ABSTRAK EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PERMAINAN ROLE-PLAYING BERBASIS PENGALAMAN UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA SEKOLAH DASAR (Studi Eksperimen Terhadap Siswa Kelas V SDN Cilayang 3 dan Siswa Kelas V SDN Cimaung 3 Kabupaten Serang).
i DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……...………i
UCAPAN TERIMAKASIH………..………..ii
ABSTRAK ……….v
ABSTRACT………...………..vi
DAFTAR ISI ……….………..vii
DAFTAR TABEL ………xi
DAFTAR BAGAN ………..………xii
DAFTAR GAMBAR ……….………xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……….xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1
B. Rumusan Masalah………...12
C. Pertanyaan Penelitian ……….12
D. Tujuan Penelitian ………..13
E. Manfaat Penelitian ……….14
F. Definisi Operasional ……….15
G. Asumsi ………...16
H. Hipotesis ………16
(2)
ii
BAB II PEMBELAJARAN PERMAINAN ROLE-PLAYING BERBASIS PENGALAMAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DI SEKOLAH DASAR
A. Permainan ………...19
1. Karakteristik Permainan ………19
2. Permainan Dalam Pembelajaran Bahasa ………...20
3. Tujuan Permainan Bahasa ………21
4. Ciri-Ciri Permainan Bahasa yang Baik ………23
5. Bermain Peran (Role-Playing)……….24
B. Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Experiential Learning)……….28
1. Konsep Pembelajaran Berbasis Pengalaman……….28
2. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Pengalaman ………...30
3. Keuntungan dan Kelebihan Pembelajaran Berbasis Pengalaman……….31
4. Kerangka Kerja Pembelajaran Berbasis Pengalaman………32
C. Pembelajaran Bahasa Berbasis Pengalaman (Experiential Language Learning)………..40
1. Konsep dan Model Experiential Language Learning……….40
2. Gambaran Kegiatan dari Experiential Language Learning ………...……42
3. Pembelajaran Permainan Role-Play dengan Pendekatan Berdasarkan Pengalaman……….. ………44
D. Pembelajaran Bahasa Inggris ………45
1. Karakteristik Mata Pelajaran Bahasa Inggris ………45
2. Pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar (SD) ………47
3. Karakteristik Pembelajar Anak Sekolah Dasar (SD) ……….48
(3)
iii
5. Tujuan Pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar (SD)…………..55
6. Keterampilan Berbicara……….57
7. Ragam Keterampilan Berbicara Bahasa Inggris ………..60
8. Penilaian Keterampilan Berbicara ………64
BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Metode Penelitian ………66
B. Desain Penelitian ………67
C. Variabel Penelitian………69
D. Subyek Penelitian ………72
E. Instrumen Penelitian ………...74
F. Pengujian Instrumen Penelitian……….76
G. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data ………80
H. Prosedur Penelitian Secara Keseluruhan ……….80
I. Langkah-Langkah Penelitian ………..83
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Hasil Penelitian ………..………84
B. Temuan hasil Penelitian……... ………91
(4)
iv BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan………. ………..………119
B. Saran……….………...122
DAFTAR PUSTAKA………125
(5)
v DAFTAR TABEL
Tabel Hal
1. Hubungan Antar Variabel Penelitian………...………129
2. Daftar Siswa Kelas Eksperimen………..………130
3. Daftar Siswa Kelas Kontrol………...……..131
4. Nilai Pre-test dan Post-test Kelas Eksperimen Vocabulary…………...…….132
5. Nilai Pre-test dan Post-test Kelas Eksperimen Pronunciation………….…133
6. Nilai Pre-test dan Post-test Kelas Eksperimen Interactive Communication...134
7. Nilai Pre-test dan Post-test Kelas Kontrol Vocabulary………..…135
8. Nilai Pre-test dan Post-test Kelas Kontrol Pronunciation………....136
9. Nilai Pre-test dan Post-test Kelas Kontrol Interactive Communication…….137
10. Nilai Pre-test dan Post-test Gabungan Kelas Eksperimen…….……….138
11. Nilai Pre-test dan Post-test Gabungan Kelas Kontrol…………...…………..139
12. Nilai Pre-test dan Post-test Gabungan Vocabulary…………...………..140
13. Nilai Pre-test dan Post-test Gabungan Pronunciation………..……141
14. Nilai Pre-test dan Post-test Gabungan Interactive Communication………...142
15. Gain Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Vocabulary……….………143
16. Gain Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Pronunciation………..144
17. Gain Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Interactive Communication……145
18. Nilai Post-test Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol……….………….146
19. Uji Normalitas Vocabulary……….……….147
20. Uji Normalitas Pronunciation………...………148
21. Uji Normalitas Interactive Communication………..………..149
22. Paired Sample Statistic Vocabulary………..………..150
23. Paired Sample Correlation Vocabulary……….………….150
24. Paired Sample Test Vocabulary……….………….150
(6)
vi
26. Paired Sample Correlation Pronunciation………...…………151
27. Paired Sample Test Pronunciation………....151
28. Paired Sample Statistic Interactive Communication……….…………..152
29. Paired Sample Correlation Interactive Communication……….152
30. Paired Sample Test Interactive Communication……….152
31. Tabel T-Test Skor Post-Test………153
32. Descriptive Skor Vocabulary………..………154
33. Descriptive Skor Pronunciation………..………..155
34. Descriptive Skor Interactive Communication……….………156
35. Tabel Uji Validitas Vocabulary……….157
36. Tabel Uji Validitas Pronunciation……….159
37. Tabel Uji Validitas Interactive Communication……….161
38. Uji Reliabilitas……….163
39. Uji Homogenitas………164
40. Analisis Tes Validasi Vocabulary………204
41. Analisis Tes Validasi Pronunciation………...205
42. Analisis Tes Validasi Interactive Communication………..206
(7)
vii DAFTAR BAGAN
Bagan Hal
1. Nonequivalent Control Group Design Dengan Pre-test dan Post-test………165 2. Langkah-Langkah Penelitian………...…………166
(8)
viii DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal
1. Uji Hipotesis Eksperimen dan Kontrol Vocabulary………...…….167 2. Uji Hipotesis Eksperimen dan Kontrol Pronunciation……….……167 3. Uji Hipotesis Eksperimen dan Kontrol Interactive Communication……..….167 4. Uji Hipotesis Post-test Eksperimen dan Kontrol Vocabulary…………...168 5. Hipotesis Post-test Eksperimen dan Kontrol Pronunciation..…………...168 6. Hipotesis Post-test Eksperimen dan Kontrol Interactive Communication…..168
(9)
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Hal
1. Tabel Hasil Penelitian……… 129
2. Tabel Hasil Pengolahan Data SPSS………147
3. Bagan………...165
4. Gambar………167
5. RPP………..………159
6. Pre-test dan Pos-test………...……….187
7. Contoh Hasil Post-test……….………196
8. Dokumentasi Penelitian……….………..200
9. Tabel Analisis Validasi dan Reliabilitas……….204 10. Surat Keputusan dan Surat Ijin Penelitian
(10)
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan secara terus menerus ini menuntut perbaikan sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Untuk itu upaya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life skill) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. Dengan demikian peserta didik memiliki ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
Salah satu instrumen yang berperan dalam pendidikan adalah kurikulum. Menurut Dakir (2004: 3) bahwa kurikulum:
Merupakan suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara sistematik atas dasar norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
(11)
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa kurikulum itu merupakan program pendidikan bukan program pengajaran, yaitu program yang direncanakan, diprogramkan dan dirancangkan yang berisi berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar baik yang berasal dari waktu yang lalu, sekarang maupun yang akan datang. Dalam kurikulum terintegrasi filsafat, nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan. Kurikulum disusun oleh para ahli kurikulum, ahli bidang ilmu, pendidik, pejabat pendidikan, pengusaha serta unsur-unsur masyarakat lainnya. Rancangan ini dimaksudkan untuk memberi pedoman kepada para pelaksana pendidikan, dalam proses bimbingan perkembangan siswa, mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh siswa, keluarga maupun masyarakat.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan hidup manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat disusun secara sembarangan. Dalam menyusun sebuah kurikulum dibutuhkan landasan-landasan yang kuat yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Landasan-landasan tersebut menurut Dakir (2004: 58) diantaranya adalah landasan psikologis, landasan sosiologis atau keadaan bangsa Indonesia sendiri, landasan perkembangan IPTEKS di dunia, dan landasan filsafat bangsa sendiri yaitu filsafat Pancasila. Begitu juga dalam mengevaluasi kurikulum dibutuhkan kecakapan yang sama sebagaimana kita menyusun kurikulum. Untuk dapat merencanakan dan mengembangkan kurikulum dengan baik harus didasarkan pada evaluasi
(12)
kurikulum yang telah terlaksana, agar dalam mengimplementasikan kurikulum tersebut tidak terjadi lagi kesalahan atau kekeliruan yang sama.
