IMPLANTASI BENANG POLYDIOXANONE (PDO) DI LAPISAN DERMIS MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus) YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B.
TESIS
IMPLANTASI BENANG POLYDIOXANONE (PDO)
DI LAPISAN DERMIS MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH
KOLAGEN PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus)
YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B
DEBY INTAN SEPTIADERY
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
(2)
TESIS
IMPLANTASI BENANG POLYDIOXANONE (PDO)
DI LAPISAN DERMIS MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH
KOLAGEN PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus)
YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B
DEBY INTAN SEPTIADERY NIM 1490761040
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(3)
IMPLANTASI BENANG POLYDIOXANONE (PDO)
DI LAPISAN DERMIS MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH
KOLAGEN PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus)
YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
DEBY INTAN SEPTIADERY NIM 1490761040
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(4)
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
SEMINAR HASIL INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : ……….
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
Prof.Dr.dr.Wimpie L.Pangkahila,Sp.And,FAACS Dr.dr.AAGP Wiraguna Sp.KK(K),FINSDV,FAADV NIP. 194612131971071001 NIP. 195609121984121001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, Msc, Sp.GK NIP. 195805211985031002
(5)
LEMBAR PENETAPAN PENGUJI
Seminar Hasil Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana
Pada Tanggal ………
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No : ……….
Tanggal ………
Panitia Penguji Usulan Penelitian Tesis adalah:
1. Prof. Dr. dr. Wimpie L. Pangkahila, Sp. And, FAACS 2. Dr.dr. AAGP Wiraguna Sp.KK(K), FINSDV, FAADV 3. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And
4. Prof. Dr. IGM. Aman, Sp.FK
(6)
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Deby Intan Septiadery NIM : 1290761017
Program Studi : Magister Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine Judul Tesis :
IMPLANTASI BENANG POLYDIOXANONE (PDO)
DI LAPISAN DERMIS MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH
KOLAGEN PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus)
YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis/Disertasi* ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 11 Mei 2016
Yang membuat Pernyataan
(7)
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadiran Tuhan YME, karena rahmat dan karunia-Nya penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul “Implantasi Benang Polydioxanone (PDO) di Lapisan Dermis Menghambat Penurunan Jumlah Kolagen pada Tikus Galur Wistar (Rattus norvegicus) yang Dipapar Sinar Ultra Violet-B” dapat berjalan lancar sesuai waktu yang direncanakan.
Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan tugas akhir belajar untuk meraih gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, kekhususan Anti-Aging Medicine Program Pascasarjana Universitas Udayana. Dengan selesainya laporan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat serta penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar besarnya kepada Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, SpPD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana yang telah memberikan fasilitas pendidikan dan kesempatan kepada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Ucapan yang sama ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A. A Raka Sudewi, SpS(K) sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Made Budhiarsa, MA selaku Asdir I dan Prof. Dr. Made Sudiana Mahendra, PhD selaku Asdir II atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa di Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila SpAnd. FAACS, sebagai pembimbing I yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti program magister , khususnya dalam penyelesaian tesis ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna,SpKK(K),FINSDV,FAADV sebagai pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan saran dengan penuh perhatian dan kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK, Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp., Dr. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes. selaku penguji yang secara teliti mengkoreksi tesis ini dan memberikan masukan yang positif baik saat akan mulai penelitian sampai penulisan, untuk lebih menyempurnakan laporan ini.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. I.Gusti Kamasan Nyoman Arijana, M.si.Med dan seluruh staf laboratorium di histologi yang membimbing, memberi saran, masukan sehubungan pelaksanaan pemeriksaan histologi laboratrium serta analisanya sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar.
Tak lupa penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Drs. I Ketut Tunas, Msi yang sangat banyak membantu terutama memberikan masukan, saran, terutama dalam analisa statistik sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
(8)
Tidak lupa penulis ucapkan kepada Bapak I Gede Wiranata yang selalu menyumbang pikiran positif serta memberi bantuan tanpa kenal lelah dari saat pemeliharaan tikus, melakukan biopsi sampai pengiriman hasil biopsi sehingga penelitian berjalan lancar. Ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya juga saya sampaikan kepada Para dosen dan pengajar Ilmu Biomedik FK UNUD, dan seluruh karyawan bagian Ilmu Biomedik serta semua pihak yang telah membantu selama pendidikan, penelitian dan penulisan tesis ini, dengan rendah hati saya ucapkan beribu terimakasih.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Ayahanda Herryanto dan Ibunda Daisy Tabaluyan yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, menanamkan nilai-nilai luhur, sehingga tercipta suasana yang baik untuk berkembangnya intelektualitas, kreativitas dan kejujuran. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak mertua Paulus dan Ibu mertua Alice atas dorongan dan dukungannya kepada penulis dalam menempuh pendidikan ini. Serta tak lupa kepada kakak-kakak dan adik-adik atas doa dan dukungannya selama ini.
Akhirnya penulis sampaikan kepada suami tercinta Jeffry Andrean yang dengan penuh pengertian dan kesabaran selalu mendampingi penulis selama ini, serta anakku tersayang James Ersten Andrean yang dengan kelucuannya bisa membuat penulis bersemangat menyelesaikan naskah tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman di Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, kekhususan Anti-Aging Medicine
Program Pascasarjana Universitas Udayana, khususnya teman-teman angkatan IX, atas motivasi, semangat dan kebersamaannya.
Kekurangan adalah milik manusia, kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Saran dari berbagai pihak akan penulis terima dengan hati terbuka untuk kelengkapan dan lebih baiknya laporan tesis ini. Semoga semua yang baik dari segala penjuru bersatu di dalam hati kita semua.
Akhir kata, semoga Allah Yang Maha Kuasa, senantiasa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada kita semua, Amin.
Denpasar, 11 Mei 2016
(9)
ABSTRAK
IMPLANTASI BENANG POLYDIOXANONE (PDO)
DI LAPISAN DERMIS MENGHAMBAT PENURUNAN JUMLAH
KOLAGEN PADA TIKUS GALUR WISTAR (Rattus norvegicus)
YANG DIPAPAR SINAR ULTRA VIOLET-B
Faktor – faktor yang menyebabkan penuaan dapat dikelompokan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Penuaan ekstrinsik yang paling utama disebabkan oleh paparan sinar UV atau disebut photoaging. Kolagen yang terpapar berulang oleh sinar UVB akan mengalami degradasi dan penghambatan pertumbuhan prokolagen. Benang PDO dapat mempengaruhi kolagenisasi dengan cara indirek, yaitu dengan adanya benang PDO di lapisan dermis akan memberikan stimulus biologis pada kulit sehingga merangsang peningkatan kolagen tipe I dan tipe III oleh fibroblas. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan efektivitas implantasi benang PDO di lapisan dermis dalam menghambat penurunan jumlah kolagen pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang dipapar sinar UV-B.
Penelitian ini adalah merupakan animal experimental dengan post test only control group design. Sebanyak 36 ekor tikus dibagi menjadi 2 kelompok yang masing-masing terdiri dari 18 ekor tikus, yaitu kelompok kontrol ditusuk jarum dan kelompok perlakuan diimplantasi benang PDO. Semua kelompok dipapar sinar UV- B dengan dosis total 840 mJ/cm² selama 4 minggu, kemudian dilakukan biopsi untuk pemeriksaan jumlah kolagen dermis.
