ISLAMIC PARENTING UNTUK MEMBENTUK KECERDASAN EMOSIONAL DAN SPIRITUAL ANAK : STUDI POLA ASUH ANAK DI ISLAMIC INTERNATIONAL SCHOOL PESANTREN SABILUL MUTTAQIN (IIS PSM) MAGETAN.

(1)

ISLAMIC PARENTING UNTUK MEMBENTUK KECERDASAN EMOSIONAL DAN SPIRITUAL ANAK

(Studi Pola Asuh Anak di Islamic International School Pesantren Sabilul Muttaqin (IIS PSM) Magetan)

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar

Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh

Moh Sajidulloh Ma’shum

NIM. B53212081

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

JURUSAN DAKWAH

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAKSI

Moh Sajidulloh Ma’shum (B53212081), Islamic Parenting untuk Membentuk Kecerdasan Emosional dan Spiritual Anak (Studi Pola Asuh Anak di Islamic

International School Pesantren Sabilul Muttaqin (IIS PSM) Magetan.

Fokus penelitian adalah (1) Bagaimanakah bentuk Islamic Parenting dalam biah

Islamiah di Islamic International School Pesantren Sabilul Muttaqin (IIS PSM)

Magetan? (2) Bagaimanakah perilaku anak yang menunjukkan kecerdasan emosional dan spiritual sebagai implikasi dari program IslamicParenting?

Dalam menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dalam menganalisa kegiatan Islamic Parenting di lembaga IIS PSM yang dapat membentuk kecerdasan emosional dan spiritual anak, data yang digunakan berupa hasil wawancara dan observasi yang disajikan dalam bab penyajian data dan analisa data.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan Islamic Parenting yang dapat membentuk kecerdasan emosional dan spiritual anak di IIS PSM Magetan mencakup beberapa aspek antara lain: (1) Kategori dasar-dasar agama dan ibadah (Reciting Asma’ul Husna, Reciting Al-Ma’tsurat, Reciting Spesific Surah of

Al-Qur’an (2) Kategori adab dan etika anak (Student Welcoming dan Assembly &

Dismissel Program) (3) Kategori moral sosial dan kasih sayang (Alqis Camp) (4)

Kategori akhlak mahmudah (Tahfidz program dan Tahfidz Competition) (5) kategori Tarbiyyah dan Ta’lim (Sermon before Dzuhur Prayer dan Dhuha

Prayer). Adapun perilaku anak yang menunjukkan kecerdasan emosional dan

spiritual sebagai implikasi dari Islamic Parenting adalah sebagai berikut: (a). Perilaku menundukkan badan ketika berpapasan dengan guru atau orang lain yang lebih dewasa; (2). Perilaku menyapa terlebih dahulu dan mengucapkan salam; (3). Kepedulian anak terhadap teman yang sakit; (4). Anak menegur orang tua yang

tidak melaksanakan shalat berjama’ah; (5). Anak menegur orang tua yang minum

sambil berjalan


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

PERNYATAAN OTENTITAS SKRIPSI ... vii

ABSTRAKSI ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ...xv

DAFTAR BAGAN ...xvi

DAFTAR GAMBAR ...xvii

BAB I: PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...9

C. Tujuan Penelitian ...9

D. Batasan Masalah Penelitian ...9

E. Manfaat Penelitian ...10

F. Definisi Konsep ...11

1. Islamic Parenting ...11

2. Kecerdasan Emosional dan Spiritual ... 13


(8)

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ...16

2. Sasaran dan Lokasi Penelitian ...16

3. Tahapan Penelitian ...16

4. Jenis dan Sumber Data ...18

5. Teknik pengumpulan data ...18

6. Teknik Analisis Data ...20

7. Teknik Keabsahan Data ...21

H. Sistematika Pembahasan ...23

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ...25

A. Kajian Konseptual Teoritis ...25

1. Praktek Kepengasuhan Anak (Parenting) ...25

a. Hakikat Praktek Kepengasuhan Anak (Parenting) ...25

b. Model Kepengasuhan Anak ...26

c. Model Kepengasuhan Anak Islami (Islamic Parenting) ...31

2. Tugas Perkembangan Anak ...38

a. Perkembangan Sosio-Emosional Anak ...40

1) Hakikat Perkembangan Sosio-Emosional Anak ...40

2) Perkembangan Sosial Anak ...41

3) Perkembangan Emosional Anak ...43

4) Kecerdasan Emosional Anak (Emotional Quotient) ...48

b. Perkembangan Moralitas Anak ...55

1) Hakikat Perkembangan Moralitas Anak ...55

2) Perkembangan Moralitas Anak ...57

c. Perkembangan Minat Anak Terhadap Agama ...60

1) Fitrah Sebagai Potensi Beragama ...61

2) Perkembangan Agama pada Anak ...64

3) Pembinaan Pribadi Anak ...67

d. Perkembangan Spiritualitas Anak ...69

1) Bagaimana Anak Mengenal Allah ...69


(9)

B. Penelitian Terdahulu ...75

BAB III ...78

A. Lembaga IIS PSM Magetan ...78

1. Profil Lembaga ...78

2. Struktur Kepengurusan Lembaga ...80

3. Tenaga Pendidik ...81

4. Jenjang Pendidikan ...82

5. Bentuk Islamic Parenting di IIS PSM Magetan ...82

B. Hasil Penelitian ...90

Perilaku anak yang menunjukkan kecerdasan emosional dan spiritual sebagai implikasi dari Islamic Parenting ...90

BAB IV: Analisis Data ...109

A. Analisis Bentuk Islamic Parenting di Islamic International School Pesantren Sabilul Muttaqin (IIS PSM) Magetan ...109

B. Perilaku anak yang menunjukkan kecerdasan emosional dan spiritual sebagai implikasi dari Islamic Parenting ...115

BAB V: PENUTUP ...123

A. Kesimpulan ...123

B. Saran ...125 DAFTAR PUSTAKA


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia meningkat seratus persen dari tahun-tahun sebelumnya.1 Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, angka korban pelecehan seksual terhadap anak semakin tinggi setiap tahun. Menurut Sekretaris KPAI, Rita Pranawati, dari tahun 2013 ke tahun 2014 meningkat 100 persen, baik itu mereka yang menjadi korban ataupun pelaku. Modus pelecehan seksual semakin beragam dan aneh. Hal-hal yang tidak terduga dapat terjadi. Selain kemajuan teknologi dan kurangnya pengetahuan orang tua dalam mengasuh dan mendidik anaknya, lingkungan pergaulan juga menjadi penyebabnya.2

Dari hasil penelitian KPAI, 70% orang tua belum mampu mengasuh anak mereka menggunakan metode yang cocok dengan zaman sekarang. Pola asuh yang dipakai oleh orang tua, hanya menyalin apa yang mereka dapat ketika kecil, tanpa mempelajari perubahan zaman. Faktor lainnya adalah kecenderungan orang tua mendidik anak hanya berorientasi pada pendidikan akademik, bukan pendidikan mental dan persoalan sosial yang dihadapi anaknya. Sebanyak 60% orangtua di Indonesia hanya menanyakan persoalan pendidikan akademik, seperti nilai, peringkat di kelas. Hanya 30% yang menanyakan persoalan sosial mereka,

1

Dirilis pada tanggal 15 Februari 2016 menyatakan bahwa terdapat 1.844 kasus kekerasan pada anak sejak pergantian tahun. DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan daerah dengan kasus terbanyak

2

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelecehan-seksual-pada-anak-meningkat-100/ diakses pada tanggal 13 Maret 2016


(11)

2

soal hobi, permasalahan dengan teman, status media sosial bahkan soal reproduksi.3

Keluarga sebagai suatu unit terkecil dalam masyarakat mempunyai nilai yang sangat tinggi dan secara nasional merupakan aset potensi untuk membangun bangsa. Kokohnya pondasi dalam mempertahankan suatu keluarga adalah adanya keberhasilan keluarga tersebut untuk selalu berupaya meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. Hal ini akan dapat dicapai apabila fungsi keluarga dapat dilaksanakan dengan baik oleh setiap keluarga secara serasi, selaras serta seimbang serta dibarengi dengan penuh rasa tanggung jawab.4

Anak merupakan amanah yang diberikan oleh Allah SWT untuk kedua orangtuanya. Secara kodrati, orangtua berkewajiban untuk membimbing, mengasuh dan mendidik anak-anaknya agar menjadi manusia yang berkualitas, baik dalam dimensi keagamaan, pendidikan maupun sosial. Dalam upaya menghasilkan generasi penerus yang berkualitas, diperlukan adanya usaha yang konsisten dari orang tua dalam melaksanakan tugas memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anak mereka secara lahir maupun batin sampai kelak anak tersebut menjadi orang dewasa dan menjadi manusia yang bertanggung jawab.

Mengasuh, membesarkan dan mendidik anak merupakan satu tugas mulia yang tidak lepas dari berbagai halangan dan tantangan. Telah banyak usaha yang dilakukan orangtua maupun pendidik untuk mencari dan membekali diri dengan

3

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelecehan-seksual-pada-anak-meningkat-100/ diakses pada tanggal 13 Maret 2016

4

Sardin Rabbaja, Majalah Bulanan, Nasehat Perkawinan dan Keluarga, (BP-4 Edisi September, 1994), hal. 2


(12)

3

pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan perkembangan anak. Lebih-lebih bila pada suatu saat dihadapkan pada masalah yang menimpa diri anak.5

Usia anak-anak (rentang umur 4-12 tahun) merupakan masa-masa keemasan bagi seorang manusia. Hal ini dikarenakan sistem pemahaman diri, pengelolaan emosi, dan interaksi sosial mulai dibentuk oleh lingkungannya. Asupan nilai utama orang tua maupun guru sebagai pengasuh adalah untuk pembentukan karakter pada anak. Karakter sangat berkaitan dengan kecerdasan emosi/Emotional Quotient (EQ) anak. Sesuai dengan tugas perkembangan usia anak, diantaranya adalah: membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh; belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya; serta mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat. Selain kecerdasan emosional, hal lain yang menunjang pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak adalah kecerdasan spiritual, yang juga dikenal sebagai Spriritual Quotient (SQ). Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang bertuhan. Oleh karena itu, ketaatan seorang anak pada agamanya merupakan pondasi awal terbentuknya kecerdasan spiritualnya.