Implementasi kurikulum menurut Sanjaya (2008: 207) pada dasarnya merupakan proses mengajar yang dilakukan guru dan proses belajar yang dilakukan siswa di dalam ataupun di luar kelas. Inilah yang dinamakan dengan proses belajar mengajar. Di dalam proses belajar mengajar, terjadi interaksi antara guru dan siswa yang memiliki tujuan. Interaksi yang bertujuan ini disebabkan oleh guru yang memaknainya dengan menciptakan lingkungan yang bernilai edukatif demi kepentingan anak didik dalam belajar. Guru ingin memberikan layanan yang terbaik bagi anak didik, dengan menyediakan lingkungan yang menyenangkan dan menggairahkan. Guru berusaha menjadi pembimbing yang baik, arif, dan bijaksana, sehingga tercipta hubungan dua arah yang harmonis antara guru dan anak didik. Ketika kegiatan belajar mengajar itu berproses, guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan berbuat, serta mau memahami anak didiknya dengan segala konsekuensinya. Perilaku guru ini akan tercermin melalui kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Berbagai model yang digunakan dalam pembelajaran selayaknya membawa peserta didik mencapai tujuan sesuai yang diharapkan. Demikian pula terjadi pada pembelajaran bahasa termasuk bahasa Inggris.
Bahasa Inggris merupakan bahasa asing pertama yang dianggap penting untuk tujuan pengaksesan informasi, penyerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya dan pembinaan hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Menurut Depdiknas dalam Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006:
(13)
Bahasa Inggris merupakan alat untuk berkomunikasi secara lisan dan tulis. Berkomunikasi adalah memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, perasaan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya dengan menggunakan bahasa tersebut. Kemampuan berkomunikasi dalam pengertian yang utuh adalah kemampuan berwacana, yakni kemampuan memahami dan/atau menghasilkan teks lisan dan/atau tulis yang direalisasikan dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan inilah yang digunakan untuk menanggapi atau menciptakan wacana dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, mata pelajaran bahasa Inggris diarahkan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut agar lulusan mampu berkomunikasi dan berwacana dalam bahasa Inggris pada tingkat literasi tertentu.
Sejalan dengan penjelasan di atas, berdasarkan Kepmendiknas No. 23 Tahun 2006, tentang Standar Kelulusan, secara umum tujuan pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah bahwa siswa atau peserta didik harus mampu “menunjukkan keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Inggris”.
Ditambahkan pula dalam Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006, tentang Standar Isi, bahwa tujuan pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah diarahkan agar peserta didik:
1. Memiliki kemampuan mengembangkan kompetensi berkomunikasi dalam
bentuk lisan secara terbatas untuk mengiringi tindakan (language accompanying action) dalam konteks sekolah,
2. Memiliki kesadaran tentang hakikat dan pentingnya bahasa Inggris untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam masyarakat global,
3. Mengembangkan pemahaman peserta didik tentang keterkaitan antara
bahasa dengan budaya.
Dari penjelasan Kepmendiknas tersebut di atas, tujuan pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia secara umum juga sejalan dengan yang diungkapkan oleh Alwasilah (2000: 28), yang mengatakan bahwa tujuan pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah:
(14)
1. Mempersiapkan pelaku dan pelibat komunikasi abad ke-21 sebagai abad kesejagatan dan persaingan. Penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris adalah strategi kebudayaan agar mereka dapat bersaing dengan bangsa lain.
2. Menyiapkan warga negara yang profesional dan memiliki kesadaran kritis. Manusia kritis mampu berbahasa dengan cermat.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan bahasa Inggris dalam konteks global adalah sebagai bahasa pergaulan antar bangsa baik dalam politik, sosial, ekonomi maupun kebudayaan. Pada era globalisasi yang kita rasakan saat ini, di mana dunia terasa semakin sempit, frekwensi hubungan dan tingkat persaingan antar bangsa semakin tinggi, arus informasi semakin deras dan mudah diakses, peranan bahasa Inggris terasa semakin dibutuhkan. Pada hakekatnya globalisasi adalah persaingan antar manusia untuk menguasai dunia. Untuk memenangkan persaingan ini, manusia Indonesia harus mengusai alat, satu diantaranya adalah penguasaan bahasa Inggris. Dengan demikian penguasaan bahasa Inggris merupakan kunci untuk memasuki dan memenangkan persaingan global, di samping itu juga dengan menguasai bahasa Inggris maka orang akan dengan mudah masuk dan mengakses dunia informasi dan teknologi.
Mengingat penguasaan bahasa Inggris begitu penting dan memiliki kedudukan yang sangat strategis di dalam era globalisasi ini, khususnya dalam upaya memenangkan persaingan global, bahasa Inggris harus diajarkan mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT). Dengan pengenalan bahasa Inggris dimulai dari Sekolah Dasar (SD) maka siswa akan mengenal dan menguasai bahasa tersebut lebih awal. Oleh karena itu, mereka akan mempunyai pengetahuan dasar yang lebih baik sebelum melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Dengan demikian secara umum pengajaran bahasa Inggris
(15)
menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah maupun di Perguruan Tinggi (PT).
Pengajaran bahasa Inggris di Sekolah Dasar (SD) sedikit berbeda dengan pengajaran bahasa Inggris di Sekolah Menengah maupun di Perguruan Tinggi (PT). Pengajaran bahasa Inggris di Sekolah Dasar (SD) bukan merupakan mata pelajaran wajib tetapi masuk dalam mata pelajaran muatan lokal (Mulok).
Sasaran ataupun tujuan pembelajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal (Mulok) tertuang dalam Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006, tentang Standar Isi, seperti yang telah dijelaskan di atas. Sementara itu kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa kompetensi yang telah ditetapkan dalam Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006, tentang Standar Isi belum bisa dicapai secara optimal. Penguasaan bahasa Inggris mereka (peserta didik mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi, khususnya siswa Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi) masih lemah, masih jauh dari yang diharapkan padahal mereka sudah mempelajari bahasa Inggris secara formal di sekolah-sekolah selama beberapa tahun. Kenyataan ini tentunya disebabkan oleh banyaknya masalah yang timbul sehingga menghambat proses pengajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah ataupun di Perguruan Tinggi.
Ada beberapa masalah yang menghambat pengajaran bahasa Inggris pada lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah/universitas) yang teridentifikasi di antaranya yaitu bahwa pembelajaran bahasa Inggris pada umumnya masih bersifat konvensional, artinya para guru belum sepenuhnya melaksanakan pembelajaran secara kreatif dan inovatif. Biasanya guru melaksanakan pengajaran hanya dengan menggunakan metode ceramah dan secara umum melulu berisi tentang
(16)
penguasaan gramatikal, sehingga keterampilan siswa untuk bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris sangat kurang, padahal pada hakikatnya pembelajaran bahasa adalah belajar berkomunikasi, dan tujuan utama dari pembelajaran bahasa Inggris sendiri diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Inggris baik secara lisan maupun tulisan.
Masalah lainnya yaitu kurangnya motivasi dari siswa untuk mengikuti pembelajaran di kelas, siswa cenderung kurang aktif sehingga menyebabkan pembelajaran bersifat teacher-centered. Ini disebabkan karena kurangnya kemampuan guru untuk menciptakan metode pembelajaran yang menarik yang melibatkan peran serta siswa secara aktif dalam proses pembelajaran.
Banyak usaha yang dilakukan untuk membuat para siswa mampu berbahasa Inggris dengan baik. Salah satunya adalah konsep cara belajar siswa aktif yang sudah lama diperkenalkan, tapi kenyataannya tanpa guru, siswa tidak memiliki minat yang tinggi untuk belajar menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Hal ini terlihat pada kegiatan pembelajaran, di mana ada siswa yang tidak mampu bertanya, menjawab, ataupun mengungkapkan keinginannnya dalam bahasa Inggris.
Permasalahan yang ada yaitu kurangnya kemampuan siswa dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris diperlukan hubungan yang saling mendorong antara guru, siswa, metode, dan media agar tujuan pembelajaran dapat dicapai. Oleh karena itu guru sebagai tenaga pengajar yang profesional harus mempunyai kemampuan untuk dapat menciptakan suatu pembelajaran yang efektif dan efisien menuju tercapainya hasil belajar yang maksimal. Guru sebagai tenaga pengajar harus mempunyai wawasan tentang pemilihan metode
(17)
pembelajaran dan dapat memilih metode dan media yang sesuai dengan materi, situasi dan kondisi sehingga lebih mudah dalam mencapai tujuan pembelajaran yang maksimal.
Ada banyak metode pembelajaran menarik yang bisa digunakan oleh para guru untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Untuk siswa Sekolah Dasar, metode pembelajaran yang digunakan haruslah sesuai dengan tahap perkembangan siswa itu sendiri. Seperti diketahui bahwa dunia anak adalah dunia bermain, oleh karena itu pembelajaran untuk siswa Sekolah Dasar seharusnya memperhatikan hal tersebut. Permainan yang digunakan dalam proses pembelajaran harus sesuai dengan tingkat perkembangan siswa dan tentunya permainan tersebut adalah permainan yang bersifat edukatif.
