RPJMD (2016-2021) – BAPPEDA SULUT

(1)

BAB IV

ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

Analisis isu-isu strategis yang terkait dengan pembangunan daerah Sulawesi Utara dapat diuraikan berdasarkan rekomendasi kajian sinergitas dan keterkaitan unsur perencanaan pembangunan daerah. Bagian ini menjelaskan tentang beberapa isu strategis terkait dengan justifikasi rencana RPJMD Tahun 2016-2021

Permasalahan dan Isu strategis pembangunan Provinsi Sulawesi Utara tahun 2016-2021 diuraikan sebagai berikut :

4.1. PERMASALAHAN PEMBANGUNAN

4.1.1. PERMASALAHAN PEMBANGUNAN YANG MENJADI URUSAN WAJIB YANG BERKAITAN DENGAN PELAYANAN DASAR

A. PENDIDIKAN;

1) Rata-rata lama sekolah relatif masih rendah, karena baru mencapai 8,9 tahun. Artinya rata-rata penduduk Sulawesi Utara tidak tamat SMP.

2) Angka partisipasi murni SD dan SMP belum mencapai 100%. Artinya masih banyak penduduk usia sekolah pada jenjang pendidikan SD dan SMP tidak bersekolah atau putus sekolah. 3) Angka putus sekolah msaih cukup tinggi, apalagi di tingkat SMP

dan SMA, sementara dan angka melanjutkan sekolah relative rendah. Artinya banyak penduduk Sulawesi Utara sesudah tamat SD, enggan melanjutkan ke SMP dan yang tamat SMP enggan melanjutkan ke SMA.

4) Kualitas pelayanan pendidikan Anak usia dini relative masih rendah

5) Kualitas sarana dan prasarana sekolah pendidikan Anak usia dini relative masih rendah

6) Kualitas dan kompetensi guru masih sangat rendah meskipun sudah mendapatkan sertifikasi.

7) Peningkatan kapasitas SDM kependidikan dalam mengelola kewenangan penanganan SMA/SMK yang dahulunya ditangani oleh kabupaten dan kota menjadi kewenangan pemerintah provinsi.

B. KESEHATAN;

1) Angka kematian ibu melahirkan masih tinggi.

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator penting yang merefleksikan derajat kesehatan di suatu daerah.AKI menggambarkan jumlah wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan


(2)

insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahrkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup.

Angka kematian ibu tahun 2005 adalah 150/100000 KH menurun menjadi 139/100000 KH pada tahun 2009, kemudian terjadi peningkatan pada Tahun 2010 menjadi 183/100000 KH. Sedangkan Angka Kematian Bayi pada Tahun 2005 25,6/1000 KH menurun menjadi 25/1000 KH pada Tahun 2009, kemudian terjadi peningkatan pada Tahun 2010 menjadi 29/1000 KH. Angka Kematian Ibu berdasarkan pencapaian kinerja dikategorikan cukup berhasil, walaupun angka ini belum dapat menekan angka kematian ibu di Provinsi Sulawesi Utara, dimana AKI Sulawesi Utara tahun 2011 ditargetkan 153 per 100.000 Kelahiran Hidup (64 kasus) ternyata terjadi peningkatan kasus kematian ibu sebanyak 71 kasus (186/100000KH). Pada tahun 2012 terjadi penurunan kasus kematian ibu melahirkan, dimana ditargetkan sebesar 59 kasus turun menjadi 49 kasus, pada tahun 2013 ditargetkan 57 kasus meningkat menjadi77 kasus dan tahun 2014 ditargetkan 47 kasus meningkat menjadi 58 kasus, pada tahun 2015 ditargetkan 102/100.000 (42 kasus) meningkat meningkat menjadi 170/100.000 (70 kasus) kematian ibu melahirkan, dengan sebab kematian sebagai berikut perdarahan 24 kasus, hipertensi dalam kehamilan 13 kasus, infeksi 1 kasus dan lain-lain 32 kasus.

Penurunan angka kematian ibu melahirkan berjalan lamban, Hal ini dapat dilihat pada beberapa Kabupaten/Kota yang belum dapat menekan Angka Kematian Ibu seperti kota Manado 12 kasus, Kabupaten Minahasa 10 kasus, Kabupaten Minahasa Tenggara 8 kasus diikuti oleh Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow masing-masing 6 kasus. Walaupun demikian kondisiini masih berada dibawah rata-rata nasional, 228/100.000 KH. Jika dilihat dari target global MDGs yang ditetapkan sebesar 102/100.000KH, diperlukan upaya sinergitas program antara provinsi dan Kabupaten/Kota dalam menempatkan upaya penurunan kematian ibu menjadi program prioritas di Kabupaten/Kota yang mempunyai jumlah kematian yang tinggi. Rendahnya fasilitas rujukan maternal neonatal baik di rumah sakit maupun puskesmas serta kurangnya jumlah tenaga kesehatan bidan, tenaga spesialist kebidanan di kabupaten/kota menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu.

Penyebab kematian ibu melahirkan di Provinsi Sulawesi Utara tahun 2015 yang tertinggi disebabkan oleh perdarahan (29%), Eklampsia (29%), infeksi 3 %, penyebab lain (39%). Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara berkomitmen penuh dalam upaya menurunkan angka kematian ibu yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :


(3)

i. Pemetaan dan pendataan ibu hamil, balita dan status gizi berbasis masyarakat.

ii. Standarisasi pelayanan publik di bidang KIA di puskesmas, rumah sakit dan klinik bersalin.

iii. Penguatan sistem rujukan maternal neonatal di wilayah puskesmas maupun antar kabupaten/kota di wilayah Provinsi Sulawesi Utara maupun dengan Provinsi lain.

iv. Pembentukan program-program unggulan di masing-masing kabupaten/Kota.

v. Sinergitas kebijakan antara provinsi dan kabupaten/kota.2014-2015

vi. f.Integrasi program dengan lintas program,lintassektor, lintas organisasi,swasta, Perguruan Tinggi dan kelompok masyarakat.

vii. Kegiatan lomba desa Siaga KIA serta Lomba Posyandu. viii. Pembinaan/pendampingan puskesmas dalam rangka

monitoring, evaluasi program secara terintegrasi dan teratur.

ix. Peningkatan kualitas dengan semakin gencarnya kampanye Asi Eksklusif dan Inisiasi Menyusui Dini serta Keluarga Sadar

Upaya kesehatan ibu hamil diwujudkan dalam pemberian pelayanan antenatal sekurang-kurangnya 4 kali selama masa kehamilan , dengan distribusi waktu minimal 1 kali pada trimester pertama (usia kehamilan 0 12 minggu), 1 kali pada trimester kedua (usia kehamilan 12 24 minggu), dan 2 kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 24 36 minggu). Standard waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan terhadap ibu hamil dan atau janin, berupa deteksi dini faktor resiko, pencegahan dan penanganan dini komplikasi kehamilan.

Hasil pencapaian upaya kesehatan dapat dinilai dengan menggunakan indikator cakupan K4. Cakupan K4 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standard paling sedikit 4 kali sesuai dengan jadwal yang dianjurkan, dibandingkan sasaran ibu hamil di suatu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan. Berikut ini disajikan cakupan K4 kabupaten/kota se provinsi Sulawesi Utara tahun 2015.

Pada tahun 2015, pencapaian indikator kinerja persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal (Cakupan K4) ditargetkan 95 % dapat terealisasi dengan baik yaitu mencapai 85,56 % atau setara 39.613 ibu hamil yang memperoleh K4 dari


(4)

ditolong tenaga kesehatan terlatih (cakupan PN) dapat diukur dari jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dibandingkan dengan jumlah sasaran ibu bersalin dalam setahun dikali 100 %. Indikator ini memperlihatkan tingkat kemampuan Pemerintah dalam menyediakan pelayanan persalinan berkualitas yang ditolong oleh tenaga terlatih.

Pencapaian indikator PN dari tahun ke tahun memperlihatkan kecenderungan semakin meningkat. Cakupan PN dari tahun ke tahun terjadi peningkatan dimana pada tahun 2011 mencapai 81,28%, tahun 2012 mencapai 84,63 %, tahun 2013 mencapai 85.17%, tahun 2014 mencapai 85,20 % , dan pada tahun 2015 mencapai realisasi 85,23 %, ( Jumlah ibu Bersalin 44.119 pertolongan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan 37.603 ). Kenaikan dari tahun ke tahun tidak terlalu signifikan namun demikian Capaian indikator kinerja termasuk kategori Berhasil. Walaupun secara Provinsi target indikator Pn tersebut telah tercapai , namun masih terdapat disparitas cakupan antar Kabupaten/Kota, yaitu terendah di Kabupaten Minahasa Selatan 68,62 % dan tertinggi di Kota Tomohon 96,29 %.Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara terus melakukan upaya-upaya, terutama perhatian khusus pada daerah daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), dengan menitikberatkan pada focus totalitas pemantauan yang menjadi salah satu upaya deteksi dini, menghindari risiko kesehatan pada ibu hamil.

2) Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah penduduk yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Usia bayi merupakan kondisi yang rentan baik terhadap kesakitan maupun kematian. Menurut hasil SDKI 2012, AKB Sulawesi Utara menunjukkan angka 33/1.000 KH lebih tinggi 1 point dari AKB Nasional yaitu 32/1.000 KH.Berdasarkan data yang dikumpulkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota , didapatkan bahwa sepanjang tahun 2010 terdapat 242 kasus kematian bayi, tahun 2011 meningkat menjadi 333 kematian bayi dan pada tahun 2012 menurun menjadi 246 kasus kematian bayi, pada tahun 2013terjadi peningkatan380 kasus kematian bayi,tahun 2014 terjadi penurunan dengan jumlah kasus kematian mencapai 289 kasus kematian bayi dan pada tahun 2015 jumlah kasus kematian bayi ditargetkan 23/1000 Kelahiran Hidup (980 kasus), terealisasi 239 kasus dengan demikian indikator capaian kinerja 100 % , kategori berhasil.

Berbagai faktor dapat menyebabkan adanya penurunan AKB, diantaranya pemerataan pelayanan kesehatan berikut fasilitasnya . Hal ini disebabkan AKB sangat sensitif terhadap perbaikan pelayanan kesehatan. Selain itu ,perbaikan kondisi ekonomi yang tercermin dengan pendapatan masyarakat yang meningkat juga


(5)

dapat berkontribusi melalui perbaikan gizi yang berdampak positif pada daya tahan bayi terhadap infeksi penyakit.

Penurunan AKB menunjukkan adanya peningkatan dalam kualitas hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat yang sekaligus mencerminkan Umur Harapan Hidup pada saat lahir.Di Sulawesi Utara Umur Harapan Hidup dari tahun ke tahun terus meningkat, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara, dengan menggunakan perhitungan metode baru tercatat Umur Harapan Hidup tahun 2010 sebesar 70,40tahun, tahun 2011 sebesar 70,55 tahun , tahun 2012 sebesar 70,70 tahun, tahun 2013 sebesar 70,86 tahun dan pada tahun 2014 sebesar 70,94 tahun (BPS 2015).

3) Perkembangan AKABA (Angka Kematian Balita) sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan dari tahun ke tahun. Kondisi yang dicapai pada tahun 2013 tercatat jumlah kasus kematian balita sebesar 412 kasus, tahun 2014 terjadi penurunan kasus, dengan jumlah 304 kasus , dan pada tahun 2015 menurun lagi mencapai angka 253 kasus kematian.