Agama merupakan salah satu kebutuhan manusia. Manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious). Yamani mengemukakan tatkala Allah membekali insan itu dengan nikmat berpikir dan daya penulisan, diberikan pula rasa bingung dan bimbang untuk memahami dan belajar mengenai alam sekitarnya sebagai imbangan atas rasa takut terhadap kegarangan dan kebengisan

5

Singgih D Gunarsa. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. (Jakarta: Gunung Mulia, 2004) hal. 3


(13)

4

alam.6 Dalam ajaran agama Islam bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia selaku makhluk Tuhan yang dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang dibawa sejak lahir.

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan inti menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan lebih kaya; kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain. Kecerdasan spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi manusia.7

Sikap dan perilaku orang tua sangat berpengaruh dalam proses pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Pola asuh orangtua yang otoriter, demokratis dan acuh tentu akan menghasilkan karakter anak yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada tiga nilai yang selalu menjadi tujuan orang didalam hidup, yakni nilai kebenaran, nilai kebaikan dan nilai keindahan. Ketiga nilai diatas telah menarik banyak pihak dan banyak sudut pandang yang membahasnya. Para filosof masa lalu dan kini pun berbicara tentang ketiga nilai tersebut. Dalam bahasa lain, ketiga nilai tersebut dikenal dengan:8

- Nilai kebenaran = dengan nilai etika = nilai moral - Nilai kebaikan = nilai logika

6

Ahmad Thontowi. Hakikat Kecerdasan Spiritual. (Widyaiswara Madya Balai Diklat Keagamaan Palembang, 2012), hal. 2

7

Ahmad Thontowi. Hakikat Kecerdasan Spiritual. (Widyaiswara Madya Balai Diklat Keagamaan Palembang, 2012), hal. 2

8

Muhammad Muhyidin. ESQ-POWER FOR BETTER LIFE; Cara Islami Meningkatkan Mutu Hidup dengan manajemen ESQ Power (Emotional Spiritual Quotient) sejak masa kanak sampai dewasa. (Jogjakarta: Tunas Publishing, 2006), hal. 114


(14)

5

- Nilai keindahan = nilai estetika

Kecerdasan intelektual adalah persoalan logika. Kecerdasan emosional adalah nilai etika. Dan kecerdasan spiritual merupakan nilai estetika (puncak estetika; Keindahan Ilahi). Oleh karena itu setiap manusia tentu mengharapkan menjadi orang yang benar, orang yang baik, orang yang bagus. Dengan kata lain, setiap manusia mengharapkan diri menjadi orang yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

Bagi seorang anak, kecerdasan emosional dan spiritual yang dimilikinya dapat mendorong dirinya untuk melakukan segala sesuatu atas keinginannya sendiri. Ia mengerjakan sesuatu, lebih banyak bukan atas desakan orang lain (meskipun hal itu orang tuanya sendiri), melainkan atas kenikmatan dan kesenangan yang niscaya ia peroleh ketika melakukannya. Bahkan ketika seorang anak berbuat nakal atau berbuat jahat, sesungguhnya kenakalan dan kejahatan merupakan proses dari tujuan untuk berbuat baik itu sendiri. Artinya, ia sendiri tidak menginginkan dirinya menjadi nakal dan jahat, hanya saja ia tidak tahu bagaimana menghindari kenakalan dan kejahatan tersebut untuk mencapai kebaikan.9 Oleh karena itu, kualitas kecerdasan emosional dan spriritual anak sangat tergantung pada pola asuh/tindakan orang tua dalam mengasuh, memelihara dan mendidiknya.

Dalam proses tumbuh kembang seorang anak, aspek lingkungan dan teman menjadi faktor utama proses imitasi seorang anak. Anak cenderung untuk melakukan eksperimen dalam bertingkah laku, berkomunikasi, dan bersikap

9

Muhammad Muhyidin. ESQ-POWER FOR BETTER LIFE; Cara Islami Meningkatkan Mutu Hidup dengan manajemen ESQ Power (Emotional Spiritual Quotient) sejak masa kanak sampai dewasa. (Jogjakarta: Tunas Publishing, 2006), hal. 106


(15)

6

mencontoh apa yang dilakukan oleh idolanya, dapat berupa seorang teman ataupun guru. Seorang anak mulai mempercayai apa yang dikatakan oleh seorang teman dan lingkungannya. Anak mulai mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan dimana ia sekolah bersama dengan teman-temannya.

Untuk memastikan jalur perkembangan anak berada di dalam hal yang positif, diperlukanlah lembaga sekolah yang berkualitas dan mampu mengontrol arah perkembangan seorang anak. Hal ini dikarenakan lembaga sebagai pranata sosial yang merepresentasikan tugas orangtua dalam hal mendidik, membimbing dan mengasuh seorang anak. Tentu menjadi harapan setiap orang tua agar anaknya menjadi orang yang baik dan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya.

Menurut hemat peneliti, salah satu lembaga unggulan yang wajib diperhitungkan pada era modern ini adalah lembaga Islamic International School Pesantren Sabilul Muttaqin (IIS PSM) Magetan. Lembaga ini diprakarsai oleh Dahlan Iskan (mantan menteri BUMN) yang berafiliasi dengan Madrasah Al-Irsyad al-Islamiah Singapore dan juga Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Pesantren Sabilul Muttaqin (PSM) Takeran Magetan. Lembaga ini didirikan tidak lain karena cita-cita pemrakarsa untuk menciptakan generasi bangsa Indonesia yang berwawasan global dan berakhlak Islami, hingga pada suatu saat nanti para generasi bangsa tidak terpuruk oleh perubahan zaman.

Islamic International School Pesantren Sabilul Muttaqin (IIS PSM) Magetan adalah sebuah lembaga sekolah Islam di kota Magetan, Jawa Timur, yang memiliki motto “our student are our children”, yang jika diterjemahkan ke


(16)

7

dalam bahasa Indonesia memiliki arti “siswa/anak didik kita adalah anak kita sendiri”. Karena terbatasnya peran orang tua kandung terhadap anaknya dilingkungan lembaga, serta untuk memenuhi tugas tumbuh kembang seorang anak, seorang pendidik disini berperan sebagai fasilitator pengembangan diri, emosi dan spiritual anak. Sebagaimana yang telah diutarakan oleh Puji Santoso selaku direktur utama lembaga IIS PSM Magetan.

“Motto kita adalah Our Student are Our Own Children, bagaimana sekolah maupun guru itu memberikan pendidikan kepada anak-anak, dengan memposisikan sebagai orangtua. Guru disini sebagai orangtua kedua untuk anak, bukan berarti bahwa semua tanggung jawab orangtua diambil alih oleh para guru. Orangtua tidak hanya mengajar, akan tetapi juga mendidik karakter anak, seperti karakter agamis, sosial dan lain sebagainya, yang ketika seorang guru memposisikan dirinya sebagai orangtua, tentu akan all out dan menganggap bahwa semua yang menjadi kebutuhan anak itu tanggung jawab guru. Guru juga menjadi mediator, fasililator bahkan menjadi teman anak ketika anak sedang menghadapi permasalahan.”10

“Prioritas sekolah ada tiga yang menjadi tujuan pendidikan: anak-anak akan mendapatkan 3 hal: Nasional (cakap dibidang/kurikulum nasional/UN), Agama (akhlak, skill misalnya tahfidz dan akhlak),

10

Wawancara dengan mr Puji Santoso, selaku direktur utama IIS PSM pada tanggal 25 Mei 2016


(17)

8

International (kurikulum international utk subjek-subjek international fully berbahasa Inggris).”11

“Alhamdulillah anak saya sudah terbiasa untuk membaca al-Qur’an tanpa disuruh, bangun tidur untuk melaksanakan shalat subuh tanpa disuruh lagi, bahkan terkadang ia membangunkan kami apabila ia telah bangun terlebih

dahulu”12

Peneliti mengamati fenomena bersalaman dan saling menyapa antara siswa dan guru sebagai fenomena yang langka terjadi di sekolah-sekolah pada umumnya non-pesantren. Fenomena ini menggambarkan kedekatan guru dan murid layaknya kedekatan orang tua dengan anak kandungnya sendiri. Peneliti mendapati fenomena ini di pagi hari ketika para siswa datang dari rumahnya masing-masing. Sesampainya di sekolah, para guru piket yang sedang bertugas, menyambut kedatangan siswa sambil berjabat tangan seraya menyapa menggunakan bahasa Inggris, Indonesia, Jawa, serta bahasa Arab. “Assalamualaikum, good morning, how are you today”, “Assalamualaikum sugeng wilujeng”, “Assalamualaikum ya akhiy ya ukhtiy, kaifa halukum”.

Peneliti juga mengamati fenomena siswa mendahulukan dirinya untuk menjabat tangan gurunya ketika bertemu dimanapun berada seraya menyapa atau mengobrol sementara. Sebagaimana yang terjadi pada tanggal 24 Mei 2016 di depan front desk mading, beberapa siswi bersalaman dan mengobrol dengan Ms Nurul selaku staf Konselor di lembaga IIS PSM Magetan.