Permainan edukatif sangatlah penting bagi pendidikan anak usia Sekolah Dasar (SD). Dengan permainan edukatif, hakikatnya anak sedang dibentuk dan dikembangkan segi fisik-motorik, sosial-emosional, dan kecerdasan berpikirnya. Oleh karena itu, para guru sebaiknya menjadikan permainan edukatif sebagai proses yang dapat meningkatkan minat, pengetahuan, dan pengalaman anak untuk mempelajari sesuatu. Begitu juga dalam pembelajaran bahasa Ingris di Sekolah Dasar (SD), pendekatan dengan menggunakan permainan sangat baik untuk digunakan. Beberapa metode pembelajaran dengan memadukan unsur permainan ke dalam proses pembelajaran bahasa Inggris, dianggap dapat meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris siswa yang meliputi empat keterampilan berbahasa yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Dari keempat keterampilan berbahasa Ingris tersebut, saat ini keterampilan berbicara menjadi sorotan utama. Kurangnya kesempatan bagi anak untuk
(18)
berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris baik di sekolah maupun di rumah disinyalir menjadi salah satu penyebabnya. Sejalan dengan hal tersebut, Paul (2007: 76) mengatakan:
The children can listen to English at home, read English at home and even write English at home, but most of them have few opportunities to speak English at home. If we want children to learn to speak English, each of them must have many opportunities to speak during our lessons. They need to practice, practice and practice.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa untuk dapat meningkatkan keterampilan berbicara, siswa harus diberikan kesempatan untuk berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris seluas-luasnya. Oleh karena itu metode pembelajaran yang digunakan haruslah melibatkan peran aktif siswa terutama dalam berbicara, artinya memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris pada proses pembelajaran. Untuk siswa Sekolah Dasar (SD), keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran akan sangat menarik jika metode pembelajaran menggunakan permainan karena sesuai dengan tahap perkembangan siswa, sehingga siswa merasa tertarik dan proses pembelajaran tidak terasa membosankan.
Memasukkan unsur permainan pada proses pembelajaran selain untuk menarik ketertarikan siswa dalam belajar, juga sangat bermanfaat bagi perkembangan anak itu sendiri. Karena pada dasarnya bermain merupakan pengalaman belajar yang sangat berguna bagi anak. Misalnya, untuk memperoleh pengalaman dalam membina hubungan dengan sesama teman, menambah perbendaharaan kata, dan menyalurkan perasaan-perasaan tertekan. Sebenarnya, masih banyak manfaat yang dapat dipetik dari kegiatan bermain. Dengan mengetahui manfaat bermain menurut Mayke (dalam Ismail, 2006: 120),
(19)
diharapkan bisa memunculkan gagasan seseorang tentang cara memanfaatkan kegiatan bermain untuk mengembangkan bermacam-macam aspek perkembangan anak, seperti: mengembangkan konsep diri, komunikasi, kreativitas, aspek fisik, motorik, sosial, emosi, kepribadian, kognisi, ketajaman penginderaan, keterampilan olah raga, dan menari. Sehingga kegiatan bermain bisa digunakan sebagai sebuah metode atau cara mendidik yang menyenangkan.
Jika permainan ditinjau sebagai sebuah kegiatan yang mendidik, permainan harus dapat diarahkan untuk dapat menghasilkan suatu perubahan sikap, misalnya: perubahan daya pikir, cipta, bahasa, keterampilan, dan jasmani anak-anak dapat berkembang secara maksimal (Ismail, 2006: 121). Dari penjelasan di atas, tidak berlebihan jika permainan dalam proses pembelajaran sangat sesuai untuk diterapkan pada proses pembelajaran di Sekolah Dasar. Dengan permainan, siswa dituntut untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
Salah satu model pembelajaran yang melibatkan peran aktif siswa dalam proses pembelajaran adalah model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman. Model pembelajaran bermain peran (role-playing) ini, menurut Uno (2008: 25) pertama, dibuat berdasarkan asumsi bahwa sangatlah mungkin menciptakan analogi otentik ke dalam suatu situasi permasalahan kehidupan nyata. Kedua, bahwa bermain peran (role-playing) dapat mendorong siswa mengekspresikan perasaannya dan bahkan melepaskannya. Ketiga, bahwa proses psikologis melibatkan sikap, nilai, dan keyakinan (belief) kita serta mengarahkan pada kesadaran melalui keterlibatan spontan yang disertai analisis. Sedangkan pendekatan berbasis pengalaman dalam pembelajaran adalah suatu pendekatan di mana proses belajar mengajar mengaktifkan pembelajar untuk membangun
(20)
pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai juga sikap melalui pengalamannya secara langsung. Oleh karena itu, pendekatan ini akan bermakna tatkala pembelajar berperan serta dalam melakukan kegiatan. Setelah itu, mereka memandang kritis kegiatan tersebut. Kemudian, mereka mendapatkan pemahaman serta menuangkannya dalam bentuk lisan atau tulisan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, pendekatan berdasarkan pengalaman menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran, termasuk kemampuan berbicara bahasa Inggris (tersedia online pada http://www.ialf.edu/kipbipa/papers/CahyaniIsah.doc).
Penggunaan model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman pada pembelajaran bahasa Inggris diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Inggris siswa. Model pembelajaran ini memberi para siswa serangkaian situasi-situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang dirancang oleh guru yang dituangkan dalam bentuk lisan dengan menggunakan bahasa Inggris. Dengan demikian siswa memilki kesempatan untuk berlatih berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris lebih banyak.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai cara meningkatkan kemampuan siswa dalam berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris dengan mengambil judul penelitian “Efektivitas Pembelajaran Permainan Role-playing Berbasis Pengalaman untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara Bahasa Inggris Siswa Sekolah Dasar.”
(21)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
”Bagaimana efektivitas model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dibandingkan dengan metode yang selama ini digunakan oleh guru (metode drill) untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa kelas V Sekolah Dasar?”
C. Pertanyaan Penelitian
Selanjutnya rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa bentuk pertanyaan penelitian yaitu:
1. Bagaimana efektivitas penggunaan model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dibandingkan dengan pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru (metode drill) untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dari segi penguasaan kosakata (vocabulary)?
2. Bagaimana efektivitas penggunaan model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dibandingkan dengan pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru (metode drill) untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dari segi pronunciation?
3. Bagaimana efektivitas penggunaan model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dibandingkan dengan pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru (metode drill) untuk meningkatkan
(22)
keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dari segi interactive communication?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh data empirik tentang perbandingan efektivitas antara model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dengan pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru (metode drill) dalam meningkatkan keterampilan siswa berbicara bahasa Inggris.
2. Tujuan Khusus Penelitian
Secara khusus tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk memperoleh data empirik tentang efektivitas penggunaan model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dibandingkan dengan pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru (metode drill) untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dari segi penguasaan kosakata (vocabulary).
b. Untuk memperoleh data empirik tentang efektivitas penggunaan model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dibandingkan dengan pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru (metode drill) untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dari segi pronunciation.
(23)
c. Untuk memperoleh data empirik tentang efektivitas penggunaan model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dibandingkan dengan pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru (metode drill) untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dari segi interactive communication.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaatnya sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Memperkaya teori pembelajaran berbasis pengalaman pada mata pelajaran bahasa Inggris siswa Sekolah Dasar (SD) yakni:
a. Landasan dan konsep model pembelajaran permainan role-playing berbasis
pengalaman pada mata pelajaran bahasa Inggris.
b. Prinsip-prinsip model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi para guru bahasa Inggris sebagai pencerahan dalam mengajar sebab selama ini model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman masih jarang digunakan pada pembelajaran bahasa Inggris.
b. Bagi para pengembang kurikulum, sebagai salah satu bahan masukan untuk
meningkatkan kemampuan guru dalam mengimplementasikan model
(24)
meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris pada siswa Sekolah Dasar (SD).
F. Definisi Operasional
Berdasarkan rumusan masalah, pertanyaan dan variabel penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, beberapa istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini didefinisikan secara operasional sebagai berikut:
1. Pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman adalah suatu aktivitas pembelajaran terencana yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang spesifik, di mana siswa dapat bertindak dan mengekspresikan perasaan dan pendapatnya tanpa kekhawatiran mendapat sanksi dengan menggunakan bahasa Inggris dan dengan memadukan unsur permainan ke dalamnya untuk membangun suasana belajar yang dinamis, penuh semangat dan menyenangkan. Metode ini diarahkan agar tujuan belajar dapat dicapai secara efektif dalam suasana gembira meskipun membahas hal-hal yang sulit atau berat, di mana efektivitas pembelajaran diukur berdasarkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) setiap indikator yang ditetapkan satuan pendidikan berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) di satuan pendidikan atau beberapa satuan pendidikan yang memiliki karakteristik yang sama. Untuk melihat efektivitas dari model pembelajaran tersebut, skor yang diperoleh dari kelompok kontrol dan eksperimen dibandingkan rata-rata pencapaiannya terhadap skor Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan. Metode
(25)
pembelajaran ini dapat dikatakan efektif bila rata-rata skor yang diperolehnya telah mencapai atau melebihi KKM.
