagian atau seluruhnya.

2. Alat peraga bola

Alat peraga bola adalah alat peraga berupa bola warna-warni yang dapat membantu siswa dalam proses belajar mengajar untuk bisa memahami materi perkalian.

3. Pemahaman

Pemahaman adalah jenjang setingkat diatas pengetahuan yang meliputi penerimaan dalam komunikasi secara akurat, menempatkan hasil komunikasi dalam bentuk penyajian yang berbeda, mereorganisasikannya secara setingkat tanpa merubah pengertian dan dapat mengeksporasikan.


(27)

4. Perkalian

Perkalian merupakan sebuah operasi matematika yang meliputi penskalaan (pelipatan) bilangan yang satu dengan yang lain. Operasi perhitungan ini termasuk ke dalam aritmatika dasar. Secara sederhana, perkalian merupakan penjumlahan berulang dengan bilangan yang sama.

5. Hasil belajar

Hasil belajar yang dimaksud adalah hasil atau kemampuan kognitif yang diperoleh dari hasil pre-test dan post-test siswa.


(28)

9 BAB II

LANDASAN TEORI A. Tunanetra

Menurut Anastasia dan Imanuel (1987: 4), kata tunanetra itu sendiri tidak asing lagi bagi kebanyakan orang, tetapi masih banyak yang belum memahaminya. Dipandang dari segi bahasa, kata tunanetra terdiri dari dua kata yaitu tuna dan netra. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Anastasia dan Imanuel (1987: 4) tuna mempunyai arti rusak, luka, kurang, tidak memiliki. Sedangkan netra artinya mata. Tunanetra artinya rusak matanya atau luka matanya atau tidak memiliki mata yang berarti buta atau kurang dalam penglihatannya.

Menurut Frans Harsana Sasraningrat dalam Sari (2003: 4), tunanetra ialah suatu kondisi dari dria penglihatan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi itu disebabkan oleh karena kerusakan pada mata, syarat optik dan atau bagian otak yang mengolah stimulus visual.

Menurut Encyclopedia Americana dalam Sari (2003: 5), blindness is a general term used to denote partial or complete loss of vision. Kurang lebih berarti: tunanetra merupakan istilah umum yang digunakan untuk menunjuk kehilangan penglihatan sebagian atau menyeluruh.

Berdasarkan beberapa pendapat tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa tunanetra adalah kondisi dimana seseorang mengalami masalah pada indera penglihatan (mata) yaitu kehilangan daya penglihatan sebagian atau seluruhnya.


(29)

B. Klasifikasi Ketunanetraan

Menurut Esthy (2014: 10), tunanetra dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan dan kemampuan daya penglihatan.

a. Berdasarkan waktu terjadinya, ketunanetraan dibedakan menjadi beberapa jenis berikut:

1) Tunanetra sebelum dan sejak lahir

2) Tunanetra setelah lahir dan atau pada usia kecil 3) Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja 4) Tunanetra pada usia dewasa

5) Tunanetra dalam usia lanjut

b. Berdasarkan kemampuan daya penglihatan, ketunanetraan dibedakan menjadi beberapa jenis berikut:

1) Tunanetra ringan

2) Tunanetra setengah berat atau sedang 3) Tunanetra berat

C. Klasifikasi Ketunanetraan Berdasarkan Kemampuan Melihat

Menurut Anastasia dan Imanuel (1987: 7), klasifikasi atau pengelompokkan tunanetra berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan atau kemampuan melihat dibedakan menjadi empat jenis:


(30)

11

Pada tingkat ini sering dikatakan sebagai tunanetra ringan atau bahkan masih dapat dikatakan normal. Mereka masih mampu mempergunakan peralatan pendidikan pada umumnya, sehingga masih dapat memperoleh pendidikan di sekolah umum. Mereka masih mampu melihat benda lebih kecil seperti mengamati uang logam seratus rupiah dan korek api.

2. 6/20 m – 6/60 m atau 20/70 feet – 20/200 feet.

Pada tingkat ketajaman ini sering disebut dengan tunanetra kurang lihat atau low vision atau disebut juga dengan partially sight atau tunanetra ringan. Pada taraf ini mereka masih mampu melihat dengan bantuan kacamata.

3. 6/60 m lebih atau 20//200 feet lebih.

Pada tingkat ini sudah dikatakan tunanetra berat. Taraf ini masih mampu mempunyai tingkatannya yaitu:

a. Masih dapat menghitung jari pada jarak 6 meter. b. Masih dapat melihat gerakan tangan.

c. Hanya dapat membedakan terang dan gelap. 4. Memiliki visus 0.

Tingkat terakhir sudah tidak mampu melihat rangsangan cahaya dan tidak dapat melihat apapun. Pada tingkatan ini sering disebut buta.


(31)

D. Metode Pengajaran Anak Tunanetra

Pada dasarnya metode yang digunakan untuk siswa tunanetra hampir sama dengan siswa normal, hanya menurut Ardhi (2013: 63), yang membedakan ialah adanya beberapa modifikasi dalam pelaksanaannya, sehingga para siswa tunanetra mampu mengikuti kegiatan pembelajaran yang bisa mereka ikuti dengan pendengaran ataupun perabaan. Adapun metode-metode yang dapat dilaksanakan pada pembelajaran siswa tunanetra antara lain:

1. Metode ceramah

Yang dimaksud dengan metode ceramah ialah cara penyampaian sebuah materi pelajaran dengan cara penuturan lisan kepada siswa. Zuhairini dkk (dalam Ardhi 2013: 63) mendefinisikan metode ceramah ialah suatu metode di dalam pendidikan di mana cara penyampaian pengertian-pengertian materi kepada anak didik dengan jalan penjelasan dan penuturan secara lisan. Untuk penjelasan uraiannya, guru dapat menggunakan alat bantu mengajar yang lain, misalnya gambar, peta, denah, dan alat peraga lainnya.

Metode ceramah dapat diikuti oleh siswa tunanetra karena dalam pelaksanaannya metode ini guru menyampaikan materi pelajaran dengan penyampaian secara lisan dan siswa mendengar penyampaian materi dari guru.


(32)

13

2. Metode Tanya jawab

Metode Tanya jawab ialah penyampaian pelajaran dengan cara guru mengajukan pertanyaan dan siswa menjawab atau suatu metode di dalam pendidikan di mana guru bertanya sedangkan siswa menjawab tentang materi yang ingin diperolehnya.

Siswa tunanetra mampu mengikuti pengajaran dengan menggunakan metode tanya jawab, karena metode ini merupakan tambahan dari metode ceramah yang menggunakan indera pendengaran.

3. Metode diskusi

Metode diskusi adalah salah satu alternatif metode yang dapat dipakai oleh seorang guru di kelas dengan tujuan dapat memecahkan suatu masalah berdasarkan pendapat para siswa. Seiring dengan itu metode diskusi berfungsi untuk merangsang siswa berpikir atau mengeluarkan pendapatnya sendiri mengenai persoalan-persoalan yang kadang-kadang tidak dapat dipecahkan oleh suatu jawaban atau suatu cara saja, tetapi memerlukan wawasan atau ilmu pengetahuan yang mampu mencari jalan terbaik atau alternatif terbaik.

Anak tunanetra dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar yang menggunakan metode diskusi. Mereka dapat ikut berpartisipasi dalam kegiatan diskusi itu karena dalam metode diskusi, kemampuan data fisik siswa untuk memecahkan suatu persoalan lebih diutamakan. Dan metode ini bisa diikuti tanpa menggunakan indera penglihatan.


(33)

4. Metode sorongan

Metode sorongan adalah metode individual di mana siswa mendatangi guru untuk mengkaji suatu buku dan guru membimbingnya secara langsung. Metode ini dalam sejarah pendidikan agama Islam dikenal dengan sistem pendidikan “Kuttai”, sementara di dunia barat dikenal dengan metode tutorship dan mentoring. Pada praktiknya siswa diajari dan dibimbing bagaimana cara membaca, menghafal, atau lebih jauh lagi menerjemahkan atau menafsirkan, semua itu dilakukan oleh guru, sementara siswa menyimak penuh perhatian dan mensahkan dengan memberi catatan pada bukunya atau mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan kepadanya.

