Pertimbangan Moral Anak dengan Pola Asuh Spiritual (Spiritual Parenting)

(1)

PERTIMBANGAN MORAL ANAK DENGAN POLA ASUH

SPIRITUAL (SPIRITUAL PARENTING)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

DEBI FADILAH

041301061

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(2)

SKRIPSI

PERTIMBANGAN MORAL ANAK DENGAN POLA ASUH SPIRITUAL (SPIRITUAL PARENTING)

Dipersiapkan dan disusun oleh: DEBI FADILAH

041301061

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 22 Desember 2009

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof.dr. Chairul Yoel, Sp.A (K) NIP.140 080 762

Tim Penguji

1. Eka Ervika, M. Si Penguji I __________

NIP. 197710542002122001 merangkap pembimbing

2. Elvi Andriani. M.Psi Penguji II __________ NIP. 196405232000032001

3. Debby Anggraini D. M. Psi Penguji III __________ NIP. 198101222008122002


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Pertimbangan Moral Anak dengan Pola Asuh Spiritual (Spiritual Parenting)

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 17 Desember 2009

DEBI FADILAH NIM 041301061


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT penulis ucapkan karena atas berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal seminar yang berjudul “Pertimbangan Moral pada Anak dengan Pola Asuh Spiritual

Parenting”.

Kepada keluarga tercinta, kedua orangtua saya, ayah dan ibu, abang, kakak dan adik saya terima kasih atas do’a yang selalu mengiringi, dan perhatian serta dukungan yang selalu diberikan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan proposal seminar ini dengan sebaik-baiknya.

Terselesaikannnya proposal penelitian ini tentu tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A.(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

2. Eka Ervika, M.Si, Psi, selaku dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik. Terima kasih banyak atas segala do’a, dukungan dan bantuan yang ibu berikan demi terselesaikannya skripsi ini. Penulis minta maaf sekiranya selama dalam proses penyelesaian ini pernah membuat ibu kesal. Semoga Allah selalu membalas setiap kebaikan ibu dengan pahala yang melimpah. Amin.

3. Dr. Wiwik Sulistyaningsih, sebagai dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas nasehat dan bimbingan yang ibu berikan selama penulis kuliah di Fakultas Psikologi.


(5)

4. Kepada para subjek penelitian yang telah bersedia untuk proses wawancara dalam rangka pengambilan data dalam penelitian ini. Demikan juga dengan para orangtua subjek.

5. Kepada sahabat-sahabat saya atas segala motivasinya, dukungan dan bantuan untuk membantu penbuatan proposal seminar ini. Kepada Syifa, Hanifa, Sukma, Renny, dan sahabat-sahabat saya sekalian yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam proposal seminar ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya kepada Allah penulis berserah diri, semoga proposal seminar ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, Amin.

Medan, Desember 2009 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

1. Manfaat Teoritis... 13

2. Manfaat Praktis ... 13

E. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LANDASAN TEORI ... 16

A. Spiritual Parenting ... 16

1. Definisi spiritual ... 16

2. Aspek-aspek spiritualitas... 18

3. Defenisi parenting ... 19

4. Dimensi parenting ... 19

5. Defenisi Spiritual Parenting... 20

B. Pertimbangan Moral ... 23

1. Definisi moral ... 23


(7)

3. Tahapan-tahapan perkembangan pertimbangan moral ... 26

4. Komponen pertimbangan moral ... 29

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertimbangan moral ... 30

C. Pertimbangan moral anak dengan pola asuh spiritual parenting ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

A. Pendekatan Kualitatif ... 40

B. Responden dan Lokasi Penelitian ... 41

1. Karakteristik Responden ... 41

2. Jumlah Responden ... 42

3. Lokasi Penelitian ... 43

C. Teknik Pengambilan Sampel ... 43

D. Teknik Pengambilan Data ... 43

1. Wawancara ... 44

2. Alat Bantu Pengambilan Data ... 45

3. Kredibilitas Penelitian ... 46

E. Prosedur Penelitian ... 47

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 47

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 49

3. Tahap Pencatatan Data ... 50

F. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data ... 51

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 53

A. Deskripsi Data ... 53


(8)

2. Responden II ... 54

3. Responden III ... 55

B. Analisa Data……… 56

1. Responden I ... 56

2. Respondsen II ... 76

3. Responden III ... 92

C. Interpretasi Data ... 105

1. Responden I ... 105

2. Respondsen II ... 108

3. Responden III ... 111

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 114

A. Kesimpulan ... 114

B. Diskusi ... 114

C. Saran ... 117

1. Saran Praktis... 117

2. Saran Penelitian Selanjutnya... 117

DAFTAR PUSTAKA……….. 118 LAMPIRAN


(9)

ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Desember 2009

Debi Fadilah

Pertimbangan Moral Anak dengan Pola Auh Spiritual (Spiritual Parenting) (x+118+lampiran)

Daftar Bacaan: 30 (1975-2006)

Pertimbangan moral merefleksikan kemampuan seseorang untuk berpikir mengenai isu-isu moral dalam situasi kompleks, pertimbangan moral ini dapat menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral seseorang, begitu juga dengan anak. Berdasarkan perkembangannya anak cenderung memiliki tahap perkembangan pertimbangan moral yang masih rendah. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertimbangan moral anak adalah pola asuh orangtua, salah satu pola asuh yang dapat diterapkan adalah pola asuh spiritual (spiritual parenting) yaitu pola asuh yang menempatkan Tuhan pada urutan tertinggi, dalam sikap dan perilaku, yang diterapkan oleh orang tua dalam berinteraksi dengan anak, meliput i cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan atau aturan-aturan dan hukuman terhadap anaknya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran pertimbangan moral anak dengan pola asuh spiritual (spiritual parenting)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatam kualitatif sehingga peneliti dapat menggambarkan dengan detail mengenai gambaran pertimbangan moral anak dan mengharapkan mendapatkan “pengalaman hidup” dari perspektif responden dengan spiritual parenting. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi-terstruktur dengan menggunakan alat bantu pengumpulan data seperti alat perekam (tape recorder), pedoman wawancara dan lembar observasi. Adapun kriteria responden dalam penelitian ini adalah siswa sekolah dasar dengan pola asuh spiritual (spiritual

parenting).

Hasil penelitian ini menemukan bahwasanya ketiga responden anak, yaitu responden anak I, II, dan III memiliki pertimbangan moral tahap 4, yaitu orientasi hukum dan ketertiban, dimana hidup dipahami sebagai sesuatu yang suci, ditinjau dari segi tempatnya dalam keseluruhan hak dan kewajiban yang kategoris moral atau yang bersifat religius. Nilai-nilai spiritual atau religius mewarnai jawaban-jawaban pertimbangan moral pada ketiga responden anak.

Kata kunci : pertimbangan moral, anak dengan pola asuh spiritual (spiritual


(10)

ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Desember 2009

Debi Fadilah

Pertimbangan Moral Anak dengan Pola Auh Spiritual (Spiritual Parenting) (x+118+lampiran)

Daftar Bacaan: 30 (1975-2006)

Pertimbangan moral merefleksikan kemampuan seseorang untuk berpikir mengenai isu-isu moral dalam situasi kompleks, pertimbangan moral ini dapat menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral seseorang, begitu juga dengan anak. Berdasarkan perkembangannya anak cenderung memiliki tahap perkembangan pertimbangan moral yang masih rendah. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertimbangan moral anak adalah pola asuh orangtua, salah satu pola asuh yang dapat diterapkan adalah pola asuh spiritual (spiritual parenting) yaitu pola asuh yang menempatkan Tuhan pada urutan tertinggi, dalam sikap dan perilaku, yang diterapkan oleh orang tua dalam berinteraksi dengan anak, meliput i cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan atau aturan-aturan dan hukuman terhadap anaknya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran pertimbangan moral anak dengan pola asuh spiritual (spiritual parenting)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatam kualitatif sehingga peneliti dapat menggambarkan dengan detail mengenai gambaran pertimbangan moral anak dan mengharapkan mendapatkan “pengalaman hidup” dari perspektif responden dengan spiritual parenting. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi-terstruktur dengan menggunakan alat bantu pengumpulan data seperti alat perekam (tape recorder), pedoman wawancara dan lembar observasi. Adapun kriteria responden dalam penelitian ini adalah siswa sekolah dasar dengan pola asuh spiritual (spiritual

parenting).

Hasil penelitian ini menemukan bahwasanya ketiga responden anak, yaitu responden anak I, II, dan III memiliki pertimbangan moral tahap 4, yaitu orientasi hukum dan ketertiban, dimana hidup dipahami sebagai sesuatu yang suci, ditinjau dari segi tempatnya dalam keseluruhan hak dan kewajiban yang kategoris moral atau yang bersifat religius. Nilai-nilai spiritual atau religius mewarnai jawaban-jawaban pertimbangan moral pada ketiga responden anak.

Kata kunci : pertimbangan moral, anak dengan pola asuh spiritual (spiritual


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Terjadi krisis yang mengkhawatirkan dalam masyarakat saat ini yang melibatkan orang-orang yang paling berharga yaitu anak-anak. Semua pihak menyuarakan kekhawatiran yang sama, terutama bagi para pendidik, orangtua, pemuka agama dan masyarakat umum. Terdapat begitu banyak berita-berita berisi tragedi yang mengejutkan dan data statistik mengenai anak-anak yang membuat para orangtua merasa takut dan khawatir (Borba, 2008).

