PENGARUH PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PA

PENGARUH PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA JAKARTA MAMPANG PRAPATAN SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Oleh : MAYANG WIJOYANTI 205.112.094/FE/AK FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA 2010

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dan Nabi Besar Muhammad SAW atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian ini.

Usulan penelitian yang berjudul “PENGARUH PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK”, Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyusun skripsi di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

Dalam penyusunan usulan penelitian ini Penulis mendapatkan banyak sekali bantuan dari berbagai pihak baik dari segi materi atau pun moril. Oleh karena itu perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih atas kepada pihak-pihak yang telah membarikan bimbingan dan dukungannya. Terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Ir. Budiman Djoko Said, MM, selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

2. DR. Hj. Erna Hernawati, Ak, MM, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

3. Drs. Lukito Sanyoto, MM, selaku dosen pembimbing penulis dalam penyusunan usulan penelitian ini.

4. Satria Yudhia Wijaya, M.S. Ak, selaku Kepala Program S1 Akuntansi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

5. Susi Indriani, M.S. Ak, selaku Kepala Laboratorium S1 Akuntansi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

6. Bapak Rudi selaku staff sekretariat yang telah sabar dan ikhlas dalam membantu pembuatan surat riset.

7. Seluruh Dosen dan staff Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

8. Bapak Riyanto selaku staff di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Mampang Prapatan

9. Kedua orang tua tercinta yang telah memberikan semangat dan dukungan baik material maupun spiritual hingga dapat menyelesaikan penelitian ini.

10. Mas Gowo, Mas Dipo, dan Resi yang selalu bisa menjadi penyemangat dalam mengerjakan penelitian ini.

11. Firman yang walau jauh tetapi selalu memberikan semangatnya dengan tulus

12. My second fam di Jogja, Bule Iin, Oom Joni, Mba lely n keluarga, Abbad, makasih atas supportnya.

13. Anita, Prita, Enyoy, Fajar, Bang Udin, Nani, Dita, Lia teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi ini.

14. Anak-anak da_Narsis, Rahma, Ulie, Uthi, yang rela menjadi tempat keluh kesah saat mengerjakan penelitian ini.

15. Gumay, Bayu Jancuk, Ade, Olle teman seperjuangan yang masih berjuang dalam kuliah.

16. Bayu 02, Puji, Aji dan anak-anak KIMO lainnya semoga masih bisa touring lagi.

17. Semua temen-temen angkatan 2005 yang tidak dapat di sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan yang sangat berarti selama masa perkuliahan.

Penulis menyadari dengan adanya keterbatasan ilmu pengetahuan dan sebagainya yang penulis miliki. Maka usulan penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima untuk perbaikan usulan penelitian ini.

Jakarta, Oktober 2009

Mayang Wijoyanti

PENGARUH PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA JAKARTA MAMPANG PRAPATAN

Oleh :

Mayang Wijoyanti

ABSTRAK

Pajak sebagai salah satu ujung tombak sumber penerimaan Negara wajib diperhatikan pelaksanaannya agar memenuhi criteria pemungutan pajak yaitu adil dan tidak memberatkan. Upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan Negara melalui pajak harus diimbangi dengan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Tujuan hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan dari penagihan pajak dengan surat paksa terhadap kepatuhan wajib pajak. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistic regresi linier sederhana yaitu untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan dari penagihan pajak dengan surat paksa terhadap kepatuhan wajib pajak.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa t hitung >t tabel (5,037 > 2,032), memiliki tingkat signifikansi 0,000 karena tingkat signifikansi lebih kecil dari pada 0,05 maka hal ini membuktikan bahwa penagihan pajak dengan surat paksa mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak.

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang melaksanakan kegiatan pembangunan. Salah satu kegiatan pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan nasional. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan. Pembangunan tersebut bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara adil, makmur dan merata. Agar tujuan tersebut dapat terwujud maka dibutuhkan dana. Dana ini salah satunya berasal dari penerimaan pajak.

Pajak merupakan pendapatan negara yang cukup potensial untuk dapat mencapai keberhasilan pembangunan. Penerimaan dari sektor pajak ternyata salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke tahun terlihat bahwa penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil besar dalam penerimaan negara. Penerimaan dari sektor pajak selalu dikatakan merupakan primadona dalam membiayai pembangunan nasional.

Peran masyarakat dalam pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan perlu ditingkatkan dengan mendorong kesadaran dan pemahaman bahwa pajak adalah sumber utama pembiayaan negara dan pembangunan nasional serta Peran masyarakat dalam pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan perlu ditingkatkan dengan mendorong kesadaran dan pemahaman bahwa pajak adalah sumber utama pembiayaan negara dan pembangunan nasional serta

Salah satu sistem pemungutan pajak yang dianut oleh negara Indonesia adalah Self Assessment System dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab sepenuhnya untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya yaitu Wajib Pajak harus aktif menghitung, menyetor dan melaporkan besarnya pajak yang terutang kepada Kantor Pelayanan Pajak.