Metode ini dapat diikuti oleh anak tunanetra dan inti dari metode ini adalah adanya bimbingan langsung dari guru kepada anak didiknya dan seorang guru dapat mengetahui langsung sejauh mana kemampuan anak didiknya dalam memahami suatu materi pelajaran. 5. Metode drill

Metode drill atau latihan adalah suatu metode dalam menyampaikan pelajaran dengan menggunakan latihan secara terus menerus sampai anak didik memiliki ketangkasan yang diharapkan.

Metode drill merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam metode yang banyak digunakan oleh para pendidik dalam proses


(34)

15

menitikberatkan kepada keterampilan siswa secara kecakapan motoris, mental, asosiasi yang dibuat dan sebagainya.

Metode drill dapat disebut juga dengan metode latihan atau praktik secara langsung. Anak tunanetra mampu mengikuti metode ini jika materi yang disampaikan dan media yang digunakan mampu mendukung mereka untuk memahami materi pelajaran.

Berdasarkan beberapa metode pengajaran tersebut, peneliti merasa bahwa metode yang sesuai digunakan untuk anak tunanetra tingkatan sekolah dasar adalah metode ceramah, metode tanya jawab, dan metode drill. Dalam penelitian yang akan dilakukan, peneliti juga akan menggunakan ketiga metode tersebut. Metode ceramah dirasa tepat karena anak tunanetra masih mengandalkan indera pendengaran dengan bantuan suara dari guru. Metode tanya jawab merupakan metode pendukung dari metode ceramah karena dengan metode ini akan membangun interaksi yang baik antara guru dan siswa. Metode drill digunakan karena dalam penelitian menggunakan alat peraga yang menuntut siswa untuk lebih banyak berlatih.

E. Media Pembelajaran untuk Anak Tunanetra

Selain kekhususan metode pembelajaran yang digunakan untuk anak tunanetra, mereka pun mempunyai kekhususan dalam menggunakan media pembelajaran. Karena kondisi penglihatan mereka yang tak berfungsi, maka menurut Ardhi (2013: 62) media yang digunakan untuk


(35)

pengajaran anak tunanetra ialah media yang dapat dijangkau dengan perabaan dan pendengarannya. Adapun media tersebut ialah papan baca (Kenop), Reglette, dan Stilus (pena) yaitu alat tulis normal, Mesin tik Braille (Perkins Braille).

Media pembelajaran yang diterapkan pada anak tunanetra di beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) meliputi: alat bantu membaca huruf Braille (Papan huruf dan Optacon); alat bantu berhitung (Cubaritma, Abacus/Sempoa, Speech Calculator), serta alat bantu yang bersifat audio seperti tape-recorder. Khusus alat bantu membaca Braille adalah alat bantu pembelajaran untuk mengenal huruf Braille. Alat ini biasa disebut pantule singkatan dari papan tulis Braille.

F. Huruf Braille

Menurut Ardhi (2013: 66), Braille adalah sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh para tunanetra. Sistem ini diciptakan oleh seorang Prancis yang bernama Louis Braille yang juga merupakan seorang tunanetra. Ketika berusia 15 tahun, Braille membuat suatu tulisan tentara untuk memudahkan tentara membaca ketika gelap. Tulisan ini kemudian dinamakan huruf Braille. Namun saat itu Braille tidak memiliki huruf W.

Munculnya inspirasi untuk menciptakan huruf-huruf yang dapat dibaca oleh tunanetra berawal dari seorang bekas perwira alteleri Napoleon, Kapten Charles Barbier. Barbier menggunakan sandi berupa


(36)

17

kepada serdadu nya dalam kondisi gelap malam. Pesan tersebut dibaca dengan cara meraba rangkaian kombinasi garis dan titik yang tersusun menjadi sebuah kalimat. Sistem demikian kemudian dikenal dengan sebutan night writing atau tulisan malam. Sistem ini dirancang khusus untuk tentara perang yang menggunakan kombinasi 12 titik timbul yang dapat dikombinasikan untuk mewakili huruf-huruf dan dapat dirasakan oleh ujung jari.

Sayangnya kode tersebut terlalu rumit bagi sebagian besar pasukannya sehingga ditolak untuk digunakan. Braille kemudian menyederhanakan sistem ini dengan menggunakan satu sel 6 titik dan didasarkan ejaan normal yang sekarang dinamakan huruf Braille. Berdasarkan uji coba yang dilakukan Braille, jari-jari tangan tunanetra ternyata lebih peka terhadap titik dibandingkan dengan garis sehingga pada akhirnya huruf Braille hanya menggunakan kombinasi antara titik dan ruang kosong atau spasi. Sistem tulisan Braille pertama kali digunakan di L’Institution Nationale de Jeunes Aveugles, Paris dalam rangka mengajar siswa-siswa tunanetra.

Huruf-huruf Braille menggunakan kerangka penulisan seperti kartu domino. Satuan dasar dari sistem tulisan ini disebut sel Braille, dimana tiap sel terdiri dari enam titik timbul; tiga baris dan dua titik. Keenam titik tersebut dapat disusun sedemikian rupa hingga menciptakan 64 macam kombinasi. Huruf Braille dibaca dari kiri ke kanan dan dapat melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol matematika


(37)

dan lainnya. Ukuran huruf Braille yang umum digunakan adalah dengan tinggi sepanjang 0,5 mm, serta spasi horizon dan vertikal antara titik dalam sel sebesar 2,5 mm.

Pada mulanya orang tidak berpikir bahwa kode Braille merupakan sesuatu yang sangat berguna bagi kaum tunanetra. Banyak orang menduga bahwa sistem Braille akan mati sebagaimana penemunya. Namun ada orang-orang yang menyadari pentingnya penemuan Louis Braille. Penemuan brilian Louis Braille telah mengubah dunia membaca dan menulis kaum tunanetra untuk selamanya. Sekarang kode Braille telah digunakan hampir ke dalam semua bahasa tulis terkenal di dunia.

Gambar 2.1. Huruf Braille

×

=

.

÷

-


(38)

19

G. Hasil Belajar

Dalam mengajar, guru sudah mengetahui tujuan yang harus capai dalam mengajarkan suatu pokok bahasan. Untuk itu, dirumuskan tujuan instruksional khusus, yang didasarkan pada Taksonomi Bloom tentang tujuan-tujuan perilaku menurut Bloom dalam Ratna (2011: 118), yang meliputi tiga dominan: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Gagne mengemukakan lima macam hasil belajar, tiga diantaranya bersifat kognitif, satu bersifat afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorik.

Penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar disebut kemampuan. Menurut Gagne dalam Ratna (2011: 118), ada lima kemampuan. Ditinjau dari segi-segi yang diharapkan dari suatu pengajaran atau instruksi, kemampuan itu perlu dibedakan karena kemampuan itu memungkinkan berbagai macam penampilan manusia dan juga karena kondisi-kondisi untuk memperoleh berbagai kemampuan itu berbeda. Kelima hasil belajar atau yang menurut Gagne dalam Ratna (2011: 118) disebut kemampuan, yaitu:

1. Kemampuan pertama disebut keterampilan intelektual karena keterampilan itu merupakan penampilan yang ditunjukkan oleh siswa tentang operasi intelektual yang dapat dilakukannya.

2. Kemampuan kedua meliputi penggunaan strategi kognitif karena siswa perlu menunjukkan penampilan yang kompleks dalam suatu situasi baru, dimana diberikan sedikit bimbingan dalam memilih dan menerapkan aturan dan konsep yang telah dipelajari sebelumnya.