11

Wawancara dengan mr Puji Santoso, selaku direktur utama IIS PSM pada tanggal 25 Mei 2016

12

Komentar salah seorang wali siswa Primary ketika sedang berwawancara dengan Mr Muham pada tanggal 19 Juli 2016


(18)

9

Dari beberapa fenomena yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pola asuh anak di Islamic International School

Pesantren Sabilul Muttaqin (IIS PSM) Magetan. Penulis ingin meneliti

bagaimana peran pendidik/pengasuh selaku orangtua kedua dari para anak didiknya dalam upaya pembentukan dan pengembangan kecerdasan emosi dan spiritual anak.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah bentuk Islamic Parenting dalam biah Islamiah di Islamic

International School Pesantren Sabilul Muttaqin (IIS PSM) Magetan?

2. Bagaimanakah perilaku anak yang menunjukkan kecerdasan emosional dan spiritual sebagai implikasi dari program IslamicParenting?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bentuk Islamic Parenting dalam biah Islamiah di

Islamic International School Pesantren Sabilul Muttaqin (IIS PSM)

Magetan

2. Untuk mengetahui perilaku anak yang menunjukkan kecerdasan emosional dan spiritual sebagai implikasi dari Islamic Parenting

D. Batasan Masalah Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan penelitian tentang

Islamic Parenting di Islamic International School Pesantren Sabilul Muttaqin


(19)

10

spiritual terhadap anak jenjang pendidikan primary (setingkat dengan pendidikan Sekolah Dasar) dalam rentang usia 4-12 tahun.

E. Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis, diantaranya sebagai berikut:

1. Manfaat teoritik

a. Memberikan sumbangan pemikiran dan referensi bagi peneliti lain yang ingin menelaah produk Islamic Parenting maupun Kecerdasan Emosional dan Spiritual bagi anak dalam ruang lingkup lembaga pendidikan lebih lanjut.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar acuan bagi pengembangan pola Islamic Parenting di lembaga-lembaga pendidikan lainnya, khususnya bagi lembaga pendidikan Islamic International

School Pesantren Sabilul Muttaqin (IIS PSM) Magetan.

2. Manfaat praktis

Menambah khazanah kelimuan bagi para pendidik khususnya dalam upaya memberikan pola asuh terbaik kepada anak didiknya di dalam sebuah lembaga pendidikan, dalam upaya membentuk dan mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual anak didik


(20)

11

F. Definisi Konsep (Operational Konsep)

1. Islamic Parenting

Secara bahasa, Parenting berasal dari kata bahasa Inggris Parent yang berarti orangtua.13 Sedangkan dalam kamus Oxford, Parenting adalah the process of caring for your child or children, yang dapat diartikan sebagai suatu proses perawatan/pengasuhan anak-anak.14

Martin Davies menjelaskan bahwa parenting is the process of promoting and supporting the physical, emotional, social and intellectual

development of a child from infacy to adulthood,15 yang dapat diartikan

sebagai suatu proses menaikkan/mempromosikan dan memberikan support perkembangan fisik, emosional, sosial dan intelektual anak dari masa infacy/bayi hingga dewasa.

Dalam buku Quantum Parenting, Takdir Ilaihi memaknai Parenting sebagai berikut:

“sebuah proses memanfaatkan keterampilan mengasuh anak yang dilandasi oleh aturan aturan yang agung dan mulia. Pola asuh merupakan bagian dari proses pemeliharaan anak dengan

13

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2005), hal. 418

14

AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (New York: Oxford University Press, 2010) hal. 1067

15

Martin Davies, “Parenting” dalam Muhammad Ali Muttaqin, “Parenting Sebagai Pilar

Utama Pendidikan Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam” (Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang, 2015), hal. 28


(21)

12

menggunakan teknik dan metode yang menitikberatkan pada kasih sayang dan ketulusan cinta yang mendalam dari orang tua.”16

Pola asuh orang tua dalam keluarga berarti kebiasaan orang tua, ayah dan atau ibu dalam memimpin, mengasuh dan membimbing anak dalam keluarga. Mengasuh dalam arti menjaga dengan cara merawat, mengasihi serta mendidiknya. Membimbing dengan cara membantu, melatih dan lain sebagainya.

Pola asuh merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dan anak dalam berinteraksi berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Dalam kegiatan memberikan pengasuhan ini, orang tua akan memberikan pengertian, peraturan, disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap keinginan anaknya. Sikap, perilaku dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar akan diresapi, kemudian menjadi kebiasaan bagi anak-anaknya.17

Menurut Kamal Hasan, Islamic Parenting adalah suatu proses seumur hidup untuk mempersiapkan seseorang agar dapat mengaktualisasikan perannya sebagai khalifatullah di muka bumi. Dengan kesiapan tersebut, diharapkan dapat memberikan sumbangan sepenuhnya terhadap rekonstruksi dan pembangunan masyarakat dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Seperti halnya dengan Muhammad Natsir,

16

Mohammad Takdir Ilahi, Quantum Parenting, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hal. 133

17

Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga, Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak, (Jakarta : Rineka Cipta, 2014), Hal. 50-52


(22)

13

menurutnya Islamic Parenting adalah pengasuhan yang berpusat pada konsep tauhid, artinya konsep tauhid harus dijadikan sebagai dasar pembinaan dalam masyarakat. Dalam perspektif agama Islam, mengasuh anak bukan hanya persoalan memberikan kebutuhan yang bersifat ragawi saja, lebih dari itu orang tua juga harus mengajarkan nilai-nilai Islami kepada anak-anaknya.18

Sedangkan yang dimaksud peneliti tentang Islamic Parenting adalah bagaimana pola kepengasuhan terhadap anak di Islamic International Pesantren Sabilul Muttaqin (IIS PSM) Magetan melalui program-program strategis dalam usaha untuk membentuk kultur Islami (biah Islamiah).

2. Kecerdasan Emosional dan Spiritual (Emotional & Spiritual Quotient/ESQ)

Kecerdasan emosional diungkapkan pertama kali oleh Psikolog Peter Salovy dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk mengungkapkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan hidup. Kualitas ini antara lain: empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan

18

Laelatul Fajriyah, “Studi tentang Islamic Parenting”dalam Istianatut Taqiyya, “Islamic Parenting (pola asuh islami) di panti asuhan Santiwit School di daerah Chana, Songkhla,

Thailand Selatan” (Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016) Hal. 10


(23)

14

menyelesaikan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat.19

Lawrence E. Shapiro menyatakan bahwa kecerdasan emosional sebagai bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi untuk membimbing pikiran dan tindakan.20

Menurut Zohar dan Marshall kecerdasan spiritual adalah sebagai berikut:

“Kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai; kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya; serta kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan orang lain.”21

Zohar dan Marshall mengungkapkan bawah kecerdasan spiritual terdiri dari dimensi-dimensi sebagai berikut: (a). Kemampuan bersikap fleksibel, yaitu dapat menempatkan diri dan menerima pendapat orang lain secara terbuka; (b). Tingkat kesadaran tinggi, seperti kemampuan

autocritism dan mengerti tujuan serta visi hidupnya; (c). Kemampuan

19

Nur Hayati “Menstimulasi Kecerdasan Emosional Anak Sejak Usia Dini” PSIKOLogia 1 (Juni 2005), hal. 2-3

20

Nur Hayati “Menstimulasi Kecerdasan Emosional Anak Sejak Usia Dini” PSIKOLogia 1 (Juni 2005),hal. 2-3

21

Ekawanti Rante Liling, Firmanto Adi Nurcahyo, Karin Lucia Tanojo, "Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual dengan Prokrastinasi pada Mahasiswa Tingkat Akhir", Humanitas, 2 (Agustus 2013), hal. 62


(24)

15

untuk menghadapi dan memanfaatkan hal-hal yang menyulitkan yang ditandai dengan tidak adanya penyesalan, tetap tersenyum, dan bersikap tenang; (d). Kemampuan menghadapi dan menyembuhkan rasa sakit yang ditandai dengan munculnya sikap ikhlas dan pemaaf; (e). Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai seperti prinsip dan pegangan hidup dan berpijak pada kebenaran; (f). Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu, misalnya menunda pekerjaan dan cenderung berpikir sebelum bertindak; (g). Kecenderungan melihat keterkaitan antara berbagai hal atau memiliki pandangan yang holistik, yakni mampu untuk berpikir secara logis dan berlaku sesuai dengan norma sosial; (h).

Kecenderungan untuk menanyakan “mengapa” atau “bagaimana” jika

akan mencari jawaban-jawaban yang mendasar dan memiliki kemampuan untuk berimajinasi, serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi; (i). Mudah untuk melawan konvensi (adat dan kebiasaan sosial), seperti mau memberi dan tidak mau menerima.22

Sedangkan menurut peneliti, kecerdasan emosional dan spiritual yang dimaksud disini adalah suatu kemampuan anak dalam memahami perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat mengontrol diri sendiri dalam menjaga Islamic value, berempati kepada teman yang sakit, membantu teman yang mengalami kesulitan dalam belajar serta menundukkan badan ketika berpapasan dengan orang yang lebih dewasa.

22

Ekawanti Rante Liling, Firmanto Adi Nurcahyo, Karin Lucia Tanojo, "Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual dengan Prokrastinasi pada Mahasiswa Tingkat Akhir", Humanitas, 2 (Agustus 2013), hal. 62


(25)

16

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif; penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun peristilahannya.23 Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif; data-data yang dikumpulkan bersumber dari observasi, wawancara, dokumentasi.24

2. Sasaran dan Lokasi Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah para tenaga pendidik/pengasuh sekaligus anak didik/asuh di Islamic International School Pesantren

Sabilul Muttaqin (IIS PSM) Magetan.

Adapun lokasi penelitian ini bertempat di lembaga Islamic

International School Pesantren Sabilu Muttaqin (IIS PSM) Magetan yang

beralamatkan di Jl. Monginsidi No. 52 Kecamatan Magetan, Jawa Timur.

3. Tahapan-Tahapan Penelitian

Lexy J. Moleong mengemukakan bahwa pelaksanaan penelitian ada empat tahap yaitu pra lapangan, lapangan, analisis data, dan penulisan laporan.25.

