TINDAK PIDANA MESUM DALAM SISTIM HUKUM N

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Permasalahan

Sepanjang sejarah masyarakat Aceh telah menjadikan agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupan, melalui penghayatan dan pengamalan ajaran islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang (sejak abad ke VII), telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya Aceh yang Islami, budaya dan Aceh yang lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan dan dikembangkan serta dilestarikannya. Dalam ungkapan bijak disebut “Adat Bak Poe Teumeureuhom Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang Reusam Bak Lakseumana” ungkapan tersebut merupakan pencerminan bahwa syariat islam telah menyatu dan menjadi pedoman huidup bagi masyarakat Aceh melalui peranan ulama sebagai ahli waris para Nabi.

Berdasarkan Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang khalwat/mesum, yang merupakan dasar hukum tentang khalwat/mesum, perbuatan yang diterangkan dalam pasal 4 dan 5 Qanun Nomor 14 tahun 2003 dipandang sebagai perbuatan yang mungkar dan keji dan dilarang dalam syariat islam dan bertentangan dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrimnya atau tampa ikatan perkawinan yang sah.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Buku ke-2 Bab

XIV tentang kejahatn terhadap kesopanan, Zina sebagaimana dimaksud Pasal 284 XIV tentang kejahatn terhadap kesopanan, Zina sebagaimana dimaksud Pasal 284

(1) “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam P asal 4 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9 kali dan paling rendah 7 kali, dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah)”.

(2) “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 diancam dengan hukuman ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 6 bulan dan paling singkat 2 bulan, dan/atau denda paling banyak Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah), paling sedikit Rp 5000.000 (lima juta rupiah)”.

Berdasarkan hasil Penelitian yang telah peneliti lakukan, mulai dari tahun 2006 s/d 2007 telah terjadi tindak pidana Khalwat/Mesum di Kota Banda Aceh yang telah dilakukan oleh sebagian besar pemuda dan pemudi, hanya terdapat sebagian kecil saja kasus tindak pidana Khalwat/Mesum yang telah dilimpahkan ke Mahkamah Syar’iyah, padahal perbuatan tentang kejahatan yng mengatur tindak pidana Khalat/Mesum sudah diatur dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003, dan barang siapa yang telah terbukti melakukan Khalwat/Mesum akan diancam dengan hukuman ta’zir, akan tetapi meskipun perbuatan itu telah diancam dengan hukuman cambuk, namun tindak pidana Khalwat/Mesum masih saja terjadi dan Berdasarkan hasil Penelitian yang telah peneliti lakukan, mulai dari tahun 2006 s/d 2007 telah terjadi tindak pidana Khalwat/Mesum di Kota Banda Aceh yang telah dilakukan oleh sebagian besar pemuda dan pemudi, hanya terdapat sebagian kecil saja kasus tindak pidana Khalwat/Mesum yang telah dilimpahkan ke Mahkamah Syar’iyah, padahal perbuatan tentang kejahatan yng mengatur tindak pidana Khalat/Mesum sudah diatur dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003, dan barang siapa yang telah terbukti melakukan Khalwat/Mesum akan diancam dengan hukuman ta’zir, akan tetapi meskipun perbuatan itu telah diancam dengan hukuman cambuk, namun tindak pidana Khalwat/Mesum masih saja terjadi dan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan dalam wilayah hukum Kotab Banda Aceh, masih banyak terjadi tindak pidana Khalwat/Mesum, meskipun perbuatan tersebut telah diancam dengan hukuman cambuk. Meskipun demikian dalam penerapan hukuman cambuk yang dilakukan sekarang diterapkan di Nanggroe Aceh Darussalam belum menunjukkan semaksimal mungkin perbuatan Khalwat/Mesum dapat dicegah oleh petugas Wilayatul Hisbah, kalau tanpa adanya rasa kesadaran hukum dari setiap diri individu untuk melaksanakan Syariat Islam yang kaffah di bumi Serammbi Mekkah. Dalam hal ini perlu kerja sama antara penegak hukum dengan masyarakat untuk memberantas kemaksiatan dan menjunjung tinggi nilai-nilai, norma-norma, dan kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat Aceh, guna untuk mewujudkan dan menegakkan rasa keadilan, kesopanan, tata krama dan menjunjung tinggi Sayriat Islam sebagai dasar untuk mewujudkan manusia yang berkeprikemanuian sebagai maklhuk Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Daerah Naggroe Aceh Darussalam, dan Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, antara lain dibidang pelaksanaan Syariat Islam dalam kehidupan masyarakat guna terwujudnya tata kehidupan masyarakat yang tertib, aman, tenteram, dan sejahtera, serta adil untuk mencapai ridha Allah SWT. Maka pemerintah berdasarkan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum hukumnya adalah haram dan dilarang oleh Syariat Islam. Untuk efektif pelaksanaan qanun ini disamping adanya lembaga penyidikan dan penuntutan, juga dilakukan pengawasan yang meliputi upaya pembinaan pelaku jarimah oleh muhtasib dari lembaga Wilyatul Hisbah.