(39)

3. Kemampuan ketiga berhubungan dengan sikap atau mungkin sekumpulan sikap yang dapat ditunjukkan oleh perilaku yang mencerminkan pilihan tindakan terhadap kegiatan-kegiatan.

4. Kemampuan keempat adalah informasi verbal atau pengetahuan verbal yang diperoleh dari pembelajaran di sekolah, dan juga dari kata-kata yang sering diucapkan orang, membaca dari buku, mendengar radio, televisi atau media lainnya.

5. Kemampuan kelima adalah keterampilan motorik. Keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan fisik, melainkan juga kegiatan motorik yang digabung dengan keterampilan intelektual misalnya membaca, menulis, memainkan alat musik dan lain sebagainya.

Kingsley dalam Ahmad (2013: 3) membagi hasil belajar menjadi tiga macam, yaitu (1) keterampilan dan kebiasaan; (2) pengetahuan dan pengertian; dan (3) sikap dan cita-cita. Sedangkan Djamarah dan Zain dalam Ahmad (2013: 3) menetapkan bahwa hasil belajar telah tercapai apabila telah terpenuhi dua indikator berikut, yaitu:

1. Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individual maupun kelompok.

2. Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran/instruksional khusus telah dicapai oleh siswa baik secara individual maupun kelompok.


(40)

21

Menurut para ahli tersebut, yang ingin peneliti ketahui mengenai hasil belajar siswa adalah pengetahuan atau kemampuan kognitif terkait materi perkalian berdasarkan hasil pre-test dan post-test.

H. Pemahaman

Bloom dalam Elis dan Rusdiana (2015: 55) mengklasifikasikan tujuan kognitif dalam enam level, yaitu: (1) pengetahuan; (2) pemahaman; (3) aplikasi; (4) analisis; (5) sintesis; dan (6) evaluasi. Pemahaman yang disebut C2 menurut Elis dan Rusdiana (2015: 56) adalah tingkatan yang paling rendah dalam aspek kognisi yang berhubungan dengan penguasaan atau mengerti tentang sesuatu. Dalam tingkatan ini, siswa diharapkan mampu memahami ide-ide matematika apabila dapat menggunakan beberapa kaidah yang relevan tanpa perlu menghubungkannya dengan ide-ide lain dan segala implikasinya.

Sedangkan pemahaman menurut Usman dalam Asep dan Abdul (2013: 16) adalah jenjang setingkat di atas pengetahuan yang meliputi penerimaan dalam komunikasi secara akurat, menempatkan hasil komunikasi dalam bentuk penyajian yang berbeda, mereorganisasikannya secara setingkat tanpa mengubah pengertian dan dapat mengeksporasikan.

Berdasarkan pendapat tokoh diatas, dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui pemahaman siswa mengenai konsep perkalian. Adapun indikator yang menunjukkan bahwa siswa paham yaitu:

1. Siswa mampu menjawab dengan benar berapa kali harus mengambil bola ketika diberikan soal perkalian.


(41)

2. Siswa mampu menjawab dengan benar sekali mengambil, berapa bola yang diambil ketika diberikan soal perkalian. 3. Siswa mampu membuat bentuk penjumlahan berulang dengan

benar dari soal perkalian yang diberikan.

4. Siswa mampu menghitung hasil perkalian dengan tepat.

Apabila siswa telah memenuhi indikator tersebut, maka dapat dikatakan bahwa siswa telah memahami konsep perkalian.

I. Perkalian

Ruseffendi (1990: 38) mengatakan bahwa pada tingkat rendah yaitu sekolah dasar, penjumlahan dan pengurangan dikenalkan melalui benda-benda konkret atau gambarnya. Ini adalah suatu keyakinan dan kepercayaan sejak lama bahwa konsep matematika supaya ditanamkan kepada anak-anak melalui contoh-contoh dunia nyata. Menurut penelitian pun peragaan ini sangat membantu.

Begitu pula perkalian bagi anak-anak di tingkat rendah supaya dijelaskan melalui benda-benda konkret atau gambar benda-benda konkret dan dikaitkan pula dengan kehidupan sehari-hari. Dari keadaan kehidupan nyata sehari-hari itu dibuat dulu ke tahap model konkret atau model gambar dan kemudian dilanjutkan kepada tahap akhir yaitu tahap model simbol. Dan ini tidak terkecuali harus terjadi baik pada tingkat pemahaman konsep, pada tingkat pemahaman fakta-fakta dasar, maupun pada tahap


(42)

23

“Ibu Ami punya 2 dus telur. Masing-masing dus berisi 6 biji. Berapa biji telur ibu Ami?”

Persoalan perkalian itu sebelum sampai kepada angka-angka (model simbol) supaya diperagakan dulu dengan model konkret atau model gambar. Kemudian diubah ke dalam simbol. Tujuannya ialah agar anak-anak dapat memahami kalimat matematika yang ditulis dengan simbol itu. Maksudnya ialah tanpa alat peraga (model konkret atau model gambar) mungkin anak tidak akan dapat memahami bahwa soal dapat diselesaikan melalui × = + .

Perkalian merupakan sebuah operasi matematika yang meliputi penskalaan (pelipatan) bilangan yang satu dengan bilangan yang lain. Operasi perhitungan ini termasuk ke dalam aritmatika dasar. Sangat penting untuk memahami konsep perkalian karena perkalian seringkali digunakan di dalam beragam rumus matematika lainnya.

Secara sederhana, perkalian dapat didefinisikan sebagai penjumlahan yang diulang. Misalnya, pada perkalian × (5 dikali 3) kita dapat menghitungnya dengan cara menjumlahkan angka 3 yang diulang sebanyak 5 kali atau + + + + . Dalam konsep perkalian, ×

tidaklah sama dengan × meskipun hasilnya sama. × berarti +

+ + + , sedangkan × berarti + + .

Konsep perkalian ini seringkali digunakan dalam ilmu kedokteran, terutama ketika dokter memberikan resep obat. Misalnya dokter memberi resep obat × , maka yang dimaksud adalah obat tersebut dalam satu hari


(43)

harus diminum sebanyak 3 kali, dan setiap minum hanya 1 obat. Berbeda dengan ketika resep × , itu berarti obat tersebut dalam sehari hanya diminum 1 kali, dan pada saat minum langsung 3 obat.

J. Alat Peraga Bola

Ali dalam Rostina (2015: 7), berpendapat bahwa alat peraga adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyatakan pesan merangsang pikiran, perasaan dan perhatian, dan kemauan siswa sehingga mendorong proses belajar. Dalam pendapat tokoh yang lain yaitu menurut Ruseffendi dalam Rostina (2015: 7), alat peraga adalah alat yang menerangkan atau mewujudkan konsep matematika. Sedangkan pengertian alat peraga matematika menurut Pramudjono dalam Rostina (2015: 7), adalah benda konkret yang dibuat, dihimpun atau disusun secara sengaja digunakan untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep matematika.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, alat peraga bola adalah alat peraga berupa bola warna-warni yang dapat membantu siswa dalam proses belajar untuk bisa memahami materi perkalian, khususnya konsep perkalian.


(44)

25

K. Cara Penggunaan Alat Peraga

Alat peraga yang digunakan dalam penelitian ini adalah bola. Alat peraga ini digunakan untuk membantu siswa memahami konsep perkalian. Setiap siswa akan mendapatkan 100 buah bola dan tiga kotak yang akan digunakan sebagai wadah untuk bola. Kotak pertama berisi 100 buah bola yang akan diambil oleh siswa sesuai dengan soal perkalian yang akan diberikan. Kotak kedua digunakan untuk menaruh bola yang telah diambil dari kotak pertama, dan selanjutnya bola tersebut dipindahkan ke kotak ketiga yang digunakan untuk menampung bola-bola dari kotak sebagai hasil perkalian. Untuk menghitung hasil perkalian dari soal yang diberikan, siswa akan menghitung jumlah bola yang ada pada kotak ketiga. Cara siswa menghitung hasil perkaliannya adalah dengan menghitung jumlah bola pada kotak ketiga yang dipindahkan ke kotak kedua yang telah kosong satu per satu.

