Kecerdasan emosi anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian

(1)

KECERDASAN EMOSI ANAK DENGAN IBU SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL AKIBAT PERCERAIAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Gita Gafiratri NIM: 089114032

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2013


(2)

(3)

(4)

iv


(5)

v

Semua usahaku ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yesus – Tuhan dan Juruselamatku

Kedua orangtua, almh. mbahputri, kakak dan adik-adikku terkasih

Serta sahabat dan teman-teman tersayang


(6)

(7)

vii

KECERDASAN EMOSI ANAK DENGAN IBU SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL AKIBAT PERCERAIAN

Gita Gafiratri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kecerdasan emosi yang dimiliki oleh anak-anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian. Mengingat bahwa ibu sebagai orangtua tunggal mempunyai permasalahan dalam membagi waktu serta menanggung beban dan tanggung jawab yang berat karena harus memegang dua peran sekaligus, yaitu peran sebagai ibu yang harus mengasuh dan mendidik anak, serta menggantikan figur ayah yang harus mencari nafkah. Keterbatasan waktu dan peran ganda yang dimiliki oleh ibu sebagai orangtua tunggal tersebut berpengaruh terhadap perilaku dan perkembangan anak, khususnya dalam pembentukan karakteristik, watak serta kecerdasan emosi anak. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data diperoleh menggunakan metode wawancara semi terstruktur dan observasi skala rating. Dari kedua metode tersebut kemudian dianalisis untuk dapat menggambarkan kecerdasan emosi anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian. Subjek dalam penelitian ini adalah anak yang berada pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, yaitu anak-anak yang berusia 6-12 tahun dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian. Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian memiliki kecerdasan emosi yang beragam untuk setiap aspeknya. Para subjek tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam aspek pengenalan terhadap emosi diri dan emosi orang lain. Meskipun demikian, anak-anak tersebut kurang memiliki kemampuan yang baik dalam aspek pengelolaan emosi. Kecerdasan emosi tersebut terbentuk dari pola asuh yang diterapkan oleh orangtua, relasi yang terbentuk antara ibu dan anak, serta kegiatan anak diluar sekolah. Relasi antara ibu dan anak ini terbentuk akibat pola asuh yang diterapkan oleh ibu.


(8)

viii

EMOTIONAL INTELLIGENCE OF CHILDREN WITH A SINGLE PARENT MOTHER DUE TO DIVORCE

Gita Gafiratri

ABSTRACT

This study aimed to provide an overview of emotional intelligence possessed by the children with a single parent mother due to divorce. Considering that a single parent mother had a problem in dividing her time, bearing the burden and also had a heavy responsibility because a single parent mother having to hold two roles at once, that is a role as a mother that taking care for her children and educated them. Beside that, a single parent mother also replace the father figure who had to making a living. Limitations of time and the multiple roles that held by a single parent mother due to divorce had an effect on the child development and their behavior, especially in the formation of characteristics, character and emotional intelligence of children. This research is a qualitative-descriptive study. The data obtained using a semi-structured interviews a nd using the rating scales observation methods. Of these two methods were then analyzed to describe the emotional intelligence of children with a single parent mother due to divorce. Subjects in this study were children in the middle and late childhood aged 6-12 years old with a single parent mother due to divorce. The findings in this study showed that children with a single parent mother due to divorce have a variety emotional intelligence for each aspects. These children have a good ability in recognition of emotional self and others emotions’ aspects. Neverthless, these children lack good skills in managing emotions. Emotional intelligence is formed of parenting applied by parents, relationships formed between mother and child, and children’s activities besides school. The relationship between mother and child was formed by parenting style that applied by the mother.


(9)

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan rahmat-Nya yang telah dikaruniakan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul

”Kecerdasan Emosi Anak dengan Ibu sebagai Orangtua Tunggal Akibat

Perceraian”. Penulisan ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Terselesaikannya skripsi ini tentunya tidak terlepas dari dukungan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak di sekitar penulis. Maka pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus, Bapa sekaligus sahabat setia yang selalu hadir dalam doa yang aku panjatkan ketika aku mengeluh dan selalu memberi damai sejahtera dalam hatiku. You are my hope, my strength and my all in all. I could never do and through this all without You LORD JESUS.

2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani, selaku Dekan Fakultas Psikologi serta selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan selama proses kuliah dan memberikan pelajaran berharga tentang perjuangan dalam menyelesaikan skripsi.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.


(11)

xi

4. Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si., Psi., selaku Wakaprodi dan dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga serta pikiran dan dengan penuh kesabaran selalu membimbing penulis serta memberikan saran yang bermanfaat dalam penelitian ini sehingga proses penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. Terima kasih, Bu.

5. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi., dan Ibu Sylvia Carolina MYM., M.Si., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan lebih baik.

6. Dosen-dosen Fakultas Psikologi, terima kasih telah membantu penulis dalam memberikan ilmu pengetahuan selama penulis mengikuti perkulian.

7. Karyawan Fakultas Psikologi: Mas Muji, Mas Doni, Mas Gandung, Mbak Nanik, dan Pak Giek, atas segala bantuan fasilitas selama proses perkuliahan. 8. Papaku Sugihartono dan mamaku Nunung Joeniartin selaku orangtua yang

telah membantu penulis tanpa pamrih dari segi materil, maupun non materil, yang selalu ada di saat sedih ataupun gembira serta doa-doa yang dipanjatkan untuk penulis. You’re the best and perfect parents ever to me, I love you.

9. Kakakku Gina serta adik-adikku Gilang dan Nanda. I’m so proud to be your

sister. Terimakasih untuk doa-doanya. I love you all.

10. Thomas “[F]ame” Budianto my idol, my inspirations, my everything. Thanks for every smile that shown and thanks for always encourage me undirectionally. Naneun dangsin-eul neomu saranghae.


(12)

xii

11. Riana, teman seperjuangan yang selalu bisa menerima aku apa adanya serta saling mendukung dan menguatkan selama proses pengerjaan skripsi. I never found a best friend like you. You’re the best friend ever.

12. Om Maryono dan Tante Ningsih – orangtua dari Riana yang selalu saja aku repotin kalau main ke rumahnya. Terima kasih, Om; terima kasih, Tante. 13. Kak Sentya dan Kak Linda, teman sekaligus kakak untuk saran dan masukan

yang diberikan terkait dengan penulisan skripsi; serta Dessy dan Mega, atas waktu yang diluangkan untuk diskusi dan sharing terkait dengan penulisan skripsi.

14. Teman-teman Komsel J-Lo Saranghae (Ci Intan, Ci Nila, Kak Emy, Kak Iken, Claudia, Tata) untuk doa, semangat dan dukungannya.

15. Kakak-kakak Guru Sekolah Minggu Kids Impact Gereja Keluarga Allah

Grand Pelita (Kak Sylvi, Kak Felly, Kak Meta, Kezia dan Agitha) serta anak-anak Sekolah Minggu Kids Impact Gereja Keluarga Allah Grand Pelita untuk dukungan doa, keceriaan dan kebersamaannya.

16. Mbak Rup, yang menemani dan membuat hari-hariku ceria di rumah.

17. Teman-teman ‘Famous Jogja’ (Neng Mita dan Bang Mirza) untuk keceriaan dan dukungannya;

18. Fn, Zk, Dt, Wd, dan Rm serta orangtua masing-masing untuk kesediaanya meluangkan waktu dalam memberikan informasi yang penulis butuhkan dalam penulisan skripsi.


(13)

xiii

19. Semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak mungkin disebutkan satu persatu untuk doa dan dukungannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala kritik dan saran yang diberikan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi yang membacanya.


(14)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoretis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9


(15)

xv

1. Pengertian Emosi ... 9

2. Pengertian Kecerdasan Emosi ... 11

3. Proses Berkembangnya Kecerdasan Emosi ... 12

4. Aspek Kecerdasan Emosi ... 15

a. Mengenali Emosi Diri ... 15

b. Mengelola Emosi ... 16

c. Memotivasi Diri Sendiri ... 17

1) Optimisme ... 17

2) Harapan ... 18

3) Flow ... 18

d. Mengenali Emosi Orang Lain ... 18

e. Membina Hubungan ... 19

5. Ciri-ciri Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosi ... 20

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi ... 22

a. Keluarga ... 22

b. Pengalaman dengan Lingkungan Sekitar ... 23

c. Pendidikan Sekolah ... 23

B. Anak-anak Masa Pertengahan dan Akhir ... 24

1. Batasan Usia Anak Usia Akhir ... 24

2. Karakteristik Perkembangan Masa Pertengahan dan Akhir Anak-anak ... 24

a. Perkembangan Fisik ... 24


(16)

xvi

c. Perkembangan Psikososial ... 26

d. Perkembangan Emosi ... 28

3. Tugas Perkembangan Anak Tahap Akhir (Usia 6-12 Tahun) ... 30

C. Keluarga dengan Ibu sebagai Orangtua Tunggal Akibat Perceraian ... 31

1. Pengertian dan Fungsi Keluarga ... 31

2. Perceraian ... 32

3. Ibu sebagai Orangtua Tunggal ... 35

D. Kecerdasan Emosi Anak-anak dengan Ibu sebagai Orangtua Tunggal Akibat Peceraian ... 37

E. Pertanyaan Penelitian ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 42

A. Jenis Penelitian ... 42

B. Fokus Penelitian ... 44

C. Subjek Penelitian ... 46

D. Metode Pengambilan Data ... 46

E. Analisis Data ... 54

1. Reduksi Data ... 55

2. Penyajian Data ... 56

3. Menarik Kesimpulan atau Verifikasi ... 56

F. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data ... 59

1. Triangulasi Sumber ... 60

2. Triangulasi Teknik ... 60


(17)

xvii

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Proses Pengambilan Data ... 62

1. Pelaksanaan ... 62

2. Data Subjek ... 63

B. Hasil ... 63

1. Subjek 1 ... 63

a. Latar Belakang Subjek 1 ... 63

b. Hasil: Kecerdasan Emosi Subjek 1 ... 65

1) Pengenalan Emosi Diri ... 66

2) Pengelolaan Emosi ... 67

3) Motivasi terhadap Diri Sendiri ... 69

4) Pengenalan terhadap Emosi Orang Lain ... 70

5) Pembinaan Hubungan dengan Orang Lain ... 71

2. Subjek 2 ... 72

a. Latar Belakang Subjek 2 ... 72

b. Hasil: Kecerdasan Emosi Subjek 2 ... 74

1) Pengenalan Emosi Diri ... 74

2) Pengelolaan Emosi ... 76

3) Motivasi terhadap Diri Sendiri ... 78

4) Pengenalan terhadap Emosi Orang Lain ... 79

5) Pembinaan Hubungan dengan Orang Lain ... 79

3. Subjek 3 ... 81


(18)

xviii

b. Hasil: Kecerdasan Emosi Subjek 3 ... 84

1) Pengenalan Emosi Diri ... 85

2) Pengelolaan Emosi ... 86

3) Motivasi terhadap Diri Sendiri ... 87

4) Pengenalan terhadap Emosi Orang Lain ... 88

5) Pembinaan Hubungan dengan Orang Lain ... 89

4. Subjek 4 ... 91

a. Latar Belakang Subjek 4 ... 91

b. Hasil: Kecerdasan Emosi Subjek 4 ... 94

1) Pengenalan Emosi Diri ... 94

2) Pengelolaan Emosi ... 96

3) Motivasi terhadap Diri Sendiri ... 97

4) Pengenalan terhadap Emosi Orang Lain ... 98

5) Pembinaan Hubungan dengan Orang Lain ... 99

5. Subjek 5 ... 101

a. Latar Belakang Subjek 5 ... 101

b. Hasil: Kecerdasan Emosi Subjek 5 ... 103

1) Pengenalan Emosi Diri ... 103

2) Pengelolaan Emosi ... 105

3) Motivasi terhadap Diri Sendiri ... 106

4) Pengenalan terhadap Emosi Orang Lain ... 107

5) Pembinaan Hubungan dengan Orang Lain ... 108


(19)

xix

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 118

1. Bagi Orangtua Tunggal ... 119

2. Bagi Peneliti Lain ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 120


(20)

xx

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pedoman Wawancara terhadap Anak mengenai Kecerdasan

