Pemberian Krim Ekstrak Lendir Bekicot ( Achatina Fulica ) Meningkatkan Jumlah Kolagen Dermis Pada Tikus (Rattus norvegicus) Galur Wistar Yang Dipapar Sinar Ultra Violet- B.

(1)

1

PEMBERIAN KRIM EKSTRAK LENDIR BEKICOT

(Achatina fulica) MENINGKATKAN JUMLAH

KOLAGEN DERMIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus)

GALUR WISTAR YANG DIPAPAR SINAR ULTRA

VIOLET-B

LINDA TRIHASTUTI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

2

TESIS

PEMBERIAN KRIM EKSTRAK LENDIR BEKICOT

(Achatina fulica) MENINGKATKAN JUMLAH

KOLAGEN DERMIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus)

GALUR WISTAR YANG DIPAPAR SINAR ULTRA

VIOLET-B

LINDA TRIHASTUTI NIM 1390761025

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

TESIS

PEMBERIAN KRIM EKSTRAK LENDIR BEKICOT

(Achatina fulica) MENINGKATKAN JUMLAH

KOLAGEN DERMIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus)

GALUR WISTAR YANG DIPAPAR SINAR ULTRA

VIOLET-B

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

LINDA TRIHASTUTI NIM 1390761025

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

4

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL: 25 Februari 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr.dr.Wimpie Pangkahila,SpAnd,FAACS Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna,SpKK(K).,FINSDV,FAADV NIP. 194612131971071001 NIP. 195609121984121001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih,M.Sc,Sp.GK Prof Dr.dr. A.A. Raka Sudewi,SpS(K) NIP.195805211985031002 NIP. 19590215 198510 2001


(5)

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal: 25 Februari 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 158/H14.4.9/DT/2016

Tertanggal:

Ketua : Prof. DR.dr.Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS Anggota :

1. DR. dr. A.A.G.P. Wiraguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV 2. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK

3. Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes. 4. dr.AAA.N.Susraini, Sp.PA (K)


(6)

6

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Linda Trihastuti

Program Studi : S2 Ilmu Biomedik –Anti-Aging Medicine Program Pascasarjana Universitas Udayana

NIM : 1390761025

No Telp : +62 81316097970

Email : linda_dr96097@yahoo.com

Judul Proposal : Pemberian Krim Ekstrak Lendir Bekicot (Achatina Fulica) Meningkatkan Jumlah Kolagen Dermis Pada Tikus (Rattus Norvegicus) Galur Wistar Yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B

Merupakan hasil karya yang bisa dipertanggungjawabkan keasliannya dan tidak mengandung unsur plagiatisme. Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran, maka saya bersedia untuk mempertanggungjawabkan sesuai aturan yang berlaku.

Denpasar, 25 Februari 2016 Yang membuat pernyataan,


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis senantiasa mengucapkan syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka tesis yang berjudul Pemberian Krim Ekstrak Lendir Bekicot (Achatina Fulica) Meningkatkan Jumlah Kolagen Pada Tikus (Rattus norvegicus) Galur Wistar Yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan semangat, dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program Magister Ilmu Biomedik, Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine di Universitas Udayana.

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program Magister Ilmu Biomedik, Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine di Universitas Udayana.

3. Ketua Program Magister pada Program Pascasarjana Ilmu Biomedik, Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK, yang telah memberikan kesempatan


(8)

8

kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine.

4. Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And., FAACS, selaku pembimbing pertama penulis yang senantiasa membimbing dan mendukung selama penulis mengikuti program Magister Ilmu Biomedik, Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine di Universitas Udayana.

5. DR. dr. A.A.G.P .Wiraguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV, selaku pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dorongan serta meluangkan waktu dan pemikiran dengan sabar dalam penyusunan tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

6. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp. FK, Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes., dr.AAA.N.Susraini, Sp.PA (K) selaku penguji yang telah memberikan banyak masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.

7. Seluruh dosen Program Pascasarjana Ilmu Biomedik Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine di Universitas Udayana atas segala bimbingan dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

8. Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, MPhil., Drs. Ketut Tunas, M.Si, Gede Wiranatha, S.Si, Dr. drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes., Dra. Merry Sianipar, Apt., dr. Rockland Parulian Sitorus, AIFM, yang telah membantu penulis sehingga penelitian tesis ini dapat berjalan dengan baik.

9. Teman-temanku tercinta angkatan 2013 Program Pascasarjana Ilmu Biomedik Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine Universitas Udayana.


(9)

10. Kepada ibunda tercinta Yetty Rawung dan ayah Ir. Djoko Moeljanto, Bsc (Alm) yang sudah mengasuh dan menyayangi serta memberikan dukungan kepada penulis, kepada ibu mertua tercinta Nontje Sarah Josephine Manoppo dan ayah mertua Suleman Pangindo (Alm) yang sudah menyayangi penulis serta memberikan dukungan. Suami tercinta Andries Abraham Manoppo, ST yang dengan penuh perhatian dan kesabaran mendampingi penulis selama ini. Kakak tersayang Theresia Inggrid Pangindo, BBA dan adik – adik tersayang Dr. Yudhie Kurnia Moeljanto, ST., MT., PMP, dr. Monika Tenden Tissia Kawatu, dr. Novita Pangindo Manoppo, MKes., Reinald pangindo, yang selalu mendukung penulis selama ini.

11. Kepada semua pihak, sahabat, rekan sejawat yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu di sini, atas seluruh dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan Program Magister Program Studi Kekhususan Anti-Aging Medicine Universitas Udayana.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan tesis ini. Sekiranya, penulis tetap mohon petunjuk untuk perbaikan supaya hasil yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.

Denpasar, 25 Februari 2016


(10)

10

ABSTRAK

PEMBERIAN KRIM EKSTRAK LENDIR BEKICOT

(Achatina fulica) MENINGKATKAN JUMLAH KOLAGEN DERMIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR YANG DIPAPAR

SINAR ULTRA VIOLET-B

Paparan sinar UV-B pada kulit secara terus menerus menyebabkan kerusakan

kolagen oleh karena meningkatnya kadar MMP-1, menurunnya sintesis kolagen karena tingginya kadar 8-OhdG, inflamasi dan stres oksidatif. Ekstrak lendir bekicot mengandung glikosaminoglikan yang memiliki fungsi mengisi ruang, proliferasi sel, adhesi, migrasi, diferensiasi, respon inflamasi, proses penyembuhan luka melalui reseptornya CD44 dan reseptor untuk HA-mediated motility. Glikosaminoglikan berperan sebagai pemberi kode informasi spesifik dalam setiap proses yang terjadi di dalam extracellular matrix. Fibroblast growth factor (FGF) merupakan protein ekstraselular yang berfungsi sebagai sinyal untuk menstimulus pembelahan sel. FGF akan terikat dengan heparan sulfat pada sydecan, kemudian membawa ke reseptor FGF pada membran plasma yang akan memicu pembelahan sel. Proses ini sangat berpengaruh terhadap sintesis kolagen dermis. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan efektivitas pemberian krim ekstrak lendir bekicot dapat meningkatkan jumlah kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UVB.

Penelitian animal eksperimental dengan menggunakan post-test only control group design ini menggunakan 28 ekor tikus yang dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok kontrol diolesi krim plasebo dan kelompok perlakuan diolesi krim ekstrak lendir bekicot 20%, 50%, 70%. Semua kelompok dipapar sinar UV- B dengan dosis total 840 mJ/cm² selama 4 minggu, pada minggu ke-6 masing-masing kelompok diberi perlakuan selama 1 minggu, kemudian dilakukan biopsi untuk pemeriksaan jumlah kolagen dermis.

Hasil Uji Shapiro-Wilk dan Levene’test menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan varian-nya homogen dengan p ≥ 0,05. Hasil analisis komperatif dengan uji One Way Anova menunjukkan jumlah kolagen pada keempat kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).

Simpulan penelitian ini adalah pemberian krim ekstrak lendir bekicot 20% tidak meningkatkan jumlah kolagen dermis secara bermakna pada tikus Wistar yang dipapar sinar UVB. Pemberian krim ekstrak lendir bekicot 50% meningkatkan jumlah kolagen dermis secara bermakna sebesar 20,82% pada tikus Wistar yang dipapar sinar UVB. Pemberian krim ekstrak lendir bekicot 70% meningkatkan jumlah kolagen dermis secara bermakna sebesar 80,66% pada tikus Wistar yang dipapar sinar UVB. Hal ini berarti bahwa pemberian krim ekstrak lendir bekicot 50% dan 70% berbeda secara bermakna (P<0,05) dalam meningkatkan jumlah kolagen dermis tikus Wistar. Perlu dilakukan uji klinis sebelum diaplikasikan pada manusia tentang mekanisme serta efek lain krim ekstrak lendir bekicot. Kata kunci: glikosaminoglikan, krim ekstrak lendir bekicot, kolagen, sinar UVB.


(11)

ABSTRACT

TOPICAL APPLICATION OF MUCUS SNAIL EXTRACT CREAM (Achatina Fulica) INCREASE OF DERMIS COLLAGEN ON WISTAR

RATS (Rattus Norvegicus) EXPOSED TO ULTRAVIOLET B

Exposure UV-B rays continuously can damage collagen in the skin because of increased levels of MMP-1, decreased synthesis of collagen due to high levels of 8-OHdG, inflammation and oxidative stress. Snail slime extract containing glycosaminoglycans which has the function of filling the space, cell proliferation, adhesion, migration, differentiation, inflammatory response, wound healing process through the receptors CD44 and receptors for HA-mediated motility. Glycosaminoglycan take the role of a code specific information in every process that occurs in the extracellular matrix. Fibroblast growth factor ( FGF ) is an extracellular protein that serves as a signal to stimulate cell division . FGF will be bound to heparan sulfate on sydecan , then bring to the FGF receptors on the plasma membrane that will trigger cell division . This process affects the dermis collagen synthesis. The research objective is to prove the effectiveness of the cream of snail slime extract can increase the amount of collagen in the dermis Wistar rats that were exposed to UVB rays.

Experimental animal study with post-test only control group design used 28 rats divided into 4 groups. The control group was smeared with plasebo cream and the treatment group was smeared with cream snail slime extract 20%, 50%, 70%. All groups were exposed to UV-B with a total dose of 840 mJ / cm² for 4 weeks, at week 6 of each group were treated for 1 week, then an excision was carried out for examination of dermis collagen.

Shapiro-Wilk test results and Levene'test showed that the normal distribution of data and variants homogeneous with p ≥ 0.05. The results of the comparative analysis with One Way Anova test showed the amount of collagen in the four groups after given different treatment was significantly (p <0.05).