Siswa akan diberi pemahaman mengenai penjumlahan berulang sebagai dasar untuk mempelajari materi perkalian. Peneliti akan memberi beberapa soal penjumlahan dengan bilangan yang sama. Misalnya peneliti akan memberi soal 5+5, 7+7, 3+3+3, 5+5+5+5. Peneliti kemudian bertanya ada berapa bilangan yang sama pada penjumlahan, setelah itu peneliti mengaitkan dengan konsep perkalian. Untuk memudahkan siswa memahami materi tersebut, peneliti menggunakan bola sebagai alat peraga. Peneliti kemudian melanjutkan materi konsep perkalian dengan memberikan soal-soal.


(45)

Sebagai contoh, siswa diberikan soal perkalian × . Maka langkah yang akan dilakukan siswa untuk mengetahui hasil perkaliannya adalah sebagai berikut:

1. Siswa akan mengambil 5 bola dari kotak pertama satu per satu dan menaruhnya di kotak kedua.

Gambar 2.3. Langkah Pertama Penggunaan Alat Peraga

1 2 3

1 2 3


(46)

27

2. Kemudian, 5 bola tersebut dipindahkan ke kotak ketiga.

Gambar 2.4. Langkah Kedua Penggunaan Alat Peraga

3. Siswa akan melakukan langkah (1) dan (2) sebanyak 3 kali sesuai dengan konsep perkalian, karena soalnya adalah × .

3 3 2

1

2 1


(47)

Gambar 2.5. Posisi bola setelah melakukan langkah pertama dan kedua

4. Setelah siswa telah melakukan langkah (1) dan (2) sebanyak 3 kali, dan semua bola yang merupakan hasil perkalian sudah ada di kotak ketiga, maka siswa akan menghitung hasil perkalian dengan cara menghitung jumlah bola yang ada pada kotak ketiga. Untuk memudahkan siswa menghitung hasilnya, satu per satu bola di kotak ketiga dipindahkan ke kotak kedua sambil siswa menghitung hasil perkaliannya.

3 2

1

3 1


(48)

29

Setelah melakukan langkah pertama hingga langkah keempat, maka siswa akan mendapatkan hasil perkalian dari soal yang diberikan. Selain itu, dengan bantuan bola sebagai alat peraga, siswa juga diharapkan mampu memahami konsep perkalian sebagai penjumlahan berulang.

L. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang relevan adalah penelitian yang pernah dilakukan oleh Lidya Cindi Septika (2013), seorang mahasiswi program studi Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Surabaya. Penelitian yang berjudul “Pendekatan Matematika Realistik Terhadap Hasil Belajar Penjumlahan Pecahan Anak Tunanetra” dilakukan di SLB-A YPAB Tegalsari Surabaya pada siswa kelas IV menghasilkan kesimpulan bahwa dengan menggunakan pendekatan matematika realistik, anak benar-benar belajar dengan benda rill atau memang dengan benda yang dikenal dan bisa dibayangkan anak, sehingga pembelajaran lebih bermakna. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa ada pengaruh positif pendekatan matematika realistik terhadap hasil belajar penjumlahan pecahan pada siswa kelas IV di SLB-A YPAB Tegalsari Surabaya.

Penelitian yang dilakukan oleh Lidya ini memiliki relevansi dengan penelitian ini. Relevansinya adalah penelitian ini juga menggunakan alat peraga yang dikenal dan bisa dibayangkan oleh siswa. Hal lain adalah penelitian ini juga akan dilakukan di SLB A dengan subjek


(49)

dua orang siswa tunanetra. Sehingga diharapkan penelitian ini juga bisa memberi pengaruh positif kepada siswa tunanetra terkait pemahaman konsep perkalian dan hasil belajar siswa.

M. Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini peneliti melihat bahwa konsep matematika sangat penting untuk diajarkan sejak siswa berada pada tingkat pendidikan dasar yaitu di sekolah dasar. Konsep yang benar juga perlu diajarkan kepada anak berkebutuhan khusus, karena setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang sama.

Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti merancang pembelajaran matematika untuk siswa tunanetra kelas II di SLB A Yaketunis pada materi perkalian. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan bantuan bola sebagai alat peraga. Alat peraga disini berguna untuk membuat konsep abstrak menjadi konkret sehingga mudah dipahami siswa.

Dengan pembelajaran menggunakan alat peraga berupa bola, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai konsep yang benar tentang materi perkalian.


(50)

31 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan atau status fenomena yang ada di lapangan (Lexy J. Moleonh dalam Agustinus (2009: 25)). Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Dalam penelitian ini, peneliti mendeskripsikan proses pembelajaran matematika yang terjadi di dalam kelas.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah dua orang siswa kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta yang terletak di Jalan Parangtritis No. 46 A. Kedua subjek adalah siswa tunanetra dengan klasifikasi ringan (low vision). Penentuan subjek pada penelitian ini juga sudah berdasarkan diskusi dengan guru kelas II.

C. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga berupa bola pada materi perkalian di kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta.


(51)

D. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu : 24 Agustus 2016 – 9 September 2016

Tempat : SLB A Yaketunis Yogyakarta yang terletak di Jalan Parangtritis No. 46 Yogyakarta

E. Jenis Data

Jenis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian melalui pengamatan dan wawancara, sedangkan data sekunder adalah data yang tidak peroleh langsung dari subjek penelitian melainkan dari pihak lain berupa keterangan dan data mengenai proses belajar dan hasil belajar siswa.

F. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam melaksanakan penelitian, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:

1) Observasi

Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara atau kuesioner. Kalau wawancara atau kuesioner selalu berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga


(52)

33

Sutrisno Hadi dalam Sugiyono (2010: 203) mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.

Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila peneliti berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam, dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar.

2) Tes.

Menurut Asep dan Abdul (2013: 67), tes merupakan himpunan pertanyaan yang harus dijawab, harus ditanggapi, atau tugas yang harus dilaksanakan oleh orang yang dites. Tes digunakan untuk mengukur sejauh mana seorang siswa telah menguasai pelajaran yang disampaikan terutama meliputi aspek pengetahuan dan keterampilan.

Alat penilaian teknik tes, yaitu: (a) tes tertulis; (b) tes lisan; dan (c) tes perbuatan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tes tertulis yaitu pre-test dan post-test. Peneliti menggunakan tes untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh siswa kelas II SLB A Yaketunis.

3) Wawancara

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari subjek yang lebih mendalam dan jumlah


(53)

subjek sedikit/kecil. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan pada laporan tentang diri sendiri, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi.

Sutrisno Hadi dalam Sugiyono (2010: 194) mengemukakan bahwa anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti dalam menggunakan metode wawancara adalah sebagai berikut:

1. Bahwa subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri.

2. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.

3. Bahwa interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peneliti.

Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur, dan dapat dilakukan melalui tatap muka maupun menggunakan telepon.

4) Dokumentasi

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dokumentasi berupa voice recorder dan video. Melalui dokumentasi ini peneliti dapat keterangan dalam pembelajaran berupa rekaman suara dan video yang dianalisis kembali untuk mendapatkan data kualitatif. Dokumentasi ini juga digunakan sebagai bukti dalam penelitian.


(54)

35

G. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan peneliti dalam penelitian ini antara lain: 1. Lembar observasi

Lembar pengamatan ini berfungsi mencatat semua hasil pengamatan yang dilakukan peneliti selama penelitian berlangsung.

2. Soal pre test dan soal post test.

Soal pre-test dan post-test digunakan oleh peneliti untuk mengetahui hasil belajar siswa. Setiap soal pre-test dan post-test masing-masing berisi 10 soal yang sudah dikonsultasikan dengan guru kelas.

3. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara berupa garis besar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada subjek penelitian, dan pertanyaan yang ada akan berkembang sesuai dengan jawaban dari subjek.