Emosi ... 48 Tabel 3.2 Pedoman Observasi SkalaRating ... 51 Tabel 3.3 Pedoman Wawancara Kecerdasan Emosi Anak dengan Ibu sebagai

Orangtua Tunggal untuk Wawancara denganSignificant Others

(Ibu) ... 54 Tabel 3.4 Pedoman Pemberian Koding ... 57 Tabel 4.1 Daftar Pelaksanaan Wawancara Langsung dengan Subjek dan Ibu

Subjek ... 62 Tabel 4.2 Data Subjek ... 63 Tabel 4.3 Ringkasan Temuan Penelitian berdasarkan Hasil Wawancara

dengan Orangtua Seluruh Subjek ... 109 Tabel 4.4 Ringkasan Temuan Penelitian berdasarkan aspek Kecerdasan Emosi


(21)

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ecerdasan emosi merupakan salah satu aspek ang berpengaruh

terhadap keberhasilan seseorang dalam kehidupannaerdapat individu ang

memiliki tingkat kecerdasan IQ tinggi namun mengalami kegagalan,

sebaliknya individu yang memiliki IQ rata-rata bisa mendapatkan kesuksesan atau berhasil dalam kehidupannya. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan yang terletak pada kemampuan-kemampuan tertentu yang oleh Goleman (1994) disebut sebagai kecerdasan emosi (Emotional Intelligence). Kecerdasan emosi ini mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri.

Goleman (2001) mengemukakan bahwa emosi merupakan alat untuk mewujudkan perasaan yang kuat. Emosi bisa juga dikatakan sebagai sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, misalnya emosi gembira mendorong untuk tertawa. Selain itu, emosi juga merupakan suatu gejolak penyesuaian diri yang berasal dari dalam dan melibatkan hampir keseluruhan diri dari individu. Emosi mempunyai fungsi untuk mencapai suatu pemuasan atau perlindungan diri bahkan kesejahteraan pribadi pada saat berhadapan dengan lingkungan atau objek tertentu. Tiap bentuk emosi pada dasarnya membuat hidup terasa


(22)

lebih menenangkan, emosi mampu membuat individu merasakan

getaran-getaran perasaan dalam dirinya maupun orang lain.

Untuk dapat berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan, seseorang perlu memiliki kecerdasan emosi. Bar-On mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (dalam Goleman, 2000). Kecerdasan emosi ini tentunya tidak terlepas dari perkembangan emosi sejak masa kanak-kanak. Shapiro (1997) mengatakan bahwa anak-anak yang memiliki keterampilan emosional menunjukkan sikap lebih percaya diri, lebih bahagia dan lebih sukses di sekolah.

Keterampilan emosional ini menjadi fondasi bagi anak-anak untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, peduli kepada orang lain dan produktif. Namun, jika anak tidak memiliki kecerdasan emosi ataupun memiliki masalah dalam kecerdasan emosinya, anak tersebut akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya, anak-anak yang bertumbuh menjadi remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya ( Dampak Pendidikan Karakter terhadap Akademi Anak , 2011).


(23)

erkembangan emosi anak sangat dipengaruhi oleh keluarga,

pengalaman dengan lingkungan sekitar dan pendidikan sekolah (Gottman & Declaire, 2003). Goleman (1997) mengatakan bahwa keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak dalam mempelajari emosi. Sebagaimana kita ketahui, keluarga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan sepanjang hidup seorang individu. Dari keluargalah semua aktivitas dimulai. Keluarga yang dikatakan sukses dalam mendidik anak dapat terlihat melalui terbentuknya kepribadian anak yang utuh dan sehat mental, sebab di dalam keluarga terdapat fondasi untuk terbentuknya suatu pribadi yang sehat baik secara fisik maupun psikis. Santrock (2003) mengatakan bahwa lingkungan keluarga, khususnya orangtua, dapat mengajarkan kecerdasan emosi kepada anak sejak masih bayi meskipun masih melalui ekspresi wajah. Oleh sebab itu, pengalaman emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa.

Shocib (2000) berpendapat bahwa keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikuti oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti. Keluarga inti biasanya terdiri dari orangtua dan anak. Menurut Soelaeman (dalam Shocib, 2000), keluarga dikatakan utuh apabila disamping lengkap anggotanya, juga dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama anak-anaknya. Jika dalam keluarga terjadi kesenjangan hubungan, perlu diimbangi dengan kualitas dan intensitas hubungan sehingga kehidupan


(24)

aah atau ibu tetap dirasakan kehadiranna dan dihaati secara psikologis oleh

anakanak

eluarga ideal pada umumna membesarkan anak dengan dua

orangtua, yang terdiri dari ayah dan ibu. Namun kenyataanya ada beberapa keluarga dengan orangtua tunggal yang membesarkan anaknya. Hal ini berarti dalam keluarga hanya terdapat satu orangtua, yaitu ayah atau ibu saja. Keluarga dengan orangtua tunggal dapat terjadi karena disebabkan oleh meninggalnya salah satu orangtua dalam keluarga atau dikarenakan adanya perpisahan ataupun perceraian (Balson, 1993). Hurlock (1989) menyatakan bahwa apabila keluarga dengan orangtua tunggal disebabkan oleh perceraian, akibat yang dirasakan oleh anak akan lebih terasa jika dibandingkan dengan yang disebabkan oleh kematian salah satu orangtua. Terdapat dua alasan berkenaan dengan hal ini. Pertama, periode penyesuaian terhadap perceraian lebih lama dan sulit bagi anak daripada periode penyesuaian yang menyertai kematian orangtua. Kedua, akibat yang disebabkan oleh perceraian dapat dikatakan serius karena orangtua telah membuat anak menjadi berbeda diantara teman sebayanya.

Keluarga dengan orangtua yang bercerai memerlukan banyak sekali penyesuaian sosial dan emosional. Berbeda dengan kematian salah satu orangtua, perceraian tidak terjadi secara tiba-tiba dan orangtua dapat mempersiapkan anak-anak mereka untuk suatu kehidupan keluarga dengan satu orangtua saja (Balson, 1993). Dalam penelitiannya, Friedman menemukan bahwa kematian orangtua selama masa kanak-kanak kecil sekali


(25)

pengaruhna terhadap rentang hidup anak al ini sesuai dengan penelitian

lain ang membuktikan bahwa perceraian dan perpisahan orangtua memiliki

pengaruh lebih besar terhadap masalahmasalah kejiwaan anak di kemudian

hari daripada pengaruh kematian orangtua dalam ottman & DeClaire,

2008).

Banyaknya kasus perceraian yang terjadi menyebabkan meningkatnya jumlah keluarga dengan orangtua tunggal. Demikian halnya dengan perceraian yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan Data Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA) pada tahun 2010 terdapat 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian dan diajukan ke Pengadilan Agama se-Indonesia. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berdasarkan data tersebut, peningkatan perkara yang masuk dapat mencapai 81% ( Tingkat Perceraian di Indonesia Meningkat , 2011).

Berdasarkan berbagai sumber di atas, jumlah wanita yang menjadi orangtua tunggal lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pria yang menjadi orangtua tunggal. Menurut Kimmel (1980), hal ini terjadi karena wanita memiliki usia rata-rata yang lebih panjang dan pada umumnya wanita menikah dengan pria yang lebih tua usianya. Di samping itu, lebih banyak duda yang menikah kembali sehingga lebih banyak jumlah janda dibandingkan duda (dalam Hetherington & Parke, 1999). Oleh karena itu, jumlah keluarga dengan orangtua tunggal wanita di Indonesia semakin meningkat (DeGenova, 2008). Pada tahun 2004, berdasarkan data Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), terdapat sedikitnya 40


(26)

juta jiwa di ndonesia ang kepala keluargana berstatus jandadalam Zakiah

2007).

Terdapat beberapa permasalahan terkait dengan ibu sebagai orangtua tunggal. Sebagai seorang janda, ibu cenderung memiliki perasan khawatir terhadap anak sehingga ibu memberikan perlindungan yang berlebihan. Perasaan khawatir yang muncul tersebut merupakan akibat dari dua peran yang dipegang sekaligus oleh ibu. Di sisi lain, ibu juga cenderung tidak memiliki waktu yang cukup lagi untuk anak-anak karena harus bekerja demi memenuhi kebutuhan finansial. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bird (dalam Gass-Sternas, 1995) bahwa orangtua tunggal wanita mempunyai beban dan tanggung jawab yang berat karena harus memegang dua peran sekaligus, yaitu sebagai ibu yang harus mengasuh dan mendidik anak, juga menggantikan figur ayah yang harus mencari nafkah.

Beban dan tanggung jawab berat yang harus dipikul oleh seorang wanita yang menjadi orangtua tunggal tersebut memiliki beberapa dampak terhadap anak, yaitu anak menjadi kurang percaya diri, memiliki rasa ketergantungan yang besar bahkan takut sendirian. Hal tersebut merupakan dampak dari peran ganda yang dipegang oleh ibu sehingga ibu cenderung memiliki perasaan khawatir terhadap anak dan memberikan perlindungan yang berlebihan. Dampak yang muncul karena ibu terlalu sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan finansial adalah anak menjadi kurang perhatian dan kurang kasih sayang.


(27)

etidakutuhan dalam keluarga memiliki dampak besar ang akan

dirasakan oleh anak! "ebagai contoh, sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Seltzer (dalam Papalia, 2004) menunjukkan bahwa anak dari orangtua tunggal atau single parent cenderung dinilai kurang, baik secara sosial maupun edukasional jika dibandingkan anak dari orangtua utuh, yaitu orangtua yang terdiri dari ayah dan ibu. Hal ini sebagian dikarenakan orangtua tunggal lebih cenderung menjadi miskin (partly because one-parent families are more likely to be poor). Selain itu, hasil dalam penelitian yang dilakukan oleh Bamlet dan Mosher (dalam Papalia, 2004) menunjukkan bahwa anak dengan orangtua utuh cenderung dinilai lebih baik daripada anak yang berasal dari keluarga yang bercerai atau keluarga tiri. Kecenderungan lain yang dimiliki oleh anak yang tinggal dengan ibu sebagai orangtua tunggal adalah kurangnya kohesi dalam keluarga, dukungan, kontrol serta disiplin dari ayah, karena ayah absen dari kehidupan rumah tangga (Amato, 1987; Coley, 1998; Walker & Hennig, 1997 dalam Papalia, 2004).

B. Rumusan Masalah

Berdasar pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian tentang gambaran kecerdasan emosi anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian.


(28)

#

C. Tujuan Penelitian

$%&uan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

kecerdasan emosi 'ang dimiliki oleh anak(anak dengan ibu sebagai orangtua

tunggal akibat perceraian)

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

*ecara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah

ilmu pengetahuan, di bidang psikologi anak khususnya terkait dengan kecerdasan emosi anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian.

2. Secara Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan secara luas bagi orangtua dalam menambah informasi mengenai dampak pengasuhan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian terhadap emosi anak, sehingga ibu sebagai orangtua tunggal, khususnya dapat mendampingi anak dengan lebih baik lagi.


(29)

, -,..