2. Keterampilan berbicara bahasa Inggris diartikan sebagai kemampuan mengungkapkan instruksi dan informasi yang sangat sederhana secara lisan dengan menggunakan bahasa Inggris untuk mengiringi tindakan (language accompanying action) dalam konteks sekolah, baik kemampuan dalam menggunakan kosakata (vocabulary) yang akurat dan sesuai dalam berbicara, kemampuan untuk menghasilkan ucapan-ucapan dengan tekanan dan intonasi yang dapat dimengerti (pronunciation), juga kemampuan untuk berinteraksi dengan teman bicara (interactive communication).
G. Asumsi
Asumsi dari penelitian ini adalah bahwa model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman merupakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dilihat dari segi
penguasaan kosa kata (vocabulary), pronunciation, dan interactive
communication.
H. Hipotesis
Rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Hipotesis Nol
a. Tidak terdapat perbedaan efektivitas antara model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dengan pembelajaran yang selama ini
(26)
digunakan oleh guru (metode drill) untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dari segi penguasaan kosakata (vocabulary).
b. Tidak terdapat perbedaan efektivitas antara model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dengan pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru (metode drill) untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dari segi pronunciation.
c. Tidak terdapat perbedaan efektivitas antara model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dengan pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru (metode drill) untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dari segi interactive communication.
2. Hipotesis Kerja
a. Terdapat perbedaan efektivitas antara model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dengan pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru (metode drill) untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dari segi penguasaan kosakata (vocabulary). b. Terdapat perbedaan efektivitas antara model pembelajaran permainan
role-playing berbasis pengalaman dengan pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru (metode drill) untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dari segi pronunciation.
c. Terdapat perbedaan efektivitas antara model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dengan pembelajaran yang selama ini
(27)
digunakan oleh guru (metode drill) untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dari segi interactive communication.
I. Variabel Penelitian
Ada dua variabel yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel Independen atau variabel bebas yakni variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen. Variabel independen atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman.
2. Variabel Dependen atau variabel terikat yakni variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah keterampilan berbicara bahasa Inggris.
Variabel independen dapat disimbolkan dengan X dan variabel dependen disimbolkan dengan Y, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
1. X : Pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman.
2. Y1 : Keterampilan berbicara bahasa Inggris dilihat dari segi
penguasaan kosakata (vocabulary).
3. Y2 : Keterampilan berbicara bahasa Inggris dilihat dari segi
pronunciation.
4. Y3 : Keterampilan berbicara bahasa Inggris dilihat dari segi
(28)
66 BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Setiap penelitian harus memiliki metode penelitian yang sesuai dengan jenis-jenis penelitian. Metode tersebut merupakan prosedur yang berisi langkah-langkah yang akan menuntun peneliti dalam menjalani sebuah penelitian. Sama halnya seperti yang diungkapkan oleh Surakhmad (1990: 121):
Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya menguji serangkaian hipotesa dengan mempergunakan teknik serta alat-alat tertentu. Cara utama ini dipergunakan setelah
penyelidik memperhitungkan kewajarannya ditinjau dari tujuan
penyelidikan serta situasi penyelidikan.
Metode penelitian terdiri atas metode kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif yang jenisnya adalah kuasi eksperimen. Kuasi eksperimen telah dipilih menjadi metode penelitian ini karena sesuai dengan hakekat penelitian yang akan dilakukan, yaitu untuk mengontrol dan atau memanipulasi semua variabel yang relevan. Menurut Ali (1992: 140):
Kuasi eksperimen hampir mirip dengan eksperimen yang sebenarnya. Perbedaannya terletak pada penggunaan subyek yaitu pada kuasi eksperimen tidak dilakukan penugasan random, melainkan dengan menggunakan kelompok yang telah ada (intact group).
Selanjutnya menurut Stouffer (1950) dan Campbell (1957) bahwa eksperimen kuasi (quasi experiment) sebagai eksperimen yang memiliki perlakuan, pengukuran dampak, unit eksperimen, namun tidak menggunakan
(29)
penugasan acak untuk menciptakan pembandingan dalam rangka menyimpulkan
perubahan yang disebabkan perlakuan. (Tersedia online pada http:
//dickyh.staff.ugm.ac.id/).
Senada dengan pendapat di atas, Sukmadinata (2004: 226) menyatakan bahwa:
Eksperimen ini disebut kuasi, karena bukan merupakan eksperimen murni tetapi seperti murni, seolah-olah murni. Eksperimen ini biasa juga disebut eksperimen semu. Karena berbagai hal, terutama berkenaan dengan pengontrolan variabel, kemungkinan sukar sekali dapat digunakan eksperimen murni. Eksperimen kuasi bisa digunakan minimal kalau dapat mengontrol satu variabel saja meskipun dalam bentuk matching, atau memasangkan/menjodohkan karakteristik.
Dalam penelitian ini, peneliti juga menyadari bahwa tidak semua variabel dapat dikontrol dan dimanipulasi. Karena itu metode kuasi eksperimen dianggap metode yang tepat untuk penelitian ini.
B. Desain Penelitian
Desain penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah nonequivalent control group design dengan pre-test dan post-test. Menurut Sugiono (2009: 116), desain ini hampir sama dengan pretest-postest control group design, hanya pada desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random.
Dalam penelitian ini, kelas eksperimen akan diberikan perlakuan dengan menggunakan metode pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman, sedangkan kelompok kontrol akan diberikan perlakuan metode pembelajaran yang selama ini dilakukan oleh guru, yaitu metode pembelajaran dengan drill.
(30)
Desain yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Bagan 1
Nonequivalent Control Group Design Dengan Pre-test dan Post-test
Sejalan dengan penelitian yang digunakan, maka langkah penelitian yang dilakukan dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan kelompok mana yang
akan dijadikan sebagai kelompok eksperimen dan kelompok mana yang akan dijadikan kelompok kontrol. Kelompok yang menggunakan metode pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman ditetapkan sebagai kelas eksperimen, sedangkan kelompok yang menggunakan metode drill ditetapkan sebagai kelompok kontrol.
2. Langkah kedua, memberikan pre-test untuk kedua kelompok, yaitu untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan dan kemampuan awal siswa sebelum diberikan perlakuan.
3. Langkah ketiga, memberikan perlakuan selama tiga kali pertemuan terhadap kelompok eksperimen yaitu dengan menggunakan metode pembelajaran
Kelompok Eksperimen O-1 T-1 0-2
Kelompok Kontrol O-1 T-2 0-2
Keterangan:
O-1 : Pre-test 0-2 : Post-test
T-1 : Perlakuan untuk kelompok eksperimen
(31)
permainan role-playing berbasis pengalaman, sedangkan untuk kelompok kontrol diberikan perlakuan dengan metode drill.
4. Langkah terakhir, memberikan post-test untuk kedua kelompok, yaitu untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dengan tujuan untuk melihat sejauh mana keterampilan berbicara yang diperoleh siswa setelah diberikan perlakuan. Selain itu diberikan juga angket motivasi kelompok eksperimen untuk melihat ketertarikan siswa terhadap metode pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman.
Kemudian, dengan menggunakan teknik statistika, yaitu teknik t-test untuk dua sampel berpasangan dicari gain atau perbedaan antara rata-rata pre-test dan post-test baik dari kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Teknik t-test untuk dua sampel berpasangan adalah teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel berpasangan bila datanya berbentuk interval dan ratio (Sugiyono, 2006: 214).
C. Variabel Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada dua kelas, yaitu satu kelas eksperimen dan satu kelas kontrol. Kelompok eksperimen diberikan perlakuan dengan menggunakan metode pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman, sedangkan untuk kelas kontrol diberikan perlakuan dengan menggunakan metode pembelajaran yang selama ini dilakukan oleh guru yaitu metode drill.
Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Sugiyono (2009: 61-62) mengemukakan mengenai dua varibel tersebut, yakni:
(32)
1. Variabel independen (variabel bebas), sering juga disebut sebagai variabel stimulus, predictor, antecedent. Variabel ini merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (dependen).
2. Variabel dependen (variabel terikat), sering juga disebut sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Variabel ini merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel bebas.
Penggunaan metode pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman pada mata pelajaran bahasa Inggris dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cilayang III dan metode drill dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cimaung III Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang, ditempatkan sebagai variabel bebas. Sedangkan keterampilan berbicara dilihat dari segi penguasaan kosa kata (vocabulary), pronunciation dan interactive communication ditempatkan sebagai variabel terikat. Pengaruh metode pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dan metode drill pada mata pelajaran bahasa Inggris terhadap keterampilan berbicara ditempatkan sebagai hasil dari penelitian.
