Perbedaan Efektivitas Proprioceptive Exercise dan Zig-Zag Run Exercise terhadap Peningkatan Kelincahan pada Anak Usia 9-11 Tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur.

(1)

SKRIPSI

PERBEDAAN EFEKTIVITAS PROPRIOCEPTIVE EXERCISE

DAN ZIG-ZAG RUN EXERCISE TERHADAP PENINGKATAN

KELINCAHAN PADA ANAK USIA 9-11 TAHUN DI SEKOLAH

DASAR NEGERI 4 SANUR

MADE DWI INDAH PERMATAHATI GITA

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

i

SKRIPSI

PERBEDAAN EFEKTIVITAS PROPRIOCEPTIVE EXERCISE

DAN ZIG-ZAG RUN EXERCISE TERHADAP PENINGKATAN

KELINCAHAN PADA ANAK USIA 9-11 TAHUN DI SEKOLAH

DASAR NEGERI 4 SANUR

Oleh :

MADE DWI INDAH PERMATAHATI GITA

NIM. 1202305004

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(3)

ii


(4)

iii


(5)

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul

“Perbedaan Efektivitas Proprioceptive Exercise dan Zig-Zag Run Exercise terhadap

Peningkatan Kelincahan pada Anak Usia 9-11 Tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur”.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Fisioterapi. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Prof.Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof.Dr.dr.I Nyoman Adiputra, MOH, PFK selaku ketua Program Studi Fisioterapi Universitas Udayana.

3. Ni Luh Nopi Andayani, SSt.FT, M.Fis selaku pembimbing sekaligus pengajar yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. dr. I Wayan Sugiritama, M.Kes selaku pembimbing sekaligus pengajar yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.


(7)

vi

5. dr. Ida Ayu Dewi Wiryanthini, M.Biomed selaku penguji sekaligus pengajar yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Dosen-dosen pengajar dan staf Program Studi Fisioterapi yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Ibu, Bapak dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Desak Ketut Ayu Juniantari, Mutiara Savrita, Isna Christianti, dan Dewi Lestari yang selalu membantu dan memberikan semangat kepada penulis. 9. Seluruh teman-teman Axoplasmic yang selalu membantu dan memberikan

semangat terutama Sinta Puspita Dewi, Dwi Dayanti Martini, Firasti Widyaratni, Angga Puspa Negara, dan Rama Wintara.

10.Seluruh kerabat dan sejawat yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak penulis sangat harapkan.

Denpasar, Mei 2016


(8)

vii

PERBEDAAN EFEKTIVITAS PROPRIOCEPTIVE EXERCISE DAN ZIG-ZAG RUN EXERCISE TERHADAP PENINGKATAN KELINCAHAN PADA ANAK

USIA 9-11 TAHUN DI SEKOLAH DASAR NEGERI 4 SANUR

ABSTRAK

Anak yang kurang melakukan aktivitas fisik dapat menyebabkan penurunan kebugaran jasmani. Salah satu komponen penting dari kebugaran jasmani adalah kelincahan. Kelincahan merupakan kemampuan seseorang merubah arah dan posisi tubuh dengan cepat, efektif, dan tepat dalam waktu singkat ketika sedang bergerak cepat tanpa kehilangan keseimbangan. Berdasarkan teori menyatakan bahwa Proprioceptive Exercise dan Zig-zag Run Exercise dapat meningkatkan kelincahan. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan Proprioceptive Exercise dan Zig-zag Run Exercise dalam meningkatkan kelincahan anak usia 9-11 tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur.

Telah dilakukan penelitian eksperimental dengan rancangan Pre and Post

Test Two Group Design. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling.

Sampel berjumlah 16 anak usia 9-11 tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok Proprioceptive Exercise berjumlah 8 orang dan kelompok Zig-zag Run Exercise berjumlah 8 orang. Dilakukan uji normalitas dengan Saphiro-Wilk Test dan uji homogenitas dengan Levene’s Test. Hipotesis diuji dengan Paired Samples T-test. Rerata selisih peningkatan kelincahan pada kelompok Proprioceptive Exercise dan kelompok Zig-zag Run Exercise diuji dengan Independent Sample T-test.

Hasil analisis untuk peningkatan kelincahan pada anak usia 9-11 tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur menunjukkan bahwa rerata selisih peningkatan kelincahan pada kelompok Proprioceptive Exercise dan kelompok Zig-zag Run Exercise (3,46 dan 4,98) diperoleh hasil p=0,003 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa intervensi Zig-zag Run Exercise menghasilkan peningkatan kelincahan pada anak usia 9-11 tahun lebih besar secara signifikan dibandingkan dengan intervensi Proprioceptive Exercise.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian intervensi Zig-zag Run Exercise lebih baik dalam meningkatkan kelincahan daripada pemberian Proprioceptive Exercise pada anak usia 9-11 tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur.

Kata kunci: Kelincahan, Proprioceptive Exercise, Zig-zag Run Exercise, Shuttle Run Test.


(9)

viii

DIFFERENCE IN THE EFFECTIVENESS OF PROPRIOCEPTIVE EXERCISE AND ZIG-ZAG RUN EXERCISE TOWARD AGILITY IMPROVEMENT IN CHILDREN AGED 9-11 YEARS OLD IN ELEMENTARY SCHOOL 4 SANUR

ABSTRACT

Children who are doing less physical activity can cause decrease in physical fitness. One of the important component of physical fitness is agility. Agility is a person's ability to change the direction and position of the body quickly, effectively, and accurately in a short time while moving without any sign of losing balance. Based on the theory that states Proprioceptive Exercise and Zig-zag Run Exercise can improve agility. This study was conducted to compare Proprioceptive Exercise and Zig-zag Run Exercise in improving the agility of children aged 9-11 years in Elementary School 4 Sanur.

This experimental research have aleardy conducted with Pre and Post Test Two Group Design. The sampling technique is purposive sampling. The amount of samples is 16 children aged 9-11 years in Elementary School 4 Sanur that divided to 2 groups, the first group are given Propriceptive Exercise consist of 8 children and the second group are given Zig-zag Run Exercise consist of 8 children. Normality test performed by Shapiro-Wilk and homogenity test performed by Levene's Test. The hypothesis was tested with Paired Sample T-test. The mean difference of agility improvement beetwen Proprioceptive Exercise group and Zig-zag Run Exercise tested by Independent Sample T-test.

Analitical result for agility improvement in children aged 9-11 years in Elementary School 4 Sanur showed that the average difference in agility improvement on the Proprioceptive Exercise group and Zig-zag Run Exercise group (3,46 and 4,98) obtained result p = 0,003 ( p <0,05). This indicates that the Zig-zag Run Exercise intervention resulting in significantly greater improvement of agility compared to Proprioceptive Exercise intervention.

It can be concluded that Zig-zag run exercise is better for improving agility than Proprioceptive exercise of children aged 9-11 years in Elementary School 4 Sanur.

Keywords: Agility, Proprioceptive Exercise, Zig-zag Run Exercise, Shuttle Run Test.


(10)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ii

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.4.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

2.1 Kelincahan ... 7

2.1.1 Pengertian Kelincahan ... 7

2.1.2 Kelincahan Anak Usia 9-11 Tahun ... 8

2.1.3 Mekanisme dan Fisiologi Kelincahan ... 10

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelincahan ... 13

2.1.5 Pengukuran Kelincahan ... 21

2.2 Kajian Anatomi dan Fisiologi ... 22

2.2.1 Anatomi Otot Tungkai ... 22

2.2.2 Fisiologi Otot Rangka ... 29


(11)

x

2.3.1 Pengertian Proprioceptive Exercise ... 29

2.3.2 Mekanisme Fisiologis Pemberian Proprioceptive Exercise untuk Meningkatkan Kelincahan ... 35

2.3.3 Prosedur Proprioceptive Exercise ... 36

2.4 Zig-Zag Run Exercise ... 37

2.4.1 Pengertian Zig-Zag Run Exercise ... 37

2.4.2 Mekanisme Fisiologis Pemberian Zig-zag Run Exercise untuk Meningkatkan Kelincahan ... 39

2.4.3 Prosedur Zig-zag Run Exercise ... 41

2.5 Takaran Pelatihan... 42

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS ... 45

3.1 Kerangka Berpikir ... 45

3.2 Kerangka Konsep ... 48

3.3 Hipotesis ... 49

BAB IV METODE PENELITIAN ... 50

4.1 Desain Penelitian ... 50

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51

4.3 Populasi dan Sampel ... 51

4.3.1 Populasi ... 51

4.3.2 Sampel ... 51

4.3.3 Besar Sampel ... 52

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 53

4.4 Variabel Penelitian ... 54

4.5 Definisi Operasional Variabel ... 54

4.6 Instrumen Penelitian ... 56

4.7 Prosedur Penelitian ... 57

4.7.1 Prosedur Pendahuluan ... 57

4.7.2 Prosedur Pelaksanaan ... 58

4.8 Alur Penelitian ... 62

4.9 Teknik Analisis Data... 63


(12)

xi

5.1 Data Karakteristik Sampel ... 64

5.2 Uji Normalitas dan Homogenitas... 65

5.3 Pengujian Hipotesis ... 67

5.3.1 Efektivitas Proprioceptive Exercise terhadap Peningkatan Kelincahan Anak Usia 9-11 Tahun ... 67

5.3.2 Efektivitas Zig-zag Run Exercise terhadap Peningkatan Kelincahan Anak Usia 9-11 Tahun ... 68

5.3.3 Uji Komparasi Hasil Selisih Peningkatan Kelincahan pada Anak Usia 9-11 Tahun pada Kedua Kelompok Perlakuan ... 68

BAB VI PEMBAHASAN ... 70

6.1 Karakteristik Sampel ... 70

6.2 Intervensi Proprioceptive Exercise dapat Meningkatkan Kelincahan pada Anak Usia 9-11 Tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur ... 71

6.3 Intervensi Zig-zag Run Exercise dapat Meningkatkan Kelincahan pada Anak Usia 9-11 Tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur ... 73

6.4 Ada Perbedaan Efektivitas Proprioceptive Exercise dan Zig-zag Run Exercise dalam Meningkatkan Kelincahan Pada Anak Usia 9-11 Tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur ... 75

6.5 Kelemahan Penelitian ... 78

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 80

7.1 Simpulan ... 80

7.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82

LAMPIRAN ... 87


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proses Fisiologi Terjadinya Keseimbangan ... 15

Gambar 2.2 Shuttle Run Test ... 22

Gambar 2.3 Grup Otot Quadriceps Femoris ... 23

Gambar 2.4 Grup Otot Hamstring ... 24

Gambar 2.5 Grup Otot Plantar Fleksor Ankle ... 25

Gambar 2.6 Grup Otot Dorsi Fleksor Ankle ... 26

Gambar 2.7 Otot Gluteus Maximus ... 28

Gambar 2.8 Otot Gluteus Medius dan Minimus ... 28

Gambar 2.9 Lintasan Proprioceptive ... 31

Gambar 2.10 Proprioceptive Exercise Closed Kinetic Chain Dilakukan dengan Mata Tertutup/ Terpejam (side to side, one foot, squat) ... 37

