EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN LAHAN PE

EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (LP2B)

DIREKTORAT PANGAN DAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 2015

EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (LP2B) DIREKTORAT PANGAN DAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 2015

Kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan LP2B____________i

Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)

Penanggungjawab

: Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam

Penyusun

: Nono Rusono

Anwar Sunari Zulfriandi Jarot Indarto Ali Muharam Noor Avianto Dini Maghfirra Puspita Suryaningtyas Tejaningsih Ifan Martino Susilawati Dian Hersinta

Editor

: Ali Muharam

Dini Maghfirra

Cover Buku

: http://kadek-elda.blogspot.co.id/2012/12/subak-sistim-

pengairan-irigasi-di-bali.html http://posronda.net/2014/08/18/selamatkan-lahan-pertanian- peneliti-kembangkan-teknologi-sawah-anti-theft/

Direktorat Pangan dan Pertanian,Bappenas Gedung 2A, Lantai 5 Jl.Taman Suropati No.2 Jakarta Pusat,10310 Phone: 021-319-34323 Fax:021-391-5404 Email: pertanian@bappenas.go.id

Kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan LP2B____________ii

KATA PENGANTAR

banyaknya lahan-lahan pertanian yang berubah fungsi ataupun dimiliki oleh perusahaan E

valuasi pelaksanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang dilaksanakan tahun ini bertujuan untuk melihat sejauhmana implementasi dari regulasi yang telah ditetapkan sejak tahun 2009 yang terdiri atas UU 41/2009 Tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta peraturan- peraturan turunannya. Regulasi ini muncul pertama kali dari kekhawatiran

asing.Evaluasi ini diharapkan dapat menghimpun informasi-informasi terbaru terkait pelaksanan LP2B di daerah, baik dari sisi perencanaan, penetapan, pengembangan, penelitian, pengawasan, pembiayaan, pengendalian, dan peran serta masyarakat terhadap pelaksanaan LP2B.Hasil evaluasi atas informasi-informasi pelaksanaan LP2B tersebut dapat dijadikan sebagai bahan dalam perumusan kebijakan LP2B sehingga kebijakan ini dapat operasional di tingkat lapangan.

Penyusunan hasil evaluasi ini tidak lepas dari berbagai kekurangan.Oleh karena itu, masukan, kritik, ataupun saran bagi perbaikan tulisan sangat diharapkan.Terima kasih kami ucapkan pula kepada pihak-pihak yang membantu penyusunan laporan evaluasi LP2B ini khususnya kepada pihak Bappeda dan Dinas Pertanian di lokasi-lokasi yang menjadi sampel kegiatan ini.

Jakarta, Desember 2015 Direktur Pangan dan Pertanian

Nono Rusono

Kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan LP2B____________iii

Kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan LP2B____________iv

RINGKASAN EKSEKUTIF

S tetapi, permasalahan yang paling mendasar dari sektor pertanian ini adalah

ektor pertanian masih menjadi sektor unggulan di Indonesia. Selain tenaga kerja yang terserap cukup besar, sektor ini juga masih mampu memberikan kontribusi pendapatan yang cukup besar bagi perekonomian nasional.Akan

semakin menyusutnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan.Lahan merupakan faktor utama dalam pengembangan pertanian.Oleh karena itu, pada tahun 2009 Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan lahirnya Undang-Undang No.41/2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).Undang-undang ini diharapkan dapat menahan laju konversi lahan sawah khususnya sawah dengan irigasi teknis sehingga dapat menopang ketahanan pangan nasional dan Indonesia memiliki lahan pertanian abadi.

Adapun tujuan dari kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah untuk:

1. mengidentifikasi perkembangan dan capaian pelaksanaan kebijakan LP2B;

2. mengidentifikasi hambatan pelaksanaan kebijakan LP2B; serta

3. menganalisis dan mengevaluasi capaian pelaksanaan kebijakan LP2B serta rekomendasi kebijakan yang diperlukan.

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode survey dengan mengambil beberapa sampel kabupaten yang menjadi sentra pertanian padi di provinsinya masing- masing, yaitu Aceh Tamiang (NAD), OKU Timur (Sumsel), Lamongan (Jatim), Maros (Sulsel), Garut (Jabar), Sleman (DIY), Magelang (Jateng), Lombok Tengah (NTB), dan Tabanan (Bali). Metode analisis yang digunakan untuk menganalisis ini didasarkan pada UU No. 41/2009 pasal 4, yaitu:

a. Perencanaan dan Penetapan

b. Pengembangan

c. Penelitian

d. Pemanfaatan

e. Pembinaan

f. Pengendalian

g. Pengawasan

h. Sistem Informasi

i. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani j. Pembiayaan k. Peranserta Masyarakat l. Dan ditambah dengan sanksi administrasi.

Aspek-aspek di atas diukur dengan menggunakan metode kualitatif berdasarkan hasil implementasi dari undang-undang tersebut. Selanjutnya, untuk mengukur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan LP2B digunakan Participatory System Analysis (PSA) yang memetakan berbagai faktor tersebut ke empat diagram, yaitu symptom, critical element, motor/leverage , dan buffer.

Kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan LP2B____________v

Hasil evaluasi atas keseluruhan aspek LP2B yang diamanatkan didalam UU No.41 Tahun 2009 terhadap kabupaten yang menjadi target lokasi kajian adalah seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Rekapitulasi Evaluasi Seluruh Aspek LP2B terhadap Lokasi Kajian

No Aspek LP2B Pelakasanaan

1. Perencanaan dan Penetapan Tidak direncanakan secara matang, penetapan LP2B sebagian besar di RTRW bukan di RDTR

2. Pengembangan Sebagian besar merupakan program rutin bukan LP2B

3. Penelitian 5 kabupaten telah melaksanakan, 1 kabupaten akan dilaksanakan, dan 3 kabupaten belum melaksanakan penelitian

4. Pemanfaatan Bagian dari rutinitas bukan LP2B 5. Pembinaan

Bagian dari rutinitas bukan LP2B 6. Pengendalian

Insentif belum dikaitkan dengan program LP2B

7. Pengawasan Belum ada sistem pelaporan LP2B 8. Sistem Informasi

Belum ada sistem informasi LP2B

9. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Cenderung program rutin bukan LP2B 10. Pembiayaan

Pembiayaan Penelitian LP2B oleh 3 kabupaten, sumber APBD

11. Peranserta Masyarakat

Belum terlibat

12. Sansi Administrasi

Belum ada sanksi

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan LP2B dapat dikatakan belum berjalan sebagaimana mestinya.Hal ini disebabkan berbagai kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan amanat undang –undang tersebut.Berdasarkan seluruh aspek yang dikaji, hanya ada dua aspek yang baru dilakukan, yaitu perencanaan dan penetapan LP2B di dalam RTRW kabupaten, dan penelitian.Aspek perencanaan dan penetapan pun masih berada pada koridor yang tidak tepat karena ada beberapa kabupaten menempatkan LP2B di dalam RTRW, seharusnya LP2B dan Lahan Cadangan P2B ditempatkan di dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

Rekapitulasi atas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan LP2B di kabupaten sampel diuraikan pada tabel di bawah ini.

Kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan LP2B____________vi

Tabel 2. Faktor dan Kriteria Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B

Kriteria Faktor yang Berpengaruh No

Wilayah Studi

Symptom

Critical

Motor/Leverage Buffer

Elements

Regulasi daerah,

Data pemilik

Aceh Tamiang,

petunjuk teknis

lahan dan

terkait LP2B,

kerjasama

Provinsi 1. Nanggroe

sosialisasi LP2B,

instansi

basis data lahan, Aceh rendahnya Darussalam kesadaran pelaku

Hukum,

Perkebunan

OKU Timur, Provinsi

kepemilikan lahan,

rakyat dan

2. dan sarana dan

sosialisasi LP2B

Sumatera prasarana usaha Selatan tani

Alih Fungsi Lahan

Sumber air baku,

Lamongan, 3. Provinsi

dan Tataniaga

jaringan irigasi,

pupuk

dan harga jual

Jawa Timur

panen

Tabanan, Alih Fungsi Lahan

serangan hama 4. Provinsi

Sikap para petani

dan Kondisi Sosial

terhadap LP2B

penyakit

Bali Ekonomi

dan dampak perubahan iklim

Sleman, Alih fungsi,

Sumber air baku,

tataniaga pupuk,

jaringan irigasi,

5. Provinsi Yogyakarta

dan harga jual

dan harga pupuk

panen Kelompok tani,

Pemetaan

Magelang, anggaran terbatas,

wilayah dan

6. Provinsi dan sarana dan

insentif dan

Jawa Tengah prasarana usaha

disinsentif

tani Rendahnya

Regulasi Lombok

Peran serta

Tengah, kepemilikan lahan,

LP2B teknologi alternatif,

masyarakat dalam

LP2B,

7. Provinsi dan nilai ekonomi

perkembangan

Nusa pertanian

pembangunan,

Tenggara Barat

dan hamparan sawah tersebar

Maros,

Anggaran, alih Sosialisasi 8. Provinsi

SDM Dinas

fungsi, dan dan Sulawesi

Koordinasi Selatan

investor

LP2B Anggaran

SDM terbatas, alih

terbatas, Garut,

9. Provinsi fungsi, dan dan tidak investor melirik

ada Jawa Barat

Garut

wilayah acuan

Kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan LP2B____________vii

Berdasarkan tabel di atas telah dapat diidentifikasi bahwa tiap wilayah memiliki kriteria faktor-faktor yang berbeda.Perbedaan kriteria dari masing-masing wilayah tersebut disebabkan berbagai faktor, seperti kurangnya sosialisasi LP2B, LP2B bukan prioritas wilayah, koordinasi antar SKPD dan sebagainya.

Berdasarkan hasil uraian, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Secara keseluruhan, perencanaan dan penetapan LP2B di dalam RTRW dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, tidak didasarkan pada pendapat atau usulan dari masyarakat. Alasannya belum memiliki informasi yang cukup untuk mensosialisasikan LP2B ke masyarakat.

2. Luasan lahan LP2B yang ditetapkan masih pada luasan kabupaten dan paling kecil sampai pada tingkat kecamatan karena lebih aman jika terjadi perubahan lahan dikemudian hari

3. Ada satu wilayah telah menetapkan Peraturan Bupati tentang LP2B, yaitu Kabupaten Tabanan, dan Kabupaten Garut dan Maros sedang menyusun peraturan tersebut.

4. Ada 6 kabupaten telah melakukan penelitian terkait dengan LP2B dengan dana APBD dimana hasil penelitian tersebut digunakan untuk penyusunan perencanaan LP2B

5. Aspek pengembangan, pemanfaatan, pembinaan, sampai dengan aspek sanksi belum diterapkan karena semua wilayah masih terfokus pada proses perencanaan dan penetapan LP2B

6. Permasalahan yang muncul terkait dengan LP2B adalah kurangnya sosialisasi LP2B baik dari pusat maupun provinsi, dan ketidakmampuan pihak kabupaten dalam mengontrol alih fungsi lahan dan alih fungsi komoditas

Adapun rekomendasi yang dapat disarankan atas hasil kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebaiknya, Pemerintah Daerah (Pemda) penyusunan rencana LP2B terlebih dahulu sebelum ditetapkan di dalam Perda

2. Sebaiknya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan LP2B. Kendala utama penyebab tidak jalannya pelaksanaan LP2B harus menjadi fokus perhatian sehingga permasalahan-permasalahan tersebut dapat diselesaikan.

3. Evaluasi pasal-pasal yang ambigu dalam UU No. 41 Tahun 2009 beserta turunannya, terutama untuk membedakan perlakuan antara kegiatan reguler dengan kegiatan LP2B.

4. Sebaiknya dilakukan koordinasi kembali terkait LP2B, terutama di tingkat pusat, yang dikoordinasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional untuk melakukan reposisi kembali atas tugas dan fungsi masing-masing pada program LP2B

5. Pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Daerah terkait kegiatan LP2B antara lain:

a. Kementerian Pertanian harus melakukan sosialisasi lebih intensif,

b. Pemerintah Daerah dan DPRD melakukan revisi atas peraturan-peraturan daerah yang tidak sesuai dengan regulasi LP2B,

c. Bappeda mengkoordinasikan pembentukan Tim LP2B di daerah,

d. Pendataan petani by name by addres diperlukan sebagai salah satu instrumen pendukung pelaksanaan program LP2B yang dikoordinasikan oleh Bappenas dan dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian bekerjasama dengan BPS dan Kementerian Dalam Negeri.

Kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan LP2B____________viii

Kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan LP2B____________xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

2.1. Segitiga Lokasi Weber …………………………………………………

2.2. Kurva Permintaan Losch dan Kerucut Permintaan ……………………

17

3.1. Kerangka Kajian Implementasi Kebijakan LP2B ……………………..

22

3.2. Contoh Diagram Participatory Sistem Analisis (PSA) ………………...

45

5.1. Luasan Baku Sawah Wilayah Studi (Ha) ………………………………

46

5.2. Produktivitas Lahan Sawah Wilayah Studi (Ton/Ha ) ………………….

7.1. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Aceh Tamiang ……………………………………………...

86

7.2. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten OKU Timur ………………………………………………...

87

7.3. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Lamongan ………………………………………………….

88

7.4. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Tabanan ……………………………………………………

89

7.5. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Lombok Tengah ……………………………………………

90

7.6. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Garut ……………………………………………………….

91

7.7. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Maros ……………………………………………………...

92

7.8. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Sleman ……………………………………………………..

93

7.9. Hubungan antar Faktor yang Berpengaruh atas Pelaksanaan LP2B di Kabupaten Magelang …………………………………………………..

94

Kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan LP2B____________xiii

Kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan LP2B____________xiv

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berbicara mengenai pertanian, tidak terlepas dari lahan. Lahan merupakan faktor utama dalam pengembangan pertanian. Sebagai negara agraris yang memiliki serapan tenaga kerja terbanyak dibandingkan sektor ekonomi lainnya, sektor pertanian menjadi salah satu tumpuan pembangunan nasional, khususnya dalam penyediaan pangan. Pasokan pangan lokal menjadi tumpuan bagi penyediaan pangan nasional. Namun, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan aktivitas ekonomi, serta peningkatan kebutuhan pangan menyebabkan upaya mencapai ketahanan pangan nasional di masa mendatang menjadi semakin berat. Apalagi ditunjang dengan kenyataan bahwa penyediaan pangan lokal belum mampu memenuhi permintaan pangan nasional. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan dan turun naiknya produksi dan produktivitas pangan nasional. Dengan kata lain, produksi pangan sangat dipengaruhi iklim, apalagi sekarang ini pertanian dihadapkan pada fenomena iklim yang tidak menentu sebagai akibat terjadinya perubahan iklim (climate change).

Tantangan berikutnya yang harus dihadapi oleh sektor pertanian adalah semakin tergerusnya lahan-lahan pertanian oleh aktivitas ekonomi manusia, terutama untuk permukiman, pembangunan infrastruktur (jalan, bendungan, dan sebagainya), ataupun industri. Pembangunan yang terus dilaksanakan menyebabkan banyak lahan pertanian yang harus beralih fungsi menjadi non-pertanian. Alih fungsi lahan semakin masif terjadi di wilayah perkotaan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa selama periode Juni 1998-Juni 2003, terjadi konversi lahan sawah menjadi lahan bukan pertanian mencapai sekitar 12,7 ribu ha, sementara konversi dari lahan pertanian bukan sawah menjadi lahan non pertanian mencapai sekitar hampir 30 ribu ha. Harga lahan yang cukup tinggi menjadi salah satu faktor pemicu para petani untuk melepas kepemilikan lahannya ke investor untuk dialihfungsikan. Artinya, motif ekonomi menjadi penyebab utama dari alih fungsi lahan. Adapun petaninya itu sendiri memanfaatkan hasil penjualan lahannya tersebut dalam berbagai keperluan, seperti pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, warisan, membeli lahan baru di wilayah yang jauh dari perkotaan, dan sebagainya. Akibatnya keadaan ini menyebabkan kemampuan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan makanan bagi penduduk semakin berkurang. Apabila hal ini dibiarkan, maka akan terjadi penurunan produksi pangan, khususnya padi. Akibatnya, kemampuan produksi pangan lokal semakin tidak mampu memenuhi tekanan demand pangan yang cukup tinggi, selanjutnya pemerintah akan melakukan impor atas komoditas pangan. Dampak berikutnya adalah semakin besar anggaran pemerintah untuk pengadaan pangan impor atau terjadinya pengeluaran sumber daya kapital ke luar negeri (capital flight).

Menyadari kondisi yang semakin mengkhawatirkan atas konversi lahan tersebut, Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan lahirnya Undang-Undang No.41/2009 Tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Undang-undang ini diharapkan dapat menahan laju konversi lahan sawah khususnya sawah dengan irigasi Menyadari kondisi yang semakin mengkhawatirkan atas konversi lahan tersebut, Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan lahirnya Undang-Undang No.41/2009 Tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Undang-undang ini diharapkan dapat menahan laju konversi lahan sawah khususnya sawah dengan irigasi

Guna memperkuat kedudukan UU No.41/2009, selanjutnya pemerintah mengeluarkan peraturan perundangan yang berfungsi memperjelas fungsi dan kedudukan dari undang- undang tersebut, yaitu (i) PP No.1/2011 Tentang Penetapan dan alih Fungsi Lahan Pertanian; (ii) PP No.12/2012 Tentang Insentif Perlindungan Lahan; (iii) PP No.25/2012 Tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan (iv) PP No.30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peraturan perundangan tentang alih fungsi lahan di lahan LP2B hanya dapat dilakukan untuk kepentingan publik saja sedangkan alih fungsi lainnya tidak diperkenankan. Peraturan tentang insentif dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan insentif kepada lahan pertanian yang terkena LP2B berupa perbaikan prasarana dan sarana serta bantuan input produksi sampai dengan pasca panen, misalnya jaminan harga. Sedangkan peraturan tentang sistem informasi LP2B dimaksudkan untuk memberikan arahan bahwa penetapan LP2B harus dapat diakses ataupun diinformasikan ke masyarakat. Adapun peraturan tentang pembiayaan pada dasarnya menjelaskan kegiatan-kegiatan LP2B yang didanai serta sumber pendanaannya.