The conclusions of this study was application cream snail slime extract 20 % did not increase the amount of collagen in the dermis significantly Wistar rats that were exposed to UVB. Application cream snail slime extract 50 % increase the amount of collagen in the dermis significantly (20,82%) Wistar rats that were exposed to UVB. Application cream snail slime extract 70 % increase the amount of collagen in the dermis significantly (80,66%) Wistar rats that were exposed to UVB . This means that application cream snail slime extract 50 % and 70 % was significantly different (P < 0.05) increase the amount of collagen in the dermis of Wistar rats .It should be done before clinical trials on the mechanisms applied to humans as well as other effects of the extract cream slime Snail.

Keywords: glycosaminoglycans, cream of snail slime extract, collagen, UVB rays.


(12)

12

DAFTAR ISI

PRASYARATAN GELAR ……….. i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI PENELITIAN …………... iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……… iv

UCAPAN TERIMA KASIH ………. v

ABSTRAK ………. viii

ABSTRACT ……….. ix

DAFTAR ISI ……….… x

DAFTAR TABEL ……… xv

DAFTAR GAMBAR ……… xvi

DAFTAR SINGKATAN ………..……… xvii

DAFTAR LAMPIRAN ………. xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Tujuan Umum ... 10

1.3.2 Tujuan Khusus ... 10

1.4 Manfaat penelitian ... 11

1.4.1 Manfaat Ilmiah ... 11


(13)

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12

2.1 Penuaan (Aging) ... 12

2.1.1 Teori Penuaan ……… 12

2.1.1.1 Teori Wear And Tear ……….. 13

2.1.1.2 Teori Radikal Bebas ……… 13

2.1.1.3 Teori Kerusakan DNA ……… 14

2.1.1.4 Teori Program Genetik ……… 15

2.1.1.5 Teori Endokrin ……… 15

2.1.2 Gejala Klinis Penuaan ……… 16

2.2 Kulit ... 17

2.2.1 Histologi Kulit ... 18

2.2.1.1 Lapisan Epidermis ... 18

2.2.1.2 Lapisan Dermis ... 19

2.2.1.2.1 Extracellular Matrix ... 20

2.2.1.2.2 Kolagen ... 22

2.2.1.3 Lapisan Subkutan ... 26

2.2.2 Fungsi Kulit ... 27

2.2.3 Penuaan Kulit ……… 28

2.3 Ultraviolet ... 28

2.3.1 Sinar Ultraviolet B ... 30

2.3.1.1 Efek ultraviolet ... 30

2.3.1.2 Radikal Bebas ...……… 32


(14)

14

2.3.2.1 Mekanisme Photoaging ... 35

2.3.2.2 Perubahan Klinis Kulit pada Photoaging 39 2.3.2.3 Perubahan Histopatologi pada Kulit…... 40

2.3.2.4 Pencegahan dan Pengobatan Photoaging 42 2.4 Bekicot (Achatina fulica) ... 43

2.4.1 Anatomi Bekicot ... 45

2.4.2 Karakterisasi Lendir Bekicot ... 47

2.5 Glikosaminoglikan ... 49

2.5.1 Biosintesis Glikosaminoglikan ... 50

2.5.2 Fungsi Glikosaminoglikan ... 53

2.5.3 Pengaruh Glikosaminoglikan Terhadap Kolagen .. 55

2.6 Krim ……….. 57

2.7 Tikus (Rattus Novergicus) Galur Wistar ……….. 58

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS ... 61

3.1 Kerangka Berpikir ... 61

3.2 Konsep Penelitian ... 62

3.3 Hipotesis Penelitian ... 63

BAB IV METODE PENELITIAN ... 64

4.1 Rancangan Penelitian ... 65

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 65

4.3 Sampel, Kriteria Sampel dan Besar Sampel ... 65

4.3.1 Sampel Penelitian ... 65


(15)

4.3.3 Besaran Sampel ... 66

4.4 Variabel Penelitian ... 67

4.4.1 Klasifikasi Variabel ... 67

4.4.2 Hubungan Antar Variabel ... 67

4.4.3 Definisi operasional variabel ... 68

4.5 Bahan, Instrumen Penelitian dan Hewan Percobaan ... 70

4.5.1 Bahan Penelitian ... 70

4.5.2 Instrumen Percobaan ... 70

4.5.3 Hewan Percobaan ... 70

4.6 Prosedur Penelitian ... 71

4.6.1 Pengumpulan Lendir Bekicot ... 71

4.6.2 Pembuatan Ekstrak Lendir Bekicot ... 71

4.6.3 Pemeliharaan Terhadap Tikus Percobaan ... 72

4.6.4 Pelaksanaan Penelitian ... 72

4.6.5 Pembuatan Sediaan Histologis ... 74

4.6.6 Pengamatan Histopatologi ... 76

4.7 AlurPenelitian ... 78

4.8 Analisis Data ... 79

BAB V HASIL PENELITIAN ………...……. 80

5.1 Uji Statistik ………...……….. 80

5.1.1 Uji Normalitas Data ………...…..….. 80

5.1.2 Uji Homogenitas Data ………...………. 80

5.1.3 Jumlah Kolagen ………..………....……... 81


(16)

16

BAB VI PEMBAHASAN ……… 85

6.1 Subjek Penelitian ………..………… 85

6.2 Pengaruh Krim Ekstrak Lendir Bekicot terhadap Kolagen.. 85

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ……….. 90

7.1 Simpulan ………. 90

7.2 Saran ……… 90

DAFTAR PUSTAKA………. 91


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Bekicot ... 47

Tabel 2.2 Komposisi Asam Amino Daging Bekicot ... 47

Tabel 4.1 Jadwal dan Waktu Penyinaran UVB ... 73

Tabel 5.1 Hasil Uji Normalitas Data Kolagen Dermis ... 78

Tabel 5.2 Homogenitas Data Kolagen Antar Kelompok Perlakuan ... 79

Tabel 5.3 Perbedaan Rerata Kolagen Antar Kelompok Sesudah Diberikan Krim Ekstrak Lendir Bekicot... 79

Tabel 5.4 Analisis Komparasi kolagen Sesudah Perlakuan Antar Kelompok ... 80


(18)

18

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Kulit ... 18

Gambar 2.2 Extracellular Matrix ... 22

Gambar 2.3 Serat Kolagen ... 24

Gambar 2.4 Biosintesis kolagen ... 26

Gambar 2.5 Gambar Sinar Ultraviolet ... 29

Gambar 2.6 Mekanisme Photoaging ... 39

Gambar 2.7 Perubahan Histopatologi pada Kulit Photoaging ... 42

Gambar 2.8 Bekicot (Achatina fulica)... 44

Gambar 2.9 Bagian Tubuh Bekicot ... 47

Gambar 2.10 Biosintesis Glikosaminoglikan ... 53

Gambar 2.11 Asam Hialuronat ... 54

Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian ... 62

Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian ... 64

Gambar 4.2 Hubungan Antar Variabel ... 67

Gambar 4.3 Alur Penelitian ... 78

Gambar 5.1 Perbandingan Kolagen Antar Kelompok Kontrol dengan Kelompok Perlakuan. ... 82

Gambar 5.2 Gambaran Kolagen Kulit Tikus Wistar dengan Pewarnaan Hematoxylin Eosin ... 84


(19)

DAFTAR SINGKATAN

AP-1 : Activator Protein 1

DEJ : Dermoepidermal junction DNA : Deoxyribonucleic acid ECM : Extracellular matrix FGF : Fibroblast growth factor GAG : Glikosaminoglikan

HSPGs : Heparan sulphate-containing Proteoglycans

IL-1 : Interleukin-1

IL-6 : Interleukin-6

LAPs : Large Aggregated Proteoglycans MAP kinase : Mitogen-activated Protein Kinase MED : Minimal Erythema Dose

MMP-1 : Matriks Metalloproteinase-1 MMP-13 : Matriks Metalloproteinase-13 MMP-8 : Matriks Metalloproteinase-8 MMPs : Matriks Metalloproteinases

PG : Proteoglikan

pH : Pangkat hidrogen

RHAMM : Reseptor of HA-mediated motility ROS : Reactive Oxygen Species


(20)

20

SOD : Superoksid Dismutase

TGF-b : Transforming Growth Factor-beta

UV : Ultra Violet

UVA : Ultra Violet A UVA1 : Ultra Violet A-1 UVA2 : Ultra Violet A-2 UVB : Ultra Violet B UVC : Ultra Violet C


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Hasil Analisis Lendir Bekicot ... 98 Lampiran 2 Uji Normalitas Data Kolagen Dermis ... 100 Lampiran 3 Uji One Way Anova Data Kolagen Dermis Antar Kelompok.. 100 Lampiran 4 Lembar Ethical Clearance ... 102 Lampiran 5 Foto-foto penelitian ... 103


(22)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tidak ada seorangpun ingin menjadi tua dan tidak berdaya karena usia terus bertambah. Menjadi tua akan selalu terkesan dengan segala kelemahan, kekurangan dan mudah terkena penyakit. Seluruh manusia dimuka bumi pasti akan berusaha untuk selalu terlihat muda dan sehat. Pertambahan usia menjadi tua atau aging adalah suatu keadaan yang tidak dapat dihindari. Proses menua merupakan suatu proses di dalam sel dan jaringan yang mengalami perubahan patologis secara bertahap seiring berjalannya waktu. Keluhan-keluhan yang timbul akibat proses penuaan pun tidak dapat dihindari. Mengetahui penyebab dari setiap keluhan akibat proses penuaan tersebut, dapat dilakukan berbagai cara untuk mencegah dan memperlambat proses penuaan berdasarkan ilmu pengetahuan terkini. Manusia tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka dapat menjalani kehidupan dengan kualitas hidup yang lebih baik. Apabila upaya ini tercapai, maka mereka akan terlihat lebih sehat dan tetap muda dibandingkan dengan orang seusianya.

Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua dan kemudian menjadi sakit. Penyebab penuaan dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikolisasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen.


(23)

Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). Beberapa teori menjelaskan mengapa seseorang menjadi tua. Salah satu teori penuaan yang sangat berkembang adalah teori radikal bebas. Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas secara kimiawi merupakan molekul reaktif dengan gangguan elektron yang membuat mereka tidak stabil dan mampu bereaksi dengan mudah dengan berbagai macam molekul. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah desoxyribonucleicacid (DNA), lemak, dan protein (Suryohusodo, 2000). Pada kulit, radikal bebas dapat mempengaruhi produksi kolagen dan elastin, komponen utama dari matriks ekstraseluler (ECM). Reaksi ini memberikan kontribusi terhadap penuaan kulit.