Gambar 2.11 Zig-zag Run Exercise ... 41

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 48

Gambar 4.1 Desain Penelitian ... 50

Gambar 4.2 Aplikasi Proprioceptive Exercise Closed Kinetic Chain Dilakukan dengan Mata Tertutup/ Terpejam (side to side, one foot, squat) ... 60

Gambar 4.3 Aplikasi Zig-zag Run Exercise ... 61


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Panduan Produk Wobble Board ... 34

Tabel 4.1 WPRO 2000 IMT untuk Regional ASIA ... 58

Tabel 4.2 Normal Kelincahan (shuttle run) ... 59

Tabel 5.1 Distribusi Data Sampel Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin ... 65

Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Peningkatan Kelincahan pada Anak Usia 9-11 Tahun ... 66

Tabel 5.3 Rerata Peningkatan Kelincahan Sebelum dan Sesudah Intervensi pada Kelompok Proprioceptive Exercise ... 67

Tabel 5.4 Peningkatan Rerata Kelincahan Sebelum dan Sesudah Intervensi pada Kelompok Zig-zag Run Exercise ... 68

Tabel 5.5 Perbandingan Peningkatan Kelincahan pada Kelompok Proprioceptive Exercise dan Zig-zag Run Exercise ... 69


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa anak-anak adalah masa keemasan sekaligus masa kritis dalam tahapan kehidupan yang menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada dasarnya dunia anak-anak adalah bermain. Bermain merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan cenderung merupakan kebutuhan dasar yang hakiki. Bermain secara aktif melalui permainan tradisional mendorong anak mampu berubah menyesuaikan diri saat bermain, gerakan menjadi lentur, dan mampu mengikuti berbagai aturan yang dibuat dengan cara-caranya sendiri. Namun, dewasa ini permainan tradisional kurang diminati anak-anak, mereka lebih tertarik dengan permainan modern seperti play station, game online, dan game di handphone, sehingga membuat anak cenderung kurang melakukan aktivitas fisik.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak pada zaman sekarang ini lebih senang dan sering memainkan permainan game online hingga adiksi terhadap game online tersebut. Sebuah penelitian pernah dilakukan oleh Kaiser Family Fondation terhadap 2.032 anak-anak pada usia antara 3 sampai 12 tahun mengenai seberapa sering anak-anak tersebut bermain video games atau game di komputer. Ternyata didapatkan 73% anak laki-laki berusia 8 tahun sampai 10 tahun rata-rata bermain game satu jam per hari dan hampir 68% anak usia 12 tahun sampai 14 tahun rata bermain game 3 jam per hari dan untuk usia 17 tahun ke atas rata-rata bermain game lebih dari 3 jam perhari (Krisnayati, 2012). Penelitian


(16)

2

(Sanditaria, 2012) di wilayah Jatinangor, Sumedang menghasilkan data sebanyak 71 responden, 62% diantaranya termasuk dalam kategori adiksi game online. Responden dalam penelitian tersebut adalah anak usia sekolah yang memiliki rentang usia 6-12 tahun. Hal ini sejalan dengan pendapat (Griffiths & Wood, 2000) bahwa anak dianggap lebih sering dan rentan terhadap penggunaan permainan game online daripada dewasa (Lemmens & Peter, 2009).

Kurang melakukan aktivitas fisik maupun olahraga pada anak menyebabkan penurunan kebugaran jasmani. Terdapat 10 macam unsur kondisi fisik yang menjadi komponen pendukung kebugaran jasmani, diantaranya: kekuatan (strength), daya tahan (endurance), daya tahan otot (muscular power), kecepatan (speed), daya lentur (flexibility), kelincahan (agility), keseimbangan (balance), koordinasi (coordination), ketepatan (accuracy), dan reaksi (reaction) (Prasetyo, 2014).

Kelincahan termasuk salah satu komponen penting dalam peningkatan kebugaran jasmani. Kelincahan adalah kemampuan untuk merubah posisi tubuh dan arah gerakan, memberikan reaksi terhadap stimulus, serta siap untuk merubah arah atau menghentikan gerakan dengan cepat, tepat dan efisien, tanpa kehilangan keseimbangan (Ismaryati, 2008). Tingkat kelincahan anak dapat diketahui melalui pengukuran dengan menggunakan shuttle run test. Pengukuran ini dilakukan dengan lari cepat bolak balik sejauh 10 meter sebanyak 4 kali, dan dicatat waktu tempuhnya ke tempat semula dalam detik (Nala, 2011). Berdasarkan survei kelincahan pada siswa kelas IV–V di SDN 01 Mijan Kabupaten Kudus, 19% siswa dengan kelincahan sangat baik, 38% baik, 24% cukup, 19% kurang, dan 2% sangat


(17)

3

kurang. Sekitar lebih dari 20% anak usia 9-11 tahun memiliki kelincahan kurang dan sangat kurang (Ariani, 2010). Hasil ini menunjukkan masih perlunya latihan kelincahan pada anak usia 9-11 tahun.

Kurang berkembangnya kelincahan sebagai ciri khas seorang anak akan berpengaruh pada keterampilan gerak dasar seperti berjalan, berlari, dan melompat. Keterampilan gerak dasar yang menurun, menyebabkan anak tidak dapat menyesuaikan aktivitas bermain dengan anak lain, berkurangnya kemampuan berolahraga, dan anak menjadi mudah kelelahan. Hal ini mengakibatkan kebugaran jasmani anak menurun, sehingga prestasi belajar mengajar di sekolah juga ikut menurun (Purwanti, 2013).

Untuk mengatasi masalah diatas, dibutuhkan upaya dalam meningkatkan kelincahan pada anak usia 9-11 tahun. Salah satu alternatif untuk memecahkan masalah ini ialah dengan memberikan bentuk aktivitas fisik baru yang mampu menarik minat dan membangkitkan semangat anak sehingga nantinya dapat berlatih dengan bersungguh-sungguh dalam pelatihan olahraga bersama guru olahraga (Winartha, 2015).

Ada berbagai macam bentuk latihan yang mempunyai karakter dan teknik berbeda dalam meningkatkan kelincahan. Dimana dalam pelaksanaannya peneliti akan menerapkan proprioceptive exercise dan zig-zag run exercise. Peneliti tertarik mengangkat tipe latihan ini karena tipe latihan ini secara aplikatif tergolong mudah diterapkan pada anak usia 9-11 tahun. Selain itu, latihan ini juga secara tidak langsung dapat meningkatkan komponen biomotorik kecepatan, keseimbangan, kekuatan, fleksibilitas, kecepatan reaksi, dan


(18)

4

koordinasi neuromuscular otot tungkai yang sangat diperlukan dalam meningkatkan kelincahan anak usia 9-11 tahun.

Menurut Udiyana (2014) dalam jurnalnya menunjukkan hasil pelatihan modifikasi zig-zag run sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan kecepatan dan kelincahan. Selain itu, berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ismaningsih (2015) menunjukan hasil penambahan proprioceptive exercise lebih baik daripada intervensi strengthening exercise tunggal dalam meningkatkan kelincahan pada pemain sepak bola. Zig-zag run exercise merupakan metode standar, sedangkan proprioceptive exercise merupakan metode baru terhadap peningkatan kelincahan. Kedua penelitian tersebut membuat peneliti tertarik untuk membedakan efektivitas proprioceptive exercise dan zig-zag run exercise dalam meningkatkan kelincahan. Selain itu belum banyak penelitian terhadap kedua latihan tersebut dalam meningkatkan kelincahan pada anak usia 9-11 tahun. Hal tersebut yang mendasari peneliti ingin mengangkat judul “Perbedaan Efektivitas

Proprioceptive Exercise dan Zig-Zag Run Exercise terhadap Peningkatan


(19)

5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah proprioceptive exercise efektif dalam meningkatkan kelincahan pada anak usia 9-11 tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur?

2. Apakah zig-zag run exercise efektif dalam meningkatkan kelincahan pada anak usia 9-11 tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur?

3. Apakah ada perbedaan efektivitas proprioceptive exercise dengan zig-zag run exercise dalam meningkatkan kelincahan pada anak usia 9-11 tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur?

1.3 Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran umum tentang proprioceptive exercise dan zig-zag run exercise terhadap kelincahan pada anak-anak.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk membuktikan efektivitas proprioceptive exercise terhadap peningkatan kelincahan pada anak usia 9-11 tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur. b. Untuk membuktikan efektivitas zig-zag run exercise terhadap peningkatan

kelincahan pada anak usia 9-11 tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur. c. Untuk membuktikan adanya perbedaan efektivitas proprioceptive exercise dan

zig-zag run exercise terhadap peningkatan kelincahan pada anak usia 9-11 tahun di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur.


(20)

6

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

a. Diharapkan penelitian ini menambah pengetahuan bagi para pembaca (mahasiswa) tentang pengaruh proprioceptive exercise dan zig-zag run exercise terhadap peningkatan kelincahan pada anak usia 9-11 tahun.

b. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan bagi para pembaca (mahasiswa) dalam mengembangkan penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam memilih intervensi fisioterapi untuk meningkatkan kelincahan pada anak usia 9-11 tahun.


(21)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kelincahan

2.1.1 Pengertian Kelincahan

Kata lincah memiliki arti bergerak merubah arah atau berputar secara cepat. Kelincahan merupakan kemampuan melakukan sebuah gerakan yang singkat atau cepat dalam waktu yang sesingkat mungkin (Sukadiyanto, 2005). Kelincahan adalah kemampuan untuk mengubah arah atau posisi tubuh dengan cepat yang dilakukan bersama-sama dengan gerakan lainnya (Widiastuti, 2011). Kelincahan juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengubah kecepatan dan arah posisi tubuh atau bagian-bagiannya dengan cepat dan tepat, sementara perpindahannya dengan cepat tanpa kehilangan keseimbangannya (Ismaryati, 2008).

Kelincahan merupakan kemampuan untuk mengubah posisi tubuh atau arah gerakan tubuh dengan cepat ketika sedang bergerak cepat, tanpa kehilangan keseimbangan atau kesadaran orientasi terhadap posisi tubuh (Nala, 2011). Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kelincahan yang baik dapat dengan mudah merubah posisi tubuhnya dengan tetap menjaga keseimbangan. Kelincahan merupakan kombinasi dari kekuatan otot, fleksibilitas, kecepatan, keseimbangan, kecepatan reaksi dan koordinasi neuromuskular (Ismaningsih, 2015).

Ditinjau dari keterlibatannya atau perannya dalam beraktivitas, kelincahan dikelompokkan menjadi dua macam yaitu, kelincahan umum (General Agility) dan kelincahan khusus (Special Agility). Kelincahan umum digunakan untuk aktivitas


(22)

8

sehari-hari atau kegiatan olahraga secara umum yang melibatkan gerakan seluruh tubuh, sedangkan kelincahan khusus merupakan kelincahan yang bersifat khusus yang dibutuhkan dalam cabang olahraga tertentu. Kelincahan yang dibutuhkan memiliki karakteristik tertentu sesuai tuntutan cabang olahraga yang dipelajari dan hanya melibatkan segmen tubuh tertentu (Ismaryati, 2008).