Self Assessment System memungkinkan adanya Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik akibat dari kelalaian, kesengajaan atau mumgkin ketidaktahuan para Wajib Pajak atas kewajiban parpajakannya.

Adanya kepercayaan yang sangat besar yang telah diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak, maka agar Self Assessment System ini berjalan secara efektif maka sudah selayaknya kepercayaan tersebut diimbangi dengan upaya penegakan hukum dan pengawasan yang ketat atas kepauhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dimana kepatuhan Wajib Pajak dalam hal ini dinilai dengan ketaatannya dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dari segi formal dan material. Misalnya kepatuhan dalam hal Adanya kepercayaan yang sangat besar yang telah diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak, maka agar Self Assessment System ini berjalan secara efektif maka sudah selayaknya kepercayaan tersebut diimbangi dengan upaya penegakan hukum dan pengawasan yang ketat atas kepauhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dimana kepatuhan Wajib Pajak dalam hal ini dinilai dengan ketaatannya dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dari segi formal dan material. Misalnya kepatuhan dalam hal

Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam peningkatan penerimaan pajak. Dengan demikian pengkajian terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak sangat perlu menciptakan perhatian. Dalam prakteknya sering kali dijumpai adanya tunggakan pajak dari pihak-pihak yang tidak mempunyai kesadaran untuk membayar pajak yang mengakibatkan tidak dilunasinya utang pajak sebagaimana mestinya. Perkembangan jumlah tunggakan pembayaran pajak dari waktu ke waktu menunjukan jumlah yang semakin besar, peningkatan jumlah tunggakan ini masih belum dapat diimbangi dengan peningkatan jumlah penerimaan dari penagihan pajaknya. Dalam hal ini peran serta masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak berdasarkan ketentuan perpajakan masih diharapkan, tetapi dalam kenyataannya masih banyak dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat tidak dilunasinya utang pajak yang sebagaimana mestinya. Maka tunggakan pajak yang dimaksud perlu dilaksanakan tidakan penagihan pajak yang mempunyai hukum yang memaksa.

Akibat dari kendala itu mengakibatkan tunggakan pajak yang terus meningkat hingga saat ini. Hal ini tentu saja sangat merugikan bagi bangsa Indonesia yang memang sedang melakukan pembangunan nasional. Maka Akibat dari kendala itu mengakibatkan tunggakan pajak yang terus meningkat hingga saat ini. Hal ini tentu saja sangat merugikan bagi bangsa Indonesia yang memang sedang melakukan pembangunan nasional. Maka

Penagihan pajak dengan surat paksa merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendorong rakyat agar bertanggung jawab dan ikut berperan dalam pembangunan ekonomi. Pelaksanaan pembayaran pajak yang bertujuan untuk peningkatan ekonomi negara tersebut dapat dilakukan dengan baik apabila masyarakat sadar akan tanggung jawabnya. Dalam hubungan itu, maka pemerintah menjatuhkan sanksi bagi mereka yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya (Sally : 1999).

Undang-undang penagihan pajak diharapkan juga dapat memberikan penekanan yang lebih pada aspek keadilannya berupa keseimbangan kepentingan antara masyarakat wajib pajak dan kepentingan negara. Keseimbangan kepentingan itu berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang tidak berat sebelah atau tidak memihak, adil dan selaras dalam wujud tata aturan yang jelas dan sederhanaserta memberikan kepasian hukum (Purnawan : 2004).

Berdasarkan uraian di atas maka pembahasan lebih lanjut terhadap pengaruh penagihan pajak yang dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak. Dalam penelitian ini mengambil judul “Pengaruh Penagihan Pajak Dengan Surat

Paksa Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Mampang Prapatan”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka pokok permasalahan yang akan diambil dalam penelitian ini adalah “Apakah penagihan pajak dengan surat paksa berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Mampang Prapatan?”.

1.3. Tujuan

Berdasarkan penulisan masalah yang telah dikemukakan di atas maka penulisan skripsi ini mempunyai tujuan untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan dari penagihan pajak dengan surat paksa terhadap kepatuhan wajib pajak.