Meskipun demikian bahwa peraturan Khalwat/Mesum sudah diatur dalam Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang larangannya, bahwa hukumnnya haram dan diancam dengan hukuman cambuk bagi pelaku. Namun dikota Banda Aceh masih terjadi pelanggaran Khalwat/Mesum meskipun sudah diancam dengan hukuman yang sangat berat. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka yang menajdi pokok permasalahan dalam penulisan kripsi ini adalah :

1. Apakah faktor-faktor terjadinya tindak pidana Khalwat/Mesum?

2. Mengapa tindak pidana Khalwat/Mesum tidak semuanya dilimpahkan ke Mahkamah Syar’iyah?

3. Apakah upaya yang ditempuh dalam menanggulangi tindak pidana Khalwat/Mesum?

B. Ruang Lingkup Penelitian

Sesuai dengan judul skripsi yang telah peneliti pilih mengenai “Tindak Pidana Khalwat/Mesum Menurut Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum” maka ruang lingkup dalam pembahasan ini Sesuai dengan judul skripsi yang telah peneliti pilih mengenai “Tindak Pidana Khalwat/Mesum Menurut Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum” maka ruang lingkup dalam pembahasan ini

C. Tujuan Penelitian

Dalam pembahasan ini yang menjadi pokok pembahasan adalah tujuan dari uraian ruang lingkup di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menjelaskan

tindak pidana Khalwat/Mesum?

faktor-faktor

terjadinya

2. Untuk menjelaskan alasan tindak pidana Khalwat/Mesum tidak semuanya dilimpahkan ke Mahkamah Syar’iyah?

3. Untuk menjelaskan upaya yang ditempuh dalam menanggulangi tindak pidana Khalwat/Mesum?

D. Metode Penelitian

1. Lokasi dan Populasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah dilakukan di wilayah hukum Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh.

a. Defenisi operasional variable-variabel penelitian

1. Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.

2. Khalwat/mesum adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara bersunyi- sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang bukan muhrim atau tampa ikatan perkawinan yang sah menurut Agama Islam.

b. Populasi penelitian

Populasi penelitian terdiri dari atas : anggota kepolisian/penyidik, jaksa penuntut umum, hakim mahkamah syar’iyah kota Banda Aceh, dan petugas Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh.

2. Cara pengambilan sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara porpusif sampling yaitu dari keseluruhan populasi akan diambil beberapa orang yang diperkirakan dapat mewakili dari keseluruhan populasi yang ada, terdiri :

a. Responden

1. Penyidik polri yang pernah menangani kasus khalwat/mesum sebanyak

2 orang;

2. Petugas Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh yang pernah melakukan penyidikan tentang kasus khalwat/mesum sebanyak 2 orang;

3. Jaksa Penuntut umum Kota Banda Aceh yang pernah melakukan penuntutan terhadap kasus khalwat/mesum sebanyak 2 orang;

4. Hakim Mahkamah S yar’iyah kota Banda Aceh yang pernah memutuskan kasus khalwat/mesum sebanyak 2 orang;

5. Pelaku tindak pidana Khalwat/Mesum sebanyak 5 orang.

b. Informan

1. Kepala Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh.

2. Ketua Masyarakat Adat Kota Banda Aceh.

3. Cara pengambilan data dan pengumpulan data

Data yang diteliti dalam suatu penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan yang dimaksudkan untuk memperoleh data skunder yaitu dengan cara mempelajari literatur (buku-buku), tiori tiori dan perundang-undangan yang berhubungan dengan kasus-kasus yang ada.

b. Penelitian lapangan

Penelitian lapangan yang dimaksudkan untuk memperoleh data Primer dengan mewawancarai kepada responden dan informan yang telah peneliti pilih. Alasan dilakukan wawancara karena cara ini dirasa paling tepat untuk mengumpulkan data karena setiap permasalahan berkenaan langsung dengan penelitian dapat langsung dituangkan dalam wawancara.

4. Cara analisis data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan hasil penelitian kepustakaan dianalisis dan diolah secara sistematis dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif adalah apa yang dinyatakan oleh responden dan informan baik secara lisan maupun tulisan yang dipelajari dan diteliti sebagai suatu yang utuh sehingga terjawab permasalahan. Setelah data terkumpulkan, lalu data dipilah-pilah berdasarkan kesesuaian dengan masalah yang diteliti dan selanjutnya data ditulis dalam skripsi dengan menghubungkan dengan data kepustakaan.

E. Sistematika Penelitian

Untuk memudahkan penyusuan skripsi ini serta sekaligus untuk tercapainya tujuan pembahasan, maka disusunlah sistematikanya yang dibagi dalam empat bab antara lain sebagai berikut :

Bab I yang merupakan bab pendahulan yang terdiri dari 4 (empat) sub bab, yang memuat Latar Belakang Permasalahan, Ruang Lingkup, Tujuan Pembahasan, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

Bab II yang berisikan uraian yang bersifat yuridis teoritis, pada bab ini akan dijelaskan mengenai Tinjauan Umum tentang Khalwat/Mesum, Jenis- Jenis Jarimah, Tujuan Pidana Menurut Hukum Islam, dan Cara Penanggulangan Jarimah Menurut Hukum Islam.

Bab III dalam ini dikemukan kenyataan yang terjadi dalam praktek yang dihubungkan dengan Bab II sebagai Bab Yuridis Teoritis. Bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub bab yaitu : Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Khalwat/Mesum, Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Khalwat/Mesum tidak dilimpahkan ke Mahkamah Syar’iyah, dan Upaya yang ditempuh dalam Menanggulangi Tindak Pidana Khalwat/Mesum.

Bab IV merupakan bab penutup yang memuat tentang Kesimpulan dan Saran dari keseluruhan bab.

BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG KHALWAT/MESUM

A. Pengertian dan Pengaturan Tentang Khalwat/Mesum

Khalwat/Mesum atau dengan kata lain yaitu jarimah adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang bukan muhrinya tampa ikatan perkawinan yang sah menurut hukum Islam. Jadi pengertian jarimah Khalwat/Mesum Jarimah berasal dari kata “Jaram” artinya berusaha dan bekerja, pengertian bekerja disini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia. Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa jarimah menurut arti bahasa adalah melakukan perbuatan-perbutan atau hal-hal yang dipandang tidak baik, dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan jalan yang lurus (agama). Dalam memberikan definisi ini Imam-Al Mawardi mengemukakan, jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang

dilarang oleh syara’. 1 Para fuqaha menyatakan bahwa bahwa lafal jinayah sama artinya

dengan jarimah. Pengertian jinayah adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda atau lain sebagainya.