4. Alat Perekam.

Alat perekam yang digunakan adalah telepon genggam untuk mengambil gambar, merekam percakapan serta merekam proses pembelajaran matematika dengan menggunakan bola sebagai alat peraga.

H. Validitas Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi, pedoman wawancara dan soal. Instrumen tersebut akan diuji dengan teknik ”expert justification” yaitu dengan mengonsultasikan


(55)

kepada orang yang lebih berpengalaman dimana peneliti anggap lebih mengerti dan memahami. Dalam hal ini, instrumen-instrumen tersebut akan dikonsultasikan dengan dosen dan guru kelas. Setelah mendapatkan kritik dan saran serta petunjuk maka semua instrumen tersebut telah diperbaiki dan dinyatakan valid.

I. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dan analisis komparatif. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis semua data yang telah diperoleh melalui instrumen-instrumen dan untuk menarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah yang ada. Sedangkan analisis komparatif digunakan untuk menganalisis kembali data pemahaman yang telah dipaparkan secara deskriptif.

Data hasil belajar dan pemahaman siswa mengenai materi perkalian diperoleh dengan cara menganalisis hasil deskripsi dari instrumen-instrumen yaitu hasil rekaman wawancara dengan siswa, hasil wawancara dengan guru, latihan soal yang diberikan kepada siswa, dan lembar observasi. Data tersebut dianalisis secara deskriptif dan secara bertahap pada setiap pertemuan. Kemudian data yang telah diperoleh dari pertemuan pertama sampai pertemuan keempat dianalisis secara komparatif, dengan membandingkan dan melihat peningkatan hasil belajar


(56)

37

dan pemahaman siswa mengenai materi perkalian dengan menggunakan bola sebagai alat peraga.

J. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap persiapan

Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti melakukan beberapa persiapan yaitu:

a. Bertemu dengan dosen pembimbing skripsi untuk konsultasi terkait penelitian yang akan peneliti laksanakan. Konsultasi diadakan beberapa kali untuk memastikan tempat penelitian, materi penelitian, dan alat peraga yang akan digunakan.

b. Mempersiapkan surat izin untuk penelitian.

c. Bertemu dengan Kepala Sekolah untuk perizinan penelitian.

d. Bertemu dengan guru kelas untuk berdiskusi mengenai pelaksanaan penelitian, meminta saran juga informasi tentang pembelajaran di SLB.

e. Mempersiapkan alat peraga yang akan digunakan dalam penelitian. f. Berkonsultasi dengan dosen pembimbing dan guru mengenai alat peraga yang akan digunakan, serta meminta saran untuk perbaikan atau perubahan alat peraga.

g. Observasi kelas yang akan dijadikan tempat penelitian.

h. Mempersiapkan instrumen-instrumen yang dibutuhkan untuk penelitian.


(57)

2. Rencana kegiatan

Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh guru pembimbing yang membantu peneliti dalam berkomunikasi dengan anak tunanetra. Kegiatan yang akan dilakukan antara lain:

a. Kegiatan pembelajaran:

1) Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). 2) Mempraktekkan penggunaan alat peraga.

3) Melakukan evaluasi setelah pembelajaran.

b. Untuk melihat pemahaman siswa tentang konsep perkalian, peneliti juga melaksanakan wawancara setelah pembelajaran. Hal ini dapat membantu peneliti untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa tentang konsep perkalian.

3. Alat peraga yang digunakan

Peneliti menggunakan bola sebagai alat peraga pada materi perkalian. Alat peraga ini merupakan bola warna-warni yang mudah ditemukan. Setiap subjek mendapat 100 buah bola dan tiga buah kotak sebagai wadah untuk menaruh bola tersebut.

4. Evaluasi pembelajaran

Evaluasi pembelajaran dilakukan pada pertemuan keempat. Hal ini dilakukan untuk melihat hasil belajar dan pemahaman siswa tentang materi perkalian khususnya konsep perkalian. Evaluasi pembelajaran dilakukan dengan memberikan soal-soal (post-test) yang dilakukan


(58)

39

diakhir pembelajaran dan juga dilakukan wawancara untuk mengetahui pemahaman siswa.

5. Rencana pelaksanaan

a. Pelaksanaan penelitian akan dilaksanakan empat kali, dengan rincian:

1) Pertemuan awal adalah pemberian soal pre-test.

2) Pertemuan kedua dan ketiga adalah pemberian materi perkalian dengan menggunakan bola sebagai alat peraga.

3) Pertemuan terakhir adalah pemberian soal post-test.

b. Pelaksanaan penelitian akan dibantu oleh guru kelas II selaku guru pembimbing, mengingat susahnya berkomunikasi dan mengajar anak tunaneta.


(59)

BAB IV

HASIL PENELITIAN, ANALISIS DATA, DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian

1. Observasi Awal

Penelitian dilakukan di SLB A Yaketunis Yogyakarta yang terletak di Jalan Parangtritis No. 46 Yogyakarta. Subjek penelitian adalah 2 orang siswa kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta, dimana mereka memiliki keterbatasan dalam penglihatan dan termasuk dalam kategori low vision. Dalam penelitian ini peneliti adalah fasilitator yang menyediakan alat peraga serta sebagai pengamat. Materi yang akan dipelajari dan dibahas adalah perkalian secara khusus penanaman konsep perkalian sebagai penjumlahan berulang. Materi tersebut akan diajarkan dengan menggunakan alat peraga berupa bola. Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan observasi terlebih dahulu. Tujuan dilakukannya observasi adalah untuk melihat kegiatan pembelajaran, model pembelajaran, dan metode yang digunakan dalam pembelajaran yang dilaksanakan sehari-hari di kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta, sehingga dapat membantu dalam merancang kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan terkait penelitian. Selain itu kegiatan observasi juga dilakukan untuk membantu peneliti mengenal para siswa yang akan menjadi subjek penelitian sehingga


(60)

41

Peneliti melakukan observasi sebanyak 3 kali sebelum melaksanakan penelitian. Dari kegiatan tiga kali observasi yang dilakukan yaitu pada tanggal 24 Agustus 2016, 26 Agustus 2016, dan 31 Agustus 2016, peneliti melihat kurikulum dan materi yang diajarkan sama dengan sekolah umum lainnya, tidak ada yang berbeda. Selain itu, kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di SLB A Yaketunis tidak jauh berbeda dengan yang dilaksanakan dengan sekolah-sekolah lainnya, hanya saja pemberian materinya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing siswa. Seperti diketahui bahwa kemampuan setiap siswa berbeda, maka ini yang mendasari guru kelas untuk memberikan materi sesuai dengan kemampuan siswa. Pembelajaran matematika yang dilaksanakan di SLB A Yaketunis Yogyakarta juga sama seperti sekolah dasar umum yaitu tiga kali dalam seminggu.

Dalam pembelajaran di SLB A Yaketunis Yogyakarta, siswa tidak hanya belajar tentang materi pembelajaran namun juga belajar membaca dan menulis huruf Braille yang akan siswa gunakan dalam pembelajaran setiap hari. Selain itu siswa juga diberikan pelajaran Orientasi Mobilitas yaitu pelajaran dimana siswa akan diajar untuk mandiri melakukan sesuatu yang mendasar seperti berpakaian, memakai sepatu, minum, berjalan menggunakan tongkat, dan lain sebagainya.


(61)

Pada observasi yang dilakukan, peneliti juga melihat karakter yang dimiliki siswa, yaitu:

S1 adalah siswa yang tergolong mudah dalam menerima pelajaran setiap harinya. S1 aktif dalam pembelajaran, dan selalu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. Namun terkadang S1 kurang fokus dalam pembelajaran, karena dengan mudah dialihkan oleh beberapa hal seperti suara keras dari teman yang sedang bermain ataupun suara musik yang terdengar hingga ke kelas. S1 mengalami kendala dalam hal mengingat. Bisa saja S1 sudah menjawab dengan benar ketika ditanya oleh guru, namun ketika diminta untuk mengulang jawabannya, S1 bisa saja lupa kembali apa yang sudah dijawab.