/. 01 -2 -0324/ 5

--65e7erd89 8:;mosi <6 3engerti8:;mosi

=>t> ?@ ABC D? E>B>F G >EC D>H>B > F >C IJt y>Ctu Kmovere , y>I L D ?E>EMC D?EL?E >N @ ?IO>PHQ R EMC N >M > C IC @?IyC E>MN>I D>HS > N ?T?IG ?EPI L>I D?EMC IG>N @?EPU>N>I H>F @PMF >N G>F >@ ?@ ABC. V?IPEPM WAF ?@ >I (2005), ?@ ABC @ ?EPOPN U>G> BP >M P U?E>B>>I G>I UCNCE>I >ILy N H>BJBP>M P N?>G> >I DC AF ALC B G>I UBCN AF A LC B B ?EM > B? E>I LN >C>I N ?T ?IG? EPIL>I PIMPN D? EMC IG>N Q

XC>B >Iy> ?@ ABC @ ?EPU>N >I E?>N BC M ?EH>G >U E>ILB >I L>I G>EC F P>E G>I G>F>@ GC EC CIGC YCGPQZ?D>L>CTAIM AH ?@ ABCL?@DCE>@ ?IGA EAI LU? EPD>H >I

B P>B >I> H>MC B ?B ?A E>IL, B ?HCILL> B ?T > E> [CBCAFA LCB M?EFC H>M M?EM>w>, G>I ?@ ABCB ?GC H@?IGAEAILB?B?AE>I LPIMPND ?EU? ECF>N P@?I>I LCBQ

Z?U?EMC y> I L M?F >H GCPE >CN >I GC >M >BJD>H>wB ?@P > ?@ ABC @?IPEPM WAF ?@ >I (2005) U>G> G>B>EI>y >G>F > H GAEAI L>I PIMPN D?EMC IG>N Q \ >GC D?ED> L>C @ >T>@?@ABC C MP @ ?IGAEAILC IGCYC GP PIMPN@?@ D?EC N >I E?BUAI

>M>P D?EMCI LN >HF>N P M ?EH >G>U B MC @ PF PB y>I L >G>. ]>F >@ The Nicomachea Ethics U?@ D>H>B>I REC B MAM?F ?B B?T >E > [C F B>[>M M?IM >IL N ?D >OC N >IJ N >E >N M?E G>I HC GPU y>I L D ?I>E, M >IM >IL>II>y >G>F>H @?ILP>B>C N ?HCGPU>I ?@ABC NC M > G?IL>IN?T ? EG>B >IQ ^>[ B PJ >U>DC F >GC F >MC H G? IL>I D >CN >N >I @ ?@CFC NC


(30)

`a

bcdef gcthi j ghk tlh fct , khmn e dh fho dlkphk q edhb qlkrh dc ohg ol sgl kdht cgh ku dh k bh t c oe nl sckpgh tc ol srh dc. vl keseo jscn ow ol tl n u qh nh th bkyh xegh kth b ql kpl kh c l qw nc w kh tc oh n, qlth ckgh k qlkpl kh c gl nl th sh nhkh kohshl qw ncdhkyh shql k pl gnf sl n cghkkhy (zw tl qh ku{aa 5).

vlkeseo vhyls (dh t hq zw tl qh k, 2005), w sh k p yl kdlsek p ql kph keophhy -phhygbhndh th qqlkh k ph kcd hkql kphoh nclqw n c ql sl gh,

y

h c oe| nh dh s dcsc, ol k ppl thq dh th q flsqh nhth bh ku dh k fh n sh bi } l k ph k ql t cbh o glh dhh k co e qh gh fl ko ckp x hpc nloch f c kdc~c de ql qc tcgc

gl ylsdh nhk lqw n c hph s ql krh dc ghk bcdef tl xc b xl sqh gkh dhk o cdh g

ql krh dcgh kbcdefyhk pd c rh th kcql krh dcnch -n ch.

l kh dh dl k phkfl kdhf ho h btcthc kkhydc h oh nulhqw kdh k € l ksc yg

(dhth q  scyh ko c, 2003 ) reph qlkpekpgh fgh k xhb‚h l qw n c q l qc tc gc oc ph gw qfw kl k yh k p nht ckp ol sgh c o nh oe nh qh th c ku h gkcy hn fl g m cn cw twpcn

(nc nol q nhshmy ), h nfl g fl sc th ge (plsh g dh k l gnfsl n c wh rhb), dhk h n flg fl kph th qh k mlkw ql kw tw pc ni l k ph th qh k ml kw ql kw twpcn yhkp dcqh gnedgh kw tl bgl dehow gw bol snl xeohdh thbflkpht h qh kh k py dc flsw tl b dl kph kql tc xh ogh kfl sh n hh kh oh egwpkco cm.

}h sc xlsxhph c flk dh fh o ow gw b-ow gw b ol snl xeo, qh gh l qw nc dh fh o dcn c qfet ghknl xhph cfl sh nhh khkpy dch th qcw tl b qh ken ch yh k p qlt cxh o gh k h nfl gxcw twpc nufn c gw tw pcnum cn cw tw pcn uflsc th ge dhkfl k ph th q hkil thc kco e, l qw n c h dh th b n eho e fl sh nhh k (hm l g) yh k p qlkdw sw kp ckdc ~cde ekoe g ql sl nfw k h oh e xl so ck pghb th ge ol sbh dh f no cq eten u xhc g hkpy xl shn h t dh sc dh th qqh efekdh sctehsdcsckyh.


(31)

„… †engerti‡ˆ‰eŠerd‡‹‡ˆŒmosi

Ž  ‘’“ ”•–•—˜’ Ž’™ •š ›Ž pertama kali dilontar kan pada tahun

1990 oleh psikolog Peter Salovey dariHarvard Universitydan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosi yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Keterampilan EQ bukanlah lawan dari keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu,EQtidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan (Shapiro, 1997).

Menurut Goleman (2005), kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence) atau mengenali emosi diri; menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) atau mengelola emosi melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial (membina hubungan atau kerjasama dengan orang lain).

Menurut Patton (2002), kecerdasan emosi itu mencakup beberapa keterampilan yaitu menunda kepuasan dan mengendalikan impuls dalam diri, tetap optimis jika menghadapi ketidakpastian atau kemalangan, menyalurkan emosi secara efektif, mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri dalam usaha mencapai tujuan, menangani


(32)

œ

žŸ  Ÿ¡¢£¢ ¤ ¥¦§ ¨¢ ©§, menunjukkan rasa empati kepada orang lain serta

membangun kesadaran diri dan pemahaman pribadi.

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan emosi secara efektif dengan cara mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, mampu mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain sehingga seseorang dapat berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.

ª« ¬roses ­® ¯°erkem gn±¯²e³erd¯´¯°µosim

Menurut Shapiro (1997), tahap-tahap perkembangan kecerdasan emosi yang ditinjau melalui tahap-tahap perkembangan anak lebih bervariasi dibandingkan perkembangan anak secara fisik maupun kognitif. Perkembangan secara fisik dan kognitif dapat diperkirakan dalam banyak hal, sedangkan perkembangan secara emosi lebih kompleks. Pada umumnya orangtua hanya mengikuti dan mengantisipasi perkembangan anak secara fisik dan kognitif saja. Kecerdasan emosi anak berkembang seiring dengan tingkat keinginan anak untuk mencoba melakukan hal-hal baru. Dengan adanya kesempatan yang diberikan kepada anak, merangsang anak untuk memotivasi dirinya sendiri dalam mencapai apa yang diinginkannya (dalam Priyanti, 2003).

Shapiro (dalam Priyanti, 2003) juga mengatakan bahwa tahap-tahap dalam perkembangan anak secara fisik dan kognitif turut mendorong


(33)

¸¹º»¹¼½¾¿ À¾¿ »¹Á¹ºÂ¾Ã¾¿ ¹¼Äà Š¾ ¿¾ »Æ Ǿ¾ ÈÃÅ ¾ ½¾ÉÅt¾, anak memiliki

optimisme dan kepercayaan diri yang tinggi dalam beraktivitas. Pada usia tersebut, anak belum dapat membedakan antara upaya dan kemampuan, sehingga anak akan tetap mencoba melakukan aktivitas hingga berhasil. Dengan bertambahnya usia anak antara 8 hingga 12 tahun, maka meningkat pula kematangan kognitif anak yang menjadikannya mampu menilai secara lebih realistis. Kemampuan nilai tersebut menimbulkan suatu kesadaran bahwa upaya dapat menjadi kompensasi untuk kemampuan.

Terdapat 2 aspek utama dalam perkembangan emosi anak pada usia pertengahan dan akhir anak-anak, yaitu melanjutkan pertumbuhan pengetahuan anak tentang emosinya dan kemajuan dalam mengelola keadaan emosi mereka. Bukatko (2008) mengatakan bahwa perkembangan emosi dipengaruhi oleh komunikasi dan interaksi sosial yang dimiliki oleh anak dengan orang dewasa dan dengan teman sebaya.

Banyak dari apa yang kita ketahui tentang perkembangan emosi pada anak usia pertengahan dan akhir anak-anak berkaitan dengan bagaimana anak berpikir dan bernalar tentang emosi. Anak yang berusia antara 8 dan 10 tahun misalnya, sudah memahami bahwa perilaku emosional ditentukan oleh aturan-aturan budaya (anak seharusnya terlihat bahagia ketika menerima hadiah meskipun tidak menyukai hadiah tersebut) dan perilaku yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu


(34)

ÊË

ÌÍÎÍ Ï Ð ÍÑÒÓ tÔ ÑÓÔ ÎyÒÕ Õ ÔÓ ÏÖ× ÒÎ ÓÔØÍÎ Ù tÖØÍ Ï Õ ÔÑÍ ÓÍ ÚÍ ÖÏ Û ÖÏÍ Ö ÎÙÖÎ Ø ÖÖzinkan oleh ibu menghadiri pesta ulang tahun teman) (Bukatko, 2008).

Harris (dalam Bukatko, 2008) menyatakan bahwa anak-anak usia pertengahan dan akhir anak-anak telah mengembangkan pemahaman yang luas dari norma-norma sosial dan harapan yang mengelilingi tampilan perasaan. Pengetahuan tentang emosi dapat memiliki konsekuensi yang signifikan bagi perkembangan sosial anak. misalnya, anak-anak usia 5 tahun yang mampu memberikan label ekspresi emosi pada wajah dengan tepat, lebih cenderung menampilkan perilaku sosial yang positif pada usia 9 tahun (Izard et al., 2001 dalam Bukatko, 2008).

Perkembangan emosional pada anak usia pertengahan dan akhir anak-anak erat berafiliasi dengan kemajuan dalam kognisi yang memungkinkan anak-anak tersebut untuk berpikir dalam istilah abstrak yang lebih kompleks. Pada saat anak-anak tersebut masuk sekolah, mereka mulai memahami bahwa perubahan dalam pikiran dapat menyebabkan perubahan dalam perasaan yang memiliki pikiran bahagia misalnya, dapat menghilangkan suasana hati yang sedih (Weiner & Handel, 1985 dalam Bukatko, 2008).

Berdasarkan berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa dalam proses perkembangan kecerdasan emosi pada anak usia pertengahan dan akhir anak-anak, anak-anak mulai menghargai aturan tampilan budaya yang menentukan kapan dan bagaimana emosi harus ditampilkan. Anak-anak tersebut juga memahami bahwa mereka dapat mengendalikan emosi


(35)

Þßàáâà ãäå äæâà ç ßæßå â è ßà Þäæä Þâà åâÞâàáéåâÞâà á Þêâ ßçëè ä yâà á ìßæìßÞâÞâ ãât Þäâ íâ çäèß îâ æâì ßæèâ çââà ï ðßà áßtâ ñêâà tßàòâà áßçëè ä yâà á Þäãßíâóâ æä ëí ßñ âàâå éâà âå ê è äâ ãßætßà áâñâà Þâà âåñ ä æ âà âåéâà âå äà ä Þäãßæëíßñ çßíâ íê ä äàò ßæâ å èä Þßàáâà ëæâàátêâï ô æâàátuâ yâàá ç ßç ìßæäåâà ìäç ìäàáâà â à áy çßà Þêå êàá Þâà ìßæäàòß æâå è ä Þßàáâà âàâå èßîâ æâ ãëèätäõ,

memiliki anak yang memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengelola emosinya.