23

Lexy J Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 4

24

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. (Bandung: Alfabeta, 2012), hal. 225

25

Lexy J Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal.109


(26)

17

a. Pra Lapangan

Pada tahap pra-lapangan, peneliti menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, melakukan observasi, mengurus perizinan, serta menyiapkan perlengkapan penelitian.

b. Lapangan

Saat berada di lapangan, peneliti melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya tentang Islamic Parenting yang telah tergagas dalam program-program biah Islamiah dalam lingkungan lembaga. Selanjutnya peneliti melakukan analisis tentang ragam kegiatan Islamic Parenting yang dapat membentuk kecerdasan emosi dan spiritual anak didik.

c. Analisis

Selanjutnya adalah menganalisis data dari hasil pengumpulan data. Hal ini merupakan tahapan yang penting dalam penyelesaian suatu kegiatan penelitian ilmiah. Oleh karena itu, analisis data ini untuk memberi arti, makna, dan nilai yang terkandung dalam data. Adapun tujuan utama dari analisis data ini ialah untuk meringkaskan data dalam bentuk yang mudah dipahami dan mudah ditafsirkan sehingga hubungan antar problem penelitian dapat dipelajari dan diuji26.

26


(27)

18

4. Jenis dan Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diambil dari sumber data primer atau sumber pertama di lapangan.27 Peneliti menemukan sepuluh kegiatan Islamic Parenting yang mencakup pembentukan Biah

Islamiah di Islamic International School Pesantren Sabilul

Muttaqin (IIS PSM) Magetan melalui kegiatan obervasi,

dokumentasi dan wawancara kepada para tenaga pendidik lembaga.

b. Data Sekunder

Peneliti memperkuat data primer diatas dengan data sekunder yang dapat diperoleh dari dokumentasi review akhir dari Alqis

action plan 2015-2016 program-program yang termasuk dalam

kategori bi’ah Islamiah.

5. Teknik Pengumpulan Data

Peneliti mengumpulkan data dengan melibatkan empat jenis strategi yaitu observasi, wawancara, dokumentasi.

a. Observasi

Metode observasi sebagai alat pengumpul data adalah kegiatan pengamatan (secara indrawi) yang direncanakan, sistematis, dan hasilnya dicatat serat dimaknai (diinterpretasikan) dalam rangka memperoleh pemahaman tentang subjek yang diamati.

27

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hal 128.


(28)

19

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi langsung, dimana pengamatan dilakukan secara langsung pada aktivitas-aktivitas/kegiatan dalam bi’ah Islamiah sebagaimana yang telah diketemukan di awal.

b. Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai.28 Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai direktur utama lembaga Islamic International School Pesantren Sabilul Muttaqin (IIS PSM) Magetan, kepala departemen Alqis selaku pemegang utama pembentukan bi’ah Islamiah), serta konselor lembaga bersangkutan

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian.29 Dokumentasi menggunakan dokumen-dokumen sebagai sumber data.30 Dokumen tersebut bisa berupa buku raport, buku profil, surat-surat, dan lain semacamnya.

28

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hal 133.

29

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008), hal. 70

30

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 195


(29)

20

Dalam penelitian ini, penetiti mengkaji review departemen Alqis Action Plan periode 2015-2016 sebagai bahan acuan untuk menguatkan data wawancara dan observasi. Selain itu foto kegiatan juga dijadikan sebagai acuan untuk memperkuat data.

6. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, peneliti akan menggunakan model Miles dan Huberman, dimana analisis data dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas. Adapun aktivitasnya dibagi menjadi tiga tahap yaitu data reduction, data display dan

conclusion drawing/verification31.

a. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.

Peneliti mengkaji kegiatan-kegiatan Islamic Parenting di lembaga IIS PSM Magetan, kemudian mengklasifikasikannya sesuai dengan kecerdasan emosional dan spiritual anak yang dibentuk. b. Penyajian Data

Setelah data direduksi, langkah selanjutnya ialah menyajikannya. Penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya. Adapun yang paling

31

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. (Bandung: Alfabeta, 2012), hal. 246-253


(30)

21

sering digunakan adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplay data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja sebelumnya berdasarkan apa yang telah dipahami.

c. Penarikan Kesimpulan

Langkah selanjutnya ialah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, mungkin juga tidak karena seperti dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada pada lapangan. Disini peneliti menarik kesimpulan tentang program-program Islamic

Parenting yang dapat membentuk kecerdasan emosional dan

spiritual menggunakan tabel setelah sebelumnya dikategorikan terlebih dahulu.

7. Teknik Keabsahan Data

Teknik yang akan digunakan peneliti dalam keabsahan data adalah sebagai berikut32:

a. Perpanjangan Keikutsertaan

Dalam penelitian kualitatif, keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data dan tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat tetapi memerlukan

32

Lexy J Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 176


(31)

22

perpanjangan keikutsertaan. Peneliti membutuhkan setidaknya tiga bulan (mulai dari bulan Mei-Juli 2016) untuk menguatkan keabsahan data yang diteliti.

b. Ketekunan Pengamatan

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengamati dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan. Dengan meningkatkan ketekunan, maka peneliti dapat melakukan pengecekan kembali apakah data yang telah ditemukan itu benar atau tidak dan peneliti dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang apa yang diamati.

c. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.

Peneliti terus mengkaji ulang hasil observasi dan wawancara yang disinkronkan dengan review action plan departemen Alqis periode 2015-2016 sebagai upaya untuk pemeriksaan keabsahan data yang telah diteliti.


(32)

23

H. Sistematika Pembahasan

Dalam penelitian ini agar menjadi bahan kajian yang mudah maka peneliti menyusun sistematika pembahasannya sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang terdiri dari a) Pendekatan dan jenis penelitian; b). Sasaran dan lokasi penelitian; c) Jenis dan sumber data; d) Tahap-tahap penelitian; e) Teknik pengumpulan data; f) Teknik analisis data; g). Teknik keabsahan data; h). Sistematika pembahasan

BAB II: KAJIAN PUSTAKA

Merupakan kajian teoritik yang membahas tentang teori yang digunakan untuk menganalisis masalah yang peneliti angkat. Kajian teoritik ini berfungsi sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Bagian pertama meliputi konsep teori perkembangan anak usia dini (4-12 tahun), Islamic Parenting, serta kajian kecerdasan emosional dan spiritual (ESQ) untuk anak usia dini. Bagian kedua meliputi penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini.

BAB III: PENYAJIAN DATA

Menguraikan dan mendeskripsikan objek penelitian dan menyajikan serta mendeskripsikan hasil penelitian yang telah dilakukan berdasarkan hasil pengamatan peneliti.


(33)

24

BAB IV: ANALISIS DATA

Analisis pemaparan data berdasarkan hasil penelitian, yang hasilnya dapat berupa klasifikasi, kategori, maupun tipologi.

BAB V: PENUTUP

Bagian pertama menyajikan tentang konklusi hasi penelitian yang telah dilakukan.. Bagian kedua memberikan masukan-masukan dan saran yang dapat berupa rekomendasi.


(34)

25

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Konseptual Teoritis

1. Praktek Kepengasuhan Anak (Parenting)

a. Hakikat Kepengasuhan Anak (Parenting)

Secara bahasa, Parenting berasal dari kata bahasa Inggris Parent yang berarti orangtua.33 Sedangkan dalam kamus Oxford, Parenting adalah the process of caring for your child or children34 yang dapat diartikan sebagai suatu proses perawatan/pengasuhan anak-anak.

Praktek kepengasuhan anak merupakan sikap, perilaku dan kebiasaan orang tua dalam membimbing, mendidik dan mengasuh anak yang dilakukan secara kontinue dan konsisten seiring dengan proses perkembangan anak. Praktek kepengasuhan anak ini dilakukan melalui ragam interaksi dan komunikasi. Interaksi dan komunikasi merupakan hubungan timbal balik antara kedua orang tua dengan anak. Melalui proses interaksi dan komunikasi inilah sang anak berusaha untuk mengidentifikasi perilaku kedua orang tuanya yang kemudian diwujudkan dalam perilakunya sehari-hari.

Mengasuh, membesarkan dan mendidik anak merupakan suatu tugas mulia yang tidak lepas dari berbagai halangan dan tantangan. Telah banyak usaha yang dilakukan orang tua maupun pendidik untuk

33

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 418

34

AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (New York: Oxford University Press, 2010) hal. 1067


(35)

26

mencari dan membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan perkembangan anak. Lebih-lebih bila pada suatu saat dihadapkan pada masalah yang menimpa diri anak.35

Pengasuhan merupakan tanggung jawab utama orang tua, sehingga sangat disayangkan apabila masih ada orang tua yang menjalani peran sebagai orang tua tanpa kesadaran pengasuhan. Menjadi orang tua secara alamiah, sebagai konsekuensi diri dari menikah dan kelahiran anak. setelah menikah sebagian besar pasangan suami istri menginginkan kehadiran anak untuk menyempurnakan perkawinan serta melahirkan harapan akan semakin sempurnanya kebahagiaan perkawinan tersebut seiring pertumbuhan dan perkembangan anak.36

b. Model Kepengasuhan Anak

Gaya pengasuhan merupakan serangkaian sikap yang ditunjukkan oleh orang tua kepada anak untuk menciptakan iklim emosi yang melingkupi interaksi orang tua-anak. Gaya pengasuhan berbeda dengan perilaku pengasuhan yang dicirikan oleh tindakan spesifik dan tujuan tertentu dari sosialiasi. Pengasuhan anak dipercaya memiliki dampak terhadap perkembangan individu. Dalam memahami dampak pengasuhan orang tua terhadap perkembangan anak pada mulanya terdapat dua aliran yang dominan, yaitu

35

Singgih D Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), hal. 3

36

Sri Lestari, Psikologi Keluarga; Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 37


(36)

27

psikoanalitik dan belajar sosial (social learning). Pada perkembangan yang lebih kontemporer kajian pengasuhan anak terpolarisasi dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan tipologi atau gaya pengasuhan

(parenting style) dan pendekatan interaksi sosial (social interaction)

atau parent-child system.37

Pendekatan tipologi memahami bahwa terdapat dua dimensi dalam pelaksanaan tugas pengasuhan, yaitu demandingness dan

responsiveness. Demandingness merupakan dimensi yang berkaitan

dengan tuntutan-tuntutan orang tua mengenai keinginan menjadikan anak sebagai bagian dari keluarga, harapan tentang perilaku dewasa, disiplin, penyediaan supervisi dan upaya menghadapi masalah perilaku. Faktor ini terwujud dalam tindakan kontrol dan regulasi yang dilakukan oleh orang tua. Responsiveness merupakan dimensi yang berkaitan dengan ketanggapan orang tua dalam hal membimbing kepribadian anak, membentuk ketegasan sikap, pengaturan diri, dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus. Faktor ini terwujud dalam tindakan penerimaan, suportif, sensitif terhadap kebutuhan, pemberian afeksi dan penghargaan.