Peraturan perundangan terkait dengan LP2B ini masih dapat dikatakan relevan dengan prioritas Nawa Cita yang disebutkan di dalam RPJMN Tahun 2015-2019. Pada Nawa Cita ke-5 disebutkan bahwa “Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia”. Artinya, salah satu wujud dari peningkatan kualitas hidup adalah dengan peningkatan kesejahteraan penduduk. Peningkatan kesejahteraan hidup petani lebih dikaitkan pada penguasaan lahan pertanian. Oleh karena itu, prioritas ini masih memiliki relevansi dengan upaya perlindungan petani melalui LP2B.

Akan tetapi, seiring perjalanan waktu setelah ditetapkannya UU No. 41/2009 implementasi dari regulasi tersebut belum mampu mengimbangi alih fungsi lahan yang terus terjadi. Disisi lain, program pencetakan sawah baru yang menjadi salah satu tupoksi Kementerian Pertanian acap tidak mencapai target dan masih menyisakan berbagai permasalahan seperti ketersediaan sarana pendukungnya seperti petani, irigasi, dan juga akses usaha. Persoalannya adalah apakah informasi LP2B tersebut telah sampai pada masyarakat yang lahannya terkena LP2B. Apakah pemerintah daerah telah mengeluarkan peraturan perundangan daerah terkait dengan LP2B dan sebagainya.

Oleh karena itu, diperlukan suatu evaluasi atau assessment untuk melihat implementasi kebijakan LP2B dikaitkan dengan berbagai regulasi yang telah disusun selama ini. Evaluasi ini menitikberatkan pada amanat yang ditelah ditetapkan di dalam UU No.

41/2009, yaitu dimulai pada saat perencanaan sampai dengan implementasi dari pelaksanaan LP2B tersebut.

1.2. Tujuan

Kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) bertujuan bertujuan untuk:

1. mengidentifikasi perkembangan dan capaian pelaksanaan kebijakan LP2B;

2. mengidentifikasi hambatan pelaksanaan kebijakan LP2B; serta

3. menganalisis dan mengevaluasi capaian pelaksanaan kebijakan LP2B serta rekomendasi kebijakan yang diperlukan.

1.3. Sasaran

Adapun yang menjadi sasaran dari kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah:

1. Teridentifikasinya perkembangan dan capaian pelaksanaan kebijakan LP2B dan permasalahan yang dihadapi, dan

2. Tersusunnya rekomendasi kebijakan percepatan pelaksanaan LP2B

1.4. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) meliputi:

1. Identifikasi peraturan perundangan;

2. Identifikasi dan evaluasi proses pelaksanaan; dan

3. Identifikasi permasalahan dan penyusunan rekomendasi kebijakan

1.5. Keluaran

Keluaran yang diharapkan dari kegiatan Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah tersusunnya sebuah laporan Evaluasi Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan termasuk didalamnya rekomendasi kebijakan yang terkait dengan LP2B

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Land Reform, Reformasi Agraria dan Kebijakan LP2B

Berdasarkan laporan dari Foley (2014) yang ditulis di dalam National Geographic edisi Mei 2014 bertopik “Masa Depan Pangan” menyebutkan bahwa lahan tanpa es yang terbagi atas dua hal, yaitu lahan yang belum tersentuh sebesar 46,5% dan lahan yang telah diubah manusia sebesar 53,5% dari total area permukaan bumi, termasuk air, seluas 509 triliun

Km 2 . Luas bumi yang telah diusahakan oleh manusia terbagi atas dua hal, yaitu untuk pertanian seluas 50 triliun meter persegi (38,6%) dan lainnya seluas 19 triliun meter

persegi (14,9%). Lahan pertanian dimanfaatkan untuk penggembalaan dan lahan tanam, sedangkan lahan lainnya terdiri dari lahan yang tergerus karena erosi, perumahan dan bisnis pedesaan, area perkotaan, hutan tanaman, pembalakan, dan pertambangan, tambang terbuka, jalanan, rel kereta api, penampungan air. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa lahan pertanian mendominasi area bumi saat ini. Artinya, seluruh lahan tersebut dimanfaatkan untuk penyediaan pangan bagi milyaran penduduk di muka bumi. Data tersebut dapat menjelaskan bahwa lahan pertanian sangat krusial bagi penghidupan penduduk dunia.

Seperti diketahui bahwa tanah memiliki dua sisi perspektif, yaitu sebagai barang ekonomi, dan objek budaya yang memiliki nilai ikatan spiritual (Husein, 2014). Sebagai barang ekonomi, tanah atau lahan dapat dimanfaatkan secara langsung untuk penghidupan, baik untuk pertanian, permukiman, usaha, fasilitas publik dan sebagainya. Di sisi lainnya, lahan dapat dialihkan status kepemilikannya dari satu orang/lembaga ke orang/lembaga lainnya, atau dengan kata lain, lahan sebagai objek yang dapat diperjualbelikan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Oleh karena lahan sebagai objek yang dapat dialihkan statusnya atau diperjualbelikan, dan dapat dialihfungsikan dari pertanian ke non-pertanian, hal ini yang menjadi titik dasar terjadinya permasalahan pertanahan hampir di seluruh negara di dunia. Permasalahan yang muncul berikutnya adalah kesenjangan dalam kepemilikan lahan. Orang-orang berkapital melakukan akuisisi atas lahan-lahan yang dimiliki oleh orang-orang yang tergolong miskin atau berketidakmampuan, sehingga terjadinya ketimpangan atas distribusi lahan. Hal ini menimbulkan gagasan di dunia untuk melakukan “Land Reform”.

Sejarah Land Reform pertama kali dilakukan di jaman Yunani Kuno pada pemerintahan Solon, 594 tahun Sebelum Masehi (Heryanti, 2011). Selanjutnya, melalui tonggak-tonggak sejarah: “land reform” berhasil diterapkan di jaman Romawi Kuno (134 SM) oleh Tiberius Gracchus ; gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak di Inggris, selama ±5 abad; dan Revolusi Perancis (1789 – 1799), maka sejak itu hampir semua negara-negara di Eropa melakukan “land reform”. Apalagi setelah Perang Dunia Kedua, terjadi pembaharuan pertanahan di dunia. Dalam perkembangannya reforma agraria mengalami perkembangan dan perubahan dimana ada negara yang berhasil dan membawa perubahan dalam perkembangan pembangunan dalam negaranya namun ada pula yang gagal.

Selanjutnya, program land reform pertama kali dipopulerkan oleh Amerika Serikat melalui Bank Dunia, yang kemudian menyebar ke Asia,Afrika, dan Amerika Latin.