Satu sisi kemajuan jaman ini memberikan banyak kemajuan teknologi yang memungkinkan anak memperoleh fasilitas yang serba canggih. Anak-anak sekarang sejak dini sudah mengenal HP, kamera, internet, videogames, dll. Namun di sisi lain kemajuan tersebut juga membawa dampak negatif seperti tersedianya informasi negatif yang sulit untuk dihindari, misalnya kekerasan, pornografi, konsumerisme melalui berbagai media informasi tersebut. Dampak buruk perkembangan media massa dan teknologi sekarang ini ternyata bukan hanya terjadi pada kalangan remaja, tetapi juga sudah menyentuh anak-anak usia sekolah dasar.

Fenomena tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Kepala Pusat Intelegensia Departemen Kesehatan (Jannis, 2009) bahwa sebanyak 66% anak usia sekolah dasar diperkirakan telah menyaksikan pornografi lewat berbagai media, antara lain sebanyak 24% anak-anak melihat pornografi lewat komik, 18% lewat games, 16% situs porno, 10% film VCD/DVD, 8% HP serta 4% dari koran


(12)

dan majalah. Data tersebut diambil berdasarkan pertemuan konselor remaja Yayasan Kita dan Buah Hati dengan responden sebanyak 1.625 siswa kelas 4-6 SD se-Jabodetabek sepanjang tahun 2008 (Pusat Data Departemen Komunikasi & Informatika, 2008).

Demikian juga tayangan televisi dengan tema kehidupan anak remaja, yang umumnya menampilkan gaya hidup kaum elit dengan segala kemewahan, konsumerisme, dan kekerasan telah menjadi model dan tak jarang dicontoh dalam kehidupan nyata anak-anak usia sekolah dasar. Hal ini juga terungkap dalam komunikasi personal dengan Ratna (bukan nama sebenarnya) seorang guru sekolah dasar, berikut ini:

“saya kira adegan-adegan anak sekarang yang bergeng-geng itu cuma ada di sinetron, ternyata itu memang udah terjadi di anak-anak sekarang, waktu itu saya jalan pulang ngajar saya lihat anak-anak itu satu kelompok mau naik becak, mereka ngompasin satu anak yang sedang jalan, lima ratus masing-masing, itu anak SD”

(Komunikasi Personal, Medan, 12 Januari 2009) Anak-anak sekolah dasar, yang usianya berkisar 7-11 tahun menurut Piaget (dalam Sigelman & Rider, 2003) berada pada tahap perkembangan kognitif operasional konkrit, dimana anak telah memiliki kemampuan untuk menampilkan keadaan-keadaan mental akan objek-objek tertentu. Mereka dapat berfikir sangat efektif terhadap objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Pada usia 11-12 tahun, anak biasanya mulai memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut operasional formal, dengan pola pemikiran yang lebih abstrak, mereka sudah dapat menampilkan proses-proses mental terhadap ide-ide dan berfikir logis terhadap ide-ide walaupun mereka tidak melihat, mendengar atau merasakannya serta mencium atau menyentuhnya.


(13)

Sementara fenomena anak zaman sekarang sangat sering terpapar hal-hal yang seharusnya tidak dikonsumsi oleh anak-anak sekolah dasar yang sudah memiliki kemampuan untuk menampilkan keadaan-keadaan mental akan objek-objek tersebut, sehingga anak dapat dengan mudah meniru atau mengikutinya.

Peristiwa-peristiwa dan data statistik di atas sangat mencemaskan dan mengkhawatirkan baik para orangtua dan masyarakat, meskipun pihak sekolah dan keluarga juga mengupayakan berbagai hal, namun krisis ini masih terus berlanjut, dan bisa dilihat karena masih ada anak-anak yang menjadi korban. Menurut Borba (2008) hal ini dapat disebabkan karena para orangtua melewatkan satu bagian yang sangat penting yaitu sisi moral dalam kehidupan anak.

Berbeda halnya dengan Newman & Newman (2006) dilema moral yang dialami anak-anak bukanlah tentang aborsi, plagiat, dan kekerasan-kekerasan lainnya. Lebih dari itu dilema moral yang terjadi pada anak adalah mengenai pemahaman bahwasanya berbohong, mencontek, mencuri, menyakiti orang lain dan memperolok anak-anak lain yang berbeda adalah salah secara moral. Sebaliknya, mengatakan suatu kebenaran, berbagi, bermain secara fair, menjadi seorang yang penolong, dan menghargai perbedaan-perbedaan orang lain adalah moral yang benar. Kekuatan moral diperlukan anak untuk menjaga adab mereka menghadapi kebobrokan moral yang sering terjadi di dunia ini.

Dilema moral yang juga tidak kalah mengkhawatirkan ini juga sudah mulai terjadi pada anak-anak sekarang, yaitu semakin kurangnya rasa hormat terhadap orangtua, guru, dan sosok-sosok lainnya. Seringkali terdengar keluhan dari orang tua dan para pendidik bahwa dibandingkan dengan anak-anak zaman


(14)

dulu, anak-anak sekarang cenderung lebih sulit diatur, kurang menghargai orang tua dan guru. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Sari (bukan nama sebenarnya) seorang guru sekolah dasar yang telah mengajar selama 10 tahun, berikut ini:

“moral anak sekarang ini jauh….terlebih dalam jangka waktu 3 tahun terakhir ini, anak sekarang itu kurang sekali rasa kasih sayangnya, menolong sesama teman, misalnya kalau ada teman yang jatuh atau gak punya pinsil gak ada rasa ingin menolong, toleransinya gak ada, gak mau peduli gitu, apalah kita bilang istilahnya ya, gak ada rasa kasih sayangnya gitulah, beda sekali sama anak-anak dulu. Kalau sama guru, ya guru yang ngajar dia aja, kalau sama guru-guru yang gak ngajar dia, mereka gak mau peduli, gak ada rasanya rasa penghormatan pada semua guru gitu”

(Komunikasi Personal, Medan, 3 Maret 2009) Norma etika yang memuat kearifan hidup seperti kesabaran, toleransi, tenggang rasa, gotong royong dan lainnya yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan telah menjadi sesuatu yang asing dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya sikap seperti ”asal gue senang, peduli amat dengan orang lain”, justru merupakan hal yang kerap kali dijumpai sejak era modernisasi dan globalisasi informasi sekarang ini. Anak zaman sekarang telah melupakan kearifan budaya asli yang bermuatan etika hidup dan bermakna luhur, seperti gotong royong, rasa empati, siap menolong tanpa pamrih, toleran, tenggang rasa dan lain sebagainya (Tedjalaksana, 2008).

Moralitas sendiri merupakan suatu perangkat prinsip yang membantu individu untuk membedakan mana yang benar atau yang salah, dan bertindak berdasarkan perbedaan tersebut (Martin & Colbert, 1997). Berns (1997) juga mengemukakan bahwa moralitas mencakup kepatuhan akan aturan sosial dalam kehidupan sehari-hari atau aturan personal seseorang untuk berinteraksi dengan


(15)

orang lain. Dengan fenomena yang terjadi, anak memiliki tantangan yang lebih berat akan hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta hal-hal yang etis dan tidak etis.

Perkembangan moral anak yang sesungguhnya dapat dilihat dari dua aspek yaitu perilaku moral dan pertimbangan moral. Perilaku moral adalah perilaku yang dilandasi atau dipikirkan sebelumnya oleh pelakunya, berupa alasan dan motivasi yang bernilai moral (Kurtines & Gerwitz, 1992). Sebaliknya suatu tindakan tidak dapat dipandang sebagai perilaku moral, bila perilaku tersebut tidak pernah dipikirkan oleh pelakunya, misalnya seseorang yang melompat ke sungai untuk menyelamatkan orang lain yang hendak tenggelam, akan tetapi motifnya adalah untuk mendapatkan hadiah, maka tindakan tersebut tidak dapat dipandang sebagai sebuah perilaku bermoral. Dengan kata lain, betapapun bermanfaatnya suatu perilaku moral terhadap nilai kemanusiaan, namun jika perilaku tersebut tidak disertai dan didasarkan pada pertimbangan moral, maka perilaku tersebut belum dapat dikatakan sebagai perilaku moral yang mengandung nilai moral.

Sementara pertimbangan moral menurut Kohlberg (1995) merupakan apa yang diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar dan salah. Pertimbangan moral bukan berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk.


(16)

Banyak penelitian yang membahas tentang hubungan antara pertimbangan moral dengan perilaku moral, seperti penelitian Dreman (1976) tentang tahapan moral dengan kesediaan berbagi permen, Eisenberg (1977) tentang tahapan moral dengan ikut berperan serta dalam suatu kegiatan, dan Anderson (1976) tentang tahapan moral dengan menolong mencarikan lensa yang hilang. Lebih lanjut oleh Kohlberg (1995) dikatakan bahwasanya kematangan pertimbangan moral dapat dijadikan prediktor yang baik terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral.

Melalui pengukuran tingkat pertimbangan moral anak, akan dapat diketahui tinggi rendahnya moral tersebut. Pertimbangan moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral. Memperhatikan pertimbangan mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan tindakan seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975). Oleh sebab itulah beberapa peneliti yang meneliti tentang moral lebih tertarik untuk meneliti pertimbangan moral daripada perilaku moral.

Adapun tingkatan dalam pertimbangan moral ini menurut Kohlberg (1995) dibagi menjadi tiga tingkatan yang masing-masingnya terdiri dari dua tahap. Tingkat pertama adalah Preconventional morality, pada umunya dimulai usia 4 sampai 10 tahun. Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik


(17)

mereka yang memaklumkan peraturan dan semua label tersebut. Contohnya, seorang anak dalam melakukan atau memberikan sesuatu pada orang lain bukan karena rasa terima kasihnya atau sebagai curahan kasih sayang, tetapi bersifat pamrih (keinginan untuk mendapatkan balasan), ‘jika kau memberiku maka aku akan memberimu’.