Maka berdasarkan beberapa definisi diatas kelincahan adalah kemampuan seseorang merubah arah dan posisi tubuh dengan cepat, efektif, dan tepat dalam waktu singkat ketika sedang bergerak cepat tanpa kehilangan keseimbangan. 2.1.2 Kelincahan Anak Usia 9-11 Tahun

Pada masa anak-anak, perkembangan fisik berada pada suatu tingkatan dimana anak dapat melakukan beberapa macam gerak dasar dengan beberapa variasinya. Bertambahnya ukuran fisik memungkinkan bagi anak lebih mampu menjelajahi ruang yang lebih luas, serta menjangkau objek-objek yang berada disekitarnya. Kemungkinan menjelajah tersebut memacu untuk melakukan beberapa macam gerakan untuk meningkatkan kemampuannya (Samsudin, 2008).

Kelincahan bagi anak merupakan sesuatu yang khas sesuai dengan kodratnya. Kelincahan anak merupakan kemampuan seorang anak untuk mengubah arah dan posisi tubuhnya dengan cepat yang dilakukan bersama dengan gerakan lain, tanpa kehilangan keseimbangan dan kesadaran akan posisi tubuhnya. Anak identik dengan karakteristiknya yang lincah untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh. Kelincahan anak ini terlihat saat anak melakukan gerakan perpindahan seperti saat anak berlari, meloncat, dan kegiatan lainnya dengan gerakan yang cepat, kaki anak dapat menahan dengan kuat, keseimbangan tubuhnya terjaga dan tidak


(23)

9

jatuh. Seorang anak akan memiliki keterampilan motorik yang baik apabila dalam keadaan bugar jasmaninya, sehingga kelincahan dianggap penting dalam melatih perkembangan motorik kasar anak agar anak siap dalam menghadapi tugas-tugas perkembangan selanjutnya (Purwanti, 2013).

Karakteristik anak usia 9-11 tahun ditinjau dari karakteristik fisik, mental dan sosial/emosional yaitu (Muchtar, 1992):

1. Karakteristik fisik meliputi pertumbuhan tinggi badan lambat, pertambahan berat badan lambat tapi mantap, perkembangan kekuatan meningkat, temperatur tubuh sering berubah.

2. Karakteristik mental meliputi perkembangan kemampuan berdalih makin baik. 3. Karakteristik sosial/emosional meliputi suka bergaul dengan teman sejenis,

kagum pada sifat menantang pada orang dewasa dan otoriter, keberhasilan dan kerapian dianggap sebagai sikap banci, berusaha menjadi pemain terbaik agar diakui dan dikagumi kelompok, bermain lebih keras dan ribut, senang berpetualang dan merusak, tidak suka dipanggil pengecut atau penakut.

Menurut Depdiknas, kelompok usia 9-11 tahun memiliki karakteristik pertumbuhan dan perkembangan sebagai berikut(Yudanto, 2007):

1. Dalam periode ini pertumbuhannya lancar, otot-otot tumbuh cepat dan butuh latihan, postur tubuh cenderung belum bagus, karena itu memerlukan latihan-latihan pembentukan tubuh;


(24)

10

3. Timbul minat mahir dalam suatu keterampilan fisik tertentu dan permainan-permainan yang terorganisir tetapi belum siap untuk mengerti peraturan yang rumit, rentang perhatian lebih lama;

4. Senang/ berani menantang aktivitas yang agak keras;

5. Lebih senang kumpul dengan kawan yang sejenis dan yang sebaya; 6. Menyenangi kreativitas yang dramatis, kreatif imajinatif, dan ritmis; 7. Minat untuk berprestasi individual, kompetitif, punya idola;

8. Saat yang tepat untuk mendidik moral dan perilaku sosial yang baik, dan; 9. Membentuk kelompok-kelompok dan mencari persetujuan kelompok. 2.1.3 Mekanisme dan Fisiologi Kelincahan

Kelincahan merupakan salah satu komponen biomotorik yang didefinisikan sebagai kemampuan mengubah arah secara efektif dan cepat. Kelincahan terjadi karena gerakan tenaga eksplosif (Ruslan, 2012). Kelincahan juga merupakan kombinasi antara power dengan flexibility. Besarnya tenaga dan kecepatan otot ditentukan oleh kekuatan dari kontraksi serabut otot. Kecepatan kontraksi otot tergantung dari daya rekat serabut-serabut otot dan kecepatan transmisi impuls saraf (Pratama, et al., 2014).

Seseorang yang mampu mengubah arah dari posisi ke posisi yang berbeda dalam kecepatan tinggi dengan koordinasi gerak yang baik berarti kelincahannya cukup tinggi. Elastisitas otot sangat penting karena makin panjang otot tungkai dapat terulur, makin kuat dan cepat otot dapat memendek atau berkontraksi (Lestari, 2015).


(25)

11

Dengan diberikan latihan, otot-otot akan menjadi lebih elastis dan ruang gerak sendi akan semakin baik sehingga persendian akan menjadi sangat lentur sehingga menyebabkan ayunan tungkai dalam melakukan langkah-langkah menjadi sangat lebar. Dengan otot yang elastis, tidak akan menghambat gerakan-gerakan otot tungkai sehingga langkah kaki dapat dilakukan dengan cepat dan panjang. Keseimbangan dinamis juga akan terlatih karena dalam pelatihan ini harus mampu mengontrol keadaan tubuh saat melakukan pergerakan. Dengan meningkatnya komponen-komponen tersebut maka kelincahan akan mengalami peningkatan (Pratama, et al., 2014).

Aktivitas fisik yang teratur akan menyebabkan terjadinya hipertropi fisiologi otot, yang dikarenakan jumlah miofibril, ukuran miofibril, kepadatan pembuluh darah kapiler, saraf tendon dan ligamen, serta jumlah total kontraktil terutama protein kontraktil myosin meningkat secara proporsional. Perubahan pada serabut otot tidak semuanya terjadi pada tingkat yang sama, peningkatan yang lebih besar terjadi pada serabut otot putih (fast twitch) sehingga terjadi peningkatan kecepatan kontraksi otot. Sehingga meningkatnya ukuran serabut otot yang pada akhirnya akan meningkatkan kecepatan kontraksi otot sehingga menyebabkan peningkatan kelincahan (Womsiwor, 2014). Selain itu, terjadinya adaptasi persyarafan ditandai dengan peningkatan teknik dan tingkat keterampilan seseorang (Sukadiyanto, 2005).

Adanya latihan kelincahan yang terprogram akan memberikan penyesuaian terhadap kerja fisik yang meningkat, baik dari segi fisiologis maupun psikologis. Latihan kelincahan merupakan salah satu latihan fisik yang berkaitan dengan


(26)

12

adaptasi saraf. Mekanisme adaptasi saraf yang terjadi akibat latihan menyebabkan meningkatnya gaya kontraksi otot karena meningkatnya aktivasi otot penggerak utama, otot-otot sinergi berkontraksi lebih tepat, dan meningkatkan inhibisi otot antagonis. Peningkatan aktivasi refleks otot-otot penggerak utama merupakan peningkatan eksitasi jaringan motorneuron, yang pada gilirannya dapat menghasilkan peningkatan masukan eksitatori, mengurangi masukan inhibitori atau kedua-duanya (Ismaryati, 2008). Secara fisiologis peningkatan kelincahan dapat terjadi pada 4-6 minggu latihan dengan intensitas tinggi dan progresif hal ini menyebabkan CNS (Central Nerve System) mendapatkan stimulus yang cukup tanpa adanya cidera olahraga atau kelelahan (Miller, et al., 2006).

Pemberian latihan fisik secara teratur dan terukur dengan takaran dan waktu yang cukup, akan menyebabkan perubahan fisiologis yang mengarah pada kemampuan menghasilkan energi yang lebih besar dan memperbaiki penampilan fisik. Jenis pelatihan fisik yang diberikan secara cepat dan kuat, akan memberikan perubahan yang meliputi peningkatan substrat anaereobik seperti ATP-PC, kreatin dan glikogen serta peningkatan pada jumlah dan aktivitas enzim (McArdle, et al., 2010).

Jadi, telah dibuktikan secara teoritis bahwa dengan dilakukan latihan fisik maka unsur kebugaran jasmani seperti kekuatan otot tungkai, kecepatan, fleksibilitas sendi lutut dan pinggul, elastisitas otot dan keseimbangan dinamis akan mengalami peningkatan fungsi secara fisiologis sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan kelincahan kaki (Lestari, 2015).


(27)

13

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelincahan

Kelincahan dipengaruhi oleh faktor kekuatan otot, fleksibilitas, kecepatan, keseimbangan, kecepatan reaksi, dan koordinasi neuromuskular.

a. Kekuatan Otot

Kekuatan adalah kemampuan otot atau grup otot menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun statis (Kisner & Allen, 2007). Kekuatan otot juga dapat diartikan sebagai kekuatan maksimal otot yang di tunjang oleh cross sectional otot yang merupakan otot untuk menahan beban maksimal pada aksis sendi. Otot dalam berkontraksi dan menghasilkan tegangan memerlukan suatu tenaga atau kekuatan. Kekuatan mengarah kepada output tenaga dari kontraksi otot dan secara langsung berhubungan dengan sejumlah tension yang dihasilkan oleh kontraksi otot, sehingga meningkatkan kekuatan otot berupa level tension, hipertropi, dan recruitment serabut otot (Ismaningsih, 2015).

b. Fleksibilitas

Fleksibilitas merupakan kemampuan untuk menggerakkan sendi-sendi dalam jangkauan gerakan penuh dan bebas. Keluwesan otot dan kebebasan gerak persendian sering dikaitkan dengan hasil pergerakan yang terkoordinasi dan efisien. Kelenturan di arahkan kepada kebebasan luas gerak sendi atau ROM. Fleksibilitas menjadi faktor yang juga penting dalam mempengaruhi kelincahan. Semakin lentur jaringan otot atau jaringan yang secara bersama–sama bekerja seperti sendi, ligamen, dan tendon maka juga akan di dapat peningkatan kelincahan. Dalam hal latihan penguatan dan fleksibilitas keduanya memiliki


(28)

14

saling keterkaitan. Secara otomatis, jika seseorang melakukan latihan penguatan juga berpengaruh terhadap fleksibilitas, begitu juga sebaliknya, jika seseorang melakukan latihan fleksibilitas juga akan berpengaruh terhadap kekuatannya. Kekuatan dan fleksibilitas merupakan komponen dari kecepatan, sehingga dapat mempengaruhi kelincahan (Ismaningsih, 2015).

c. Kecepatan

Kecepatan adalah kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan yang sejenis secara beturut-turut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, atau kemampuan untuk menempuh suatu jarak dalam waktu sesingkat-singkatnya. Kecepatan bukan hanya berarti menggerakkan anggota-anggota tubuh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kecepatan tergantung dari faktor yang mempengaruhinya, yaitu kekuatan, waktu reaksi, dan fleksibilitas (Witvrouw, 2004).

d. Keseimbangan

Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan pusat gravitasi pada bidang tumpu terutama ketika saat posisi tegak(O’Sullivan, 2004). Selain itu, keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan tubuh dalam posisi kesetimbangan maupun dalam keadaan statik atau dinamik, serta menggunakan aktivitas otot yang minimal. Keseimbangan juga bisa diartikan sebagai kemampuan relatif untuk mengontrol pusat massa tubuh (center of mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap bidang tumpu (base of support). Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh dengan di dukung oleh sistem muskuloskleletal dan bidang tumpu. Keseimbangan


(29)

15

merupakan integrasi yang kompleks dari sistem somatosensorik (visual, vestibular, proprioceptive) dan motorik (musculoskeletal, otot, sendi jaringan lunak) yang keseluruhan kerjanya diatur oleh otak terhadap respon atau pengaruh internal dan eksternal tubuh. Bagian otak yang mengatur meliputi, basal ganglia, cerebellum, area asosiasi (Batson, 2009).

Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan keseimbangan. Tujuan dari tubuh mempertahankan keseimbangan adalah menyanggah tubuh melawan gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak (Ismaningsih, 2015).

Gambar 2.1 Proses Fisiologi Terjadinya Keseimbangan (Hanes & McCollum, 2006)


(30)

16

e. Kecepatan Reaksi

Kecepatan reaksi adalah waktu yang diperlukan untuk memberikan respon kinetik setelah menerima suatu stimulus atau rangsangan. Karena melalui rangsangan (stimulus) reaksi tersebut mendapat sumber dari: pendengaran, pandangan (visual), rabaan maupun gabungan antara pendengaran dan rabaan (Wahjoedi, 2001). Berdasarkan penjelasan diatas jelas bahwa kecepatan reaksi sangatlah penting dalam kecepatan bergerak. Neurofisiologis melibatkan potensiasi perubahan karakteristik kekuatan, kecepatan, komponen kontraktil otot yang disebabkan oleh bentangan aksi otot konsentris dengan menggunakan refleks regangan. Refleks regangan adalah respon paksa tubuh untuk stimulus eksternal yang membentang pada otot. Apabila waktu yang diperlukan untuk memberikan respon kinetik atas suatu stimulus atau rangsangan cepat, maka hal ini akan mengakibatkan terjadinya kecepatan dalam melakukan suatu pergerakan, yang akan meningkatkan kemampuan kelincahan (Ismaningsih, 2015).

f. Koordinasi Neuromuscular

Merupakan kemampuan untuk mengintegrasi indera (visual, auditori, dan proprioceptive untuk mengetahui jarak pada posisi tubuh) dengan fungsi motorik untuk menghasilkan akurasi dan kemampuan bergerak (Ismaningsih, 2015).

Selain itu masih ada faktor lain yang mempengaruhi kelincahan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari genetik, tipe tubuh, usia, jenis kelamin, berat badan, kelelahan, dan motivasi sedangkan faktor eksternal terdiri dari, suhu dan kelembaban udara, arah dan kecepatan angin, ketinggian tempat, lingkungan sosial, dan pelatihan. Berikut uraian dari faktor-faktor tersebut:


(31)

17

1. Faktor Internal a) Genetik

Genetik manusia, unit yang kecil yang tersusun atas sekuen Deoxyribonucleic Acid (DNA) adalah bahan paling mendasar dalam menentukan hereditas. Tubuh seseorang secara genetik rata-rata tersusun oleh 50% serabut otot tipe lambat dan 50% serabut otot tipe cepat pada otot yang digunakan untuk bergerak (Quinn, 2013).

b) Usia

Massa otot semakin besar seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Pembesaran otot ini erat sekali kaitannya dengan kekuatan otot, di mana kekuatan otot merupakan komponen penting dalam peningkatan daya ledak. Kekuatan otot akan meningkat sesuai dengan pertambahan usia (Kamen, 2000). Tes Shuttle Run 30 feet, menunjukkan bahwa anak laki-laki rata-rata makin bertambah baik mulai usia 12 tahun, sedang anak wanita tidak lagi bertambah baik setelah usia 13 tahun (Sajoto, 2002).

Selain ditentukan oleh pertumbuhan fisik, kekuatan otot ini ditentukan oleh aktivitas ototnya. Laki-laki dan perempuan akan mencapai puncak kekuatan otot pada usia 20-30 tahun. Kemudian di atas usia tersebut mengalami penurunan, kecuali diberikan pelatihan. Namun umur di atas 65 tahun kekuatan ototnya sudah mulai berkurang sebanyak 20% dibandingkan sewaktu muda (Nala, 2011).


(32)

18

c) Tipe Tubuh

Tipe tubuh umumnya diklasifikasikan berdasarkan tiga konsep utama atau dimensi-dimensi tipe tubuh, yakni: muscularity, linearity, dan fatness. Tiga komponen tersebut diistilahkan berturut-turut sebagai: mesomorf, ectomorf, dan endomorph. Orang yang memiliki bentuk tubuh tinggi ramping (ectomorf) cenderung kurang lincah seperti halnya orang yang bentuk tubuhnya bundar (endomorf). Sebaliknya, orang yang bertubuh sedang namun memiliki perototan yang baik (mesomorf) cenderung memiliki kelincahan yang lebih baik (Jensen & Fisher, 1979).

d) Indeks Massa Tubuh

Indeks massa tubuh adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan dan tinggi badan seseorang. Rumus menghitung IMT adalah, IMT = Berat Badan (kg) / [Tinggi Badan (m)]2 (Arga, 2008). IMT normal sebesar 18,5-22,9 kg/m2. Berat badan yang berlebihan secara langsung akan mengurangikelincahan. Dimana berat badan yang berlebihan cenderungmengakibatkan muscle imbalance di bagian trunk (Ismaningsih, 2015).

e) Jenis Kelamin

Kekuatan otot laki-laki sedikit lebih kuat daripada kekuatan otot perempuan pada usia 10-12 tahun. Perbedaan kekuatan yang signifikan terjadi seiring pertambahan umur, di mana kekuatan otot laki-laki jauh lebih kuat daripada wanita (Bompa, 2005). Pengaruh hormon testosteron memacu pertumbuhan tulang dan otot pada laki-laki, ditambah perbedaan pertumbuhan fisik dan aktivitas fisik wanita yang kurang juga menyebabkan kekuatan otot wanita tidak sebaik laki-laki.


(33)

19

Bahkan pada usia 18 tahun ke atas, kekuatan otot bagian atas tubuh pada laki-laki dua kali lipat daripada perempuan, sedangkan kekuatan otot tubuh bagian bawah berbeda sepertiganya (Nala, 2011).

f) Kelelahan

Kelelahan dapat mengurangi kelincahan, karena orang yang lelah akan menurun kecepatan lari dan koordinasinya. Selain itu, penting memelihara daya tahan jantung dan daya tahan otot, agar kelelahan tidak mudah timbul (Ismaningsih, 2015).

g) Motivasi

Motivasi olahraga adalah keseluruhan daya penggerak (motif–motif) di dalam diri individu yang menimbulkan kegiatan berolahraga, menjamin kelangsungan latihan dan memberi arah pada kegiatan latihan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Dengan motivasi yang baik akan dicapai hasil latihan maksimal (Gunarsa, 2004).

2. Faktor Eksternal

a) Suhu dan Kelembaban Relatif

Suhu sangat berpengaruh terhadap performa otot. Suhu yang terlalu panas menyebabkan seseorang akan mengalami dehidrasi saat latihan. Dan suhu yang terlalu dingin menyebabkan seorang atlet susah mempertahankan suhu tubuhnya, bahkan menyebabkan kram otot (Widhiyanti, 2013). Pada umumnya upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi orang Indonesia terhadap suhu tropis sekitar 290-300C dan kelembaban relatif antara 85%-95% (Lestari, 2015).


(34)

20

b) Arah dan kecepatan angin

Arah dan kecepatan angin berpengaruh karena pelatihan berlangsung di lapangan terbuka. Arah angin diukur dengan bendera angin/kantong angin sedangkan kecepatannya dengan anemometer (Kanginan, 2000). Dalam penelitian ini, arah dan kecepatan angin berada dalam batas toleransi, diharapkan pengaruhnya dapat ditekan sekecil-kecilnya atau tempat pengambilan data berada pada kondisi yang sama atau satu tempat (Lestari, 2015).

c) Ketinggian tempat

Setiap peningkatan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut terjadi penurunan percepatan gravitasi sebesar 0,3 cm/dtk. Tempat yang percepatan gravitasinya rendah akan lebih mudah mengangkat tubuh karena beratnya berkurang sebanding dengan penurunan percepatan gravitasi. Keuntungan ini dibayar dengan kerugian yang lebih besar (Shepard, 1978).

d) Lingkungan Sosial

Faktor lingkungan sosial sekitar juga berpengaruh dalam pembentukan kebiasaan hidup aktif. Komponen utama dalam lingkungan sosial ini adalah orang tua dan saudara kandung. Orang tua mempengaruhi anak dalam membuat keputusan. Demikian juga dalam kegiatan berolahraga atau menjalankan aktivitas jasmani. Selain memberikan dorongan, orang tua juga bisa tampil sebagai model dari anak-anaknya (Lestari, 2015).

Pelatih olahraga pada khususnya merupakan salah satu kekuatan inti dalam pembentukan sikap dan kebiasaan hidup aktif. Olahraga yang rajin dan memperlihatkan semangat akan memancarkan pengaruh kepada para siswanya.


(35)

21

Media massa merupakan sumber kekuatan yang tersembunyi, namun juga efektif dalam mempengaruhi kesadaran dan sikap (Lestari, 2015).

e) Pelatihan

Pelatihan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kelincahan. Pelatihan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaiki sistem organ alat-alat tubuh dan fungsinya dengan tujuan untuk mengoptimalkan penampilan atau kinerja atlet (Nala, 2011). Tujuan latihan fisik meningkatkan fungsi potensial yang dimiliki atlet dan mengembangkan kemampuan biomotoriknya sehingga mencapai standar tertentu (Nala, 2002).

2.1.5 Pengukuran Kelincahan

Kelincahan merupakan suatu kecepatan reaksi seseorang untuk merubah arah gerakan. Hal ini berkaitan dengan kecepatan, keseimbangan dan koordinasi. Untuk mengukur komponen kelincahan dilakukan pengukuran terhadap kecepatan lari hingga ke tempat semula. Dalam penelitian ini digunakan shuttle run test yang merupakan tes dengan cara lari cepat bolak balik sejauh 10 meter sebanyak 4 kali, dan dicatat waktu tempuhnya ke tempat semula dalam detik (Berdejo, 2015). Jarak antara kedua titik dipilih 10 meter agar jarak tidak terlalu jauh karena ada kemungkinan setelah lari beberapa kali bolak balik dia tidak mampu lagi untuk melanjutkan larinya, dan atau membalikkan badannya dengan cepat disebabkan karena faktor kelelahan. Dan kalau kelelahan mempengaruhi kecepatan larinya. Jumlah ulangan atau repetisi lari bolak balik jangan terlalu banyak sehingga menyebabkan anak lelah. Jika repetisi terlalu banyak maka menyebabkan


(36)

22

seperti diatas. Faktor kelelahan akan mempengaruhi waktu tempuh dari shuttle run test tersebut (Harsono, 1996).