Untuk angka kematian Neonatal ( bayi baru lahir (0-28 hari) merupakan kelompok umur yang memiliki resiko gangguan kesehatan paling tinggi, upaya kesehatan yang dilakukan untuk mengurangi risiko tersebut antara lain dengan melakukan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dan memberikan pelayanan kesehatan sesuai standard pada kunjungan bayi baru lahir.Cakupan kematian Neonatal /1.000 Kelahiran Hidup di Sulawesi Utara pada tahun 2013 mencapaangka 331 kasus kematian, tahun 2014 terjadi penurunan kasus dengan jumlah kematian sebesar 238 kasus,dan pada tahun 2015 mencapai 207 kasus kematian neonatal.

Bayi dan anak memiliki risiko yang lebih tinggi terserang penyakit menular dibandingkan dengan kelompok penduduk dewasa.Penyakit menular yang kerap dikenal sebagai Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Immunisasi (PD3I) yaitu Difhteri, Tetanus,Hepatitis B, Radang selaput otak, Radang Paru-paru, Pertusis dan Polio Dengan adanya fakta tersebut, salah satu bentuk upaya pencegahan yang terbaik dan sangat vital agar kelompok berisiko tersebut dapat dilindungi adalah immunisasi. Pemerintah telah menetapkan program lima immunisasi dasar lengkap pada bayi yang meliputi 1 dosis BCG, 3 dosis DPT, 4 dosis polio, 4 dosis Hepatitis B dan 1 dosis campak.Kondisi yang dicapai tahun 2015 terhadap cakupan Immunisasi Dasar Lengkap realisasi pencapaian 75,5 %. Disamping penyakit pada balita yang dapat dicegah dengan immunisasi adalah campak. Campak adalah penyebab utama kematian pada balita, Oleh karena itu


(6)

pencegahan campak merupakan faktor penting dalam mengurangi angka kematian balita. Immunisasi campak diberikan pada bayi umur 9 11 bulan dan merupakan immunisasi terakhir yang diberikan kepada bayi di antara immunisasi wajib lainnya.Adapun capaian immunisasi campakdari tahun ke tahun terjadi peningkatan dimana pada tahun 2012 sebesar 80,8%, tahun 2013 sebesar 88% , tahun 2014 meningkat sebesar 92,6% dan pada tahun 2015 ditargetkan 95 % terealisasi hanya sebesar 79,8 %, dengan indikator kinerja mencapai 84,%,

Universal Child Immunization atau biasa disingkat UCI merupakan gambaran suatu desa/kelurahan dimana kurang lebih 80% dari jumlah bayi (0 -11 bulan) yang ada di desa/kelurahan tersebut sudah mendapat immunisasi dasar lengkap.Pada tahun 2014 realisasi pencapaian sebesar 82,50 %, pada tahun 2015 terjadi penurunan cakupan yatu ditargetkan 95 %, terealisasi sebesar 75 % . Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilannya dalam MDGs adalah status gizi balita.Status gizi balita dapat diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan Tinggi Berat (TB). Peran serta masyarakat dalam penimbangan balita (D/S) menjadi sangat penting dalam deteksi dini kasus gizi kurang dan gizi buruk, bila ditemukan penyakit akan dapat segera dilakukan upaya pemulihan dan pencegahan sehingga tidak menjadi gizi kurang atau gizi buruk . Penanganan yang cepat dan tepat sesuai tatalaksana kasus anak gizi kurang/gizi buruk akan mengurangi resiko kematian, sehingga angka kematian akibat gizi buruk dapat diturunkan. Cakupan pemantauan pertumbuhan secara bertahap mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Tahun 2013 realisasi indikator D/S 82,77%, tahun 2014 realisasi indikator D/S, 83,04 % dan pada tahun 2015 terjadi penurunan dengan realisasi indikator D/S hanya mencapai 75 %, namun demikian masih dikategorikan Cukup Berhasil.

Pemantauan pertumbuhan anak yang dilakukan melalui penimbangan berat badan secara teratur dan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS) berfungsi sebagai instrument penilaian pertumbuhan anak merupakan dasar strategi pemberdayaan masyarakat yang telah dikembangkan sejak tahun 1980-an.

Pemantauan pertumbuhan mempunyai 2 (dua) fungsi utama, yang pertama adalah sebagai strategi dasar pendidikan gizi dan kesehatan masyarakat, dan yang kedua adalah sebagai sarana deteksi dini dan intervensi gangguan pertumbuhan serta entry point berbagai pelayanan kesehatan anak ( misalnya immunisasi, pemberian kapsul vitamin A, pencegahan diare dll ) untuk meningkatkan kesehatan anak. Pada tahun 2013 persentase Balita Naik Berat Badannya ( N/S) terealisasi 69,29 %, tahun 2014


(7)

terealisasi sebesar 73%, dan pada tahun 2015 meningkat lagi menjadi 83,99 % .

Meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat, yang ditunjang berbagai upaya promotif, preventif dan kuratif serta meningkatnya peran serta masyarakat, telah berhasil menurunkan prevalensi gizi kurang dan buruk pada balita. Hal ini dapat terlihat pada indikator prevalensi balita dengan Berat Badan Rendah/kekurangan gizi (BGM) yang pada tahun 2012 sebesar 7 % mencapai angka 5,8 %, tahun 2013terealisasi 2,50 %, tahun 2014 terealisasi 2,4 %, dan pada tahun 2015 telah mencapai angka 1,51 %.

Persentase Balita gizi buruk pada tahun 2014 mencapai angka 0,02 % dan pada tahun 2015 pencapaian masih tetap dipertahankan yaitu sebesar 0,02% jauh dibawah yang ditargetkan, dengan demikian indikator kinerja dapat dikategorikan berhasil.

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara berupaya terus dalam penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk balita dengan fokus pada Upaya Pencegahan dan penanganan. Perbaikan gizi melalui:

a) Pemberian makanan pendamping ASI & Suplementasi zat gizi .

b) Upaya pemberdayaan masyarakat untuk memperbaiki pola asuh balita yangmeliputi antara lain penerapan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif sampai bayi mencapai usia 6 bulan serta mulai memberikan Makanan Pendamping ASI (MPASI).

Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan adalah balita gizi buruk yang ditangani di sarana kesehatan sesuai tatalaksana gizi buruk di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.Pada tahun 2015 persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan di targetkan 100 %, terealisasi 100 %.

4) Masih tingginya angka penyakit menular utamanya AIDS, Malaria, TBC, Sementara penyakit tidak menular atau degenerative mulai meningkat, disamping itu telah timbul pula berbagai penyakit baru (new and re-emerging diseases). Penaggulangan penyakit Malaria, HIV/AIDS dan TB masih perlu mendapat perhatian dan penanganan. Penyakit TB dan HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es (Iceberg Fhenomen) hingga saat ini. Total kasus HIV/AIDS di Provinsi Sulawesi Utara adalah sampai akhir tahun 2009 adalah 613 kasus dengan perincian 240 kasus HIV dan 373 kasus. Adapun dari 613 penderita yang sudah meninggal sebanyak 96 kasus atau masih ada 517


(8)

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat meyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi baccil TB. Tuberculosis menjadi salah satu penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam MDGs. WHO merekomendasikan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) sebagai strategi dalam penanggulangan TB dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective).. Penderita TB Case Notification Rate pada tahun 2006 yaitu 190 kasus, tahun 2007 menurun yaitu 167 kasus, meningkat pada tahun 2008 yaitu 184 kasus dan tahun 2009 turun menjadi 163 kasus. Untuk Case Detection Rate (CDR), tahun 2007 yaitu 90 kasus, tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 85 kasus dan tahun 2009 yaitu 80 kasus. Selain upaya deteksi Tuberculosis, penanganan melalui berhasilnya suatu pengobatan juga penting dilakukan. Hasil pengobatan (Cure Rate) penderita baru BTA (+) pada tahun 2009 yaitu 88 %. Pada tahun 2015 proporsi kasus TBC yang diobati dan sembuh dalam program DOTS dengan target >85% terealisasi sebesar 89 %,sehingga pencapaian kinerjanya sebesar 100%, dengan kategori berhasil. Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) TB dalam memantau keteraturan berobat pasien berjalan dengan baik. Selain itu , kesadaran dan komitmen pasien tentang kepedulian terhadap kesehatan juga meningkat. Meskipun capaian indikator proporsi kasus TBC yang diobati dan sembuh dalam program DOTS dapat meningkat secara signifikan namun demikian masih ada masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pengendalian TB , yaitu antara lain :

a. Masih adanya kesenjangan dalam mengakses layanan DOTS berkualitas terutama pada kelompok unreach population yaitu penderita TB di daerah terpencil, perbatasan dan Kepulauan (DTPK), penderita TB anak, penderita TB HIV, dan lain-lain.

b. Belum semua rumah sakit swasta dan Dokter Praktek Swasta (DPS) menerapkan strategi DOTS dalam pengendalian TB. Indikator upaya pengendalian TB di Sulawesi Utara memperlihatkan hasil yang menggembirakan dimana terlihat proporsi jumlah kasus TBC yang terdeteksi pada tahun 2015 ditargetkan 98 % terealisasi 98% .Dengan demikian indikator kinerja capaian sebesar 100%, dikategorikan berhasil. Namun demikian tantangan kedepan akan semakin berat dengan adanya ancaman peningkatan koinfeksi TB resisten obat.

Trend penyakit malaria dari persentase kematian yang disebabkan oleh malaria diantara semua kasus malaria yang


(9)

rawat inap yaitu 0,69 % tahun 2007 meningkat 0,64 % tahun 2008 dan menurun 0,44 pada tahun 2009. Penyakit malaria sendiri telah menjadi perhatian di dunia dan di Indonesia karena kejadiannya merupakan kejadian luar biasa. Di Sulawesi Utara angka kejadian penyakit malaria dibeberapa wilayah masih tinggi terutama kabupaten kepulauan Sangihe 3315 kasus dan terendah di Tomohon 128 kasus. Dari sejumlah kasus malaria klinis rata-rata selama 5 tahun terakhir (tahun 2005 2009) hanya 35.5 persen yang diperiksa, dengan hasil positif (slide positive rate) sebesar 52,5 persen. SPR malaria se klinis se Provinsi Sulawesi Utara tahun 2005 dari 47 meningkat terus hingga tahun 2009 yaitu menjadi 60,5.

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypty. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit menular yang sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) , karena perjalanan penyakit ini cepat dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Sulawesi Utara juga masih cukup tinggi yaitu dari bulan Januari s/d Desember 2009 jumlah kasus DBD di Sulawesi utara yaitu 1616 kasus dengan kematian akibat DBD berjumlah 20 kematian (Incidence rate (IR)= 72,9 % dan Case Fatality Rate (CFR) =1,24).