ö÷ øspek ùúeerdûü ûý þmosi

Goleman (2005) mengutip Salovey, menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu:

a. Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan inti dan dasar dari kecerdasan emosi yaitu suatu kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu bagi pemahaman diri dan kemampuan mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi. Para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Kesadaran diri ini mencakup kewaspadaan terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati. Seseorang mampu mengenali emosinya sendiri apabila orang tersebut memiliki kepekaan yang tinggi


(36)

ÿ

t y y y

, tenggelam dalam permasalahan, dan

pasrah. Menurut Mayer (dalam Goleman, 2005), kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Agar mampu mengontrol emosi dan menjaga supaya tindakan-tindakan yang diambil tidak didasarkan pada emosi semata, orang harus memahami apa yang diharapkan dari dirinya dan mengerti bahwa setiap tindakan membawa konsekuensi, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2005). Ditambahkaan oleh Salovey dan Mayer bahwa kemampuan


(37)

! " ! " #$%& $&% %' %$ ( )%"

! " ! " , melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan

dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan (dalam Goleman, 2005).

c. Memotivasi Diri Sendiri

Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri. Perkembangan kemampuan memotivasi diri ini juga dimotori oleh kemampuan memecahkan masalah. Bila diberi kesempatan dan dukungan, anak akan mampu melihat permasalahan dari berbagai sisi dan menyelesaikan masalahnya. Keberhasilan dalam memecahkan masalah ini akan mengembangkan kemampuan memotivasi dirinya.

Memotivasi Diri menurut Myers (dalam Goleman, 1995) adalah suatu kebutuhan atau keinginan yang dapat memberi kekuatan dan mengarahkan tingkah laku menjadi motivasi. Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat di telusuri melalui hal-hal sebagai berikut:

1) Optimisme

Optimis merupakan sikap menahan seseorang untuk tidak terjerumus dalam keadaan apatis, keputusasaan, dan depresi pada


(38)

*+

, --t ./01 -2 -.3 4/ 4/ 5/w--0 6-0 4/ ,7 23t-0 6-2-. 83 679: ;9< 3 .3, ./=79 -4-0, 34-9y-0 15 /= 6-,,/5-=-/ .> ,3:

?@ A -=-9-0

A -=-9-0 ,-0 1-t B/=. -0 C --t 6-2-. 4/83 679 -0 ,/ 8-=3 D8-= 3: A -=-9-0 ./=79 -4-0 4/y- 430-0 -6-0y- 4/. -u-0 70<7 4 ./05-9 -3 , -, -= -0 y-0 1 t/ 2-863t/t-9 4-0:;= -0 1 y-01./ .9 70y-38-=-9 -0t3 6-4 -4-0./0 E -635/ . -, 6-0 t36-4 -4-0 B/=, 34-99 -, =-8F,/ ,/>=-0 1 y-01 ./ .970y-38 -= -9-0./.3 23 43B/ B-0 ,<=/ ,-01y =/0 6-8:

G@ Flow

Flow ./=79 -4-0 9705-4 9/ . -0C - -t-0 /.> ,3 6/.3 ./05-9 -3 , -, -= -0 y-0 1 63t/t-9 4-0: H-2 -. flow, / .> ,3 t36-4 8-0y- 63t- .970 1 6-0 63, -27= 4-0 t/t-9 3 E71 - B/= ,3C-t ./0 67 4701, memberi tenaga dan

keselarasan dengan tugas yang dihadapi. Ciri khas flow adalah perasaan kebahagiaan yang spontan.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

Kemampuan menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh orang lain, dikenal juga dengan sebutan empati. Empati adalah merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, untuk mengetahui bukan hanya pikirannya saja melainkan perasaan orang tersebut. Menurut Goleman (2005), kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki


(39)

KLM NM OPNQ LM ONtR SLT R U MNM OP ML QNQ VK NO W RQyNS XW R QyNS W YW RNS yNQV

t

LZW LMT PQRy yN Q V M L Q VRWyNZNK NQt NON WN[ N yN Q V \RT P] PUK NQ YZNQ VS NRQ WL UR QVVN ML Q[N\R S LT R U M NMOP ML QLZRM N WP\P] ONQ\NQ V YZNQ V SNRQ^

OLK N tLZ U N\NO OLZNWNN Q YZNQ V SNR Q \ NQ SLT R U M NMOP PQ] PK ML Q\L Q VNZKNQ YZ NQV SNRQ_ ` PQa R \NZR LMONtR N\NS NU KLM NMOPNQ MLM T Na N K LWNQQYQb LZTNS, yaitu nada bicara, gerak-gerik, dan ekspresi

wajah.

Rosenthal (dalam Priyanti, 2003) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat nonverbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosi, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Nowicki (dalam Goleman, 2005), seorang ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustrasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain (dalam Wahyuningsih, 2004).

e. Membina Hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan


(40)

cd

efgfhijk lmj n j nojh p hlg j ql rstmf ujnv cddwxy zftf hj up lmj n qjmj u gf het u{ nlejkl uf h{pj ej n ef uj up{jn qjkj h qjmj u efgfhijk lmj n

uf ug lnj i{g{ n|jny }hj n|~t hj n| yj n| i fgjt qjmj u eftf hj up lmj n uf ug lnji{g{ n|jnlnlj ej nk {ek fkqjmj ug lqj n|jpjp{nvej hfnjt hjn |

t

f hk fg{o uj up{ gfhet u { nlejkl qf n|jn m j nj h p jqj t hj n| mj lny } hj n| ~

t hj n| lnl ptp{mf h qjm ju m l n|e{ n|jnnjy qj n uf n€jql tf uj n yj n | uf nfnj n|ejny ejhf njef uj up{j nnyjgfhet u{ nlejkl rqjmj ustm fuj nv cddwxy j uji tj uji v gjle ijtl, hormat dan disukai orang lain dapat

dijadikan petunjuk positif bagaimana anak mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian anak berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.

5‚ ƒiri -ciri Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosi

Berdasarkan aspek kecerdasan emosi yang telah terpapar di atas, Goleman (2001) menyimpulkan ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi sebagai berikut:

a. Memikirkan tindakan dan perasaaan sebelum melakukan sesuatu; b. Mampu mengendalikan perasaan seperti marah, agresif, dan tidak sabar; c. Memikirkan akibat sebelum bertindak;

d. Berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidup; e. Sadar akan perasaan diri dan orang lain;

f. Berempati dengan orang lain;


(41)

†‡ ˆ‰Š‹‰Œ ŽŒ ‘‰’“” •” y– Œ —’ ‘”t” ˜ ;

i. Mudah menjalin persahabatan dengan orang lain; j. Mahir dalam berkomunikasi;

k. Menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai.

Sedangkan ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Bertindak mengikuti perasaan, tanpa memikirkan akibat; b. Pemarah, bertindak agresif;

c. Memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas; d. Kurang peka terhadap perasaaan diri;

e. Tidak dapat mengendalikan perasaan danmoodyang negatif; f. Terpengaruh oleh perasaan negatif;

g. Harga diri negatif;

h. Tidak mampu menjalin persahabatan dengan orang lain; i. Menyelesaikan konflik dengan kekerasan.

Berdasarkan ciri-ciri yang telah diuraikan di atas, anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi mampu menguasai gejolak emosinya, menjalin hubungan baik dengan orang lain, dan mampu mengelola tekanan-tekanan atau stres, serta memiliki kesehatan mental yang baik. Selain itu, anak dengan kecerdasan emosi tinggi juga mampu lebih cepat menguasai perasaan-perasaan negatif yang dialaminya, sehingga proses


(42)

™™

š›œžu Ÿ › ¡ ¢£¤œ ›š¥¦¡ y¤ œ § œ¥¨š¤©¢¤£¤t ¢¡ ©¤ŸŸ ¤œ £© ¤¢›œ§¤œ ª ›£¤t« ¬›œ¨ut ¬¥œŸ ¦ ­®¯¯°±, kecerdasan emosi yang tinggi pada anak dapat

mengalami penurunan apabila orangtua dan lingkungan yang melingkupi anak tidak mampu memberikan dorongan atau bimbingan (dalam Priyanti, 2003).

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi

Menurut Gottman dan Declaire (2003) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain, yaitu:

a. Keluarga

Goleman (2002) mengatakan kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi. Dalam wadah besar yang akrab ini, individu belajar bagaimana merasa tentang diri sendiri dan orang lain bereaksi terhadap perasaan diri, bagaimana memikirkan perasaan yang dimiliki dan pilihan-pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi. Keluarga, khususnya orangtua bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan emosi anak. Agar seorang anak dapat berkembang wajar secara psikososial, anak perlu mendapat perhatian, pengertian, rasa aman, penghargaan dan penerimaan dari kedua orangtuanya. Menurut Suwondo (dalam Retnowati, 2007) yang pertama kali bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak, baik secara rohani, jasmani maupun sosial adalah orangtuanya. Sedangkan Gunarsa (1990) menyatakan bahwa secara khusus ibu berperan penting


(43)

´µ¶µ· ¸¹µyµ ¹º· º»¸¼µ » ½ º¾¸¿ ¸¼µ » º· ÀÁ µ »µ½ · º¶µ ¶ ¸Â ¹ºÃ¼µÂµ »t ´ µ » Á ½µ ¹ ´µ ¶µ· ¾ºÃ»¿ºÃµ½ Á Á ºÃtµ ¾ºÃ½ À· ¸»Â ½µÁ ´º »Äµ » µ »µ½ ½µÃº»µ  ¾¸ · ºÃ¸¹µ½µ » ÁÀÁ À½ µ » Äy ´ º½µt ´º» ĵ » µ »µ½ ´ µ » ¾º ùºÃµ » Á º¾µÄµÂ ¹º¶Â »´ ¸»Ä´µ »¹ º» ĵ Á¸¼utµ·µÅ´µ¶µ·Æºt»ÀÇ µtÂ, 2007).

b. Pengalaman dengan Lingkungan Sekitar

Kecenderungan seseorang untuk bertindak biasanya diawali oleh pengalaman hidupnya. Cara mempelajari keterampilan emosi dapat diperoleh dari pengalaman dengan lingkungan sekitar, ketika individu melakukan kontak sosial dengan orang lain. Adanya hubungan dengan orang lain dapat mempengaruhi perilaku individu seperti bagaimana menilai orang lain, bagaimana berkomunikasi dan bagaimana individu dapat menentukan sikap (Goleman, 2005).

c. Pendidikan Sekolah

Sekolah dapat menjadi salah satu lembaga yang dapat mengajarkan kecerdasan emosi. Goleman menyebutkan bahwa sekolah dapat berperan besar dengan mencantumkan keterampilan emosi dalam kurikulumnya. Adanya rancangan yang lebih luas dengan mengembangkan kurikulum pelajaran keterampilan emosi ataupun mempersiapkan guru yang berkompeten untuk membantu mengajarkan keterampilan emosi (Goleman, 2005).


(44)

ÈÉ

ÊËÌnÍÎ -anak Masa Pertengahan dan Akhir

1. Batasan Usia Anak Usia Akhir Anak-anak

ÏÐÑÒtÑÓÑÔÑÒÓÕÖ×ØÖÒÕÙÑÖÑÐÚ ÑÖ ÑÛÙÕÑÜ ÝÞÈtÑÓÛ ÐßÐÑàÛ ÐÑÒÓÕÖÛÙ Õ Ñ ÑÐÑÒ tÑÓÑÔ ÑÒÓÕÖ á Ø×ÕÓ â ÕtÑÐâ ÑÕ ãá ØÓ ÒØàÑtÑÐ äÑ Ð ÙØÒÙ Û Ñá, sehingga usia

akhir anak tahap akhir bisa berubah sesuai dengan kondisi individu. Para ahli lebih banyak menyebut periode anak tahap akhir sebagai usia sekolah dasar karena di usia ini anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa.