1.4. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, antara lain :

a. Bagi peneliti Diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang perpajakan khususnya yang berkaitan dengan pengaruh surat paksa.

b. Bagi perusahaan Dalam hal ini adalah Kantor Pelayanan Pajak yang menjadi obyek penelitian agar dapat melakukan perbaikan dalam pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

c. Bagi pembaca Diharapkan dapat menambah bacaan serta hasil peneletian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian lebih lanjut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai penagihan dengan surat paksa telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu di beberapa negara termasuk Indonesia. Beberapa peneliti terdahulu yang berkaitan dengan penagihan pajak dengan surat paksa diantaranya di kutip dari beberepa sumber penelitian, antara lain:

a. Saly (1999) dengan judul “Aspek Hukum Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu pengkajian peraturan hukum dan penelitian empiris hukum yaitu melihat penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan, terutama yang berkaitan dengan penagihan pajak dengan surat paksa. Hasil penelitan memperlihatkan penangguhan pajak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Undang-undang no.19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa merupakan upaya pemerintah untuk mengikutsertakan anggota masyarakat dalam melajukan pembangunan berkesinambungan. Dalam Undang-undang ini penanggung pajak yaitu orang pribadi dan badan hukum dibebani sanksi apabila tidak memenuhi kewajiban mereka dengan cara penundaan pembayaran pajak. Kelemahan a. Saly (1999) dengan judul “Aspek Hukum Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu pengkajian peraturan hukum dan penelitian empiris hukum yaitu melihat penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan, terutama yang berkaitan dengan penagihan pajak dengan surat paksa. Hasil penelitan memperlihatkan penangguhan pajak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Undang-undang no.19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa merupakan upaya pemerintah untuk mengikutsertakan anggota masyarakat dalam melajukan pembangunan berkesinambungan. Dalam Undang-undang ini penanggung pajak yaitu orang pribadi dan badan hukum dibebani sanksi apabila tidak memenuhi kewajiban mereka dengan cara penundaan pembayaran pajak. Kelemahan

b. Purnawan (2004) dengan judul “Pelaksanaan Tindakan Penagihan Pajak Kaitannya Dengan Kepatuhan Wajib Pajak Dan Aspek Keadilannya”.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yang dimaksudkan untuk melakukan penjelasan atas permasalahan yang diteliti beserta hasil penelitian yang diperoleh, baik dari aspek hukumnya, maupun realitas empiriknya dalam masyarakat. Pendekatan yuridis dimaksudkan untuk mengkaji arti dan maksud peraturan perundangan pajak, serta peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan kebijaksanaan perpajakan, terutama yang berkaitan dengan penagihan pajak. Sedangkan pendekatan sosiologis dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi bekerjanya hukum (UU Perpajakan) di dakam masyarakat (socio legal research). Penelitian ini merupakan studi lapangan dan sebagai pendamping dari hasil studi kepustakaan dan dokumentasi. Hal ini merupakan karakteristik dari analisa sosiologi hukum yang mencoba menghubungkan antar hukum dan perilaku sosial. Hasil dari penelitian ini, wajib pajak patuh memenuhi Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yang dimaksudkan untuk melakukan penjelasan atas permasalahan yang diteliti beserta hasil penelitian yang diperoleh, baik dari aspek hukumnya, maupun realitas empiriknya dalam masyarakat. Pendekatan yuridis dimaksudkan untuk mengkaji arti dan maksud peraturan perundangan pajak, serta peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan kebijaksanaan perpajakan, terutama yang berkaitan dengan penagihan pajak. Sedangkan pendekatan sosiologis dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi bekerjanya hukum (UU Perpajakan) di dakam masyarakat (socio legal research). Penelitian ini merupakan studi lapangan dan sebagai pendamping dari hasil studi kepustakaan dan dokumentasi. Hal ini merupakan karakteristik dari analisa sosiologi hukum yang mencoba menghubungkan antar hukum dan perilaku sosial. Hasil dari penelitian ini, wajib pajak patuh memenuhi

c. Pardede (2006) dengan judul “Dis-sinkronisasi Peraturan Perundang- undangan Dalam Perpajakan Pada Penagihan Dengan Surat Paksa”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Ketentuan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang terkait.

d. Kurniawati (2008) dengan judul “Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Menteng Dua” menunjukkan hasil yang signifikan dimana setelah wajib pajak mendapatkan penagihan pajak dengan surat paksa maka wajib pajak akan melakukan kewajiban perpajakannya.

2.2. Pajak

2.2.1. Pengertian Pajak

Pada dasarnya pajak merupakan salah satu perwujudan dan kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Dalam hal ini pajak yang dipunggut oleh negara digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan demi menjamin kelangsungan hidup serta meningkatkan mutu kehidupan bangsa Indonesia Pada dasarnya pajak merupakan salah satu perwujudan dan kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Dalam hal ini pajak yang dipunggut oleh negara digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan demi menjamin kelangsungan hidup serta meningkatkan mutu kehidupan bangsa Indonesia

Oleh karena itu sangat penting kita simak pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli dalam bidang perpajakan yang memberikan pengertian yang berbeda namun pada inti dan tujuannya sama.