Proses penuaan terjadi pada semua organ tubuh, tidak terkecuali dengan kulit manusia. Penuaan dini kulit disebabkan baik oleh faktor ekstrinsik seperti paparan sinar ultraviolet (UV), polusi udara maupun oleh faktor intrinsik seperti genetik, ras, hormonal. Faktor ekstrinsik yang sangat berperan terhadap penuaan dini kulit adalah sinar matahari. Kerusakan kulit yang disebabkan oleh paparan sinar matahari tergantung dari sering dan lamanya paparan, jenis sinar UV serta tipe kulit seseorang (Ichihashi et al., 2009). Radikal bebas yang terbentuk dari sinar


(24)

3

ultraviolet menurut Young (2000) dapat menghancurkan struktur protein seperti kolagen dan elastin dalam jaringan ikat.

Paparan sinar ultraviolet yang terjadi secara terus menerus akan menyebabkan suatu keadaan perubahan pada struktur dan fungsi kulit sehingga mempercepat terjadinya proses penuaan pada kulit. Secara keseluruhan dampak sinar UV pada kulit menghasilkan kerusakan kolagen, menurunnya sintesis kolagen, inflamasi dan stres oksidatif, serta penurunan kemampuan sel yang rusak untuk dieliminasi oleh proses apoptosis. Semua proses ini disebut penuaan dini kulit atau disebut juga dengan photoaging (Fisher et al., 2002; Helfrichs et al., 2008).

Radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang 100-400 nm merupakan 5% dari seluruh radiasi sinar yang ada. Radiasi ultraviolet terbagi atas tiga golongan yaitu UVA (320-400nm), UVB (280-320nm) dan UVC (100-280nm). Yang paling banyak berpengaruh kepada kesehatan kulit adalah UVB, karena panjang gelombangnya yang lebih pendek dan paling banyak menembus bumi (Fisher et al., 2004).

Ultraviolet B (UVB) merupakan spektrum radiasi ultra violet dengan panjang gelombang 280-320 nm, dan merupakan sinar ultraviolet yang paling efektif menembus bumi dan mengakibatkan kerusakan pada kulit manusia. Kerusakan yang terjadi oleh karena ultraviolet B lebih sering berdampak pada kerusakan DNA sel yang merupakan kromofornya. Sinar UVB yang banyak terserap ke epidermis dan menembus ke papila dermis. Gejala kerusakan yang terjadi akibat penyerapan UVB ke epidermis berupa eritema. Pada pajanan berulang akan terjadi efek kumulatif dan terjadilah eritema.


(25)

Paparan sinar UV yang mengenai kulit menyebabkan timbulnya radikal bebas khususnya anion superoksida dan hidrogen peroksida. Melalui reaksi Haber-Weis dan Fenton akan membentuk radikal hidroksil. Senyawa ini dikenal sebagai Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat menurunkan kadar antioksidan enzimatis dan non enzimatis dalam kulit serta merusak membran sel dan DNA (Kregel dan Zhang, 2007). ROS memiliki peranan penting terhadap sinyal transduksi yang dimediasi oleh MAP-kinase yang kemudian menginduksi faktor transkripsi AP-1 pada fibroblas. Pajanan sinar UVB juga mengakibatkan penurunan ekspresi dari TGF-b2, anggota dari kelompok TGF-b. TGF-b berfungsi memacu pembentukan kolagen, sehingga penurunan dari TGF-b menyebabkan penurunan produksi kolagen. Penelitian menunjukan terjadi penurunan sintesis kolagen dalam 8 jam setelah paparan UV.

ROS yang dihasilkan oleh radiasi sinar UV mengaktifkan jalur seluler yaitu reseptor sel epidermal growth factor (EGF), interleukin (IL)-1, keratinocyte growth factor dan tumor necrosis factor (TNF)-α. Pengaktifan reseptor dimediasi oleh enzim protein-tyrosine phosphatase-K, yang berfungsi menginaktivasi reseptor EGF. Aktivasi reseptor mengaktifkan MAP kinase dan C-Jun amino terminal kinase (JNK). Aktivasi dari kinase mengaktifkan transkripsi kompleks activator protein-1 (AP-1), membentuk C-Jun dan C-Fos. (Taylor, 2005; Yaar dan Gilchrest, 2008).

Peningkatan transkripsi AP-1 menginduksi jumlah kolagenase MMPs (MMP-1), stromelisin I (MMP-3) yang memblokir transforming growth factor (TGF)-β, sitokin yang meningkatkan transkripsi kolagen, yang berakibat menurunkan


(26)

5

produksi tipe prokolagen I. AP-1 juga menurunkan jumlah reseptor (TGF)-β yang dapat menghambat transkripsi kolagen. AP-1 bersifat antagonis asam retinoat yang memiliki efek stimulus terhadap sintesis kolagen (Fisher et al., 2002; Taylor, 2005; Yaar dan Gilchrest, 2008).

Matrix metaloproteinases (MMPs) adalah suatu zinc-dependent endopeptidase, merupakan suatu enzim yang bertanggung jawab dalam degradasi jaringan ikat dermis. MMP-1, MMP-3 dan MMP-9 pada permulaannya dihasilkan di epidermis, tetapi enzim tersebut dapat berdifusi ke dalam dermis dan kemudian mendegradasi kolagen (Quan et al., 2009). Difusi ini juga dibantu oleh ikatan langsung MMP ke kolagen matriks ekstraseluler. MMP-1 (kolagenase) adalah enzim yang paling bertanggung jawab terhadap pemecahan serat kolagen. Faktor transkripsi AP-1 juga mempengaruhi ekspresi gen kolagen pada fibroblas dermis. Mekanisme molekular kerusakan kulit akibat paparan sinar UV dimulai dari aktivasi reseptor sitokin dan faktor pertumbuhan (growth factor) pada permukaan keratinosit di epidermis dan fibroblas di dermis oleh radikal bebas. Aktivasi reseptor ini akan menginduksi sinyal intraselular seperti mitogen-activated protein kinase (MAP kinase) yang selanjutnya mengaktivasi kompleks faktor transkripsi nukleus aktivator protein-1 (AP-1). Pada epidermis dan dermis, AP-1 menginduksi ekspresi matriks metaloproteinase (MMP) seperti MMP-1, MMP-3 dan MMP 9 yang dapat merusak kolagen dan protein inti lain yang menyusun matriks ekstraselular dermis. Selain itu AP-1 dapat menekan ekspresi gen prokolagen fibroblas sehingga terjadi penurunan sintesis kolagen (Helfrich et al., 2008).


(27)

Secara keseluruhan dampak sinar UV pada kulit menghasilkan kerusakan kolagen oleh karena meningkatnya kadar MMP-1, menurunnya sintesis kolagen karena tingginya kadar 8-OhdG, inflamasi dan stres oksidatif, serta penurunan kemampuan sel yang rusak untuk dieliminasi oleh proses apoptosis. Semua proses tersebut akan menimbulkan penuaan dini kulit (photoaging) (Fisher et al., 2002; Helfrichs et al., 2008).

Kolagen adalah triple helical protein yang tersebar di seluruh tubuh dan mempunyai berbagai fungsi seperti pengikat jaringan, adesi sel, migrasi sel, pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis), morfogenesis jaringan dan perbaikan jaringan. Kolagen adalah elemen yang membentuk matriks ekstraseluler jaringan, yang berguna untuk kekuatan tegang jaringan seperti tendon, tulang, tulang rawan dan kulit. Kolagen juga mempunyai fungsi yang berkaitan dengan lokasinya, misalnya membran basalis pada glomerulus ginjal yang berfungsi untuk filtrasi molekul. Kurang lebih 80% daripada jaringan kulit terdiri dari kolagen. Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas, membentuk ikatan yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur namun dengan bertambahnya usia menjadi stabil dan keras. Fibril dan mikrofibril yang tersusun sejajar dan saling bersilangan merupakan komponen pembentuk struktur kolagen. Jenis kolagen terbanyak di kulit adalah kolagen tipe 1, kolagen terdiri dari 3 polipeptida (rantai α) seperti rantai helix dan kaku. Perubahan histopatologi pada kulit photoaging paling mencolok dan konsisten adalah penyempitan dermoepidermal junction dengan penipisan pada papila dermal dan


(28)

7

epidermal rete pegs. Pemisahan ini yang menyebabkan kulit berkerut dan kehilangan elastisitas.

Sampai saat ini belum ada substansi yang sangat efektif untuk meningkatkan jumlah kolagen kulit. Sekarang muncul perhatian dalam menemukan ekstrak hewani untuk meningkatkan jumlah kolagen kulit. Kandungan dari hewani yang dapat memicu produksi kolagen adalah lendir bekicot (Achantina fulica). Achatina fulica merupakan hewan lunak (Mollusca) dari kelas Gastropoda yang semula berasal dari Afrika Timur masuk di Indonesia lewat Kalimantan sejak tahun 1939 dan menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia akibat terbawa dalam perdagangan. Bekicot tersebar ke arah Timur sampai di kepulauan Mauritius, India, Malaysia, akhirnya ke Indonesia. Hewan ini mudah dipelihara dan di beberapa negara bahkan dikonsumsi, termasuk di Indonesia. Sampai saat ini, budidaya bekicot jenis Achatina fulica banyak terdapat di Kediri (Jawa Timur), Solo (Jawa Tengah), Bogor (Jawa Barat), Sumatera Utara, dan Bali (Rohmad, 2012).

Bekicot merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi karena mengandung asam amino esensial yang lengkap, karbohidrat, lemak, vitamin B12, kalsium dan phosphor, bekicot pun mengandung kadar lendir yang tinggi. Lendir yang diproduksi oleh kelenjar di dinding tubuh bekicot, maupun zat getah bening yang mengalir dalam tubuh bekicot mempunyai aktivitas penggumpalan serta pembasmian bakteri dan benda asing, hal inilah yang dapat membantu proses penyembuhan luka, antibakteri, dan mengatasi efek penuaan dini kulit. Manfaat


(29)

dari lendir bekicot ini sudah sejak lama diyakini berkhasiat untuk menyembuhkan luka, antibakteri (Berniyanti, 2007).

Lendir bekicot sangat berpotensi sebagai bahan obat yang mudah didapatkan di berbagai tempat di Indonesia. Tetapi pemanfaatannya di bidang farmasi masih jarang. Penggunaan lendir bekicot dalam pengobatan juga masih bersifat lokal. Produk topikal dengan bahan lendir bekicot sudah banyak beredar tanpa penelitian yang jelas. Penelitian yang dilakukan laboratorium Lissia Colombia, menjelaskan bahwa ekstrak lendir bekicot 20-80% dapat mengatasi penuaan kulit dengan melembabkan dan mengencangkan kulit (Jasmine, 2011).