Menurut Hurlock (1980), masa pertengahan dan akhir anak-anak merupakan kelanjutan dari masa awal anak-anak yang dimulai dari usia pra sekolah hingga usia sekolah dasar. Periode perkembangan ini berlangsung dari usia 6 tahun hingga anak menjadi individu yang matang secara seksual, yaitu usia sekitar 12 tahun (dalam Desmita, 2010).

2. Karakteristik Perkembangan Masa Pertengahan dan Akhir Anak-anak

Periode perkembangan masa pertengahan dan akhir kanak-kanak memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Perkembangan Fisik

Masa pertengahan dan akhir anak-anak merupakan periode pertumbuhan fisik yang lambat dan konsisten sampai mulai terjadi perubahan-perubahan pubertas, kira-kira 2 tahun menjelang anak


(45)

ç èéê ëìí çëtëéî ïèð ëñë ïèò ïóëôõ ö ô è÷ ò ëñ èé ë ítu, masa ini sering juga

disebut sebagai periode tenang sebelum pertumbuhan yang cepat menjelang masa remaja. Dalam perkembangan fisik ini, terjadi perubahan pada berat dan tinggi badan yang berkaitan dengan sistem rangka, sistem otot, serta keterampilan-keterampilan motorik (Santrock, 2008).

b. Perkembangan Kognitif

Seiring dengan masuknya anak ke sekolah dasar maka kemampuan kognitifnya turut mengalami perkembangan yang pesat. Hal tersebut disebabkan oleh bertambah luasnya dunia anak sehingga memunculkan minat anak dalam berbagai hal.

Perkembangan kognitif anak pada masa ini mengacu pada teori dan pemikiran operasional konkrit (concrete operational thought) Piaget. Menurut Piaget (1967), pemikiran operasional konkrit terdiri dari operasi-operasi dan tindakan-tindakan mental yang memungkinkan anak melakukan secara mental apa yang telah dilakukan sebelumnya secara fisik. Namun demikian, operasi konkrit ialah suatu tindakan mental yang bertentangan terhadap objek-objek yang nyata dan konkrit (dalam Deswita, 2010).

Pada masa ini anak sudah mengembangkan pikiran logis. Anak mulai mampu memahami operasi dalam sejumlah konsep, seperti 5 × 6 = 30; 30 ÷ 6 = 5. Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka


(46)

øù

t

ú ûüý þ üÿú tþ üþu ÿü û üþ ýü ú üú yü ÿ ûü ú ü üú û ü, karena anak mulai mempunyai kemampuan untuk

membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sesungguhnya. Menurut Piaget, anak-anak pada masa operasional konkrit ini telah mampu menyadari konservasi, yakni kemampuan anak untuk berhubungan dengan sejumlah aspek yang berbeda secara serempak (Johnson & Medinnus dalam Deswita, 2010).

erkembangan Psikososial

Pada masa ini anak-anak mengalami perubahan-perubahan tertentu untuk menyiapkan diri memasuki masa remaja bahkan masa dewasa, diantaranya adalah anak-anak mulai sekolah dan kebanyakan anak-anak sudah mempelajari mengenai sesuatu yang berhubungan dengan manusia, serta mulai mempelajari berbagai keterampilan praktis.

Monks (1996), menjelaskan bahwa perkembangan sosial dan kepribadian mulai dari usia pra sekolah sampai akhir masa sekolah ditandai oleh meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga, makin mendekatkan diri pada orang-orang lain disamping anggota keluarga. Meluasnya lingkungan sosial bagi anak menyebabkan anak menjumpai pengaruh-pengaruh yang ada di luar pengawasan orangtua. Anak biasanya berusaha menjadi anggota suatu kelompok; kelompok semacam ini terdapat dalam Taman Kanak-kanak (TK) dan


(47)

! " # $% $& t"! " ! ! 'y ( '! # #!y, dengan aturan -aturan dan

perjanjian-perjanjian.

Pada masa usia anak tengah dan akhir, anak-anak mengalami banyak penyesuaian. Masa ini bisa dikatakan sebagai masa awal permulaan transisi. Anak belum sepenuhnya memasuki masa remaja namun sudah tidak bisa dianggap sebagai anak kecil lagi. Pergaulan lingkungan sosial mereka tidak lagi terbatas dalam lingkungan tertentu namun sudah mulai bersinggungan dengan masyarakat yang lebih luas lagi. Anak pada usia ini sudah tanggap dengan segala kondisi dan tekanan yang ada dalam lingkungan sekitar, namun masih belum mampu merespon dengan tepat. Akibatnya, anak yang dibiarkan tumbuh tanpa kontrol orangtua bisa terjebak pada pengaruh-pengaruh negatif dan keputusasaan (dalam Monks, 1996).

Beberapa aspek yang berpengaruh terhadap perkembangan psikososial anak pada masa akhir ini diantaranya adalah pemahaman anak terhadap diri (self), yaitu anak mengorganisasi dan memahami tentang siapa dirinya yang didasarkan atas pandangan orang lain terhadap dirinya, pengalaman-pengalamannya sendiri, dan atas dasar penggolongan budaya, seperti gender, ras, dan sebagainya.

Menurut para ahli, pemahaman diri (sense of self) sering disebut konsep diri (self-concept), yaitu suatu pemahaman mengenai keseluruhan gambaran diri sendiri atau ide tentang diri sendiri, yang


(48)

)*

+ ,- ./01 . / ,23 ,/ 3.3,3 ,425 67 t,615678 .2., perasaan, keyakinan dan

nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya (Seiffert & Hoffnung, 1994; Atwater, 1987 dalam Desmita, 2010). Selanjutnya, Atwater mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image yaitu kesadaran tentang tubuhnya (bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri). Kedua, ideal self yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya (Desmita, 2010).

d. Perkembangan Emosi

Periode usia sekolah yaitu antara usia 6 dan 9 tahun merupakan titik yang tinggi dalam kontrol diri. Anak-anak pada usia ini banyak digambarkan sebagai anak yang patuh, praktis, rajin, mampu memotivasi diri serta mengendalikan diri. Kecemasan awal maupun kecemburuan dalam keluarga inti sudah tidak muncul pada masa ini (Wenar & Kerig, 2000). Anak-anak pada masa ini memiliki wawasan yang lebih dalam perilaku mereka sendiri dan perilaku orang lain daripada usia sebelumnya. Anak pada masa ini juga lebih tertib, teratur dan gigih. Selain itu, anak-anak pada masa pertengahan kanak-kanak ini juga kurang agresif dan posesif dari sebelumnya, sedangkan kecenderungan untuk menyalahkan diri, mengejek, menjadi serakah dan posesif untuk merebut dan mencuri, semakin berkurang (Wenar & Kerig, 2000).


(49)

; <=>?<@ AB?B CD @B EFtGF= FH IDG ID?GDCEF =JF = DC<HB <=F @ yFBtu ?D JK@FHB DC <HB L M N<C IH <= OP::QR CD =ADSB =BHBGF = ?DJK@ F HB DC <HB

HDEF JFBG D CF C IKF=K=>uGCD C<=Bt<?, mengevaluasi dan memodifikasi

reaksi emosional seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, regulasi emosi membutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami dan untuk meredam perasaan.

Syamsu (2008), menyatakan bahwa menginjak usia sekolah anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima di masyarakat. Anak kemudian mulai belajar untuk mengendalikan ekspresi emosinya. Kemampuan mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasaan). Emosi-emosi yang secara umum dialami pada tahap perkembangan usia sekolah ini adalah marah, takut, cemburu, iri hati, kasih sayang, rasa ingin tahu, dan kegembiraan (rasa senang, nikmat, atau bahagia).

Anak yang dapat mengendalikan emosinya akan terlihat lebih bahagia jika dibandingkan dengan anak yang tidak dapat mengendalikan emosinya. Karl C. Garrison menyatakan bahwa kebahagiaan seseorang diperoleh melalui kebiasaannya dalam memahami dan menguasai emosi (dalam Salamah, 2008). Proses pengendalian emosi ini juga disebut sebagai proses regulasi emosi. Gross (1999) mendefinisikan regulasi emosi sebagai cara individu mempengaruhi emosi yang mereka miliki, kapan mereka merasakannya dan bagaimana mereka mengalami atau mengekspresikan emosi


(50)

TU

t

VWX VYZ[ \ ]^ W_V`Xab c^_ W Va^__^y deUUfg hV_ iiZ _ ia^ja ^ _ Y^kw^ WV iZ l^Xb Vh mXb nZ i^ c^j^t cb ^Wtb a^ _ X VY^i^ b a Vh ^h jZ^ _ Z _[ Za h V_iVo^ lZ^ Xb c ^ _ h V_ iZY^ k WV^a XbpWV^a Xb Vh mXbm_^l Z _[Za Y VWtb _ ia^ k l^aZ tVWtV_[u y^ _ i XVXZ ^b c V_i^_ XbtZ^ Xb y^ _ i X Vc^_i tVW n^cb d c^l^h q ^ l^h^ kreUUsg\

tVWc^X^Wa^_ jV_n Vl^ X^_pj V_nVl^X^ _ y^_ i tVl^ k tVWj^j^W cb ^t^ Xr c^j^t cbXb hjZ la^_ Y^ kw^ hVXab jZ _ Vh mXb ^_^a j^c ^ t^k^j Z Xb^ j VWtV_ i^ k^ _ c^ _ ^a kb W a^ _^a pa^ _^a X Vc^_i Y VWa VhY^ _ i\ u^hZ _ c Vhb ab^ _r ^ _^ap^ _^a j^c ^ h^ X^ tVW XVYZ[ j^c ^ c^X^W_y^ tVl^k hVhb lbab a Vh^hjZ^ _ Z _[ Za hV_iV_c ^ lba^ _ cb Wb c^ _ h V_im_[W ml Vh mXb y^ _ i cbW^ X^a^ _\

3. Tugas Perkembangan Anak Tahap Akhir (Usia 6-12 Tahun)

vV_ZWut w^obikZW X[ dc ^ l^h x VXhbt^, 2010 ), tugas perkembangan

anak usia sekolah (6-12 tahun) antara lain adalah a) belajar bergaul dan bekerjasama dalam kelompok sebaya; b) mengembangkan keterampilan dasar membaca, menulis dan berhitung; c) mengembangkan konsep-konsep penting dalam kehidupan sehari-hari; d) mengembangkan hati nurani, moralitas dan sistem nilai sebagai pedoman perilaku; e) belajar menjadi pribadi yang mandiri.

Pada masa ini, pengertian anak tentang baik-buruk, tentang norma-norma aturan serta nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya menjadi bertambah dan juga lebih fleksibel. Mereka diharapkan sudah dapat


(51)

{|}~u€ ‚ |ƒ „} …‚|ƒ„ } |{†€}y, mampu mengendalikan emosi yang

tidak sesuai dengan harapan lingkungannya. Peran orangtua dalam mengembangkan kecerdasan dan perkembangan emosi anak secara bertahap, akan mendorong potensi anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kemampuan kecerdasan yang tinggi, pengendalian emosi yang baik, serta kuat mental spiritualnya (Desmita, 2010).