Definisi pajak menurut Soemitro (2006:1), yaitu pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Definisi pajak menurut Soemahamidjaja (2001:4), yaitu pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang- barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan perundang-undangan, yang tidak mendapat prestasi, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara. Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah:

a. Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang serta aturan pelaksanaanya yang bersifat dapat dipaksakan

b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah

d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus maka digunakan untuk

membiayai public investment

e. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeteir, yaitu mengatur

2.2.2. Fungsi pajak

Fungsi pajak menurut Mardiasmo dalam bukunya ‘Perpajakan” (2003:1) adanya 2 fungsi pajak, yaitu:

a. Fungsi Penerimaan (Budgeteir) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.

b. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.

2.2.3. Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi:

a. Official Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri Official Assessment System:

1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus

2) Wajib Pajak bersifat pasif

3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus

b. Self Assessment System Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang,

kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

c. Withholding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi

wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

2.2.4. Asas Pemungut Pajak

Untuk mencapai tujuan pemungut pajak perlu memegang teguh asas- asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya. Maka terdapat keserasian pemungut pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungut pajak menurut Waluyo (2008:13) menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada :

a. Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata yaitu pajak dikenakan

kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta.

b. Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenag-wenang. Oleh karena itu,

Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.

c. Convenience Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan

saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak, sebagai contoh pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan.

d. Economy Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban

yang dipikul Wajib Pajak.

2.2.5. Jenis-Jenis Pajak

Masalah perpajakan tidaklah sederhana hanya sekedar menyerahkan sebagian penghasilan atau kekayaan seseorang kepada negara, tetapi coraknya bermacam-macam tergantung pada pendekatannya.

Jenis pajak menurut Ilyas (2007:8) dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu menurut sifat, golongan dan lembaga pemungutnya.

a. Menurut sifat

1) Pajak subyektif Adalah pajak yang didasarkan atas keadaan subyeknya, memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak yang selanjutnya dicari syarat obyektifnya. Contoh: Pajak Penghasilan

2) Pajak obyektif Adalah pajak yang berpangkal pada obyeknya tanpa memperhatikan dari Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan 2) Pajak obyektif Adalah pajak yang berpangkal pada obyeknya tanpa memperhatikan dari Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan

1) Pajak langsung Adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan

2) Pajak tidak langsung Adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai

c. Menurut lembaga pemungut

1) Pajak pusat (negara) Adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Contoh: Pajak Penghasilan, PPn dan PPnBM, Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan

2) Pajak daerah Adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah. Pajak daerah diatur dalam PP no.

18 tahun 1997 sebagaimana diubah menjadi PP no. 34 tahun 2000. Pajak daerah dibedakan menjadi 2, yaitu:

(a) Pajak propinsi Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Penghasilan dan Pemanfaatan Air di bawah Tanah dan Air Permukaan.

(b) Pajak kabupaten atau kota Contoh: Pajak hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan.

2.2.6. Syarat pemungutan pajak

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan. Undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil

b. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang (syarat yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik Negara maupun warganya

c. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi) Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat c. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi) Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat

e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana Sistem pemungutan sederhana akan memudahkan dalam mendorong masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya

2.2.7. Hambatan pemungutan pajak

Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi:

a. Perlawanan pasif Masyarakat tidak bersedia (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain:

1) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat

2) Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat

3) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik

b. Perlawanan aktif Pelawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain:

1) Tax avoidance Yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar Undang-

undang

2) Tax evasion Yaitu usaha meringankan pajak dengan cara melanggar Undang-undang

Namun tidak dipungkiri bahwa sebagian masyarakat terdapat keengganan memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam hal yang demikian timbul perlawanan terhadap pajak.

2.2.8. Tarif pajak

Ada 4 (empat) macam tarif pajak, yaitu:

a. Tarif sebanding/proporsional Yaitu tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai

b. Tarif tetap Yaitu tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap

c. Tarif progresif Yaitu persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar

d. Tarif degresif Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar

2.3. Penagihan Pajak

2.3.1. Pengertian Penagihan Pajak

Pelaksanaan penagihan pajak yang tegas, konsisten dan konsekuen diharapkan akan dapaat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam membayarkan hutang pajaknya. Hal ini merupakan posisi strategis dalam meningkatkan penerimaan Negara dari sektor pajak sehingga tindakan penagihan pajak tersebut dapat menyelamatkan penerimaan pajak yang tertunda.