Hasil Uji Shapiro-Wilk dan Levene’test menunjukkan bahwa distribusi data kedua kelompok berdistribusi normal dan varian-nya homogen dengan p ≥ 0,05. Hasil analisis komparatif kedua kelompok dengan menggunakan t-independent test
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara bermakna jumlah kolagen kedua kelompok dengan p < 0,05. Rerata jumlah kolagen kelompok 1 yaitu 59,80 ± 5,55, kelompok 2 sebesar 71,41 ± 6,06. Hasil uji perbandingan menunjukan bahwa nilai t = -5.997 memiliki nilai p=0,000. . Hal ini berarti bahwa rerata kolagen pada kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
Simpulan penelitian adalah implantasi benang PDO di lapisan dermis menghambat penurunan jumlah kolagen pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang dipapar sinar UV-B.
(10)
ABSTRACT
IMPLANTATION OF POLYDIOXANONE (PDO) THREADS AT
DERMIS INHIBIT THE DECLINE OF COLLAGEN AMOUNT
ON WISTAR RATS (Rattus norvegicus) EXPOSED TO ULTRA
VIOLET-B RAYS
Factors that cause aging can be classified into internal factors and external factors. The most important extrinsic aging caused by UV exposure or called photo aging. Collagen exposed repeatedly by UVB rays will be degraded and inhibit the growth of pro collagen. PDO threads can affect collagenation with indirect way, that is the presence of PDO thread in the dermis layer will provide the biological stimulus to the skin, which stimulates an increase in collagen type I and type III by fibroblasts. The purpose of this study to prove the effectiveness of the PDO thread implantation in the dermis layer to inhibit the decrease in the amount of collagen in Wistar rats (Rattus norvegicus) who were exposed to UV-B .
This study was an animal experimental with post test only control group design. A total of 36 rats were divided into two groups, each consisting of 18 mices, the control group was stabbed by needle and the treatment group was stabbed by needle with PDO thread to implanted the PDO thread. All groups were exposed to UV- B with a total dose of 840 mJ/cm² for 4 weeks, then a biopsy was performed for examine the amount of collagen dermis .
Shapiro-Wilk test results and Levene' test showed that both groups of data distribution was normal distribution and its variants homogeneous with p ≥ 0.05. The results of the comparative analysis of the two groups using t - independent test showed that there were significantly differences in the amount of collagen both groups with p < 0.05. Average amount of collagen group 1 was 59.80 ± 5.55, group 2 amounted to 71.41 ± 6.06. The test results showed that the ratio of the value t = -5997 has a value of p = 0.000. This means that the average collagen in the two groups after the treatment was significantly different (p < 0.05 )
Conclusion of this research was the implantation of PDO threads in the dermis layer inhibits the decline of collagen amount on Wistar rats (Rattus norvegicus) who were exposed to UV -B .
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM………. . i
PRASYARAT GELAR……… ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………. iii LEMBAR PENETAPAN PENGUJI ………... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………. v
UCAPAN TERIMA KASIH……… vi
ABSTRAK (BAHASA)………... viii
ABSTRACT (ENGLISH)………... ix
DAFTAR ISI ………. x
DAFTAR GAMBAR ………. xiii
DAFTAR TABEL ……….. xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG……….. xv
BAB I PENDAHULUAN ………...…. 1
1.1. Latar belakang ……… 1
1.2. Rumusan Masalah ……….. 4
1.3. Tujuan Penelitian ……… 4
1.4. Manfaat Penelitian ……….. 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA ………. . 5
2.1. Proses Penuaan ……… 5
2.1.1. Teori Penuaan ………... 5
2.1.2. Gejala Klinis Penuaan ……… 9
2.2. Kulit ……….. 10
2.2.1. Anatomi Kulit ……… 10
2.2.2. Penuaan Kulit ……… 16
2.3. Sinar Ultra Violet dan Efeknya Terhadap Kulit ……… 17
(12)
2.3.2. Efek Kronis Sinar Ultra Violet ……… 19
2.4. Benang Polydioxanone (PDO) ……… 21
2.5 Mekanisme Benang PDO Menghambat Penurunan Kolagen…… 26
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 31
3.1. Kerangka Berpikir ……… 31
3.2. Konsep Penelitian ………. 33
3.3. Hipotesis Penelitian ……….. 33
BAB IV METODE PENELITIAN ………...……… 34
4.1. Rancangan Penelitian ……….……… 34
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian……….. 35
4.3. Populasi dan Sampel ……….. 35
4.3.1. Populasi ……… 35
4.3.2. Sampel……….. 35
4.3.2.1. Kriteria Sampel……….. 35
4.3.2.2. Besar Sampel dan Teknik Penentuan Sampel…… 36
4.4. Variabel Penelitian………...… 37
4.4.1. Klasifikasi Variabel………..… 37
4.4.2. Hubungan Antar Variabel………... 38
4.4.3. Definisi Operasional Variabel ……… 38
4.5. Alat, Bahan Penelitian dan Hewan Percobaan ……… 40
4.5.1. Alat Penelitian……….. 40
4.5.2. Bahan Penelitian……… 40
4.5.3. Hewan Percobaan………. 41
4.6. Prosedur Penelitian ……….. 41
4.7. Alur Penelitian……….. 45
4.8. Analisis Data……… 46
BAB V HASIL PENELITIAN……… 47
5.1. Gambaran Histopatologis Kulit Tikus Wistar Setelah Perlakuan … ... 48 5.2. Uji Statistik………... 49
5.2.1. Uji Deskriptif………. 49
5.2.2. Uji Normalitas Data……….. 49
5.2.3. Uji Homogenitas Data……….…………..………… 50
(13)
BAB VI PEMBAHASAN………... 52
6.1. Subyek Penelitian ... 52
6.2. Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian ... 53
6.3. Pengaruh Implantasi Benang PDO... 53
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN…….. ... 55
7.1. Simpulan ... 55
7.2. Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 56
Lampiran 1 : Ethical Clearance ... 60
Lampiran 2 : Analisa Statistika ... 61
Lampiran 3 : Histologi FK UNUD ……….. 62
(14)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1. Anatomi Kulit yang Mengalami Penuaan ………..……….. 10
2.2. Skema Proses Pembentukan Kolagen………. 15
2.3. Efek Sinar UltraViolet Terhadap Kulit………... 18
2.4. Mekanisme Terjadinya Photoaging……… 20
2.5. Sintesis PDO ……….. 22
2.6. Benang PDO berbentuk V ………. 24
2.7. Berbagai Tipe Benang PDO ………. . 25
2.8. Metode implantasi benang PDO………. 25
2.9. Pewarnaan HE………. 26
2.10. Skema Mekanisme Perlukaan ……… 29
2.11. Skema Mekanisme Implant PDO ………... 30
3.1. Kerangka Konsep Penelitian……….. 33
4.1. Rancangan Penelitian………. 34
4.2. Hubungan Antar Variabel……….. 38
4.3. Alur Penelitian……… 45
5. 1. Jumlah kolagen pada Jaringan Dermis Tikus………... 48
(15)
DAFTAR TABEL
Halaman
5.1. Hasil Uji Deskriptif Rerata Jumlah Kolagen……….……….….. 49
5.2. Hasil Uji Normalitas Data Kolagen Setelah Perlakuan……… 49
5.3. Homogenitas Data Kolagen Antar Kelompok Perlakuan……….… 50
(16)
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
A4M : American Academy of Anti Aging MedicineAAM : Anti Aging Medicine
AP-1 : Activator Protein
BPS : Badan Pusat Statistik
CIE : Commision Internationale d l’Eclairage
Ca : Kalsium
cDNA : Complementary Deoxyribonucleic Acid
Cu : kuprum
CoQ10 : koenzim Q10
DNA : Deoxyribonucleic acid
deg. : Degeneratif
et al : dan kawan-kawan
ELISA : Enzym-linked Immunosorbent Assay
ECM : Extra Cellular Matrix
EPA : Eikosapentanoeat Acid
fe : ferrum
g : gram
GH : Growth Hormon
HCl : Asam Klorida
HRD-Avidin : Horseradish peroxidase-conjugated avidin
IL-1 : Interleukin-1
Kj : Kilo Joule
MED : Minimal Erythema Dose
mJ/cm² : mili Joule per sentimeter persegi MMP : Matrix Metalloproteinase
MMPs : Matrix Metalloproteinases
(17)
MMP-14 : Matrix Metalloproteinase-14
MMP-15 : Matrix Metalloproteinase-15
MMP-16 : Matrix Metalloproteinase-16
mRNA : Messenger Ribonucleic Acid
NF-κβ : Nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells
O2 : Oksigen
P : Fosfor
PCI : Percutaneous Collagen Induction
PDO : Polydioxanone
pH : Pangkat Hidrogen ROS : Reactive Oxygen Species
s.d. : Sampai dengan
SOD : Superoxide Dismutase
SPSS : Statistical Package for the Social Science
TβRII : TGF-β type II receptor
TGF-β : Transforming Growth Factor-beta
TL : Tubular Lamp
TMB : Tetramethylbenzidine
TNF-α : Tumor Necrosing Factor-alfa
UV : Ultraviolet
UV-A : Ultraviolet A UV-B : Ultraviolet B UV-C : Ultraviolet C Q10 : Koenzim 10
α : alfa
(18)
(19)
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah penuaan kini telah mendapat perhatian khusus di ilmu Kedokteran. Konsep Anti Aging Medicine yang dicetuskan pada tahun 1993, mengganggap dan memperlakukan penuaan seperti penyakit sehingga dapat dicegah, dihindari dan diobati agar dapat kembali ke keadaan semula. Kata anti penuaan bukan berarti menghentikan penuaan, tapi memperlambat penuaan dan mencegah penyakit-penyakit yang ditimbulkan karena penuaan untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.