Untuk memperjelas variabel yang akan diteliti, maka peneliti membuat desain antar variabel sebagai berikut:
(33)
Tabel 1
Hubungan Antar Variabel Penelitian
Variabel Terikat Variabel Bebas Keterampilan berbicara dilihat dari segi penguasaan vocabulary
(Y1)
Keterampilan berbicara dilihat
dari segi pronunciation
(Y2)
Keterampilan berbicara dilihat
dari segi interactive communication
(Y3) Pembelajaran
permainan
role-playing
berbasis pengalaman
(X1)
X1Y1 X1Y2 X1Y3
Metode drill (X2)
X2Y1 X2Y2 X2Y3
Pada tabel di atas terdapat variabel-variabel yang akan dikaji, yaitu variabel bebas dengan menggunakan metode pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman (X1) pada kelas eksperimen dan metode drill (X2) pada kelas
kontrol. Untuk variabel terikat adalah keterampilan berbicara dilihat dari segi penguasaan kosakata (vocabulary), pronunciation, dan interactive communication (Y1, Y2, Y3). Sedangkan keterkaitan antara variabel bebas dan variabel terikat
tersebut adalah perbedaan antara X1Y1 dengan X2Y1, perbedaan antara X1Y2
dengan X2Y2, dan perbedaan antara X1Y3 dengan X2Y3.
Untuk memperkuat penafsiran operasional efektivitas, kriteria yang dipergunakan berdasarkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) setiap indikator yang ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) di satuan pendidikan atau beberapa satuan pendidikan yang
(34)
memiliki karakteristik yang hampir sama. Kriteria ketuntasan menunjukan presentase tingkat pencapaian kompetensi sehingga dinyatakan dengan angka maksimal 100 (seratus). Angka maksimal 100 (seratus) merupakan kriteria ketuntasan ideal. Target ketuntasan nasional adalah 75. Satuan pendidikan dapat menetapkan kriteria ketuntasan minimal di bawah target nasional sesuai dengan kondisi dan daya dukung yang dimilikinya (Depdiknas, 2008).
Untuk melihat efektivitas dari kedua model tersebut, skor yang diperoleh dari kelompok kontrol dan eksperimen dibandingkan rata-rata pencapaiannya terhadap skor kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan. Metode pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman tersebut dapat dikatakan efektif bila rata-rata skor yang diperolehnya telah mencapai atau melebihi KKM.
D. Subjek Penelitian
1. Populasi Penelitian
Penelitian pendidikan dan kurikulum seperti halnya penelitian bidang lainnya ditujukan untuk memperoleh kesimpulan tentang kelompok yang besar dalam lingkup wilayah yang luas, tetapi hanya dengan meneliti kelompok kecil dalam daerah yang lebih sempit. Kelompok besar dan wilayah yang menjadi lingkup penelitian itulah yang disebut populasi (Sukmadinata, 2005: 250). Senada dengan pendapat di atas, Sugiyono (2009: 117) mendefinisikan populasi sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
(35)
Menurut Sudjana dan Ibrahim (1992: 71) pembatasan populasi dilakukan dengan membedakan populasi sasaran (target population) dan populasi terjangkau (accessible population). Berdasarkan pendapat di atas maka yang menjadi populasi sasaran dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cilayang III dan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cimaung III Kecamatan Cikeusal Kabupaten Serang, dan populasi terjangkaunya adalah siswa kelas V.
2. Sampel Penelitian
Sampel dalam suatu penelitian harus representatif dalam arti mewakili populasi, baik dalam karakteristik maupun jumlahnya. Sugiyono (2009: 118) mengatakan bahwa:
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili).
Berdasarkan pendapat di atas, maka peneliti membatasi sampel penelitian hanya dengan dua kelas terpilih, yaitu siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cilayang III dan siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cimaung III Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang. Jadi tidak dilakukan random dalam penentuan sampel, tetapi menggunakan kelas yang sudah ada. Siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cilayang III untuk kelas eksperimen yang diberikan perlakuan menggunakan metode pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman, dan siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cimaung III untuk
(36)
kelompok kontrol dengan menggunakan metode yang selama ini digunakan oleh guru, yaitu metode drill.
E. Instrumen Penelitian
Suatu instrumen harus bisa mewakili apa yang akan diteliti, sehingga hasil yang diharapkan akan menghasilkan data yang sebenarnya. Sama halnya seperti yang dikemukakan oleh Sudjana dan Ibrahim (1989: 97) ”Instrumen sebagai alat pengukur data harus betul-betul dirancang dan dibuat sedemikian rupa sehingga menghasilkan data empiris sebagaimana adanya.” Pengertian instrumen lebih lanjut dikemukakan oleh Sugiyono (2009: 148) yang mengatakan bahwa instrumen penelitian merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam dan fenomena sosial yang diamati pada saat penelitian.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu instrumen tes dan instrumen non tes.
1. Instrumen Test
Instrumen tes pada penelitian akan diberikan pada pre-test dan post-test. Item-item soal tersebut, diambil dari materi pelajaran bahasa Inggris kelas V Sekolah Dasar. Pemberian pre-test digunakan untuk mengetahui pengetahuan awal siswa tentang keterampilan berbicara bahasa Ingris bagi kedua kelas, yakni kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sedangkan pos-test digunakan untuk melihat perbandingan peningkatan kemampuan keterampilan berbicara kedua kelas. Namun sebelumnya dibuat kisi-kisi instrumen test yang mengacu pada pokok
(37)
bahasan tentang penguasaan keterampilan berbicara dilihat dari penguasaan vocabulary, pronunciation dan interactive communication.
Instrumen penelitian dilakukan pada siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cilayang III dan siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cimaung III kecamatan Cikeusal, dengan pengolahan dan analisis data sebagai berikut:
a) Menghitung nilai hasil belajar siswa, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Mengoreksi hasil jawaban siswa dengan kunci jawaban yang sudah ada. 2) Memberikan skor hasil pekerjaan siswa, dengan langkah-langkah:
• Setiap skor jawaban siswa yang benar diberi nilai 10. • Jumlah skor maksimal yang diperoleh siswa adalah 100.
• Nilai akhir diperoleh dengan menjumlahkan setiap item soal yang dijawab benar oleh siswa.
b) Membandingkan nilai hasil belajar antara nilai post-test kelas eksperimen dan kelas kontrol.
2. Instrumen Non-Test
Instrumen lain yang dibuat dalam penelitian ini adalah instrumen non-test berupa angket. Instrumen tersebut terdiri dari 5 pertanyaan. Angket diberikan kepada kelas eksperimen, sebagai kelas yang diberikan perlakuan metode pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman. Angket digunakan untuk mengetahui tanggapan siswa mengenai penggunaan metode pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman.
(38)
F. Pengujian Instrumen Penelitian
1. Pengujian Validasi
Instrumen soal tes digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa. Instrumen ini disusun berdasarkan indikator suatu kompetensi dasar. Oleh karena itu instrumen soal tes pembelajaran keterampilan berbicara bahasa Inggris dengan menggunakan pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman ini disusun berdasarkan indikator tersebut. Sebagaimana dijelaskan oleh Arikunto (2006: 67) bahwa “sebuah tes dikatakan validitas isi apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan”. Lebih lanjut dikatakan bahwa “sebuah tes dikatakan valid apabila tes itu dapat tepat mengukur apa yang hendak diukur” (Arikunto, 2006: 59). Hal yang sama juga dikatakan oleh Sukmadinata (2006: 228) bahwa “suatu instrumen dikatakan valid atau memiliki validitas bila instrumen tersebut benar-benar mengukur aspek atau segi yang akan diukur”.
Ujicoba validasi soal tes ini dilaksanakan pada siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cimaung 2 Serang. Pelaksanaan validasi melalui ujicoba soal tes pada siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cimaung 2 Serang dilakukan sesuai jadwal yang telah disepakati. Kegiatan ujicoba ini dimulai dengan memberikan penjelasan kepada peserta tes tentang tata cara menjawab soal tes dan peserta tes menyatakan siap untuk melakukan tes. Kemudian peneliti membagikan lembaran soal tes dan lembar jawaban kepada peserta tes. Setelah seluruh peserta tes selesai melakukan tugasnya, barulah peneliti mengumpulkan lembar soal dan lembar jawaban tersebut. Lembar jawaban ini merupakan data validasi soal tes yang siap untuk diolah.