Achatina fulica merupakan hewan yang kaya akan sulfat polisakarida. Penelitian terbaru yang dilakukan Gesteira et al. (2011) telah mengidentifikasi karakterisasi lendir bekicot yang mengandung glikosaminoglikan dan proteoglikan yang berperan penting dalam memelihara jaringan ikat penghubung antar sel dan menjaga kekuatan mekanik kulit sehingga kulit selalu kencang, kenyal dan lembab. Demikian pula, menurut Lee et al. (2002), lendir bekicot mengandung glikosaminoglikan (GAG) dan proteoglikan (PG) yang terlibat dalam fungsi struktural dan fisiologis kulit.

Biosintesis glikosaminoglikan dimulai di retikulum endoplasma dan apartus golgi, dengan xylosylation dari residu serin spesifik pada protein inti. glikosaminoglikan diekskresi ke extracellular matrix (ECM) dermis, glikosaminoglikan akan terletak di extracellular matrix dan terikat dengan kolagen fibril sebagai pembentuk kolagen tipe 1 (Li et al., 2013). Struktur glikosaminoglikan terdiri dari suatu amino dan gula (glukosamin dan


(30)

9

galaktosamin). Glikosaminoglikan yang heterogen berperan sebagai pemberi kode informasi spesifik dalam setiap proses yang terjadi di dalam extracellular matrix. Heparan sulfat yang merupakan glikosaminoglikan mengikat ligand ekstraselular dan membantu interaksi dengan reseptor di permukaan sel. Matriks proteoglikan sangat penting untuk respon sel terhadap extracellular growth factor. Proteoglikan, faktor pertumbuhan, dan reseptor spesifik harus ada pada setiap permukaan sel agar faktor pertumbuhan dapat mengaktifasi sel. Fibroblast growth factor (FGF) merupakan protein ekstraselular yang berfungsi sebagai sinyal untuk menstimulus pembelahan sel. FGF akan terikat dengan heparan sulfat pada sydecan, kemudian membawa ke reseptor FGF pada membran plasma yang akan memicu pembelahan sel. Proses ini sangat berpengaruh terhadap sintesis kolagen dermis (Ornitz and Itoh, 2001).

Berdasarkan hal diatas, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan ekstrak lendir bekicot untuk mengetahui efek glikosaminoglikan yang bersama-sama dengan kolagen dalam meningkatkan fungsi struktur kulit terpapar sinar UV. Dari hasil analisis Laboratorium Analitik Universitas Udayana, didapatkan bahwa ekstrak lendir bekicot mengandung senyawa 2-methylbuthanoic acid, (Z)-(4-methoxyphenil) (phenil) methanone oxime, thiosulfuric acid hydrogen S-[2-[[3-[(4-propyl-2-guinolinyl)oxy]propyl]amino]ethyl]ester, 2’,3’,4’ -Trichloroacetophenone, N-acetyl glucosamine, glucuronic acid (Lampiran 1).


(31)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka dibuat rumusan masalah adalah: 1. Apakah pemberian krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 20%

dapat meningkatkan jumlah kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B?

2. Apakah pemberian krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 50% dapat meningkatkan jumlah kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B?

3. Apakah pemberian krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 70% dapat meningkatkan jumlah kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B?

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pemberian krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 20%, 50% dan 70% dapat meningkatkan jumlah kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Membuktikan krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 20% meningkatkan jumlah kolagen pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B. 2. Membuktikan krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 50%


(32)

11

3. Membuktikan krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) 70% meningkatkan jumlah kolagen pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B.

1.4MANFAAT PENELITIAN 1.4.1 Manfaat Ilmiah

1. Memberi informasi ilmiah mengenai ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) dalam meningkatan jumlah kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B.

2. Sebagai dasar untuk digunakan sebagai penelitian lebih lanjut pada manusia.

3. Menghasilkan bahan obat yang berpotensi dalam meningkatkan jumlah kolagen dermis.

1.4.2 Manfaat Praktis

Setelah melalui uji klinis diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat tentang efek penggunaan krim ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) yang dapat meningkatkan jumlah kolagen kulit sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.


(33)

12 2.1 PENUAAN (AGING)

Aging adalah tahap kehidupan semua organisme hidup dan tidak dapat dihindari. Proses menua merupakan suatu proses akumulasi progresif di dalam sel dan jaringan yang mengalami perubahan patologis secara bertahap seiring berjalannya waktu (Harman, 2001). Aging tidak dapat dihindari dan terjadi dengan kecepatan yang berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan, dan gaya hidup. Penuaan dapat terjadi lebih cepat atau lambat tergantung kesehatan dari masing – masing individu (Fowler, 2003).

Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua dan kemudian menjadi sakit. Penyebab penuaan dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikolisasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). 2.1.1 Teori Penuaan

Sejumlah studi maupun teori penuaan yang menjelaskan mengapa kita menjadi tua banyak bermunculan dan tidak sedikit perdebatan tentang masalah penuaan dan penyakit penuaan tersebut. Namun, tidak satupun teori yang dapat menjelaskan secara tuntas. Dengan kata lain, penelitian dan pendekatan terkait dengan penuaan sangat bervariasi sejalan dengan perkembangan ilmu


(34)

13

pengetahuan, tetapi masih ada hal tersisa yang tidak dapat dijelaskan mengenai penyebab penuaan.

Berikut beberapa teori penyebab penuaan yang telah mendapatkan perhatian diantara teori – teori yang sudah dipublikasikan sebelumnya:

2.1.1.1 Teori Wear and Tear

Teori ini menerangkan bahwa tubuh manusia juga akan mengalami penuaan akibat kerusakan yang terakumulasi pada organ tubuh beserta sel-selnya karena penyalahgunaan dan pengunaan yang berlebihan untuk waktu yang lama sehingga tubuh menjadi lemah kemudian meninggal (Park et al., 2013).

Paparan sinar ultraviolet, gaya hidup tidak sehat seperti halnya diet yang salah, mengkonsumsi makanan yang banyak lemak, gula, kafein, alkohol, nikotin maupun stress emosional sangat berkaitan dan dapat menentukan cepat lambatnya proses penuaan tersebut terjadi. Sistem pemeliharaan pola hidup yang baik pada masa muda dinilai berpengaruh pada perbaikan tubuh sebagai kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan normal berlebihan (Pangkahila, 2011)

Teori ini meyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu memperlambat proses penuaan dengan cara merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2011).

2.1.1.2 Teori Radikal Bebas

Teori ini menunjukan bahwa akumulasi kerusakan sel oleh radikal bebas berujung pada penuaan. Radikal bebas adalah molekul-molekul atom yang terdiri


(35)

dari elektron yang mempunyai susunan tidak berpasangan sehingga bersifat sangat tidak stabil. Agar menjadi stabil, elektron yang tidak mempunyai pasangan akan mencari elektron lain untuk dijadikan pasangan, maka radikal bebas ini akan menyerang molekul terdekatnya untuk mendapatkan elektron dan terjadilah reaksi berantai menyebabkan kehancuran molekul lain yang semakin lama merusak jaringan luas. Bila mengenai DNA terutama pada mitokondria didalam sel, radikal bebas tersebut akan menggangu metabolisme sel dan memicu terjadinya mutasi sel yang menimbulkan perilaku menyimpang dari sel. Kerusakan karena radikal bebas ini membuat tubuh menua dan memicu timbulnya berbagai macam penyakit keganasan yang berujung pada kematian.

Molekul dalam tubuh yang diketahui dapat dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohusodo, 2000). Pada kulit, radikal bebas akan merusak kolagen dan elastin yang merupakan suatu protein pelindung kulit agar tetap fleksibel, elastis, lembab, dan halus. Jaringan kulit terutama pada daerah wajah yang paling sering mengalami kerusakan akibat radikal bebas, dimana akan terbentuk lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama dan terus menerus oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2003).

2.1.1.3 Teori Kerusakan DNA

Berdasarkan teori kerusakan DNA, jika DNA dengan kerusakaan akibat radikal bebas tidak sepenuhnya diperbaiki, hal tersebut akan membuat ekspresi gen menurun hingga kematian sel. Kerusakan DNA yang terjadi dalam jangka waktu lama dan terakumulasi akan mengganggu fungsi jaringan sehingga merangsang proses penuaan.


(36)

15

Sebuah studi melaporkan bahwa tikus albino memiliki umur lebih pendek daripada manusia dan peningkatan kerusakan DNA otak karena proses penuaan juga mendukung hipotesis. Selain itu, telah diketahui bahwa kemampuan tubuh manusia untuk memperbaiki sel normal yang terganggu dan kerusakan DNA akibat penuaan berhubungan dengan usia manusia itu sendiri (Park, 2013).

2.1.1.4 Teori Program Genetik

Menurut teori program genetik, proses penuaan telah terprogram sejak manusia itu terlahir sampai menjadi tua dan akhirnya meninggal. Teori ini didukung oleh fakta bahwa usia rata-rata manusia terus menerus meningkat dalam 100 tahun terakhir tanpa perubahan besar pada usia maksimum manusia. Teori ini berpendapat bahwa penuaan terjadi karena adanya perpanjangan sinyal genetik kehidupan dari telur yang dibuahi ke tahap dewasa. Orang-orang yang mendukung teori ini percaya bahwa gen penuaan mengontrol proses penuaan itu sendiri dengan memperlambat atau menghentikan jalur metabolisme biokimia. Gen penuaan ini diungkapkan pada periode waktu yang berbeda tergantung pada jenis sel. Selama pertumbuhan, banyak sel yang berkembang sementara banyak pula sel yang tidak perlu menghilang pada waktu yang sama (Troen, 2003; Hasty et al., 2002).

2.1.1.5 Teori Endokrin

Teori endokrin mengasumsikan bahwa gangguan sistem kelenjar endokrin-hipotalamus-hipofisis yang mengatur homeostatis dalam tubuh adalah penyebab utama penuaan dan selanjutnya memiliki banyak efek pada fungsi fisiologis dalam tubuh. Umumnya hormon endokrin berpartisipasi dalam mengendalikan


(37)

pertumbuhan, metabolisme, suhu, peradangan, dan stres. Teori ini didukung oleh beberapa penelitian pada hewan, yang menunjukan bahwa umur hewan dengan menopause, andropause, dan somatopause dapat diperpanjang dengan pemberian hormon yang sesuai. Sistem endokrin mengambil bagian dalam pengendalian fungsi organ tubuh dan manusia berperan penting pada terapi sulih hormon, maka proses penuaan dapat diperlambat atau bahkan dicegah (Tatar et al., 2003).

2.1.2 Gejala Klinis Penuaan

Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan gejala proses penuaan Proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap (Pangkahila, 2011).

Tahap Subklinik (usia 25 – 35 tahun)

Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan, umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal.