Gambar 2.2 Shuttle Run Test (Gilang, 2007)

2.2 Kajian Anatomi dan Fisiologi 2.2.1 Anatomi Otot Tungkai

Daerah tungkai memiliki beberapa grup otot besar yang dapat memberikan kontribusi terhadap kelincahan. Beberapa grup otot besar yang terlibat adalah:

1. Grup Otot Ekstensor Knee dan Fleksor Hip (Quadriceps Femoris)

Otot quadriceps femoris adalah salah satu otot rangka yang terdapat pada bagian depan paha manusia. Otot ini mempunyai fungsi dominan ekstensi pada knee (Watson, 2002). Otot quadriceps terdiri atas empat otot, yaitu:


(37)

23

a) Otot Rectus Femoris

Terletak paling superfisial pada facies ventalis berada diantara otot quadriceps yang lain yaitu otot vastus lateralis dan medialis. Berorigo pada Spina Illiaca Anterior Inferior (caput rectum) dan pada os ilium di cranialis acetabulum (caput obliquum) dan mengadakan insersio pada tuberositas tibia dengan perantaran ligamentum patellae. Otot ini digolongkan ke dalam otot tipe 1 (lambat) (Watson, 2002).

b) Otot Vastus Lateralis

Tipe otot ini adalah otot tipe II (cepat) yang berada pada sisi lateral yang mengadakan perlekatan pada facies ventro lateral trochanter major dan labium lateral linea aspera femoris (Watson, 2002).

c) Otot Vastus Medial

Melekat pada labium medial linea aspera (dua pertiga bagian bawah) dan termasuk otot tipe II (cepat) (Watson, 2002).


(38)

24

d) Otot Vastus Intermedius

Mengadakan perlekatan pada facies ventro-lateral corpus femoris juga merupakan otot tipe II (cepat) (Watson, 2002).

2. Grup Otot Fleksor Knee dan Ekstensor Hip (Hamstring)

Hamstring merupakan otot paha bagian belakang yang berfungsi sebagai fleksor knee dan ekstensor hip. Secara umum hamstring bertipe otot serabut otot tipe II (cepat) (Watson, 2002). Hamstring terbagi atas tiga otot yaitu:

a) Otot Biceps Femoris

Mempunyai dua buah caput. Caput longum dan breve, caput longum berorigo pada pars medialis tuber Ichiadicum dan M. semitendinosus sedangkan caput breve berorigo pada labium lateral linea aspera femoris, insersio otot ini pada capitulum fibula (Watson, 2002).

b) Otot Semitendinosus

Otot ini berorigo pada pars medialis tuber ichiadicum dan berinsersio pada facies medialis ujung proximal tibia (Watson, 2002).


(39)

25

c) Otot Semimembranosus

Melekat di sebelah pars lateralis tuber ichiadicum turun ke arah sisi medial regio posterior femoris dan berinsersio pada facies posterior condylus medialis tibia (Watson, 2002).

3. Grup Otot Plantar Fleksor Ankle

a) Otot Gastrocnemius

Otot ini merupakan serabut otot fast-twitch yang sangat kuat untuk plantar fleksi kaki pada ankle joint. Otot gastrocnemius merupakan otot yang paling superfisial pada dorsal tungkai dan terdiri dari dua caput pada bagian atas calf. Dua caput tersebut bersamaan dengan soleus membentuk triceps surae. Bagian lateral dan medial otot masih terpisah satu sama lain sejauh memanjang ke bawah pada middle dorsal tungkai. Kemudian menyatu di bawah membentuk tendon yang besar yaitu tendon Achilles (Hamilton, 2012).


(40)

26

b) Otot Soleus

Seperti otot gastrocnemius, otot soleus berfungsi pada gerakan plantar fleksi kaki pada ankle joint. Otot ini terletak di dalam gastrocnemius, kecuali di sepanjang aspek lateral dari ½ bawah calf, di mana bagian lateral soleus terletak pada bagian atas dari tendon calcaneus. Serabut otot soleus masuk ke dalam tendon calcaneal dalam pola bipenniform. Otot ini dominan memiliki serabut slow-twitch (Hamilton, 2012).

4. Group Otot Dorsi Fleksor Ankle

a) Tibialis Anterior

Otot ini terletak di sepanjang permukaan anterior tibia dari condylus lateral kebawah pada aspek medial regio tarsometatarsal. Sekitar ½ sampai 2/3 ke bawah tungkai otot ini menjadi tendinous. Tendon berjalan di depan malleolus medial sampai pada cuneiform pertama. Otot ini berperan dalam gerakan dorsi fleksi ankle dan kaki, serta supinasi (inversi dan adduksi) tarsal joint ketika kaki dorsi fleksi. Dalam penelitian EMG, otot ini ditemukan aktif pada ½ orang yang berdiri bebas dan ketika dalam posisi forward lean (Hamilton, 2012).


(41)

27

b) Extensor Digitorum Longus

Otot ini memanjang pada empat jari-jari kaki. Otot ini juga berperan pada gerakan dorsi fleksi ankle joint dan tarsal joint serta membantu eversi dan abduksi kaki. Otot ini berbentuk penniform, terletak di lateral dari tibialis anterior pada bagian atas tungkai dan lateral dari extensor hallucis longus pada bagian bawahnya. Tepat di depan ankle joint tendon ini membagi empat tendon pada masing-masing jari-jari kaki (Hamilton, 2012).

c) Extensor Hallucis Longus

Otot ini berperan dalam gerakan ekstensi dan hiperekstensi ibu jari kaki. Otot extensor hallucis longus juga berperan pada gerakan dorsi fleksi ankle dan tarsal joint. Seperti otot diatas, otot ini juga berbentuk penniform. Pada bagian atas otot ini terletak di dalam tibialis anterior dan extensor digitorum longus, tetapi sekitar ½ bawah tungkai tendon ini menyebar diantara dua otot tersebut di atas sehingga otot ini menjadi superfisial. Setelah mencapai ankle tendonnya ke arah medial melewati permukaan dorsal kaki sampai pada ujung ibu jari kaki (Hamilton, 2012).

Selain otot tungkai, otot yang berperan dalam gerakan kelincahan adalah otot gluteus maximus, gluteus medius dan minimus. Otot-otot ini berperan sebagai pembentuk bokong (Hamilton, 2012).

a. Gluteus Maximus

Otot ini merupakan otot yang terbesar yang terdapat di sebelah luar ilium membentuk perineum. Fungsinya, antagonis dari iliopsoas yaitu rotasi fleksi dan endorotasi femur. Fungsi utama dari gluteus maximus adalah untuk menjaga bagian


(42)

28

belakang tubuh tetap tegap, atau untuk mendorong kedudukan pinggul ke posisi yang tepat (Hamilton, 2012).

Gambar 2.7 Otot Gluteus Maximus (Watson, 2002)

b. Gluteus Medius dan Minimus

Otot ini terdapat di bagian belakang dari sendi ilium di bawah gluteus maksimus. Fungsinya, abduksi dan endorotasi dari femur dan bagian medius eksorotasi femur (Hamilton, 2012).


(43)

29

2.2.2 Fisiologi Otot Rangka

Karakteristik otot rangka secara fisiologis ada 4 aspek yaitu: contractility yaitu kemampuan otot untuk mengadakan respon (memendek) bila dirangsang (otot polos 1/6 kali; otot rangka 1/10 kali). Exstensibility (distensibility) yaitu kemampuan otot untuk memanjang bila otot ditarik atau ada gaya yang bekerja pada otot tersebut bila otot rangka diberi beban. Elasticity yaitu kemampuan otot untuk kembali ke bentuk dan ukuran semula setelah mengalami exstensibility atau distensibility (memanjang) atau contractility (memendek). Exsitability electric yaitu kemampuan untuk merespon terhadap rangsangan tertentu dengan memproduksi sinyal-sinyal listrik disebut tindakan potensi (Tortora & Derrickson, 2009).

Otot rangka memperlihatkan kemampuan berubah yang besar dalam memberi respon terhadap berbagai bentuk latihan (Sudarsono, 2009). Beberapa unit organ tubuh akan mengalami perubahan akibat dilakukan pelatihan. Dengan latihan yang teratur, akan memberikan beberapa efek positif terhadap otot, bahkan perubahan adaptif jangka panjang dapat terjadi pada serat otot, yang memungkinkan untuk respon lebih efisien terhadap berbagai jenis kebutuhan pada otot (Wiarto, 2013).

2.3 Proprioceptive Exercise

2.3.1 Pengertian Proprioceptive Exercise

Proprioceptive exercise merangsang sistem saraf yang mendorong


(44)

30

umumnya didefinisikan sebagai kemampuan untuk menilai dimana masing-masing posisi ekstremitas berada tanpa bantuan indera penglihatan. Proprioceptive diatur oleh mekanisme saraf pusat dan saraf tepi yang datang terutama dari reseptor otot, tendon, ligamen, persendiaan dan fascia (Lephart, et al., 2013).

Proprioceptive dapat juga diartikan sebagai keseluruhan kesadaran dari posisi tubuh. Kesadaran posisi akan berpengaruh terhadap gerak yang akan dilakukan, gerak yang timbul tersebut akibat impuls yang diberikan stimulus yang diterima dari reseptor yang selanjutnya informasi tersebut akan diolah di otak yang kemudian informasi tersebut akan diteruskan oleh reseptor kembali ke bagian tubuh yang bersangkutan (Ismaningsih, 2015).

Proprioceptive merupakan rasa sentuhan atau tekanan pada sendi yang disusun oleh komponen pembentuk sendi dari tulang, ligamen dan otot serta jaringan spesifik lainnya. Proprioceptive merupakan bagian dari somatosensoris dimana proprioceptive bekerjasama dengan persepsi dan taktil untuk memberikan informasi tentang daerah sekitar, kondisi permukaan sehingga dapat mengirimkan sinyal ke otak untuk mengatur perintah kepada otot dan sendi seberapa menggunakan kekuatan dan bagaimana menyikapi lingkungan. Proprioception memberikan gambaran sama seperti sistem kerja visual, dimana memberikan informasi tentang daerah sekitar, namun hal yang membedakannya adalah proprioceptive bekerja saat sebuah sendi terjadi kontak langsung dengan permukaan sebuah benda. Pada kondisi tanpa cahaya (visual gelap) tidak dapat memberikan banyak informasi untuk tubuh, maka proprioceptive bekerja lebih dominan saat sendi menyentuh atau terjadi tekanan langsung dengan


(45)

31

permukaannya. Saat mata tertutup kaki masih bisa merasakan dimana kita berdiri sekarang, tempat miring, berbatu kasar atau datar, dan lain-lain. Dari informasi yang diterima oleh golgi tendon dan muscle spindle terkumpul cukup baik selanjutnya neuron akan meneruskan untuk dikirim ke sistem saraf pusat melalui ganglion basalis hingga sampai ke sistem saraf pusat seperti perjalanan di gambar kemudian otak menentukan bagaimana kita menyikapi terhadap permukaan tersebut (Kisner & Allen, 2007).