(39)
Untuk pengolahan validitas soal tes bentuk pilihan ganda, peneliti menggunakan uji korelasi menggunakan rumus product moment dari Pearson sebagaimana dijelaskan oleh Arikunto (2006: 76), bahwa “kesejajaran dapat diartikan sebagai korelasi, sehingga untuk mengetahui validitas item digunakan teknik korelasi”. Lebih lanjut dikatakan bahwa koefisien korelasi selalu terdapat antara -1,00 sampai +1,00. Bila koefisiennya negatif menunjukkan hubungan kebalikan, sedangkan koefisien positif menunjukkan adanya kesejajaran. Untuk mengadakan interpretasi mengenai besarnya koefisien korelasi adalah sebagai berikut:
- Antara 0,800 sampai dengan 1,00 : sangat tinggi - Antara 0,600 sampai dengan 0,800 : tinggi
- Antara 0,400 sampai dengan 0,600 : cukup
- Antara 0,200 sampai dengan 0,400 : rendah
- Antara 0,00 sampai dengan 0,200 : sangat rendah (Arikunto, 2006: 75). Dengan demikian interpretasi untuk validitas suatu instrumen menurut tingkatan yaitu sangat tinggi, tinggi, cukup, rendah, dan sangat rendah. Sebagaimana dijelaskan pula oleh Sukmadinata (2006: 229) bahwa validitas menunjukkan suatu derajat atau tingkatan, validitasnya tinggi, sedang atau rendah, bukan valid atau tidak valid.
Dalam mengolah butir soal bentuk objektif skor untuk item biasa diberikan dengan 1 (item yang dijawab benar) dan 0 (item yang dijawab salah), sedangkan skor total selanjutnya merupakan jumlah dari skor untuk semua item yang membangun soal tersebut (Arikunto, 2006: 76)
(40)
Berdasarkan uji validasi dengan menggunakan product moment dari Pearson yang menggunakan software SPSS 16 maka diketahui bahwa 10 item dari indikator keterampilan berbicara dari segi penguasaan vocabulary yang diujicobakan terdapat dua item yang rusak atau tingkat validitasnya sangat rendah (7 dan 10), sedangkan 8 item (1,2,3,4,5,6,8,9) memiliki kriteria valid (lihat tabel 40).
Pada indikator keterampilan berbicara dari segi pronunciation yang diujicobakan terdapat dua item yang rusak atau tingkat validitasnya sangat rendah (5 dan 7), sedangkan 8 item (1,2,3,4,6,8,9,10) memiliki kriteria valid (lihat tabel 41).
Pada indikator keterampilan berbicara dari segi interactive communication yang diujicobakan terdapat dua item yang rusak atau tingkat validitasnya sangat rendah (6 dan 10), sedangkan 8 item (1,2,3,4,5,7,8,9) memiliki kriteria valid (lihat tabel 42).
2. Pengujian Reliabilitas
Selain uji validitas sebuah tes juga perlu uji reliabilitas. Sebagaimana Anderson dkk. (dalam Arikunto, 2006: 87) yang menyatakan bahwa “persyaratan bagi sebuah tes yaitu validitas dan realibilitas ini penting. Validitas ini penting dan reliabilitas itu perlu karena menyokong terbentuknya validitas”. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebuah tes yang valid biasanya reliabel.
Sukmadinata (2006: 229) menyatakan bahwa “reliabilitas berkenaan dengan tingkat keajegan atau ketetapan hasil pengukuran”. Hal sama dikatakan oleh Arikunto (2006: 86) bahwa “reliabilitas tes berhubungan dengan masalah
(41)
ketetapan hasil tes”. Lebih lanjut dikatakan bahwa suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Dengan demikian suatu instrumen memiliki tingkat reliabilitas yang memadai, bila instrumen itu digunakan untuk mengukur aspek yang diukur dan ditandai dengan ketetapan hasil.
Metode yang digunakan untuk menguji reliabilitas instrumen dalam penelitian ini adalah metode belah dua atau split-half method. Dikatakan oleh Sukmadinata dengan metode paruh (2006: 230). Peneliti hanya melakukan uji coba sekali, dilanjutkan dengan menskor nomor-nomor butir soal ganjil dikorelasikan dengan skor dari butir-butir soal genap. Sebagaimana dikatakan oleh Arikunto (2006: 92) bahwa “dalam menggunakan metode pengetes hanya menggunakan sebuah tes dan dicobakan satu kali. Salah satu cara yang digunakan dalam metode ini adalah membelah item-item genap dan item-item ganjil yang disebut dengan ganjil genap” (Arikunto, 2006: 93).
Untuk mengetahui reliabilitas seluruh tes dengan metode belah dua, peneliti menggunakan teknik Spearman-Brown sebagai berikut:
Keterangan:
r½½ = Korelasi antara skor-skor setiap belahan tes
r11 = Koefisien reliabilitas yang sudah disesuaikan
2 r½½ r11 =
(42)
Dalam pengujian reliabilitas peneliti hanya menggunakan 20 item soal yang sudah memiliki kriteria valid dan berdasarkan indikator yang mempunyai perbandingan yang sama. Analisis butir soal untuk mencari reliabilitasnya yang menggunakan metode belah dua dapat dilihat pada lampiran. Hasil uji reliabilitas ini menggunakan software SPSS 16, dan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 38 halaman 163.
Berdasarkan tabel tersebut bahwa terdapat N of cases yaitu jumlah sampel sebanyak 20 dengan indikator N of Items sebanyak 4 (ganjil, genap, awal, dan akhir). Korelasi antara part 1 dengan part 2 adalah sebesar 1.00 dan Guttman Split Half adalah sebesar 1.00 yang berada di atas nilai r tabel untuk 20 sampel yaitu sebanyak 0.444. Dengan demikian dinyatakan bahwa butir-butir soal yang digunakan sebagai instrumen tes pada keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa adalah reliabel.
G. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data
Penghitungan data-data yang diperoleh dalam penelitian ini menggunakan ilmu statistik. Ilmu statistik tersebut digunakan untuk mengolah dan menguji hipotesis sehingga dapat menggambarkan hipotesis penelitiannya. Penelitian ini diolah dengan menggunakan bantuan software komputer SPSS 16 (Statistical Product and Service Solution).
H. Prosedur Penelitian Secara Keseluruhan
Adapun prosedur dari penelitian ini secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut:
(43)
1. Persiapan
a. Melakukan observasi awal.
1) Wawancara dengan kepala sekolah.
2) Wawancara dengan guru mata pelajaran bahasa Inggris.
3) Studi dokumentasi mengenai materi-materi bahasa Inggris yang diajarkan, masalah yang biasanya timbul pada saat pembelajaran, dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Inggris.
b. Membuat prosedur pelaksanaan eksperimen, yaitu: 1) Menetapkan materi dan mempelajari silabus.
2) Menyusun satuan pelajaran dan rencana pelaksanaan pelajaran (RPP) yang telah ditentukan.
3) Memilih dan menentukan jenis permainan role-playing berbasis
pengalaman yang akan digunakan yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran.
4) Membuat kisi-kisi instrumen tes.
5) Menyusun instrumen tes penelitian berbentuk tes tertulis dan tes lisan. Tes tertulis berbentuk: pilihan ganda, sedangkan tes lisan yaitu mengungkapkan instruksi dan informasi sangat sederhana dalam konteks sekolah.
2. Melakukan Eksperimen
a. Mengadakan kegiatan belajar mengajar masing-masing selama dua jam pembelajaran sesuai dengan pokok bahasan yang diajarkan. Untuk kelas kontrol menggunakan metode pembelajaran yang selama ini digunakan oleh
(44)
guru yaitu metode drill. Sedangkan untuk kelas eksperimen diberikan perlakuan masing-masing selama dua jam pelajaran yaitu dengan menggunakan metode pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman sebanyak tiga kali dengan hari yang berbeda.
b. Mengadakan pre-test dan post-test pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
c. Mengadakan penyebaran angket sebanyak lima pertanyaan mengenai
penggunaan metode pembelajaran permainan role play berbasis pengalaman terhadap kelas eksperimen.
d. Mengolah dan menganalisa data penelitian dengan menggunakan uji t dua pihak dan menggunakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
e. Membuat kesimpulan hasil penelitian.
3. Melaporkan Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian akan dilaporkan secara tertulis dan sesuai dengan aturan-aturan dalam penulisan karya tulis ilmiah. Hal tersebut sama seperti yang dikemukakan oleh Sudjana dan Ibrahim (2001: 173) bahwa:
Mengingat hasil penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah atau metode keilmuan, maka laporan hasil penelitian pada hakikatnya merupakan karya ilmiah, sehingga penulisan dan pemaparannya harus menggunakan kaedah penulisan karya ilmiah.