Tingkat kedua adalah Conventional morality, berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Contohnya anak memandang suatu perbuatan itu baik, atau berharga baginya apabila dapat menyenangkan, membantu, atau disetujui/diterima orang lain.

Tingkat terakhir adalah Postconventional morality, dimulai dari masa remaja awal sampai seterusnya. Banyak orang yang tidak mencapai tingkat ini, bahkan sampai seseorang dewasa. Pada tahap terakhir ini seseorang melihat konflik berdasarkan standar-standar moral yang bersifat universal, dimana penilaian universal ini dapat berasal dari keadilan, kejujuran, kesamaan hak asasi manusia, penghormatan kepada martabat manusia maupun nilai-nilai spiritualitas, untuk kemudian memberikan penilaian mereka sendiri berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Contohnya, ketika seseorang berhadapan dengan hukum dan kata batinnya, maka ia akan lebih mengikuti kata batinnya, walaupun keputusan


(18)

tersebut akan memasukkan ia ke dalam sebuah bahaya. Kebenaran ditentukan oleh keputusan kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang logis, universal dan konsisten.

Menurut Hurlock (1990) perkembangan moral seorang anak sejalan dengan perkembangan kognitifnya, dengan kata lain semakin bertambah tingkat pengertian anak, semakin banyak pula nilai-nilai moral yang dianut oleh anak. Sejalan dengan hal ini Piaget juga menyatakan semakin bertambahnya usia anak, maka akan berkembang pula kemampuan berbahasa, pencapaian tingkat kognitif yang lebih tinggi sampai pada akhirnya anak memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan moral.

Kohlberg (1995) menyatakan meskipun perkembangan anak melewati tahapan yang tetap, usia anak dalam mencapai tahapan perkembangan moral tertentu dapat berbeda-beda, misalnya anak usia 10 tahun ada yang sudah mencapai tahap konvensional, namun ada pula yang masih pada tahap pra konvensional. Faktor-faktor penentu utama mengapa sejumlah orang mencapai tahap perkembangan pertimbangan moral yang berbeda antara lain banyaknya pengalaman dan keanekaragaman pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan berjumpa dengan sudut pandang orang lain.

Sementara Freud (dalam Sigelman & Rider, 2003) berasumsi bahwasanya anak pada umumnya memiliki tingkat moralitas yang masih rendah, dimana anak kurang memiliki superego, dan pada dasarnya dipenuhi oleh id, maka dari itu mereka bertindak sesuai dengan kebutuhan diri mereka, terkecuali orangtua dapat mengontrol mereka. Orangtua berkontribusi sangat besar dalam perkembangan


(19)

moral anak, dimana anak menginternalisir standar moral orangtua jika mereka ingin berperilaku sesuai moral, bahkan ketika tidak ada figur otoritas yang hadir untuk mendeteksi dan menghukum mereka.

Besarnya pengaruh pola asuh orangtua dalam hal perkembangan moral anak juga dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan Holstein (dalam Kohlberg, 1995) yang memperlihatkan bahwa anak-anak yang telah maju dalam pertimbangan moral memiliki orang tua yang juga maju dalam hal pertimbangan moral. Orang tua yang berusaha mengenal pandangan anak, dan yang mendorong terjadinya perbandingan pandangan lewat dialog, mempunyai anak yang lebih maju dalam hal moral. Demikian juga Buck (dalam Bornstein, 2002) menemukan adanya hubungan yang positif, orangtua yang memiliki pertimbangan moral yang tinggi memiliki anak yang memiliki pertimbangan moral yang tinggi pula, dengan menerapkan pola komunikasi yang lebih banyak dalam diskusi-diskusi keluarga.

Melihat peran orang tua yang cukup besar, maka orang tua memiliki tanggung jawab untuk menerapkan metode pengasuhan yang dapat menjawab tantangan keluarga masa kini, yang kemudian memunculkan alternatif pilihan pola asuh, diantaranya yaitu pola pengasuhan spiritual, pola asuh yang memprioritaskan Tuhan dan ajaran Ilahiyah dalam kehidupan keluarga yang disebut spiritual parenting. Nashori (2006) juga menyatakan bahwasanya gagasan tentang peran orangtua dalam meningkatkan spiritualitas termasuk konsep Tuhan pada diri anak diwadahi oleh konsep spiritual parenting. Gagasan umumnya adalah mengakrabkan konsep Tuhan kepada anak-anak sejak usia dini.


(20)

Pada pembahasan sebelumnya dinyatakan bahwasanya tingkat pertimbangan moral yang paling tinggi adalah tingkat pertimbangan moral yang didasarkan pada nilai-nilai universal yang dapat diambil dari spiritualitas. Goldberg (dalam Paloutzian & Park, 2005) mengatakan bahwa spiritualitas sekarang telah dilukiskan sebagai sebuah pencarian untuk kebenaran universal. Demikian juga penelitian Walker dan Pitts’s (dalam Paloutzian & Park, 2005) mengenai kematangan moral, disini dimasukkan sebuah sesi pertanyaan yang menanyakan kepada partisipan bagaimana mereka merepresentasikan ciri seseorang yang memiliki moral, religius dan spiritual, dalam hal ini Walker percaya bahwa kematangan moral sangat berkaitan dengan spiritual.

Menurut Pamugari (dalam Irianto, 2002), spiritual parenting adalah sistem pengasuhan anak dengan paradigma menanamkan keimanan dan kesadaran rohani. Metode ini tergolong baru karena menggunakan paradigma holistik dalam memandang manusia. Pendidikan holistik adalah pendidikan yang ditujukan untuk membangun seluruh dimensi manusia, yaitu untuk membangun dimensi sosial, emosi, motorik, akademik, spiritual, dan kognitif. Selama ini menurutnya, paradigma pendidikan di Indonesia bersifat parsial maksudnya, aspek rohaniah acap kali diabaikan ketimbang aspek fisik dan intelektual.

Spiritual parenting mengimplikasikan bahwasanya orang tua tidak hanya

hadir untuk anak mereka, namun juga untuk diri mereka sendiri (Hart, 2004). Seseorang yang lebih dulu mengakui diri sendiri sebagai makhluk spiritual, maka seseorang itu dapat mendidik anak-anak dengan menyadari bahwa anak-anak adalah individu yang benar-benar berketuhanan (Doe,1998)


(21)

Prinsip pendidikan anak secara spiritual (spiritual parenting) diantaranya adalah memperlakukan anak-anak sebagai sosok individu yang utuh, menawarkan spiritualitas sehari-hari yang dapat memupuk jiwa anak. Spiritualitas ada dalam kehidupan rutin para orang tua bersama anak-anak, peristiwa sehari-hari, percakapan saat makan malam, menciptakan ritual yang nyaman, melaksanakan tugas rumah sehari-hari, yang berpotensi untuk menjadi momen-momen suci (Doe, 1998).

Hidayat (dalam Irianto, 2002) menambahkan bahwa prinsip spiritual parenting bisa diterapkan misalnya dengan mengajak anak untuk mengapresiasi Tuhan melalui ciptaannya, bisa melalui keindahan alam, sinar matahari, ataupun warna-warni bunga, anak diajak mengagumi dan menghayati karya Tuhan. Doe (dalam Irianto, 2002) lewat bukunya juga mengutarakan cara mengimplementasi prinsip spiritual parenting, inti penerapannya tidak jauh berbeda dengan pendidikan agama yang diterapkan selama ini. Bedanya, metode baru ini tak mencekoki anak dengan doktrin-doktrin ketuhanan. Ia merangsang anak untuk berpikir tentang Tuhan, memberikan pencitraan Tuhan yang mencintai, bukan Tuhan yang menunggu dengan rotan untuk memukul.

Pengasuhan dengan cara spiritual parenting mengajarkan bahwasanya setiap kejadian bisa dijadikan momentum yang baik untuk mendidik, dengan cara melibatkan anak berdiskusi dan berpikir dalam mempelajari segala kejadian. Hal ini akan mendorong anak untuk merefleksikan apa yang telah dikatakan atau diperbuatnya. Dengan terbiasa melibatkan anak berdiskusi, akan membantu anak untuk bisa berpikir pada tahapan yang lebih tinggi.


(22)

Manfaat spiritual parenting ini sendiri menurut Rachman (2002) antara lain bisa mengasah kepekaan dan keterhubungan manusia dengan Tuhan dalam pengertian universal. Manfaat lain adalah mendidik kepekaan kepada transendensi, nilai-nilai, moral, dan akhlak mulia. Karakter yang diajarkan pada anak meliputi toleransi, keterbukaan, kejujuran, rasa terima kasih, kemampuan memaafkan dan mencintai. Nashori (2006) menambahkan inti dari spiritual

parenting adalah usaha yang dapat ditempuh orangtua dalam kehidupan

sehari-hari untuk menguatkan spiritualitas anak.

Namun demikian masih terdapat perbedaan pendapat antara sejumlah peneliti tentang hubungan antara pola asuh dan tingkat pertimbangan moral anak, antara lain Walker & Taylor (dalam Bornstein, 2002) menemukan bahwasanya tidak ada hubungan antara tingkat pertimbangan moral dengan gaya interaksi atau pola asuh terhadap anak. Sementara Menurut Kohlberg (1995) proses perkembangan pertimbangan moral tidak terjadi karena transmisi informasi melalui hukum-hukum biologi genetik, tidak juga karena proses pembentukan perilaku langsung terhadap (misalnya pelaziman operan menurut teori belajar Behaviouristik), melainkan terjadi dalam dan melalui “interaksi” pribadi tersebut dengan seluruh kondisi sosial hidupnya. Oleh karena itu peneliti ingin melihat gambaran tingkat pertimbangan moral anak dengan kondisi sosial yang memberi perhatian lebih terhadap aspek spiritual, khususnya dalam pola asuh yang disebut

spiritual parenting.