Pengertian land reform menurut Cohen (1978) adalah redistribusi tanah sebagai upaya perbaikan struktur penguasaan dan kepemilikan lahan di tengah masyarakat sehingga kemajuan dapat diraih dan lebih menjamin keadilan. Adapun reformasi agraria adalah suatu upaya yang sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat “baru” yang demokratis dan berkeadilan yang mulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul oleh sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan masyarakat pada umumnya (Bachriadi, 2007). Berdasarkan kedua pengertian tersebut, terjadi perbedaan pengertian antara land reform dan reformasi agraria yang diterapkan di Indonesia. Reformasi agraria di Indonesia di mulai pada tahun 1948 dengan dibentuknya Panitia Agraria Yogyakarta melalui Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948. Selanjutnya, perjuangan untuk mensahkan regulasi tentang agraria terus dilakukan, dan akhirnya pada tahun 1960 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) disahkan menjadi Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria tanggal 24 September 1960. Baik land reform ataupun reformasi agraria lebih cenderung pada satu konsep, yaitu redistribusi penguasaan dan pemilikan tanah yang berkeadilan.

Kaitan UUPA dengan pertanian, disebutkan pasal 7 dan 17 UUPA dimana terdapat pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah, serta batas-batas maksimum pemilikan tanah. Pasal tersebut mendasari terbentuknya Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Pertanian dan Pembagian Ganti Rugi. Pada dasarnya undang-undang tersebut mengatur 3 masalah pokok, yaitu (1) penetapan luas maksimum penguasaan tanah, (2) gadai tanah, dan (3) luas maksimum tanah pertanian (Mungkasa, 2014). Akan tetapi, undang-undang landreform ini tidak dapat diterapkan di Pulau Jawa karena luas lahan yang akan dibagikan tidak cukup. Berdasarkan Heryanti (2001) disebutkan bahwa sejak tahun 1961 sampai dengan 2002, setidak-tidaknya sebanyak 840.227 hak tanah obyek landreform sudah didistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga petani yang tersebar diseluruh Indonesia. Inti dari reformasi agraria ini adalah dalam rangka peningkatan produksi pertanian melalui redistribusi tanah dan peningkatan taraf hidup petani.

Bagaimana halnya kaitan antara UUPA dan UU No. 41 Tahun 2009 tentang LP2B. Kaitan keduanya adalah saling melengkapi dimana Reformasi Agraria menetapkan luasan kepemilikan dan penguasaan lahan, sedangkan UU LP2B lebih kepada upaya mempertahankan status luasan lahan pertanian produktif agar tidak terjadi konversi lahan ke non-pertanian, meskipun lahan tersebut dapat dialihkan status kepemilikan dan kepenguasaannya, namun fungsinya tetap sebagai lahan pertanian. Basisnya adalah bahwa pemerintah akan memagari lahan-lahan pertanian dan pangan agar tidak terjadi penyusutan lahan-lahan tersebut sebagai akibat adanya konversi lahan pertanian menjadi non- pertanian.

2.2. Alih Fungsi Lahan

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa lahan atau tanah memiliki dua perspektif, yaitu sebagai objek ekonomi dan objek budaya. Sebagai objek ekonomi, lahan menjadi barang yang dapat dialihkan status kepemilikan dan penguasaannya atau dapat diperjualbelikan karena memiliki nilai tukar. Tanah seringkali dijadikan sebagai barang tabungan karena nilai objek tersebut tidak pernah turun bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, perorangan yang memiliki lahan yang cukup luas berarti orang tersebut dapat dikatakan kaya.

Teori yang berkaitan erat dengan alih fungsi lahan adalah teori lokasi. Dalam laporan ini, ada dua teori yang diungkap, yaitu teori Weber dan Losch. Kedua teori ini memiliki prinsip yang sama dalam penentuan lokasi adalah adanya biaya terkecil. Penentuan lokasi merupakan salah satu aspek penting dalam perencanaan pra- produksi sebab pemilihan lokasi yang salah akan berdampak pada ketidakberhasilan usaha pertanian bahkan bisa menimbulkan kebangkrutan pada usaha yang telah diinvestasikan. Untuk usaha agribisnis yang berskala kecil mungkin saja pemilihan lokasi bukan merupakan prioritas utama karena umumnya produksi dilakukan di daerah domisili para petani. Akan tetapi, jika usaha agribisnisnya berskala besar, seperti dalam bentuk perusahaan, yang dikelola oleh perusahaan dengan modal investasi yang cukup besar, maka aspek lokasi mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keberhasilan dan kesinambungan usaha.

Pengambilan keputusan tentang penentuan lokasi usaha oleh perusahaan terkait dengan memaksimalkan keuntungan yang akan diperoleh terutama dalam meminimalisasi biaya produksi (cost of production) dan biaya transportasi. Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan perusahaan dalam menentukan lokasi, yaitu kemudahan dalam pengumpulan input produksi, proses produksi, dan pemasaran (Budiharsono, 1988).

Pertama , pertimbangan kemudahan dalam input produksi lebih ditekankan pada kedekatan lokasi dengan sumber input produksi dan tenaga kerja. Ada dua sumber input produksi, yaitu input lokal dan input yang dapat ditransfer. Input lokal adalah semua barang dan jasa yang menjadi potensi sumberdaya dari lokasi tersebut. Input lokal ini tentunya didukung oleh faktor-faktor lain sehingga potensi sumberdaya tersebut berlimpah di daerah itu, seperti lahan, iklim, kualitas udara, kualitas air, keadaan lingkungan, infrastruktur jalan, telekomunikasi, kelistrikan, dan sebagainya. Selanjutnya, input yang dapat ditransfer adalah input produksi yang dapat ditransfer dari sumber-sumber di luar suatu lokasi atau dari lokasi tersebut ke luar lokasi. Dengan adanya input yang dapat ditransfer dari dan ke luar lokasi merupakan pencerminan adanya biaya transfer atau biaya transportasi.