Gambar 2.9 Lintasan Proprioceptive (Riemer, 2015)

Reseptor yang diterima neuron saat menerima rangsangan sendi dikirim ke dua tempat yaitu ke korteks cerebri atau disebut dengan proprioceptive sadar karena dapat dikontrol penuh oleh otak baik penerimaan maupun pengembalian impuls ke afektor, dan kortek cerebellum biasa disebut dengan proprioceptive tak sadar atau


(46)

32

bekerja otomatis. Neuron yang dikirim melalui lintasan ke korteks cerebri memuat informasi lingkungan dikirim ke otak untuk mengatur kontraksi dan sistem tubuh, sedangkan neuron yang melalui korteks cerebri memuat informasi yang akan diberikan ke otak kecil untuk diolah sehingga hasil yang didapat adalah menjaga keseimbangan tubuh. Cara penyampaian reseptor proprioceptive ke cortex cerebri menggunakan tiga neuron berbeda, neuron I sel berada di ganglion spinal akan dikirimkan melalui proprioception dihasilkan melalui respon secara simultan, visual, vestibular, dan sistem sensorimotor, yang masing-masing memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas postural. Paling diperhatikan dalam meningkatkan proprioception adalah fungsi dari sistem sensorimotor, meliputi integrasi sensorik, motorik, dan komponen pengolahan yang terlibat dalam mempertahankan homeostasis bersama selama tubuh bergerak, sistem sensorimotor mencakup informasi yang diterima melalui reseptor saraf yang terletak di ligamen, kapsul sendi, tulang rawan dan geometri tulang yang terlibat dalam struktur setiap sendi. Mechanoreceptor sensorik khusus bertanggung jawab secara kuantitatif terhadap peristiwa hantaran mekanis yang terjadi dalam jaringan menjadi impuls saraf (Riemann & Lephart, 2002).

Proprioceptive merupakan bagian dari kontrol postural manusia yaitu fungsi yang kompleks yang mencakup komponen seperti deteksi gerakan serta respon otot bekerja menurut kesadaran untuk membangkitkan dan mengendalikan saat terjadinya gerakan. Reseptor proprioceptive berada di kulit, otot, sendi, ligamen dan tendon. Mereka memberikan informasi kepada CNS berkaitan dengan jaringan deformasi. Pada ujung ruffini terletak di kapsul sendi dan ligamen. Karena


(47)

33

mechanoreceptor ini maksimal di rangsang pada sudut sendi tertentu serta menghubungkan sensasi posisi sendi dan perubahan posisi (Ismaningsih, 2015).

Proprioceptive berkaitan dengan dimana rasa posisi mekanoreseptor berada. Hal tersebut meliputi dua aspek yaitu posisi statis dan dinamis. Dalam hal ini statis di definisikan yaitu memberikan orientasi sadar pada satu bagian tubuh yang lain sedangkan arti dinamis yaitu memberikan fasilitasi pada sebuah sistem neuromuskular berkaitan dengan tingkat dan arah gerakan kelincahan. Proprioceptive exercise sangat dianjurkan untuk meningkatkan proprioception untuk meningkatkan keseimbangan dan koordinasi sehingga tercapainya kelincahan yang baik (Laskowski, et al., 1997).

Dalam hal ini peneliti memilih latihan proprioceptive exercise dengan wobble board berupa closed kinetic chain exercise dimana bahwa latihan closed kinetic chain exercise memberikan umpan balik proprioceptive dan kinestetik lebih besar daripada open kinetic chain exercise. Menurut teori saat bergerak beberapa kelompok otot yang dilintasi untuk menerima impuls, sendi akan diaktifkan selama latihan closed kinetic chain exercise berlangsung sedangkan selama latihan open kinetic chain exercise reseptor sensorik, otot, jaringan intra artikular dan ekstra artikular diaktifkan dalam mengendalikan gerak (Kisner & Allen, 2007).

Aktifitas closed kinetic chain exercise dilakukan untuk menumpu berat badan, khusus untuk menstimulasi mechanoreceptor dan sekitar sendi maka latihan ini lebih efektif daripada open kinetic chain exercise. Dengan demikian akan menstimulasi kontraksi otot, menambah stabilitas sendi, keseimbangan, koordinasi, dan meningkatkan kelincahan pada fungsional tubuh dengan menumpu berat badan.


(48)

34

Dalam penelitian ini penulis menggunakan wobble board (papan keseimbangan) (Ismaningsih, 2015).

Papan keseimbangan atau lebih dikenal di dunia fisioterapi dan olahraga yang disebut wobble board yaitu sebuah alat yang digunakan untuk melatih proprioceptive ekstremitas atas atau bawah (Kisner & Allen, 2007). Wobble board dapat digunakan sebagai alat ukur keseimbangan, stabilisasi, dan koordinasi (Mattacola & Dwyer, 2002). Pengertian yang lain tentang wobble board adalah titik tumpu dari semua wobble board berbentuk setengah lingkaran atau semi bola, hal ini dapat memungkinkan papan bergerak ke segala arah, maju – mundur, kiri dan kanan berputar 360 derajat. Wobble board banyak digunakan untuk perkembangan anak, gymnasium, latihan olah raga, mencegah terjadinya cidera pada knee dan ankle, proses rehabilitasi setelah cidera hip, knee, dan ankle serta biasa digunakan sebagai salah satu alat fisioterapi (Waddington, et al., 2000). Latihan dengan menggunakan wobble board ini merupakan latihan stabilisasi dinamis pada posisi tubuh statis yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilitas pada posisi tetap. Prinsip latihan ini adalah meningkatkan fungsi dari pengontrol keseimbangan tubuh yaitu sistem informasi sensoris, central processing, dan affector untuk bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Fungsi dari latihan ini meningkatkan proprioceptive, meningkatkan stabilitas tubuh, dan mengontrol postur alligment (Ismaningsih, 2015).

Tabel 2.1 Panduan Produk Wobble Board

Produk Pengguna Aplikasi

Wobble board klasik 16”

• Dual level 14˚, 17˚

• Masyarakat umum.

• Awal - akhir rehabilitasi.


(49)

35

• Anak-anak. • Pekerja kantor. • Grup kelas

kebugaran.

• Pelatihan keseimbangan. • Sebagai

sandaran kaki. • Aktif berdiri.

Wobble board 16”

• Tri-level canggih 15˚, 17˚, 20˚

• • Masyarakat umum. • Anak-anak. • Pengguna canggih. • Atlet. • Akhir rehabilitasi. • Rumah. • Gym. • Kantor.

Wobble board 20”

• Tri-level menengah 10˚, 12˚, 15˚

• • Pemula. • Senior. • Tingkat pengguna menengah. • Awal-Akhir rehabilitasi. • Rumah. • Gym. • Kantor. Sumber : Attaway (2013)

2.3.2 Mekanisme Fisiologis Pemberian Proprioceptive Exercise untuk Meningkatkan Kelincahan

Pada kelincahan salah satu komponen jaringan non-kontraktil yang diperlukan adalah ligamen, pada saat pemberian proprioceptive exercise, ligamen akan menstimulasi aktifitas biologi dengan cairan synovial yang membawa nutrisi pada bagian avaskuler dikartilago sendi. Hal ini akan meningkatkan tingkat keseimbangan dan kestabilan karena berefek langsung pada sistem neuromuskular dan muskuloskeletal (mengaktifkan kontraksi otot). Gerakan yang berulang (repetisi yang dilakukan) pada saat latihan akan meningkatkan mikrosirkulasi dan


(50)

36

cairan yang keluar akan lebih banyak sehingga kadar air dan matriks pada jaringan dan jaringan menjadi lebih elastic dan kekuatan ligamen dalam mengikat sendi meningkat maka akan menimbulkan stabilitas yang lebih baik, yang selanjutnya juga akan meningkatkan performance seseorang dalam meningkatkan kemampuan kelincahan (Ismaningsih, 2015).

Disamping ligamen, salah satu stabilisator tubuh yang juga berperan penting terhadap peningkatan kelincahan adalah sendi. Sendi merupakan salah satu stabilisator pasif yang diikat oleh ligamen. Pada kemampuan kelincahan diperlukan suatu kondisi sendi yang stabil dan tanpa ada keluhan seperti nyeri, karena jika terdapat keluhan tersebut akan mengurangi kemampuan sendi dalam melakukan suatu gerakan. Gerakan yang dilakukan oleh sendi diperoleh melalui proprioceptive pada sendi tersebut maka ketika melakukan exercise, sendi lebih akan stabil karena ditunjang juga oleh kekuatan otot (penggerak sendi) dan stabilitas dari ligamen sehingga adanya peningkatan kelincahan (Ismaningsih, 2015).

2.3.3 Prosedur Proprioceptive Exercise

Adapun teknik proprioceptive exercise closed kinetic chain dengan menggunakan wobble board sebagai berikut (Ismaningsih, 2015):

1. Persiapkan wobble board di tempat latihan.

2. Posisi pasien berdiri kemudian instruksikan pada semua gerakan dilakukan dalam keadaan mata tertutup.

3. Dengan kedua kakinya berdiri dan posisi badan tegak lurus diatas wobble board kemudian anak tersebut diberikan penjelasan untuk menggerakkan kakinya ke samping kanan-kiri, berdiri di atas satu kaki, dan berjongkok.


(51)

37

4. Lihat tingkat stabilitas anak tersebut dalam pertahanan posisinya.

Gambar 2.10 Proprioceptive Exercise Closed Kinetic Chain Dilakukan dengan Mata Tertutup/ Terpejam (side to side, one foot, squat) (Pelletier,

2012)

2.4 Zig-Zag Run Exercise

2.4.1 Pengertian Zig-Zag Run Exercise

Zig-zag run exercise adalah suatu macam bentuk latihan yang dilakukan dengan gerakan berkelok-kelok melewati rambu-rambu yang telah disiapkan, dengan tujuan untuk melatih kemampuan berubah arah dengan cepat. Tujuan zig-zag run exercise adalah untuk menguasai keterampilan lari, menghindar dari berbagai halangan baik orang maupun benda yang ada di sekeliling (Saputra, 2002). Sesuai dengan tujuannya zig-zag run exercise dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Zig-zag run exercise untuk mengukur kelincahan seseorang.


(52)

38

Keuntungan dan kerugian zig-zag run exercise, yaitu (Harsono, 1988): 1. Keuntungan:

a. Kemungkinan cidera lebih kecil karena sudut ketajaman berbelok arah lebih kecil (45 dan 90 derajat).

b. Banyak membutuhkan koordinasi gerak tubuh, sehingga mempermudah dalam tes kelincahan.