Berdasarkan pembahasan di atas, peneliti tertarik untuk melihat gambaran pertimbangan moral anak dengan pola pengasuhan spiritual (spiritual parenting).


(23)

B. Rumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Untuk itu, peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut yaitu:

1. Bagaimana gambaran pertimbangan moral anak dengan pola asuh spiritual?

2. Bagaimana orangtua dengan pola asuh spiritual menanamkan nilai-nilai moral pada anak?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pertimbangan moral pada anak dengan spiritual parenting.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah diharapkan agar hasil penelitian ini dapat memberikan informasi di bidang psikologi pada umumnya dan secara khusus pada bidang psikologi perkembangan terutama yang berkaitan dengan pertimbangan moral pada anak dengan spiritual parenting.

2. Manfaat Praktis

a. Memberi informasi pada masyarakat, khususnya bagi orang tua, mengenai gambaran pertimbangan moral anak dengan spiritual


(24)

parenting, sehingga orang tua dapat lebih bijak untuk menentukan

proses apa yang akan mereka jalani dalam melakukan pola asuh terhadap anak.

b. Memberi informasi pada masyarakat tentang hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi perkembangan pertimbangan moral anak.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Latar Belakang

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain mengenai definisi spiritual parenting, moral dan pertimbangan moral, spiritual, pola asuh (parenting), pertimbangan moral pada anak dengan spiritual parenting serta paradigma penelitian. Bab III Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kualitatif, subjek dan lokasi penelitian, teknik pengambilan data, metode pengambilan data, kredibilitas penelitian, tahap pelaksanaan dan prosedur penelitian, dan teknik dan proses pengolahan data.


(25)

Bab IV Analisa Data dan Interpretasi Data

Bab ini berisi deskripsi data responden, analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

Bab V Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran mengenai penalaran moral pada anak dengan pola asuh spiritual parenting.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Spiritual Parenting 1. Definisi Spiritual

Spiritualitas menurut Schreurs (2002) merupakan hubungan personal seseorang terhadap sosok transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan dan pengharapannya terhadap Yang Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.

Elkins (1988) merujuk spiritualitas sebagai cara individu memahami keberadaan maupun pengalaman yang terjadi pada dirinya. Bagaimana individu memahami keberadaan maupun pengalamannya dimulai dari kesadarannya mengenai adanya realitas transenden (berupa kepercayaan kepada Tuhan atau apapun yang dipersepsikan individu sebagai sosok transenden) dalam kehidupan dan dicirikan oleh pandangan atau nilai-nilai yang dipegangnya berkaitan dengan diri sendiri, orang lain secara universal, alam, hidup, dan apapun yang dipersepsikannya sebagai Yang Mutlak.

Spiritualitas sering dikaitkan dengan agama, namun agama dan spiritualitas memiliki perbedaan. Agama menurut Miller & Thoresen (dalam Paloutzian & Park, 2005) seringnya dikarakteristikkan sebagai sebuah institusi, kepercayaan individu dan praktek, sementara spiritualitas sering diasosiasikan dengan keterhubungan atau perasaan di dalam hati dengan Tuhan.


(27)

Menurut Doe (1998) spiritualitas adalah kepercayaan akan adanya kekuatan nonfisik yang lebih besar daripada kekuatan diri, suatu kesadaran yang menghubungkan manusia langsung dengan Tuhan, atau apapun yang dinamakan sebagai keberadaan manusia. Spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Spiritualitas lebih merupakan sebentuk pengalaman psikis yang meninggalkan kesan dan makna yang mendalam. Sementara pada anak hakikat spiritual tercermin dalam kreativitas tak terbatas, imajinasi luas, serta pendekatan terhadap kehidupan yang terbuka dan gembira.

Maslow mendefinisikan spiritualitas sebagai sebuah tahapan aktualisasi diri seseorang, di mana seseorang berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih, kedamaian, toleransi, kerendah-hatian, serta memiliki tujuan hidup yang jelas. Menurut Maslow, pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia serta merupakan peneguhan dari keberadaannya sebagai makhluk spiritual. Pengalaman spiritual merupakan kebutuhan tertinggi manusia. Bahkan Maslow menyatakan bahwa pengalaman spiritual telah melewati hierarki kebutuhan manusia.

Berdasarkan berbagai defenisi dari penjelasan di atas, peneliti berkesimpulan bahwa spiritualitas adalah kesadaran manusia akan adanya keterhubungan antara manusia dengan Tuhan atau sesuatu yang dipersepsikan sebagai sosok transenden. Spiritualitas mancakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan dan pengharapannya terhadap Yang Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.


(28)

2. Aspek-aspek Spiritualitas

Schreurs (2002) menjabarkan spiritualitas sebagai proses perubahan yang terjadi pada diri seseorang. Proses tersebut terdiri dari tiga aspek yaitu aspek eksistensial, aspek kognitif dan aspek relasional.

1. Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktifitas yang dilakukan seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (“True

Self”) pada tahap eksistensial.

2. Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman tersebut. Disebut aspek kognitif karena aktivitas yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.

3. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan (dan/atau bersatu dengan cinta-Nya). Pada aspek ini seseorang membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan.


(29)

3. Defenisi Parenting

Menurut Darling (1999) pola asuh (parenting) adalah suatu aktifitas yang kompleks yang meliputi beberapa tingkah laku spesifik yang bekerja secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk mempengaruhi anak. Pengertian parenting menurut Gunarsa (1995) adalah cara orang tua bertindak sebagai orang tua terhadap anak-anaknya dimana mereka melakukan serangkaian usaha aktif.

Parenting adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan,

memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari (Meichati, 1978). Menurut Gunarsa (1989) keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal anak untuk pertama kalinya, dan untuk seterusnya anak belajar didalam kehidupan keluarga.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah serangkaian usaha aktif yang diterapkan oleh orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya, meliputi cara mendidik, memberikan perlindungan, perhatian, aturan-aturan, hadiah atau hukuman, serta tanggapan terhadap anaknya dalam kehidupan sehari-hari.

4. Dimensi Parenting

Hetherington & Parke (1999) membagi dua dimensi pola asuh yaitu emosionalitas dan kontrol.

1. Emosionalitas

Kehangatan yang diberikan orangtua sangat penting dalam proses sosialisasi. Ketika orangtua mengasihi dan hangat terhadap anak, anak akan cenderung mempertahankan kedekatannya dengan orangtua dan akan merasa stress


(30)

apabila kehilangan kasih sayang dari mereka. Sebaliknya orangtua yang melakukan penolakan terhadap anaknya, cenderung membuat anak menarik diri dari sosialisasinya. Crockenberg dan Litman mengemukakan bahwa kehangatan yang diberikan orangtua juga berhubungan dengan respon orangtua terhadap kebutuhan anak, sehingga anak akan merasa aman, nyaman, dan percaya diri.

2. Kontrol

Orangtua mempunyai kontrol yang lebih besar dalam interaksinya dengan anak. Orangtua yang konsisten dalam memberikan kontrol akan membuat anak menginternalisasikan standar yang diberikan oleh orangtua.

5. Defenisi Spiritual Parenting

Nashori (2006) menyatakan dalam khazanah pemikiran psikologi kontemporer, gagasan tentang peran orangtua dalam meningkatkan spiritualitas termasuk konsep Tuhan pada diri anak diwadahi oleh konsep spiritual parenting. Pamugari (dalam Irianto, 2002) mendefenisikan spiritual parenting sebagai sistem pengasuhan anak dengan paradigma menanamkan keimanan dan kesadaran rohani. Metode ini tergolong baru karena menggunakan paradigma holistik dalam memandang manusia. Pendidikan holistik adalah pendidikan yang ditujukan untuk membangun seluruh dimensi manusia, yaitu untuk membangun dimensi sosial, emosi, motorik, akademik, spiritual, kognitif, sehingga membentuk insan yang seutuhnya.

Proses terbentuknya konsep Tuhan pada anak umumnya dipahami sebagai proses transformasi (pengalihan) gagasan dari orang dewasa (orangtua dan guru)


(31)

kepada anak-anak. Adanya anggapan bahwa proses terbentuknya konsep Tuhan pada anak hanya terjadi karena proses transformasi gagasan semata seringkali membuat orangtua dan guru memahami bahwa pendidikan agama itu dilangsungkan dengan mentransfer sebanyak mungkin pengetahuan agama dan Tuhan pada anak. Pengajaran agama akhirnya cenderung ditekankan pada aspek kognitif. Pengaruhnya mungkin tidak terasa, namun sosok Tuhan yang diberikan dengan lebih menitikberatkan pada aspek kognitif, jelas akan kesulitan untuk dihadirkan sebagai teman dialog. Anak dapat menjelaskan keberadaan Tuhan dengan panjang lebar namun jelas tidak secara langsung membuat anak merasakan kehadiran Tuhan. Proses inilah yang menyebabkan pendidikan agama gagal menumbuhkan kearifan, kesadaran dan pengalaman ketuhanan (Artanto, 2006).