Pendekatan tipologi ini dipelopori oleh Diana Baumrind (1971) yang mengajukan empat gaya pengasuhan sebagai kombinasi dari dua faktor tersebut, yaitu pola asuh otoriter (authoritarian parenting), pola asuh otoritatif (authoritative parenting) atau demokratis, pola asuh

37

Sri Lestari, Psikologi Keluarga; Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 48


(37)

28

yang membiarkan (permissive indulgent), dan pola asuh yang mengabaikan (permissive indifferent).38

1) Pola asuh otoriter (authoritarian parenting)

Gaya pengasuhan yang otoriter dilakukan oleh orang tua yang selalu berusaha membentuk, mengontrol, mengevaluasi perilaku dan tindakan anak agar sesuai dengan aturan standar. Aturan tersebut biasanya bersifat mutlak yang dimotivasi oleh semangat teologis dan diberlakukan dengan otoritas yang tinggi. Kepatuhan anak merupakan nilai yang diutamakan, dengan memberlakukan hukuman manakala terjadi pelanggaran. Orang tua menganggap bahwa anak merupakan tanggung jawabnya, sehingga segala yang dikehendaki orang tua yang diyakini demi kebaikan anak merupakan kebenaran. Anak-anak kurang mendapat penjelasan yang rasional dan memadai atas segala aturan, kurang dihargai pendapatnya, dan orang tua kurang sensitif terhadap kebutuhan dan persepsi anak.39

Tipe pola asuh otoriter berarti orang tua bertindak sebagai

komandan pasukan, sehingga menghasilkan kata “iya” dari

anak dalam waktu singkat dan mudah sekali menerapkannya.40

38

Christiana Hari Soetjiningsih, Seri Psikologi Perkembangan; Perkembangan Anak Sejak Pembuahan Sampai dengan Kanak-Kanak Akhir (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 216

39

Sri Lestari, Psikologi Keluarga; Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 49

40

Elia Daryati & Anna Farida, Parenting With Heart Menumbuhkan Anak dengan Hati


(38)

29

2) Pola Asuh Otoritatif (authoritative parenting)

Gaya pengasuhan ini mendorong anak untuk mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan anak. jadi orang tua masih melakukan kontrol pada anak tetapi tidak terlalu ketat. Umumnya orang tua bersikap tegas tetapi mau memberikan penjelasan mengenai aturan yang ditetapkan dan mau bermusyawarah atau berdiskusi. Pada pola asuh otoritatif, orang tua memberikan ruang ekspresi bagi anak-anak. Akan tetapi, ketika orang tua tidak sabar menanti inisiatif positif dari anak akhirnya memutuskan otoriter juga. Pola asuh otoritatif memastikan adanya pendampingan, apresiasi dan peneguhan.41

3) Pola asuh yang membiarkan (permissive indulgent)

Merupakan gaya pengasuhan yang mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak tetapi menetapkan sedikit batas, tidak terlalu menuntut, dan tidak mengontrol mereka. Orang tua membiarkan anak melakukan apa saja yang mereka inginkan sehingga anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu mengharapkan kemauannya dituruti. Orang tua membiarkan anak melakukan apapun yang mereka inginkan, dan memfasilitasinya (menuruti semua

41

Elia Daryati & Anna Farida, Parenting With Heart Menumbuhkan Anak dengan Hati,


(39)

30

kemauan anak). Pola asuh ini membiarkan anak memilih semuanya tanpa seleksi.42

4) Pola asuh yang mengabaikan/menelantarkan (permissive indifferent)

Pada pola asuh ini, orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak yang orang tuanya

permissive-indifferent mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain

kehidupan orang tua lebih penting daripada diri mereka sendiri. Tipe pola asuh ini menggambarkan bahwa anak hanya berfungsi sebagai kelengkapan status. Asal disebut punya anak tanpa ada fungsi keayah bundaan di dalam keluarga. Orang tua tidak peduli sama sekali terhadap anak.43

Eleanor Maccoby dan John Martin (1983) menambahkan bentuk pola asuh lainnya, yaitu neglectful atau involved. Pada pola asuh ini, orang tua lebih fokus pada kebutuhan-kebutuhannya sendiri dibandingkan pada kebutuhan anak-anaknya. Neglectful parenting ini berkaitan dengan munculnya gangguan perilaku pada perkembangan saat anak dan remaja.44

42

Elia Daryati & Anna Farida, Parenting With Heart Menumbuhkan Anak dengan Hati

(Bandung : Kaifa, 2014), hal. 44 43

Elia Daryati & Anna Farida, Parenting With Heart Menumbuhkan Anak dengan Hati

(Bandung : Kaifa, 2014), hal. 44 44

Christiana Hari Soetjiningsih, Seri Psikologi Perkembangan; Perkembangan Anak Sejak Pembuahan Sampai dengan Kanak-Kanak Akhir (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 218


(40)

31

c. Model Kepengasuhan Anak Islami (Islamic Parenting)

Menurut Kamal Hasan, Islamic Parenting adalah suatu proses seumur hidup untuk mempersiapkan seseorang agar dapat mengaktualisasikan perannya sebagai khalifatullah di muka bumi. Dengan kesiapan tersebut, diharapkan dapat memberikan sumbangan sepenuhnya terhadap rekonstruksi dan pembangunan masyarakat dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Seperti halnya dengan Muhammad Natsir, menurutnya Islamic Parenting adalah pengasuhan yang berpusat pada konsep tauhid. Artinya konsep tauhid harus dijadikan dasar pembinaan dalam masyarakat. Dalam perspektif agama Islam, mengasuh anak bukan hanya persoalan memberikan kebutuhan yang bersifat ragawi saja, lebih dari itu orang tua juga harus mengajarkan nilai-nilai Islami kepada anak-anaknya.45

Filosofi model kepengasuhan Islami (Islamic Parenting) tentu mengacu kepada sumber ajaran agama Islam. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an.









































































45

Laelatul Fajriyah, “Studi tentang Islamic Parenting” dalam Istianatut Taqiyya, “Islamic Parenting (pola asuh islami) di Panti Asuhan Santiwit School di daerah Chana, Songkhla,

Thailand Selatan” (Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), hal. 10


(41)

32

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu

dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS.

Al-Tahrim:6)”

Menurut Syekh Khalid bin Abdurrahman Al-‘Akk ada beberapa aspek sasaran utama Islamic parenting untuk anak pada masa kanak-kanak awal hingga akhir (4-12 tahun), antara lain sebagai berikut: (1) dasar-dasar agama dan ibadah; (2) adab dan etika; (3) moral-sosial dan kasih sayang; (4) akhlak mahmudah; (5) tarbiyyah dan ta’lim46.

1) Dasar-dasar agama dan ibadah

Tidak diragukan lagi bahwa penanaman dasar-dasar akidah yang bersih sejak kecil merupakan persoalan yang sangat penting dalam manhaj tarbiyah Islam. Allah telah menganugerahkan dua kelebihan kepada manusia sebagai sumber kebahagiaan.

Pertama, bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan

yang suci sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang yahudikannya, me-nasrani-kannya, atau me-majusikannya”.

46

Syekh Khalid bin Abdurrahman Al-‘Akk, Cara Islam Mendidik Anak, terjemahan oleh Muhammad Halabi Hamdi (Jogjakarta: Ad-Dawa’, 2006), hal. 22-23


(42)

33

Kedua, bahwasanya Allah Ta’ala memberikan hidayah

kepada semua manusia dengan apa yang Dia ciptakan pada mereka dengan fitrah: berupa pengetahuan dan sebab-sebab ilmu, kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka, dan rasul-rasul yang diutus kepada mereka.

Adapun kewajiban orang tua dan tenaga pendidik di lembaga-lembaga sekolah terhadap anak dalam upaya peletakkan dasar agama dan ibadah antara lain: (a) dasar-dasar keimanan; (b) dasar-dasar-dasar-dasar beribadah dalam agama Islam; serta (c) menjaga ibadah anak dengan pengarahan yang sederhana.

2) Adab dan etika

باتك( نيحلاصلا ضاير باتك يف ها محر يوو لا فلؤملا لاق

قاخأا :بدأا ) يلع ثحلاو لضفو ءايحلا باب( )بدأا

ةريثك عاونأ لو ،ناسنإا اهب بدأتي يتلا

47

Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhu al Shalihin mengatakan bahwa adab adalah akhlak yang membuat manusia itu terdidik.

Adapun kewajiban orang tua dan tenaga pendidik dalam upaya mengajarkan adab dan etika pada anak antara lain: (a) mendidik anak dengan mengkritik tanpa memukul; (b) prinsip

47


(43)

34

memberi hadiah dan hukuman kepada anak; (c) berbiacara kepada anak sesuai dengan kadar akal mereka; serta (d) mendidik anak-anak agar bekerja sama dalam memikul tanggung jawab.