1 Ahmad wardi muslich. Pengantar dan Azas hukum Pidana Islam. Sinar Grafika, 2004 : Hal 9 1 Ahmad wardi muslich. Pengantar dan Azas hukum Pidana Islam. Sinar Grafika, 2004 : Hal 9

Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan tang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al- Isra’ :320.

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap sesorang dari keduanya seratus aklli dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukumannya disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur : 2) . Jejaka dan gadis hukumannya jilid seratus kali dan pengasingan selama satu tahun”(HR. Jama’ah kecuali Al-bukhari dan Annasa’i).

Sabda Nabi : Tidak boleh terjadi kerusakan terhadap manusia dan tidk boleh manusia melakukan pengrusakan terhadap orang lain.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Katanya : aku pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda. : Apa bila seseorang hamba perempuan milik salah seorang diantara kamu melakukan perbuatan zina dan telah terbukti, maka hukumlah dia dengan cambukan rotan dan janganlah mamakinya. Jika ia mengulanginya lagi perbuatan zina itu, cambuk rotan;lah dia dan janganlah kamu memakinya. Dan jika dia mengulanginya lagi buat kali ketiganya dan terbukti, maka jauhlah dia walaupun dengan harga sehelai rambut.

Sanksi hukum bagi pezina • Sanksi hukum bagi wanita dan/atau laki laki yang berstatus pemuda pemudi

dihukum dengan hukuman cambuk 100 kali. • Dalam pelaksanaan cambuk tidak ada belas kasihan kepada pelaku dan

eksekusinya di saksikan oleh sekelompok dari orang yang beriman. • Sanksi hukuman cambuk bagi wanita dan /atau laki laki yang berstatus janda

dan/duda adalah hukuman rajam (ditanam sampai leher kemudian kemudian dilempari batu sampai meninggal) dalam pelaksanaan rajam tidak boleh ada dan/duda adalah hukuman rajam (ditanam sampai leher kemudian kemudian dilempari batu sampai meninggal) dalam pelaksanaan rajam tidak boleh ada

Imam Syafi’i dalam mazhabnya memberikan definisi tentang zina yaitu memasukkan alat kelamin kedalam alat kelamin yang diharamkan menurut zatnya terlepas dari segala kemungkinan, kesamaan dan secara alami perbuatan itu disenangi. Larangan terhadap zina berirngan dengan larangan pembunuhan dan termasuk dosa besar sebagaimana dosa pembunuhan itu sendiri, Islam sangat serius menghadapi persoalan zina tersebut dan menempatkannya sebagai masalah social yang kejahatannya merusak tatanan sosial, pelakunya dinnyatakan melakukan kejahatan terhadap umum atau publik dan oleh karena dituntut oleh Jaksa Penuntut umum yang mewakili masyarakat. Dalam KUHP yang berlaku delik perzinaan termasuk delik aduan dan ancaman terhadap pelaku sangat ringan, akibat yang terjadi adalah kerusakan masyarakat. Tapi Islam menetapkan ancaman terhadap perzinaan denga ancaman hukuman yang sangat berat, paling tinggi hukuman mati dan paling rendah hukuman dera seratus kali, dan pelaklsanaan atau eksekusi pelaku zina baik dalam bentuk rajam maupun dera dilakukan oleh hakim atau petugas yang ditentukan secara terbuka tampa diberi rasa belas kasihan, agar orang lain menyaksikan dan merasa takut melaksanakan

kejahatan yang sama. 3 Islam melarang dengan tegas tentang zina, sementara khalwat/mesum

merupakan wadilah atau peluang untuk terjadinya zina, maka khalwat juga termasuk salah satu jarimah (perbuatan pidana) dan diancam dengan hukuman

2 Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam, Jakarta, SInar Grafika. 2007, hal 50 3 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Figh : Raja Grafindo Persada 2003, hal : 274

‘uqubat ta’zir, cambuk. Dalam hukum Islam terdapat dua macam sanksi yaitu yang bersifat definitif dari Allah dan Rasulnya dan sanksi yang tetapkan manusia melalui kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dan kedua jenis sanksi tersebut mendorong manusia atau masyarakat untuk patuh dan taat pada ketentuan hukum.

b. Pengaturan Tentang Khalwat/Mesum atau Jarimah Dalam Qanun :

Pengaturan tentang Khalwa/Mesum dalam Qanun terdapat dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum yaitu : Pasal 4 : Khalwat/mesum hukumnya haram.

Pasal 5 : Setiap orang dilarang melakukan Khalwat/Mesum. 4 Hukum Islam memiliki karekteristik sendiri yang berbeda dengan

karakteristik hukum yang lain yang berlaku didunia ini, berbeda karakteristik ini disebabkan karena hukum Islam berasal dari Allah bukan buatan manusia yang tidak luput dari kepentingan individu dan hawa nafsu. Intisari hukum Islam adalah memelihara manusia dan memberikan perhatian yang penuh atas dasar kemulian dan hukum Islam berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjalankan segala hal yang menyebabkan terganggunya kemulian itu. Hasby ash-Shiddieqy, menyebutkan beberapa karakteristik hukum Islam, yaitu sempurna (ta’amul), harmonis (wasathiyah) dan dinamis (harakah). Sedangkan Menurut Faqouq Nabhan, dalam pengertian para fuqaha Syariah adalah menetapkan norma-norma hukum untuk menata kehidupan manusia, baik dalam hubungannya denga tuhan

4 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006, hal : 94-95 4 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006, hal : 94-95

Dan setelah disahkan nya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sesuai dengan Pasal 125 ayat 1 dan ayat

2 meliputi : Ayat 1 : Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah,

syar’iyah dan aklhak. Ayat 2 : Syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melipiuti ibadah, ahwal al- syakhshiyah (hukum keluarga), mu’amalah (hukum pe rdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.