Faktor – faktor yang menyebabkan penuaan dapat dikelompokan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas, berkurangnya hormon, glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal yang utama adalah gaya hidup tidak sehat kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stress dan kemiskinan (Pangkahila, 2011).
Faktor eksternal yang menyebabkan penuaan pada kulit selain kebiasaan merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan dan nutrisi buruk salah satunya adalah paparan sinar ultraviolet (UV) berulang, yang dapat menyebabkan terjadinya
photoaging. Photoaging lebih sering mengenai daerah wajah, dada dan daerah ekstensor lengan. Gambaran klinis yang dijumpai antara lain adalah kulit yang kasar,
(20)
4
kerutan, lesi pigmentasi dan keganasan (Baumann dan Saghari, 2009).
Sinar UV berasal dari sinar matahari. Terdapat beberapa macam sinar UV yaitu sinar UVA yang memiliki panjang gelombang 320 – 400 nm, sinar UVB yang memiliki panjang gelombang 280 – 320 nm dan sinar UVC dengan panjang gelombang 100 – 280 nm. Dari berbagai macam sinar UV yang ada, sinar UVB yang memiliki daya rusak sampai menembus lapisan dermis kulit dan merusak serat – serat kolagen yang ada di dalamnya (Krutmann, 2011).
Penuaan ekstrinsik yang paling utama disebabkan oleh paparan sinar UV atau disebut photoaging. Pada photoaging, kolagen akan mengalami kerusakan dimana kolagen akan mengalami glikasi, yaitu reaksi non enzimatik yang melibatkan penambahan gula pereduksi molekul matriks ekstraseluler kolagen dan protein. Kolagen yang mengalami glikasi akan kehilangan kelenturannya dan tidak dapat mengalami remodeling. Kolagen yang terpapar berulang oleh sinar UVB akan mengalami degradasi dan penghambatan pertumbuhan prokolagen. Degradasi kolagen menjadi tidak lengkap dan terjadi akumulasi fragmentasi kolagen yang mengurangi integritas struktural dermis (Baumann dan Saghari, 2009; Yaar dan Gilchrest, 2007).
Kolagen adalah salah satu protein yang paling banyak pada tubuh manusia. Fungsi kolagen adalah sebagai jaringan yang dapat diregangkan dan menjadikan kulit sebagai pelindung dari trauma luar. Jenis kolagen yang ditemukan pada kulit adalah kolagen tipe I, tipe III, tipe IV, tipe V, tipe VII dan tipe XVII (Baumann dan Saghari, 2009).
(21)
5
Salah satu jenis perawatan yang dikatakan dapat merangsang kolagen adalah ‘tanam benang’. Tanam benang adalah perawatan yang digunakan untuk mendapatkan efek pengencangan kulit dengan cara memasukkan benang polydioxanone (PDO) monofilamen yang sangat tipis dan bisa diserap lagi ke lapisan kulit setelah 180-240 hari. Dengan tingkat keamanan yang tinggi, waktu penyembuhan yang singkat (1-3 hari) dan hasil yang dapat dilihat segera setelah prosedur selesai, metode ini dianggap baik untuk memperbaiki kulit yang kendur (Shimizu dan Terase, 2013).
Prosedur tanam benang menggunakan benang polydioxanone (PDO) yang akan diserap kembali oleh tubuh dan menghasilkan peremajaan sel kulit. Benang PDO adalah material yang telah digunakan di dunia kedokteran selama bertahun-tahun. Selama ini, benang PDO digunakan di berbagai prosedur operasi. Di tahun 2008, seorang dokter Korea melakukan penelitian dengan menggabungkan metode akupunktur dan benang PDO untuk meralaksasikan otot dan tendon. Setelah dua tahun penelitian, metode ini banyak digunakan oleh para dokter di bidang estetika di seluruh dunia. Berdasarkan observasi klinis, ternyata benang PDO dapat merangsang proses neokolagenesis jaringan, yang merangsang pembentukan kolagen baru. Sebagai tambahan, aktivasi fibroblast juga menghasilkan stimulasi terhadap sintesis elastin. Juga didapatkan hasil benang PDO dapat menyebabkan sintesis dari asam hyaluronat (Mercik, 2013).
(22)
6
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dibuat rumusan masalah seperti berikut : Apakah implantasi benang PDO di lapisan dermis dapat menghambat penurunan jumlah kolagen pada kulit tikus Wistar yang dipapar sinar ultraviolet B? 1.3 TUJUAN PENELITIAN
Membuktikan implantasi benang PDO di lapisan dermis dapat menghambat penurunan jumlah kolagen pada kulit tikus Wistar yang dipapar sinar UVB.
1.4 MANFAAT PENELITIAN 1.4.1. Manfaat Keilmuan
Memberi informasi ilmiah tentang efek metode implantasi benang PDO di lapisan dermis untuk menghambat penurunan kolagen dermis akibat paparan sinar UVB. 1.4.2. Manfaat Praktis
Memberi informasi pada masyarakat tentang efek metode implantasi benang PDO yang dapat memberikan perlindungan pada kulit dari pengaruh kerusakan oleh sinar UVB.