(45)
I. Langkah-Langkah Penelitian
Bagan 2
Langkah-Langkah Penelitian Menentukan permasalahan
Membuat hipotesis
Menentukan populasi
Menentukan sampel
Menyusun instrumen
Menganalisis soal instrumen
Terhadap kelas kontrol
Terhadap kelas eksperimen
Menyebarkan angket
Memperoleh hasil belajar
Menguji hipotesis
Membuat kesimpulan Memberikan perlakuan
(46)
119
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Penelitian ini berusaha untuk mengkaji efektivitas model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dalam meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa Sekolah Dasar dilihat dari segi penguasaan kosakata (vocabulary), pronounciation, dan interactive communication.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh butir-butir simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam peningkatan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa di lihat dari segi penguasaan kosakata (vocabulary) setelah siswa diberikan perlakuan dengan menggunakan model
pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman jika
dibandingkan dengan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa yang mendapatkan perlakuan dengan metode drill. Ini disebabkan karena dalam model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman, siswa memiliki kesempatan lebih banyak untuk berlatih berbicara di dalam kelas dengan proses belajar yang sangat menyenangkan. Model pembelajaran ini juga menghadirkan suatu pengalaman hidup yang pernah siswa alami di kehidupan nyata ke dalam kelas dengan memadukan unsur permainan ke dalam proses belajar mengajarnya, sehingga siswa akan lebih mudah mengingat materi yang telah dipelajari. Kosakata (vocabulary) yang digunakan dalam playing akan lebih mudah diingat karena dalam
(47)
role-playing siswa tidak hanya mengucapkannya akan tetapi juga melakukan apa yang diucapkannya secara langsung dengan cara yang menyenangkan. 2. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam peningkatan keterampilan
berbicara bahasa Inggris siswa di lihat dari segi pronounciation setelah siswa diberikan perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman jika dibandingkan dengan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa yang mendapatkan perlakuan dengan metode drill. Ini disebabkan karena dalam model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman, siswa memiliki kesempatan lebih banyak untuk berlatih berbicara di dalam kelas dan terlibat aktif dalam proses belajar mengajar. Belajar bahasa Inggris pada dasarnya bertujuan agar bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris, sehingga apa yang dikatakan bisa dimengerti oleh orang yang diajak berbicara. Karena bahasa Inggris merupakan bahasa asing, maka pengucapannya, baik intonasi, penekanan maupun ejaannya harus sesuai dengan penutur aslinya, dan ini membutuhkan banyak latihan agar pengucapannya sesuai dengan penutur aslinya. Dalam hal ini, role-playing merupakan salah satu model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih berbicara bahasa Inggris dari segi pronounciation, karena dalam role-playing siswa tidak hanya berbicara untuk diri sendiri akan tetapi
berkomunikasi dengan orang yang diajak berbicara sehingga
pengucapannya harus benar supaya informasi yang ingin disampaikan oleh pembicara bisa tersampaikan pada orang yang diajak berbicara.
(48)
3. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam peningkatan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa di lihat dari segi interactive communication
setelah siswa diberikan perlakuan dengan menggunakan model
pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman jika
dibandingkan dengan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa yang mendapatkan perlakuan dengan metode drill. Ini disebabkan karena dalam model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman, siswa memiliki kesempatan lebih banyak untuk berlatih berbicara di dalam kelas dan terlibat aktif dalam proses belajar mengajar. Belajar bahasa Inggris pada dasarnya bertujuan agar bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris. Oleh karena itu, pembicara dituntut tidak hanya bisa bertanya akan tetapi juga harus bisa menjawab pertanyaan lawan bicara, sehingga adanya interaksi di antara keduanya. Kemampuan untuk bisa berinteraksi dengan orang lain menggunakan bahasa Inggris kurang efektif jika dilakukan hanya dengan berlatih sendiri tetapi memerlukan lawan bicara untuk saling berinteraksi. Dalam role-playing, siswa dihadapkan pada situasi di mana siswa harus saling berinteraksi dengan siswa lain yang menjadi partisipan dalam role-playing, sehingga role-playing bisa berjalan lancar. Inilah yang menjadikan role-playing menjadi salah satu model pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris dilihat dari segi interactive communication.
Model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman memiliki beberapa keunggulan di antaranya yaitu: siswa memiliki kesempatan lebih banyak untuk berlatih dalam berbicara bahasa Inggris di dalam kelas; siswa lebih cepat
(49)
mengingat kosakata yang diajarkan karena kegiatan role-playing didasarkan pada pengalaman siswa dalam kehidupan nyata; siswa memiliki kebebasan untuk mengemukakan apa yang dirasakan dan dipikirkan saat itu tanpa harus bertanggung jawab atas perkataannya; dan meningkatkan keterampilan siswa dalam bersosialisasi.
Selain memiliki keunggulan, role-playing juga memiliki kelemahan, yaitu: siswa tidak bisa melakukan role-playing tanpa pemanasan terlebih dahulu sehingga memerlukan waktu yang cukup banyak dalam proses pembelajaran; pada awal kegiatan role-playing, kebanyakan siswa belum berani melakukannya; dan untuk kelas dengan siswa yang lebih banyak membutuhkan waktu yang cukup banyak untuk dapat memberikan kesempatan kepada semua siswa melakukan kegiatan role-playing.
B. Saran
Hasil penelitian memberikan gambaran kepada semua pihak, baik sekolah, guru, siswa, maupun tenaga kependidikan dan pengembang kurikulum tentang manfaat model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dalam meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa Sekolah Dasar. Namun demikian dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, masih terdapat kendala-kendala yang dihadapi di antaranya kurangnya kesempatan siswa untuk berlatih berbicara bahasa Inggris pada proses pembelajaran. Untuk itu ada beberapa saran yang kiranya bermanfaat bagi semua pihak, di antaranya:
(50)
1. Bagi Penelitian Lebih Lanjut (Peneliti)
a) Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman atau setidaknya dapat dijadikan sebagai studi pendahuluan untuk memahami penggunaan model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dalam pembelajaran bahasa Inggris.
b) Menindaklanjuti hasil penelitian ini dengan mengkaji lebih jauh lagi penggunaan model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dalam pembelajaran bahasa Inggris dengan melibatkan variabel lain atau variabel yang lebih spesifik.
c) Menindaklanjuti hasil penelitian ini dengan mengkaji lebih jauh lagi penggunaan model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman dalam pembelajaran bahasa Inggris dengan skop yang lebih luas dalam konteks lain dan dengan siswa/populasi yang lebih besar.
2. Bagi Pihak Sekolah dan Guru
a) Penggunaan model pembelajaran permainan role-playing berbasis
pengalaman untuk menjelaskan materi pelajaran dapat dipergunakan sebagai tambahan variasi mengajar bagi guru.
b) Penggunaan model pembelajaran permainan role-playing berbasis
pengalaman diharapkan dapat memberikan motivasi kepada guru dalam mengembangkan kreativitas mereka dalam menyusun dan merancang suatu metode pengajaran.
(51)
c) Penggunaan model pembelajaran permainan role-playing berbasis pengalaman diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi guru untuk menggunakan metode-metode pengajaran lain yang efektif.
3. Bagi Program Studi Pengembangan Kurikulum SPS UPI
Program studi pengembangan kurikulum SPs UPI dapat memberikan seminar atau workshop tentang model pembelajaran role-playing, khususnya yang bebrbasis pengalaman sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan profesionalisme guru. Pemahaman dan penguasaan metode-metode pengajaran yang efektif bagi guru-guru sudah menjadi tuntutan dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah-sekolah.
(52)
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A.C. (2000). Persfektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia Dalam Konteks Persaingan Global. Bandung: CV Andira.
Ali, Mohamad. (1982). Penelitian Kependidikan, Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa.
Ali, Mohamad. (1992). Strategi Penelitian Pendidikan. Bandung: Angkasa.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Aunurrahman. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Brown, H.D. (2004). Language Assesment, Principles and Classroom Practice. New York: Longman.
Budiningsih, C.A. (2005). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Cahyani, I (2009). Peran Experiential Learning dalam Meningkatkan Motivasi
Pembelajar BIPA. Tersedia online pada
http://www.ialf.edu.kipbipa/papers/CahyaniIsah.doc). Tanggal 23 April 2010)
Cameron, L. (2003). Teaching Languages to Young Learners. Cambridge: Cambridge University Press.
Cohen, A.D. (1998). Strategies in Learning and Using A Second Language. New York: Longman.
Dakir. (2004). Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Bahasa Inggris. Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Inggris. Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Model Pembelajaran, Bahan Ajar, dan Penilaian Mata Pelajaran Bahasa Inggris. Jakarta: Depdiknas.
(53)
Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Standar Isi. Jakarta: Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006.
Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Standar Kompetensi Kelulusan. Jakarta: Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Dewey, J. (1996). Democracy and Education. New York: A Free Press Paperback Macmillan Publishing Co., Inc.
Hajar, S (1996). Permainan Bahasa Dalam Pengajaran dan Pembelajaran. Tersedia online di http://cari.pdf.com/pdf.php?q=permainan+bahasa. Tanggal 15 Februari 2010.
Harmer, Jeremy. (2001). The Practice of English Language Teaching. New York: Longman.
Hasan, H.S. (2008). Evaluasi Pengembangan KTSP: Suatu Kajian Konseptual, dalam seminar Internasional yang diselenggarakan oleh SPs UPI dan Hipkin.
Hasan, H.S. (2008). Evaluasi Kurikulum. Bandung : Remaja Rosda Karya
Hamalik, Oemar. (2008). Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Hamalik, Oemar. (1988). Pendekatan Strategi Belajar Mengajar CBSA. Bandung: Sinar Baru Algesndo).
Hamalik, Oemar. (2008). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hastjarjo, D. (2008). Ringkasan buku Cook & Campbell. (1979). Quasi-Experimentation: Design & Analysis Issues for Field Settings. Houghton Mifflin Co. Tersedia online di http: ://dickyh.staff.ugm.ac.id/. Tanggal 20 April 2010.