Kedua pertimbangan terhadap lokasi produksi didasarkan pada pertimbangan biaya terkecil. Pertimbangan lokasi produksi berdasarkan pada biaya terkecil dimaksudkan agar perusahaan dapat mengurangi biaya yang tidak perlu dikeluarkan. Seperti halnya di beberapa daerah di Indonesia, ongkos untuk pendirian usaha relatif cukup besar karena banyak sekali pungutan dan biaya diluar perijinan pendirian usaha, seperti biaya penghubung dan biaya percepatan perijinan. Di samping itu, perusahaan juga harus meminimalkan biaya transportasi dengan penentuan lokasi tersebut karena masih terdapatnya beberapa pungutan di jalan, baik atas nama PAD (penerimaan asli daerah) disuatu wilayah ataupun untuk kelancaran transportasi. Beberapa penelitian telah Kedua pertimbangan terhadap lokasi produksi didasarkan pada pertimbangan biaya terkecil. Pertimbangan lokasi produksi berdasarkan pada biaya terkecil dimaksudkan agar perusahaan dapat mengurangi biaya yang tidak perlu dikeluarkan. Seperti halnya di beberapa daerah di Indonesia, ongkos untuk pendirian usaha relatif cukup besar karena banyak sekali pungutan dan biaya diluar perijinan pendirian usaha, seperti biaya penghubung dan biaya percepatan perijinan. Di samping itu, perusahaan juga harus meminimalkan biaya transportasi dengan penentuan lokasi tersebut karena masih terdapatnya beberapa pungutan di jalan, baik atas nama PAD (penerimaan asli daerah) disuatu wilayah ataupun untuk kelancaran transportasi. Beberapa penelitian telah

Selain, biaya pembuatan perijinan yang murah, alternatif pemilihan lokasi juga ditentukan oleh biaya transportasi. Berdasarkan Alfred Weber yang dikutip oleh Budiharsono (1988) dan Richardson (1972) mengungkapkan bahwa pendekatan biaya terkecil sebagai salah satu alternatif pemilihan lokasi. Dasar Teori Weber adalah bahwa penentuan lokasi untuk suatu usaha didasarkan atas biaya transportasi terkecil atau meminimumkan biaya transportasi. Weber mengemukakan ada tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi usaha, yaitu biaya transportasi, biaya tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi (terpusatnya industri yang memproduksi komoditas yang sama). Weber mengasumsikan bahwa biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak yang ditempuh dan berat barang sehingga titik yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai input dan pendistribusian adalah minimum. Weber menggambarkan teorinya dengan segitiga lokasi (lihat Gambar 2.1), di mana titik lokasi optimum (T) adalah titik keseimbangan

antara sumber bahan-bahan mentah (M 1 dan M 2 ) dengan pasar (M k ). Untuk menunjukkan bahwa lokasi tersebut optimum terhadap sumber-sumber input produksi dengan pasar, Weber mengemukakan suatu indeks yang disebut dengan indek bahan (material index) yang dirumuskan sebagai berikut:

Berat Bahan Mentah Lokal

Indeks Bahan =

Berat Produk Akhir

X Keterangan:

= Lokasi usaha optimum a M 1 &M 2 = Sumber bahan mentah M k = Pasar

Gambar 2.1. Segitiga Lokasi Weber

Bila indeks bahan lebih dari satu (> 1) artinya bahwa perusahaan tersebut lebih berorientasi ke bahan mentah (material oriented). Sedangan bila nilai indeks bahannya kurang dari satu (< 1) berarti perusahaan tersebut lebih berorientasi kepada pasar (market oriented). Teori Weber tersebut mempunyai kelemahan sebagai berikut:

1. Diasumsikan bahwa biaya transportasi dan biaya produksi bersifat konstan,

2. Tidak memperhatikan faktor kelembagaan, seperti kebijakan pemerintah berupa pajak lokal,

3. Terlalu menekankan pada sisi input. Terlepas dari kelemahan teori tersebut, Teori Weber dapat dimanfaatkan dengan menggunakan asum-asumsi dari kelemahan teorinya.

Ketiga pemilihan lokasi berdasarkan kedekatan dengan pasar. Pendekatan lokasi berdasarkan kedekatan dengan pasar diungkapkan oleh Losch yang menggunakan pendekatan Kerucut Permintaan yang diturunkan menjadi kurva permintaan. Teori Losch tersebut dikenal dengan teori Loschian Demand Curve atau kurva permintaan Losch (Gambar 2.2). Teori Losch memperbaiki Teori Weber dengan beberapa asumsi perbaikan sebagai berikut:

1. Penyebaran faktor input merata, seperti penyebaran bahan baku, tenaga kerja, dan modal,

2. Penyebaran/kepadatan penduduk merata,

3. Selera masyarakat diasumsikan sama,

4. Tidak ada ketergantungan lokasi antar perusahaan, seperti yang diungkapkan oleh Weber bahwa lokasi mempunyai kekuatan bila terjadi aglomerasi perusahaan.

Harga

Kurva

Q Permintaan

FO

Kuantitas/ Jumlah

Barang (Q)

Gambar 2.2

Kurva Permintaan Losch dan Kerucut Permintaan

Pada kurva permintaan Losch diungkapkan bahwa pusat pasar adalah O sedangkan lokasi yang berdekatan dengan pasar adalah P. Harga persatuan barang adalah OP dengan permintaan sebesar PQ. Agak jauh dari pusat pasar, misalkan saja titik R, biaya pengangkutan menyebabkan harga persatuan barang meningkat menjadi OR dengan permintaan RS. Jauh dari pusat pasar, misalnya titik F, biaya pengangkutan menyebabkan harga per satuan barang menjadi sangat tinggi sehingga permintaan sama dengan nol.

Berdasarkan ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa bila lokasi perusahaan tersebut dekat dengan sumber input produksi atau pasar, maka biaya pengangkutan dapat diminimalisasi oleh perusahaan. Tetapi bila lokasi perusahaan tersebut berjauhan dengan sumber input produksi atau pasar, maka biaya transportasipun akan meningkat dan biaya tersebut akan dibebankan pada produk yang dijual.

Uraian di atas mencoba menggambarkan pemilihan lokasi lebih ditekankan pada minimalisasi biaya transportasi baik terhadap input produksi dan maupun terhadap penjualan output ke pasar. Oleh karena itu dapat disimpulkan beberapa hal yang mempengaruhi dalam pemilihan lokasi, yaitu:

1. Kedekatan dengan sumber input produksi,

2. Kedekatan dengan lokasi pemasaran,

3. Ketersediaan sumber tenaga kerja, baik dalam hal jumlah, spesifikasi, dan kualitas tenaga kerja.

4. Kebijakan mengenai upah regional,

5. Ketersediaan sarana dan prasarana fisik penunjang, seperti transportasi, komunikasi, penerangan, pengairan, dan sebagainya.