Tahap Transisi (usia 35 – 45 tahun)

Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini


(38)

17

menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung pembuluh darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua.

Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas)

Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen dan hormon tiroid. Terjadi juga penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidak mampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis mulai nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan (Pangkahila, 2011).

2.2 KULIT

Kulit adalah salah satu organ terbesar dalam tubuh yang letaknya paling luar. Kulit merupakan organ yang berperan penting dalam melindungi tubuh dari patogen, serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Luas kulit orang dewasa sekitar 1,5-2 m² dengan berat kira-kira 15% berat badan (Wasitaatmadja, 2012).


(39)

2.2.1 Histologi Kulit

Secara histologi kulit tersusun atas 3 lapisan utama yaitu: lapisan epidermis, lapisan dermis, lapisan subkutan (lapisan hipodermis). Lapisan epidermis dan dermis dibatasi oleh dermoepidermal junction. Sedangkan lapisan dermis dan subkutan ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan sel-sel yang membentuk jaringan lemak.

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Kulit (Krieg et al., 2011)

2.2.1.1 Lapisan Epidermis

Lapisan epidermis adalah lapisan kulit yang dapat langsung kita sentuh. Secara histopatologi lapisan epidermis tersusun atas:

Stratum korneum (lapisan tanduk), lapisan ini merupakan lapisan kulit paling luar, yang terdiri dari beberapa lapis sel gepng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).


(40)

19

Stratum lusidum terdapat langsung dibawah stratum korneum, merupakan lapis sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut elidin.

Stratum granulosum (lapisan keratohialin), merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya, butiran kasar tersebut terdiri dari keratohialin.

Stratum spinosum (stratum malpighi), terdiri atas beberapa lapis sel berbentuk poligonal dengan bermacam ukuran akibat proses mitosis. Protoplasma jernih karena banyak mengandung glikogen dan inti sel terletak ditengah. Semakin dekat ke permukaan kulit bentuk sel semakin gepeng. Diantara sel-sel terdapat sel langerhans dan jembatan antarsel yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril atau keratin.

Stratum basalis, terdiri atas sel-sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal dan pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan kulit paling dasar. Terdapat dua jenis sel pada lapisan ini, yaitu sel kolumnar dengan protoplasma basofilik, inti lonjong besar, dan sel melanosit dengan sitoplasma basofilik, inti gelap, mengandung melanosom.

2.2.1.2 Lapisan Dermis

Lapisan ini jauh lebih tebal daripada lapisan epidermis. Dibentuk oleh jaringan elastik, fibrosa padat dengan elemen selular disebut matrik, berbagai kelenjar kulit, dan rambut. Lapisan dermis tersusun dari dua bagian yaitu:


(41)

Pars papilaris, bagian yang menonjol ke dalam epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.

Pars retikularis, bagian bawah dermis yang berhubungan dengan subkutan terdiri atas serabut kolagen, elastin, retikulin, dan pada dasar lapisan ini terdapat cairan asam hialuronat, kondroitin sulfat, dan sel-sel fibroblas.

2.2.1.2.1 Extracellular Matrix

Extracellular Matrix (ECM) dermis memainkan peran penting dalam dukungan struktural, kekebalan, sirkulasi, dan persepsi sensorik. ECM membantu mengatur sel dalam jaringan dan mengkoordinasikan fungsi seluler mereka dengan mengaktifkan jalur sinyal intraselular yang mengontrol pertumbuhan sel, proliferasi, dan ekspresi gen. ECM mendukung epidermis dan sebagian besar terdiri dari kolagen tipe I fibril, yang disintesis oleh fibroblas. Sebagai protein struktural yang paling melimpah di dermis, kolagen tipe I memberikan kekuatan dan ketahanan kulit (Fisher et al., 2008). Extracellular Matrix diperkuat oleh serat padat kolagen yang merupakan jaringan stabil dan padat, tertanam dalam cairan proteoglikan konsentrasi tinggi.

Sebuah bukti menunjukkan bahwa interaksi antara sel-sel, seperti fibroblast dan ECM adalah penting untuk fungsi sel. Pada kulit muda yang sehat, fibroblas dermal melampirkan fibril kolagen melalui transmembran reseptor integrin. Keterlibatan integrin dengan ECM memicu pembentukan kompleks adhesi focal, yang merupakan pasangan ECM ke sitoskeleton aktin intraseluler. Mesin aktin cytoskeletal menghasilkan kekuatan mekanik yang menentukan bentuk sel, yang pada gilirannya sangat mempengaruhi fungsi fibroblast (Fisher et al., 2008).


(42)

21

Pada penuaan, fibril kolagen dermal menjalani enzyme-catalyzed cleavage. Proses degeneratif ini, mempengaruhi lingkungan mikro mekanik dermis dan mengganggu proses fibroblast ke ECM, sehingga kekuatan mekanik berkurang. Akibatnya, fibroblas kulit berusia memperlihatkan sitoplasma runtuh dan bentuk bulat, yang kontras dengan penyebaran bentuk fibroblast pada kulit muda. Jalur sinyal TGF-β dipengaruhi oleh kekuatan mekanik dan penting untuk fungsi fibroblast dermal. TGF-β merupakan sitokin multifungsi yang bertindak melalui reseptor kompleks yang terdiri dari tipe I, II, dan III reseptor TGF-β. TGF-β menginduksi faktor pertumbuhan jaringan ikat (CTGF / CCN2), mengatur fungsi fibroblast, termasuk sintesis prokolagen tipe I dan protein ECM lainnya. Fibroblas pada penuaan, penurunan sinyal TGF-β-mediated dan CTGF / CCN2 menyebabkan penurunan produksi kolagen (Quan et al., 2013).

Secara klinis, gangguan fungsi fibroblas dan penurunan sintesis kolagen, menyebabkan atrofi, kerutan, dan kerapuhan pada kulit menua. Penelitian menunjukkan bahwa fungsi fibroblast pada penuaan kulit bisa dirangsang dengan meningkatkan dukungan struktural ECM yaitu mengisi ruang dengan asam hialuronat, yang merupakan komponen dari matriks ekstraselular dalam semua jaringan. Asam hialuronat terdiri dari rantai disacharide dengan berat molekul mulai dari 500,000-6,000,000 yang membuat ikatan silang dengan butanadiol diglisidil eter (Quan et al., 2013).

Extracellular Matrix terbuat dari:

1. Kolagen fibrin yaitu tendon dan kartilago. 2. Glikoprotein yaitu laminin dan fibronektin.


(43)

3. Proteoglikan, protein inti, >90% oligosakarida. 4. Hyaluronan yang merupakan polisakarida anionik. Extracellular Matrix berfungsi sebagai:

1. Lapisan dasar yang menghubungkan sel epitelial/sel endotel. 2. Jaringan ikat penghubung antar sel.

3. Sebagai signal ke sel-sel untuk bergerak dan/atau bertumbuh.

Gambar 2.2 Extracellular Matrix (Cummings, 2004)

2.2.1.2.2 Kolagen

Kolagen adalah triple helical protein yang tersebar di seluruh tubuh dan mempunyai berbagai fungsi seperti pengikat jaringan, adesi sel, migrasi sel, pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis), morfogenesis jaringan dan perbaikan jaringan. Kolagen adalah elemen yang membentuk matriks ekstraseluler jaringan, yang berguna untuk kekuatan tegang jaringan seperti tendon, tulang,


(44)

23

tulang rawan dan kulit. Kolagen juga mempunyai fungsi yang berkaitan dengan lokasinya, misalnya membran basalis pada glomerulus ginjal yang berfungsi untuk filtrasi molekul.

Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas, membentuk ikatan yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur namun dengan bertambahnya usia menjadi stabil dan keras. Kolagen merupakan suatu protein fibrous, 70-80% berat dari dermis, komponen terpenting dari dermis. Fibril dan mikrofibril yang tersusun sejajar dan saling bersilangan merupakan komponen pembentuk struktur kolagen. Jenis kolagen terbanyak di kulit adalah kolagen tipe 1, kulit juga mengandung kolagen (III, V, VI), elastin, proteoglikan dan fibronektin. kolagen terdiri dari 3 polipeptida (rantai α) dengan konformasi poliprolin yang panjang seperti rantai helix dan kaku. Setiap rantai polipeptida memiliki pengulangan Gly-X-Y triplet dimana residu glycyl menempati setiap posisi ketiga dan posisi X dan Y ditempati oleh prolin dan 4-hidroksiprolin. Ketiga rantai α saling berikatan melalui ikatan rantai hidrogen (Kadler et al., 2007). Sintesis kolagen dirangsang oleh asam retinoat dan dihambat oleh IL-1, glukokortikoid, D-penicillamine, radiasi ultraviolet (Jain, 2012).

Kolagen disintesis dari fibroblas dalam bentuk prekursor kolagen yaitu prokolagen. Sisa prolin dalam rantai prokolagen diubah menjadi hidroksiprolin oleh enzim prolyl hydroxylase, dan sisa lisin pada rantai prokolagen juga diubah menjadi hidroksisilin oleh enzim lysyl hydroxylase. Kedua reaksi ini memerlukan Fe, vitamin C, dan α-ketoglutarat (Baumann et al, 2009).


(45)

Gambar 2.3 Serat Kolagen (Myllyharju et al., 2001)

Struktur kolagen terbagi menjadi beberapa tipe. Kolagen tipe I adalah kolagen dominan pada kulit manusia terdapat 85-90% total dermis kulit dan tendon. Kolagen ini memiliki dua rantai α (α1 dan α2). Kolagen tipe II banyak ditemukan pada vitreus humour dan kartilago. Kolagen tipe I dan tipe II berfungsi untuk kelenturan dermis. Kolagen tipe III hanya 10% terdapat pada dermis, selebihnya terdapat pada gastrointestinal, vaskuler dan fetal skin. Kolagen tipe III terdiri dari 3 rantai α, yaitu hidroksiprolin, glisin dan residu sistein. Kolagen tipe IV terdapat pada DEJ terutama pada lamina densa dan terdiri dari rantai α1 dan α2, heterotrimer dan homopolimer. Kolagen tipe V terdiri dari 4 rantai beda dan terletak pada ubiquitous. Kolagen tipe VI yang banyak terdapat pada aorta dan plasenta memiliki 3 rantai α, ujungnya merupakan bagian globuler. Kolagen tipe VI berfungsi untuk stabilisasi susunan serat kolagen. Kolagen tipe VII terletak sebagai anchoring fibril DEJ, yang terdiri dari satu rantai α dan memiliki ikatan disulfide dalam rantai. Kolagen tipe VIII terdiri dari dua rantai α, yang terdapat pada membrane descement kornea. Kolagen tipe IX-XII terdapat di kartilago, sedangkan kolagen tipe XV-XVI terdapat pada plasenta. Kolagen tipe XVII terdapat pada hemidesmosom DEJ (Jain, 2012).