S2 adalah siswa yang kurang aktif dalam pembelajaran. S2 merupakan siswa pindahan dari SLB di Magelang. Kemampuan S2 sebenarnya baik, namun perlu banyak pancingan dari guru. Dalam pembelajaran di kelas, S2 bisa dibilang kurang aktif. S2 hanya akan serius belajar apabila mendapat teguran yang cukup keras dari guru.

Suasana pembelajaran saat observasi kondusif. Di SLB A Yaketunis Yogyakarta setiap kelas mempunyai ruangan masing-masing. Namun ruangan kelas tidak terlalu besar karena menyesuaikan dengan jumlah siswa tiap kelas. Kelas yang berdempetan kadang menjadi faktor yang membuat kondisi pembelajaran menjadi tidak


(62)

43

Pembelajaran yang terjadi saat peneliti melakukan observasi sangat baik. Guru menyampaikan dan menjelaskan materi tidak terlalu cepat. Hal ini menyesuaikan dengan kemampuan siswa. Guru juga selalu menciptakan interaksi yang baik dengan siswa dengan cara memberi pertanyaan di sela penyampaian materi. Walaupun memiliki keterbatasan penglihatan, namun siswa tetap memperhatikan guru dalam memberikan pelajaran dengan antusias. Di kelas II ini, jadwal pelajaran matematika pada hari Selasa jam pertama dan kedua, hari Rabu jam ketiga dan keempat, serta hari Jumat jam pertama dan kedua. Jadwal ini sangat sesuai untuk mengajarkan matematika kepada siswa karena tergolong masih pagi dan siswa masih bersemangat serta masih memiliki konsentrasi yang penuh.

2. Pelaksanaan Penelitian di dalam kelas

Pelaksanaan penelitian dilakukan sebanyak empat kali pertemuan, yaitu:

a. Pertemuan Pertama

Pertemuan hari pertama dilakukan pada tanggal 2 September 2016. Pada penelitian hari pertama dilakukan pre-test untuk mengetahui pemahaman awal siswa tentang materi perkalian sebelum dilakukan pembelajaran menggunakan alat peraga. Sebelumnya siswa sudah menerima materi pembelajaran tentang penjumlahan, dimana materi penjumlahan akan membantu siswa mempelajari materi perkalian.


(63)

Sebelum melakukan pre-test guru terlebih dahulu mengingatkan siswa tentang materi penjumlahan khususnya penjumlahan berulang yang akan digunakan untuk mempelajari materi perkalian. Pada pertemuan pertama ini siswa mengerjakan soal pre-test berdasarkan kemampuan mereka sendiri. Siswa mengerjakan soal dengan tenang dan serius. Waktu yang diberikan untuk mengerjakan soal pre-test adalah 50 menit. Soal pre-test yang diberikan adalah sebanyak 10 soal. Pada saat mengerjakan soal pre-test kedua siswa kadang terlihat bingung, namun peneliti dibantu dengan guru kelas sesekali memberi petunjuk tentang perintah soal, sehingga siswa tidak salah mengartikan soalnya. Pre-test selesai dalam waktu 50 menit sesuai dengan waktu yang diberikan oleh peneliti. Setelah mengerjakan pre-test, peneliti melakukan wawancara dengan kedua siswa dan memberikan beberapa pertanyaan yang dijawab dengan baik oleh siswa.

b. Pertemuan Kedua

Pertemuan kedua diadakan pada tanggal 6 September 2016, dimulai pukul 07.30 dan berakhir pada pukul 08.40. Pertemuan kedua ini diawali dengan kegiatan dimana peneliti kembali mengingatkan siswa mengenai pre-test yang sudah dilaksanakan pada pertemuan sebelumnya. Setelah siswa sudah mengingat soal yang dikerjakan, kemudian peneliti bertanya apakah ada soal yang


(64)

45

materi perkalian kepada siswa. Pembelajaran matematika pada penelitian kali ini menggunakan alat peraga berupa bola. Penggunaan bola dalam penelitian bertujuan untuk membuat konsep bilangan yang abstrak menjadi konkret dimana bilangan 1 diwakili dengan sebuah bola, bilangan 2 diwakili dengan dua buah bola, bilangan 3 diwakili dengan tiga buah bola, dan seterusnya.

Peneliti memulai pelajaran dengan mengenalkan alat peraga kepada siswa dan menjelaskan apa yang akan dilakukan dengan alat peraga tersebut. Setelah dijelaskan dan siswa sudah mengerti, peneliti mulai melaksanakan proses pembelajaran. Diawali dengan materi penjumlahan bilangan yang sama. Peneliti bertanya beberapa pertanyaan mengenai penjumlahan. 5 + 5 = ….? Kemudian peneliti meminta siswa menjawab hasilnya. Untuk memastikan jawaban siswa, peneliti mempersilahkan siswa untuk menggunakan alat peraga bola untuk menghitung hasilnya. Berangkat dari pertanyaan tersebut peneliti kemudian mengajar materi perkalian. Materi perkalian sebagai penjumlahan berulang diajarkan kepada siswa. × = ….? Setiap diberikan pertanyaan, siswa diminta untuk menghitung dengan menggunakan alat peraga. Pada pertemuan kedua ini, peneliti memberikan beberapa soal sebagai latihan untuk siswa. Peneliti juga membantu siswa ketika kesulitan untuk menjawab atau kesulitan dalam memahami maksud soal yang diberikan.


(65)

c. Pertemuan Ketiga

Pertemuan ketiga diadakan pada tanggal 7 September 2016 dimulai pukul 08.40 dan berakhir pada pukul 09.50. Kegiatan pembelajaran pada pertemuan ketiga ini hampir sama dengan pembelajaran pada pertemuan kedua, karena dua pertemuan ini digunakan peneliti untuk mengajarkan kepada siswa konsep perkalian dengan menggunakan alat peraga.

Sebelum memulai pembelajaran, peneliti kembali mengingatkan siswa tentang apa yang sudah dipelajari pada pertemuan sebelumnya. Peneliti kemudian menjelaskan bahwa pembelajaran pada pertemuan ketiga ini masih akan belajar dan berlatih soal-soal perkalian. Siswa terlihat sangat antusias untuk belajar menggunakan alat peraga. Siswa juga mengerjakan soal-soal latihan dengan bersemangat. Selama pembelajaran, siswa terkadang meminta bantuan peneliti apabila ada soal yang dirasa sulit untuk dikerjakan. Selebihnya siswa mengerjakan soal secara mandiri karena sudah memahami materi dan juga sudah memahami cara menggunakan alat peraga.

Di akhir pembelajaran, peneliti melakukan wawancara untuk melihat perkembangan pemahaman siswa, dan juga mengingatkan bahwa pada pertemuan selanjutnya akan dilaksanakan post-test.


(66)

47

d. Pertemuan Keempat

Pada pertemuan keempat ini, tepatnya pada tanggal 9 September 2016 dilakukan post-test. Post-test dimulai pada pukul 07.40 dan berakhir pada pukul 08.30. Siswa diberikan waktu 50 menit untuk mengerjakan post-test. Sama dengan pre-test, jumlah soal post-test juga sebanyak 10 soal. Sebelum dilaksanakan post-test, peneliti kembali mengingatkan siswa mengenai penggunaan alat peraga untuk materi perkalian. Setelah diingatkan mengenai penggunaan alat peraga, siswa mengerjakan soal post-test dengan tenang dan percaya diri. Di akhir pembelajaran, peneliti kembali mengadakan wawancara dengan kedua siswa untuk memberikan pertanyaan terkait soal post-test dan untuk melihat pemahaman siswa mengenai materi perkalian.