3) Moral Sosial dan Kasih Sayang

Fokus orang tua dalam mengajarkan moral-sosial dan kasih sayang antara lain: (a) pendidikan moral untuk anak atas petunjuk sunnah nabi; (b) pendidikan sosial untuk anak menurut sunnah; (c) menghadapi anak dengan penuh kasih sayang; serta (d) persamaan terhadap anak.

تاماعملا يف ةعيرشلا موزل

طسوتلا ءايشأا ذ نم دحاو لك يف مسرت يتلا ي ةعيرشلاو

نواعتلاب اإ شيع مهل متي او عيطلاب نويندم م سا لا نأ لادتعإاو

مهضعب يطعيو ضعب نم مهضعب ذخأيو اضعب مدخي مهضعب نأ بجيف

.ةبسا ملا ةأفاكملا نوبلطي مهف اضعب

48

“... karena setiap manusia itu selalu dekat dengan ketaatan,

tidak cukup bagi mereka sebuah kehidupan tanpa tolong menolong. Maka sebagian dari mereka hendaklah membantu sebagian yang lain, dan sebagian yang lain (yang dibantu) hendaklah memberikan upah secara proporsional”

4) Akhlak Mahmudah

Ibnu Miskawih berpendapat bahwa:

اهل ةيعاد سف لل لاح قلخلا

ةيور او ةيور او ركف ريغ نم اهلاعفأ ىلإ

48


(44)

35

“akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan

tanpa pertimbangan pikiran terlebih dahulu.49

Al Khuluq (bentuk mufrad/tunggal dari kata akhlaq) berarti

perangai atau kelakuan, yakni sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama, gambaran batin seseorang. Karena pada dasarnya manusia itu mempunyia dua gambaran:50

a. Gambaran Zhahir (luar), yaitu bentuk penciptaan yang telah Allah jadikan padanya sebuah tubuh. Gambaran zhahir tersebut diantaranya ada yang indah dan bagus, ada yang jelek dan buruk, dan adapula yang berada pada pertengahan di antara keduanya atau biasa-biasa saja. b. Gambaran batin (dalam), yaitu suatu keadaan yang melekat

kokoh di dalam jiwa, yang keluar darinya perbuatan-perbuatan manusia, baik perbuatan-perbuatan terpuji maupun perbuatan buruk (yang dapat dilakukan) tanpa berpikir atau kerja otak. Dan gambaran ini juga ada yang baik jika memang keluar dari akhlaq yang baik, dan adapula yang buruk jika keluar dari akhlaq yang buruk. Inilah yang

kemudian disebut dengan nama “khuluq” atau akhlaq. Jadi

khuluq atau akhlaq adalah gambaran batin yang telah

ditetapkan pada seseorang.

49

Wahyuddin, dkk, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Grasindo, 2009), hal. 52

50

Faqihuz Zaman & Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Makarim al Aklaq, Terjemah oleh Abu Musa al-Atsari (Maktabah Abu Salma, 2008) hal 3


(45)

36

ظعاوملاو بيدأتلاب لقت ن لب قلخلا لوبق ىلع نوعوبطم انأ كلذو

د اشن انأ راتخن يذلا و ريخأا يأرلا اذ و .ائيطب وأ اعيرس امإ

ىلإو لقعلاو زييمتلا ةوق لاطبأ ىلإ يدؤي لوأا ىأرلا نأو انايع

ثادحأا كرت ىلإو نيلمهم اجم سا لا كرتو اهلك تاسايسلا ضفر

ىلع نايبصلاو

اذ و ميلعت او ةسايس ريغب يلع اونوكي نأ قفتي ام

ادج ةعا شلا ر اظ

51

Karakteristik pemikiran Ibnu Miskawih dalam pendidikan akhlak secara umum dimulai dengan pembahasan tentang akhlak (karakter/watak). Menurutnya watak itu ada yang bersifat alami dan ada watak yang diperoleh melalui kebiasaan atau latihan. Dia berpikir bahwa kedua watak tersebut hakekatnya tidak alami meskipun kita lahir dengan membawa watak masing-masing. Namun sebenarnya watak dapat diusahakan melalui pendidikan dan pengajaran.52

Akhlak mahmudah atau akhlak yang terpuji maksudnya adalah perbuatan-perbuatan baik yang datang dari sifat-sifat batin yang ada di dalam hati menurut syara’. Sifat-sifat itu biasanya disandang oleh para Rasul, anbiya’, aulia dan orang-orang salih. Diantara beberapa akhlak mahmudah yang dapat

51

Maktabah Syamilah, Tahdzib al-akhlaq wa tathir al a’raq, hal 41 52

Ibnu Miskawih, Tahdzib Al Akhlaq wa Tathhir Al A'raaq, (Beirut:Mansyurah Dar Al Maktabah, 1389 H) Hal 62, Cet 2


(46)

37

diajarkan kepada anak antara lain:53 (a) ikhlas, artinya beramal karena Allah; (b) wara’, artinya meninggalkan setiap hal yang haram atau yang ada subhatnya; (c) bersikap amanah; (d) bersikap sopan dalam berbicara; (e) bekerjasama dalam kebaikan dan ketakawaan; serta (f) berkata jujur.54

5) Tarbiyyah dan Ta’lim

Tarbiyyah dan Ta’lim merupakan cara istimewa yang

digunakan Islam untuk mendidik anak-anak dengan pendidikan keimanan. Tarbiyyah ini menuju sasaran pada pembagian akal manusia dan melatihnya untuk berpikir, merenung, memerhatikan, membahas dan menggali kecerdasan manusia pada puncak kemampuan akal, disamping untuk melayani individu dan mengangkat status masyarakat secara bersama-sama, untuk memperbaiki perasaan (emosi) manusia, meningkatkan motivasi, meningkatkan perilaku dan mendapatkan variasi dari interaksi sosial.

Adapun metode yang digunakan oleh orangtua maupun tenaga pendidik dalam memberikan tarbiyyah dan ta’lim antara lain:(a) menggunakan kebijaksanaan (al-hikmah); (b) menggunakan nasihat yang baik (al-mau’izhah al-hasanah);

53

Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 239

54

Syekh Khalid bin Abdurrahman Al-‘Akk, Cara Islam Mendidik Anak. Terjemahan oleh Muhammad Halabi Hamdi (Jogjakarta: Ad-Dawa’, 2006), hal. 240


(47)

38

(c) metode penerangan (al-bayaniyyah); (d) metode sindiran

(al-kinayah); serta (e) metode perumpamaan (al-majaz).55

2. Tugas Perkembangan Anak

Setiap organisme pasti mengalami peristiwa perkembangan selama hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang dimiliki oleh organisme, baik yang bersifat konkret maupun yang bersifat abstrak. Perkembangan merupakan suatu perubahan, dan perubahan ini tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Perkembangan tidak ditekankan pada segi material, melainkan pada segi fungsional.56

Menurut Baltes (1987) perkembangan meliputi gains (growth)

dan losses (decline). Jadi disepanjang hidup individu selain ada

pertumbuhan juga ada penurunan. Sebagai contoh, ketika masuk sekolah anak-anak mengalami peningkatan pengetahuan dan kemampuan kognitif, tetapi pada umumnya kreativitasnya menurun karena seringkali mereka harus mengikuti aturan-aturan tertentu yang terlalu ketat yang justru menghambat kreativitasnya.57

55

Syekh Khalid bin Abdurrahman Al-‘Akk, Cara Islam Mendidik Anak. Terjemahan oleh Muhammad Halabi Hamdi (Jogjakarta: Ad-Dawa’, 2006), hal. 209

56

Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar dalam Berbagai Aspeknya

(Jakarta: Kencana, 2012), hal. 19 57

Christiana Hari Soetjiningsih, Seri Psikologi Perkembangan; Perkembangan Anak Sejak Pembuahan Sampai dengan Kanak-Kanak Akhir (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 3


(48)

39

Menurut Werner, perkembangan merupakan suatu proses yang mula-mula global, belum terperinci, dan kemudian semakin lama semakin banyak, berdiferensiasi dan terjadi integrasi yang hierarki.58

Menurut Yusuf Syamsu, perkembangan adalah perubahan yang

progressive dan kontinue (berkesinambungan) dalam diri individu dari

mulai lahir sampati mati (the progressive and continous change in the

organism from birth to death). Pengertian lainnya ialah

perubahan-perubahan yang dialami oleh individu atau organisme yang menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah).59

Adapun menurut Oemar Hamalik, perkembangan merujuk kepada perubahan yang progresif dalam organisme bukan saja perubahan dalam segi fisik (jasmaniah) melainkan juga dalam segi fungsi, misalnya kekuatan dan koordinasi.60

Dari beberapa pengertian perkembangan menurut masing-masing tokoh diatas, dapat diartikan bahwa perkembangan merupakan perubahan yang bersifat kualitatif dari fungsi-fungsi. Dikatakan sebagai perubahan fungsi-fungsi ini, karena perubahan ini disebabkan oleh adanya proses pertumbuhan material yang memungkinkan adanya

58

Christiana Hari Soetjiningsih, Seri Psikologi Perkembangan; Perkembangan Anak Sejak Pembuahan Sampai dengan Kanak-Kanak Akhir (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 3

59

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 15

60

Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar dalam Berbagai Aspeknya


(49)

40

fungsi, di samping itu disebabkan oleh perubahan-perubahan tingkah laku. Dari sini dapat dirumuskan pengertian perkembangan pribadi, yaitu perubahan kualitatif dari setiap fungsi kepribadian akibat dari pertumbuhan dan belajar.61