6. Insentif wilayah dalam hal kemudahan birokrasi terutama dalam perijinan usaha.

Berdasarkan kedua teori di atas dapat ditunjukkan pemilihan lokasi dalam rangka pengembangan usaha ditentukan berdasarkan kedekatan dengan sumber bahan baku produksi, pasar, dan biaya transfer. Hal tersebut dapat mempengaruhi keputusan individu, kelompok, atau lembaga yang memiliki lahan dalam melepas status lahannya, terutama jika lahan tersebut memiliki nilai jual yang tinggi.

2.3. Hasil-hasil Penelitian Terkait dengan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Pada bagian ini diuraikan beberapa hasil penelitian terkait dengan implemtasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Ada tiga fokus pembahasan yang dihasilkan oleh para peneliti sebelumnya, yaitu Implementasi Kebijakan LP2B, LP2B di dalam RTRW, pemetaan LP2B, dan tanggapan petani terhadap LP2B. Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pelaksanaan dari kebijakan LP2B seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Adapun penjelasan dari hasil-hasil penelitian terdahulu diuraikan di bawah ini:

1. Pelaksanaan Kebijakan LP2B

Kebijakan LP2B yang telah diundangkan melalui UU No. 41 Tahun 2009 menjadi kajian menarik untuk diteliti. Salah satu peneliti yang membahas tentang pelaksanaan kebijakan LP2B di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dilakukan oleh Handari (2012) dan menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pelaksanaan kebijakan perlindungan LP2B di Kabupaten Magelang baru sebatas proses identifikasi lahan, dimana ditetapkan luas lahan pertanian berkelanjutan adalah 42.079,00 hektar yang terdiri dari lahan sawah dan lahan kering dan tersebar di 21 kecamatan di dalam Rencana Tata Ruang (RTR) Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan (LP2B) Bappeda Kabupaten Magelang. Hasil ini merupakan hasil identifikasi dari data sawah lestari dari Kementerian Pertanian, sebaran lahan sawah dari Badan Pertanahan Nasional, RTRW Kabupaten Magelang tahun 2010-2030, studi interprestasi citra satelit Kabupaten Magelang tahun 2010, dan hasil survey tahun 2012.

2. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan LP2B, yaitu sosialisasi, petugas, dana, respon implementor, pemahaman terhadap kebijakan, peraturan pendukung, Standard Operating Procedure (SOP), koordinasi antar instansi, tingkat pendidikan, usia, kepemilikan lahan, alasan konversi, dukungan publik dan komitmen pelaksana, menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Sebagaimana telah disimpulkan pada point 1 bahwa implementasi LP2B di Kabupaten Magelang baru sampai pada tahap identifikasi lokasi dan belum ada suatu peraturan daerah yang mengatur tentang hal tersebut.

3. Hasil analisis Analytical Hyrarchy Process (AHP) menunjukkan bahwa alternatif strategi yang menjadi prioritas dalam perlindungan lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Magelang adalah dari aspek ekologi. Hal ini sangat terkati erat dengan upaya pelestarian lingkungan dan kebijkaan LP2B mensyaratkan adanya upaya konservasi tanah dan air, karena dampak dari kerusakan tanah berakibat pada ketidakberlanjutan pertanian.

2. Kesesuaian LP2B di dalam RTRW

Sesuai dengan amanat UU No. 41 Tahun 2009, kebijakan LP2B harus ditetapkan di dalam RTRW kabupaten/kota. Berdasarkan hasil kajian dari Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian di tahun 2013 dan 2014 tentang Kajian Inventarisasi LP2B dihasilkan hal-hal sebagai berikut.

Tabel 2.1. Kebijakan LP2B di dalam RTRW Kabupaten/Kota Kajian

Berdasarkan kajian di atas, tidak ada penjelasan mengenai penetapan LP2B di dalam RTRW tersebut apakah sebelum ditetapkan LP2B tersebut disosialisasikan ke masyarakat atau tidak. Selanjutnya juga tidak dijelaskan apakah LP2B yang ditetapkan tersebut telah mengakomodasi usulan dari masyarakat yang terkena LP2B atau tidak. Kajian-kajian di atas lebih memfokuskan pada penetapan LP2B di RTRW dan kesesuaiannya dengan pemetaan sawah hasil audit 2012.

3. Pemetaan LP2B

Kajian Pemetaan LP2B di Kabupaten Purworejo dilakukan oleh Sakti, dkk (2013). Pada penelitian ini dijelaskan bahwa terjadi alih fungsi lahan sawah ke non sawah dengan rata- rata sebesar -0,0956% pertahun dari 2007 –2011. Luas lahan sawah pada Tahun 2007 adalah 30.621,04 ha, namun di Tahun 2011 menjadi 30.504,02 ha atau terjadi penyusutan seluas 117,2 ha selama 5 tahun atau rata-rata 24 ha lahan sawah dikonversi per tahun. Adapun konversi pada lahan kering sebesar -0,0005% pertahun. Luas lahan kering di Tahun 2007 tecatat seluas 51.598,15 ha, sedangkan pada Tahun 2011 tercatat seluas 51.597,13 ha. Jadi, terjadi konversi lahan 1 hektar selama 5 tahun. Artinya, laju konversi lahan kering lebih lambat dibandingkan dengan lahan sawah.