B. Hasil Penelitian 1. Data pre-test

Tabel 4.1. Hasil belajar siswa mengerjakan soal pre-test

Siswa

Nomor Soal Pre-Test

Total Nilai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

S1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 4 S2 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 3

Tabel diatas menunjukkan hasil pre-test kedua subjek penelitian. Soal pre-test sebanyak 10 nomor. Angka 1 menunjukkan soal tersebut


(67)

dijawab dengan benar, dan angka 0 menunjukkan soal tersebut dijawab dengan salah.

2. Data post-test

Tabel 4.2 Hasil belajar siswa mengerjakan soal post-test

Siswa

Nomor Soal Post-Test

Total Nilai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

S1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 8 S2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 9

Tabel diatas menunjukkan hasil post-test kedua subjek penelitian. Soal post-test sebanyak 10 nomor. Angka 1 menunjukkan soal tersebut dijawab dengan benar, dan angka 0 menunjukkan soal tersebut dijawab dengan salah.

3. Data pemahaman siswa (hasil wawancara per pertemuan)

Data yang lain dalam penelitian ini adalah transkripsi percakapan antara peneliti dan kedua subjek. Transkripsi percakapan ini merupakan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada masing-masing subjek setelah pembelajaran selesai. Data ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman siswa mengenai materi konsep perkalian. Adapun hasil transkripsi percakapan antara peneliti dan subjek akan dilampirkan.


(68)

49

C. Analisis Data

Berikut ini adalah hasil analisis pre-test dan post-test serta pemahaman siswa tentang konsep perkalian

1. Analisis pre-test dan post-test

% � � ������ = � �� � � � � �� � �� %

Tabel 4.3 Persentase ketercapaian hasil belajar siswa % ketercapaian Kriteria

0% - 20% Sangat Rendah

20,01% - 40% Rendah

40,01% - 60% Cukup

60,01% - 80% Tinggi

80,01% - 100% Sangat Tinggi

(Sumber: Dikutip dari Asep Jihad dan Abdul Haris, 2013) Tabel diatas adalah pembagian persentase ketercapaian hasil belajar dimana ketercapaian hasil belajar dibagi dalam 5 kategori yaitu sangat rendah, rendah, cukup, tinggi, dan sangat tinggi.

Pre-test

Tabel 4.4. Analisis hasil pre-test

% Ketercapaian Kriteria

S1 40% Rendah

S2 30% Rendah

Rata-Rata

Ketercapaian Pre-test 35%


(1)

122

P : “Tadi S2 seneng gak belajar matematika pake bola?” S2 : “Ya seneng”

P : “Senengnya kenapa?”

S2 : “Senengnya karena belajar matematika senang.”

P : “Bisa gak belajarnya matematika tentang perkalian tadi? Regletnya dimasukin dulu”

S2 : “Iya “

P : “Seneng gak? Bisa gak tadi belajarnya?” S2 : “Bisa”

P : “P nanya, kalo enam kali empat berarti S2 ngambil berapa kali?”

S2 : “Enam”

P : “Enam kali. Sekali ngambil berapa bola?” S2 : “Empat”

P : “Berarti mana angka enam nya. enam kali sekali ngambil berapa bola?”

S2 : “Aduh aku capek. Empat.”

P : “Berarti penjumlahannya gimana? Empat ditambah…” S2 : “Empat ditambah empat ditambah empat ditambah empat

ditambah empat ditambah empat”. P : “Oke bisa ya?”


(2)

123

Rekaman 8

P : “Tadi kalo lima kali sembilan S2 ngerjainnya gimana? Berapa kali ngambil?”

S2 : “Lima kali”

P : “Sekali ngambil berapa bola?” S2 : “Sembilan”.

P : “Tangan limanya mana?” S2 : “Ini”

P : “Sekali ngambil sembilan, berarti?”

S2 : “Sembilan ditambah Sembilan ditambah Sembilan ditambah Sembilan ditambah Sembilan.”


(3)

124

Lampiran D.3

Liputan6.com, Jakarta – Di akun Facebook, Muhammad Erfas Maulana memposting hasil tugas matematika adiknya, Habibi yang mendapat ponten merah dari sang guru. Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Diponegoro itu mempertanyakan kesalahan jawaban tugas matematika adiknya yang bersekolah di salah satu SD di Semarang.

Dalam tugas tersebut, Erfas mengajarkan adiknya cara perkalian yang menurutnya lebih mudah dipahami anak kelas 2 SD. Yaitu 4+4+4+4+4+4 = 4x6 = 24, dengan alasan empatnya ada enam kali. Saat itu dia tidak berpikir posisi angka 4 dan 6, karena hasilnya sama saja, dan soalnya “=….x….=”.”

Untuk itu, ia yakin jawaban yang ditulis dalam tugas tersebut adalah benar semua. Namun betapa kagetnya dia saat tahu jawaban itu salah. Sang guru menulis 6x4 = 24. Untuk itu, dia yakin kesalahan ini bukan dari murid tapi dari pihak guru. Akhirnya dia pun mem-posting gambar hasil nilai tugas adiknya tersebut ke akun Facebook. Dalam postingan itu terlihat nilai dan coretan tanda salah dari guru. Dia pun sempat menulis sesuatu di bawah mempertanyakan nilai tersebut.

“Bu Guru yang terhormat, mohon maaf sebelumnya, saya kakak dari Habibi yang mengajarinya mengerjakan PR di atas. Bu, bukankah jawaban Habibi benar semua? Apakah hanya karena letaknya yang terbalik sehingga jawaban Habibi Anda salahkan? Menurut saya masalah peletakan bukan menjadi masalah Bu, misal 4x6 = 6x4. Hasilnya sama-sama 24. Terimakasih Bu, mohon perhatiannya.

Semoga dapat dijadikan pertimbangan,” tulis Irfan dalam kertas tugas matematika

adiknya yang di posting di wall facebooknya. Picu Perdebatan

Sontak, postingan itu menjadi heboh. Perdebatan pun muncul. Ada yang setuju dengan Erfas dan juga ada yang berpihak pada ponten sang guru. Tak hanya itu, para pakar pun angkat bicara.

Astronom sekaligus Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin menilai jawaban model matematis dari soal 4+4+4+4+4+4 itu adalah 6x4.

Dia mengatakan, meskipun 4x6 dan 6x4 hasilnya sama-sama 24 namun logikanya berbeda.

“Misalnya, Ahmad dan Ali harus memindahkan bata yang jumlahnya sama, 24.

Karena Ahmad lebih kuat, ia membawa 6 bata sebanyak 4 kali, secara matematis ditulis 4x6,” jelas Thomas dalam akun Facebooknya, Selasa 23 September 2014.


(4)

125

“Tetapi Ali yang badannya lebih kecil, hanya mampu membawa 4 bata sebanyak

6 kali. Model matematisnya 6x4. Jadi 4+4+4+4+4+4 = 6x4. Berbeda konsepnya dengan 6+6+6+6 = 4x6, walau hasilnya sama 24,” imbuh dia.

Thomas menilai, belajar logika matematika seperti ini sebenarnya hal yang mengasyikkan. Namun kini, banyak orang yang sekedar ingin mencari cara cepat penyelesaian soal matematika tanpa mengerti logikanya.

Yang penting, kata dia, tahu hasilnya. Itulah yang menjadikan generasi “kalkulator”, yang malas menjadikan logika matematika untuk memudahkan

kehidupan. “Dengan kemampuan berlogika, suatu kasus bisa dimodelkan dengan

rumusan matematis, sehingga mudah dipecahkan,” ucap Thomas

Fisikawan Yohanes Surya menilai persoalan 4x6 atau 6x4 ini adalah sebuah kesepakatan dalam matematika dan bukan benar atau salah.

Melalui akun facebook resminya, Yohanes mengajak untuk latihan mengekspresikan sebuah perhitungan dalam bahasa matematika. Ia memberi satu contoh ada 2 kotak yang masing-masing berisi 4 jeruk.