Sementara menjadi orang tua dengan menerapkan spiritual parenting berarti memprioritaskan kehidupan diri kita sendiri, dimana Tuhan berada pada urutan tertinggi, sehingga jiwa orangtua dan jiwa anak menjadi sangat penting.

Spiritual parenting mengimplikasikan bahwasanya orang tua tidak hanya hadir

untuk anak mereka, namun juga untuk diri mereka sendiri (Hart, 2004). Seseorang yang lebih dulu mengakui diri sendiri sebagai makhluk spiritual, maka seseorang itu dapat mendidik anak-anak dengan menyadari bahwa anak-anak adalah individu yang benar-benar berketuhanan (Doe,1998)

Diantara prinsip pendidikan anak secara spiritual (spiritual parenting) adalah memperlakukan anak-anak sebagai sosok individu yang utuh, menawarkan spiritualitas sehari-hari yang dapat memupuk jiwa anak. Spiritualitas ada dalam


(32)

kehidupan rutin para orang tua bersama anak-anak, peristiwa sehari-hari, percakapan saat makan malam, menciptakan ritual yang nyaman, melaksanakan tugas rumah sehari-hari, yang berpotensi untuk menjadi momen-momen suci (Doe, 1998).

Hidayat (dalam Irianto, 2002) menambahkan bahwa prinsip spiritual parenting bisa diterapkan misalnya dengan mengajak anak untuk mengapresiasi Tuhan melalui ciptaannya, bisa melalui keindahan alam, sinar matahari, ataupun warna-warni bunga, anak diajak mengagumi dan menghayati karya Tuhan. Doe (dalam Irianto, 2002) lewat bukunya juga mengutarakan cara mengimplementasi prinsip spiritual parenting, inti penerapannya tidak jauh berbeda dengan pendidikan agama yang diterapkan selama ini. Bedanya, metode baru ini tidak mencekoki anak dengan doktrin-doktrin ketuhanan. Ia merangsang anak untuk berpikir tentang Tuhan, memberikan pencitraan Tuhan yang mencintai, bukan Tuhan yang menunggu dengan rotan untuk memukul.

Inti dari spiritual parenting adalah usaha yang dapat ditempuh orang tua dalam kehidupan sehari-hari untuk menguatkan spiritualitas anak. Gagasan umumnya adalah mengakrabkan konsep Tuhan kepada anak-anak sejak usia dini (Nashori, 2006).

Berdasarkan uraian di atas maka pengertian spiritual parenting adalah pola asuh menempatkan Tuhan pada urutan tertinggi, dalam sikap dan perilaku, yang diterapkan oleh orang tua dalam berinteraksi dengan anak, meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, atau hukuman, dan cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.


(33)

B. Pertimbangan Moral 1. Defenisi Moral

Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Menurut Martin & Colbert (1997), moralitas adalah satu perangkat prinsip yang membantu individu untuk membedakan mana yang benar dan yang salah, dan bertindak berdasarkan perbedaan tersebut. Berns (1997) juga mengemukakan bahwa moralitas mencakup mematuhi aturan sosial dalam kehidupan sehari-hari dan conscience atau aturan personal seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain.

Moralitas mencakup tiga komponen dasar (Sigelman & Rider, 2003), antara lain :

1. Komponen Afektif atau disebut juga emosional, yaitu kebutuhan emosional anak untuk menginternalisasi standar moral orang tua, mencakup empati dan rasa bersalah. Terdiri dari perasaan, seperti perasaan bersalah, memberikan perhatian pada perasaan orang lain, dan perasaan yang berkaitan dengan perilaku benar dan salah yang dilakukan, dimana hal tersebut memotivasi untuk pemikiran kognitif dan tindakan, misalnya perasaan apa yang berkembang pada saat seorang anak mencontek, apakah ia merasa malu, bersalah, cemas atau takut.

2. Komponen kedua adalah kognitif, berpusat dari bagaimana seseorang mengkonseptualisasikan benar atau salah dan membuat keputusan bagaimana akan berperilaku. Komponen ini termasuk kemampuan-kemampuan sosial kognitif, seperti pengambilan peran, mempelajari nilai moral dari suatu


(34)

komunitas. Nilai moral sendiri merupakan penilaian terhadap tindakan yang umumnya diyakini oleh para anggota suatu masyarakat tertentu sebagai ‘yang salah’ dan ‘yang benar’ (Berkowitz, dalam Kohlberg, 1995). Misalnya ketika seorang anak diajak untuk sharing terhadap permasalahan-permasalahan yang dialami oleh orang lain, disini anak akan berusaha mengambil perspektif orang lain untuk kemudian menilai dan memberikan alasan penalarannya apakah sesuatu itu baik atau buruk.

3. Komponen ketiga yaitu perilaku, merefleksikan bagaimana kita sebenarnya berperilaku pada berbagai kondisi yang menuntut adanya penilaian moral, misalnya ketika seseorang anak dihadapkan pada kesempatan untuk mencuri atau menolong orang yang membutuhkan, apa yang kemudian ia lakukan dalam bentuk perilaku.

2. Defenisi Pertimbangan Moral

Kohlberg dalam menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah seperti moral-reasoning, moral-thinking, dan moral-judgment, sebagai istilah-istilah yang mempunyai pengertian sama dan digunakan secara bergantian. Istilah tersebut dialih bahasakan menjadi pertimbangan moral (setiono, 1982, Pratidarmanastiti, 1991).

Pertimbangan moral dipandang sebagai suatu struktur bukan isi. Pertimbangan moral bukanlah pada apa yang baik atau yang buruk, tetapi pada bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk (Kohlberg, 1995). Jika pertimbangan moral dilihat sebagai isi, maka


(35)

sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akan sangat relatif. Tetapi jika pertimbangan moral dilihat sebagai struktur, maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan pertimbangan moral seorang anak dengan orang dewasa, dan hal ini dapat diidentifikasi tingkat perkembangan moralnya.

Pertimbangan moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral. Memperhatikan pertimbangan mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan perilaku seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975).

Rest (dalam Kaplan, 2006) menyatakan bahwa moralitas tidak semata-mata didasarkan pada psikis seseorang, tetapi timbul dari kondisi sosial karena individu hidup dalam group. Pertimbangan moral merefleksikan kemampuan seseorang untuk berpikir mengenai isu-isu moral dalam situasi kompleks. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kohlberg (dalam Glover, 1997), pertimbangan moral didefinisikan sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap kewajiban yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan.

Berdasarkan uraian teori di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pertimbangan moral adalah penilaian berupa apa yang diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai isu-isu moral dalam situasi kompleks, alasan mengapa suatu tindakan dilakukan dalam menilai suatu tingkah laku, sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk, benar atau salah.


(36)

3. Tahapan-tahapan Perkembangan Pertimbangan Moral

Tahapan perkembangan pertimbangan moral dari Kolhlberg (1995) dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan yang masing-masingnya terdiri dari dua tahap: prakonvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Mengikut i persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori Perkembangan Kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan, setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.

1. Tingkat Prakonvensional

Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Atau dari segi kekuatan fisik mereka yang memaklumkan peraturan dan semua label tersebut. Pada umunya dimulai usia 4 sampai 10 tahun. Terdapat dua tahap pada tingkat ini :

Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan

Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya, dinilai sebagai hal yang bernilai dalam


(37)

dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.

Tahap 2 : Orientasi relativis-instrumental

Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia dipandang seperti hubungan di pasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal “Jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.

2. Tingkat Konvensional

Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Tingkat ini berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap : Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “Anak Manis”

Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitas


(38)

terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai dari niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.

Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban

Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.

3. Tingkat Pasca-Konvensional, Otonom atau yang Berlandaskan Prinsip

Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Tahap ini sudah dimulai dari masa remaja awal sampai seterusnya. Namun banyak orang yang tidak mencapai tingkat ini, bahkan sampai seseorang dewasa. Ada dua tahap pada tingkat ini :

Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial legalistis

Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat


(39)

suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak merupakan unsur perangkat kewajiban.

Tahap 6 : Orientasi prinsip etika universal

Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret dari agama. Pada hakikatnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas, dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.

4. Komponen Pertimbangan Moral

Rest membagi komponen pertimbangan moral menjadi empat hal (dalam Kurtines & Gerwitz, 1992). Adapun empat komponen utama pertimbangan moral yang dikemukakan oleh Rest, antara lain :

1. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral (mencakup empati, berbicara selaras dengan perannya, memperkirakan


(40)

bagaimana masing-masing pelaku dalam situasi terpengaruh oleh berbagai tindakan tersebut).

2. Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan seseorang, merumuskan suatu rencana tindakan yang merujuk kepada suatu standar moral atau suatu ide tertentu (mencakup konsep kewajaran & keadilan, pertimbangan moral, penerapan nilai moral sosial).

3. Mengevaluasi berbagai perangkat tindakan yang berkaitan dengan bagaimana caranya orang memberikan penilaian moral atau bertentangan dengan moral, serta memutuskan apa yang secara aktual akan dilakukan seseorang (mencakup proses pengambilan keputusan, model integrasi nilai, dan perilaku mempertahankan diri).

4. Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan yang berbobot moral (mencakup ego-strength dan proses pengaturan diri).

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertimbangan Moral

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan moral seseorang, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Perkembangan kognitif. Menurut Kohlberg ada hubungan paralel antara tahap perkembangan kognitif dengan tahap perkembangan moral. Namun bukan berarti seseorang yang memiliki perkembangan kognitif tinggi akan memiliki tahap perkembangan pertimbangan moral yang tinggi pula. Perkembangan kognitif berhubungan erat dengan intelegensi seseorang. Seseorang yang memiliki tingkat perkembangan kognitif yang tinggi cenderung memiliki intelegensi yang tinggi pula, dengan demikian akan mempengaruhi tingginya


(41)

tahap perkembangan moral orang tersebut. Menurut Bandura (1991, dalam Berns, 1997) dan Hoffman (1970), intelegensi adalah faktor yang dapat mempengaruhi tingkat perkembangan moral seseorang.