2. Kerugian:

a. Secara psikis arah lari perlu pengingatan lebih.

b. Anak tidak terbiasa dengan ketajaman sudut lari yang besar sehingga pada saat melakukan tes kelincahan, anak menganggap sudut lari tes kelincahan lebih sulit. Akibatnya konsentrasi terpusat pada arah belok dan bukan pada kecepatan larinya.

Dalam zig-zag run exercise ini melibatkan otot tungkai untuk bisa menyelesaikan semua beban yang diberikan pada saat latihan. Gerakan yang dilakukan dalam latihan ini berlari kedepan dan berbelak-belok dengan secepatnya sehingga pergerakan yang dilakukan tidak semata-mata menekankan pada gerakan tungkai. Setiap kerja yang dilakukan oleh tubuh merupakan kontraksi yang terjadi pada otot. Dalam setiap latihan, tubuh selalu memberikan respon dan dalam jangka waktu tertentu tubuh akan mulai beradaptasi dengan latihan yang diberikan (Lestari, 2015).

Zig-zag run exercise ini akan membuat otot mengalami kontraksi sebagai bentuk respon terhadap beban yang diberikan. Sebagai efek dari diberikan latihan adalah adanya perubahan sebagai bentuk adaptasi dari tubuh terhadap latihan yang


(53)

39

diberikan berupa peningkatan kemampuan kerja otot. Dengan diberikan latihan akan memberikan pengaruh secara fisiologis bagi otot khususnya otot tungkai dan dengan perubahan ini akan memberikan dampak terhadap peningkatan kecepatan dan kelincahan (Nala, 1998).

2.4.2 Mekanisme Fisiologis Pemberian Zig-zag Run Exercise untuk Meningkatkan Kelincahan

Dengan diberikan zig-zag run exercise maka unsur kebugaran jasmani seperti kekuatan otot tungkai, kecepatan, fleksibilitas sendi lutut dan pinggul, elastisitas otot dan keseimbangan dinamis akan mengalami peningkatan fungsi secara fisiologis sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan kelincahan kaki. Kekuatan merupakan kemampuan neuromuscular untuk mengatasi tahanan beban luar dan beban dalam. Akan terjadi peningkatan kemampuan dan respon fisiologis pada pelatihan ini yaitu terjadi hypertrophy (pembesaran otot), dan adaptasi persyarafan. Terjadinya hypertrophy disebabkan oleh bertambahnya jumlah myofibril pada setiap serabut otot, meningkatnya kepadatan kapiler pada serabut otot dan meningkatnya jumlah serabut otot. Terjadinya adaptasi persyarafan ditandai dengan peningkatan teknik dan tingkat keterampilan seseorang (Sukadiyanto, 2005).

Kecepatan sebagai hasil perpanduan dari panjang ayunan tungkai dan jumlah langkah. Fleksibilitas merupakan kemampuan persendian untuk bergerak dalam ruang gerak sendi secara maksimal dan elastisitas merupakan kemampuan otot untuk berkontraksi dan berelaksasi secara maksimal. Dengan diberikan pelatihan zig-zag run otot-otot akan menjadi lebih elastis dan ruang gerak sendi akan semakin


(54)

40

baik dan persendian akan menjadi sangat lentur sehingga menyebabkan ayunan tungkai dalam melakukan langkah-langkah menjadi sangat lebar. Keseimbangan dinamis juga akan terlatih karena dalam pelatihan ini harus mampu mengontrol keadaan tubuh saat melakukan pergerakan. Otot-otot sinergis berkontraksi lebih tepat, dan meningkatnya inhibisi otot-otot antagonis. Dengan meningkatnya komponen-komponen tersebut maka kelincahan akan mengalami peningkatan (Lestari, 2015).

Elastisitas otot sangat penting karena makin panjang otot tungkai dapat terulur, makin kuat dan cepat ia dapat memendek atau berkontraksi. Dengan otot yang elastis, tidak akan menghambat gerakan-gerakan otot tungkai sehingga langkah kaki dapat dilakukan dengan cepat dan panjang (Hanafi, 2010). Kecepatan reaksi secara fisiologis ditentukan oleh tingkat kemampuan penerima rangsang penghantaran stimulus ke sistem syaraf pusat, penyampaian stimulus melalui syaraf sampai terjadinya sinyal, penghantaran sinyal dari sistem syaraf pusat ke otot, dan kepekaan otot menerima rangsang untuk menjawab dalam bentuk gerak (Sukadiyanto, 2005).

Semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mereaksi stimulus maka semakin baik kecepatan reaksinya. Waktu yang diperlukan untuk mereaksi stimulus akan menjadi semakin singkat karena terlatihnya kepekaan saraf sensorik dalam menghantarkan stimulus ke otak dan terlatihnya saraf motorik dalam menghantarkan perintah/sinyal dari otak ke otot. Dengan meningkatnya komponen kemampuan fisiologis tersebut maka akan menyebabkan peningkatan pada kecepatan reaksi (Lestari, 2015).


(55)

41

Dari beberapa penelitian, dikatakan bahwa dengan melakukan zig-zag run exercise akan meningkatkan kelincahan. Hal ini ditandai dengan adanya penurunan waktu tempuh saat melakukan shuttle run test sebanyak 1,24 detik dari sebelum melakukan pelatihan (Lestari, 2015).

2.4.3 Prosedur Zig-zag Run Exercise

Prosedur pelaksanaan zig-zag run exercise untuk meningkatkan kelincahan sebagai berikut (Lestari, 2015):

a. Cones disusun berbentuk garis zig-zag dengan jarak antar titik 2 meter. b. Peserta berdiri di belakang garis start.

c. Setelah ada aba-aba “ya” peserta berlari secepat mungkin mengikuti arah/cones yang telah disusun secara zig-zag sesuai dengan diagram sampai batas finish.

Gambar 2.11 Zig-zag Run Exercise (Gilang, 2007)


(56)

42

2.5 Takaran Pelatihan

Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip latihan. Tanpa adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang terkait, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011).

1. Intensitas

Menurut Bompa (2005) bahwa intensitas adalah fungsi dari kekuatan rangsangan syaraf yang dilakukan dalam latihan dan kekuatan rangsangan tergantung dari beban kecepatan gerakannya, variasi interval atau istirahat diantara tiap ulangannya. Menurut Harsono (1988), tingkatan intensitas beban pelatihan yang dianjurkan untuk pelatihan kondisi fisik: rendah: 30-50%, ringan: 51-60%, sedang: 61-75%, submaksimal: 76-85%, maksimal: 86-100% dan super maksimal: 100%. Dalam meningkatkan kekuatan tanpa mengabaikan kecepatan, pembebanannya submaksimal dengan lama waktu berkontraksi 7-10 detik. Pembebanan berkisar 60- 90% dari kekuatan maksimal berdasarkan (O’Shea, 1976). Sedangkan meningkatkan kecepatan tanpa mengabaikan kekuatan, intensitas pembebanannya berskala ringan dan sedang dari kemampuan maksimal, demikian pula waktu rangsangan saraf dan kontraksi diperpendek (Jensen & Fisher, 1983).

2. Volume

Menurut Nala (2011), bahwa volume latihan merupakan jumlah seluruh aktivitas yang dilakukan selama latihan. Unsur volume ini merupakan takaran kuantitatif, yakni satu kesatuan yang dapat diukur banyaknya, berapa lama, jauh,


(57)

43

tinggi atau jumlah suatu aktivitas. Pada umumnya volume pelatihan ini terdiri dari atas : durasi atau lama waktu pelatihan; jarak tempuh, berat beban, atau jumlah angkatan dalam satuan waktu; serta jumlah repetisi dan set atau penampilan unsur teknik dalam satu kesatuan waktu (Nala, 2011).

Dalam penelitian ini volume yang digunakan adalah sebagai berikut : a) Repetisi

Repetisi merupakan pengulangan yang dilakukan tiap set pelatihan. Untuk zig-zag run exercise repetisi yang digunakan adalah 1-3 kali, tetapi untuk menghasilkan peningkatan yang maksimal repetisi yang sebaiknya digunakan adalah 3 repetisi untuk tiap set (Nala, 2011).

b) Durasi

Durasi atau lamanya waktu pelatihan dapat dinyatakan dalam detik, menit, jam, hari, minggu atau bulan.

c) Set

Set adalah satu rangkaian dari repetisi (Nala, 2011). Menurut pelatihan dari De Lorme dan Watkins, bahwa pelatihan meningkatkan kekuatan otot dapat terwujud melalui program dengan menggunakan 1-3 repetisi untuk 3-4 set dengan menggunakan beban maksimum (Widana, 1983).

d) Istirahat

Waktu istirahat diperlukan dalam setiap set untuk memberikan waktu istirahat kepada otot-otot yang berperan dalam pelatihan kelincahan. Bila beban ringan waktu istirahat cukup 2 menit tapi bila bebannya berat, waktu istirahat


(58)

44

sampai 5 menit. Waktu istirahat yang dianjurkan adalah selama 1-3 menit antar set, untuk mencegah terlalu lamanya waktu istirahat (Nala, 2011).

3. Frekuensi

Frekuensi merupakan kekerapan atau kerapnya pelatihan per-minggu. Dalam pelatihan kelincahan, frekuensi yang biasa digunakan adalah 3-5 kali seminggu (Nala, 2011). Hal ini sesuai bagi atlet sehingga menghasilkan peningkatan kemampuan otot yang baik serta tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti (Harsono, 1996).

Dengan berbagai pertimbangan teoritis dan karakteristik anak usia 9-11 tahun, maka dalam penelitian ini latihan dilakukan tiga kali sesi pertemuan dalam satu minggu, dengan diberi jeda waktu tidak lebih dari 48 jam. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya waktu senggang selama 2 hari berturut-turut, ini mengakibatkan jika berturut-turut terdapat istirahat selama lebih dari dua hari dikhawatirkan kondisi fisik atlet akan kembali ke keadaan semula. Latihan ini dilaksanakan 4 minggu agar mengasilkan efek yang optimal (Nala, 1998).


(1)

diberikan berupa peningkatan kemampuan kerja otot. Dengan diberikan latihan akan memberikan pengaruh secara fisiologis bagi otot khususnya otot tungkai dan dengan perubahan ini akan memberikan dampak terhadap peningkatan kecepatan dan kelincahan (Nala, 1998).