Pola perkembangan DBD pada tahun 2015 di Provinsi Sulawesi pada bulan Januari Maret 2015 terjadi peningkatan kasus karena curah hujan yang sangat ekstrim (hujan panas yang tidak menentu) sehingga berdampak pada tingginya populasi vektor nyamuk . Kondisi yang dicapai pada tahun 2013 angka kesakitan penderita DBD per 100.000 pendudukdiperoleh angka Insidens Rate (IR) DBD sebesar 55/100.000 penduduk, pada tahun 2014 terjadi penurunan dimana angka Insidens Rate yang diperoleh sebesar 56/100.000 penduduk, namun pada tahun 2015 terjadi peningkatan kasus dimana angka Insidens Rate sebesar 68/100.0000 penduduk artinya jumlah total kasus DBD kasus sebanyak 1545 kasus, kematian DBD sebesar 21 kasus, dengan capaian indikator kinerja sebesar 75 %namun demikian indikator capaian kinerja masih dikategorikan Cukup Berhasil.

Upaya upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dalam memberantas DBDmencakup upaya upayapemutusan rantai penularan penyakit, kegiatan ini terus ditingkatkan dan dioptimalkan dengan mengedepankan upaya promotif dan preventif antara lain denganmeningkatkan peran serta masyarakat untuk ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) salah satunya melalui Gerakan Serentak Basmi Demam Berdarah yang dicanangkan oleh


(10)

(juru pemantau jentik) sekolah. Disamping itu pengembangan sistimsurveilans vektor secara berkala terus dilakukan, terutama dalam kaitannyadengan perubahan iklim dan pola penyebaran kasus dan yang lebih penting adalah agar masyarakat melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Angka kematian /Case Fatality Rate (CFR) DBD masih mencapai angka diatas 1 %, walaupun angka ini dapat ditekan dari 1,84 % pada tahun 2010 menjadi 1,37 % pada tahun 2011 , menurun pada tahun 2012 sebesar 1,21% dan pada tahun 2013menurun menjadi 1,05 %, namun pada tahun 2014 terjadi peningkatan angka CFR menjadi 1,89% dan pada tahun 2015 masih berada pada posisi 1,36% dengan capaian indikator kinerja 73% yang masih dikategorikan Cukup berhasil.

Beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan Case Fatality Rate di atas angka 1 % ntara lain :

a. Keterlambatan orang tua untuk membawa anak ke unit pelayanan kesehatan.

b. Faktor cuaca/curah hujan yang sangat ekstrim pada tahun 2014 (Hujan panas yang tidak menentu) berdampak pada tingginya populasi vector nyamuk.

c. Mobilisasi penduduk dan transportasi yang sangat tinggi. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara dalam memberantas DBD mencakup langkah-langkah pencegahan dan penemuan kasus yang secara efektif guna mengendalikan penyakit ini meliputi :

a. Upaya Pencegahan : Gerakan 3 M Plus : Menguras, menutup tempat penampungan air, serta mengubur barang barang bekas, ditambah dengan menghindari gigitan nyamuk dengan menggunakan obat nyamuk, penggunaan kelambu dan menaburkan bubuk abate.

b. Melakukan pemeriksaan jentik secara berkalA, baik secara mandiri mupun oleh jumantik.

c. Menggalakkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.

d. Penjaringan kasus DBD melalui surveilans aktif ke rumah-rumah sakit oleh tim surveilans provinsi bersama Kabupaten/Kota.

e. Peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan DBD.

f. Penerapan Communication for behavioral impact atau komunikasi perubahan perilaku.


(11)

5) Disparitas status kesehatan yang berbeda antara kabupaten/kota masih cukup lebar terutama di DTPK.

6) Penyebaran SDM Kesehatan belum merata. Tenaga-tenaga kesehatan masih terpusat di daerah perkotaan. Dibeberapa daerah kabupaten/kota masih terdapat kekurangan tenaga dokter umum dan dokter spesialis terutama kabupaten kota pemekaran. Upaya yang telah dilakukan sampai saat ini yaitu adanya pemenuhan melalui program dokter / dokter gigi / dokter spesialis PTT. Program pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan untuk daerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan juga telah diupayakan.

7) Jumlah Sarana dan prasarana yang ada telah memadai namun kualitas belum memenuhi standar dan belum merata.

8) Untuk mewujudkan komitmen global sebagaimana resolusi WHA ke 58 tahun 2005 di Jenewa yang menginginkan setiap negara mengembangkan Universal Health Coverage (UHC) bagi seluruh penduduk, maka pemerintah bertanggungjawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Seiring dengan, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang mengamanatkan bahwa Jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk di antaranya adala Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sistem Jaminan Sosial Nasional Bidang Kesehatan kemudian disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No,101 tahun 2012 tentang Penerima bantuan Iuran (PBI) dan Peraturan Presiden No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Dinas Kesehatan provinsi Sulawesi Utara selaku wakil pemerintah di daerah bertanggung jawab dalam kesehatan berkewajiban menyiapkan sarana dan prasarana termasuk SDM kesehatan yang akan bertugas.Pada tahun 2015 Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara menargetkan cakupan Kepesertaan Jaminan Kesehatan (UHC) sebesar 80 %, terealisasi sebesar 60 %, dengan indikator capaian kinerja 75 %, dikategori Cukup berhasil.

9) Biaya kesehatan meningkat secara signifikan sehingga menyulitkan masyarakat hampir miskin yang tidak mendapatkan fasilitas jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) untuk mengakses pelayanan kesehatan yang baik. 10) Minat tenaga medis, khusus tenaga ahli untuk ditempatkan di

daerah-daerah kecil atau terpencil masih kurang.

11) Berbagai jenis penyakit baru muncul sebagai akibat perubahan gaya hidup dan pencemaran lingkungan makin meningkat.

12) Kesadaran akan pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan pada sebagian masyarakat terutama di kalangan berpendidikan rendah, miskin, dan menempati daerah kumuh masih rendah.


(12)

13) Keengganan di kalangan penyedia jasa kesehatan untuk melayani masyarakat miskin dan hampir miskin masih ada.

14) Kalangan penyedia jasa kesehatan yang mengharuskan uang jaminan terlebih dahulu sebelum melayani pasien masih banyak. 15) Minat tenaga medis, khusus tenaga ahli untuk ditempatkan di

daerah-daerah kecil atau terpencil masih kurang.

16) Berbagai jenis penyakit baru muncul sebagai akibat perubahan gaya hidup dan pencemaran lingkungan makin meningkat.

17) Kesadaran akan pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan pada sebagian masyarakat terutama di kalangan berpendidikan rendah, miskin, dan menempati daerah kumuh masih rendah.

C. PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG;

1) Kondisi jalan Provinsi dalam kondisi mantap pada akhir tahun 2015 mencapai 75,02%, dan mengalami penurunan kondisi dikarenakan adanya ruas-ruas jalan Provinsi yang mengalami perubahan status dari ruas jalan Provinsi menjadi ruas jalan Nasional yaitu sepanjang 295,53 km, dimana ruas-ruas jalan tersebut berada pada posisi kondisi mantap (selain ruas jalan Esang-Rainis), dan adanya penambahan 30 ruas baru atau sepanjang 373.047 km dengan 16 ruas jalan dalam kondisi tidak mantap.

2) Masih tingginya luasan irigasi provinsi dalam kondisi rusak.

3) Akses air bersih masih sangat rendah dan belum mencapai Standar pelayanan Minimum Perumahan Rakyat.

4) Penanganan normalisasi sungai yang masih sangat rendah dibandingkan dengan target kinerja yang ditetapkan

5) Akses sanitasi yang masih sangat rendah, termasuk persiapan pembangunan TPA regional.

6) Ketaatan terhadap tata ruang yang masih belum optimal

D. PERUMAHAN RAKYAT DAN KAWASAN PERMUKIMAN;

1). Prevalensi terbentuknya kawasan kumuh perkotaan yang semakin besar.

2). Akses terhadap air bersih, penanganan persampahan dan sanitasi belum memenuhi standar pelayanan minimum.

3) Ruang Terbuka Hijau masih belum memenuhi syarat/prasyarat standar umum pemukiman sesuai Peraturan Menteri PU dalam SPM.

E. KETENTERAMAN, KETERTIBAN UMUM, DAN PELINDUNGAN

MASYARAKAT;

1) Kecenderungan meningkatnya angka kriminalitas terutama kekerasan terhadap perempuan dan anak

2) Kecenderungan meningkatnya intoleransi, perkelahian antar kampung


(13)

3) Ketaatan terhadap Perda yang relative masih sangat rendah. 4) Adanya anggapan / persepsi masyarakat tentang menurunnya

penegakkan supremasi hukum. Kecenderungan kemunculan anggapan / persepsi masyarakat ini selalu mengalami perkembangan dari tahun ke tahun.

5) Kurangnya sosialisasi mengenai Peraturan Daerah yang berlaku kepada masyarakat.

6) Kurangnya pemahaman masyarakat akan Tugas Pokok dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja.

7) Jumlah personil Satpol PP belum tercukupi.

8) Tenaga Satpol PP belum semuanya berstatus Aparat Sipil Negara (Masih menggunakan Tenaga Harian Lepas).

9) Masih kurangnya tenaga yang mengikuti Diklat PPNS dan Diklat Dasar Satpol PP.

10) Koordinasi antar instansi pemerintah dan pemerintah daerah terkait dengan pemangku kepentingan belum optimal dalam mencegah tindakan yang bertentangan dengan hukum, penegakan Perda dan pemberantasan Penyakit Masyarakat (Pekat).

F. SOSIAL.

1) Meningkatnya jumlah penduduk sangat miskin, miskin dan hampir miskin pada dua tahun terakhir yaitu tahun 2014 dan 2015, dan meningkatnya jumlah penduduk miskin rentan lainnya akibat inflasi yang sangat besar mendekati hyperinflation.

2) Meningkatnya jumlah pengangguran pada dua tahun terakhir yaitu tahun 2014 dan 2015.

3) Penanganan rumah tangga miskin by name by address secara holistic relative belum optimal.

4) Penangananan terhadap 22 (dua puluh dua) kelompok marginal (penyakit jiwa, anak terlantar, bayi terlantar, anak yang bermasalah hukum, dan lain-lain) masih terbatas.

5) Penanganan lanjut usia masih terbatas.

6) Keadilan untuk semua di mana masih terjadi ketidakmerataan akses masyarakat terhadap pelayanan publik belum tercipta. 7) Fasilitas penampungan (shelter) untuk penanganan masalah

kesejahteraan sosial (PMKS) masih terbatas.

8) Penganan terhadap 26 penyandang kesra social (PMKF) yang memiliki kehidupan yangf tidak layak secara kemnusiaan dan memiliki kriteria masalah social yang meliputi kemiskinan, keselantaran, kecacata, keterpencilan, ketunaan, penyimpangan perilaku, korban bencana dan korban tindak kekerasan, ekploitasi dan diskriminasi masih terbatas.

9) Fasilitas penamungan (shelter) penyandang penangan masalah kesejahteraan social (PMKS) masih terbatas.


(14)

4.1.2. URUSAN WAJIB YANG TIDAK BERKAITAN DENGAN PELAYANAN DASAR

A. TENAGA KERJA;

1) Kemajuan teknologi akan menurunkan kebutuhan akan tenaga kerja sehingga dapat meningkatkan pengangguran.

2) Penggunaan teknologi yang lebih tinggi membutuhkan penggunaan tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang lebih tinggi, sedangkan perkembangan penguasaan keterampilan oleh tenaga kerja masih relatif lambat.

3) Porsi penduduk berusia lanjut yang bertambah akan mengurangi jumlah tenaga kerja produktif. Porsi penduduk berusia lanjut sebagai akibat keberhasilan mengendalikan tingkat kelahiran meningkat, sehingga membutuhkan jaminan sosial yang lebih besar.