(23)
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Proses Penuaan
2.1.1 Teori Penuaan
Penuaan merupakan proses normal yang akan terjadi pada setiap manusia. Pada tahun 1993, Anti Aging Medicine (AAM) telah memberikan konsep baru pada dunia kedokteran, yaitu memperlakukan penuaan seperti penyakit, sehingga dapat dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke kondisi semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih baik (Pangkahila, 2011).
Proses penuaan dapat dijelaskan dengan beberapa teori, yaitu teori wear and tear dan teori program. Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan berbagai aktivitas tubuh dapat menyebabkan kerusakan DNA, glikosilasi dan radikal bebas, sehingga sel-sel menjadi rusak, tubuh melemah dan akhirnya meninggal. Sedangkan, teori program menganggap tubuh memiliki jam biologis, teori ini meliputi terbatasnya replikasi, proses imun dan neuroendocrine theory (Pangkahila, 2011). 1. Teori wear and tear
Teori ini menyatakan berbagai aktivitas tubuh dapat menyebabkan kerusakan DNA, glikosilasi dan radikal bebas, sehingga sel-sel menjadi rusak, tubuh melemah dan akhirnya meninggal. Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit serta organ lainnya fungsinya menurun karena toksin
(24)
7
di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi banyak lemak, gula, kafein, alkohol dan nikotin. Selain beberapa faktor diatas, sinar ultraviolet dan stress fisik serta emosional juga dianggap sebagai penyebab terjadinya kerusakan organ yang menyebabkan penuaan. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi pada tingkat sel (Pangkahila, 2011).
Yang termasuk ke dalam teori wear and tear ini adalah kerusakan DNA, glikosilasi dan teori radikal bebas Pada usia muda sistem pemeliharaan dan perbaikan tubuh mampu melakukan kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan yang terjadi, namun pada usia tua tubuh kehilangan kemampuan untuk memperbaiki kerusakan karena penyebab apapun. Teori ini meyakinkan bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan proses penuaan (Pangkahila, 2011).
1.1 Teori Kerusakan DNA
Teori ini mengemukakan bahwa kerusakan DNA terjadi karena kerusakan molekul yang terus menerus dan menumpuk dalam waktu lama sehingga proses penyembuhan menjadi tidak sempurna. Bila kerusakan molekul ini mencapai taraf yang berat maka terjadilah kerusakan DNA. Dikatakan bahwa keseimbangan antara kerusakan DNA dan keberhasilan penyembuhan DNA yang menentukan rentang usia seseorang (Pangkahila, 2011).
1.2 Glikosilasi
Glikosilasi terjadi saat molekul-molekul gula yang melayang dalam darah berikatan dengan molekul protein di permukaan sel sehingga molekul-molekul
(25)
8
tersebut kehilangan fungsinya. Glikosilasi berkaitan erat dengan diabetes melitus tipe 2. Diabetes sering dianggap sebagai model biologik proses penuaan dini karena penderita diabetes mengalami proses patologik yang lebih awal sehingga usia harapan hidup pada penderita diabetes lebih pendek (Pangkahila, 2011).
1.3 Teori Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan suatu molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas yang tinggi, karena kemampuannya untuk menarik elektron sehingga mengubah suatu molekul menjadi radikal bebas karena hilangnya satu elektron pada molekul lain. Reaksi ini dapat menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak dan protein. Pertambahan usia mengakibatkan akumulasi sel yang rusak akibat radikal bebas, sehingga dapat merusak sel dan merangsang terjadinya mutasi sel yang akhirnya menyebabkan kanker dan kematian (Goldman dan Klatz, 2007).
2. Teori Program
Teori ini beranggapan bahwa tubuh manusia menjalani suatu proses yang terprogram, mulai dari proses konsepsi kemudian menjadi embrio, janin, masa bayi, anak – anak, remaja, dewasa sampai menjadi tua dan meninggal. Yang termasuk ke dalam teori program ini adalah teori terbatasnya replikasi sel, proses imun dan teori
(26)
9
2.1. Teori Terbatasnya Replikasi Sel
Telomere adalah struktur khusus yang terdapat di bagian ujung chromosome strands, berfungsi menentukan rentang usia sel dan pada akhirnya rentang usia organisme itu sendiri (Hayflick, 1998).
Pada setiap proses replikasi sel, telomere akan memendek, yang pada suatu saat ketika telomere telah dipakai maka pembelahan sel akan berhenti (Pangkahila, 2011).
2.2 Proses Imun
Teori ini menyatakan bahwa pada siklus kehidupan akan terjadi involusi pada kelenjar timus. Kelenjar ini adalah sumber dari sel T yang berperan penting pada sistem imun. Pada penuaan, jumlah sel T tidak berkurang secara drastis namun terjadi penuruan pada fungsinya (Pangkahila, 2011).
2.3 Teori Neuroendocrine
Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh pada usia muda, namun seiring dengan bertambahnya usia, akan terjadi penurunan produksi hormon, yang pada akhirnya akan mengganggu berbagai sistem tubuh (Goldman dan Klatz, 2007).
(27)
10
2.1.2 Gejala Klinis Penuaan
Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan gejala proses penuaan Proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap (Pangkahila, 2011). 1. Tahap Subklinik (usia 25 – 35 tahun) :
Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA, mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang merasa dan tampak normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Bahkan, umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal.
2. Tahap Transisi (usia 35 – 45 tahun) :
Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung pembuluh darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua.
(28)
11
3. Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas) :
Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen dan hormon tiroid. Terjadi juga penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidak mampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis mulai nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan (Pangkahila, 2011).
2.2 Kulit
2.2.1 Anatomi Kulit
Gambar 2.1 Anatomi Kulit yang mengalami penuaan
(29)
12
Kulit adalah lapisan terluar dan organ terbesar dari tubuh, terhitung sekitar 15% dari total berat badan manusia. Kulit tersusun atas tiga lapisan yaitu epidermis, dermis, dan subkutis. Setiap lapisan memiliki karakteristik dan fungsinya masing – masing (Kanitakis, 2002; Baumann dan Saghari, 2009).
2.2.1.1 Lapisan Epidermis
Epidermis adalah lapisan terluar dari kulit, terdiri dari epitel skuamosa bertingkat yang terutama terdiri dari dua jenis sel yaitu sel keratinosit dan sel dendritik. Epidermis dibagi menjadi empat lapisan sesuai dengan morfologi keratinosit yang tersusun dari dalam ke luar, yaitu lapisan sel basal (stratum basale), lapisan sel skuamosa (stratum spinosum), lapisan sel granular (stratum granulosum), dan lapisan sel cornified (stratum korneum) (Baumann dan Saghari, 2009).
a. Lapisan sel basal
Lapisan sel basal (stratum germinativum), mengandung sel keratinosit yang menempel pada membran dasar dengan sumbu panjang tegak lurus terhadap dermis. Sel basal memiliki peran dalam terjadinya proliferasi sel pada epidermis. Pada stratum basale terdapat ornithine decarboxylase (ODC) yang digunakan sebagai marker aktivitas proliferasi. ODC distimulasi oleh paparan berulang UVB dan diinaktivasi oleh asam retinoat, kortikosteroid dan vitamin D3 (Baumann dan Saghari, 2009).
b. Lapisan sel skuamosa
Lapisan sel skuamosa terdiri dari berbagai sel yang berbeda dalam bentuk, struktur dan sifat tergantung dari lokasinya. Di lapisan bawah terdapat
(30)
13
sel spinosus supra basal yang berbentuk polyhedral dengan inti bulat, sedangkan sel – sel dari lapisan spinosus atas umumnya lebih besar ukurannya dan menjadi datar karena terdorong ke arah permukaan kulit dan mengandung granula lamellar. Pada lapisan ini terdapat cell junction yaitu, desmosom,
adherent junction, tight junction dan gap junction (Baumann dan Saghari, 2009).