Berdasarkan dari ayat yang telah diuraikan sebelumnya diatas maka pemerintah dan masyarakat Aceh yang ada di Aceh wajib menghargai, menghormati pelaksanaak Syariat Islam di Aceh sebagaimana ketentuanya dalam Pasal 126 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 11 tahun 2006 yang berbunyi :

Ayat 1 : Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib mentaati dan mengamalkan Syariat Islam. Ayat 2 : Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib pelaksanaan Sysriat Islam.

Berdasarkan ayat diatas maka bagi setiap orang pemeluk agaman Islam yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati dan menghargai pelaksanaan Syriat Islam yang berlaku di Aceh guna untuk mewujudkan pelaksanaan Syariat Islam yang kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan ketentuan yang telah dituangkan dalam Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum, maka bagi pelaku Khalwat/Mesum diancam dengan ‘uqubat Berdasarkan ayat diatas maka bagi setiap orang pemeluk agaman Islam yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati dan menghargai pelaksanaan Syriat Islam yang berlaku di Aceh guna untuk mewujudkan pelaksanaan Syariat Islam yang kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan ketentuan yang telah dituangkan dalam Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum, maka bagi pelaku Khalwat/Mesum diancam dengan ‘uqubat

c. Lingkungan Berlakunya Aturan-aturan Pidana Islam

Pada dasarnya Syariat Islam bukan syariat regional atau kedaerahan, melainkan syariat yang bersifat universal dan internasional. Syariat Islam berlaku untuk seluruh dunia dan semua umat Islam baik mereka muslim atau nonmuslim, sebagaimana firman Allah dalam Al- qur’an Surat Al-Anbiya’ ayat 107 yang berbunyi :

Dan kami tidak mengutuskan engkau (Ya Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. (QS. Al-Anbiya :107) Menurut Imam Abu Hanifah hukum Islam diterappkan atas jarimah-

jarimah yang terjadi di negeri Islam baik dilakukan oleh orang maupun zimmi (orang yang bukan muslim tapi tunduk kepada agama Islam berdasarkan perjanjian yang berlaku). Berbeda dengan Imam Abu Yusuf, beliau mengatakan diterapkan atas jarimah-jarimah yang terjadi di negeri Islam baik dilakukan orang muslim, zimmi maupun musta’man (nonmuslim yang tinggal sementara di negeri Islam, mereka tunduk pada hukum Islam berdasarkan perjanjian keamanan yang bersifat sementara).

Dalam hukum pidana Indonesia lingkungan berlakunya hukum pidana ini diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) 5 . Pasal 2 : Ketentuan Pidana dalam perundang-undangan Republik

Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam daerah Republik Indonesia melakukan suatu Tindak Pidana.

B. Jenis-Jenis Jarimah Menurut Hukum Islam

Jarimah itu sangat banyak macam dan ragamnya. Tetapi secara garis besar jarimah itu dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu :

1. Ditinjau dari Segi Berat Ringannya Hukuman : Jarimah dapat dibagi beberapa jenis antara lain :

1.1. Jarimah Hudud, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat). sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut, Hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi

seseorang. jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain 6 :

 Jarimah zina  Jarimah qazdaf  Jarimah syurbul khamr  Jarimah pencurian  Jarimah hirabah  Jarimah riddah dan

5 Ahmad Wardi Muslih, Lot Cit hal 53 6 Ibid hal 17-18

 Jarimah Al Bagyu (pemberontakan) Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah dan Al-Bagyu (pemberontakan), yang dilanggar adalah hak Allah. Sedaangkan dalam jarimah

pencurian dan qazdaf (penuduh zina) yang disinggung disamping hak Allah juga terdapat hak manusia (individu).

1.2. Jarimah qishash dan diat, adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash atau diat, yang keduanya sudah ditentukan oleh syara’ tapi hak manusia sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syahlut, hak manusia adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang tertentu. Jarimah qishash dan diat ada dua macam antara lain :

 Peganiayaan  Pembunuhan

1.3. Jarimah ta’zir, adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa adalah ta’dib atau membri pelajaran. sedangkan menurut istilah adalah sebagaiman dikemukakan oleh Imam Al Mawardi, Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belaum ditentukan hukumannya oleh syara’.

2. Sumber, hukum Indonesia dan ciri-ciri hukum aturan Pidana Islam Jumhur ulama bahwa sumber hukum Islam ada empat yaitu Al- qur’an, As- Sunnah, ijma’ dan qiyas. Berdasarkan ruang lingkup yang telah diuraikan,

maka ciri-ciri hukum Islam yaitu : 7

7 Zainuddin Ali, Lot Cit hal 22

1). Hukum Islam bagian dan bersumber dari ajaran agama Islam. 2). Hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dicerai

pisahkan dengan iman, kesusilaan dan akhlak Islam. 3). Hukum Islam mempunyai kata kunci : (a) syariah, dan (b) fiqih. 4). Hukum Islam mempunyai dua bidang utama yaitu : (1) hukum ibadah dan (2) hukum mu’amalah. 5). Huku Islam mendahulukan kewajiban dari hak amal dari pahala. 6). Hukum Islam dapat dibagi : (1) hukum taklifi atau huum taklif,yaitu Al-

akmah Al-khamsah yang terdiri atas lima kaidah jenis hukum,lima pengolongan hukum yaitu jaiz,sunah,makruh,wajib dan haram.dan (2) hukum Wadh”I, yaitu hukum Yang mengandung sebab,syarat halangan

terjadi atau terwujutnya hubungan hukum. 8 Dan selain sumber dari hukum Syariat Islam juga terdapat bberapat

sumber hukum di Negara Indonesia yaitu : 1). Pancasila, yaitu suatu sumber pandangan hidup, Ideologi bangsa Indonesia, serta sumber segala hukum , artinya bahwa pancasila sebagai pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaandan watak dari rakyat Negara yang bersangkutan tempat berpijak atau

bersandar bagi setiap persoalan hukum yang ada 9 . serta menjadi 2). Undang –Undang Dasar 1945, merupakan perwujudan dari tujuan

proklamasi kemerdekaan RI btanggal 17 agustus 1945 yang terdiri atas batang tubuh UU 1945.