4) Migrasi tenaga kerja dari daerah lain yang disebabkan oleh ketertarikan terhadap perkembangan ekonomi semakin meningkat sehingga dapat mengancam kesempatan tenaga kerja lokal dan menimbulkan pengangguran.

5) Tingkat kelahiran pada kelompok masyarakat yang berpendidikan rendah dan miskin masih tinggi.

6) Angka pengangguran masih relatif tinggi sementara kualitas tenaga kerja yang tersedia mencakup pengetahuan, keterampilan, disiplin, dan etos kerja kebanyakan belum memenuhi kebutuhan pasar serta kepentingan pembangunan daerah.

7) Variasi lapangan kerja yang tersedia masih terbatas. 8) Pengangguran sukarela masih sering terjadi.

9) Jiwa dan semangat kewirausahaan masih kurang.

10) Masih tingginya jumlah perusahaan yang tidak memperhatikan hak-hak buruh masih ada.

11) Masih lemahnya komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dalam menangani masalah pengangguran, khususnya dalam penciptaan lapangan kerja.

12) Terbatasnya tenaga Instruktur, bahkan tidak menutup kemungkinan pada Tahun 2017 tenaga Instruktur tidak ada lagi karena sudah memasuki usia Pensiun.

13) Belum semua Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh lebih dari 50 (lima puluh) orang membentuk LKS Bipartit, sementara LKS Bipartit yang ada belum berfungsi dengan baik. 14) Belum semua Kabupaten membentuk Dewan Pengupahan

Kabupaten/Kota.

15) Belum semua Perusahaan mewajibkan pekerjanya masuk menjadi peserta Jamsostek.

16) Terbatasnya tenaga Pengawas Ketenagakerjaan dan Pegawai Mediator, bahkan ada beberapa Kabupaten/Kota tidak memiliki pegawai dimaksud.


(15)

b. PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PELINDUNGAN ANAK;

1) Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk tindakan pemerkosaan dan bullying..

2) Tingginya jumlah perempuan yang menganggur di Sulawesi Utara dibandingkan dengan provinsi lainnya di pulau Sulawesi.

3) Masih sering terjadi perdagangan perempuan (women-trafficking) dan kekerasan dalam rumah tangga.

4) Kualitas hidup perempuan masih harus ditingkatkan mengingat perannya yang sentral dalam pembangunan.

5) Peran perempuan dalam pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan masih rendah padahal mereka lebih membawa aspirasi masyarakat yang terkait dengan kesejahteraan.

6) Perlindungan anak dan pemenuhan hak perempuan dan anak perempuan masih harus ditingkatkan untuk menyiapkan mereka menjadi generasi penerus yang sesuai dengan visi pembangunan jangka panjang.

7) Belum optimalnya integrasi/sinkronisasi penyelenggaraan pengarusutamaan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

C. PANGAN;

1) Ketahanan Pangan untuk swasembada beras dan daging masih perlu perhatian yang besar dan komitmen anggaran yang serius.

2) Penanganan terhadap daerah kabupatan rawan bencana belum maksimal;

3) Keamanan pangan masih perlu ditingkatkan seiring dengan meningkatnya penemuan kasus akibat keracunan makanan.

4) Distribusi pangan di daerah kepulauan dan perbatasan pada masa-masa tertentu belum optimal.

5) Cadangan pangan pemeritah daerah masih perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya resiko rawan pangan akibat bencana alam.

6) Masih adanya daerah yang beresiko tinggi rawan pangan yang sebagian besar berada di daerah kepulauan

7) Kualitas keberagaman konsumsi pangan masyarakat masih perlu ditingkatkan.

8) Pada kondisi tertentu terdapat harga beberapa bahan pangan yang sangat fluktuatif antara lain beras, cabe, bawang merah dan tomat dan beberapa pangan lainnya.

9) Aksesibilitas pangan di daerah-daerah kepulauan sangat dipengaruhi oleh faktor distribusi pangan, lebih khusus pada musim gelombang permukaan air laut yang tinggi.


(16)

D. PERTANAHAN;

1) Sertifikasi Tanah untuk Rumahtangga miskian sebagai salah satu dasar intervensi program pemerintah belum dilakukan secara optimal.

2) Masih banyak ditemukan sertifikat ganda untuk satu bidang tanah dan masih semrawutnya arsip pencatatan terhadap kepemilikan tanah di tingkat desa dan kabupaten/kota.

3) Pengelolaan aset tanah (reforma aset) yang meliputi redistribusi tanah dan legalisasi aset yang meliputi tanah pada kawasan hutan yang dilepaskan, dan tanah hak, termasuk di dalamnya tanah HGU yang akan habis masa berlakunya dan tanah terlantar.

E. LINGKUNGAN HIDUP;

1) Kualitas lingkungan hidup terutama untuk air sungai dan danau yang berada dalam kondisi cemar berat belum ditangani secara seerius.

2) Degradasi lingkungan akibat aktfitas ekonomi dan kemasyarakatan, termasuk alih fungsi lahan yang semakin sering terjadi.

3) Rehabilitasi lahan kritis berjalan lambat dan belum menampakkan komiten serius dari pemerintah untuk merehabilitasi kawasan hutan yang terbakar ada tahun 2015 akibat kemarau panjang.

4) Pengawasan terhadap illegal looging, illegal fishing dan illegal mining relative belum optimal

5) Masih lemahnya penegakan sanksi hukum terhadap pelanggaran dibidnag pengelolaan leingkungan hidup.

F. ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL;

1) Database kependudukan yang masih sangat lemah sehingga data kependudukan belum menunjukan situasi yang sesungguhnya. Situasi ini ditunjukkan oleh masih banyak kartu tanda penduduk (KTP) ganda namun masih banyak penduduk yang belum terdaftar.

2) Diskriminasi baik berdasarkan status sosial maupun etnis dalam pengurusan surat-surat yang terkait dengan kependudukan dan catatan sipil masih terjadi.

3) Migrasi penduduk dari daerah lain yang disebabkan oleh ketertarikan terhadap perkembangan ekonomi meningkat.

4) Tingkat kelahiran pada kelompok masyarakat yang berpendidikan rendah dan miskin masih tinggi.

5) Kelahiran di luar nikah sebagai akibat pergeseran nilai budaya terkait arus globalisasi makin meningkat.


(17)

6) Porsi penduduk berusia lanjut meningkat sebagai akibat keberhasilan mengendalikan tingkat kelahiran sehingga membutuhkan jaminan sosial yang lebih besar.

7) Database kependudukan masih lemah sehingga masih menimbulkan kendala dalam menetapkan target pembangunan pemerintah. Hal ini menjadi kendala dalam pencegahan, pemberantasan kejahatan dan terorisme.

G. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA;

1) Kapasitas pemerintah desa dalam menyusun perencanaan dan penganggaran masih rendah yang berakibat pada lemahnya pengelolaan dana desa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2) Pengembangan ekonomi kawasan perdesaan untuk mendorong keterkaitan desa-kota belum dilakukan secara spatial dan tematik dalam mewujudkan dan mengembangkan sentra produksi, sentra industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan, serta destinasi pariwisata sekaligus dalam upaya meningkatkan akses transportasi desa dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lokal/wilayah, termasuk di wilayah transmigrasi.

3) Ketersediaan sarana dan prasarana kawasan perdesaan di antaranya air bersih, listrik, sanitasi, dan jalan ke sentra-sentra produksi pertanian pada beberapa daerah relatif sangat terbatas. 4) Belum terkoordinasinya penanganan kemiskinan perdesaan

secara holistic. Upaya penanggulangan kemiskinan dan pengembangan usaha ekonomi masyarakat desa belum optimal dalam mendukung ketersediaan sarana prasarana produksi khususnya benih, pupuk, pengolahan produk pertanian dan perikanan skala rumah tangga desa, fasilitasi, pembinaan, maupun pendampingan dalam pengembangan usaha, bantuan permodalan/kredit, kesempatan berusaha, pemasaran dan kewirausahaan; sekaligus meningkatkan kapasitas masyarakat desa dalam pemanfaatan dan pengembangan Teknologi Tepat Guna Perdesaan.

H. PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA;

1) Belum tercapainya target unmet needs di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2015.

2) Belum ditetapkannya standar klinis pelayanan KB yang harus diselesaikan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama ataupun yang harus dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan, termasuk tubektomi interval.

3) Belum terintegrasinya sistem informasi fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dengan sistem informasi manajemen BKKBN. Hal ini perlu untuk memastikan setiap


(18)

kontrasepsi dan pencatatan serta pelaporan pelayanan kontrasepsi.

4) Komitmen dan tindaklanjut terhadap pelaksanaan kampung KB yang mempromosikan dan melaksanakan manajemen keluarga berencana secara holistic masih belum optimal.

5) Penguatan dan pemaduan kebijakan pelayanan KB dan kesehat-an reproduksi ykesehat-ang merata dkesehat-an berkualitas, baik kesehat-antarsektor maupun antara pusat dan daerah, utamanya dalam sistem SJSN Kesehatan, dengan menata fasilitas kesehatan KB;

6) Penyediaan sarana dan prasarana serta jaminan ketersediaan alat dan obat kontrasepsi yang memadai di setiap fasilitas kesehatan KB dan kesehatan reproduksi serta jejaring pelayanan, yang didukung oleh pendayagunaan fasilitas pelayanan kesehat-an untuk pelayanan KB (persebaran fasilitas kesehatan pelayan-an KB, baik pelayanan KB statis maupun mobile/ bergerak);

7) Peningkatan pelayanan KB dengan penggunaan metode kontra-sepsi jangka panjang untuk mengurangi resiko drop-out, dan peningkatan penggunaan metode jangka pendek dengan membe-rikan informasi secara kontinyu untuk keberlangsungan ber-KB serta pemberian pelayanan KB lanjutan dengan mempertim-bangkan prinsip rasional, efektif, dan efisien. Disamping itu juga dilakukan peningkatan pelayanan pengayoman dan penanganan KB pasca persalinan, pasca keguguran dan penanganan komplikasi dan efek samping.

8) Advokasi program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga kepada para pembuat kebijakan, serta promosi dan penggerakan kepada masyarakat dalam penggu- naan alat dan obat kontrasepsi KB, baik dengan keutamaan menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang maupun metode kontrasepsi jangka pendek dengan tetap menjaga keberlangsungan pemakaian kontrasepsi

9) Peningkatan pengetahuan dan pemahaman kesehatan reproduksi bagi remaja melalui pendidikan dan sosialisasi mengenai pentingnya Wajib Belajar 12 tahun dalam rangka pendewasaan usia perkawinan, dan peningkatan intensitas layanan KB bagi pasangan usia muda guna mencegah kelahiran di usia remaja; 10) Pembinaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga

melalui kelompok kegiatan bina keluarga dalam rangka melestarikan kesertaan ber-KB dan memberikan pengaruh kepada keluarga calon akseptor untuk ber-KB. Selain itu juga dilakukan penguatan fungsi keluarga dalam membentuk keluarga kecil bahagia dan sejahtera.

J. PERHUBUNGAN;

1) Pertumbuhan jumlah kendaraan roda dua dan roda empat yang tidak diikuti dengan peningkatan kuantitas dan kualitas sarana jalan dan jembatan.


(19)

2) Marka jalan belum memenuhi standar pelayanan minimum.