Di dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa terdapat perbedaan antara hasil perhitungan peta present landuse (2010) (data primer) dengan luas dari Perda Pemkab Purworejo No. 27/2011, BPS (2010) dan BPN (2010). Total luas lahan pertanian hasil analisis peta present landuse adalah 38.561,82 ha; terdiri dari 27.850,18 ha lahan sawah (lowland) dan 10.711,00 ha lahan kering (upland). Pasal 52 ayat 2 Perda No. 27/2011 menyebutkan bahwa total kawasan pertanian pangan Purworejo 40.149 ha, terdiri dari 29.891 ha untuk lahan basah dan 10.258 ha lahan kering; sedangkan BPN Kabupaten Purworejo mencatat luas lahan sawah Tahun 2010 adalah 30.505,46 ha, dan menurut BPS (2010) seluas 30.626,99 ha. Adapun hasil analisis penentuan luas kawasan pertanian pangan yang dituangkan dalam bentuk peta LP2B dan LCP2B di Kabupaten Purworejo adalah total luas kawasan pertanian pangan adalah 38.562 ha terdiri dari lahan basah 27.850 ha dan lahan Di dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa terdapat perbedaan antara hasil perhitungan peta present landuse (2010) (data primer) dengan luas dari Perda Pemkab Purworejo No. 27/2011, BPS (2010) dan BPN (2010). Total luas lahan pertanian hasil analisis peta present landuse adalah 38.561,82 ha; terdiri dari 27.850,18 ha lahan sawah (lowland) dan 10.711,00 ha lahan kering (upland). Pasal 52 ayat 2 Perda No. 27/2011 menyebutkan bahwa total kawasan pertanian pangan Purworejo 40.149 ha, terdiri dari 29.891 ha untuk lahan basah dan 10.258 ha lahan kering; sedangkan BPN Kabupaten Purworejo mencatat luas lahan sawah Tahun 2010 adalah 30.505,46 ha, dan menurut BPS (2010) seluas 30.626,99 ha. Adapun hasil analisis penentuan luas kawasan pertanian pangan yang dituangkan dalam bentuk peta LP2B dan LCP2B di Kabupaten Purworejo adalah total luas kawasan pertanian pangan adalah 38.562 ha terdiri dari lahan basah 27.850 ha dan lahan

Kajian lainnya yang terkait dengan pemetaan LP2B, LCP2B, dan KP2B dengan menggunakan data citra penginderaan jauh dilakukan oleh Barus, dkk (2012) di Kabupaten Garut dan Bogor menghasilkan penelitian sebagai berikut:

1. Secara umum Kabupaten Garut termasuk yang surplus lahan sawah, sedangkan Kabupaten Bogor termasuk daerah yang defisit lahan sawah.

2. Hasil kajian ini berhasil mengidentifikasi bahwa penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan hanya mampu menyelamatkan lahan sawah sebesar 25% dari total area sawah yang teridentifikasi.

3. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian ini adalah:

a. Penyebab lahan pangan belum terlindungi antara lain karena keterbatasan data yang tersedia untuk pengambilan keputusan. Ketersediaan data lain untuk penentuan lahan yang dilindungi bervariasi antar wilayah. Selain itu, keterlambatan penyelamatan lahan pangan juga terkait dengan pertimbangan ekonomi dan politis yang ada di kabupaten.

b. Variabel yang selama ini digunakan untuk penentuan prioritas lahan pangan yang dilindungi perlu dijelaskan sampai proksi operasional yang spesifik. Pilihan proksi operasional harus mempertimbangkan karakteristik lokal wilayah yang sangat bervariasi. Oleh karena itu proksi ini tidak harus diseragamkan dalam bentuk aturan di level pusat.

c. Upaya pembangunan basis data spasial harus dilakukan oleh pemerintah daerah untuk dapat mengidentifikasi secara persis lokasi lahan pangan yang akan menjamin tercukupinya kebutuhan pangan masa depan. Dukungan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis akan mempermudah proses pemantauan dinamik penggunaan lahan, proses pembaruan dan analisis spasial yang dibutuhkan secara lebih cepat dan lebih akurat.

4. Tanggapan Petani terhadap LP2B

Respons petani terhadap implementasi LP2B sangat penting diketahui karena masyarakat yang terkena LP2B, lahannya tidak dapat dialihfungsikan ke non pertanian pangan, namun lahannya dapat dijual dengan tetap status lahannya adalah lahan pertanian pangan. Penelitian tentang tanggapan petani atas kebijakan LP2B dilaksanakan oleh Rantini dan Prabatmodjo (2014) di Kabupaten Bandung dengan hasil penelitian sebagai berikut:

1. Sebanyak 68,6% responden menyatakan tidak akan pernah mengalihfungsikan lahan sawah milik, meskipun sistem tumpang sari memungkinkan 52,4 % responden menanam komoditas selain padi di lahan sawah tersebut.

2. Pandangan responden atas kesediaan untuk memelihara jaringan irigasi, meningkatkan kesuburan tanah, mencegah kerusakan lahan, dan memelihara jalan usahatani menunjukkan kesediaan mereka untuk memeliharanya.

3. Pandangan mereka atas insentif terhadap LP2B (walaupun belum ada ketetapan insentif di lokasi penelitian) menunjukkan bahwa 80% responden membutuhkan insentif tersebut kecuali insentif yang berbentuk penghargaan terhadap petani berprestasi tinggi. Hanya 54,3% yang menyatakan memerlukan insentif atas petani berprestasi.

4. Tanggapan responden atas lahan-lahan mereka yang telah masuk di dalam LP2B, namun telah dialihfungsikan, maka mereka menjawab 74,3% responden tidak sanggup mengganti infrastruktur pertanian yang telah diinvestasikan oleh pemerintah. Di samping itu, sebanyak 79,1% responden juga menyatakan tidak akan sanggup mengganti sawah seluas 3 kali lipat sawah yang telah dialihfungsikan.

5. Hasil temuan lainnya dari penelitian ini adalah sekitar 80% responden mengatakan bahwa jika di daerah mereka industri semakin berkembang seperti saat ini, maka kemungkinan besar mereka harus mengalihfungsikan lahan sawah milik mereka atau bahkan menjualnya, karena cepat atau lambat sawah mereka akan terkontaminasi oleh limbah pabrik yang mengakibatkan tidak lagi layak ditanami padi atau tanaman lainnya. Dengan menjual lahan sawahnya tersebut, harapan petani adalah memberikan keuntungan kepada mereka dengan membeli lahan lebih luas dibandingkan yang mereka miliki sekarang di tempat yang lain atau dengan kata lain, petani dapat memperoleh keuntungan besar dengan menjual lahannya.

6. Tanggapan petani terhadap pemberlakuan disinsentif atas sanksi pengalihfungsian lahan adalah sebanyak 64,8% menolak diberlakukannya sanksi pidana terhadap petani yang melakukan alih fungsi lahan karena sawah sepenuhnya merupakan hak petani pemilik lahan.

BAB 3 METODE KAJIAN

3.1. Kerangka Kajian