8 Ibid hal 22 9 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004,

hal 6-7

Kekhasan Syariat Islam di bandingkan Undang-Undang lain adalah sifatnya yang teitis (rabbaniyah) atau regitius (diniyah) Hukum Islam adalah- hukum yang bersumber dari Al- qur’an dan As-Sunnah dan menjadi bagian agama

Islam sebagai sistem ia mempunyai beberapa istilah antara lain 10 :

1. Hukum seperangkat norma yang mengatur tingkah laku dalam masyarakat baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu oleh penguasa.

2. Hukm atau ahka, perkataan hukum yang kita pergunakan dalam bahasa Indonesia yang berasal dari kata hukm (tapa u antara huruf k dan m) dalam bahasa Arab norma atau kaidah yakni ukuran, patokan, tolak ukur, dan pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda

3. Syariat, selain perkataan hukum dipahami juga hukum dengan istilah syariat atau syariah secara harfiah adalah jalan kesumber (mata) air yakni jalan yang lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim .

4. Fiqih, dalam bahasa arab ditulis dengan fiqih atau kadang-kadang feqih setelah di indonesiakan artinya faham atau pengertian. Hukum Islam sebagi tatanan dalam hukum modern dan salah satu hukum yang berlaku didunia ini, substasinya, mencakup aspek ibadah, aspek al

10 Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, 1997 hal 87 10 Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, 1997 hal 87

C. Tujuan Pidana Menurut Hukum Islam dan Teori-teori Pemidanaan

1. Pengertian Hukuman

Hukumaan dalam bahasa arab disebut ‘uqubat”. Artinya mengiringnya dan datang dibelakangnya. 12 Sesuatu disebut hukuman

karenan ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Dan dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang menyimpang yang telah dilakukannya. Sehubungan dengan kasu-kasus topik diatas, dapat dikatakan bahwa apapunyang dilakukan hukum pidana, salah atau benar, mempergunakan bentuk-bentuk hukuman tergantung pada yang telah karakter moral dari si pelanggar hukum atau moralitas

dari pada pelanggaran hukum dilakukannya, 13 oleh karena itu hukum dapat menghapuskan kebiasaan buruk, akan tetapi dapat pula mempertahankan

apa yang dilarang Undang-Undang. Secara umum fungsi hukum dalam masyarakat dapat dibagi 14 :

 Fungsi menfasilitasi, dalam hal initermasuk menfasilitasi sehingga tercapai suatu ketertiban.

11 Abdul manan, Op Cit, hal 61 12 Ahmad Wardi Muslich ,Lot Cit, hal 136-137 13 Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, Raja Wali, Jakarta, 1984,

hal 57 14 Munir Faudy, Sosiologi Hukum Komtemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal-

 Fungsi refresif, dalam hal ini penggunaan hukum sebagai alat bagi elite berkuasauntuk mencapai tujuannya.

 Fungsi Idiologi, hukum menjamin pencapaian legitimasi, dominasi, kebebasan, kemerdekaan dan keadilan.

 Fungsi reflektif, hukum mereflekti keinginan bersama dalam masyarakat sehinngga mestinya hukum barsifat netral.

Menurut L.J.Van Apeldoorn, tujuan hukum adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dalam mempertahankan ketertiban tersebut hukum harus secara seimbang melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam

masyarakat. 15 Dalam KUHP, tentang kesopanan pasal 281, dan zina pasal 284, kesopanan disini dalam arti kata kesusilaan, perasaan malu yang berhubungan

dengan nafsu kelamin misalnya, bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, atau pria menciumnya wanita, maka perbuatan tersebut diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan, berbeda dengan zina pasal 288, yang merupakan delik aduan yang absolute, artinya tidak dapat dituntut apa bila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan (yang

dimalukan) 16 . Dan hukumannya juga sangat terlaalu ringan, sedangkan dalam hukum Syariat Islam perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 281 dan Pasal 284,

itu diancam dengan hukuman yang sangat berat. Syariat hukum Islam telah menetapkan tiga macam jenis hukuman bagi pelaku zina antara lain sebagai berikut :

15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2007, hal 58 16 R. Soesilo, Politeia-Bogor 15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2007, hal 58 16 R. Soesilo, Politeia-Bogor

masingnya seratus kali, janganlah kamu disukai oleh rasa kasih sayang terhadap keduanya jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaknya menyaksikan penghukumannya segolongan orang mu’min.

(An-nur :2) 17 .

b. Hukuman pengasingan, terhadap pembuat zina yang tidak muhshan dikenakan hukuman pengasingan selama satu tahun disamping hukuman jilid, sesuai dengan sabda Nabi : Orang muda dengan orang muda jilid seratus kali dan pengasingnan

satu tahun.

c. Hukuman rajam, adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu dan dikenakan bagi pembuat zina muhshan baik lakli laki atau perempuan, sesuai dengan sabda Nabi : Tidak halal darah (jiwa) seseorang muslim kecuali salah satu dari tiga

hal yaitu kufur sesudah iman, zina sesudah muhshan (kawin), dan pembunuhan bukan karena pembunuhan orang (bukan pembunuh qishas).