Berkaitan dengan beberapa tugas perkembangan anak, disini tidak akan dibahas satu persatu, melainkan hanya beberapa tugas perkembangan anak dilihat dari sisi psikologisnya saja. Adapun tugas perkembangan psikologis anak sebagai berikut: (a) perkembangan sosial emosional anak (socio-emotional); (b) perkembangan moralitas anak (morality); (c) perkembangan minat anak terhadap agama

(religion interested); dan (d) perkembangan spiritual anak

(spirituality).

a. Perkembangan Sosio Emosional Anak

1) Hakikat perkembangan sosio-emosional Anak

Secara luas diketahui bahwa periode anak menurut Hurlock dibagi menjadi dua periode yang berbeda, yaitu masa anak awal dan masa anak akhir. Periode masa anak awal berlangsung dari usia dua tahun sampai enam tahun (lebih dikenal sebagai anak usia dini). Adapun periode masa anak akhir berlangsung dari enam tahun sampa tiba saatnya anak matang secara seksual. Yang dimaksud dengan anak usia dini atau anak taman kanak-kanak menurut Biechler dan Snowman

61

Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar dalam Berbagai Aspeknya


(50)

41

ialah mereka yang berusia 3-6 tahun, dan biasanya mereka mengikuti program kindergarten atau taman kanak-kanak.62

Perkembangan sosial dan emosional merupakan dua aspek yang saling berlainan, namun dalam kenyataannya satu sama lain saling memengaruhi. Perkembangan sosial sangat erat hubungannya dengan perkembangan emosional, walaupun masing-masing ada kekhususannya. Perkembangan sosial dan emosional pada anak usia dini ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Peran orang tua dan guru di sekolah dalam mengembangkan perilaku sosial dan emosional anak adalah ditempuh dengan menanamkan sejak dini pentingnya pembinaan perilaku dan sikap yang dapat dilakukan melalui pembiasaan yang baik. Hal inilah yang menjadi dasar utama pengembangan perilaku sosial dan emosional dalam mengarahkan pribadi anak yang sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di dalam masyarakat.63

2) Perkembangan Sosial Anak

Menurut Hurlock (2000) perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bermasyarakat memerlukan tiga proses, antara lain: (a). belajar berperilaku

62

Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar dalam Berbagai Aspeknya

(Jakarta: Kencana, 2012), hal. 131 63

Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar dalam Berbagai Aspeknya


(51)

42

yang dapat diterima secara sosial; (b). memainkan peran sosial yang dapat diterima; (c). perkembangan sikap sosial.

Menurut Syamsu Yusuf, perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar ntuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi; meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama.64

Seorang anak yang dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam arti, dia belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, baik orangtua, saudara, teman sebaya atau orang dewasa lainnya.65

Dalam mewujudkan manusia yang mampu berperilaku sosial, pengalaman sosial awal di masa anak-anak sangat menentukan kepribadian di masa yang akan datang. Banyaknya pengalaman kebahagiaan mendorong anak untuk mencari pengalaman seperti itu lagi untuk menjadi orang yang

64

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 122

65

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 122


(52)

43

mempunyai sifat sosial. Banyaknya pengalaman yang tidak menyenangkan mungkin menimbulkan sikap yang tidak sehat terhadap pengalaman sosial dan terhadap orang pada umumnya. Pengalaman yang tidak mnyenangkan yang terlalu banyak juga dapat menyebabkan anak menjadi tidak sosial/anti sosial.66

3) Perkembangan Emosional Anak

Menurut English and English, emosi adalah “A complex feeling state accompained by characteristic motor and glandular activities” (suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris). Sedangkan Sarlito Wirawan Sarwono berpendapat bahwa

emosi merupakan “setiap keadaan pada diri seseorang yang

disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam).67

Menurut Mansur, emosi merupakan perasaan atau afeksi yang melibatkan perpaduan antara gejolak fisiologis dan perilaku yang terlihat. Minat, ketergantungan dan rasa muak atau jijik muncul pada saat lahir, senyum sosial terlihat pada usia kira-kira 4 hingga 6 minggu. Kemarahan keheranan dan kesedihan terjadi pada kira-kira usia 5 hingga 7 bulan, rasa

66

Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak Jilid 1. Terjemahan oleh Med. Meitasari Tjandrasa & Muslichah Zarkasih (Jakarta: Erlangga, 2000), edisi ke-6 hal. 256

67

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 115


(53)

44

malu terjadi pada kira-kira usia 6 hingga 8 bulan, rasa hina dan rasa bersalah terlihat pada kira-kira usia 2 tahun.68

Pada usia anak-anak sampai menjelang remaja awal (4-12 tahun) anak mulai menyadari bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Kesadaran ini diperoleh dari pengalaman, bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi oleh orang lain. Jika lingkungan (terutama orang tuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti memperlakukan anak dengan keras atau kurang menyayangi, maka pada diri anak akan muncul sikap keras kepala/menentang, menyerah jadi penurut diliputi rasa percaya diri yang kurang dengan sifat pemalu.69 Hal ini dikarenakan perkembangan emosi dan sosial anak tidak terlepas dari faktor-faktor keluarga, relasi anak dengan teman sebayanya, dan kualitas bermain yang dilakukan bersama teman sebayanya.70

Sebuah penelitian mendeskripsikan bahwa otak memberi petunjuk tentang kontrol emosional. Belahan otak kanan lebih bertanggung jawab untuk memproses emosi negatif, emosi intens, dan kreativitas. Belahan otak kiri bertanggung jawab untuk emosi positif, perkembangan bahasa, dan mintat pada benda dan pengalaman baru. Karena belahan otak kanan

68

Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 57

69

Riana Mashar, Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya, (Jakarta: Kencana, 2011) cet. Ke-2 hal. 28

70

Christiana Hari Soetjiningsih, Seri Psikologi Perkembangan; Perkembangan Anak Sejak Pembuahan Sampai dengan Kanak-Kanak Akhir (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 213


(54)

45

mengalami pertumbuhan lebih besar selama tiga tahun pertama, penting agar guru-guru program anak usia dini menangani baik-baik anak kecil yang membantu mereka belajar mengatur emosi negatif mereka. Pengaturan diri itu sulit bagi banyak anak tanpa bantuan orang dewasa.71

Perkembangan sosial dan emosional anak berkaitan dengan kapasitas anak untuk mengembangkan self-confidence,

trust dan empathy. Perkembangan sosial-emosional yang

positif atau baik merupakan prediktor untuk kesuksesan dalam bidang akademik, kognitif, sosial dan emosional dalam kehidupan anak selanjutnya.

Menurut Boyd dkk (2005) perkembangan emosi dan sosial anak dalam periode awal mencakup pencapaian serangkaian keterampilan dalam:72

a. Mengidentifikasi dan memahami perasaan dirinya sendiri

b. Membaca dengan tepat dan memahami kondisi emosi orang/teman lain

c. Mengelola emosi dan mengekspresikan dalam bentuk yang konstruktif

d. Mengatur perilakunya sendiri

71

Janice J Beaty, Observasi Perkembangan Anak Usia Dini. Terjemahan oleh Arif Rakhman (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 93

72

Christiana Hari Soetjiningsih, Seri Psikologi Perkembangan; Perkembangan Anak Sejak Pembuahan Sampai dengan Kanak-Kanak Akhir (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 213


(55)

46

e. Mengembangkan empati pada orang/teman lain f. Menjalin dan memelihara hubungan

Perkembangan sosial emosional-emosional pada periode awal ini perlu ditekankan bagaimana anak-anak “feel about themselves” bagaimana perilaku dan relasinya dengan pengasuhnya, orang tua, guru, dan teman sebayanya. Sedangkan pada periode akhir, anak menjadi lebih peka terhadap perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Mereka dapat lebih baik mengatur ekspresi emosionalnya dalam situasi sosial dan mereka dapat merespon tekanan emosional orang lain. Pada periode akhir pula rasa malu dan bangga mempengaruhi pandangan anak terhadap diri mereka sendiri. Secara bertahap, anak juga dapat memverbalisasi emosi yang saling bertentangan. Selain itu, anak juga mulai dapat melakukan kontrol terhadap emosi negatif. Anak-anak belajar tentang apa yang membuat mereka marah, sedih, atau takut, serta bagaimana orang lain bereaksi dalam menunjukkan emosi ini dan mereka belajar mengadaptasikan perilaku mereka dengan emosi-emosi tersebut.73

Secara umum perkembangan emosi dan sosial anak dalam periode akhir dapat dijelaskan sebagai berikut:74

73

Christiana Hari Soetjiningsih, Seri Psikologi Perkembangan; Perkembangan Anak Sejak Pembuahan Sampai dengan Kanak-Kanak Akhir (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 215

74

Christiana Hari Soetjiningsih, Seri Psikologi Perkembangan; Perkembangan Anak Sejak Pembuahan Sampai dengan Kanak-Kanak Akhir (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 267


(56)

47

a) Dapat mengadakan ikatan dengan orang dewasa yang lain dan anak sebaya, serta lingkungan sosialnya semakin meluas

b) Egosentrisme sudah agak berkurang, tetapi melihat kenyataan masih berdasarkan informasi yang terbatas

c) Mempunyai keinginan yang kuat menjadi anggota kelompok dan mulai sekitar 10 tahun sudah dengan aturan dan perjanjian

d) Konformisme, tetapi karena sifat-sifat pribadi dan faktor situasional

e) Emosi relatif lebih tenang dan bentuk ungkapannya berbeda dengan masa anak awal

f) Bermain masih penting, tetapi waktunya sudah berkurang. Anak mulai sadar akan kesesuaian jenis permainan dengan kelompok jenisnya. Untuk anak yang lebih besar mulai bermain, seperti basket dan sepakbola. Sekitar usia 10 tahun anak menyukai permainan yang bersifat persaingan.