Kegiatan penagihan pajak merupakan ujung tombak dalam menyelamatkan penerimaan Negara yang tertunda, oleh sebab itu seksi penagihan merupakan seksi produksi yang paling dibanggakan oleh Direktorat Jendral Pajak. Dalam pelaksanaannya penegihan pajak haruslah dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga mempunyai kekuatan hukum baik bagi Wajib Pajak maupun aparatur pajaknya.

Dasar hukum melakukan tindakan penagihan pajak adalah Undang- undang no. 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Undang-undang ini mulai berlaku tanggal 23 Mei 1997. Undang-undang ini kemudian diubah dengan Undang-undang no. 19 tahun 2000 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Kegiatan penagihan pajak dilakukan oleh bagian penagihan (seksi penagihan) di Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Penagihan pajak adalah tindakan penagihan yang dilaksanakan oleh fiskus Kegiatan penagihan pajak dilakukan oleh bagian penagihan (seksi penagihan) di Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Penagihan pajak adalah tindakan penagihan yang dilaksanakan oleh fiskus

Definisi penagihan pajak menurut Soemitro (1996:17), yaitu Penagihan pajak adalah perbuatan yang dilakukan Direktorat Jendral Pajak karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang.

Definisi lain menurut Mardiasmo (2006:113), yaitu Penagihan pajak adalah kegiatan yang dilakukan oleh fiskus karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak yang terutang, penagihan pajak meliputi kegiatan, perbuatan dan pengiriman surat peringatan, surat teguran, surat paksa, penyitaan, lelang, pencegahan dan penyanderan.

Sedangkan menurut Rusdji (2004:6), yaitu Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Wajib Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan surat paksa, mengusulkan pecegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita.

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penagihan pajak adalah perbuatan yang dilakukan Direktorat Jendral Pajak atau fiskus karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan Undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak dengan melaksanakan pengiriman surat peringatan, surat teguran, penyitaan dan pelelangan. Dasar penagihan pajak, antara lain:

a. Surat Tagihan Pajak (STP)

b. Surat Ketetapan Pajak (SKP)

c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

e. Surat Keputusan Pembetulan

f. Putusan Banding

g. Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)

h. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB)

i. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT) j. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) k. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) l. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB) m. Surat Ketetapan sejenis yang memuat besarnya jumlah utang pajak

2.3.2. Kewajiban dan Hak Wajib Pajak

Kewajiban Wajib Pajak di antaranya adalah :

a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP

b. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar

c. Mengisi dengan benar SPT dan memasukan ke KPP dalam batas waktu yang telah ditentukan

d. Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan

e. Jika diperiksa wajib:

1) Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan wajib pajak, atau objek yang terhutang pajak

2) Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan

f. Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan atau dokumen serta keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.

Hak-hak Wajib Pajak diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Mengajukan surat keberatan dan surat banding

b. Menerima tanda bukti pemasukan SPT

c. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukan

d. Mengajukan permohonan penundaan pemasukan SPT

e. Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak

f. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat ketetapan pajak

g. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak

h. Mengajukan permohonan pengahapusan dan pengurangan sanksi, serta pembetulan surat ketetepan yang salah

i. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya i. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya

2.3.3. Tindakan Penagihan Pajak

Tindakan penagihan pajak dilakukan apabila pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP), SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan pajak yang harus dibayar bertambah, tidak atau kurang bayar setelah lewat tanggal jatuh tempo pembayaran pajak yang bersangkutan.

Dalam bidang administrasi perpajakan dikenal beberapa bentuk tindakan penagihan yaitu penagihan pasif, penagihan aktif dan penagihan dengan surat paksa.

a. Penagihan pasif Penagihan pasif adalah tindakan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan cara memberikan himbauan kepada Wajib Pajak agar melakukan pembayaran pajak sebelum tanggal jatuh tempo. Penagihan pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak Pajak (STP), SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak terutang menjadi lebih besar. Penagihan pasif merupakan tugas a. Penagihan pasif Penagihan pasif adalah tindakan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan cara memberikan himbauan kepada Wajib Pajak agar melakukan pembayaran pajak sebelum tanggal jatuh tempo. Penagihan pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak Pajak (STP), SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak terutang menjadi lebih besar. Penagihan pasif merupakan tugas

b. Penagihan aktif Penagihan aktif adalah penagihan yang didasarkan pada STP, SKPKB, SKPKBT dimana Undang-undang telah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran yaitu 1 bulan terhitung mulai dari STP, SKPKB, SKPKBT diterbitkan. Jika dalam jangka waktu 30 hari utang pajak belum juga dilunasi maka 7 hari setelah tanggal jatuh tempo akan dilakukan tindakan penagihan pajak yang di awali dengan menerbitkan surat teguran dan melaksanakan surat paksa.