(46)

25

Biosintesis Kolagen

Pembentukan rantai pro α yang merupakan prekursor kolagen diawali dengan sintesis rantai prepro α, sebuah polipeptida yang mengandung sekuen signal amino terminal. Rantai prepro α dirubah menjadi rantai pro α pada retikulum endoplasma kasar (RER), kemudian akan terjadi proses hidroksilasi residu prolyl dan lysyl yang dimulai saat rantai pro α terbentuk, dengan bantuan enzim prolyl hydroxylase dan Lysil hydroxylase dan sebagai kofaktor adalah O2, Fe, α -ketoglutarat dan asam askorbat.

Proses selanjutnya adalah glikosilasi. Kolagen adalah glikoprotein yang mengandung residu galaktosil dan glukosilgalaktosil, glikosilasi terjadi setelah sintesis hidroksilisin sampai dengan terbentuk tripel helix pada RER, proses ini terjadi dengan bantuan enzim galactosyl-transferase dan glucosyl-transferase, namun fungsi dari residu gula ini belum diketahui. Kemudian akan terjadi proses assembly dan sekresi dimana tiga rantai pro α berikatan menjadi prokolagen, kecepatan proses ini bervariasi tergantung dari jenis kolagen. Prokolagen akan di transfer ke aparatus golgi, di dalam aparatus golgi akan terbentuk vesikel sekretoris yang akan menyatu dengan membran plasma kemudian mengeluarkan prokolagen ke matrix ekstraselular. Di matrix ekstraselluler akan terjadi pemutusan rantai prokolagen oleh enzim procollagen N-proteinase dan procollagen C-proteinase lalu terbentuk struktur tripel helix yang disebut tropokolagen. Tropokolagen secara spontan bersatu satu sama lain membentuk serat kolagen, namun serat tunggal tidak dapat berfungsi sebagai elastisitas kulit, sehingga serat kolagen bersatu membentuk cross link dengan bantuan enzim


(47)

oxydase lysyl. Struktur cross link ini akan membentuk kolagen matur (Yaar dan Gilchrest, 2008).

Gambar 2.4 Biosintesis kolagen (Albert et al., 1994)

2.2.1.3 Lapisan Subkutan

Lapisan subkutan terdiri dari jaringan ikat longgar dan sel lemak. Pada lapisan ini terdapat ujung saraf, pembuluh darah dan kelenjar getah bening. Sel lemak merupakan sel bulat besar dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel berkelompok ini dipisahkan antara satu sama lainnya dengan trabekula yang berfibrosa. Ketebalan lemak pada lapisan hypodermis ini bervariasi. Area lengan atas memiliki lapisan lemak yang lebih tebal, sedang kelopak mata memiliki lapisan lemak yang tipis. Hal ini sudah ditentukan sesuai dengan fungsinya. Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus yaitu yang terletak


(48)

27

di bagian atas dermis (pleksus superfisialis) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda).

2.2.2 Fungsi Kulit

Kulit juga memiliki berbagai fungsi bagi tubuh antara lain adalah : a. Fungsi proteksi

Kulit menjaga bagian dalam tubuh dari gangguan yang bersifat fisik atau mekanik, gangguan kimiawi, radiasi sinar ultra violet, gangguan kuman maupun jamur. Hal ini dikarenakan kulit memiliki bantalan lemak yang tebal dan jaringan penunjangnya yang berperan terhadap gangguan yang bersifat fisik. Terdapatnya melanosit turut berperan dalam melindungi kulit dari pajanan sinar ultra violet. Keasaman kulit dengan pH 5-6,5 merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri dan jamur.

b. Fungsi ekskresi

Kelenjar-kelenjar kulit akan mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna dan sisa metabolisme dalam tubuh. Produk kelenjar lemak dan keringat di kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5-6,5.

c. Fungsi persepsi

Fungsi persepsi ini disebabkan karena adanya ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.

d. Fungsi pengaturan suhu tubuh

Peranan kulit dalam pengaturan suhu tubuh terjadi dengan cara mengeluarkan keringat.


(49)

2.2.3 Penuaan Kulit

Kulit manusia, seperti semua organ, akan mengalami kerusakan secara kumulatif yang mengakibatkan penurunan fungsi karena pertambahan usia. Faktor dari kulit itu sendiri yang memiliki peran dalam penuaan adalah aliran darah, ph kulit, ketebalan kulit, rambut, kepadatan pori, struktur protein kulit, GAG, air, dan lemak. Faktor dominan pada kerusakan kulit secara kumulatif adalah sinar UV yang akan menimbulkan photoaging pada kulit yang terpapar langsung dan berlangsung lama. Penuaan kulit pada orang dewasa akibat menurunnya kolagen akan menyebabkan peningkatan jumlah pigmen, kulit keriput, rapuh dan kendur karena fleksibilitas kulit menurun (Konda et al., 2012).

Paparan lingkungan terutama merokok dan sinar UV juga mempengaruhi stres oksidatif karena keduanya meningkatkan spesies oksigen radikal bebas dan mengurangi aktivitas enzim antioksidan. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan mekanisme selular seperti: disfungsi mitokondria, kerusakan protein yang penting untuk mempertahankan homeostasis dan fungsi otot, stres retikulum endoplasma, apoptosis sel, senescense sel, dan sinyal selular yang abnormal. Efek penuaan pada fungsi kulit tidak hanya timbul pada orang tua, namun dapat dimulai sejak usia 30 atau bahkan usia lebih muda (Wu et al., 2014).

2.3 ULTRAVIOLET

Penuaan dini pada kulit atau photoaging merupakan gejala penuaan yang terjadi akibat efek buruk kronis dari sinar ultraviolet yang terakumulasi. Sinar UV akan merusak fungsi kekebalan kulit dengan mengubah tingkat enzim antioksidan


(50)

29

yang berdampak pada jumlah sel langerhans di epidermis mengakibatkan kegagalan fungsi penghalang pelindung kulit dan hilangnya elastisitas. Perubahan ini, akan terus berlangsung seiring berjalannya usia dan cenderung menjadi suatu keganasan.

Kemampuan radiasi sinar UV yang merupakan suatu energi elektromagnetik akan mempengaruhi biologi kulit tergantung dari penyerapan energi oleh molekul dalam kulit. Makromolekul termasuk asam nukleat, protein dan lipid mampu menyerap radiasi sinar UV. Radiasi ultra violet terbagi atas tiga golongan yaitu UVA (320-400nm), UVB (280-320nm) dan UVC (100-280nm). UVC biasanya tidak sampai ke permukaan bumi kecuali pada dataran tinggi sekali dimana UVC ini diserap oleh lapisan ozon pada atmosfer. Yang paling banyak berpengaruh kepada kesehatan kulit adalah UVB, karena panjang gelombangnya yang lebih pendek dan paling banyak menembus bumi. Energi yang diserap dapat langsung mengubah sifat kimia molekul, menyerap atau dapat ditransfer ke molekul lain. Misalnya, DNA dapat bermutasi dengan menyerap langsung sinar UV, dan energi dapat ditransfer ke molekul oksigen untuk membuat reactive oxygen spesies (ROS) (Fisher et al., 2004).


(51)

2.3.1 Sinar Ultraviolet B

Ultraviolet B (UVB) merupakan spektrum radiasi ultra violet dengan panjang gelombang 290-320 nm, dan merupakan sinar ultraviolet yang paling efektif menembus bumi dan mengakibatkan kerusakan pada kulit manusia. Kerusakan yang terjadi oleh karena ultraviolet B lebih sering berdampak pada kerusakan DNA sel yang merupakan kromofornya. Sinar UVB yang banyak terserap ke epidermis dan menembus ke papila dermis. Gejala kerusakan yang terjadi akibat penyerapan UVB ke epidermis berupa eritema. Pada pajanan berulang akan terjadi efek kumulatif dan terjadilah eritema.

2.3.1.1 Efek ultraviolet a. Eritema

Eritema (sunburn) merupakan reaksi inflamasi akut pada kulit berkaitan dengan kemerahan yang timbul akibat setelah paparan yang berlebihan radiasi sinar ultraviolet. Eritema yang terbentuk tergantung pada panjang gelombang. Panjang gelombang dari ultraviolet yang paling efektif menyebabkan eritema yaitu 250-290 nm dan semakin berkurang efek eritemanya seiring dengan bertambahnya panjang gelombang. UVA dapat dibedakan menjadi dua kategori oleh karena memiliki perbedaan eritemogenik, yang di mana UVA2 lebih meningkatkan eritema dibandingkan UVA1. Eritema yang diinduksi oleh UVB terjadi dalam waktu 3-5 jam dan maksimal pada 12-24 jam kemudian, dan berkurang dalam 72 jam.

Intensitas kemerahan sangat tergantung dosis. Eritema ini dapat bertahan satu hari atau lebih, yang tergantung pada dosis dan tipe kulit. Meskipun reaksi


(52)

31

akhirnya adalah peningkatan kemerahan kulit, namun lama dan dosisnya yang mengakibatkan eritema akibat UVB dan UVA sangat berbeda, radiasi UVA sangat kurang efektif dalam mengakibatkan efek timbulnya kemerahan dibandingkan dengan UVB. Dosis terendah yang mengakibatkan kemerahan minimal yang dapat dilihat dengan jelas 24 jam setelah radiasi disebut minimal erythema dose (MED). Nilai MED ini bervariasi antara satu orang dengan lainnya tergantung fototipe kulit, warna kulit, dan lokasi anatomi (Rigel et al., 2004). Radiasi sinar ultraviolet B secara langsung juga memengaruhi keratinosit di epidermis untuk menghasilkan sitokin spesifik seperti interleukin-1 (1) dan IL-6 yang mengakibatkan inflamasi pada epidermis kulit.

b.Pigmentasi

Respon pigmentasi kulit yang mengikuti paparan sinar matahari terdiri dari reaksi kecoklatan (tanning) dan pembentukan melanin baru. Respon kecoklatan pada kulit tergantung pada panjang gelombang radiasi. Eritema yang diinduksi UVB akan diikuti dengan pigmentasi. Melanisasi yang terjadi akibat paparan kumulatif UVA bertahan lebih lama dibandingkan dengan yang terjadi akibat paparan UVB. Perbedaan ini kemungkinan terjadi akibat lokalisasi pigmen yang diinduksi oleh UVA terletak lebih basal. Melanisasi yang diinduksi oleh UVB menghilang dengan turn-over epidermis dalam satu bulan (Rigel et al., 2004). c. Kerusakan DNA

DNA seluler secara langsung menyerap UVB, dan penyerapan ini menyebabkan lesi pada basa pirimidin, yang menjadi ikatan kovalen dan akan merusak heliks DNA. Apabila kerusakan DNA ini tidak diperbaiki maka


(53)

akanmengakibatkan kesalahan pembacaan kode genetik, mutasi, dan kematian sel. Radiasi UVA juga merusak DNA tetapi masih terhitung kurang jika dibandingkan dengan radiasi oleh UVB (Rigel et al., 2004).

d. Penekanan sistem imun

Paparan sinar ultraviolet dapat menekan sistem imunitas dan biasa disebut dengan photoimmunosuppresion. Photoimmunosuppresion berperan penting terhadap terjadinya kanker kulit, meningkatnya insiden penyakit infeksi dan virus, serta menurunnya efektifitas vaksin. Suatu penelitian menunjukkan bahwa dosis tunggal suberitemal dari radiasi simulator sinar matahari (0,25 atau 0,5 MED) menekan induksi dari respon hipersensitifitas kontak terhadap dinitroklorobenzena hingga 50-80% (Rigel et al., 2004).