2. Pendidikan. Pendidikan adalah prediktor yang kuat dari perkembangan penalaran moral, karena lingkungan pendidikan yang lebih tinggi menyediakan kesempatan, tantangan dan lingkungan yang lebih luas yang dapat merangsang perkembangan pertimbangan moral yang lebih tinggi (Rest, 1994).

3. Kemampuan alih peran. Kemampuan alih peran adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan diri pada peran orang lain atau mengambil sikap dari sudut pandang orang lain, sadar akan pikiran dan perasaan orang lain. Stimulasi sosial yang mendasar untuk perkembangan pertimbangan moral adalah kesempatan alih peran melalui interaksi dan komunikasi dalam kelompok, seperti keluarga, teman sebaya, sekolah, dan masyarakat. Suasana dalam keluarga yang dapat memungkinkan terjadinya dialog dan diskusi tersebut yang nantinya akan memungkinkan kesempatan alih peran. Karena dalam pola asuh seperti ini orang tua mendorong untuk adanya proses dialogis dan memberi alasan dibalik peraturan-peraturan mereka kepada anak. Sehingga anak memiliki kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan mempertimbangkan juga pendapat orang tua (Lickona, dalam Berns, 1977). 4. Timbulnya konflik moral-kognitif. Pengalaman akan konflik moral kognitif


(42)

menampilkan situasi pengambilan keputusan yang melibatkan konflik moral (Lickona, 1976).

5. Pola Asuh. Menurut Holstein (dalam Hurlock 1990), anak-anak yang terlahir di tengah-tengah keluarga yang demokrat sangat membantu anak mencapai tahap perkembangan moral yang tinggi. Hal tersebut dapat dimengerti karena salah satu ciri dari pola asuh demokratis yaitu adanya kesempatan untuk terjadinya proses dialog antara orangtua dan anak serta adanya kebebasan bagi anak untuk mengungkapkan atau mengekspresikan ide dan keinginan mereka. 6. Kepribadian. Kontrol diri dan temperamen dapat mempengaruhi

perkembangan moral seseorang. Penelitian Mischel, Shoda & Peake (1988 dalam Berns, 1977) menunjukkan bahwa anak yang memiliki kontrol diri dapat menahan keinginan untuk berbincang-bincang selama eksperimen. Anak-anak yang memiliki kontrol diri ini dinilai sebagai anak yang lebih kompeten dan memiliki tanggung jawab secara sosial sepuluh tahun kemudian pada masa remajanya.

Menurut Yusuf (2004) ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan moral, antara lain :

1. Konsisten dalam mendidik anak

Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak


(43)

Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih saying, keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan konsisten.

3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religius, dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik

4. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma

Orangtua yang tidak meghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak jujur.

C. Pertimbangan Moral pada Anak dengan Pola Asuh Spiritrual Parenting Dampak buruk perkembangan media massa dan teknologi sekarang ini ternyata bukan hanya terjadi pada kalangan remaja, tetapi juga sudah menyentuh anak-anak usia sekolah dasar. Di satu sisi kemajuan jaman ini memberikan


(44)

banyak kemajuan teknologi yang memungkinkan anak memperoleh fasilitas yang serba canggih. Namun di sisi lain kemajuan tersebut juga membawa dampak negatif seperti tersedianya informasi negatif yang sulit untuk dihindari, misalnya kekerasan, pornografi, konsumerisme dan lain-lain melalui berbagai media informasi tersebut. Indikator lain yang juga mengkhawatirkan pada sikap anak adalah semakin kurangnya rasa hormat terhadap orangtua, guru, dan sosok-sosok lainnya. Menurut Borba (2008) hal ini dapat disebabkan karena para orangtua melewatkan satu bagian yang sangat penting yaitu sisi moral dalam kehidupan anak.

Moralitas sendiri merupakan suatu perangkat prinsip yang membantu individu untuk membedakan mana yang benar atau yang salah, dan bertindak berdasarkan perbedaan tersebut (Martin & Colbert, 1997). Berns (1997) juga mengemukakan bahwa moralitas mencakup kepatuhan akan aturan sosial dalam kehidupan sehari-hari atau aturan personal seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain.

Perkembangan moral anak yang sesungguhnya dapat dilihat dari dua aspek yaitu perilaku moral dan pertimbangan moral. Perilaku moral adalah perilaku yang dilandasi atau dipikirkan sebelumnya oleh pelakunya, berupa alasan dan motivasi yang bernilai moral (Kurtines & Gerwitz, 1992). Sedangkan pertimbangan moral menurut Kohlberg (1995) merupakan apa yang diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar dan salah. Pertimbangan moral buka n berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan


(45)

bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk.

Kematangan pertimbangan moral dapat dijadikan prediktor yang baik terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Memperhatikan pertimbangan mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan tindakan seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975). Oleh sebab itulah peneliti lebih tertarik untuk meneliti pertimbangan moral daripada perilaku moral.

Pertimbangan moral sendiri memiliki beberapa tingkatan, menurut Kohlberg (1995) dibagi menjadi tiga tingkatan yang masing-masingnya terdiri dari dua tahap. Tingkat pertama adalah prakonvensional, dimulai usia 4 sampai 10 tahun. Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka yang memaklumkan peraturan dan semua label tersebut. Tingkat kedua adalah konvensional, berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan


(46)

diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Tingkat terakhir adalah pasca-konvensional, dimulai dari masa remaja awal sampai seterusnya. Banyak orang yang tidak mencapai tingkat ini, bahkan sampai seseorang dewasa. Pada tahap terakhir ini seseorang melihat konflik berdasarkan standar-standar moral yang bersifat universal, dimana penilaian universal ini dapat berasal dari keadilan, kejujuran, kesamaan hak asasi manusia, penghormatan kepada martabat manusia maupun nilai-nilai spiritualitas, untuk kemudian memberikan penilaian mereka sendiri berdasarkan prinsip-prinsip tersebut.

Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori Perkembangan Kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu, juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan, setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya. Namun meskipun perkembangan kognitif anak melewati tahapan yang tetap, usia anak dalam mencapai tahapan perkembangan moral tertentu dapat berbeda-beda.

Faktor-faktor penentu utama mengapa sejumlah orang mencapai tahap perkembangan pertimbangan moral yang berbeda antara lain banyaknya pengalaman dan keanekaragaman pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan berjumpa dengan sudut pandang orang lain. Faktor-faktor penentu lainnya mengapa sejumlah orang mencapai tahap perkembangan pertimbangan moral yang berbeda antara lain : perkembangan kognitif, pendidikan, kemampuan alih peran, pola asuh serta kepribadian.


(47)

Freud (dalam Sigelman & Rider, 2003) berasumsi bahwasanya anak pada umumnya memiliki tingkat moralitas yang masih rendah, dimana anak kurang memiliki superego, dan pada dasarnya dipenuhi oleh id, maka dari itu mereka bertindak sesuai dengan kebutuhan diri mereka, terkecuali orangtua dapat mengontrol mereka. Orangtua berkontribusi sangat besar dalam perkembangan moral anak, dimana anak menginternalisir standar moral orangtua jika mereka ingin berperilaku sesuai moral, bahkan ketika tidak ada figur otoritas yang hadir untuk mendeteksi dan menghukum mereka.

Selain faktor keluarga, dalam hal ini pola asuh orang tua, hal lain yang juga mempengaruhi perkembangan moral adalah agama. Kohlberg (1995) menyatakan bahwasanya perkembangan moral itu merupakan produk, pertama-tama dari keluarga dan yang kedua dari agama. Secara formal agama sering dihubungkan atau bahkan dianggap sama dengan spiritualitas, disebutkan bahwa agama adalah perwujudan dari spiritualitas manusia (Bustomi, 2007). Spiritualitas sendiri adalah kepercayaan akan adanya kekuatan nonfisik yang lebih besar daripada kekuatan diri, suatu kesadaran yang menghubungkan manusia langsung dengan Tuhan. Spiritualitas sebagai dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral dan rasa memiliki serta memberi arah dan arti pada kehidupan (Doe, 1998).

Melihat peran orang tua dan agama yang cukup besar, maka orang tua memiliki tanggung jawab untuk memilih metode pengasuhan yang dapat menjawab tantangan keluarga masa kini, yang kemudian memunculkan alternatif pilihan pola asuh, diantaranya yaitu pola pengasuhan spiritual, pola asuh yang memprioritaskan Tuhan dan ajaran Ilahiyah dalam kehidupan keluarga yang


(48)

disebut spiritual parenting. Nashori (2006) juga menyatakan bahwasanya gagasan tentang peran orangtua dalam meningkatkan spiritualitas termasuk konsep Tuhan pada diri anak diwadahi oleh konsep spiritual parenting. Gagasan umumnya adalah mengakrabkan konsep Tuhan kepada anak-anak sejak usia dini.

Pengasuhan dengan cara spiritual parenting mengajarkan bahwasanya setiap kejadian bisa dijadikan momentum yang baik untuk mendidik, dengan cara melibatkan anak berdiskusi dan berpikir dalam mempelajari segala kejadian. Hal ini akan mendorong anak untuk merefleksikan apa yang telah dikatakan atau diperbuatnya. Dengan terbiasa melibatkan anak berdiskusi, akan membantu anak untuk bisa berpikir pada tahapan yang lebih tinggi.