2. Syarat-syarat Hukuman

 Hukuman dianggap mempunyai dasar (Syaar’iyah) apa bila ia didasarkan kepada sumber- sumber syara’ seperti Al-qur’an, As-Sunnah, ijma’ atau Undang-Undang yang tetapkan oleh lembaga yang berwewenang (ulil

amri) seperti dalam hukum ta’zir.

17 Ahmad Wardi Muslich, Lot Cit, hal 141

 Hukuman harus bersifat pribadi (perseorangan) ini, mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah.

 Hukuman harus bersifat umum, ini berarti hukuman harus berlaku bagi setiap orang tanpa diskriminasi.

3. Pengulangan Jarimah

Dalam hal terjadi pengulangan jarimah dalam istilah hukum positif adalah dikerjakannya suatu jarimah oleh seseorang , setelah ia melakukan jarimah lain yang telah mendapatkan putasan terakhir. Pengulangan berbeda dengan gabungan jarimah. Dalam gabungan jarimah, pelaku melakukan jarimah untuk kedua kalinya atau ketiga kalinya, namun jarimah sebelumnya belum mendapat keputusan terakhir.

Mengenai syarat-syarat kemungkinan adanya pengulangan jarimah, masih diperselisihkan oleh para sarjana hukum positif. Tapi bila merujuk kepada hadis Rasulullah saw yang brbunyi :

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Katanya : aku pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda. : Apa bila seseorang hamba perempuan milik salah seorang diantara kamu melakukan perbuatan zina dan telah terbukti, maka hukumlah dia dengan cambukan rotan dan janganlah mamakinya. Jika ia mengulanginya lagi perbuatan zina itu, cambuk rotan;lah dia dan janganlah kamu memakinya. Dan jika dia mengulanginya lagi buat kali ketiganya dan terbukti, maka jauhlah dia walaupun dengan harga sehelai rambut.

Dalam hukum Pidana Islam, pengulangan jarimah sudah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW, misalnya dalam jarimah pencurian, Rasulullah saw telah menjelaskan hukuman untuk pengulangan pencurian ini secara rinci sebanagimana hadisnya :

Jika ia mencuri potonglah tangannya (yang kanan), jika ia mencuri lagi potonglah kakinya (kaki kiri), jika ia mencuri lagi potonglah tangannya (tangan kiri), kemudian jika ia mencuri lagi maka potonglah kakinya

(yang kana). 18

Namun bila diperhatikan hadis tersebut tidak ada pemberatan atau penambahan hukuman, melainkan menjelaskan saja urutannya sejak pencurian yang pertama sampai yang keempat. Berhubungan dengan pengulangan pelangga ran atau pengulangan Khalwat/Mesum atau jarimah ini, maka ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dan ‘uqubat maksimal sebagaimana ketentuannya dalam Pasal 24 Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum yang berbunyi : Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dan ‘uqubat maksimal.

Ketentuan ‘uqubat ini dapat ditambah apa bila orang yang sama melakukan pengulangan pelanggaran yang sama, maksud pengulangan pelanggaran yaitu pelanggaran yang tersebut dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana bunyinya :

(1). Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banya Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

(2). Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau paling banyak Rp. 15.000.000-(lima belas juta upiah), paling sedikit Rp. 5000.000-(lima juta rupiah).

18 Ahmad Wardi Muslih, Lot Cit hal 163

Dalm hukum Pidana Islam, ada dua teori tentang bergandanya hukuman dan sudah dikenal oleh para fuqaha :

1. Teori saling melengkapi (At-tadakhula) Menurut teori ini, ketika tejadinya gabungan perbuatan maka hukuman- hukamannya saling melengkapi (memasuki), sehingga oleh karena itu perbuatan itu hanya dijatuhi satu hukuman saja.

2. Teori penyerapan (Al-jabb) Menurut teori ini, menurut Syariat Islam,cukup menjatuhkan satu hukuman saja sehingga hukuman-hukuman yang lain tidak perlu dijatuhkan. Hukuman dalam konteks ini tidak lain adalah hukuman mati, dan para fuqaha belum disepakati tentang teori ini.

4. Macam-Macam Hukuman

 Hukuman hudud adalah hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud, ini ada tujuh macam yaitu : (1) zina, (2) qadzaf/penuduhan zina, (3) minum minuman keras (syurbul khamr), (4) pencurian, (5)

hirabah/perampokan, (6) riddah/murtad dan (7) pemberontakan.  Hukuman qishash dan diat yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-

jarimah qishash dan diat.  Hukuman kifarat yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian jarimah

qishash dan diat beberapa jarimah ta’zir.

 Hukuman ta’zir yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir 19 .

5. Tujuan Hukuman

Tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam Syariat Islam sebagi berikut :

a. Pencegahan Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulanginya perbuatan jarimahnya.

b. Perbaikan dan pendidikan Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku

jarimah agar ia menjadi orang yang baik zdan menyadari kesalahannya. 20 Menurut filsafat tujuan hukuman itu rupa-rupa, tergantung dari sudut mana

soal itu ditinjaunya, misalnya :

a. Pujangga jerman E. Kant 21 mengatakan, bahwa hukuman adalah suatu pembalasan, berdasarkan atas pepatah kuno: siapa membunuh harus di

bunuh, pendapat ini biasa di sebut theorie pembalasan (vergeldings theorie).

b. Pujangga ferbach antaranya berpendapat bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan orang supaya jangan berbuat jahat. Theorie ini biasa di sebut “ theorie mempertakutkan” (afchrikkings theorie).