2.3.1.2 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki satu elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Radikal bebas bersifat tidak stabil, dan mudah bereaksi dengan bahan kimia anorganik dan organik, selain itu radikal bebas memiliki kecenderungan untuk menarik elektron dan dapat merubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain (Mitchell, 2013).

Bila dua senyawa radikal bertemu, elektron – elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa bukan radikal bebas, akan terjadi 3 kemungkinan, yaitu :


(54)

33

1. Radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas.

2. Radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal

bebas.

3. Radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi, 2007).

Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga molekul target tersebut, yang paling rentan terhadap radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh sehingga menyebabkan dinding sel menjadi rapuh. Senyawa radikal bebas juga berpotensi merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem info genetika dan berlanjut pada pembentukan sel kanker (Winarsi, 2007).

Terdapat 3 tahap reaksi pembentukan radikal bebas, yaitu Tahap inisiasi yang merupakan tahap awal pembentukan radikal bebas, tahap propagasi yaitu pemanjangan rantai radikal, dan tahap terminasi yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah (Winarsi, 2007).

Dua sumber radikal bebas adalah endogen dan eksogen. Secara endogen, radikal bebas diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma dan inti sel. Secara eksogen, radikal bebas berasal dari asap rokok, polutan, radiasi ultraviolet, obat – obatan dan pertisida (Winarsi, 2007).


(55)

Reactive Oxygen Species (ROS) adalah jenis oksigen yang diturunkan oleh radikal bebas. ROS memiliki gugus fungsional dengan atom oksigen bermuatan elektron lebih yang berperan pada cedera sel. ROS terbentuk secara terus menerus, baik memalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan akibat respon terhadap pengaruh dari luar tubuh seperti polusi lingkungan, sinar UV, asap rokok, dan lain – lain (Winarsi, 2007; Mitchell, 2013). ROS dapat dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Proses cascade dari asam arakidonat menjadi prostaglandin dan prostasiklin dipacu oleh enzim liposigenase dan siklooksigenase serta oksidase yang selanjutnya akan membentuk radikal anion superoksida atau hidroperoksida. Enzim sitokrom P 450-dependen oksidase, yang berperan dalam reaksi biotransformasi dan detoksifikasi senyawa intermediate metabolit dan xenobiotik juga akan menghasilkan senyawa peroksida atau ROS. Aktivasi makrofag dan netrofil yang merupakan bentuk mekanisme pertahanan tubuh terhadap serangan infeksi mikroorganisme juga akan membentuk berbagai radikal bebas dan ROS, termasuk asam hipoklorid (HOCl), yang akan menyerang dan menghancurkan virus maupun bakteri. Namun, di sisi lain, terbentuknya senyawa radikal tersebut sangat berbahaya karena juga berpotensi menyerang sel tubuh (Winarsi, 2007; Mitchell, 2013).

Dapat diyakini bahwa dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan ROS juga semangkin meningkat. Secara endogenus, hal ini berkaitan dengan laju metabolisme seiring dengan bertambahnya usia. Secara eksogenus, kemungkinan tubuh terpapar dengan polutan juga semankin tinggi, seiring dengan


(56)

35

bertambahnya usia. Kedua faktor tersebut secara sinergis meningkatkan jumlah ROS pada tubuh (Winarsi, 2007).

2.3.2 Photoaging

Radiasi UV mengaktivasi reseptor permukaan sel yang mengakibatkan propagasi sinyal intraseluler dan sintesis faktor transkripsi, protein inti yang berikatan dengan DNA untuk meningkatkan atau menekan gen transkripsi. Salah satu faktor transkripsi yang secara cepat dan prominen terinduksi oleh radiasi UV adalah AP-1. AP-1 memengaruhi gen transkripsi kolagen pada fibroblas, menurunkan level prokolagen I dan III, selain itu AP-1 merangsang gen transkripsi yang mengkode matrix-degrading enzyme seperti metalloproteinase (Rigel et al., 2004; Gilchrest et al., 2006).

2.3.2.1 Mekanisme Photoaging

UV secara tidak langsung berperan pada pembentukan ROS. UVB dapat mengakibatkan terbentuknya ROS dengan berinteraksi langsung dengan DNA melalui induksi kerusakan DNA, berupa cross-linking basa pirimidin yang berdekatan.

Pembentukan ROS terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit setelah paparan UV, level hidrogen peroksida meningkat lebih dari dua kali lipat pada kulit. Pembentukan ROS oleh paparan berulang UVB melalui interaksi langsung dan tidak langsung. Interaksi langsung UVB berupa cross-linking basa pirimidin berdekatan, yang menyebabkan kerusakan langsung pada DNA dan ikatan dengan


(57)

asam amino aromatik. Hal ini mengakibatkan provokasi radikal bebas dan penurunan antioksidan kulit, dan merusak kemampuan kulit untuk melindungi diri dari radikal bebas. Interaksi tidak langsung UVB menyebabkan ROS melalui fotosensitisasi yang akan merubah elektron pada kromosfor, menjadi singlet elektron sehingga terjadi produksi radikal bebas. Fotosensitisasi juga memproduksi superoksida anion yang diikuti oleh dismutase ke hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida dengan bantuan kation logam (Fe dan Cu) akan menghasilkan gugus hidroksil yang bersifat radikal bebas. Hidrogen peroksida membentuk ikatan ROS lain dengan cepat seperti radikal hidroksil, hal ini menyebabkan oksidasi komponen sel yaitu DNA, protein, membran sel dan mengaktivasi jalur seluler (Taylor, 2005; Svobodova et al., 2006).

Pendapat lain mengemukakan terbentuknya hidrogen peroksida setelah paparan UV jelas terlihat dari fotokimia terbentuknya ROS. Hidrogen peroksida kemudian dengan cepat membentuk ROS lain, seperti radikal hidroksil. Keratinosit menunjukan terbentuknya NADPH oksidase, yang mengkatalisasi reduksi molekul oksigen menjadi anion superoksid. Hidrogen peroksida dan anion superoksid kemudian mengakibatkan oksidasi komponen sel yaitu DNA, protein, dan membran sel dan mengaktivasi jalur seluler sehingga menyebabkan stress oksidatif yang merupakan penyebab photoaging (Fisher et al., 2002).

Paparan sinar UV yang mengenai kulit menyebabkan timbulnya radikal bebas khususnya anion superoksida dan hidrogen peroksida. Melalui reaksi Haber-Weis dan Fenton akan membentuk radikal hidroksil. Senyawa ini dikenal sebagai Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat menurunkan kadar antioksidan


(58)

37

enzimatis dan non enzimatis dalam kulit serta merusak membran sel dan DNA (Kregel dan Zhang, 2007). ROS memiliki peranan penting terhadap sinyal transduksi yang dimediasi oleh MAP-kinase yang kemudian menginduksi faktor transkripsi AP-1 pada fibroblas. Pajanan sinar UVB juga mengakibatkan penurunan ekspresi dari TGF-b2, anggota dari kelompok TGF-b. TGF-b berfungsi memacu pembentukan kolagen, sehingga penurunan dari TGF-b menyebabkan penurunan produksi kolagen. Penelitian menunjukan terjadi penurunan sintesis kolagen dalam 8 jam setelah paparan UV.

ROS yang dihasilkan oleh radiasi sinar UV mengaktifkan jalur seluler yaitu reseptor sel epidermal growth factor (EGF), interleukin (IL)-1, keratinocyte growth factor dan tumor necrosis factor (TNF)-α yang terdapat pada sel keratinosit dan fibroblas. Pengaktifan reseptor dimediasi oleh enzim protein-tyrosine phosphatase-K, yang berfungsi menginaktivasi reseptor EGF, akibatnya reseptor tersebut akan meningkat. AP-1 merupakan MMP promoter, yang akan mengontrol transkripsi matriks metalloproteinase. MMP-1 merupakan metalloproteinase utama yang bertanggung jawab terhadap terjadinya degradasi kolagen. AP-1 terdiri dari 2 sub unit yaitu c-Fos yang selalu terekspresikan dan c-Jun yang diinduksi oleh UV. Ekspresi yang berlebihan dari komponen c-Jun ini dapat mengurangi ekspresi kolagen tipe 1 (Rabe et al., 2006). Aktivasi reseptor mengaktifkan MAP kinase dan C-Jun amino terminal kinase (JNK). Aktivasi dari kinase mengaktifkan transkripsi kompleks activator protein-1 (AP-1), membentuk C-Jun dan C-Fos. (Taylor, 2005; Yaar dan Gilchrest, 2007).


(1)

proteoglikan, mampu mengikat berbagai protein, termasuk protein ECM terutama kolagen tipe 1.

Fungsi proteoglikan sebagai lubrikan, penyerap, molekul penyaring, dan pertukaran ion. Proteoglikan utama kulit yaitu heparan sulfat dan dermatan sulfat yang keduanya berfungsi sebagai faktor pertumbuhan fibroblas, hepatosit, dan endotel vaskular. Faktor pertumbuhan ini dapat menginduksi penyembuhan luka, mempengaruhi proses perbaikan luka oleh keratinosit pertumbuhan fibroblas dan angiogenesis.

Glikosaminoglikan dan proteoglikan dianalisis dengan pemeriksaan imunohistokimia, pewarnaan 4,6-diamidino-2-fenillindol (DAPI), diperiksa menggunakan scanning confocal inverted microscopedan gambar dianalisis dengan LSM Image Browser 3.2 software Zeiss Jerman (Gesteira et al., 2011). Pada proses penuaan, akan terjadi perubahan yang bermakna dalam komposisi GAG dikulit menyebabkan terjadinya penurunan asam hialuronat yang akan mengakibatkan penurunan turgor kulit. Defisiensi GAG juga diduga dapat menjadi faktor manifestasi patogenik bagi kulit, seperti Ehler-Danlos syndrome yang merupakan suatu penyakit herediter dimana mempengaruhi jaringan ikat kulit dengan gejala seperti mudah memar, hiperelastisitas, fragilitas kulit, bekas luka melebar, kulit kendur (Li et al., 2013).