‡ˆKeluarga dengan Ibu sebagai Orangtua Tunggal Akibat Perceraian

1. Pengertian dan Fungsi Keluarga

Menurut Gerungan (2009), keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat untuk belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Keluarga tidak hanya berfungsi sebagai penerus keturunan saja. Dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama kali dari orangtua dan anggota keluarganya sendiri. Keluarga merupakan produsen dan konsumen sekaligus dan harus mempersiapkan dan menyediakan segala kebutuhan sehari-hari seperti sandang dan pangan. Setiap anggota keluarga dibutuhkan dan saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka dapat lebih hidup senang dan tenang.

Ogburn (dalam Dewi & Utami, 2009) mengelompokkan ada 7 fungsi besar sebuah keluarga yang menggambarkan bahwa keluarga


(52)

‰Š

‹ŒŽ Ž Ž‘’“ Ž  ‘” • ”–Ž— ”Ž‘ ‹ŒŽ Ž ‹Œ –Ž˜ u‘t ‹ ’‹ Ž—, antar a lain: a)

Fungsi Ekonomi, meliputi pemenuhan kebutuhan materi; b) Fungsi Perlindungan, dimaksudkan untuk menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga; c) Fungsi Agama, fungsi ini perlu didorong dan dikembangkan dalam keluarga dan anggotanya agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya bangsa; d) Fungsi Pendidikan, keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua anggotanya dimana orangtua memiliki peran yang cukup penting untuk membawa anak menuju kedewasaan jasmani dan rohani dalam dimensi kognitif, afektif maupun skill; e) Fungsi Rekreasi, keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukkan dan melepas lelah dari seluruh aktivitas masing-masing anggota keluarga sehingga dapat mewujudkan suasana keluarga yang menyenangkan, menghargai, menghormati dan menghibur; f) Fungsi Afeksi, meliputi pengertian, perhatian, pemberian kasih sayang dan penerimaan; dan g) Fungsi Sosialisasi, mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik yang mampu memegang norma-norma kehidupan.

™š ›erœeržŸ

Perceraian adalah berakhirnya suatu hubungan pernikahan yang dapat disebabkan oleh berbagai hal. Dalam menjelaskan definisi mengenai perceraian, Benokraitis (1996), memberikan pemaknaan yang berbeda antara berpisah dengan bercerai. Berpisah adalah jeda sementara dari


(53)

¡¢t£¤¡¢ y¤¥ ¦ ¡¤¥¦ ¤t § ¨¥¨© ¤¥ ª ¤« ¤§ ¬ ¨­ ¥¢© ¤®¤¥¯ © ¨§ £ª¢¤¥ ¬ ¤¡¤¥¦¤¥ § ¨§ut£¡© ¤¥ ¤¬ ¤© ¤® ¬ ¨­ ¥¢© ¤®¤¥ ¤© ¤¥ ª¢ « ¤¥°ut© ¤¥ ¤t¤u t¢ ª ¤© ± ² ¨ª ¤¥¦© ¤¥ ¬ ¨­³¨­ ¤¢¤¥ ª¢§ ¤© ¥¤¢ ¡ ¨´¤¦ ¤¢ ¬ £µ £¡ ¥¤y ¢ ©¤t¤¥ ¬ ¨­ ¥¢ © ¤®¤¥ ¡ ¨³¤­¤ ¡ ¤® ª ¤¥ ­ ¨¡§ ¢ ±¶¤ª¢ ´ ¨­¬¢¡¤®t¢ ª ¤© ¡ ¤§¤ ª ¨¥¦¤¥ ´¨­ ³ ¨­¤¢±·¨­¬¢ ¡ ¤® ª¤¬ ¤t ª¢¤­t¢ © ¤¥ ¡ ¨´ ¤¦¤¢ ¤w¤« ª ¤­¢ ¬ ¨­³ ¨­ ¤¢ ¤¥ w¤« ¤£¬ £¥ ´¨­¬¢ ¡¤® t¢ ª ¤© ´ ¨­¤­t¢ ´ ¨­³¨­ ¤¢ ¸ª ¤«¤§¹ ¨¦¢¥¤& Risnawaty, 2007).

Perceraian disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Bird dan Melville (1993) terdapat 2 hal yang dapat menyebabkan timbulnya konflik dalam pernikahan, yaitu keinginan untuk mengendalikan atau mengontrol (need of control) dan rasa cemburu (jealousy). Atwater dan Duffy (1999) mengungkapkan beberapa penyebab perceraian, antara lain: keterbatasan finansial, ketidakpuasan dalam hubungan intim, harapan yang tidak realistis terhadap pernikahan maupun pasangan, berebut kekuasaan (ingin saling menguasai dan mengatur), ketidaksamaan pandangan dalam pengasuhan dan pendidikan anak, kurangnya komunikasi dan peselingkuhan (dalam Regina & Risnawaty, 2007). Henderson-King dan Veroff (dikutip oleh Atwater & Duffy, 1999) berpendapat bahwa ketidakpuasan dalam hubungan intim juga dapat menimbulkan konflik karena sebagian besar pasangan dalam hubungan pernikahan masih menganggap hubungan seks penting dalam keharmonisan rumah tangga. Ther (1998) menyatakan bahwa perselingkuhan merupakan salah satu faktor terbesar yang menyebabkan perceraian (dalam Regina & Risnawaty, 2007).


(54)

º»

¼ ½¾¿½¾ÀÁÀ  ÃÀ ÄÀt Å ½Å Æ ½¾Á ÇÀ ÃÀÅ ÄÀÇ ÃÁ Æ ½¾ÆÀÈÀÁ ÀÉ Ä½Ç Ç ½ÊÁ ÃËÄÀ ÂÌ ÃÁÀ ÂÍÀ¾À ÂÀy ÀÃÀ ÎÀÊ ÃÀÅÄÀÇ É½¿ À¾À ÊËÇ ËÅ yÀÁtu Ç ÏÂÉ ½Ç ˽ÂÉ Á Å ½ÂȽÂÀÁÊÀ¾Àt ƽ¾ÉÀÅÀ yÀ ÂÈÃÁÀ¾tuÃÀ ÎÀżÀÉÀ κÐÑ ÑÒ ÏÓÔÕÀÊ ËÂÔ Öл

t

½ÂÍÀÂÈ ¼ ½¾Ç ÀwÁ ÂÀ  ×Ñ Ñ ¼ Ø yÀÁtu À ÄÀÆÁÎÀ Ľ¾¿½¾ÀÁÀ  t½¾ÙÀ ÃÁ, harta bersama

diatur menurut hukum yang digunakan oleh pihak yang bercerai (hukum adat atau hukum agama). Berdasarkan Pasal 126 KUHPer, harta bersama dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang tersebut. Dampak hukum lainnya berkaitan dengan masalah pemeliharaan anak setelah perceraian diatur dalam Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1947, yaitu baik suami maupun istri memiliki kewajiban yang sama untuk memelihara dan mendidik anak meskipun telah bercerai.

Selain memiliki dampak secara hukum, perceraian juga memiliki dampak psikologis, yaitu adanya gangguan emosi. Maksudnya adalah, ketika perceraian terjadi terkadang bukan merupakan keinginan dari masing-masing individu yang menikah; dan ketika perceraian itu terjadi, salah satu dari pasangan yang bercerai itu masih menyimpan perasaan cinta terhadap mantan pasangan, sehingga masih memiliki harapan untuk hidup bersama hingga tua. Namun harapan tersebut tidak dapat terpenuhi karena sudah bercerai, hal tersebut menyebabkan perasaan kecewa yang sangat besar dan terasa menyakitkan. Bahkan tak jarang pula muncul perasaan takut jika tidak ada lagi orang yang akan mencintai sepenuh hati atau bahkan perasaan takut ditinggalkan lagi dikemudian hari. Perasaan


(55)

ÜÝÞß Ýßày áâß àã Þß äÞ ÝÜÝ áÞ ÝäÝÜ Ýå æçèÝéÝ Ýß tçèå Þ ß Ý ÝtÝu æçè Ýé ÝÝß á Ýè Ýå äÝß ãçé ÝÜ Ýã Þê Ýt éÞã Ýæ êâèâã æ ÝéÝß àÝß ÝtÝu á âßàã Þß áçèÝéÝ ãçé çæ ÞÝß ã Ýèçß Ýé â äÝå tÞäÝã ÝäÝÜÝàÞ tç áæ Ýt âß ëâã ê çèê ÝàÞìçè ÞtÝ, mencurahkan dan

mendapatkan bentuk kasih sayang. Serangkaian masalah kesehatan juga dapat muncul akibat depresi karena bercerai.

3. Ibu sebagai Orangtua Tunggal

Pada umumnya suatu keluarga terdiri dari ayah (suami), ibu (istri), dan anak-anak. Di dalam kehidupan keluarga, ayah dan ibu memiliki peran sebagai orangtua dari anak-anak. Pada kenyataannya, di masyarakat terdapat keluarga yang salah satu dari orangtua tidak ada, baik karena perceraian, perpisahan atau meninggal dunia. Di dalam suatu keluarga dimana hanya seorang ibu berperan tanpa dukungan atau bantuan figur seorang suami, sering dinamakan sebagaisingle mother.

Pada masa lalu, peran selain sebagai istri dan ibu bagi seorang perempuan dewasa dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan hanya diperlukan apabila tidak ada laki-laki yang mampu memberikan cukup uang untuk dirinya dan anak-anaknya (Lemme, 1995). Namun, Lemme (1995) mengatakan lebih lanjut bahwa karena adanya perubahan sosial, maka seorang perempuan mempunyai pilihan peran yang lebih luas. Perubahan sosial tersebut memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mengkombinasikan peran domestiknya dengan peran sebagai seorang pekerja.


(56)

íî

ïðñòóut ô õöõ÷øõ ùúûûüý, single mother adalah wanita yang

ditinggalkan oleh suami atau pasangan hidupnya baik karena terpisah, bercerai atau meninggal dunia untuk kemudian memutuskan untuk tidak menikah melainkan membesarkan anak-anak seorang diri. Anderson (dalam Mash & Wolfe, 1999), mengartikan single mother sebagai wanita dewasa yang memilih untuk hidup sendiri tanpa pendamping dikarenakan perceraian, perpisahan, maupun kematian dan menjadi tulang punggung keluarga. Exter (dalam Mash & Wolfe, 1999), mengatakan bahwa menjadi single mother merupakan pilihan hidup yang dijalani oleh individu yang berkomitmen untuk tidak menikah atau menjalin hubungan intim dengan orang lain.

Qaimi (2003) mengemukakan bahwa seorang wanita sebagai orangtua tunggal adalah suatu keadaan dimana seorang wanita akan menduduki dua jabatan sekaligus; sebagai ibu yang merupakan jabatan alamiah dan sebagai ayah. Dalam hal itu seorang ibu yang menjadi orangtua tunggal akan memiliki dua bentuk sikap, sebagai wanita, harus bersikap lembut terhadap anak, dan sebagai ayah harus bersikap jantan dan bertugas memegang kendali aturan dan tata tertib, serta berperan sebagai penegak keadilan dalam kehidupan rumah tangga. Tolok ukur keberhasilan seorang wanita dalam mendidik anak terletak pada kemampuannya dalam menggabungkan kedua peran dan tanggung jawab tersebut, tanpa menjadikan sang anak bingung dan resah (dalam Laksono, 2008).


(57)

t y

t t y y t

t

t

y tu t t

u t y u

y t y t tu y

y t t

y t t

y y u y y

t tzman, 1985).

Berdasarkan definisi diatas maka pengertian single mother adalah wanita yang ditinggalkan oleh suami karena kematian, perceraian atau ditinggalkan pasangan hidupnya yang tanpa ada ikatan pernikahan dan berperan sebagai tulang punggung keluarga dimana tanggung jawab atas finansial, emosi maupun masa depan keluarga dipegang sepenuhnya oleh individu tersebut.