c. Stratum Granulosum
Stratum granulosum terdiri dari beberapa sel – sel pipih yang mengandung granul keratohialin dalam sitoplasmanya. Granul keratohialin mengandung profilagrin, lorikrin dan involukrin. Sel – sel ini bertanggung jawab untuk sintesis dan modifikasi protein yang terlibat dalam keratinisasi (Baumann dan Saghari, 2009).
d. Stratum Korneum
Pada stratum korneum terdapat korneosit yang memiliki fungsi sebagai pelindung mekanik untuk epidermis dengan mencegah hilangnya air dan invasi oleh zat – zat asing. Korneosit yang mengandung kadar protein tinggi dan kadar lemak rendah ini dikelilingi oleh matriks ekstraseluler lipid. Sifat fisik dan biokimia dari sel – sel di stratum korneum bervariasi sesuai dengan letaknya. Sel – sel di lapisan tengah memiliki kapasitas untuk mengikat air lebih banyak dibandingkan dengan sel – sel yang berada di lapisan yang lebih di dalam ((Baumann dan Saghari, 2009).
(31)
14
2.2.1.2 Lapisan Dermis
Lapisan dermis terletak antara epidermis dan lemak subkutan. Lapisan dermis menentukan ketebalan kulit dan memiliki peranan penting pada penampilan kosmetik kulit. Ketebalan dermis bervariasi di berbagai bagian tubuh. Di dalam dermis terdapat syaraf, pembuluh darah, kelenjar keringat dan sebagian besar dermis terdiri dari kolagen. Bagian paling atas lapisan dermis yang dekat dengan epidermis disebut dermis pars papilare dan bagian bawah dari lapisan dermis yang dekat dengan lemak subkutan disebut dermis pars retikulare. Pada penuaan, terjadi penurunan ketebalan dan kelembaban pada lapisan dermis (Baumann dan Saghari, 2009).
Pada dermis pars papilare terdapat bundel kolagen yang kecil, kepadatan yang tinggi dan terdapat elemen vaskular. Pada pars retikulare terdapat bundel kolagen yang lebih besar, elastin yang matang, pembuluh darah, saraf, otot, polisebasea, kelenjar apokrin dan ekrin (Baumann dan Saghari, 2009).
Fibroblast adalah jenis sel utama di lapisan dermis. Fibroblast memproduksi kolagen, elastin, protein matriks lainnya, dan enzim seperti kolagenase dan stromelysin. Di dalam dermis juga terdapat sel mast, leukosit polimorfonuklear, limfosit dan makrofag (Baumann dan Saghari, 2009).
a. Kolagen
Kolagen merupakan protein alami terkuat yang terdapat dalam tubuh manusia. Terdapat beberapa tipe kolagen. Kolagen tipe I (80-85%) terdapat di dermis, terdiri dari 2 rantai α yaitu α1 dan α2 yang berguna untuk kelenturan dermis. Jumlah kolagen tipe I terbukti menurun pada kulit yang menua. Kolagen tipe III adalah
(32)
15
bentuk kedua yang paling penting dari kolagen pada dermis, namun memiliki diameter yang lebih kecil dari kolagen tipe I. Kolagen tipe III terdiri dari 3 rantai α, yaitu hidroksiprolin, glisin dan residu sistein. Karena banyak ditemukan pada fetus, kolagen tipe III dikenal juga sebagai fetal kolagen. Kolagen jenis lain yang juga terdapat pada dermis adalah kolagen tipe IV, terdapat pada lamina densa dan terdiri dari rantai α1 dan α2, heterotrimer dan homo polimer. Kolagen tipe V terdiri dari 4 rantai yang berbeda dan terletak pada ubiquitous. Kolagen tipe VII terdiri dari satu rantai α dan memiliki ikatan disulfide dalam rantainya, dan kolagen tipe XVII terletak pada hemidesmosome (Baumann dan Saghari, 2009).
Biosintesis Kolagen
Kolagen adalah protein terbanyak pada serat-serat jaringan ikat kulit, tulang dan kartilago. Kolagen tidak dapat larut dalam air, tetapi mudah dicerna dan mudah larut dalam basa (Padayatty, 2003).
Seperti halnya protein lainnya, kolagen juga mengandung rantai polipeptida. Rantai panjang dari molekul-molekul kolagen mengandung kira-kira seribu residu asam amino, sekitar enam ribu atom. Proses sintesis kolagen dimulai dengan reaksi hidroksilasi, dimana reaksi ini terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1) suatu struktur tiga dimensi terbentuk, dengan asam amino prolin dan glisin sebagai komponen utamanya. Struktur tiga dimensi ini belum menjadi kolagen, tetapi masih berupa prekursornya yaitu prokolagen. (2) Proses konversi ini membutuhkan ion hidroksida (OH-) untuk bereaksi dengan Hidrogen (H+). (3) Reaksi katalisis. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim prolyl-4-hidroksilase dan lisil-hidroksilase (Padayatty, 2003).
(33)
16
Gambar 2.2 Skema Proses Pembentukan Kolagen (Sharma, 2007)
Transkripsi
Translasi
Residu prolil dan lisil
Residu hidroksilisil
Pro-kolagen
Triple helix formation
Sekresi pro-kolagen ke matriks ektrasel
Konversi pro-kolagen menjadi kolagen
Pembentukan kross-link hidroksilasi
Glikosilasi
(34)
17
2.2.1.3. Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis atau hipodermis terletak di bawah dermis, sebagian besar terdiri dari lemak, yang merupakan sumber energi yang penting bagi tubuh. Pada lapisan ini juga terdapat kolagen tipe I, III, dan V. Lapisan subkutis menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda – beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu (Baumann dan Saghari, 2009).
2.2.2 Penuaan kulit
Penuaan kulit terjadi karena proses intrinsik dan ekstrinsik. Penuaan intrinsik mengambarkan latar belakang genetik dari individu dan akibat dari bertambahnya usia kronologis. Penuaan intrinsik pada kulit terjadi karena akumulasi kerusakan endogen akibat dari pembentukan senyawa oksigen relatif selama metabolisme oksidasi seluler. Selain itu penuaan intrinsik pada kulit juga terjadi akibat dari pemendekan telomere pada pembelahan sel, penurunan faktor pertumbuhan dan akibat dari penurunan hormon, dimana menurunnya hormon estrogen dapat mempengaruhi degradasi dari kolagen (Baumann dan Saghari, 2009).
Gambaran klinis penuaan intrinsik antara lain serosis, kelemahan dan kerutan pada kulit serta gambaran tumor jinak seperti keratosis seboroik dan angina buah
cherry. Di bawah mikroskop akan tampak atrofi epidermis, pendataran epidermal rete ridges dan atrofi dermis. Pada penuaan intrinsik terjadi peningkatan rasio jumlah kolagen III terhadap kolagen I (Baumann dan Saghari, 2009).
(35)
18
Sedangkan penuaan ekstrinsik disebabkan oleh faktor eksternal seperti merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan, gizi buruk, dan paparan sinar matahari (Baumann dan Saghari, 2009).