3) Terjadinya kemacetan rutin di beberapa titik di hamper semua kota di Sulawesi Utara.

4) Belum memadainya sarana dan prasarana transportasi dan keterpaduan sistem transportasi multimoda dan antarmoda,

5) Belum optimalnya penempatan transportasi laut sebagai tulang punggung sistem logistik nasional yang seharusnya dapat dilakukan melalui pengembangan pelabuhan- pelabuhan berkapasitas tinggi dengan ditunjang fasilitas pelabuhan yang memadai serta membangun short sea shipping/ coastal shipping pada jalur logistik nasional yang diintegrasikan dengan moda kereta api dan jalan raya.

6) Pengembangan dan pengendalian jaringan lalu lintas angkutan jalan yang meliputi simpul transportasi jalan, jaringan pelayanan angkutan jalan yang efisien dan mampu mendukung pergerakan penumpang dan barang.

7) MAsih rendahnya kualitas dan kuantitas kemampuan SDM dan perlengkapan Search and Rescue (SAR) untuk pertolongan dan penyelamatan korban kecelakaan transportasi terutama kecelakaan penerbangan dan pelayaran.

8) Belum dikelolanya percepatan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan prioritas konektivitas ASEAN dalam kerangka penguatan konektivitas nasional

9) Masih rendahnya tingkat keselamatan dan keamanan penyeleng- garaan pelayanan transportasi serta pertolongan dan penyelamatan korban kecelakaan transportasi.

10) Belum optimalnya ketersediaan layanan transportasi serta komunikasi dan informatika di perdesaan, perbatasan negara, pulau terluar, dan wilayah non komersial lainnya

11) Belum tersosialisasinya rencana pembangunan jarringan kereta api pada masyarakat terdampak pembangunan rel kereta api.

K. KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA;

1) Penggunaane-government masih rendah.

2) Data base pemerintah daerah relatif belum memadai.

3) Pemanfaatan teknologi informasi yang terintegrasi masih lemah. 4) Aplikasi e-Government yang Government to Government (G2G),

Government to Business (G2B) dan Government to Customers belum tersedia termasuk infrastruktur bersama yaitu jaringan komunikasi pemerintah yang aman (secured government network) serta fasilitas pusat data dan pusat pemulihan data yang terkonsolidasi.

5) Belum tersedianya layanan e-Government secara holistik dan dikelolanya data sebagai aset strategis

6) Belum seluruh pegawai pemerintah Sulawesi Utara memiliki penguasaan komprehensif tentang TIK.


(20)

L. KOPERASI, USAHA KECIL, DAN MENENGAH;

1). Sulitnya akses permodalan usaha koperasi dan UMKM.

2). Lemahnya kompetensi pengurus koperasi untuk memaksimalkan pencapaian target usaha.

3). Masih rendahnya akses terhadap kemudahan, kepastian dan perlindungan usaha.

M. PENANAMAN MODAL;

1). Prosedur perijinan investasi yang masih belum kondusif untuk meningkatkan daya saing investasi.

2). Menurunnya daya saing Provinsi Sulawesi Utara pada dua tahun terakhir yang diakibatkan oleh menurunnya minat investor untuk menanamkam modalnya di provinsi nyiur melambai.

N. KEPEMUDAAN DAN OLAH RAGA;

1) Sarana dan prasarana olahraga belum tersedia secara memadai. 2) Institusi-institusi yang membawahi cabang-cabang olahraga

belum terkelola secara memadai.

3) Prestasi olahraga atlit Sulawesi Utara yang cenderung menurun. 4) Minat berolahraga masyarakat Sulawesi Utara yang masih rendah

karena belum menyadari bahwa olahraga adalah salahsatu perilaku hidup bersih dan sehat.

5) Lembaga-lembaga kepemudaan belum berjalan dengan baik.

O. STATISTIK;

1) Belum optimalnya ketersediaan data dasar dan data sektoral yangupdate an akurat sebagai dasar pengambilan kebijakan. 2) Belum terintegrasinya data dan informasi pembangunan Sulawesi

Utara disertai kemudahan akses dan distribusinya.

P. KEBUDAYAAN;

1) Pendidikan menyangkut pengetahuan tentang kebudayaan lokal (tarian daerah, musik tradisional dan bahasa daerah) belum terakomodasi secara memadai dan merata dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah.

2) Paguyuban-paguyuban yang dibentuk oleh masyarakat ataupun organisasi kemasyarakatan untuk mengangkat kebudayaan daerah dan melakukan penyajian kebudayaan lokal secara rutin masih sangat minim.

3) Minat generasi muda untuk menggali, mengelola dna melestarikan kekayaan budaya dan kearifan local relative


(21)

rendah. Hal ini ditunjukkand engan semakin sulitnya anak-anak menggunakan bahasa daerah, mencintai kuliner asli dan budaya seni keadaerahan.

Q. PERPUSTAKAAN;

1) Menurunnya minat baca masyarakat

2) Kurang terorganisirnya perpustakaan sesuai dengan aturan kearsipan.

3) Belum optimalnya ketersediaan buku yang update dan jumlah yang memadai


(22)

4.1.3. URUSAN PILIHAN

A. KELAUTAN DAN PERIKANAN;

1) Luasnya wilayah territorial dan ZEEI Sulut serta banyaknya pulau-pulau dan berbatasan dengan Negara tetangga merupakan lahan subur untuk penangkapan ikan secara illegal dan pengrusakan ekositim pesisir. Pengawasan menjadi kurang optimal karena sarana pengawasan terbatas, kurang optimalnya peran serta masyarakat dalam pengawasan, kurangnya koordinasi lintas sector.

2) Dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, masih terdapat kegiatan illegal fishing akibat kemampuan pengawas sumberdaya kelautan dan perikanan masih lemah, penyediaan sarana dan prasarana pengawas belum memadai.

3) Pelanggaran lintas batas oleh nelayan tradisional karena berbatasan dengan Negara tetangga philipina dan kejelasan perbatasan wilayah dengan Negara tetangga yang belum terselesaikan serta ABK nelayan yang status kewarganegaraan tidak jelas

4) Sumberdaya ikan cenderung mengalami degradasi utamanya di perairan pantai. Beberapa factor yang menyebabkan penurunan terkait dengan degradasi kualitas lingkungan pesisir, termasuk oleh aktivitas manusia yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan perairan seperti penggunaan alat tangkap yang direkomendasikan, metode penangkapan yang merusak lingkungan (bom, racun, listrik, obat bius, dll)

5) Produktivitas nelayan masih tergolong rendah disebabkan armada perikanan masih didominasi oleh kapal berukuran kecil yaitu perahu tanpa motor, motor temple dan kapal motor ukuran 0,5-3 GT. Juga kelemahan dari nelayan yang hanya mampu melakukan penangkapan ikan one day fishing, tingginya tingkat kehilangan mutu ikan karena belum menerapkan sistim rantai dingin, keterbatasan dalam memanfaatkan dana perbankan. 6) Fasilitas pendukung berupa prasarana pelabuhan dan Balai

Benih Ikan yang masih terbatas dan belum memadai, sehingga perlu investasi baik Pemerintah maupun swasta untuk melengkapi fasilitasnya.

7) Dalam pengembangan perikanan budidaya, masih dihadapkan pada implementasi kebijakan tata ruang dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, terbatasnya ketersediaan dan distribusi induk dan benih unggul, kesiapan dalam menanggulangi hama dan penyakit, bahan baku pakan serta tingginya harga pakan.

8) Rendahnya produktivitas perikanan budidaya disebabkan karena struktur pelaku usaha perikanan budidaya adalah skala kecil/tradisional dengan keterbatasan aspek permodalan, jaringan teknologi dan pasar, juga serangan hama dan penyakit


(23)

ikan serta adanya pencemaran yang mempengaruhi kualitas lingkungan perikanan budidaya.

9) Pengembangan sistim jaminan kesehatan mutu dan keamanan hasil perikanan harus selaras dengan persyaratan dan ketentuan Internasional sehingga mampu meningkatkan daya saing hasil perikanan dalam era perdagangan global.

10) Kesejahteraan pelaku usaha perikanan merupakan salah satu pilar penting dalam penigkatan daya saing bangsa. Permasalahan yang dihadapi adalah belum adanya perlindungan terhadap pelaku usaha UMK untuk meningkatkan daya saing melalui sinergi lintas sektor, perlindungan terhadap pasar domestic dan sertifikasi produk perikanan.

11) Aktivitas pemanfaatan suberdaya kelautan dan perikanan tidak terlepas dari keberadaan potensi bencana alam dan dampak perubahan iklim seperti kenaikan muka air laut, intrusi air laut ke daratan, peningkatan dan perubahan intensitas cuaca ekstrim. Oleh karena itu penyiapan kapasitas masyarakat untuk melakukan berbagai upaya mitigasi bencana dan adaptasi dampak perubahan iklim sangat diperlukan

12) Wilayah pesisir memiliki potensi kerusakan pesisir berupa kerusakan ekosistim, abrasi, sedimentasi, pencemaran sehingga diperlukan berbagai upaya rehabilitasi ekosistim, pengendalian pencemaran dan upaya revitalisasi diantaranya melalui reklamasi yang terkendali.

B. PARIWISATA;

1) Masih rendahnya kunjungan wisatawan mancanegara melalui

pintu masuk bandara Internasional Sam Ratulangi

2) Belum diselesaikannya Rencana Induk Pariwisata daerah sebagai roadmap pengembangan pariwisata sesuai dengan Rencana Induk Pengembangkan Industri Nasional (RIPIN) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).

3) Belum optimalnya utilitas dan infrastruktur pariwisata sesuai standar internasional di berbagai destinasi pariwisata.

4) Belum terbangunnya Destinasi Pariwisata yang berdayasaing melalui terutama : (a) wisata alam terdiri dari wisata bahari, wisata petualangan dan wisata ekologi; (b) wisata budaya yang terdiri dari wisata heritage dan religi, wisata kuliner dan belanja, dan wisata kota dan desa; dan (c) wisata buatan

5) minat khusus yang terdiri dari wisata Meeting Incentive Conference and Exhibition (MICE) & Event, wisata olahraga, dan wisata kawasan terpadu; (2) meningkatkan citra kepariwisataan dan pergerakan wisatawan nusantara; (3) Tata Kelola Destinasi; serta (4) Pemberdayaan masyarakat di destinasi pariwisata


(24)

C. PERTANIAN;

1) Lahan Pertanian

Keberlanjutan sektor pertanian tanaman pangan tengah dihadapkan pada ancaman serius, yakni luas lahan pertanian yang terus menyusut akibat konversi lahan pertanian produktif ke penggunaan non-pertanian yang terjadi secara masif. Kini lahan sawah lebih menguntungkan untuk dijadikan sebagai real estate, pabrik, atau infrastruktur untuk aktivitas industri lainnya daripada ditanami tanaman pangan. Laju konversi lahan sawah sangat tinggi sementara kemampuan pemerintah dalam pencetakan sawah baru terbatas. Upaya pengendalian terhadap terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian tanaman pangan secara efektif dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dan Peraturan Pemerintah pendukungnya. Namun pada kenyataannya konversi lahan pertanian ke perumahan dan industri terus berlangsung. Ditambah lagi dengan permasalahan penurunan kualitas lahan pertanian dan luasan kepemilikan lahan pertanian yang sempit.