Kecerdasan Emosi Anak-anak dengan Ibu sebagai Orangtua Tunggal Akibat Perceraian

Shapiro (1997) berpendapat bahwa tahap-tahap perkembangan kecerdasan emosi yang ditinjau melalui tahap-tahap perkembangan anak lebih bervariasi dibandingkan perkembangan anak secara fisik maupun kognitif.


(58)

!"

# $% $&'() (* $+, )- (* (. (.(* /$& .$+ /(* 0 ) $-& - *0 '$* 0(* t-*0.(t .$-* 0 -* (* (* (.1* 2 1.+$*%, / (+$3(.1.(*4(3 54 (3/(&u6' (3( +7 &-(* 2 -y , 2003) .

Menurut Hurlock (1988), kemampuan anak untuk bereaksi secara emosional sudah ada semenjak bayi baru dilahirkan. Karakteristik anak pada akhir masa kanak-kanak adalah anak sudah memiliki kontrol diri yang tinggi, mampu memotivasi diri serta mengendalikan diri (Wenar & Kerig, 2000). Kontrol diri melibatkan aspek perkembangan emosional yaitu regulasi emosi. Selain itu, anak-anak pada akhir masa kanak-kanak juga sudah memahami bahwa perilaku emosional ditentukan oleh aturan-aturan budaya (anak seharusnya terlihat bahagia ketika menerima hadiah meskipun tidak menyukai hadiah tersebut) dan perilaku yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu (anak harus tersenyum meskipun sedang tidak merasa baik jika ingin diizinkan oleh ibu menghadiri pesta ulang tahun teman) (Bukatko, 2008).

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa meskipun emosi anak pada tahap usia pertengahan dan akhir kanak-kanak sedang berkembang. Namun demikian, anak-anak pada masa tersebut pada dasarnya telah memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri dan mengontrol emosi yang dirasakan.

Dari latar belakang dan uraian sebelumnya, jelas bahwa keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama yang berpengaruh terhadap perilaku dan perkembangan anak, dalam pembentukkan karakteristik dan watak anak serta kecerdasan emosinya. Dari keluargalah semua aktivitas dimulai. Santrock (2003) mengatakan bahwa lingkungan keluarga, khususnya orangtua, dapat mengajarkan kecerdasan emosi kepada anak sejak masih bayi meskipun


(59)

: ;<= > : ?@ ;@A= ?B <CD?<= w;E ;>F G @?> <?H;H =tu, pengalaman emosional yang

terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa.

Idealnya seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, namun hal tersebut akan berbeda jika salah satu atau bahkan kedua orangtua mereka tidak ada, apakah disebabkan oleh meninggalnya salah satu orangtua ataupun karena perceraian.

Berdasarkan berbagai sumber, jumlah wanita yang menjadi orangtua tunggal lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pria yang menjadi orangtua tunggal. Menurut Kimmel (1980), hal ini terjadi karena wanita memiliki usia rata-rata yang lebih panjang dan pada umumnya wanita menikah dengan pria yang lebih tua usianya. Di samping itu, lebih banyak duda yang menikah kembali sehingga lebih banyak jumlah janda dibandingkan duda (dalam Hetherington & Parke, 1999).

Wanita yang menjadi orangtua tunggal mempunyai beban dan tanggung jawab yang berat karena harus memegang dua peran sekaligus. Peran yang harus dijalankan adalah peran sebagai ibu yang harus mengasuh dan mendidik anak, serta menggantikan figur ayah yang harus mencari nafkah (Bird dalam Gass-Sternas, 1995). Oleh karena peran ganda yang dipegang sekaligus tersebut, ibu cenderung memiliki perasan khawatir terhadap anak sehingga memberikan perlindungan yang berlebihan kepada anak. Di sisi lain, ibu juga cenderung tidak memiliki waktu yang cukup lagi untuk anak karena harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan finansial.


(60)

IJ

K LtMLNO P QtRP ST P NLUT P PTy VWXXX Y Z LP[TtTt \ T M]T ^ L QL NT ^LtL_TM \ LN`O^T MS T NO ^aTZO, ibu cenderung mengadopsi pola asuh yang lebih otoriter.

Ibu memberi banyak larangan dan perintah serta menunjukkan sedikit afeksi dan tanggapan terhadap anak-anak. Tidak diragukan lagi bahwa ibu mengalami masalah, baik dalam mengatasi permasalahan emosi maupun praktis dengan status baru sebagai orangtua tunggal. Ibu akan menanggapi anak dengan pembatasan dan hukuman yang meningkat. Terjebak dalam spiral frustrasi, ketidakberdayaan dan perasaan tidak mampu, ibu-ibu merespon secara negatif pada banyak perilaku anak-anak, bahkan perilaku anak yang netral atau positif sekalipun.

Data membuktikan bahwa anak-anak yang dididik oleh orangtua yang bercerai jauh lebih besar kemungkinannya untuk memperlihatkan tingkah laku antisosial serta agresi terhadap teman-teman bermain mereka. Anak-anak tersebut juga menghadapi lebih banyak kesulitan untuk mengatur emosi mereka, untuk memusatkan perhatian dan menghibur diri saat merasa marah. Anak-anak yang pernikahan orangtuanya menyedihkan akan menjadi kurang mampu berkerjasama saat bermain bersama teman dan mempunyai lebih banyak interaksi negatif dengan teman-teman bermainnya jika dibandingkan dengan anak-anak yang pernikahan orangtuanya bahagia (Gottman & DeClaire, 2008).

Banyak ilmuwan sosial lain telah membuat penemuan-penemuan serupa tentang masalah-masalah tingkah laku diantara anak-anak yang pernikahan orangtuanya bermasalah. Jika dikumpulkan bersama-sama,


(61)

defeghth ifjdefe ghth if tekl emno pepmnq oh q if mirs i de ktek ih if u if q v fwghq de kfh q irif u id it pefepd itq if ifiq d iui l nitu gh f oilif yifxp ef y nknl diu i p iligirjp ilig irme k it uhqep nuhifrikhz{votpif& DeClaire, 2008).

Untuk lebih memperjelas mengenai terbentuknya kecerdasan emosi pada anak, maka di bawah ini akan digambarkan sebuah skema:

|kem}Gambaran Umum tentang Terbentuknya Kecerdasan Emosi pada

Anak

E. Pertanyaan Penelitian

Dari uraian di atas, maka muncul pertanyaan: Bagaimanakah kecerdasan emosi anak-anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian?

Kecerdasan Emosi Anak? EfekParentingibu terhadap anak:

Pendampingan pada anak relative kurang

Rentan terhadap relasi kurang hangat

Ibu sebagai Orangtua Tunggal:Ibu yang bekerja

Waktu yang terbatas dengan anak Anak


(62)

€ €III

‚ƒ„… † ƒ‡ƒˆ ƒ‰ Š „Š ˆ

. J‹Œ Ž‡‹Œ ‹ ‘Œ

’“”•– “— “˜“™š ”š ›˜ y›˜œ–š— ››š›– ›™›žŸ ” –š – “Ÿ ¡š — ”š ¢  ›™š”›”š¢ £ ¤ ”  –š – “Ÿ¡š— ”š¢ ›– ›™›ž ¥ “”•– “ y› ˜œ ¦“¡ ”  §  ›˜  ˜”  ¥“™  š Ÿ ›˜ Ÿ“¨ ›¡› Ÿš Ÿ ”“¥›”š Ÿ ¢›” › ›”›u ›¡ ›”“¡š Ÿ ”š —•—  ™ ›Ÿš ” “¡ ”“˜”u ›”›u ¦š– ›˜œ ”“¡ ”“˜”u Ÿ“¨ ›¡› ¢› ”  ›™ – ›˜ ¨“¡¥ ›” £ ©“˜“™š”š›˜ –“Ÿ¡š— ”š¢ ”š– › ¥ “˜¨›¡š › ”›u ¥“˜§ “™›Ÿ ›˜ ž ¦ ˜œ ›˜ª ”š – ›¥ “˜œ §šžš—• ” “ŸšŸ› ” ›u ¥ “¥ ¦ ›”— ¡“–šŸš, ”›—šž›˜«›¥“¥ ›— ›¡›˜Ÿš ” ›Ÿš ›”›  — “¡š Ÿ ”š ¬ › ­® ¯¬›¡, °±°². P“˜“™š ”š ›˜ – “Ÿ¡š — ”š ¢ ¥ “¥š™šš ¨š ¡š-¨š ¡š ³ ›² ¦“¡ž ¦ ˜œ›˜ –“˜ œ›˜  “ ›– ››˜ «› ˜ œ ”“¡§ ›–š Ÿ ››” š” ´ ¦² ¥ “˜œ ¡ ›š  ›˜ Ÿ ›”  

µ ›¡š›¦“™Ÿ ›§›. ¶ š› ›– › ¦ “¦“¡›—› µ ›¡š›¦“™ «› ˜œ› ›˜ –š  ¡ ›š›˜ª–š § “™›Ÿ  ›˜ Ÿ ›”  — “¡Ÿ ›” ´ ¨² µ›¡š›¦ “™ «›˜ œ –š ” “™š”š ”š– › –š ¥ ›˜š—  ™ ›Ÿš ›”›  ”š– › ›– › —“¡™ ›  ›˜

­·¸ ¹º·»¹ ¼·²”“¡ž›– ›—µ›¡š›¦“™­½•  ˜” ¡, °° ¾².

¿  §  ›˜ – ›¡š — “˜“™š ”š ›˜ – “Ÿ ¡š— ”š¢ ›– ›™›ž ¥“˜œœ›¥ ¦›¡›˜ ›¡›”“¡š Ÿ ”š

– ›¡š š˜–šµš –  ª Ÿš ”  ›Ÿš ›” ›  “™•¥ —•  ”“¡” “˜” £ ¤ “Ÿ  ›š – “˜œ ›˜ Ÿš ¢›” ˜ «› «› ˜œ

– “Ÿ¡š— ”š¢, ¥ ›› – ›”› «›˜œ –š ¥—  ™ ›˜ ¦“¡ — › ›”›-›”›, œ›¥¦ ›¡ – ›˜ ¦ ›˜ ›˜œ›­’• ™“• ˜œ, °°~ ².¤ “™ ›š˜š ”  , — “˜“™š”š›˜– “Ÿ ¡š— ”š¢§  œ›–š ”  §  ›˜ ˜” ³

± £ ’ “˜œ ¥ —  ™›˜š ˜¢•¡¥›Ÿ š ›” ›™Ÿ “¨›¡›¡š˜ ¨š «›˜œ¥ “™ šŸ ›˜œ“§ ›™ ›«›˜œ

›– ›.

 £ ’ “˜œš – “ ˜”š ¢š›Ÿš›˜¥›Ÿ›™ ›ž ›” › ¥ “¥ “¡š Ÿ ›• ˜–šŸš – ›˜—¡›”“-— ›¡ ”“ «›˜ œ¦“¡ ™ › £


(63)

Á ÃÄÅ ÆÇÈÉÊÄ ËÆÈÌÍÎÌÏÈÌÈÉ Èu Ä ÐÈÑ ÇÈÒÎ ÓÔ Õ ÖÈ Ë, ×ØÙ Ø Ú.