Penagihan aktif ini merupakan kelanjutan dari penagihan pasif, dimana dalam upaya penagihan ini fiskus berperan aktif, dalam arti tidak hanya mengirim STP atau SKP tetapi juga akan diikuti dengan tindakan dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.

2.3.4. Prosedur Penagihan dengan Surat Paksa

Ini merupakan cara penagihan yang terakhir dimana fiskus melalui juru sita pajak Negara menyampaikan atau memberitahukan surat paksa, melakukan penyitaan dan melakukan pelelangan melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang milik Wajib Pajak. Penagihan dengan surat paksa ini dikenal dengan penagihan yang “keras” dalam rangka melakukan Law- Enforcement di bidang perpajakan. Namun langkah ini merupakan langkah Ini merupakan cara penagihan yang terakhir dimana fiskus melalui juru sita pajak Negara menyampaikan atau memberitahukan surat paksa, melakukan penyitaan dan melakukan pelelangan melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang milik Wajib Pajak. Penagihan dengan surat paksa ini dikenal dengan penagihan yang “keras” dalam rangka melakukan Law- Enforcement di bidang perpajakan. Namun langkah ini merupakan langkah

a. Surat Teguran

Penyampaian surat teguran merupakan awal pelaksanaan tindakan penagihan oleh fiskus untuk memperingatkan Wajib Pajak yang tidak melunasi utang pajaknya sesuai dengan keputusan penetapan (STP, SKPKB, SKPKBT) sampai dengan saat jatuh tempo.

Definisi surat teguran menurut Rusdji (2005:23), yaitu surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur Wajib Pajak agar melunasi utang pajaknya.

Definisi surat teguran menurut Suandy (2005:15), yaitu surat yang diterbitkan untuk memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.

Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa surat teguran adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.

Surat teguran dikeluarkan apabila utang pajak yang tercantum dalam SPT, SKPKB atau SKPKBT tidak dilunasi sampai melewati waktu 7 hari dari batas waktu jatuh tempo 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya. Menurut keputusan Menteri Keuangan no. 561/KMK.04/2000 Pasal 5 ayat

2 menyatakan bahwa surat teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung 2 menyatakan bahwa surat teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung

b. Surat Paksa

Penagihan dengan surat paksa dilakukan apabila jumlah tagihan pajak tidak atau kurang bayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau sampai dengan jatuh tempo penundaan pembayaran atau tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak.

Apabila Wajib Pajak lalai melaksanakan kewajiban membayar pajak dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam surat teguran maka penagihan selanjutnya dilakukan oleh juru sita pajak.

Pengertian surat paksa telah diatur dalam Pasal 1 angka 12 Undang- undang no. 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa yang berbunyi: Surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak

Sedangkan menurut Rusdji (2005:25), yaitu surat yang diterbitkan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo

Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak yang diterbitkan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo.

Surat paksa diterbitkan apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo dan Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayarannya.

Sebagai surat yang mempunyai kuasa hukum yang pasif, tentu memiliki cirri-ciri dan kriteria tersendiri. Dalam Undang-undang no. 19 tahun 2000 sebagai perubahan atas Undang-undang no.19 tahun 1997 Pasal

7 ayat 1 menyebutkan bahwa fisik dari surat paksa sendiri di bagian kepalanya bertuliskan “Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam Pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa surat paksa sekurang-kurangnya harus memuat:

1) Nama Wajib Pajak atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak

2) Dasar penagihan

3) Besarnya utang pajak

4) Perintah untuk membayar Selain kriteria di atas, surat paksa juga mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1) Surat paksa langsung dapat digunakan tanpa bantuan putusan peradilan dan tidak dapat digunakan untuk mengajukan banding

2) Mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte, yaitu putusan peradilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

3) Mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan biaya penagihannya

4) Dapat dilanjutkan dengan tindakan penagihan penyanderaan

Secara teori surat paksa diterbitkan setelah surat teguran atau surat peringatan atau surat lain sejenis yang diterbitkan oleh pejabat. Pasal 8 ayat

1 menerangkan tentang sebab-sebab penerbitan surat paksa, yaitu:

1) Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis

2) Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus

3) Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Surat paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:

1) Penanggung pajak

2) Orang dewasa yang tinggal bersama ataupun bekerja di tempat usaha penanggung pajak, apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai

3) Salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi

4) Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi Surat paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:

1) Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal

2) Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan, apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam huruf a

Apabila utang pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu 2x24 jam setelah surat paksa diberitahukan, maka pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan. Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan Surat Paksa dan apabila Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas atau Balai Harta Peninggalan. Sedangkan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator.