19 Ahmad Warndi Muslih, Lot Cit, 142 dan 144 20 Ahmad Wardi Muslih Op Cit, hal 137 21 R. Soesilo, hal 35 19 Ahmad Warndi Muslih, Lot Cit, 142 dan 144 20 Ahmad Wardi Muslih Op Cit, hal 137 21 R. Soesilo, hal 35

tuhan untuk mengatur tata kehidupn mereka didunia, baik dalam masalah keagamaan maupun dalam masalah kemasyarakatan. Tujuan disyariatkannya ketentuan hukum tentang perzinaan adalah dalam rangka-

memelihara garis keturunan, lebih jelas sayid Sabiq 22 menyatakan , bahwa perzinaan itu dapat mengakibatkan :

 Hancurnya garis keturunan dan putusnya hak waris, karena terlihat nasab secara hukum.

 Perzinaan akan mengakibatkan kehamilan, dan anak yang lahir itu akan tesia-siakan pemeliharaannya.

 Perzinaan hanyalah hubungan temporer, tidak sesuai dengan watak kemanusian.

 Perzinaan akan menimbulkan penyakit berbahaya yang disebabkan oleh berganti-gantinya pasangan. Salah satu kepentingan hukum yang sangat fundamental adalah bahwa

hukum harus seragam dan tak memihak. Dalam pelaksanaan tak boleh adanya bau prasangka atau pilih kasih atau tindakan sewenang-wenang atau tidak ketentuan. Oleh karena itu dalam garis-garis basarnya dalam pelaksanaan hukum harus

22 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta, Raja Grafindo Persada 1995, hal 13.

mengikuti “preseden” 23 . Dengan demikian pranata hukum merupakan norma- norma dalam memenuhi ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan

masyarakat 24 .

6. Pelaksanaan Hukuman Bagi Pelaku Jarimah

Dari segi pelaksanaan hukumannya, jarimah dalam Syariat Islam terbagi tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishash dan diat, jarimah ta’zir, tapi disini kita hanya membahas masa lah pelaksanaan hukuman jarimah ta’zir saja. Pelaksanaan hukuman pada hukuman ta’zir yang sudah diputuskan oleh hakim,juga mejadi hak penguasa Negara atau petugas yang ditnjuk olehnya. Pada dasarnya pelaksanaan hukuman untuk pelaku Khalwat/Mesum atau jarimah sama dengan hukuman lainnya, yaitu merupakan hak penguasa Negara. Dalam Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang pelaksanaan ‘uqubat, dilakukan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku sebagaimana ketentuannya dalam Pasal 26,27,28,29 yang berbunyi :

Pasal 26 : ( 1). ‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditujuk oleh jaksa Penuntut Umum. (2). Dalam melaksakantugas sebangaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus beroendoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/ atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang hukum formil. Pasal 27 : (1). Pelaksaan ‘qubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai hukum tetap. (2). Penundaan pelaksaan ‘uqubat hamya dapat dlakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabial terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.

23 Soetikno, Filsafat Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal 87. 24 Cik Hasan Bisri, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Raja Grafindo Persada 2004,

hal 62

Pasal 28 : (1). Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang disksikan oleh orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk. (2). Pecambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter 0,7 cm dan 1,00 cm, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda/tidak dibelah. (3). Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemajuan. (4). Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai. (5). Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan perempuan dalam posisi duduk daditutup kai diatasnya. (6). Pencamukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahilkan. Pasal : 29 (1). Apabila selama pencambukan timbul hal-hal membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjukan, maka sisa cambukan dituda sampai waktu memungkinkan. Berdasarkan ayat-ayat yang telah diuraikan diatas tentang pelaksanaan

‘uqubat terhadap pelaku jarimah, maka hal tersebut juga sangat jelas diterangkan dalam Al- qr’an An-Anur 2 ; 

2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan

orang-orang yang beriman 25 .

Dan pelaksanaan tentang ‘uqubat kurungan dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 Qanun Nomor 14 tahun 2003, tentang pelaksanaan ‘uqubat kurungan berbunyi : Pelaksanaan ‘uqubat kurungan sebagaimana

25 Ahmad Mawardi Muslich, Op Cit, hal 154 25 Ahmad Mawardi Muslich, Op Cit, hal 154

Tentang lamanya kurungan dalam Pasal 22 ayat (2) Qanun Nomor 14 tahun 2003, paling lama 6 (enam) bulan, dan paling singkat 2 (dua) bulan, dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah), dan paling sedikit Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah). Dan ketentuan ini berbeda dengan- ketentuan dalam Al- qur’an tentang lama kurungan bagi pelaku jarimah, sebagaimana disebut dalam Surah An- Nisaa’ ayat 15 :    

15. Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji [275], hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah

sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya 26 .

D. Penanggulangan Jarimah Menurut Hukum Islam

Menanggulangi kejahatan mencakup kegiatan mencegah sebelum terjadi dan memperbaki pelaku yang dinyatakan bersalah dan dihukum

penjara atau lembaga pemasyarakatan 27 . Upaya membina dan mendidik untuk memasyarakatkan kembali, pada hakekatnya bermasud untuk

pencegahan atau preventif, secara lebih umum upaya penanggulangan kriminalitas dlakukan dengan apa yang dinamakan metode moralistick dan metode abolisionistk.

26 Zainuddin Ali, Lop Cit, hal 38 27 Soedjono Dirdjosiswono, Ruang Lingkup Kriminologi, Remadja Karya, Bandung,

1984, hal 19-20

1. Moralistik, yakni dilakukan dengan cara membina mental spiritual yang isa dilakukan oleh para ulama, para pendidk dan lain-lain.

2. Abolisionistik, yakni penanggulangan bersifat konsepsional yang harus direncanakan dengan dasar penelitian kriminologi, dan menggali dasar sebab musababnya dari berbagai faktor yang berhbungan. Cara yang umum konsepsional, dilakukan dengan memadukan berbagai

unsur yang berhubungan dengan mekanisme peradilan pidana serta partisipasi masyarakat, yaitu metode yang diketengahkan oleh Reckles dalam The crime problem, yang secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Peningkatan dan pemantapan aparatur penegak hukum, meliputi pemantapan organisasi, personel dan sarana prasarana untuk penyelesaian perkara pidana.