Manfaat spiritual parenting menurut Rachman (2002) antara lain bisa mengasah kepekaan dan keterhubungan manusia dengan Tuhan dalam pengertian universal. Manfaat lain adalah mendidik kepekaan kepada transendensi, nilai-nilai, moral, dan akhlak mulia. Dengan pola pengasuhan seperti ini diharapkan penurunan kualitas moral yang kerap terjadi pada anak zaman ini dapat dihindari. Anak diharapkan memiliki pertimbangan moral yang baik untuk dapat memilih mana yang benar dan salah, baik dan buruk.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pertimbangan moral pada anak dengan pola asuh spiritual parenting adalah merupakan apa yang diketahui dan dipikirkan seorang anak mengenai baik dan buruk atau benar dan salah, pada anak yang dididik dengan pola asuh spiritual parenting, yaitu pola asuh yang menempatkan Tuhan pada urutan tertinggi, dalam sikap dan perilaku, yang diterapkan oleh orang tua dalam berinteraksi dengan anak, meliputi cara


(49)

orang tua memberikan perhatian serta tanggapan atau aturan-aturan dan hukuman terhadap anaknya.


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam berkaitan dengan pertimbangan moral pada anak dengan pola asuh spiritual

parenting. Menurut Creswell (1994) penelitian kualitatif adalah suatu proses

penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Selanjutnya Taylor dan Bogdan (dalam Saragih, 2003) mengatakan bahwa penelitian kualitatif memberi kesempatan pada peneliti untuk dapat memahami cara responden menggambarkan dunia sekitarnya berdasarkan cara pola dan cara berpikir mereka. Peneliti berusaha masuk ke dunia konseptual subjek yang ditelitinya untuk menangkap apa (what) dan bagaimana (how) sesuatu terjadi. Peneliti berharap dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, peneliti dapat mendapatkan gambaran luas dan mendalam mengenai tahap perkembangan pertimbangan moral pada responden, faktor-faktor apa saja yang dapat


(51)

mempengaruhi pertimbangan moral pada diri responden dan dapat pula mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan orangtua responden dalam menjalani pola asuh spiritual parenting.

Doley (dalam Irmawati, 2002) mengemukakan bahwa dalam pendekatan kualitatif, teori tidak dipaksakan untuk mencari hubungan yang pasti antar variabel, melainkan lebih ditujukan untuk mencari dinamika masalah. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

Berdasarkan hal di atas, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode dalam meneliti pertimbangan moral pada anak dengan pola asuh

spiritual parenting, sehingga hasil yang didapat dalam penelitian ini dapat

memberikan gambaran dan dinamika yang luas tentang proses kognitif yang dialami subjek.

B. Responden dan Lokasi Penelitian

1. Karakteristik Responden

Dalam penelitian ini akan ada dua macam responden yang pertama adalah responden anak dan yang kedua adalah responden yang mempengaruhi dinamika psikologis terbentuknya konsep pada anak, yakni responden orangtua. Reponden anak pada penelitian ini adalah anak yang memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut :


(52)

a. Anak usia sekolah dasar

Menurut Santrock (2004), usia kanak-kanak tengah dan akhir disebut juga “masa sekolah dasar” dimulai dari usia enam sampai sebelas tahun.

b. Dididik dengan pola asuh spiritual parenting

Pola asuh spiritual parenting, yaitu pola asuh yang menempatkan Tuhan pada urutan tertinggi, dalam sikap dan perilaku, yang diterapkan oleh orang tua dalam berinteraksi dengan anak, meliputi cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan atau aturan-aturan dan hukuman terhadap anaknya.

a. Mudah untuk diajak berkomunikasi

Sementara pada responden orangtua, yaitu responden yang menerapkan pola asuh spiritual (spiritual parenting).

2. Jumlah Responden

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.

Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah dua orang, yang terdiri dari dua orang anak yang dididik dengan pola asuh spiritual parenting. Alasan utama


(53)

pengambilan jumlah sampel tersebut dengan pertimbangan keterbatasan dari peneliti sendiri baik waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Medan yaitu di rumah ataupun tempat yang telah disepakati sebelumnya untuk pertemuan dengan subjek. Pengambilan daerah penelitian tersebut adalah dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan sampel penelitian. Lokasi penelitian dapat berubah sewaktu-waktu dan disesuaikan dengan keinginan sampel penelitian.

C. Teknik Pengambilan Sampel

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Sampel dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili fenomena yang dipelajari (Poerwandari, 2001).

D. Teknik Pengambilan Data

Menurut Poerwandari (2001), metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah teknik wawancara yang merupakan teknik utama dalam pengambilan data.


(54)

1. Wawancara

Wawancara menurut Moleong (2005) adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Patton (dalam Poerwandari, 2001) membedakan tiga pendekatan dasar wawancara dalam memperoleh data kualitatif yaitu wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar terbuka. Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang bersifat umum, yaitu mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Pedoman digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (cheklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan.

Jenis wawancara yang digunakan dalam wawancara adalah wawancara mendalam (in depth-Interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi open-ended question yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001).


(55)

Hasil wawancara adalah berupa pernyataan-pernyataan yang menyeluruh dan mendalam mengenai pandangan atau penilaian subjek terhadap dilema-dilema moral dari cerita-cerita dilemma moral (Kohlberg, 1995), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penalaran moral subjek, serta upaya yang dilakukan orangtua subjek dalam menjalankan pola asuh spiritual (spiritual parenting). 2. Alat Bantu Pengumpulan Data

Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisa berdasarkan atas ”kutipan” hasil wawancara. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangatlah penting dan cukup rumit, untuk itu diperlukan suatu instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2005). Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Alat perekam (tape recorder)

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga peneliti dapat bertanya kembali kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan dikatakan subjek, alat perekam dapat merekam nuansa suara dan


(56)

bunyi aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan, dan sarkasme secara tajam (Padget, 1998).

b. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisa data nantinya.

3. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikankan konsep validitas (Poerwandari, 2001). Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.

Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan gambaran yang luas dan mendalam mengenai pertimbangan moral subjek serta aspek-aspek moral yang dapat dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pertimbangan moral.


(1)

357 sebangku sama sahabat 358

359

Iter Pendapat Talita tentang guru-guru di sekolah gimana?

360 Itee Mmh…sukalah, suka memperingatkan 361

362

Iter Tapi kalau kakak liat banyak murid yang gak takut sama guru?

363 364 365 366 367 368 369

Itee Ya.. memang gara-gara sangking gurunya baek, itu jadinya muridnya gak takut sama gurunya

Responden

berpendapat bahwa guru-guru sangat baik, sehingga murid tidak

memiliki rasa takut lagi

370 Iter Menurut Talita sebaiknya gimana ? 371

372 373 374

Tapi gak lembek lah.. jadi.. jadi kata guru-guru, jangan mentang-mentang gurunya baek jadi gurunya menugaskan anaknya untuk ngobrol, untuk hal yang gak baik 375

376 377

Iter Kalau kakak tanya Talita lebih banyak denger dari mana tentang Allah atau agama, dari bunda kah, dari ayah atau dari sekolah? 378

379 380 381 382 383

Itee Ya hampir sama.. tapi lebih banyak guru Responden mengaku bahwa peran sekolah lebih banyak dalam mengenalkan agama 384 Iter Bagaimana guru ngajarin agama?

385 386 387

Itee Bukan ngajarin agama tapi kisah tentang turunnya.. itu tentang turunnya surah-surah Al-Qur’an..

388 Iter Menarik? 389 Itee Ya menariklah.. 390 Iter Talita kapan ujian? 391

392 393 394 395

Itee Harusnya itu bulan September, tapi karena kasian sama muridnya jadinya itu.. apa diundur.. bulan oktober, jadinya mendesaklah.. tapi sekarang udah rajin ngerjain soal-soal.. buku soal

396 Iter Sendiri ? 397

398

Itee Ya sendiri.. kadang-kadang minta diajarin sama ayah atau bunda

399 400

Iter Ayah bunda sama-sama dari jurusan tehnik ya?


(2)

402 403

Iter Oya, kemarin si Bila bilang ada nonton-nonton video gitu ya ?

404 405 406 407

Itee Ya ya…yang di sekolah itu.. Jadi jika manusia telah berbuat dosa Allah mendapat.. Allah mengasi siksaan yang lebih berat.. dua kali lebih berat

Makna yang di dapat responden setelah menonton video di sekolah 408 Iter Takut ngeliatnya ?

409 410 411

Itee Ya takulah seperti berada di dalam neraka.. tapi waktu Talita ceritakan ke bunda itu, bunda gak percaya..

412 Iter Bunda karna gak pernah ngeliat kali? 413 Itee He eh..

414 415

Iter Berpengaruh sampe berapa hari itu filmnya ?

416 Itee Pengaruhnya… sampe setiap hari.. jadi.. 417 Iter Jadi apa?

418 419 420 421 422 423

Jadi sebenernya Tuhan tu ini.. Tuhan itu maha pengampun, jadi.. gak gara-gara seorang manusia tu membunuh manusia yang lain, dia jadinya bunuh diri gara-gara itu.. jadi Allah masukkan ke nerakalah.. gara-gara bunuh diri

Responden meyakini

bahwasanya Allah Pengampun dan Penyayang 424 Iter Jadi ?

425 Itee Allah itu Pengampun dan Penyayang 426 Iter Jadi kalau bunuh orang abis itu? 427

428 429

Itee Abis itu minta ampun kepada Allah dengan sungguh-sungguh, bukan dengan cara bunuh diri

430 431

Iter Bunda suka gak menceritakan sesuatu sama Talita? Misalnya sesuatu itu dibicarakan 432 Itee Yaa sukalah..