c. Surat Penyitaan

Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebit lanjut setelah Surat Paksa. Surat Penyitaan diterbitkan apabila utang pajak belum dilunasi Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebit lanjut setelah Surat Paksa. Surat Penyitaan diterbitkan apabila utang pajak belum dilunasi

Dalam penagihan pajak dengan surat paksa, juru sita pajak berwenang melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan Wajib Pajak. Untuk melaksanakan penyitaan barang milik Penanggung Pajak tersebut diperlukan suatu prosedur yang mengatur secara rinci, jelas dan tegas yang meliputi status, nilai serta tempat penyimpanan atau penitipan barang sitaan milik Penanggung Pajak dengan tetap memberikan perlindungan kepentingan pihak ketiga maupun masyarakat Wajib Pajak.

Menurut Undang-undang no. 19 tahun 2000 tentang Penagihan Dengan Surat Paksa, Penyitaan adalah tindakan juru sita pajak untuk menguasai barang dengan penanggungan pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan.

Sedangkan penyitaan menurut Hadi (2001:4), yaitu serangkaian tindakan dari juru sita pajak yang dibantu oleh 2 orang saksi untuk menguasai barang-barang dari Wajib Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak sesuai dengan perundang-undangan.

Undang-undang no.19 tahun 2000 Pasal 14 ayat 1 menjelaskan bahwa penyitaan dapat dilaksanakan terhadap milik Wajib Pajak yang berada di tempat tinggal, di tempat usaha, di tempat kedudukan atau di tempat lain termasuk penguasaannya yang berada di tangan pihak lain yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, berupa:

1) Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal dengan isi kotor tertentu

2) Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran ataupun bentuk lainnya. Barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan adalah:

a) Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya

b) Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan

beserta peralatan memasak yang berada di rumah

c) Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperbolehkan dari Negara

d) Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan

e) Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah). Besarnya nilai peralatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah

f) Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungan Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Terhadap barang yang telah disita tersebut, Jurusita Pajak menyampaikan Surat

Paksa kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Pengadilan Negeri dalam sidang berikutnya menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahului Negara untuk tagihan pajak.

Hak mendahului untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahului lainnya, kecuali terhadap:

1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak

2) Biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang tersebut

3) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan Penyitaan tambahan dapat dilaksakan apabila:

1) Nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak

2) Hasil pelelangan barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak. Penyitaan dilakukan oleh juru sita pajak yang telah disumpah terlebih dahulu dengan didampingi oleh 2 orang saksi, penduduk Indonesia yang telah dewasa, yang dikenal juru sita pajak dan dapat dipercaya

(undang-undang No 19 tahun 2000 tentang Penagihan dengan Surat Paksa). Tujuan dilakukannya penyitaan adalah untuk memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari penanggung pajak

Setiap pelaksanaan penyitaan, juru sita pajak membuat berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh juru sita pajak, penanggung pajak dan saksi-saksi. Jika penanggung pajak adalah badan maka berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung pajak, pemilik modal atau pegawai tetap perusahaan. Salinan berita acara pelaksanaan sita dapat ditempelkan di tempat umum dan berlaku sebagai pemberitahuan maksud tindakan juru sita pajak pada penanggung pajak atas barang yang disita atau diberi segel sita.

Penyitaan dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Hal lainnya yang dapat disita diatur dengan peraturan pemerintah.

Pencabutan sita dilaksanakan apabila penanggung pajak telah melunasi biaya penagihan dan utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan Badan Peradilan Pajak atau ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah.

d. Lelang

Apabila Wajib Pajak telah melunasi utang pajak tetapi belum melunasi biaya penagihan pajak maka penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita tetap dapat dilakukan.

Pengertian lelang menurut Keputusan Menteri Keuangan no.13/KMK.01/2002, yaitu lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun media elektronik dengan cara penawaran harga secara lisan dan tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Apabila Wajib Pajak atau penanggung pajak tidak melunasi kewajiban perpajakannya dan terhadap fiskus telah melakukan segala upaya hukum agar Wajib Pajak atau penanggung pajak melunasi kewajiban perpajakannya dengan jalan menyampaikan Surat Teguran, Surat Paksa dan melakukan penyitaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka barang-barang milik Wajib Pajak atau penanggung pajak dapat dilelang oleh Kantor Lelang Negara.

Pengertian lelang menurut Rusdji (2005:26), yaitu setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran harga secara lisan atau tertulis melalui pengumpulan calon pembeli.