Bila ditulis dalam operasi penjumlahan, yakni 4+4. Namun, dalam operasi perkalian, maka 2 kotak yang masing-masing berisi 4 jeruk itu ditulis 2x4.

“2x4 jeruk = 4 jeruk + 4 jeruk,” tulis Yohanes dalam akun Facebook-nya, Selasa

(23/9/2014)

Dengan logika tersebut, lanjut dia, maka 6x4 = 4+4+4+4+4+4. Dan 4x6 = 6+6+6+6.

“Ketika menghitung 6x4 kita membayangkan menghitung jumlah jeruk dalam 6 kotak berisi masing-masing4 jeruk. Jadi 6x4 = 4+4+4+4+4+4,” papar dia.

“Ketika menghitung 4x6 kita membayangkan menghitung jumlah jeruk dalam 4

kotak berisi masing-masing 6 jeruk. Jadi 4x6 = 6+6+6+6. Matematika itu GASING –Gampang AsyIk menyenaNGkan,” tandas Yohanes.

Dosen Matematika ITB Iwan Pranoto menilai 4x6 dan 6x4 sama saja. Karena itu, jawaban 4+4+4+4+4+4 = 4x6 tidak bisa serta-merta disalahkan.

Dalam kultwitnya di @iwanpranoto, Selasa 23 September 2014, Iwan memberi ilustrasi. Ia mencontohkan, bila pertanyaan guru adalah “jika 2x3 = 3+3, tentukan 3x4”, maka jawaban yang seharusnya adalah 4+4+4. “Jika dengan pertanyaan ini


(5)

126

Namun, Iwan mengungkapkan, bila pertanyaannya hanya 3x4, maka anak bisa menjawab 3+3+3+3 atau 4+4+4. Semuanya benar.

Dengan demikian, didasarkan pada pendapat Iwan, 4+4+4+4+4+4 bisa saja dinyatakan 4x6 atau 6x4 dalam operasi perkalian. Karena itu jawaban dalam tugas Matematika adik Erfas seharusnya tak dapat disalahkan.

“Cara bertanya guru Matematika di Indonesia mungkin salah. Juga cara mengoreksinya salah,” kritik Iwan.

Tak hanya itu, Iwan juga mengomentari pendapat Yohanes Surya. Menurutnya apa yang dipaparkan sang fisikawan itu merupakan ilmu alam bukan ilmu matematika.

“Di ilmu alam, kita mengamati alam, lalu berteori. Di matematika, kita berteori dan bernalar dengannya, menjelajah berbagai inferensinya,” tulis Iwan

Jika mendefinisikan perkalian dengan situasi di alam atau kejadian di kenyataan, jelas Iwan, perkalian akan menjadi gagasan yang tergantung alam. “Math is not like that.”

Dia menambahkan dalam ilmu alam, bila teori berbeda dengan kenyataan, maka teori itu gugur. Namun, dalam Matematika, bila pernyataan berbeda dengan kenyataan, tak serta-merta salah. “Math is not about the nature,” ungkapnya. “Secara bercanda, matematikawan akan berkata bahwa karena alam/semesta yang tak ideal, akhirnya teori matematika tak sesuai dengan fenomena alam. Yang salah itu alam/semesta, bukan salah matematikanya karena matematika lebih ideal dari kenyataan/alam. Persamaan/pernyataan matematika itu kekal. Lebih kekal dari alam,” pungkas Iwan.

Kecaman keras disampaikan Humas Kemendikbud Ibnu Hamad terhadap sang guru. Dia menilai kasus itu sebenarnya siswa telah menggunakan nalarnya.

“Itukan nalar dia, harusnya penalarannya dihargai gurunya, selama masih masuk nalar boleh dong, kecuali hasilnya menjadi kurang,” kritik Ibnu.

Harusnya, kata Ibnu, sang guru yang telah mendapat pelatihan Kurikulum 2013 itu mengimplementasikan dengan baik pada siswa. Untuk itu dia segera mengingatkan Dinas Pendidikan terkait agar menindaklanjuti kasus ini

“Harusnya dia tahu apalagi guru kelas 1,2,4 dan 5 sudah pernah ikut pelatihan


(6)

127

“Dalam kasus itu, bisa saja si siswa memberikan jawaban sesuai penalarannya, yaitu 4x6 atau 6x4. Itu nggak salah, karena dalam penalaran enggak harus memberikan satu jawaban. Jika dia penalarannya mengasosiasikan 4x6 bisa benar, 6x4 juga benar,” beber Ibnu.

Mohon Maaf

Setelah memunculkan perdebatan seru antara sejumlah pakar, kini Erfas meminta maaf. Maafnya tersebut dialamatkan kepada guru. Namun dia tak menyebut, siapa guru yang dimaksud.

“Mohon maaf, saya sudah menghebohkan media sosial beberapa hari terakhir ini.

Baru saja saya mengkonfirmasi ini kepada guru. Saya juga sudah meminta maaf sebesar-besarnya kepada beliau,” tulis Erfas melalui akun Facebook-nya Selasa (23/9/2014)

“Sekali lagi saya mohon, jangan ada yang menyalahkan guru karena guru sudah

mengajarkan sesuai konsep dan buku yang ada. Sang guru juga tidak menyalahkan pendapat saya.”

Dia mengakui, kurikulum 2013 saat ini sangat baik. Namun bagi mereka yang tak pernah mencicipi sistem pendidikan – seperti yang tengah dilalui adiknya ini— akan kesulitan untuk beradaptasi.

“Mungkin banyak orangtua yang bingung mengenai kurikulum 2013 karena mata pelajaran di kurikulum ini dicampur. Misalnya matematika, IPA, IPS, bahasa

Indonesia, PPKN, dll dilebur menjadi tematik,” tukas dia.

“Misal, dari dulu kita terbiasa menuliskan resep obat 3x1, dibaca tiga kali sehari, satu butir. Bayangkan bila dari dulu resep penulisan obat adalah 1x3, dibaca satu butir, tiga kali sehari, semuanya 1+1+1. Kembali lagi ini semua adalah tentang


Dokumen yang terkait

Perkembangan Kemandirian Anak Tunanetra di Sekolah Luar Biasa Bagian A (Studi Kasus di SLB-A Karya Murni Medan Johor)

20 191 96

GAMBARAN HARGA DIRI SISWA TUNANETRA DI SEKOLAH LUAR BIASA (SLB-A) TPA BINTORO KABUPATEN JEMBER

0 4 92

Peran perpustakaan SLB dalam menumbuhkan kemampuan literasi informasi bagi anak tunanetra : studi kasus perpustakaan SlB-A Pembina Tingkat Nasioanl Jakarta

22 112 102

EFEKTIFITAS METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAMBAGI ANAK TUNANETRA DI SEKOLAH LUAR BIASA A (SLB-A) EFEKTIFITAS METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI ANAK TUNANETRA DI SEKOLAH LUAR BIASA A (SLB-A) (Studi Kasus Pada Tingkat SMP YKAB di SLB-

3 11 16

BUDAYA BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA SEKOLAH LUAR BIASA TUNANETRA (SLB-A) Budaya Belajar Matematika Pada Siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB-A) (Studi Etnografi Di SLB-A YKAB Surakarta).

0 4 14

PENDAHULUAN Budaya Belajar Matematika Pada Siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB-A) (Studi Etnografi Di SLB-A YKAB Surakarta).

0 4 6

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KESEHATAN REPRODUKSI UNTUK SISWA TUNANETRA KELAS VI DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

1 16 173

MENINGKATKAN KEMAMPUAN ORIENTASI DAN MOBILITAS MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA SISWA TUNANETRA KELAS 2 SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

1 4 159

KEEFEKTIFAN MEDIA MODEL “BOLA PECAHAN” TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP PECAHAN PADA SISWA TUNANETRA KELAS III DI SEKOLAH LUAR BIASA-A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

0 0 261

Pencapaian Kompetensi Guru Anak Tunanetra di SLb/A Yaketunis Yogyakarta

0 0 3