433 Iter Misalnya sesuatu itu di kasi alasan? 434

435 436 437 438

Itee He e.. iyah selalu.. ngajarkan tentang tata krama, jadi membuat Talita lebih dewasa, jadikan sebenernya tingkah laku Talita masih belum matang, belum dewasa, kadang-kadang itu..

439 440

Iter Maksudnya belum matangnya dalam hal apa?

441 442

Itee Gara-gara ada makan enak aja.. jadinya udah berlaku seenaknya..

443 Iter Misalnya? 444

445 446

Itee Bukan berlaku seenaknya, maksudnya di lantai.. abis tu tidur di lantai, terlalu ekspresif..


(3)

447 448

Iter Kalau di sekolah kayak gitu juga, terlalu ekspresif?

449 450 451 452 453 454 455 456 457

Itee Gak ekspresif.. kalo.. sebenernya Talita orangnya pendiem jika bertemu.. tapi kalau udah ketemu temen-temen jadi gak pendiam lagi.. kalau udah.. udah berapa taun lamanya tu beteman.. tapi kalo udah betemu itu orang dewasa tu jadi cerewet.. tapi kalo betemu dengan sebaya ato.. sebaya itu langsung pendiam apalagi ketemu dengan anak kecil makin pendiam..

Responden mengaku lebih banyak bicara ketika bertemu dengan seorang dewasa dibanding dengan teman sebaya, terlebih anak-anak 458 Iter Oh jadi sama orang dewasa cerewetnya ya ?

459 Itee He eh.., gak cerewet sih tapi banyak bicara 460

461

Iter Kalau mama gimana bicara sama Talita? Cara mama ngomong sama Talita gimana? 462

463 464 465 466 467

Itee Kalau lagi marah agak itu.. lagi marah tu apa ya.. eng itu jadinya apa ya, jadinya membuat, jadi gara-gara bunda marah, Talita banyak ngurung diri, gak mau ketemu bunda, diem aja selama berjam-jam, dan abis tu kembali lagi..

Reaksi responden ketika bermasalah dengan orangtua dengan cara mengurung diri selama berjam-jam 468 Iter Kalau ayah?

469 470

Itee Sama juga lah.. ya ngurung diri, gak mau ketemu ayah

471 Iter Tugas Talita kalo di rumah apa aja? 472

473

Itee Ngerjain PR.. kadang-kadang ngerjain buku soal

474 Iter Kalau nyuci piring gitu? 475

476 477 478 479

Itee Iya, kadang-kadang nyuci piring juga, tiap jum’at, sabtu, minggu, kan senin sampe kamis gak mau.. soalnya kan jum’at, sabtu, minggu kan libur, apalah.. bebaslah ngelakukan apa-apa

Tugas harian responden yaitu mencuci piring hanya dikerjakan pada hari-hari libur 480

481

Iter Kalau jum’at sabtu minggu masih di kasi PR gak?

482 483 484 485 486 487

Itee Ya, kadang-kadang masihlah, tapi umumnya terlalu santai gitu, jadi gara-gara libur selama dua hari aja tu apa ya.. jadi kayaknya mau pergi weekend, tapi gitu jarang pergi akhir pekan gitu

Responden mengaku waktu libur selama dua hari setiap

minggunya terlalu santai

488 Iter Kenapa ?

489 Itee Karna sibuklah.. 490

491

Iter Kalau Talita prestasinya bagus, reaksi bunda sama ayah gimana?


(4)

492 Itee Yah senang 493

494

Iter Gimana cara bunda sama ayah motivasi Talita untuk berprestasi ?

495 496 497

Itee aa.. tingkatkan terus belajarnya.. Cara orangtua memotivasi yaitu dengan perkataan 498

499

Iter Kalau Talita pengen sesuatu gimana caranya ?

500 Itee Pengen sesuatu gimana ? 501 Iter Ya misalnya Talita pengen HP 502

503 504 505 506 507

Itee Kadang-kadang bisa, kadang-kadang gak bisa.. jadi ya.. kadang bisa kadang-kadang gak bisa

Responden mengaku tidak semua

permintaannya dituruti oleh orangtua 508 Iter Misalnya gimana ?

509 510 511 512

Itee aa… apa ya? tapi kadang-kadang kalau kayak makanan gitu mau.., kayak makanan mau, tapi kalo yang benda-benda kadang-kadang gak.. gak ngasi

Orangtua jarang memenuhi

permintaan berupa benda-benda 513 Iter Karena belum perlu gitu?

514 Itee Iya gak penting-penting amat 515

516

Iter Apa reaksi ayah atau bunda kalo Talita melakukan kesalahan?

517 518

Itee Kalau bunda gak masalah amat, tapi kalo ayah marah kali.. jadinya ketakutan lah..

Responden mengaku 519 Iter Misalnya kalau marah karna apa?

520 521 522 523

Itee Udah apa ya, kan.. kan kalau gosok gigi atau wudhu kan celananya harus di gulung, jadi kadang-kadang Talita lupa lah ngelipatnya, itunya celananya, jadinya dimarahinlah 524

525 526

Iter Gimana Talita merasakan Allah dalam kehidupan sehari-hari ? merasa diawasi Allah

527 528

Itee Merasa diawasi, tapi kadang-kadang Talita takut juga

529 Iter Takutnya ? 530

531 532 533 534 535 536

Itee Kadang-kadang Talita gak berani tidur sendiri, abis tu ngambil seseuatu di tempat yang gelap tu, jadi mesti kadang-kadang mesti ditemenin, tapi kalo.. jadi gini apalagi kalau mati lampu tapi kalau gak mati lampu enggak takut.. tapi kalau mati lampu takut kali, jadi bawa senter


(5)

537 538

Iter Kalau melakukan kesalahan Talita ngerasa gak, nanti Allah ngeliat?

539 540

Itee Jadi kan pernah waktu sholat Talita jam enam.. waktu libur lah..

541 Iter Ketinggalan sholat? 542

543 544 545 546 547 548 549

Itee gak.. gak ketinggalan, bangunnya jam enam, jadi Talita doa nya tu nangis-nangis mohon ampun

Responden pernah terlambat sholat subuh, karena terlambat bangun, setelah itu

responden

menangis memohon ampun

550 Iter Oh sampai nangis ya ? 551 Itee He eh..

552 553

Iter Itu karna sholatnya terlambat, sekarang pernah gak sholatnya terlambat lagi?

554 555 556 557

Itee Subuh ya gak pernah telat lagi lah, tapi kalo.. zuhur juga enggak

Setelah kejadian itu responden tidak pernah terlambat sholat subuh lagi 558 Iter Kalau ashar?

559 560 561

Itee Ashar kadang jam lima kadang-kadang jam empat, jam empat ampe jam lima

562 563

Iter Kalau masalah yang lain-lain pernah gak Talita nangis ?

564 565 566 567 568 569 570

Itee Pernah juga.. jadi kan gara-gara sebenernya Talita merasa bersalah juga kalau Talita melakukan kesalahan ke ayah atau bunda, tapi kadang-kadang di sisi lain juga gak suka, kadang apa.. kok jadi cerewet kali gitu, tapi lebih baik orangtua yang cerewet daripada cuek aja

571 572

Iter Pernah ngadu sama Allah masalah-masalah kayak gitu ?

573 574 575 576 577 578 579

Itee Enggak lah, kan.. kan itu demi kebaikan kita juga, jadi gak pernah diadukan

Untuk masalah-masalah dengan orangtua,

responden mengaku tidak pernah

mengadu kepada Allah

580 581

Iter Kalau saat ini Talita merasa paling dekat sama kawan atau sama keluarga ?


(6)

582 Itee Seimbanglah.. 583

584

Iter Paling nyaman dengan siapa saat ini? Sama temankah atau sama orang-orang di rumah 585

586 587 588 589 590 591

Itee Sama aja, gak ada yang.. tetep tapi kalo lagi kecapean tu di suruh ambil hape lah di suruh ngambil apa-apalah, misalnya lagi kecapean tu apa kadang-kadang nolak, kadang-kadang enggak, maksudnya terpaksa gitu, tapi gak baek terpaksa justru apa.. justru makin gak enak

592 Iter Kalau hari jum’at itu jadwalnya padat ya? 593

594 595 596 597 598 599 600

Itee Bukan.. kan kalo hari biasa sih capek, kan kalau hari biasa tu kan emang capek kali makanya butuh santai butuh.. apa butuh hiburan supaya otak jadi tenang, he eh.. hari jum’at itu hari yang paling disenengi, he e.. hari sabtu jadi gak menyenagkan lagi, itu.. weekend jadi gak menyenangkan lagi

Hari jum’at merupakan hari yang paling disenangi

responden karena kegiatan-kegiatan di sekolah yang menyenangkan 601 Iter Kenapa hari jum’at menyenangkan?

602 603

Itee Jumpa kawan abis tu pulang, ya pulangnya agak lama..

604 Iter Lifeskill yang paling Talita suka apa? 605 Itee Berenang..

606 Iter Tadi pagi berenang ? 607

608

Tapi sekarang udah jarang berenang (menggelengkan kepala)

609 610

Iter Itu kalau berenang dipisah anak cowok sama cewek?

611 Itee Pisahlah cowok sama cewek 612 Iter Pisah jam atau pisah tempat?

613 Itee Tempat.. jam sama tapi pisah tempat 614 Iter Ohh.. Oke makasi ya Talita