Iskandarwasid dan Sunendar, D. (2008). Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Ismail, A. (2006). Education Games, Menjadi Cerdas dan Ceria Dengan Permainan Edukatif. Yogyakarta: Pilar Media.
Jonckheere, B.A. (2006). Experiential Learning Through “Reality” English. Tersedia online di http://www.catesol.org/06Jonckheere). Tanggal 7 Maret 2010.
(1)
Kelly, C. (1997). David Kolb, The Theory of Experiential Learning and ESL. Tersedia online di http: //iteslj.org/Articles/Kelly-Experiential/. Tanggal 9 Maret 2010.
Kusumargono, R.S. (2008). Efektivitas Pembelajaran Permainan Berbasis Komputer Dalam Meningkatkan Kosakata Bahasa Inggris. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak diterbitkan.
Laisou, F. (2008). Efektivitas Pembelajaran Menulis Dengan menggunakan Model The Experiential Approach. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak diterbitkan.
Leontiev, A. Psychology and Language Learning Process. Pergammon. London. Mudairin. (2003). Role Play: Suatu Alternatif Pembelajaran yang Efektif dan
Menyenangkan dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara Bahasa Inggris Siswa SLTP Islam Mambaul Ulum Gresik. (Tersedia online di http://pakguruonline.pendidikan.net).Tanggal 5 Februari 2010.
Nunan, David. (1992). Research Methode in Language Learning. New York: Cambride University Press.
Nunan, David. (1989). Designing Task for The Communication Language Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Paul, David. (2007). Teaching English to Children in Asia. Hong Kong: Pearson Longman Asia ELT.
Pidarta, M. (2007). Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Rusman. (2009). Manajemen Kurikulum, Seri Manajemen Sekolah Bermutu. Edisi Pertama. Jakarta : Rajawali Pers.
Richards, J.C dan Rodgers, T.S. (2001). Approaches and Methods in Language Teaching. Second edition. Cambridge: Cambridge University press.
Santrock, J.W. (1995). Perkembangan Masa Hidup (terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Sugiono (2009). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sugiono (2006). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
(2)
128
Sugiono (1992). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru. Sudjana, N dan Ibrahim. (1988). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung:
Tarsito.
Sudjana, N dan Ibrahim. (1989). Penelitian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru. Sukmadinata, N.S. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Sukmadinata, N.S. (2004). Penelitian Dalam Pendidikan, Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: SPS UPI.
Sukmadinata, N.S. (2008). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sukmadinata, N.S. (2004). Penelitian Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Kesuma Karya.
Surakhmad, Winarno. (1992). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. Surakhmad, Winarno. (1990). Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik.
Edisi VII. Bandung: Tarsito.
Soedijarto. (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Suwarno, A. (2009). Peningkatan Kemampuan Membuat Kalimat Bahasa Ingris.
Tersedia online di
http://infodiknas.com/index.php?load=newsdetail&NewsID=4255. Tanggal 10 januari 2010.
Tarigan, H.G. (1981). Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, H.G. (1987). Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Thornbury, Scott (2005). How to Teach Speaking. England: Longman
Uno, H.B. (2008). Model Pembelajaran, Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang Kreatif dan efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
Zaini, H, Munthe, B dan Aryani, S.A. (2008). Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan madani.
(3)
125
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A.C. (2000). Persfektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia Dalam Konteks Persaingan Global. Bandung: CV Andira.
Ali, Mohamad. (1982). Penelitian Kependidikan, Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa.
Ali, Mohamad. (1992). Strategi Penelitian Pendidikan. Bandung: Angkasa.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Aunurrahman. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Brown, H.D. (2004). Language Assesment, Principles and Classroom Practice. New York: Longman.
Budiningsih, C.A. (2005). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Cahyani, I (2009). Peran Experiential Learning dalam Meningkatkan Motivasi
Pembelajar BIPA. Tersedia online pada
http://www.ialf.edu.kipbipa/papers/CahyaniIsah.doc). Tanggal 23 April 2010)
Cameron, L. (2003). Teaching Languages to Young Learners. Cambridge: Cambridge University Press.
Cohen, A.D. (1998). Strategies in Learning and Using A Second Language. New York: Longman.
Dakir. (2004). Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Bahasa Inggris. Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Inggris. Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Model Pembelajaran, Bahan Ajar, dan Penilaian Mata Pelajaran Bahasa Inggris. Jakarta: Depdiknas.
(4)
126
Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Standar Isi. Jakarta: Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006.
Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Standar Kompetensi Kelulusan. Jakarta: Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Dewey, J. (1996). Democracy and Education. New York: A Free Press Paperback Macmillan Publishing Co., Inc.
Hajar, S (1996). Permainan Bahasa Dalam Pengajaran dan Pembelajaran. Tersedia online di http://cari.pdf.com/pdf.php?q=permainan+bahasa. Tanggal 15 Februari 2010.
Harmer, Jeremy. (2001). The Practice of English Language Teaching. New York: Longman.
Hasan, H.S. (2008). Evaluasi Pengembangan KTSP: Suatu Kajian Konseptual, dalam seminar Internasional yang diselenggarakan oleh SPs UPI dan Hipkin.
Hasan, H.S. (2008). Evaluasi Kurikulum. Bandung : Remaja Rosda Karya
Hamalik, Oemar. (2008). Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Hamalik, Oemar. (1988). Pendekatan Strategi Belajar Mengajar CBSA. Bandung: Sinar Baru Algesndo).
Hamalik, Oemar. (2008). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hastjarjo, D. (2008). Ringkasan buku Cook & Campbell. (1979). Quasi-Experimentation: Design & Analysis Issues for Field Settings. Houghton Mifflin Co. Tersedia online di http: ://dickyh.staff.ugm.ac.id/. Tanggal 20 April 2010.
Iskandarwasid dan Sunendar, D. (2008). Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Ismail, A. (2006). Education Games, Menjadi Cerdas dan Ceria Dengan Permainan Edukatif. Yogyakarta: Pilar Media.
Jonckheere, B.A. (2006). Experiential Learning Through “Reality” English. Tersedia online di http://www.catesol.org/06Jonckheere). Tanggal 7 Maret 2010.
(5)
Kelly, C. (1997). David Kolb, The Theory of Experiential Learning and ESL. Tersedia online di http: //iteslj.org/Articles/Kelly-Experiential/. Tanggal 9 Maret 2010.
Kusumargono, R.S. (2008). Efektivitas Pembelajaran Permainan Berbasis Komputer Dalam Meningkatkan Kosakata Bahasa Inggris. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak diterbitkan.
Laisou, F. (2008). Efektivitas Pembelajaran Menulis Dengan menggunakan Model The Experiential Approach. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak diterbitkan.
Leontiev, A. Psychology and Language Learning Process. Pergammon. London. Mudairin. (2003). Role Play: Suatu Alternatif Pembelajaran yang Efektif dan
Menyenangkan dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara Bahasa Inggris Siswa SLTP Islam Mambaul Ulum Gresik. (Tersedia online di http://pakguruonline.pendidikan.net).Tanggal 5 Februari 2010.
Nunan, David. (1992). Research Methode in Language Learning. New York: Cambride University Press.
Nunan, David. (1989). Designing Task for The Communication Language Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Paul, David. (2007). Teaching English to Children in Asia. Hong Kong: Pearson Longman Asia ELT.
Pidarta, M. (2007). Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Rusman. (2009). Manajemen Kurikulum, Seri Manajemen Sekolah Bermutu. Edisi Pertama. Jakarta : Rajawali Pers.
Richards, J.C dan Rodgers, T.S. (2001). Approaches and Methods in Language Teaching. Second edition. Cambridge: Cambridge University press.
Santrock, J.W. (1995). Perkembangan Masa Hidup (terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Sugiono (2009). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sugiono (2006). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
(6)
128
Sugiono (1992). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru. Sudjana, N dan Ibrahim. (1988). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung:
Tarsito.
Sudjana, N dan Ibrahim. (1989). Penelitian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru. Sukmadinata, N.S. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Sukmadinata, N.S. (2004). Penelitian Dalam Pendidikan, Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: SPS UPI.
Sukmadinata, N.S. (2008). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sukmadinata, N.S. (2004). Penelitian Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Kesuma Karya.
Surakhmad, Winarno. (1992). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. Surakhmad, Winarno. (1990). Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik.
Edisi VII. Bandung: Tarsito.
Soedijarto. (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Suwarno, A. (2009). Peningkatan Kemampuan Membuat Kalimat Bahasa Ingris.
Tersedia online di
http://infodiknas.com/index.php?load=newsdetail&NewsID=4255. Tanggal 10 januari 2010.
Tarigan, H.G. (1981). Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, H.G. (1987). Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Thornbury, Scott (2005). How to Teach Speaking. England: Longman
Uno, H.B. (2008). Model Pembelajaran, Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang Kreatif dan efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
Zaini, H, Munthe, B dan Aryani, S.A. (2008). Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan madani.