2.4.2 Mekanisme Fisiologis Pemberian Zig-zag Run Exercise untuk Meningkatkan Kelincahan

Dengan diberikan zig-zag run exercise maka unsur kebugaran jasmani seperti kekuatan otot tungkai, kecepatan, fleksibilitas sendi lutut dan pinggul, elastisitas otot dan keseimbangan dinamis akan mengalami peningkatan fungsi secara fisiologis sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan kelincahan kaki. Kekuatan merupakan kemampuan neuromuscular untuk mengatasi tahanan beban luar dan beban dalam. Akan terjadi peningkatan kemampuan dan respon fisiologis pada pelatihan ini yaitu terjadi hypertrophy (pembesaran otot), dan adaptasi persyarafan. Terjadinya hypertrophy disebabkan oleh bertambahnya jumlah

myofibril pada setiap serabut otot, meningkatnya kepadatan kapiler pada serabut

otot dan meningkatnya jumlah serabut otot. Terjadinya adaptasi persyarafan ditandai dengan peningkatan teknik dan tingkat keterampilan seseorang (Sukadiyanto, 2005).

Kecepatan sebagai hasil perpanduan dari panjang ayunan tungkai dan jumlah langkah. Fleksibilitas merupakan kemampuan persendian untuk bergerak dalam ruang gerak sendi secara maksimal dan elastisitas merupakan kemampuan otot untuk berkontraksi dan berelaksasi secara maksimal. Dengan diberikan pelatihan


(2)

baik dan persendian akan menjadi sangat lentur sehingga menyebabkan ayunan tungkai dalam melakukan langkah-langkah menjadi sangat lebar. Keseimbangan dinamis juga akan terlatih karena dalam pelatihan ini harus mampu mengontrol keadaan tubuh saat melakukan pergerakan. Otot-otot sinergis berkontraksi lebih tepat, dan meningkatnya inhibisi otot-otot antagonis. Dengan meningkatnya komponen-komponen tersebut maka kelincahan akan mengalami peningkatan (Lestari, 2015).

Elastisitas otot sangat penting karena makin panjang otot tungkai dapat terulur, makin kuat dan cepat ia dapat memendek atau berkontraksi. Dengan otot yang elastis, tidak akan menghambat gerakan-gerakan otot tungkai sehingga langkah kaki dapat dilakukan dengan cepat dan panjang (Hanafi, 2010). Kecepatan reaksi secara fisiologis ditentukan oleh tingkat kemampuan penerima rangsang penghantaran stimulus ke sistem syaraf pusat, penyampaian stimulus melalui syaraf sampai terjadinya sinyal, penghantaran sinyal dari sistem syaraf pusat ke otot, dan kepekaan otot menerima rangsang untuk menjawab dalam bentuk gerak (Sukadiyanto, 2005).

Semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mereaksi stimulus maka semakin baik kecepatan reaksinya. Waktu yang diperlukan untuk mereaksi stimulus akan menjadi semakin singkat karena terlatihnya kepekaan saraf sensorik dalam menghantarkan stimulus ke otak dan terlatihnya saraf motorik dalam menghantarkan perintah/sinyal dari otak ke otot. Dengan meningkatnya komponen kemampuan fisiologis tersebut maka akan menyebabkan peningkatan pada kecepatan reaksi (Lestari, 2015).


(3)

Dari beberapa penelitian, dikatakan bahwa dengan melakukan zig-zag run

exercise akan meningkatkan kelincahan. Hal ini ditandai dengan adanya penurunan

waktu tempuh saat melakukan shuttle run test sebanyak 1,24 detik dari sebelum melakukan pelatihan (Lestari, 2015).

2.4.3 Prosedur Zig-zag Run Exercise

Prosedur pelaksanaan zig-zag run exercise untuk meningkatkan kelincahan sebagai berikut (Lestari, 2015):

a. Cones disusun berbentuk garis zig-zag dengan jarak antar titik 2 meter.

b. Peserta berdiri di belakang garis start.

c. Setelah ada aba-aba “ya” peserta berlari secepat mungkin mengikuti arah/cones yang telah disusun secara zig-zag sesuai dengan diagram sampai batas finish.

Gambar 2.11 Zig-zag Run Exercise (Gilang, 2007)


(4)

2.5 Takaran Pelatihan

Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip latihan. Tanpa adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang terkait, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011).

1. Intensitas

Menurut Bompa (2005) bahwa intensitas adalah fungsi dari kekuatan rangsangan syaraf yang dilakukan dalam latihan dan kekuatan rangsangan tergantung dari beban kecepatan gerakannya, variasi interval atau istirahat diantara tiap ulangannya. Menurut Harsono (1988), tingkatan intensitas beban pelatihan yang dianjurkan untuk pelatihan kondisi fisik: rendah: 30-50%, ringan: 51-60%, sedang: 61-75%, submaksimal: 76-85%, maksimal: 86-100% dan super maksimal: 100%. Dalam meningkatkan kekuatan tanpa mengabaikan kecepatan, pembebanannya submaksimal dengan lama waktu berkontraksi 7-10 detik. Pembebanan berkisar 60- 90% dari kekuatan maksimal berdasarkan (O’Shea, 1976). Sedangkan meningkatkan kecepatan tanpa mengabaikan kekuatan, intensitas pembebanannya berskala ringan dan sedang dari kemampuan maksimal, demikian pula waktu rangsangan saraf dan kontraksi diperpendek (Jensen & Fisher, 1983).

2. Volume

Menurut Nala (2011), bahwa volume latihan merupakan jumlah seluruh aktivitas yang dilakukan selama latihan. Unsur volume ini merupakan takaran kuantitatif, yakni satu kesatuan yang dapat diukur banyaknya, berapa lama, jauh,


(5)

tinggi atau jumlah suatu aktivitas. Pada umumnya volume pelatihan ini terdiri dari atas : durasi atau lama waktu pelatihan; jarak tempuh, berat beban, atau jumlah angkatan dalam satuan waktu; serta jumlah repetisi dan set atau penampilan unsur teknik dalam satu kesatuan waktu (Nala, 2011).

Dalam penelitian ini volume yang digunakan adalah sebagai berikut : a) Repetisi

Repetisi merupakan pengulangan yang dilakukan tiap set pelatihan. Untuk

zig-zag run exercise repetisi yang digunakan adalah 1-3 kali, tetapi untuk

menghasilkan peningkatan yang maksimal repetisi yang sebaiknya digunakan adalah 3 repetisi untuk tiap set (Nala, 2011).

b) Durasi

Durasi atau lamanya waktu pelatihan dapat dinyatakan dalam detik, menit, jam, hari, minggu atau bulan.

c) Set

Set adalah satu rangkaian dari repetisi (Nala, 2011). Menurut pelatihan dari De Lorme dan Watkins, bahwa pelatihan meningkatkan kekuatan otot dapat terwujud melalui program dengan menggunakan 1-3 repetisi untuk 3-4 set dengan menggunakan beban maksimum (Widana, 1983).

d) Istirahat

Waktu istirahat diperlukan dalam setiap set untuk memberikan waktu istirahat kepada otot-otot yang berperan dalam pelatihan kelincahan. Bila beban ringan waktu istirahat cukup 2 menit tapi bila bebannya berat, waktu istirahat


(6)

sampai 5 menit. Waktu istirahat yang dianjurkan adalah selama 1-3 menit antar set, untuk mencegah terlalu lamanya waktu istirahat (Nala, 2011).

3. Frekuensi

Frekuensi merupakan kekerapan atau kerapnya pelatihan per-minggu. Dalam pelatihan kelincahan, frekuensi yang biasa digunakan adalah 3-5 kali seminggu (Nala, 2011). Hal ini sesuai bagi atlet sehingga menghasilkan peningkatan kemampuan otot yang baik serta tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti (Harsono, 1996).

Dengan berbagai pertimbangan teoritis dan karakteristik anak usia 9-11 tahun, maka dalam penelitian ini latihan dilakukan tiga kali sesi pertemuan dalam satu minggu, dengan diberi jeda waktu tidak lebih dari 48 jam. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya waktu senggang selama 2 hari berturut-turut, ini mengakibatkan jika berturut-turut terdapat istirahat selama lebih dari dua hari dikhawatirkan kondisi fisik atlet akan kembali ke keadaan semula. Latihan ini dilaksanakan 4 minggu agar mengasilkan efek yang optimal (Nala, 1998).


Dokumen yang terkait

PENGARUH ZIG-ZAG RUNING TERHADAP Pengaruh Zig Zag Runing Terhadap Peningkatan Kelincahan Pada Pemain Sepak Bola Usia 15-18 Tahun Di Salatiga Training Center Kota Salatiga.

0 4 15

SKRIPSI PENGARUH ZIG ZAG RUNING TERHADAP PENINGKATAN Pengaruh Zig Zag Runing Terhadap Peningkatan Kelincahan Pada Pemain Sepak Bola Usia 15-18 Tahun Di Salatiga Training Center Kota Salatiga.

0 4 15

PENGARUH AGILITY LADDER EXERCISE DENGAN METODE LATERAL RUN TERHADAP PENINGKATAN Pengaruh Agility Ladder Exercise Dengan Metode Lateral Run Terhadap Peningkatan Kelincahan Lari Pada Atlet Sepakbola Usia 13 Tahun DiSekolah Sepak Bola Jaten.

0 0 18

PERBEDAAN BRAINGYM DAN CONE EXERCISE TERHADAP KESEIMBANGAN PADA ANAK USIA DINI 4 – 6 TAHUN Perbedaan braingym dan cone exercise terhadap keseimbangan pada anak usia dini 4 – 6 tahun.

0 1 15

PERBANDINGAN METODE LATIHAN ZIG-ZAG RUN DAN ENVELOPE RUN TERHADAP PENINGKATAN KELINCAHAN PEMAIN DALAM PERMAINAN SEPAKBOLA.

0 1 28

Perbedaan Proprioceptive Exercise Dan Zig-Zag Run Exercise Terhadap Peningkatan Keseimbangan Dinamis Pada Anak Usia 9-11 Tahun Di Sekolah Dasar Negeri 4 Sanur.

1 2 54

ZIG-ZAG RUN EXERCISE LEBIH EFEKTIF DALAM MENINGKATKAN KELINCAHAN DARIPADA SHUTTLE RUN EXERCISE PADA PEMAIN BASKET SISWA SMA.

0 1 59

PENGARUH LATIHAN SHUTTLE RUN DAN LARI ZIG-ZAG TERHADAP PENINGKATAN KELINCAHAN GERAK SHADOW 6 TITIK ATLET BULUTANGKIS USIA 11-13 TAHUN.

6 59 151

PERBEDAAN PENAMBAHAN ZIG ZAG RUN EXERCISE PADA PROGRESSIVE RESISTANCE EXERCISE TERHADAP KELINCAHAN SEPAK BOLA NASKAH PUBLIKASI - PERBEDAAN PENAMBAHAN ZIG ZAG RUN EXERCISE PADA PROGRESSIVE RESISTANCE EXERCISE TERHADAP KELINCAHAN SEPAK BOLA - DIGILIB UNISAY

0 1 15

PENGARUH LATIHAN ZIG-ZAG RUN TERHADAP PENINGKATAN KELINCAHAN PEMAIN DI UKM FUTSAL STIE YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - PENGARUH LATIHAN ZIG-ZAG RUN TERHADAP PENINGKATAN KELINCAHAN PEMAIN DI UKM FUTSAL STIE YOGYAKARTA - DIGILIB UNISAYOGYA

0 1 20