1) Syarat-syarat lelang Syarat yang terkandung dalam pengertian lelang adalah:

a) Lelang dilakukan dimuka umum

b) Lelang dilakukan berdasarkan hukum b) Lelang dilakukan berdasarkan hukum

d) Lelang dilakukan dengan penawaran harga

e) Lelang dilakukan dengan usaha pengumpulan peminat

f) Lelang ditutup dengan berita acara

2) Pejabat lelang dan fungsinya

a) Pejabat lelang atau juru lelang terdiri atas: (1) Juru lelang juru kelas 1 (a) Pejabat pemerintah yang diangkat oleh menteri keuangan,

khusus untuk petugas lelang. (b) Penerima uang kas negara, yang kepadanya ditugaskan

sebagai juru lelang. (2) Juru lelang yang kedua (a) Pejabat negara, pejabat lelang menjadi saksi terjadinya lelang, baik bagi penjual pemiliki maupun pemegang yang menjabat pekerjaan yang dikaitkan dengan jabatan juru lelang.

(b) Orang-orang yang khusus diangkat untuk jabatan ini.

b) Fungsi pejabat lelang atau juru lelang adalah : (1) Sebagai pemimpin lelang Pejabat lelang merupakan pejabat yang berwenang melaksanakan lelang. Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau b) Fungsi pejabat lelang atau juru lelang adalah : (1) Sebagai pemimpin lelang Pejabat lelang merupakan pejabat yang berwenang melaksanakan lelang. Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau

(2) Sebagai hakim juri dalam lelang. Jika dalam pelaksanaan lelang terjadi kesalahpahaman atau ketidakjelasan atau terjadi kericuhan, pejabat lelang harus bisa mengatasi itu.

(3) Sebagai saksi dalam lelang Pejabat lelang menjadi saksi terjadinya lelang, baik bagi penjual, pemilik maupun pemegang kuasa atau pembeli.

(4) Sebagai comtable lelang. Pejabat lelang melaksanakan tugas pemungutan uang untuk kas negara berupa bea lelang untuk penerimaan pajak tidak langsung lainnya dan uang miskin untuk penerimaan Departemen Sosial.

3) Persiapan lelang Sebelum dilaksanakan lelang, pejabat terlebih dahulu melakukan pengumuman mass media. Pengumuman lelang ini diumumkan sekurang-kurangnya 14 hari setelah penyitaan.

a) Permintaan jadwal waktu dan tempat lelang Jika setelah 14 hari sejak tanggal surat perintah pelaksanaan penyitaan wajib pajak atau penanggung pajak belum juga melunasi hutang pajaknya maka pejabat mengajukan permintaan penetapan a) Permintaan jadwal waktu dan tempat lelang Jika setelah 14 hari sejak tanggal surat perintah pelaksanaan penyitaan wajib pajak atau penanggung pajak belum juga melunasi hutang pajaknya maka pejabat mengajukan permintaan penetapan

b) Pengeluaran Surat Pemberitahuan Pengeluaran Surat Pemberitahuan akan dilakukan pelelangan setelah mendapat kepastian tentang tanggal dan tempat akan diselenggarakan pelelangan, maka juru sita pajak segera memberitahuan hal tersebut kepada wajib pajak atau penanggung pajak secara tertulis dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan kapan dilaksanakan pelelangan atau kesempatan terakhir kepada wajib pajak.

4) Pelaksanaan Lelang Juru sita pajak datang ketempat dimana barang-barang sitaan itu akan dilelang untuk mendampingi juru lelang. Sesaat sebelum pelelangan dimulai sebaiknya juru sita pajak menanyakan kepada wajib pajak apakah utang pajaknya telah dilunasi, maka pelelangan dibatalkan dan apabila tidak maka pelelangan segera dilakukan. Juru lelang mengumumkan kepada para calon pembeli tentang syarat-syarat apa yang harus dipenuhi serta cara-cara penawarannya. Wajib pajak berhak menentukan urutan nama barang-barang yang disita akan dilelang. Jika hasil penjualan barang telah mencapai jumlah utang pajak ditambah dengan biaya penagihannya maka penjualan tersebut dihentikan dan sisa barang dikembalikan dengan segera dengan wajib pajak.

Setelah selesai pelelangan, maka kantor lelang, juru sita atau orang yang diserahi untuk menjual barang-barang sitaan melaporkan kepada atasannya dengan membuat laporan hasil pelaksanaan lelang maka pengumuman lelang dibatalkan dengan memuat iklan pembatalan lelang dalam media masa, media cetak, atau media elektronik yang bersangkutan.

5) Pembatalan Lelang Apabila wajib pajak melunasi utang pajak serta biaya penagihannya sesudah pengumuman lelang dimuat dimedia masa, media cetak atau media elektronik tetapi sebelum pembatalan wajib pajak yang bersangkutan harus menunjukan bukti pembayaran utang pajak dan penagihannya.