2) Infrastruktur Pertanian.

Salah satu prasarana pertanian yang saat ini sangat memprihatinkan adalah jaringan irigasi. Kurangnya pembangunan waduk dan jaringan irigasi baru serta rusaknya jaringan irigasi yang ada mengakibatkan daya dukung irigasi bagi pertanian sangat menurun. Kerusakan ini terutama diakibatkan banjir dan erosi, kerusakan di daerah aliran sungai, serta kurangnya pemeliharaan irigasi hingga ke tingkat usahatani. Selain itu, masih terbatasnya jalan usahatani, jalan produksi, pergudangan berpendingin udara, laboratorium dan kebun percobaan bagi penelitian, laboratorium pelayanan uji standar dan mutu, pos dan laboratorium perkarantinaan, kebun dan kandang penangkaran benih dan bibit, klinik konsultasi kesehatan tanaman dan hewan, balai informasi dan promosi pertanian, balai-balai penyuluhan serta pasar-pasar yang spesifik komoditas.

3) Perbenihan/Perbibitan

Benih merupakan sarana penting bagi usaha di bidang pertanian, apabila benih/ bibit yang tersedia tidak baik atau palsu maka hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu, pengadaan benih belum sesuai dengan musim tanam, biasanya benih sampai dilokasi setelah musim tanam dan kadangkala benih sudah kadaluarsa. Kondisi dikarenakan


(25)

infrastruktur dan system perbenihan sulit berkembang karena memerlukan investasi yang cukup besar. Sementara untuk permasalahan pembibitan ternak yang dihadapi saat ini adalah : (1) jumlah bibit ternak belum terpenuhi; (2) kualitas bibit masih rendah; (3) pelaku usaha pembibitan masih kurang respon dalam pembibitan; (4) pengurangan jumlah betina produktif akibat pemotongan betina produktif;(5) sumber pembibitan ternak masih menyebar dengan kepemilikan rendah sehingga menyulitkan dalam pembinaan dan pengumpulan; serta (6) kelembagaan pembibitan belum memadai.

4) Regulasi/Kebijakan

Pengembangan sektor pertanian yang bersandar pada pengelolaan sumberdaya alam saat ini dihadapkan dengan berbagai macam regulasi yang terkait dengan lingkungan. Selain itu, untuk mencapai sasaran yang diharapkan perlu regulasi dan kelembagaan untuk mensinergikan upaya yang saling mendukung untuk pencapaian sasaran dimaksud. Oleh karena itu, regulasi dan kelembagaan dalam pembangunan pertanian mutlak diperlukan, sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan dan peraturan perundangan dari masing-masing Kementerian/Lembaga. Regulasi juga diperlukan untuk melindungi pengembangan komoditas usaha di bidang pertanian. Pengembangan pertanian memerlukan dukungan agar tercipta iklim yang kondusif melalui formulasi kebijakan dan pengamanan kebijakan fiskal dan moneter.

Beberapa kebijakan Pemerintah yang ditetapkan belum berjalan efektif dan belum berpihak pada sektor pertanian, seperti Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah yang hanya sedikit di atas biaya produksi, pengendalian harga penjualan (beras) agar tidak memicu kenaikan inflasi.

5) Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

Pendekatan kelembagaan telah menjadi strategi penting dalam pembangunan pertanian. Pengembangan kelembagaan pertanian baik formal maupun informal belum memberikan peran berarti di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh peran antar lembaga pendidikan dan pelatihan, Balai Penelitian dan Penyuluhan (BPP) belum terkoordinasi dengan baik. Fungsi dan keberadaan lembaga penyuluhan cenderung terabaikan. Koordinasi dan kinerja lembaga keuangan perbankan perdesaan masih rendah. Koperasi perdesaan yang bergerak di sektor pertanian masih belum berjalan optimum. Keberadaan lembaga-lembaga tradisional di perdesaan belum dimanfaatkan secara optimal. Dari sisi sumberdaya manusia, masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia pertanian merupakan kendala yang serius dalam


(26)

pembangunan pertanian, karena mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya adalah petani yang tinggal di daerah pedesaan. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kurangnya pendampingan penyuluhan pertanian. Di sisi lain, bagi mereka yang telah mengenyam pendidikan formal tingkat menengah dan tinggi, mereka kurang tertarik bekerja dan berusaha di pertanian 6) Permodalan.

Permodalan petani merupakan faktor yang mendukung keberhasilan pengembangan usahatani. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dengan mengembangkan skema kredit dengan subsidi suku bunga sehingga suku bunga beban petani lebih rendah seperti Kredit ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan skema kredit dengan penjaminan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun demikian skema kredit tersebut belum mampu mengatasi permodalan petani dan dukungan perbankan belum memberikan kontribusi yang optimal bagi petani. Hal ini disebabkan antara lain sumber dana sepenuhnya dari bank dan risiko ditanggung bank, oleh karena itu perbankan menerapkan prudential perbankan. Dampak dari penerapan prudential perbankan dirasakan petani seperti sulinya akses permodalan, persyaratan yang dianggap rumit dan waktu yang lama, masih diperlukan jaminan tambahan yang memberatkan petani berupa sertifikat lahan, terbatasnya informasi petani mengenai keberadaan skema kredit.

D. KEHUTANAN;

1). Terjadinya pemanfaatan hutan yang eksploitatif dan diperparah oleh adanya praktik pembalakan liar yang terjadi untuk memenuhi permintaan pasar;

2). Belum optimalnya pemanfaatan jasa lingkungan hutan dalam pengelolaan kehutanan secara holistic;

3). Berkurangnya kawasan hutan yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan bahan baku industri ;

4). Adanya praktik penebangan liar pada hutan di daerah hulu yang menimbulkan dampak pada keseimbangan ekosistem dalam tatanan daerah aliran sungai (das), yang menyebabkan timbulnya bencana tanah longsor dan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kepentingan sektor lainnya seperti pertanian dan energi;

5). Masih terfokusnya pemanfaatan hutan pada produk kayu, yang nilainya hanya sekitar 7 persen dari total nilai hutan, sedangkan nilai tambah hasil hutan bukan kayu seperti air, udara bersih,


(27)

keanekaragaman hayati, dan keindahan alam belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung perekonomian; 6). Masih rendahnya pendapatan dan kualitas hidup masyarakat

yang hidup di dan sekitar kawasan hutan;

7). Lebih berorientasinya pemanfaatan hutan pada keuntungan jangka pendek dan rendahnya kesadaran akan prinsip kelestarian, yang mengakibatkan pengelolaan hutan belum berjalan secara berkelanjutan.

E. ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL;

1) Tantangan pengelolaan ESDM sebagai akibat perubahan kewenangan penanganan energi dan sumberdaya mineral oleh Undang-Undang 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Kewenangan provinsi atas pengelolaan pertambangan, energi dan sumberdaya mineral yang berpindah dari Kabupaten kota ke Provinsi sesuai Undang-Undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

2) Rehabilitasi dan konservasi area pertambangan yang masih hasrus dioptimalkan.

3) Kurangnya pemahaman masyarakat tentang pengusahaan panas bumi yang merupakan energi bersih dan aman sehingga timbul penolakan terhadap beberapa proyek panas bumi

4) Tantangan pengembangan energi air, angin dan surya, antara lain: Investasi energi terbarukan masih tinggi dan harganya belum mencapai keekonomian, sehingga pangsa usahany sulit bersaing dengan energi konvensional yang masih di-subsidi.

5) Ketersediaan energi listrik yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan dasar rumahtangga dan bisnis di Provinsi Sulawesi Utara.

6) Tingkat kesadaran hemat energi bagi pengguna masih rendah. 7) Sistem pendanaan investasi program energi efisiensi & konservasi

energi belum memadai;

8) Insentif untuk pelaksanaan energi efisiensi dan konservasi energi belum memadai sementara Disinsentif untuk pengguna energi yang tidak melaksanakan efisiensi energi dan konservasi energi belum dilaksanakan secara konsisten;

9) Daya beli teknologi/peralatan yang efisien/hemat energi masih rendah;

10) Kurangnya koordinasi antar instansi dalam menyusun peraturan teknis yang mengatur kewajiban pelaksanaan konservasi energi. 11) Pengetahuan dan pemahaman terhadap manfaat konservasi

energi masih terbatas;

F. PERDAGANGAN;

1. Masih lemahnya Penguatan Pasar Dalam Daerah dan Nasional. 2. Masih lemahnya Perebutan Pangsa Pasar Ekspor.


(28)

3. Sarana dan prasarana kegiatan distribusi yang meliputi pergudangan, pengemasan, transportasi untuk bahan pokok dan bahan strategis untuk perdagangan domestik maupun internasional belum memadai.

4. Akses pasar, baik domestik maupun internasional, dari komoditas-komoditas unggulan relatif masih terbatas.

5. Masih adanya regulasi yang menghambat kegiatan perdagangan antara lain pungutan kabupaten/kota terhadap kegiatan transportasi.

6. Promosi komoditas unggulan Sulawesi Utara masih belum optimal.

7. Data mengenai kegiatan perdagangan masih belum akurat. 8. Belum diaturnya perdagangan lintas batas.

9. Belum adanya kerjasama dan sosialisasi tentang Sulawesi Utara sebagai pintu gerbang kepada propinsi-propinsi tetangga, pelaku bisnis .

10. Belum optimalnya peran sektor swasta dan asosiasi-asosiasi binsis dalam menunjang perdagangan.

11. Belum adanya badan kerjasama internasional bidang perdagangan.

12. Belum optimalnya kerjasama sub-regional yang menunjang kegiatan perdagangan antar negara

13. Belum optimalnya kerjasama badan-badan kerjasama antara daerah.

14. Belum optimalnya pemanfaatan Sekretariat Coral Triangle Initiative (CTI) sebagai wadah untuk meningktakan kerjasama perdagangan antar negara yang memiliki wilayah laut.

15. Barang dan jasa yang dihasilkan di Sulawesi Utara masih jauh dari kebutuhan konsumen yang mengakibatkan Sulawesi Utara memiliki posisi sebagai net-importer, yaitu lebih banyak memasukan barang dan jasa dari luar provinsi dibandingkan ekspornya ke daerah yang lain atau ke luar negeri.

16. Masih terbatasnya infrastruktur di daerah kepulauan yang menyebabkan distribusi barang menjadi terhambat yang pada gilirannya terjadi disparitas harga jual secara signifikan antar daerah terutama dengan daerah kepulauan.

17. Masih adanya pungutan liar dalam pengangkutan barang sehingga menimbulkan beban tambahan pada perusahaan yang pada gilirannya terjadi kenaikan harga barang.

G. PERINDUSTRIAN;

1. Masih lemahnya Daya Saing Industri daerah.

2. Belum terlaksananya ketersediaan Lahan Pengembangan Kawasan Industri 2,000 Ha. dan Reklamasi 300 Ha. di lokasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).


(29)

3. Agroindustri yang diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi komoditas-komoditas unggulan Sulawesi Utara belum berkembang sebagaimana yang diharapkan.