2.5.3 Pengaruh Glikosaminoglikan Terhadap Kolagen

Bahan aktif yang diaplikasikan pada permukaan kulit photoaging akan diserap ke lapisan stratum korneum melalui ruang antar sel pada lapisan lipid


(2)

yang mengelilingi sel korneosit dan difusi berlangsung di matriks lipid protein pada stratum korneum. Setelah berhasil menembus stratum korneum bahan aktif akan menembus lapisan epidermis sehat di bawahnya sampai pada kapiler di bawah stratum basal epidermis selanjutnya melalui celah folikel rambut dan juga kelenjar sebasea untuk kemudian berdifusi ke kapiler.

Glikosaminoglikan yang heterogen berperan sebagai pemberi kode informasi spesifik dalam setiap proses yang terjadi di dalam extracellular matrix. Heparan sulfat yang merupakan glikosaminoglikan mengikat ligand ekstraselular dan membantu interaksi dengan reseptor di permukaan sel. Matriks proteoglikan sangat penting untuk respon sel terhadap extracellular growth factor. Proteoglikan, faktor pertumbuhan, dan reseptor spesifik harus ada pada setiap permukaan sel agar faktor pertumbuhan dapat mengaktifasi sel. Fibroblast growth factor (FGF) yang merupakan protein ekstraselular berfungsi sebagai sinyal untuk menstimulus pembelahan sel. FGF akan terikat dengan heparan sulfat pada sydecan, kemudian membawa ke reseptor FGF pada membran plasma yang akan memicu pembelahan sel. Proses ini sangat berpengaruh terhadap sintesis kolagen dermis (Ornitz dan Itoh, 2001). Sedangkan bagian kecil dari proteoglikan seperti decorin dan fibromodulin berikatan dengan serat kolagen yang akan mengintervensi Fibrillogenesis dengan mengatur ukuran dan diameter serat kolagen. Jaringan molekul yang sangat terorganisir ini menentukan ukuran, diameter dan jarak dari serat kolagen, serta menjaga kohesi dan ketahanan kolagen (Mitrovic, 2004).


(3)

2.6 Krim

Menurut formularium nasional, krim adalah sediaan setengah padat, berupa emulsi kental mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar. Secara tradisional istilah krim digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair di formulasi sebagai emulsi air dalam minyak (a/m) atau minyak dalam air (m/a) (Allisa et al., 2011).

Basis krim menurut US Pharmacopeia (USP) dibagi menjadi empat kelompok besar menurut komposisi dan karakteristik fisik, yaitu: (Mahalingam, et al., 2008). 1. Basis hidrokarbon, terbuat dari materi lemak. Hidrokarbon merupakan bahan pelembut, pelindung serta bertahan dikulit dalam jangka waktu lama. Bahan dasar hidrokarbon sukar digabungkan dengan air, namun bahan tepung dapat digabungkan kedalam bahan dasar ini dengan bantuan cairan petrolatum. Bahan dasar hidrokarbon sulit dihapus dari kulit sulit karena sifat alamiahnya yang berminyak. Contoh bahan dasar hidrokarbon yaitu, Petrolatum USP, salep kuning USP dan salep putih USP.

2. Basis absorbsi, mengandung sedikit air. Basis absorbsi memiliki bahan pelembut yang relatif lebih sedikit daripada bahan dasar hidrokarbon. Bahan dasar absorpsi sulit untuk dihapus dari kulit karena sifat alamiahnya yang hidrofobik. Contoh bahan dasar absorbs yaitu hidrofilik petrolatum USP dan lanolin USP. 3. Basis salep tercuci air, pada dasarnya adalah larutan minyak dalam air. Basis salep tercuci air, berbeda dengan bahan dasar hidrokarbon dan absorpsi, sejumlah besar air dapat digabungkan kedalam bahan dasar tercuci air dengan bantuan agen pengemulsi yang sesuai. Basis ini mudah terhapus dari kulit karena sifat


(4)

alamiahnya yang hidrofilik. Contohnya adalah salep hidrofilik USP.

4. Basis larut dalam air, berbeda dengan basis salep lainnya, basis yang larut dalam air disebut sebagai greaseless karena tidak mengandung bahan berlemak. Larutan air tidak efektif bila dicampurkan dengan basis ini karena sifat basis yang mudah melunak dengan penambahan air. Bahan padat dapat dengan mudah digabungkan kedalam bahan dasar ini. Basis larut dalam air dapat dihapus dengan sempurna dari kulit karena sifat larut dalam airnya.

2.7 Tikus (Rattus norvegicus) Galur Wistar

Mamalia kecil menjadi pilihan untuk berbagai penelitian karena mempunyai beberapa keuntungan, yaitu tidak mahal, mudah didapat, hanya membutuhkan sedikit ruang, makan, dan minum, mudah dalam pemeliharaan, dan dapat diubah secara genetik, memiliki persamaan struktur organ dengan manusia, selain itu bulu pendek dan tidak tebal yang dimiliki oleh tikus Wistar memudahkan penelitian yang menggunakan jaringan kulit sebagai sampel penelitian. Hewan kecil biasanya mempunyai cara mempercepat penyembuhan dibandingkan manusia, dengan jangka waktu beberapa hari, sedangkan pada manusia dalam beberapa minggu atau bulan (Birke, 2014). Usia 2-3 bulan pada tikus ini memiliki persamaan dengan usia manusia dewasa dan belum mengalami penuaan intrinsik (Bhattacharya dan Thomas, 2004; Bartke, 2005). Pemilihan jenis kelamin jantan pada penelitian mempengaruhi penelitian agar tidak terpengaruhi siklus estrus dan kehamilan (hormonal).


(5)

yaitu harus jelas fisiologinya, bebas dari penyakit, didapat dari Breeding Centre yang baik atau dibiakkan sendiri. Etika terhadap hewan percobaan juga harus diperhatikan berdasarkan pada hasil lokakarya Pembentukan Panitia Etik Penelitian Kedokteran tahun 1986. Salah satu butir dalam etika tersebut disebutkan bahwa bila percobaan menimbulkan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa nyeri atau penderitaan ringan dalam waktu singkat, harus dilakukan dengan premedikasi yang memadai dan dibawah anesthesia sesuai dengan praktik kedokteran hewan yang lazim. Kemudian pada butir yang lain disebutkan bahwa pada akhir percobaan, hewan yang akan menanggung nyeri hebat atau kronik penderitaan, rasa tidak enak, cacat yang tidak dapat disembuhkan, harus dibunuh dengan cara yang layak (Darmono, 2011).

Persentase penggunaan hewan percobaan pada penelitian secara invivo adalah sebagai berikut: tikus (80%), mencit (11%), kelinci dan babi (4%), dan ayam (1%) (Birke, 2014). Bulu tikus yang tidak tebal mempunyai beberapa keuntungan dalam penelitian yang menggunakan model perlukaan pada epidermis. Pertama, epidermis yang tidak tertutup bulu tebal mengganggu pemisahan epidermis dari dermis; kedua, ukuran dari bulu tikus yang tidak tebal membuat model yang ideal untuk penilaian efek dari bahan farmakologi pada proses penyembuhan luka (Choi et al., 2001).

Tikus jarang berkelahi seperti mencit jantan, dapat tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat mendengar dan melihat tikus lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Pemeliharaan dan makanan tikus lebih mahal daripada mencit, tetapi karena


(6)

hewan ini lebih besar daripada mencit untuk beberapa macam percobaan tikus lebih menguntungkan (Fatchiyah, 2013).

Klasifikasi dari Tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar adalah (Keith, 2010) : Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mammalia Order : Rodentia Family : Muridae Genus : Rattus Species : norvegicus

Tikus termasuk dalam genus Rattus dengan spesies Rattus rattus dan Rattus norvegicus. Tikus yang sering digunakan sebagai tikus laboratorium adalah Rattus norvegicus karena tubuhnya yang lebih besar dari pada Rattus rattus (Keith, 2010).

Rattus norvegicus yang sering dipakai dalam penelitian adalah strain Wistar dan Spargue Dawley yang merupakan tikus albino. Tikus strain Wistar memiliki ciri – ciri kepala lebar, telinga panjang dan memiliki ekor panjang kurang dari panjang tubuhnya, sedangkan strain Sprague Dawley memiliki ekor untuk meningkatkan rasio panjang tubuh dibandingkan dengan tikus Wistar (Keith, 2010).


Dokumen yang terkait

PENGARUH LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TOPIKAL TERHADAP KECEPATAN PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT IIA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR

1 6 29

EFEKTIFITAS PEMBERIAN GEL LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) SECARA TOPIKAL TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) MELALUI PENGAMATAN MAKROSKOPIS

0 4 56

PERBEDAAN EFEK PEMBERIAN LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) DAN GEL BIOPLACENTON™ TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA BERSIH PADA TIKUS PUTIH

3 10 56

EFEK PENYEMBUHAN LUKA BAKAR OLEH LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) PADA KULIT PUNGGUNG KELINCI JANTAN EFEK PENYEMBUHAN LUKA BAKAR OLEH LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) PADA KULIT PUNGGUNG KELINCI JANTAN.

0 0 16

IMPLANTASI BENANG POLYDIOXANONE (PDO) DI LAPISAN DERMIS MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus) YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B.

0 0 48

PEMBERIAN KRIM EKSTRAK BUAH TOMAT (Solanum lycopersicum) DAPAT MENCEGAH MENURUNAN JUMLAH KOLAGEN DERMIS PADA TIKUS (Rattus norvegicus) WISTAR JANTAN YANG DIPAPAR SINAR ULTRAVIOLET B.

1 4 16

Pengaruh Lendir Bekicot (Achatina fulica) terhadap Jumlah Sel Fibroblas pada Penyembuhan Luka Sayat

0 0 9

Pemberian Krim Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis) Dapat Mencegah Penurunan Jumlah Kolagen Dermis dan Peningkatan Kadar Matriks Metalloproteinase-1 pada Mencit Balb -C Yang Dipapar Sinar Ultraviolet B

0 0 7

Pemberian Krim Ekstrak Metanolik Buah Delima Merah (Punica granatum) Menghambat Penurunan Jumlah Kolagen Dermis Kulit Mencit (Mus gusculus) Yang Dipapar Sinar Ultraviolet B

0 3 9

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS LENDIR BEKICOT(Achatina fulica) DENGAN KITOSAN TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA

0 0 7