Penuaan ekstrinsik paling utama disebabkan oleh paparan sinar UV atau yang disebut photoaging, sehingga penuaan ekstrinsik paling terlihat pada daerah wajah, dada dan bagian ekstensor dari lengan. Gambaran klinis photoaging antara lain adalah kerutan dan lesi pigmentasi seperti frackles, lentigines, hiperpigmentasi dan lesi hipopigmentasi seperti hipomelanosis gutata. Gambaran histopatologis berupa atrofi epidermis, dan perubahan pada kolagen dan elastin berupa fragmentasi, progresif
cross-linkage serta kalsifikasi. Perbedaan gambaran klinis antara penuaan intrinsik dan ekstrinsik adalah pada penuaan intrinsik kulit tampak lebih halus dibandingkan pada kulit yang mengalami penuaan ekstrinsik walaupun pada kulit yang mengalami penuaan intrinsik tipis dan mengalami penurunan elastisitas (Baumann dan Saghari, 2009).
2.3 Sinar Ultraviolet dan Efeknya Terhadap Kulit
Sinar ultraviolet dibagi menjadi UVA (panjang gelombang 320 – 400 nm), UVB (panjang gelombang 280 – 320 nm) dan UVC (panjang gelombang 100 – 280 nm). UVC tidak pernah mencapai permukaan bumi karena terfiltrasi oleh ozon, namun UVA dan UVB dapat mencapai permukaan bumi, dan keduanya dapat menimbulkan kerusakan akut maupun kronis pada kulit manusia (Krutmann, 2011).
(36)
19
Meskipun hanya dapat menembus epidermis, UVB dapat menyebabkan kerusakan yang lebih banyak dibandingkan sinar UVA (Alam dan Havey, 2010).
Gambar 2.3 Efek Sinar Ultraviolet Terhadap Kulit (American Cancer Society, 2004).
2.3.1 Efek Akut Sinar Ultraviolet 1. Eritema
Eritema adalah reaksi inflamasi akut pada kulit yang ditandai dengan kemerahan setelah paparan berlebihan radiasi UV. Dosis kemerahan minimal yang dapat dilihat jelas dalam 24 jam setelah radiasi disebut minimal erytema doses
(MED). Eritema yang terbentuk bervariasi tergantung kepada panjang gelombang UVA (Rigel et al., 2004; Taylor, 2005).
UVA terbagi dua, yaitu UVA 1 dan UVA 2, dimana UVA 2 lebih meningkatkan eritema dibandingkan dengan UVA 1. Efektivitas eritema menurun sebanding dengan panjang gelombang. Eritema terinduksi UVB memberikan respon
(37)
20
lebih lambat daripada UVA dan mencapai puncak setelah paparan 6 – 24 jam tergantung dosis (Rigel et al., 2004; Taylor, 2005).
2. Pigmentasi
Eritema yang diinduksi UVB diikuti dengan pigmentasi. Melanisasi yang terjadi akibat paparan kumulatif UVA bertahan lebih lama dibandingkan dengan yang terjadi akibat paparan UVB. Perbedaan ini terjadi karena lokalisasi pigmen yang diinduksi UVA dari basal. Melanin yang diinduksi oleh UVB menghilang dengan
turn-over epidermis dalam 1 bulan (Fisher at al.,2002; Taylor, 2005). 3. Kerusakan DNA
Sinar Ultraviolet dapat menyebabkan kerusakan pada DNA berupa kesalahan pembacaan kode genetik, mutasi dan apoptosis. DNA seluler langsung menyerap UVB dan menyebabkan lesi pada basa pirimidin, yang menjadi ikatan kovalen dan merusak heliks DNA. Radiasi UVA dapat juga mengakibatkan lesi pada DNA walaupun daya rusak lebih lemah dibandingkan UVB (Taylor, 2005).
2.3.2 Efek Kronis Sinar Ultraviolet
1. Photoaging
Penuaan kulit dini dengan berbagai derajat keparahan dapat terjadi pada semua orang, salah satunya akibat aktivitas di luar ruangan. Hal ini terutama terjadi pada orang yang aktivitasnya sering terkena paparan sinar matahari (Fisher, 2000).
Studi epidemiologi di seluruh dunia menggambarkan ada koneksi langsung antara insiden kanker kulit dengan paparan sinar UV. Kanker kulit adalah tipe kanker
(38)
21
yang paling umum terjadi pada populasi Kaukasian di Amerika Serikat; lebih dari 500.000 – 1.000.000 kasus terdiagnosa setiap tahunnya (Fisher, 2000).
Kerusakan DNA akibat radiasi UV menghasilkan mutasi genetik yang menyebabkan transformasi seluler dan aktivasi sinyal transduksi pathway, sehingga merangsang matrix metalloproteinase dan produk gen-gen lain merubah jaringan dan membentuk formasi kanker (Fisher, 2000).
Gambar 2.4 Mekanisme Terjadinya Photoaging (Fisher, 2000).
Aktivasi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) telah terbukti berperanan penting pada respons berbagai radiasi sinar UV. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa EGFR dipertahankan dalam keadaan inaktif oleh protein
(39)
22
tyrosine phosphatase kappa (RPTP-k). Radiasi UV menghambat RPTP-k, sehingga memungkinkan EGFR untuk menjadi aktif. EGFR akan merangsang transduksi sinyal pathway sehingga merangsang matrix metalloproteinase (Fisher, 2000).
2. Fotokarsinogenesis
Efek pajanan sinar UV pada induksi dan progresi kanker kulit pada manusia sangat sulit dideteksi pada manusia. Perkembangan lesi kanker ini membutuhkan waktu bertahun – tahun, sehingga penelitian mengenai fotokarsinogenesis masih terbatas. Kerusakan DNA yang disebabkan oleh radiasi UV merupakan penyebab utama perkembangan kanker kulit (Taylor, 2005; Krutmann, 2011).
2.4. Benang Polydioxanone (PDO)
PDO adalah benang sintetis, monofilamen, dapat diserap kembali oleh tubuh, berwarna biru atau violet dan disterilisasi dengan ethylene oxide. Benang PDO sudah digunakan pada tindakan operasi jaringan internal dan diterima di semua komunitas ilmiah. Benang PDO juga direferensikan pada penggunaan operasi mata,
gastrointestinal, bedah plastik, bedah rekonstruktif, ginekologi, urologi, kutikular dan bedah jantung anak (Llorca, 2014).
PDO merupakan hasil polimerisasi membuka cincin dari monomer p-dioxanone. In vivo, PDO mengalami hidrolisis secara perlahan membentuk monomer
2-hydroxy-ethoxyacetic. Monomer ini kemudian di degradasi menjadi air dan karbondioksida yang merupakan komponen netral bagi tubuh dan dapat diserap sempurna melalui kulit (Mercik, 2013).
(40)
23
Gambar 2.5 Sintesis Polydioxanone (Mercik, 2013)
Studi Janik et al. (2011) di bidang operasi kolorektal menunjukkan resistensi yang baik setelah penggunaan PDO. Pada kasus prolaxes urinals, Madhuvrata menyimpulkan 2 tahun setelah operasi pasien memiliki kualitas hidup yang baik. Ruim et al. (2014) pada studi bandingnya menyimpulkan benang PDO lebih berguna dibandingkan benang permanen pada operasi abdominoplasti. Tahun 2008, James dan Kelly mempublikasikan hasil yang baik pada operasi rhinoplasti menggunakan
(41)
24
benang PDO. Backer et al. (2010) mempublikasikan bahwa tidak ditemukan komplikasi penggunaan benang PDO pada operasi fraktur periorbita.