4. Teknologi pasca panen termasuk pengemasan belum dimanfaatkan secara memadai.

5. Masih terbatasnya produk turunan komoditas-komoditas unggulan Sulawesi Utara terutama kelapa.

6. Industri pengolahan yang ada belum variatif dan inovatif.

7. Permasalahan terkait dengan pemilikan tanah untuk lahan industri.

8. Belum adanya investor yang serius untuk membuka suatu kawasan industri pengolahan di Sulawesi Utara.

9. Terbatasnya dana pemerintah daerah untuk pembebasan tanah maupun pembangunan kawasan industri.

10. Masih adanya pungutan liar saat pengangkutan bahan baku dan barang jadi serta dalam operasi perusahaan.

11. Masih berbelitnya pengurusan izin yang dihadapi pengusaha. 12. Keterbatasan dalam pasokan energi listrik sehingga perusahaan

menanggung biaya energi yang besar.

13. Terbatasnya jumlah pabrik pengolahan untuk memproduksi produk turunan komoditas unggulan, seperti kelapa, pala, cengkih, jagung, dan hasil laut mengakibatkan rendahnya nilai tambah yang dinikmati Sulawesi Utara atas hasil komoditas-komoditas unggulannya.

H. TRANSMIGRASI

1. Penyusunan Rencana Teknis Satuan Permukiman (RTSP) oleh Kabupaten/Kota sering mengabaikan penyelesaian legalitas lahan dan persetujuan masyarakat, sehingga berpotensi menjadi masalah hukum atas kepemilikan lahan.

2. Adanya Pembangunan Permukiman Transmigrasi belum memenuhi kriteria clean and clear status lahannya, sehingga terhambat dalam pembangunan sarana/prasarana pada lokasi permukiman transmigrasi yang baru maupun dalam perpindahan dan/atau penempatan, antara lain lokasi Wioi Kabupaten Minahasa Tenggara dimana Lahan Usaha I dan II yang diperuntukkan bagi penempatan transmigrasi Tahun 2009 belum diberikan kepada warga transmigrasi serta untuk penempatan transmigrasi Tahun 2010 yang diluncurkan Tahun 2011 belum juga tersedia Lahan Usaha I dan II dimaksud. Disamping itu juga Pembangunan Transmigrasi Baru di Desa Matongkad Kabupaten Bolaang Mongondow Timur belum adanya penyerahan hak kepemilikan atas tanah dari masyarakat kepada Pemerintah untuk dijadikan pembangunan transmigrasi baru serta Rumah Transmigrasi dan Jamban Keluarga (RTJK) yang dibangun baru 30% sehingga untuk penempatan belum dapat dilaksanakan.


(30)

3. Banyaknya Tuntutan Ganti Rugi Tanah atas lahan transmigrasi oleh masyarakat.

I. PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN

1. Pola pikir petani/nelayan yang cenderung kearah Sub Sistem, belum berwawasan agribisnis

2. Sektor Pertanian, perikanan dan kehutanan kurang menarik bagi generasi muda, sementara banyak petani yang ada sekarang sudah berusia lanjut.

3. Rendahnya nilai jual komoditi andalan Sulawesi Utara seperti kopra, cengkeh, dan pala.

4. Belum adanya Pos Penyuluhan Desa (POSLUHDES) di setiap Desa 5. Kurangnya tenaga penyuluh di lapangan

6. Relatif rendahnya kapasitas penyuluh pertanian, perikanan dan kehutanan, serta masih kurangnya kemauan dan kemampuan petani untuk menggunakan teknologi pertanian yang lebih maju. 7. Rendahnya kemampuan Poktan dan Gapoktan dalam mengakses

Informasi Teknologi, permodalan dan pemasaran

8. Rendahnya posisi tawar petani dalam memasarkan hasil produksinya.

9. Kurangnya irigasi untuk mengatur ketersediaan dan penyaluran air untuk pertanian.

10. Bertambahnya pemukiman dan aktivitas ekonomi yang mempersempit lahan untuk pertanian.

11. Masih setingginya ketergantungan pada pupuk anorganik dan pestisida sehingga mengurangi tingkat kesuburan tanah.

12. Ketergantungan petani yang cukup tinggi terhadap program bantuan pemerintah sehingga kurang memiliki kemandirian dan daya juang yang tinggi.

13. Masih rendahnya pengetahuan dan kemauan masyarakat dalam memanfaatkan limbah-limbah hasil pertanian untuk mengasilkan produk-produk yang bernilai tambah.

14. Data luas lahan dan jumah produksi masih belum akurat.

15. Masih banyak alih fungsi atau konversi lahan yang tidak merata. 16. Ketersediaan serta akses petani atas saprodi masih belm

mamadai.

17. Keterbatasan modal di kalangan petani.

18. Peremajaan tanaman perkebunan belum dilakukan secara optimal sehingga kebanyakan tanaman-tanaman tersebut berumur tua sehingga dapat mempengaruhi prodiktivitas hasil perkebunan di masa mendatang.

19. Penyakit tanaman perkebunan belum tertanggulangi secara baik. 20. Animo petani untuk beternak masih kurang dan hama penyakit


(31)

21. Masih rendahnya produksi daging untuk memenuhi kebutuhan lokal.

22. Masih terbatasnya industri yang mendukung pengelolaan produk turunan dari komoditas pertanian, perkebunan dan peternkan. 23. Belum optimalnya sinergitas program pemerintah daerah denga

program nasional dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan (food security),Masih kurangnya program-program penunjang ketahanan dan keamanan pangan.

24. Masih kurangnya hasil-hasil penelitian dibidang pertanian, peternakan dan perkebunan.

25. Masih rendahnya kesejahteraan penyuluh.

26. Belum optimalnya penetapan klaster komoditas unggulan.

27. Belum optimalnya pelaksanaan program-program yang menjamin ketersediaan pangan, pangan dan papan secara berkelanjutan. 28. Masih kurangnya akses pemasaran hasil-hasil pertanian dan

perikanan.

29. Masih kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan agribisnis bidang pertanian dan perikanan.

30. Masih kurangnya intensifikasi penyuluhan pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan.

Pembangunan sumber daya kehutanan di Sulawesi Utara mengalami beberapa permasalahan sehingga hasil pembangunan yang dicapai untuk sektor tersebut belum optimal.

Permasalahan-permasalahan tersebut diperkirakan masih terjadi sehingga 2015 di mana diantaranya berikut ini.

1. Masih terjadinya alih fungsi kawasan hutan untuk kepentingan lain yang dilakukan secara ilegal.

2. Masih kurangnya pemberdayaan masyarakat yang bermukim sekitar hutan.

3. Masih sering terjadi perambahan hutan secara ilegal (illegal logging).

4. Berkurangnya ketersediaan sumber air karena erosi yang merupakan dampak perusakan hutan dan perubahan iklim yang tidak menentu.

5. Penebangan hutan secara tidak terencana dan kadangkala ilegal yang menyebabkan berkurangnya areal dan produksi hutan.

6. Masih lemahnya penegakan hukum yang berkaitan dengan pengalaman hutan. Sealin itu, penegakan perlindungan dan konservasi sumber daya alam yang melibatkan adat, organisasi profesi, institusi akademik dan instansi teknis yang mengawinkan kekuatan kearifan lokal dan teknologi terkini, masih sangat minim dilakukan.

7. Belum konsistennya usaha pemulihan cadangan sumber daya hutan dan yang terkait hutan(hutan,tanah, dan air)

8. Bertambahnya pemukiman dan aktivitas ekonomi di kawasan lindung (hutan).


(1)

korban warga MAsyarakat Sulawesi Utara yang masih disandera oleh teroris membuktikan betapa pentingnya persoalan harga diri bangsa terkait dengan keamanan wilayah. Selama ini, wilayah kepulauan dan perbatasan khususnya Kabupaten Siau Tagulandang Biaro, Kabupaten Kepulauan Sangihe dan kabupaten Kepulauan Talaud cenderung dianggap sebagai daerah terpencil, terluar dan daerah tertinggal. Seharusnya di wilayah ini perlu dilakukan pengembangan kawasan perbatasan Negara sebagai manifestasi dari pola ruang yang sudah ditetapkan sebagai Pusat Kawasan Strategis Nasional.

Selama ini kawasan perbatasan dianggap sebagai pinggiran negara,agar menjadi halaman depan negara yang berdaulat, berdaya saing, dan aman. Pendekatan pembangunan kawasan perbatasan selama ini dilakukan secara parsial, dan sangat berbau sektoral. Seharusnya wilayah kepualuan dan perbatasan dikelola dengan dua pendekatan yaitu terdiri: (i) pendekatan keamanan (security approach), dan (ii) pendekatan peningkatan kesejahteraan masyarakat (prosperity approach).

Tantangan lainnya adalah aktivitas illegal fishing, illegal logging, human trafficking,dan kegiatan ilegal lainnya, termasuk mengamankan sumberdaya maritim dan Zona Ekonomi Esklusif (ZEE) dan persoalan warga Sulawesi Utara asal Sangihe dan Talaud yang status kewarganegaraannya di Filipina masih belum dipastikan. Permasalahan lainnya adalah bagaimana upaya meningkatkan kerjasama dan pengelolaan perdagangan perbatasan dengan negara Filipina, mendorong perdagangan ekspor-impor di perbatasan, dan upaya menurunnya kegiatan perdagangan ilegal di perbatasan.

4.2.5 PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup sangat strategis dalam mengamankan kelangsungan pembangunan karena fungsinya sebagai tulang punggung kehidupan, i penyedia pangan, energi, air dan penyangga sistem kehidupan. Seluruh potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup pada dasarnya merupakan modal pembangunan untuk membangun sumberdaya manusia dan keberlanjutan kehidupan generasi mendatang. Perhatian terhadap jasa lingkungan untuk menunjuang ekonmi kerakyatan menjadi vital dan signifikan pengaruhnya dalam upaya adaptasi dan mitigasi iklim.

Adapun permasalahan pokok dalam hal pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup adalah produktivitas lahan pertanian dan luas lahan baku sawah yang semakin menurun, ditambah lagi dengan permasalahan pada sistem irigasi yang pada saat musim kemarau relative tidak dapat diharapkan dapat mengairi lahan persawahan. Terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, harus juga diakui bahwa produktivitas dan daya saing hasil perikanan belum optimal, sementara pemanfaatan wilayah maritime masih terbatas pada kegiatan patrol dan keamanan. Sumber daya air belum terkelola dengan baik,


(2)

bahkan hamper semua sungai di Sulawesi Utara sudah tercemar, begitu pula danau-danau yang berada di wialyah Sulawesi Utara sudah tergolong cemar berat.

Pada tahun 2015, terjadi kemarau panjang sebagai akibat dari pengaruh el nino sehingga luas hutan dan lahan kritis menjadi sangat tinggi, semnetara di pihak lain, laju deforestrasi yang masih relatif tinggi karena alasan ekonomi. Pada intinya, kualitas lingkungan hidup di Sulawesi Utara semakin menurun dan dalam hal pengelolaan limbah/beban pencemaran sampai saat ini belum dilakukan secara optimal. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati masih harus didorong, sehingga dampak perubahan iklim dapat diminimalisir dan frekuensi kejadian bencana, kerentanan wilayah dan masyarakat terhadap bencana semakin menurun.