ÃÄÌ ÇËÇÉ PÛÄËÖÈÌÍÈËÎ ÓÙ ÜÜÝÚ ÊÄÌÄÑÎ ÉÎ ÈÌ ÞÇÈÑ ÎÉÈÉÎ ß ÈÍ ÈÑ Èà ÊÄÌ ÄÑ ÎÉ Î ÈÌ áÈÌÏ ÅÄÌÏà ÈÒÎ Ñ ÞÈÌ Í ÈÌ ÅÄÌ ÏÛÑ Èà Í ÈÉ È áÈÌÏ ÒÎ ßÈÉÌáÈ ÍÄ ÒÞËÎÊÉÎ ß, ÒÄ ÊÄ ËÉ Î É ËÈÌ ÒÞËÎ ÊÒÎ ÖÈÖÈÌâÈËÈ, â ÈÉ ÈÉÈÌ ÑÈÊÈÌÏÈÌ ã ÏÈÅ ÆÈË, ßÛÉÛ ËÄ ÞÈÅ ÈÌ ÐÎÍÄÛ Í ÈÌ Ñ ÈÎ Ì-ÑÈÎÌ PÈÉ ÉÛÌ ÅÄÌ ÏÈÉ ÈÞÈÌ ÆÈà ÖÈ ÍÈÑÈÅ ÊÄÌÄÑÎ É ÈÌ ÞÇÈÑÎ É ÈÉ Îß ÊÄËÑ Ç ÅÄÌÄ ÞÈÌ ÞÈÌ ÊÈÍÈ ÊÄÌÉ ÎÌ ÏÌáÈ ÞÄÍ Ä ÞÈÉ ÈÌ ÍÄÌÏÈÌ Û ËÈÌ Ï-Û ËÈÌÏ Í ÈÌ ÒÎ É ÇÈÒÎ ÊÄÌÄÑ ÎÉ Î ÈÌ ã ÈÏÈË ÊÄÌ ÄÑÎ ÉÎ ÅÄÅ ÊÄ ËÛÑ Ä à ÊÄ ÅÈàÈÅÈÌ äÄÑÈÒ É ÄÌÉ ÈÌ Ï ËÄ ÈÑÎÉÈÒ Í ÈÌ

ÞÛÌÍÎ ÒÎÞÄ àÎ Í ÇÊÈÌÌ áÈÉÈÓÍ ÈÑÈÅ PÛÄ ËÖÈÌÍ ÈËÎ, Ù ÜÜ ÝÚ.

åæç èé êëìæ Í ÈÑÈÅ ÊÄÌ ÄÑ ÎÉ Î ÈÌ ÞÇÈÑ ÎÉ ÈÉ Îß ÈÍÈÑÈà ÅÈÌ ÇÒÎÈ, ÆÈÎ Þ ÊÄÌÄÑ ÎÉ Î ÒÄÌÍÎËÎÅ ÈÇÊÇÌÍÄÌÏÈÌÆ ÈÌÉ ÇÈÌÛ ËÈÌÏÑÈÎÌÂOÑ ÄàÞ ÈËÄÌ ÈÎ É ÇãÞÄ àÈÍÎ ËÈÌÊÄÌÄ ÑÎ ÉÎ Í ÈÑ ÈÅ ÊÄÌ ÄÑÎ ÉÎÈÌ ÞÇÈÑ ÎÉÈÉ Îß ÅÇÉ Ñ ÈÞ ÍÎ ÊÄ ËÑ ÇÞ ÈÌ Í ÈÑ ÈÅ ÅÄÌÏÇ ËÈÎÞÈÌ Í ÈÉ È

Ì ÈÌÉÎ Ì áÈ. íÈËÄÌÈ ÍÄÌÏÈÌ É Ä ËäÇÌ ÑÈÌ ÏÒ ÇÌÏ ÞÄ Ñ È ÊÈÌ ÏÈÌ ÅÈÞÈ ÊÄÌ ÄÑÎ ÉÎ ÍÈÊÈÉ ÅÄÑ Î àÈÉÒ Äâ ÈË ÈÑÈÌÏÒÇÌÏß ÄÌÛ ÅÄÌ ÈÍÎÍ ÈÄ ËÈàÑ ÈÊ ÈÌÏÈÌÒ Ä ÊÄ ËÉ Î î

ïðñò óò óðôõöñõñ÷ øù øòô÷ ôúöñõñ÷øù ø ôõð óô÷ø ùôùøûüóð óöýóú ø ù. Ia sekaligus

merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi hasil pelapor dari hasil penelitiannya (Moleong, 2005).

Dalam penelitian kualitatif, peneliti berusaha menggali informasi dari lapangan tanpa berusaha mempengaruhi informan. Moleong (2002) mengatakan bahwa data yang dihasilkan dalam penelitian kualitatif adalah data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang serta perilaku yang dapat diamati.


(64)

þþ

ÿ , penelitian kualitatif memiliki beberapa

keunggulan dibandingkan dengan penelitian lain, diantaranya adalah (dalam Catatan Ringan tentang Penelitian Kualitatif, 2008):

1) Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif merupakan suatu entitas yang utuh, sehingga penelitian kualitatif menekankan pada kajian terhadap pelbagai hal yang terjadi di lapangan.

2) Pendekatan yang dilakukan oleh penelitian jenis ini adalah pendekatan

yang bersifat , yaitu pendekatan yang dilakukan

secara guna mendefinisikan sebuah situasi.

3) Jika dilihat dari segi hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian, jenis penelitian ini mensyaratkan kedekatan dan komunikasi yang antara peneliti dan subjek.

4) Analisis data dalam penelitian ini bersifat induktif, dimana data yang diperoleh harus lengkap dan dapat direlasikan dengan teori-teori yang membicarakan objek dalam suatu disiplin ilmu tertentu.

Dengan melihat kelebihan studi deskriptif kualitatif, maka metode ini sesuai untuk menggali informasi mengenai gambaran kecerdasan emosi anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian.

okus F nliti

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kecerdasan emosi anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian. Kecerdasan


(65)

! "#$%& %' "%' (&%!%' &%$#%' $ "! ) %*!, emosi dan sosial yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Kecerdasan emosi ini terdiri dari 5 aspek, yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi dalam penelitian ini terbentuk dari ibu sebagai orangtua tunggal yang mengasuh anak.

Anak yang dinilai cerdas secara emosi memiliki kemampuan dalam aspek-aspek kecerdasan emosi yang akan dijelaskan sebagai berikut (Goleman, 2001):

1. Mengenali Emosi Diri; anak sadar akan perasaan diri sehingga memikirkan tindakan dan perasaaan sebelum melakukan sesuatu.

2. Mengelola Emosi; anak mampu mengendalikan perasaan-perasaan yang dirasakan. Sebagai contoh, anak mampu mengendalikan perasan marah, ketidaksabaran dan menahan diri untuk tidak bersikap agresif, serta mampu mengendalikan+,,-dan perasaan negatif yang dirasakan.

3. Memotivasi Diri; anak berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidup.

4. Mengenali Emosi Orang Lain; anak peka terhadap perasaan orang lain sehingga mampu berempati dengan orang lain.

5. Membina Hubungan dengan Orang Lain; anak mahir dalam berkomunikasi sehingga mudah menjalin persahabatan dengan orang lain.


(66)

./

012u3 456 7585 9: ;: <8

=>?@ ABA?C ADEF CG BH >D> I J KJA DLBGMN> C@AIAOH> D> IJKJ ADJDJA @A IAPAD ACQ

A DAC A DRy M> ?A @A H A@A OA BA H>?K> DRAPAD @A D ACPJ ? A DA CQAD ACL yAJ Ku A DA C Q A DAC A DRy M >? G BJ A /Q ST KAPG D @> DRA D J MG B>M A RAJ F?A DRKGA KG DRRA I A CJMAK H>?U> ?AJ A DV

W.X5 ;YZ 575 8[ <\3 :9<8W<;<

]A IAO H> D> IJKJ A D J DJ, data mengenai kecerdasan emosi pada anak diperoleh dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan data, yaitu:

1. Wawancara terhadap subjek (anak). Wawancara terhadap anak akan menjadi data utama dalam penelitian ini;

2. Observasi skala ^ _`a bc yang dilakukan oleh ibu subjek. Observasi yang dilakukan oleh ibu ini berfungsi sebagai data untuk mengkonfirmasi wawancara terhadap subjek; dan

3. Wawancara terhadap ibu subjek, yang berfungsi sebagai data pelengkap yang berisi latar belakang subjek.

Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan, dimana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan keterangan yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Banister (dalam Poerwandari, 2005) mengungkapkan bahwa wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna


(67)

f ghijkl mn yop q r mso tou m mpr mvmr g hj wkj poo p rj pqop l xsmk opqy r mlj y mlm, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang sangat fleksibel, sebab mudah menyesuaikan dengan keadaan untuk diarahkan pada relevansi informasi. Selain itu, melalui wawancara, peneliti dapat memperoleh informasi secara langsung, tepat dan mendalam, serta membaca isyarat non verbal dari subjek penelitian (Wawancara, 2012).

Wawancara yang akan dilakukan merupakan wawancara terbuka semi terstruktur, yaitu wawancara yang terjadi ketika subjek mengetahui atau menyadari bahwa mereka sedang dalam proses wawancara dan peneliti memiliki panduan wawancara tetapi masih bisa dikembangkan lagi saat pelaksanaan wawancara sesuai dengan kebutuhan perkembangan proses wawancara. Wawancara semi terstruktur berarti peneliti tetap membuat panduan pertanyaan, tetapi tidak harus mengikuti ketentuan secara ketat dan memungkinkan mencakup ruang lingkup yang besar atau memungkinkan untuk dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan di luar pertanyaan formal guna mendukung pengumpulan informasi (Basuki, 2006). Agar data yang diperoleh sesuai dengan apa yang disampaikan oleh subjek, maka pembicaraan selama wawancara sedapat mungkin direkam dengan z{|} ~} €~ }~. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah pedoman wawancara yang akan disampaikan kepada subjek. Dalam hal ini, peneliti menggunakan


(1)

Kapasitas anak :

++) Mampu --) Tidak mampu


(2)

Skor Hasil Observasi Skala Rating Subjek 5

Indikator Perilaku Selalu Sering Kadang-kadang

Jarang Tidak pernah 1. Anak menceritakan

masalah-masalah yang dialaminya pada orangtua/orang lain (guru)

X

2. Anak memberitahukan perasaan-perasaannya pada orangtua/orang lain (guru)

X

3. Anak menjelaskan mengapa ia sedih

X 4. Anak menjelaskan

mengapa ia marah

X 5. Anak menjelaskan

mengapa ia senang

X 6. Anak menjelaskan

mengapa ia cemas

X 7. Anak menjelaskan

mengapa ia iri

X 8. Anak menjelaskan

mengapa ia bersalah

X 9. Anak menjelaskan

mengapa ia takut

X 10.Anak menjelaskan

mengapa ia kecewa

X 11.Anak menghibur diri

sendiri di saat sedih

X 12.Anak menenangkan diri

sendiri di saat cemas

X 13.Anak menenangkan diri

sendiri di saat marah

X 14.Anak mencoba lagi

setelah gagal melakukan sesuatu

X

15.Anak bersemangat melakukan sesuatu


(3)

16.Anak menghibur teman yang sedang sedih

X 17.Anak membantu teman

yang mengalami kesulitan

X

18.Anak menceritakan masalah apa yang menimpa temannya pada orangtua/guru

X

19.Anak mau menyapa temannya terlebih dahulu

X

20.Anak memperkenalkan diri pada teman yang baru ditemui

X

21.Anak mau berbagi dengan temannya

X 22.Anak menggunakan

kata ‘tolong’ ketika

membutuhkan bantuan/pertolongan dari orang lain

X

23.Anak menggunakan

kata ‘maaf’ ketika

melakukan kesalahan

X

24.Anak menggunakan

kata ‘terima kasih’

setelah mendapatkan pertolongan atau hadiah

X

Jumlah 0x4=0 0x3=0 6x2=12 4x1=4 14x0=0

Total Skor 16

Keterangan :

Selalu : Skor 4 Sering : Skor 3 Kadang-kadang : Skor 2 Jarang : Skor 1 Tidak pernah : Skor 0

Skoring :

Sangat baik = 73-96 Cukup baik = 49-72 Kurang baik = 25-48 Tidak baik = 0-24


(4)

LAMPIRAN 9

Surat Keterangan


(5)

(6)