Parara et al.(2011) mengadakan studi banding efek eritema dan iritasi antara lima benang yang berbeda (polydioxanone, blue propylene, polyamide 6, metallic chips dan polyglactin) dengan gambaran digital yang diproses oleh software metode observasi menyimpulkan “polydioxanone merupakan benang dengan hasil yang lebih baik dan tanda-tanda iritasi atau eritema yang lebih sedikit”.
Ogawa pada studi operasi torakal di Jepang menyimpulkan bahwa kekuatan benang polydioxanone, sifat dapat diabsorbsi dalam 6 bulan dan efek samping yang rendah membuat benang ini lebih disukai.
Studi Goodrich menyimpulkan tidak ditemukan komplikasi penggunaan benang polydioxanone pada operasi kraniofasial. De Toledo juga tidak menemukan adanya komplikasi ataupun efek samping penggunaan polydioxanone pada operasi gigi.
Serat atau jalinan benang yang terbuat dari PDO tidak mempunyai efek pirogenik, sehingga tidak merangsang reaksi system imun. Di bidang medis, PDO telah digunakan lebih dari 20 tahun, terutama di bidang bedah dan implant ortopedi. Di abad 21, PDO digunakan sebagai promoter jaringan, untuk merangsang pembentukan kolagen baru. Di tahun 2008, Korea Selatan yang pertama kali mematenkan system benang PDO yang dimasukkan pada jarum khusus untuk digunakan di bidang estetik dan bedah plastik. Sejak saat itu, benang PDO digunakan
(42)
25
luas di seluruh dunia, khususnya Korea, Jepang, Amerika Utara dan Selatan, Rusia dan Eropa.
Gambar 2.6 Benang PDO berbentuk V sebelum dimasukan ke dalam jarum (A) dan sesudah dimasukkan satu sisinya ke dalam jarum (B) (Shimizu, 2013).
Polydioxanone di reabsorbsi total setelah 180 hari dan mempertahankan 75% tekanan pada minggu ke 2 dan 25% tekanan pada minggu ke 6. Selama waktu 2-6 minggu itu, selain mempertahankan tekanan, juga terjadi perangsangan kolagen di sekitar benang akibat stimulasi fibroblas dan aktivasi neokolagenesis (Mercik, 2013).
Tipe benang Polydioxanone (PDO)
Secara garis besar, ada 3 tipe benang polydioxanone yang tersedia, yaitu monofilamen, multifilament dan bergerigi. Studi banding antara benang polydioxanone monofilamen dengan multifilamen pada operasi abdomen yang dilakukan oleh Hennesey et al. (2012) menyimpulkan putaran yang terjadi pada benang multifilamen dapat meningkatkan resiko patah.
(43)
26
Gambar 2.5 Berbagai tipe benang PDO (Suh et al, 2015)
Gambar 2.8 Metode implantasi benang PDO. Setelah jarum ditarik dari kulit, benang akan tertinggal di lapisan kulit (Shimizu, 2013).
(44)
27
2.5 Mekanisme Benang PDO Menghambat Penurunan Kolagen
Mekanisme benang PDO dalam menghambat penurunan kolagen sampai saat tesis ini ditulis masih belum pasti. Beberapa pendapat menyatakan mekanismenya hampir mirip dengan proses penyembuhan akibat luka terpotong. Shimizu, (2013) melakukan studi kepada beberapa pria dengan mengimplantasikan benang PDO di leher dan melakukan biopsi 3 bulan kemudian.
Gambar 2.9 Pewarnaan HE (Hematoxylin Eosin) pembesaran 20x (A) dan 100x (B) (Shimizu, 2013)
Pada pewarnaan HE (Hematoxylin Eosin) dapat terlihat benang PDO yang terlipat di lapisan antara dermis dan subkutan. Di sekitar benang PDO terlihat reaksi terhadap benda asing seperti limfosit, histiosit, cluster aerotropism dan fibrosis (Shimizu, 2013).
Benang PDO mempengaruhi kolagenisasi dengan cara indirek, yaitu dengan adanya benang PDO di lapisan dermis akan memberikan stimulus biologis pada kulit
(45)
28
sehingga merangsang peningkatan kolagen tipe I dan tipe III oleh fibroblas (Llorca, 2014).
Sintesis kolagen dan komponen-komponen matriks ekstraselular (kolagen, elastin, fibronektin, glikosaminoglikans dan proteoglikans) jumlahnya berkurang seiring penuaan. Fibroblas aktif dewasa dapat memproduksi sampai 3,5juta makromolekul prokolagen setiap harinya. Kolagen tipe I dan III yang menyusun 90% strutur kulit membentuk struktur bundel serat tiga dimensi. Fragmen struktur Gly-Pro-hidroxyprolin disebut urutan kolagen. Pada usia 80 tahun, sintesis kolagen sudah berkurang 75% dibanding ketika usia 18-29 tahun. Kesimpulannya adalah penurunan sintesis kolagen tipe I dan III berkorelasi dengan bertambahya usia (Llorca, 2014).
Mercik, 2013 menyatakan prosedur PDO mempengaruhi 2 mekanisme. Mekanisme pertama adalah mekanisme stres mekanik pada jaringan kulit, yaitu pada saat melakukan implantasi PDO pada lapisan dermis atau subkutan. Mekanisme kedua adalah bahan PDO dapat menstimulasi fibroblast untuk mensintesis kolagen.
Studi yang dilakukan Jang, 2005 dengan membandingkan implantasi benang PDO monofilamen, multifilamen dan COG pada punggung tikus, dengan pewarnaan HE memperlihatkan terbentuknya kapsul mengelilingi PDO di minggu ke empat. Kapsul yang mengelilingi COG terlihat lebih tebal dibanding kapsul yang mengelilingi monofilamen. Benang COG yang berduri menyebabkan kerusakan jaringan dan pembentukan skar. Jang menggunakan antibodi monoklonal α otot polos aktin untuk menandakan miofibroblast pada kapsul. Kontraktil fibroblast, yaitu miofibroblas dianggap sebagai pelaku aktif kontraksi luka. Gabbiani dan Ryan (2016)
(46)
29
menyatakan miofibroblas juga ditemukan pada Dupuytren’s contracture dan pada kontraktur kapsul fibrous di sekeliling implant payudara. Pemeriksaan dengan mikroskop electron tidak menunjukkan adanya fibroblas dan sel otot polos pada fase aktif penyembuhan luka, terlihat pada minggu ke tiga dan mulai berkurang setelah minggu ke delapan. Pada minggu ke 20, di mana luka sudah stabil, sudah tidak ditemukan lagi miofibroblas. Miofibroblas biasanya ditemukan pada kapsul fibrous, yang menandakan bahwa kontraksi kapsul fibrous bersamaan dengan kontraksi jaringan skar. Semakin banyak miofibroblas pada kapsul akan membuat tenaga kontraksi semakin kuat.
Pada studi Jang, miofibroblast ditemukan pada kapsul yang mengelilingi benang PDO, dan jumlahnya lebih banyak pada COG dibandingkan benang monofilament. Maka, beberapa COG dianggap cukup untuk menimbulkan stimuli pembentukan miofibroblas. Jang mengemukakan bahwa ia sendiri tidak yakin hasil studinya ini dapat mendukung aplikasi klinis saat ini. Studi jangka panjang pada kulit yang hidup masih diperlukan untuk mencari informasi lebih jauh mengenai efektifitas PDO.