4.2.6. TATA KELOLA: BIROKRASI EFEKTIF DAN EFISIEN

Kualitas tatakelola pemerintahan (good governance) adalah prasyarat tercapainya sasaran pembangunan daerah, baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Penerapan tata kelola pemerintahan yang baik secara konsisten ditandai dengan berkembangnya aspek keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, supremasi hukum, keadilan, dan partisipasi masyarakat. Dari sisi penguatan kapasitas pemerintahan (birokrasi), pemerintah daerah Sulawesi Utara terus berupaya memantapkan kualitas pelaksanaan reformasi birokrasi nasional (RBN) di segala area perubahan yang disasar, baik kebijakan, kelembagaan, SDM aparatur, maupun perubahan mindset

dan culture set. Reformasi birokrasi diharapkan dapat menciptakan

birokrasi yang bermental melayani yang berkinerja tinggi sehingga kualitas pelayanan publik akan meningkat sehingga berkontribusi pada peningkatan daya saing dan keberhasilan pembangunan di berbagai bidang.

Birokrasi pemerintahan belum efisien dan budaya pelayanan masih lemah. Reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan telah dijalankan, akan tetapi belum sepenuhnya dapat mencegah munculnya distorsi produk-produk kebijakan publik, karena proses yang belum sepenuhnya transparan dan akuntabel baik pada saat penyusunan, pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasinya. Pada umumnya masyarakat berpendapat bahwa birokrasi pemerintahan tidak efisien dan pelayanan publik belum optimal.

Prinsip dasar good governance seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas belum sepenuhnya dijalankan dalam birokrasi pemerintahan dan jabatan- jabatan publik. Masalah ini diperburuk oleh belum terbangunnya sistem rekrutmen pejabat publik berdasarkan prinsip meritokrasi. Pemantapan akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas kinerja


(3)

meningkatnya pemerintah Kabupaten/Kota yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) berdasarkan audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Meskipun demikian harus diakui bahwa pencapaian Opini WTP belum mencerminkan birokrasi yang bersih dan bebas KKN, manajemen aset barang milik daerah belum dikelola secara tertib administrasi dan tertib hukum; dan sistem pengendalian internal belum berjalan efektif.

Tantangan ke depan yang perlu ditindaklanjuti, diantaranya peningkatkan kualitas dan independensi pemeriksaan keuangan; pengembangan sistem dan pemantapan pemeriksaan kinerja; memperbaiki manajemen pengelolaan aset secara modern berbasis TIK; dan peningkatan efektifitas Sistem Pengendalian Intern (SPI). Berdasarkan hasil penilaian kementerian Pendayaagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi, Kinerja Pemerintah Daerah masih rendah terkait dengan signifikansi input anggaran dengan kinerja organisasi; lemahnya orientasi pada pencapaian indikator hasil (outcome); lemahnya akuntabilitas kinerja instansi kabupaten/kota. Oleh karena itu, diperlukan komitmen pimpinan instansi untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik.

Terkait dengan Politik Pemerintahan; Provinsi Sulawesi Utara akan melanjutkan upaya Pembentukan Daerah Otonom Baru yatu Provinsi Bolaang Mongondow Raya, Kota Langowan, Kota Tahuna, dan Kabupaten Talaud Selatan.

4.2.7. KEAMANAN DAN KETERTIBAN MASYARAKAT

Disparitas kualitas kehidupan masyarakat yang masih lebar serta kondisi masyarakat yang belum mampu secara optimal mengatasi masalah ekonomi dan sosial seperti iklim investasi yang kondusif, kemiskinan, atau pengangguran merupakan salah satu faktor utama penyebab terjadinya tindak kriminal. Hal yang masih dihadapi dalam upaya menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat adalah masih tingginya angka kriminalitas seperti pencurian, penipuan, perampokan, kekerasan dalam rumah tangga, kejahatan susila, sampai dengan kasus-kasus pembunuhan. Tingkat kepercayaan masyarakat juga mengalami dinamika terkait dengan berbagai pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota Polri termasuk tindakan yang berlebihan dalam menangani aksi demonstrasi, kekurangtaatan prosedur peindakan, atau masih mengemukanya arogansi sebagian anggota Polri dalam menghadapi kasus-kasus hukum di masyarakat akan berpengaruh terhadap validitas angka kriminalitas yang terjadi. penegakan hukum nondiskriminatif yang dapat merangsang/ meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat untuk mematuhi hukum dan pengaitan peran aktif masyarakat dalam penciptaan dan pemeliharaan kamtibmas melalui upaya pemolisian masyarakat (community policing).


(4)

Diakui juga bahwa meskipun upaya pengawasan dan pengamanan terus ditingkatkan, kegiatan illegal logging, illegal mining, ataupun illegal fishing intensitasnya masih cukup tinggi. Selain itu human trafikking serta peredaran dan penggunaan narkoba cenderung meningkat. Persoalan rendahnya pelayanan rehabilitasi korban narkotika dan menekan aktivitas supply dan demand narkotika menjadi tantangan pemerintah dan masyarakat Sulawesi Utara. Tantangan utama dalam hal in iadalah peningkatan kemampuan mencegah, menangkal, dan menindak kejahatan transnasional melalui upaya deteksi dini dan interdiksi darat, laut atau udara serta kerja sama internasional; peningkatan upaya pencegahan dan penindakan kegiatan illegal logging melalui penguatan kapasitas kelembagaan perlindungan hutan, melaksanakan operasi pengamanan hutan secara terus menerus, dan menyelesaikan kasus hukum kejahatan dengan hukuman yang dapat memberikan efek jera, termasuk penanganan kegiatan illegal mining dan illegal fishing secara tuntas untuk menjaga sustainabilitas pemanfaatan sumber daya alam.

4.2.8. PENGELOLAAN BENCANA DAN MITIGASI IKLIM

Pengurangan Resiko Bencana telah dimasukkan dalam Kerangka kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015 2030 yang bertujuan untuk 1. mencegah timbulnya dan mengurangi risiko, 2. mencegah & menurunkan keterpaparan dan kerentanan, 3. meningkatkan resiliensi melalui peningkatan kesiapsiagaan, tanggapan dan pemulihan, dimana hal ini juga dikaitkan dengan implementasi SDG s.

Penanggulangan bencana dalam RPJMN 2015-2019 adalah untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam menghadapi bencana. Beberapa kebijakan yang dilakukan adalah internalisasi pengurangan risiko bencana d i l a k u k a n melalui pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah, Pengenalan, pengkajian dan pemantauan risiko bencana melalui penyusunan kajian dan peta risiko skala 1:50.000 pada kabupaten dan skala 1:25.000 untuk kota, yang difokuskan pada kabupaten/kota risiko tinggi terhadap bencana serta pemanfaatan kajian dan peta risiko bagi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten/Kota dan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB), yang menjadi referensi untuk penyusunan RPJMD Kabupaten/Kota.

Dalam kerangka perencanaan Rencana Aksi Nasional - Pengurangan Resiko Bencana terkait dengan beberapa kerangka kerja yang relevan (other

relevant action frame) baik tingkat internasional maupun regional, di

antaranya adalah aspek (1). tata ruang; (2). lingkungan; (3). perubahan iklim;

dan (4). pengurangan kemiskinan. Secara umum pengelolaan bencana dapat

dilakukan secara holistik melalui tiga tahap yaitu 1. Pra Bencana, 2.

Penanganan Darurat dan 3. Pasca Bencana. Program dan kegiatan pada

tahap Pra Bencana dapat menunjang program prioritas Adaptasi Perubahan


(5)

menunjang program prioritas Penanggulangan Kemiskinan, dan pada tahap Pasca Bencana akan menunjang program prioritas Pembangunan dan Pengembangan Infrastruktur Dasar dan Penanggulangan Kemiskinan serta Pembangunan Berkelanjutan.

Berdasarkan sasaran strategis nasional yang diamanatkan pada RPJMN 2015-2019, fokus penanggulangan bencana yaitu menurunnya indeks risiko

bencana pada pusat-pusat pertumbuhan yang berisiko tinggi. Strategi

penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana di provinsi Sulawesi Utara mengacu pada strategi penanggulangan bencana nasional yaitu :

1. Internalisasi pengurangan risiko bencana dalam kerangka pembangunan berkelanjutan di pusat dan daerah, melalui :

a. Pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan sektoral dan kewilayahan;

b. Pengenalan, pengkajian dan pemantauan risiko bencana melalui penyusunan kajian dan peta risiko skala 1:50.000 pada kabupaten sasaran dan skala 1:25.000 untuk kota sasaran.

c. Pemanfaatan kajian dan peta risiko bagi penyusunan Rencana

Penanggulangan Bencana (RPB) Kab/Kota dan Rencana Aksi

Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB), yang menjadi

referensi untuk penyusunan RPJMD Kab/Kota.

d. Integrasi kajian dan peta risiko bencana dalam penyusunan dan review RTRW Provinsi/Kabupaten/ Kota.

e. Harmonisasi kebijakan dan regulasi penanggulangan bencana di pusat dan daerah;

f. Penyusunan rencana kontinjensi pada kabupaten/kota sasaran sebagai panduan kesiapsiagaan dan operasi tanggap darurat dalam menghadapi bencana.

2. Penurunan tingkat kerentanan terhadap bencana, melalui:

a. Mendorong dan menumbuhkan budaya sadar bencana serta

meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kebencanaan.

b. Peningkatan sosialisasi dan diseminasi pengurangan risiko bencana

kepada masyarakat baik melalui media cetak, radio dan televisi.

c. Meningkatkan kerjasama dengan mitra pembangunan, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), dan dunia usaha untuk mengurangi kerentanan sosial dan ekonomi masyarakat.

d. Peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah pasca bencana, melalui percepatan penyelesaian rehabilitasi dan rekonstruksi.

e. Pemeliharaan dan penataan lingkungan di daerah rawan bencana alam.

f. Membangun dan menumbuhkan kearifan lokal dalam membangun dan mitigasi bencana.

g. Pengembangan Desa Tangguh Bencana di kawasan risiko tinggi bencana untuk mendukung Gerakan Desa Hebat

3. Peningkatan kapasitas penyelenggaraan penanggulangan bencana, melalui:

a. Penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur penanggulangan bencana di pusat dan daerah.


(6)

b. Meningkatkan koordinasi antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antar pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana. c. Penyediaan sistem peringatan dini bencana kawasan risiko tinggi serta

memastikan berfungsinya sistem peringatan dini dengan baik.

d. Pengembangan dan pemanfaatan IPTEK dan pendidikan untuk pencegahan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana.

e. Melaksanakan simulasi dan gladi kesiapsiagaan tanggap darurat secara berkala dan berkesinambungan untuk meningkatkan kesiapsiagaan. f. Penyediaan infrastruktur mitigasi dan kesiapsiagaan (shelter/tempat

evakuasi sementara, jalur evakuasi dan rambu-rambu evakuasi) menghadapi bencana, yang difokuskan pada kawasan rawan dan risiko tinggi bencana.

g. Membangun dan memberikan perlindungan bagi prasarana vital yang diperlukan untuk memastikan keberlangsungan pelayanan publik, kegiatan ekonomi masyarakat, keamanan dan ketertiban pada situasi darurat dan pasca bencana.

h. Melaksanakan upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas dan ekonomi lokal melalui pengembangan Desa Tangguh Bencana untuk mendukung Gerakan Desa Hebat.

i. Peningkatan kapasitas manajemen dan pendistribusian logistic kebencanaan, melalui pembangunan pusat logistik kebencanaan di masing-masing wilayah pulau yang dapat menjangkau wilayah yang terkena bencana dengan cepat.

j. Pembentukan dan penguatan kapasitas forum pengurangan risiko bencana di daerah.