2. Perundang-rundangan yang dapat berfungsi mengkanalisir dan

membendung kejahatan dan mempunyai jangkauan kemasa depan.

3. Mekanisme peradilan pidana yang efektif dan memenuhi syarat cepat, tepat, murah dan sederhana.

4. Koordinasi antar aparatur penegak hukum dan aparatur pemerintahan yang lainnya yang berhubungan untuk meningkatkan daya guna dalam penanggulangan kriminalitas.

5. Partisipasi masyarakat untuk membantu kelancaran penanggulangan kriminalitas. Dalam membangun masyarakat, Allah telah meletakkan rambu-rambu

yang menjaga masyarakat dari ketercerai-beraian dan kelemahan sehingga yang menjaga masyarakat dari ketercerai-beraian dan kelemahan sehingga

sebagaimana tersebut pada butir ke tiga uraian diatas, tentang peradilan, maka semua kejahatan yang berhubungan dengan tindak pidana khalwat/mesum atau jarimah maka Mahkamah Syar’iyah yang ada di Aceh baik di tingkat kabupaten atau kota maupun provinsi berkewajiban dan berwenang mengadili, memeriksa serta memutuskan tentang hal pidana yang terjadi di Aceh, sebagaimana ketentuannya dalam Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006, tetang Pemerintahan Aceh, yang berbunyi :

Pasal 128 ayat (3), Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal-ashsykshiyah (hukum keluar ga), mu’amalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana) yang berdasarkan atas Syariat Islam.

Dalam Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum, di jelaskan bahwa dalam menanggulangi tindak Pidana Khalwat/Mesum, maka peran serta larangan masyarakat dan pemerintah berkewajiban melakukanpembinaan, sebagai dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2), dalam peran serta masyarakat, dan Pasal

13 ayat (1) dan (2) tentang pengawasan dan pembinaan berbunyi : Pasal 8 :

(1). Masyarakat berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan Khalwat/Mesum. (2). Masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang berwenang baik lisan maupun tulisan apabila mengetahui adanya pelanggaran terhadap larangan Khalwat/Mesum. Pasal 13 : (1). Gubernur, Bupati/Walikota, Imum mukim dan keuchik berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penerapan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6.

28 Abdurrahman dan Abdussalam Hasan Washil, Gejolak sexk akibat dan Solusinya, Daarusy-Syuruuq-Bairut 1986, hal 78

(2). Untuk melakukan penngawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Qanun ini, Gubernur, Bupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah.

Untuk lebih lanjut dalam hal penanggulangan kejahatan pidana khalwat/mesum atau jarimah adalah selain melakukan pembinaan, juga harus dujatuhkan sanksi yang tegas bagi pelaku pidana, dan tujuan untuk menagulangi

kejahatan terserbut karena 29 :

1. Mengembalikan kawum Muslimin kepada pimpinan Al- qur’an dan hadist.

2. Menghidupkan ruh jihad dan ijtihat dalam kalangan ummat Islam.

3. Membasmi bid’ah khurgat dan takhayal, tahlid dan syirik dalam kalangan ummat Islam

4. Memperlus tersiarnya tablig dan dakwah kepada segenap lapisan masyarakat.

5. Mendirikan madrasah/pesantren untuk mendidik putera/puteri muslim dengan dasar Al- qur’an dan hadist. Konsepsi yang rasional empiris, untuk menjawab, bagaimana kejahatan itu

dapat ditanggulangi secara efektif, juga merupakan suatu persoalan besar dan rumit. Karena, apa bila rumusan “apa sebenarnya kejahatan”, masih subyektif dan

relatif. Para fuqaha 30 , membagi cara pemberantasan kemungkaran kepada tujuh bagian yaitu :

1. Penjelasan, apabila seseorang melakukan sesuatu keburukan (kemungkaran) sedang ia tidak mengetahui bahwa pebuatannya adalah salah, cara yang baik untk mencegahnya yaitu dengan memberi penjelasan

29 Hasbullah, Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada 1999, hal 140 30 Ahmad Wardi Muslich, Lop Cit, hal 99 29 Hasbullah, Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada 1999, hal 140 30 Ahmad Wardi Muslich, Lop Cit, hal 99

2. Memberi nasehat dan petunjuk, cara ini ditujukan kepada orang yang memulai suatu perbuatan dan ia menyadari bahwa perbuatannya adalah mungkar.

3. Menggunakan kekerasan, cara ini dilakukan apa bila jalan yang halus dengan nasehat dan petunjuk tidak dapat teratasi, cara ini dilakukan pada saat darurat, tapi harus dengan cara yang sopan, baik dan benar.

4. Mengadakan tindakan dengan tangan, ini tindakan yang langsung terhadap barang dan jenis kemngkarannya, seperti merusak barang-barang yang digunakan untuk melakukan maksiat.

5. Menggunakan ancaman pukulan dan pembunuhan, ini baru pada tahap ancaman bukan tindakan, ancaman tersebut harus dapat diwujudkan bukan ancaman tidak boleh diwujudkan, misalnya nant kamu saya dera atau saya pukul tengkukmu.

6. Menggunakan pemukulan dan pembunuhan, ini digunakan pada saat darurat dan digunakan secara bertahapsesuai dengan keperluan.

7. Meminta bantuan orang lain, ini apa bila dirinya sendiri tidak mampu untuk memberantas kemungkaran dan ia memerlukan bantuan orang lain dengan kekuatan dan senjatanya maka para fuqaha berbeda pendapat. Sebagian para fuqaha meminta bantuan orang lain untuk memberantas

kemungkaran tidak dibolehkan 31 .

31 Ibid : hal 99-100