(47)
30
Gambar 2.10. Skema Mekanisme Perlukaan (Liebl, 2013)
Saat jarum menembus kulit
Perlukaan seketika
(A Minute Injury)
Rangsangan Saraf (Nerve Stimulus)
Memulai Fase Penyembuhan
(Growth Signal/Growth Factor)
Fase I : Inflamasi
- Dimulai sesaat setelah terjadi perlukaan s/d 48 jam. - Terjadi pembengkakan ringan
- Kemerahan berkurang setelah 4-6 jam
- Mengaktifkan komunikasi antar sel dan motilitas sel - Mengaktifkan sinyal elektrik (electro-taxis)
Fase II : Proliferasi
- Fibroblast membentuk serat kolagen dan elastin pada hari ke-5 sampai minggu ke-8
Fase II : Remodelling
- Fibroblast bermigrasi ke area perlukaan untuk menutup luka - Pembentukan serat kolagen baru untuk mempertebal dermis
(neo-kolagenesis)
(48)
31
Gambar 2.11. Skema Mekanisme Implant PDO (Im, 2007)
Implant PDO
Pengaktifan sel-sel radang
Terlihat zona ireguler disekitar implant PDO yang terbentuk dari sel-sel radang (hari ke-7)
Pembentukan kapsul fibroblast
Terbentuk kapsul kolagen tebal di sekitar implant PDO yang terbentuk dari fibroblas dan makrofag (hari ke-120)
Reabsorbsi sempurna
Implant PDO telah terabsorbsi sempurna.
(1)
Gambar 2.5 Berbagai tipe benang PDO (Suh et al, 2015)
Gambar 2.8 Metode implantasi benang PDO. Setelah jarum ditarik dari kulit, benang akan tertinggal di lapisan kulit (Shimizu, 2013).
(2)
2.5 Mekanisme Benang PDO Menghambat Penurunan Kolagen
Mekanisme benang PDO dalam menghambat penurunan kolagen sampai saat tesis ini ditulis masih belum pasti. Beberapa pendapat menyatakan mekanismenya hampir mirip dengan proses penyembuhan akibat luka terpotong. Shimizu, (2013) melakukan studi kepada beberapa pria dengan mengimplantasikan benang PDO di leher dan melakukan biopsi 3 bulan kemudian.
Gambar 2.9 Pewarnaan HE (Hematoxylin Eosin) pembesaran 20x (A) dan 100x (B) (Shimizu, 2013)
Pada pewarnaan HE (Hematoxylin Eosin) dapat terlihat benang PDO yang terlipat di lapisan antara dermis dan subkutan. Di sekitar benang PDO terlihat reaksi terhadap benda asing seperti limfosit, histiosit, cluster aerotropism dan fibrosis (Shimizu, 2013).
Benang PDO mempengaruhi kolagenisasi dengan cara indirek, yaitu dengan adanya benang PDO di lapisan dermis akan memberikan stimulus biologis pada kulit
(3)
sehingga merangsang peningkatan kolagen tipe I dan tipe III oleh fibroblas (Llorca, 2014).
Sintesis kolagen dan komponen-komponen matriks ekstraselular (kolagen, elastin, fibronektin, glikosaminoglikans dan proteoglikans) jumlahnya berkurang seiring penuaan. Fibroblas aktif dewasa dapat memproduksi sampai 3,5juta makromolekul prokolagen setiap harinya. Kolagen tipe I dan III yang menyusun 90% strutur kulit membentuk struktur bundel serat tiga dimensi. Fragmen struktur Gly-Pro-hidroxyprolin disebut urutan kolagen. Pada usia 80 tahun, sintesis kolagen sudah berkurang 75% dibanding ketika usia 18-29 tahun. Kesimpulannya adalah penurunan sintesis kolagen tipe I dan III berkorelasi dengan bertambahya usia (Llorca, 2014).
Mercik, 2013 menyatakan prosedur PDO mempengaruhi 2 mekanisme. Mekanisme pertama adalah mekanisme stres mekanik pada jaringan kulit, yaitu pada saat melakukan implantasi PDO pada lapisan dermis atau subkutan. Mekanisme kedua adalah bahan PDO dapat menstimulasi fibroblast untuk mensintesis kolagen.
Studi yang dilakukan Jang, 2005 dengan membandingkan implantasi benang PDO monofilamen, multifilamen dan COG pada punggung tikus, dengan pewarnaan HE memperlihatkan terbentuknya kapsul mengelilingi PDO di minggu ke empat. Kapsul yang mengelilingi COG terlihat lebih tebal dibanding kapsul yang mengelilingi monofilamen. Benang COG yang berduri menyebabkan kerusakan jaringan dan pembentukan skar. Jang menggunakan antibodi monoklonal α otot polos aktin untuk menandakan miofibroblast pada kapsul. Kontraktil fibroblast, yaitu miofibroblas dianggap sebagai pelaku aktif kontraksi luka. Gabbiani dan Ryan (2016)
(4)
menyatakan miofibroblas juga ditemukan pada Dupuytren’s contracture dan pada kontraktur kapsul fibrous di sekeliling implant payudara. Pemeriksaan dengan mikroskop electron tidak menunjukkan adanya fibroblas dan sel otot polos pada fase aktif penyembuhan luka, terlihat pada minggu ke tiga dan mulai berkurang setelah minggu ke delapan. Pada minggu ke 20, di mana luka sudah stabil, sudah tidak ditemukan lagi miofibroblas. Miofibroblas biasanya ditemukan pada kapsul fibrous, yang menandakan bahwa kontraksi kapsul fibrous bersamaan dengan kontraksi jaringan skar. Semakin banyak miofibroblas pada kapsul akan membuat tenaga kontraksi semakin kuat.
Pada studi Jang, miofibroblast ditemukan pada kapsul yang mengelilingi benang PDO, dan jumlahnya lebih banyak pada COG dibandingkan benang monofilament. Maka, beberapa COG dianggap cukup untuk menimbulkan stimuli pembentukan miofibroblas. Jang mengemukakan bahwa ia sendiri tidak yakin hasil studinya ini dapat mendukung aplikasi klinis saat ini. Studi jangka panjang pada kulit yang hidup masih diperlukan untuk mencari informasi lebih jauh mengenai efektifitas PDO.
(5)
Gambar 2.10. Skema Mekanisme Perlukaan (Liebl, 2013) Saat jarum menembus kulit
Perlukaan seketika (A Minute Injury)
Rangsangan Saraf (Nerve Stimulus)
Memulai Fase Penyembuhan (Growth Signal/Growth Factor)
Fase I : Inflamasi
- Dimulai sesaat setelah terjadi perlukaan s/d 48 jam. - Terjadi pembengkakan ringan
- Kemerahan berkurang setelah 4-6 jam
- Mengaktifkan komunikasi antar sel dan motilitas sel - Mengaktifkan sinyal elektrik (electro-taxis)
Fase II : Proliferasi
- Fibroblast membentuk serat kolagen dan elastin pada hari ke-5 sampai minggu ke-8
Fase II : Remodelling
- Fibroblast bermigrasi ke area perlukaan untuk menutup luka - Pembentukan serat kolagen baru untuk mempertebal dermis
(neo-kolagenesis)
(6)
Gambar 2.11. Skema Mekanisme Implant PDO (Im, 2007) Implant PDO
Pengaktifan sel-sel radang
Terlihat zona ireguler disekitar implant PDO yang terbentuk dari sel-sel radang (hari ke-7)
Pembentukan kapsul fibroblast
Terbentuk kapsul kolagen tebal di sekitar implant PDO yang terbentuk dari fibroblas dan makrofag (hari ke-120)
Reabsorbsi sempurna
Implant PDO telah terabsorbsi sempurna.