(57)

48

Selain beberapa penjelasan diatas, dalam perkembangan emosi beberapa peneliti menyatakan bahwa ada beberapa perubahan/peningkatan penting, yaitu:75

a) Peningkatan kemampuan untuk memahami emosi kompleks, misalnya kebanggaan dan rasa malu b) Peningkatan pemahaman bahwa mungkin saja

seseorang mengalami lebih dari satu emosi dalam situasi tertentu

c) Peningkatan kecenderungan untuk lebih mempertimbangkan kejadian-kejadian yang menyebabkan reaksi emosi tertentu

d) Peningkatan kemampuan untuk menekan atau menutupi reaksi emosional yang negatif

e) Penggunaan strategi personal untuk mengalihkan perasaan tertentu, seperti mengalihkan atensi atau pikiran ketika mengalami emosi tertentu

4) Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient) pada Anak Lawrence E. Shapiro menyatakan bahwa kecerdasan emosional sebagai bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah

75

Christiana Hari Soetjiningsih, Seri Psikologi Perkembangan; Perkembangan Anak Sejak Pembuahan Sampai dengan Kanak-Kanak Akhir (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 267


(1)

127

mempertahankan program-program tersebut. Peneliti juga menyarankan

agar kualitas dari setiap program-program diatas selalu bertambah lebih

baik di setiap tahunnnya, agar proses pembentukan kecerdasan emosional

dan spiritual anak berjalan sebagaimana semestinya, terlebih untuk anak

yang memiliki keterbatasan dalam pengalaman keagamaan yang masih

minim. Hal ini dikarenakan pengalaman keagamaan anak yang minim

dapat mengganggu kesukarelaan anak dalam mengikuti setiap

program-program yang dilaksanakan oleh lembaga IIS PSM Magetan. Dalam hal

ini konselor sekolah sebagai pihak utama yang dapat memberikan

pengarahan dan pemahaman kepada anak untuk sukarela mengikuti

kegiatan tersebut, mempertimbangkan dampak yang signifikan bagi

kepribadian anak di masa yang akan datang, sesuai dengan cita-cita

lembaga yang menciptakan generasi yang berwawasan global serta

memiliki akhlakul karimah, sebagaimana yang telah menjadi salah satu

prioritas di lembaga IIS PSM Magetan.

2. Penelitian Selanjutnya

Karena penelitian yang peneliti lakukan disini hanyalah penelitian

kualitatif deskriptif, maka peneliti hanya dapat menggambarkan

bentuk-bentuk kecerdasan emosional dan spiritual yang dibentuk-bentuk oleh

program-program Islamic Parenting, berbasis lapangan saja. Peneliti hanya

mencoba untuk menguraikan makna yang tersembunyi dibalik setiap


(2)

128

Penulis menyarankan agar peneliti selanjutnya bisa meneliti lebih lanjut

tentang pembentukan kecerdasan emosional dan spiritual anak oleh

program-program Islamic Parenting di IIS PSM Magetan secara lebih

meluas dan mendalam, dan menuliskannya dalam bentuk modul

kecerdasan emosional dan spiritual anak berbasis Islamic Parenting,

sehingga program-program Islamic Parenting di lembaga IIS PSM

Magetan dapat diekspor ke berbagai lembaga sekolah maupun pondok

pesantren, yang pada akhirnya lembaga IIS PSM Magetan sangat

dirasakan kebermanfaatannya bagi pembentukan generasi umat yang


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Akk, Syekh Khalid bin Abdurrahman, Cara Islam Mendidik Anak, terjemahan

oleh Muhammad Halabi Hamdi, Jogjakarta: Ad-Dawa’, 2006

B. Hurlock, Elizabeth, Perkembangan Anak Jilid 1, Terjemahan oleh Med.

Meitasari Tjandrasa & Muslichah Zarkasih, Jakarta: Erlangga, 2000, edisi ke-6

Bawani, Imam, Ilmu Jiwa Perkembangan dalam Konteks Pendidikan Islam,

dalam Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004

Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2013

Creswell, John W, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantutatif, dan

Mixed, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014

Darajdat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 2005, cet. Ke-17

Daryati, Elia & Farida, Anna, Parenting With Heart Menumbuhkan Anak dengan

Hati Bandung : Kaifa, 2014

Djamarah, Syaiful Bahri, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga,

Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak, Jakarta : Rineka Cipta, 2014

Echols, John M, dan Shadily, Hassan, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2005

Gunarsa, Singgih D, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: Gunung

Mulia, 2004


(4)

Hayati, Nur, Menstimulasi Kecerdasan Emosional Anak Sejak Usia Dini

PSIKOLogia 1 Juni 2005

Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, New

York: Oxford University Press, 2010

Ilahi, Muhammad Takdir, Quantum Parenting, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013

J Beaty, Janice, Observasi Perkembangan Anak Usia Dini. Terjemahan oleh Arif

Rakhman, Jakarta: Kencana, 2013

Jalil, Abdul, Spiritual Enterpreneurship; Transformasi Spiritualitas

Kewirausahaan, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2013

Kasiram, Moh, Metodologi Peneliian, Malang: UIN Maliki Press, 2010

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Widya Cahaya, 2011,

Jilid 7

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Widya Cahaya, 2011,

Jilid 3

Lestari, Sri, Psikologi Keluarga; Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik

dalam Keluarga, Jakarta: Kencana, 2012

Liling, Ekawanti Rante, Nurcahyo, Firmanto Adi, Tanojo, Karin Lucia, Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual dengan Prokrastinasi pada Mahasiswa Tingkat Akhir, Humanitas, 2 Agustus 2013

Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2009), hal. 239

Mashar, Riana, Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya, Jakarta:


(5)

Miskawih, Ibnu, Tahdzib al Akhlaq wa Tahir al A’raaq, Beirut: Dar al Maktabah, 1389 H cet. Ke-2

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2004

Muhyidin, Muhammad, ESQ-POWER FOR BETTER LIFE; Cara Islami

Meningkatkan Mutu Hidup dengan Manajemen ESQ Power (Emotional Spiritual Quotient) sejak masa kanak sampai dewasa, Jogjakarta: Tunas Publishing, 2006

Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2004

Muttaqin, Muhammad Ali, “Parenting Sebagai Pilar Utama Pendidikan Anak

dalam Perspektif Pendidikan Islam” (Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang, 2015

Rabbaja, Sardin, Majalah Bulanan, Nasehat Perkawinan dan Keluarga, (BP-4

Edisi September, 1994

Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial, Bandung: Remaja Rosda Karya,

2008

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta,

2012

Sukadji, K, Agama yang berkembang di Dunia dan Para Pemeluknya, Bandung:

Angkasa, cet. X, 1993

Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004

Susanto, Ahmad, Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar dalam Berbagai


(6)

Taqiyya, Isti’anaut, Islamic Parenting (Pola Asuh Islami) di panti asuhan Santiwit School di daerah Chana, Songkhla, Thailand Selatan, (Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016

Thontowi, Ahmad, Hakikat Kecerdasan Spiritual, Widyaiswara Madya Balai

Diklat Keagamaan Palembang, 2013

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel surabaya, Pengantar Studi Islam,

Surabaya: IAIN SA Press, 2012

Yusuf, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2012

Zaman, Faqihuz & al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Makarim al Aklaq,

Terjemah oleh Abu Musa al-Atsari, Maktabah Abu Salma, 2008

http://news.okezone.com/read/2016/03/05/338/1328351/ina-si-nononk-terpengaruh-dari-lingkungan. diakses pada tanggal 13 Maret 2016

http://news.okezone.com/read/2016/03/11/337/1332922/kak-seto-prihatin-maraknya-aksi-pornografi-kekerasan-pada-anak diakses pada tanggal 13 Maret 2016

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelecehan-seksual-pada-anak-meningkat-100/ diakses pada tanggal 13 Maret 2016

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelecehan-seksual-pada-anak-meningkat-100/ diakses pada tanggal 13 Maret 2016


Dokumen yang terkait

Pertimbangan Moral Anak dengan Pola Asuh Spiritual (Spiritual Parenting)

7 65 240

Peranan Orang Tua Dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional Dan Spiritual Anak (Studi Kasus Di Lingkungan Rt. 004 Rw. 01 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara).

0 5 139

boarding school pondok pesantren islamic

0 10 8

POLA ASUH IBU PADA KEBERHASILAN TOILET TRAINING ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SLB NEGERI SURAKARTA Pola Asuh Ibu Pada Keberhasilan Toilet Training Anak Berkebutuhan Khusus Di Slb Negeri Surakarta.

0 9 16

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERKEMBANGAN EMOSI ANAK DI TK LAZUARDI KAMILA GLOBAL ISLAMIC SCHOOL Hubungan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perkembangan Emosi Anak Di TK Lazuardi Kamila Global Islamic School Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016.

0 3 16

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK DI TK LAZUARDI KAMILA GLOBAL ISLAMIC SCHOOL Hubungan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perkembangan Sosial Anak Di Tk Lazuardi Kamila Global Islamic School Surakarta Tahun 2015/2016.

0 2 18

Analisis Proses Berpikir Reflektif Siswa Dalam Memecahkan Masalah Matematika Non Rutin di Kelas VIII SMP Islamic International School Pesantren Sabilil Muttaqien (IIS PSM) Magetan Ditinjau dari Kemampuan Awal.

0 0 20

PENGARUH MUSHOFAHAH DAN DOA TERHADAP EMOTIONAL QUOTIENT BAGI SISWA KELAS V SD ISLAMIC INTERNATIONAL SCHOOL PESANTREN SABILIL MUTTAQIEN (IIS PSM) MAGETAN.

0 4 116

ANALISIS PROSES BERPIKIR REFLEKTIF SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA NON RUTIN DI KELAS VIII SMP ISLAMIC INTERNATIONAL SCHOOL PESANTREN SABILIL MUTTAQIEN (IIS PSM) MAGETAN DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL | Alfa Lutfiananda | 9700 20599 1 SM

0 0 12

MAKALAH PENGEMBANGAN KECERDASAN ANAK MEN

0 0 12